• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARB KABUPATEN SLEMAN 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ARB KABUPATEN SLEMAN 2014."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN

BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

KABUPATEN SLEMAN

(2)

(3)

ii 

PRAKATA

Kabupaten Sleman mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pengembangan

wilayah seperti yang tertuang dalan Rencana Tata Ruang Wilayah akan lebih

komprehensif jika diimbangi dengan adanya suatu kajian terhadap kebencanaan yang

dapat menjadi kendala pengembangan wilayah seperti tertuang dalam RTRW, atau

bahkan suatu kajian kebencanaan ini nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan tertentu

terhadap rencana pengembangan wilayah atau ketahanan wilayah yang telah berlangsung

sekarang.

Penelitian yang berkaitan dengan analisis dan pengkajian terhadap Risiko bencana

merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak Risiko bencana yang

ditimbulkan, selain bertujuan untuk melahirkan program dan rekomendasi pengurangan

risiko bencana yang terintegrasi dan mudah disosialisasikan kepada masyarakat.

Keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam mengurangi Risiko bencana dengan

mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan mereka adalah sangat penting.

Melalui program Pengelolaan Bencana Berbasis Masyarakat, sasarannya adalah untuk

mendukung dan memberdayakan masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana di

Kabupaten Sleman untuk bersama-sama bekerja mengurangi dampak dari bencana yang

dapat berpengaruh kepada mereka.

Kajian Analisa Risiko Bencana akan memberikan nilai penting dalam mendukung

masyarakat Kabupaten Sleman untuk menyiapkan kesiagaan dan ketahanan jangka

panjang masyarakat di lingkungannya dalam menghadapi bencana tak terduga akibat

berbagai macam kejadian alam yang dapat terjadi kapan saja.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan

bekerjasama dalam kegiatan ini, semoga kajian ini dapat bermanfaat terutama dalam

penyusunan kebijakan-kebijakan kelanjutan terkait penanggulangan risiko bencana.

Yogyakarta, Oktober 2014

(4)

iii 

OUTLINE

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1-1

1.2.Rumusan Masalah 1-1

1.3.Maksud dan Tujuan 1-2

BAB 2. METODOLOGI

2.1. Pengertian Dasar II-1

2.2. Konsep Penanggulangan Bencana II-1

2.3. Konsep Umum II-4

2.4. Prinsip Pengkajian Risiko Bencana II-4 2.5. Fungsi Pengkajian Risiko Bencana II-5

2.6. Metode Penghitungan Indeks II-5

2.7. Pembobotan Faktor (AHP) II-8

2.8. Teknik GIS untuk Analisis Pemetaan Risiko II-9

2.9. Indeks Ancaman Bencana II-12

2.10. Indeks Kerentanan II-19

2.11. Indikator HFA II-21

2.12. Metode Penghitungan Indeks Kapasitas II-24 2.13. Pengkajian Risiko Bencana II-25

BAB 3. GAMBARAN UMUM

3.1. Gambaran Umum Kabupaten Sleman III-1 3.2 Potensi Bencana di Kabupaten Sleman III-7

BAB 4. ANALISIS DATA ANCAMAN IV-1

BAB 5. ANALISIS DATA KERENTANAN V-1

BAB 6. ANALISIS DATA KAPASITAS VI-1

BAB 7. ANALISIS DATA RISIKO VII-1

BAB 8. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI VIII-1

(5)

1-1

1.1 LATAR BELAKANG

Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi atau

lingkungan yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang

terkena dampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan

bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau

faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (Anonim,

2007).

Kabupaten Sleman hingga saat ini telah mencapai perkembangan yang cukup

signifikan baik pada sektor pengembangan infrastruktur, pengembangan kawasan

permukiman, pengembangan kawasan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia

secara umum serta pembangunan lainnya. Kondisi ini tentunya perlu mendapatkan

jaminan keberlangsungan dan keamanan dari berbagai aspek yang akan melemahkan dan

atau menurunkan kualitas hasil pembangunan, baik oleh sebab lain maupun oleh potensi

bencana yang mengancam.

Dengan memandang potensi bencana sebagai ancaman terhadap kelestarian dan

keamanan sumber daya dan investasi, maka dengan demikian perlu dilakukannya suatu

Kajian analisa Risiko bencana di wilayah Kabupaten Sleman. Melalui penelitian ini

diharapkan dapat menghasilkan gambaran kondisi riil eksisting serta implikasinya

terhadap kebijakan guna pengambilan kebijakan dan perencanaan pembangunan di

Kabupaten Sleman.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disampaikan di atas maka selanjutnya

peneliti akan membatasi masalah-masalah tersebut untuk diteliti dan dikaji hanya pada

hal-hal sebagai berikut:

(6)

1-2 2. Dampak Risiko yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana.

3. Mekanisme pengelolaan potensi bencana yang ada di Kabupaten Sleman.

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dari kajian penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengintegrasikan program pengurangan Risiko bencana sebelum terjadi harus

berbasis dan mengakar pada masyarakat dengan didukung dana memadai.

2. Memberikan informasi kerentanan dan Risiko dapat digunakan untuk menambah

kesadaran publik pada umumnya, sebagai masukan bagi warga masyarakat

dalam hal pendidikan atau program penyadaran publik yang terkait dengan

Risiko bencana, khususnya dalam penurunan Risiko atau mereduksi Risiko.

Sedangkan tujuan yang hendak dicapai oleh kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi ancaman bencana.

2. Menilai dampak dan mengelola Risiko bencana.

3. Menganalisis program-program yang dapat dilakukan untuk pengurangan Risiko

(7)

II‐1  II.1. PENGERTIAN DASAR

• Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

oleh faktor alam dan/atau factor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU No. 24/2007).

• Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik atau aktivitas manusia yang berpotensi merusak, yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera,

kerusakan harta-benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan

lingkungan (ISDR, 2004).

• Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak atau

kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang,

terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya

lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara bahaya yang

ditimbulkan alam atau diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan

(ISDR,2004).

II.2 KONSEP PENANGGULANGAN BENCANA

Konsep penanggulangan bencana dimaksudkan untuk memperkecil dampak

negative dari bencana alam dan kegiatan/usaha antara lain pencemaran udara, pencemaran

air permukaan, pencemaran tanah dan air tanah, serta pengurangan flora dan fauna serta

(8)

II‐2  Gambar Upaya Pengelolaan Bencana

Tugas Pemerintah

1. Penanggulangan Risiko Bencana dan pemaduan dengan pembangunan.

2. Pelindungan masyarakat dari dampak bencana.

3. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi sesuai standar pelayanan

minimum.

4. Pemulihan kondisi dari dampak bencana.

5. Pengalokasian anggaran.

6. Pengalokasian dana siap pakai.

Hak Dan Kewajiban Masyarakat

1. Mendapatkan pelindungan dan rasa aman

2. Mendapatkan pelatihan penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

3. Mendapatkan informasi tentang kebijakan Penanggulangan Bencana.

4. Berperan serta dalam penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

(9)

II‐3  6. Korban yang terkena bencana berhak atas bantuan pemenuhan kebutuhan

dasar.

7. Wajib menjaga keserasian, melakukan penanggulangan bencana, melaporkan

ancaman.

Gambar Bagan Alir Metodologi Penyusunan Analisis Risiko Bencana

Pendekatan pada kegiatan kajian analisis Risiko bencana dilakukan dengan

pendekatan deduktif yakni merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa

umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini dan berakhir pada suatu

kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Penelitian ini termasuk jenis

penelitian deskriptif, yakni jenis penelitian yang hanya menggambarkan, meringkas

berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel. Dalam penelitian ini, akan dijabarkan

kondisi konkrit dari obyek penelitian, menghubungkan satu variabel atau kondisi dengan

variabel atau kondisi lainnya dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang obyek

(10)

II‐4  Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan

potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda.

Potensi dampak negatif yang timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas

kawasan tersebut. Potensi dampak negatif ini dilihat dari potensi jumlah jiwa yang

terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan.

II.3. KONSEP UMUM

Kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus

matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman,

kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu

kawasan.

Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung

pada :

1. Tingkat ancaman kawasan;

2. Tngkat kerentanan kawasan yang terancam;

3. Tingkat kapasitas kawasan yang terancam.

Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3

komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial

agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan

penyelenggaraan penanggulangan bencana disuatu kawasan. Penyelenggaraan ini

dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana.

Upaya pengurangan risiko bencana berupa :

1. Memperkecil ancaman kawasan;

2. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam;

(11)

II‐5  II.4. PRINSIP PENGKAJIAN RISIKO BENCANA

Pengkajian risiko bencana memiliki ciri khas yang menjadi prinsip pengkajian. Oleh

karenanya pengkajian dilaksanakan berdasarkan :

1. data dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada;

2. integrasi analisis probabilitas kejadian ancaman dari para ahli dengan kearifan

lokal masyarakat;

3. kemampuan untuk menghitung potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta

benda dan kerusakan lingkungan;

4. kemampuan untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko bencana

II.5. FUNGSI PENGKAJIAN RISIKO BENCANA

Pada tatanan pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai

dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Kebijakan ini nantinya

merupakan dasar bagi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana yang merupakan

mekanisme untuk mengarusutamakan penanggulangan bencana dalam rencana

pembangunan.

Pada tatanan mitra pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan

sebagai dasar untuk melakukan aksi pendampingan maupun intervensi teknis langsung ke

komunitas terpapar untuk mengurangi risiko bencana. Pendampingan dan intervensi para

mitra harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dan tersinkronasi terlebih dahulu dengan

program pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Pada tatanan masyarakat umum, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan

sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka kesiapsiagaan, seperti

menyusun rencana dan jalur evakuasi, pengambilan keputusan daerah tempat tinggal dan

sebagainya.

Komponen pengkajian risiko bencana terdiri dari ancaman, kerentanan dan

kapasitas. Komponen ini digunakan untuk memperoleh tingkat risiko bencana suatu

kawasan dengan menghitung potensi jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan

lingkungan. Selain tingkat risiko, kajian diharapkan mampu menghasilkan peta risiko

untuk setiap bencana yang ada pada suatu kawasan. Kajian dan peta risiko bencana ini

(12)

II‐6  penanggulangan bencana. Ditingkat masyarakat hasil pengkajian diharapkan dapat

dijadikan dasar yang kuat dalam perencanaan upaya pengurangan risiko bencana.

II.6. METODE PENGHITUNGAN INDEKS

Pengkajian Risiko Bencana disusun berdasarkan indeks-indeks yang telah

ditentukan. Indeks tersebut terdiri dari Indeks Ancaman, Indeks Penduduk Terpapar,

Indeks Kerugian dan Indeks Kapasitas. Kecuali Indeks Kapasitas, indeks-indeks yang lain

amat bergantung pada jenis ancaman bencana. Indeks Kapasitas dibedakan berdasarkan

kawasan administrasi kajian. Pengkhususan ini disebabkan Indeks Kapasitas difokuskan

kepada institusi pemerintah di kawasan kajian.

Kabupaten Sleman secara garis besar memiliki 7 Ancaman Bencana.

Ancaman tersebut adalah :

1. Erupsi Gunung Merapi

2. Aliran/Banjir Lahar

3. Gempabumi

4. Gerakan Tanah

5. Angin Putting Beliung

6. Kebakaran

7. Kekeringan

Peta Risiko Bencana dan Kajian Risiko Bencana harus disusun untuk setiap

jenis ancaman bencana yang ada pada daerah kajian. Rumus dasar umum untuk

analisis risiko yang diusulkan dalam 'Pedoman Perencanaan Mitigasi Risiko

Bencana' yang telah disusun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Indonesia (Peraturan Daerah Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008) adalah sebagai

berikut:

R

H + ( V /C )

dimana:

R : Disaster Risk Risiko Bencana

H : Hazard Threat Frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu

(13)

II‐7  dalam sebuah kasus bencana tertentu terjadi dengan intensitas tertentu.

Perhitungan variabel ini biasanya didefinisikan sebagai pajanan (penduduk,

aset, dll) dikalikan sensitivitas untuk intensitas spesifik bencana

C : Adaptive Capacity: Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk pulih dari bencana tertentu.

Untuk analisis risiko kuantitatif untuk semua jenis dampak, set parameter

empiris yang luas dan indikator akan diperlukan, didukung oleh penelitian yang luas.

Penelitian tersebut secara global hanya dalam tahap awal dan data yang dapat

dipercaya lokal pada khususnya sensitivitas masih jauh dari tersedia. Analisis

pemetaan risiko ini menggunakan semi-kuantitatif, yang menggunakan faktor

pembobotan dan nilai-nilai indeks. Pendekatan ini adalah pendekatan yang umum

digunakan di beberapa analisis risiko bencana dan pemetaan di luar Indonesia.

Indikator yang digunakan untuk analisis Risiko semi-kuantitatif akan dipilih

didasarkan pada kesesuaian dan ketersediaan. Rumus 'R = H * V / C' yang dijelaskan

di atas masih berlaku, namun akan berisi nilai indeks bukan nilai riil. Dalam analogi

Human Development Index (HDI) dari UNDP, untuk membuat indeks sebanding

setidaknya dalam dimensi, indeks yang digunakan dalam analisis yang dikonversi

menjadi nilai antara 0 dan 1, dimana 0 merupakan nilai minimum indikator asli, dan

1 merupakan nilai maksimum. Dalam kasus dengan angka rendah yang banyak dan

beragam dalam jumlah yang kadang-kadang tinggi, akan dilakukan konversi

logaritmik (Log 10) daripada konversi 'linier'.

Inti dari metodologi pemetaan risiko adanya suatu struktur pohon indikator,

dimana indeks risiko membentuk akar akhir dari analisis. Dalam kebanyakan kasus

indeks menengah dihitung berdasarkan penjumlahan indeks dikalikan dengan faktor

pembobotan, dan dalam beberapa kasus pada perkalian dari indeks (seperti indeks

risiko itu sendiri). Penilaian faktor pembobotan akan dilakukan berdasarkan

dokumen rujukan nasional dan internasional.

Untuk analisis pemetaan kombinasi lapisan GIS berbasis vektor dan grid

akan digunakan, dimana data terutama disimpan dengan menggunakan

strukturvektor, dimana indeks dapat dihasilkan dalam format grid. Jika sudah ada

peta bahaya (SNI)makaindeks peta bahaya dapat diturunkan langsung dari

(14)

II‐8  luas akan dibuat berdasarkan informasi yang tersedia dalam sosial, ekonomi, fisik,

lingkungan dan kapasitas. Akhirnya peta risiko bencana akan dihitung dari bahaya,

kerentanan dan peta kapasitas.

II.7. PEMBOBOTAN FAKTOR PERSIAPAN BERDASARKAN ANALYTIC

HIERARCHY PROCESS (AHP)

Skala I ntensitas

Kepentingan

Keterangan

1 Sama Kedua elemen sama pentingnya. Dua elemen mempunyai

pengaruh yang sama besar

3 Sedikit lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen

yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya

5 Lebih penting Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya.

Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya

7 Sangat penting Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen

lainnya. Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek.

9 Mutlak penting Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya. Bukti

yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2, 4, 6, Nilai menengah Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang

(15)

II‐9   

Dalam analisis semi-kuantitatif, kurangnya informasi tentang khususnya

tentang faktor sensitivitas dikompensasi oleh faktor bobot. Faktor-faktor pembobotan

terbaik diperoleh melalui konsensus pendapat para ahli. Suatu metodologi muncul ke

sebuah konsensus tersebut adalah Analytic Hierarchy Process (AHP). Metodologi ini

telah dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dimulai pada tahun 1970, dan awalnya

dimaksudkan sebagai alat untuk pengambilan keputusan. AHP adalah suatu

metodologi pengukuran melalui perbandingan pasangan-bijaksana dan bergantung

pada penilaian para pakar untuk mendapatkan skala prioritas. Inilah skala yang

mengukur wujud secara relatif. Perbandingan yang dibuat dengan menggunakan

skala penilaian mutlak, yang merepresentasikan berapa banyak satu indikator

mendominasi yang lain sehubungan dengan suatu bencana tertentu.

Fundamental Skala AHP untuk Perbandingan

Skala pasangan-bijaksana ini diletakkan bersama dalam suatu matriks,

dengan semua indikator sepanjang kolom dan baris. Faktor pembobotan diperoleh

dengan menghitung eigenvektor dari matriks, dan kemudian menormalkan hasil

untuk total 1. Dikatakan bahwa metodologi AHP memberikan hasil lebih baik jika

eigenvektor tidak diambil langsung dari matriks tetapi diambil dari iterasi dari

perkalian matriks pada dirinya sendiri (lihat Tabel di bawah).

II.8. TEKNIK GIS UNTUK ANALISIS PEMETAAN RISIKO

Metodologi Pemetaan Risiko dalam manual ini bergantung pada luas pada

penggunaan teknik-teknik GIS. Dalam proses Peta Indeks Ancaman, Kerentanan,

Kapasitas dan Risiko, antara lain teknik analsisis grid yang digunakan:

8, antara 2 pilihan.

1/ n Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding

dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.

Geologi Kelerenga n Tata Guna

Lalian

Hidro- Total Dinorma

lisasi

Diiterasi

Geologi 10,000 10,000 50,000 30,000 100,000 0,3788 0,3899

Kelerengan 10,000 10,000 50,000 30,000 100,000 0,3788 0,3899

Tata Guna Lalian

0,2000 0,2000 10,000 0,3333 17,333 0,0657 0,0679

Hidrogeolo gi

0,3333 0,3333 30,000 10,000 46,667 0,1768 0,1524

Total 264,000 10,000 10,000

(16)

II‐10  1. Pembuatan grid (dari sumber-sumber vektor)

2. Penggabungan dan pemotongan layer grid

3. Definisi rentang warna digunakan untuk warna grid dan legenda

4. Analisis grid spesifik (grid kemiringan, grid 'jarak obyek', dll.)

5. Grid 'perhitungan'

6. Klasifikasi dan penurunan grid pada kontur dari layer grid

7. Persiapan rangkuman statistik dan histografis

Rincian tentang bagaimana melakukan teknik-teknik ini tergantung pada

perangkat lunak GIS yang digunakan, dan secara rinci dijelaskan dalam manual

dan membantu file yang menyertai perangkat lunak ini. Dalam Tabeldi bawah ini adalah pengantar yang diberikan pada teknik-teknik yang disebutkan di atas.

Teknik Analisis Grid yang Fundamental

1. Membuat Grid

Grid merupakan komponen struktural dasar untuk contouring, pemodelan, dan

menampilkan data spasial. Grid dapat dianggap sebagai tipe data spasial keempat

setelah poligon, garis, dan titik. Sebuah grid terdiri dari sel-sel persegi yang teratur

diatur di atas daerah tertentu. Setiap sel memiliki simpul, yang merupakan titik

pusatnya. Setiap sel dapat diberi angka dan warna mewakili nilai. Jika ada beberapa

sel diantara dua lokasi yang dikenal, seperti dua garis kontur, perubahan warna

menunjukkan bagaimana nilai-nilai berubah diantara lokasi. Ada sejumlah cara

untuk membuat grid:

> Interpolasi: Interpolasi adalah proses estimasi nilai grid menggunakan

pengamatan yang terukur dari file titik. Nilai-nilai baru dihitung dari titik awal

pengamatan bentuk permukaan, grid kontinyu merata spasi bahwa "mengisi celah" antara

titik non-kontinyu. Banyak rumus-rumus matematika dapat diterapkan untuk

mengestimasi atau interpolasi nilai grid dari titik file yang ada. Tidak ada solusi yang

sempurna, dan banyak teknik yang digunakan, di antaranya yang paling umum adalah

Triangulation (TIN), Invers Distance Weighting (IDW), Natural Neighbor (NN atau

(17)

II‐11  jenis data yang diinterpolasi, dan masing-masing menghasilkan gaya yang unik pada

permukaan interpolasi.

> Impor grid dari format lain: Grid dapat tersedia dalam berbagai format. Yang

paling umum digunakan adalah grid ASCII dan DEM. Banyak merk software analisis grid

memiliki format sendiri. Format asli ArcGIS misalnya adalah "ESRI Raster" (*.adf),

MapInfo menggunakan grid MapInfo (*.mig) dan Vertical Mapper menggunakan grid

sendiri (*.grd untuk grid numerik dan *.grc untuk grid terklasifikasi). Kebanyakan

software GIS mendukung konversi paling sedikit beberapa grid yang biasa digunakan.

Sebuah alat GIS yang mendukung konversi berbagai grid adalah Global Mapper.

> Konversi poligon menjadi grid: Dalam banyak kasus informasi spasial yang

digunakan dalam grid tersedia dalam format poligon (seperti banyak informasi yang

tersedia per wilayah administrasi). Konversi antara jenis ini biasanya lurus ke depan.

Tergantung pada jenis informasi yang dikonversi, hasil akhirnya akan menjadi grid

numerik, atau grid kelas. Perhatian harus diambil dengan proyeksi dari mana

konversi dilakukan, ukuran grid yang dipilih, dan untuk grid numerik, jenis grid

yang dipilih (integer atau float).

2. Penggabungan dan pemotongan layer grid

Penggabungan grid sering digunakan ketika beberapa file grid yang mencakup

wilayah studi perlu digabungkan ke dalam grid tunggal, atau bila Anda ingin

membuat grid yang memiliki nilai tertinggi / terendah dari semua grid input. Nilai

kosong yang terkandung dalam salah satu grid diproses diabaikan. Pemotongan grid

secara khusus berguna untuk pemotongan file grid ke neatline peta standar. Margin

luar dari berbagai file grid dapat didefinisikan menggunakan poligon yang telah

ditetapkan.

3. Definisi rentang warna

Penggunaan warna adalah cara yang efektif untuk memberi makna pada

penyimpanan data yang besar. Tampilan data grid dalam aplikasi GIS dicapai

dengan menetapkan rentang nilai warna (atau landai warna), ditetapkan oleh

serangkaian titik infleksi warna, untuk setiap sel grid yang didasarkan pada nilai

numerik atau karakter yang bertugas untuk itu. „Warna landai" yang berbeda harus

(18)

II‐12  kerentanan, peta kapasitas dan peta risiko) untuk menghindari terlalu banyak

pencampuran berbagai peta.

4. Analisis grid spesifik

Analisis spasial tertentu yang spesifik untuk analisis grid, seperti kemiringan, aspek

dan grid jarak. Sebagaimana yang berlaku untuk geometri grid, lereng adalah

pengukuran dari "kecuraman" dari sel grid dalam ruang tiga-dimensi dan oleh

karenanya paling berlaku untuk permukaan ketinggian. Lereng adalah parameter

yang paling penting untuk peta risiko longsor. Dalam aplikasi GIS vektor, Anda

dapat membuat peta daerah sekitar benda pada jarak yang telah ditetapkan. Anda

tidak bisa, bagaimanapun, menentukan jarak dalam wilayah penyangga. Misalnya,

jika jalan raya adalah disangga pada jarak satu kilometer, Anda tidak akan dapat

menentukan jarak yang tepat yang jatuh di kawasan penyangga (misalnya, 750 m

atau 300 m). Dalam raster berbasis nilai dari setiap sel dalam kotak buffer dihitung

sebagai jarak ke objek input terdekat. Sebagai hasilnya, Anda dapat menentukan

jarak yang tepat di wilayah buffer.

5. Perhitungan grid

Perhitungan grid diperlukan untuk melakukan ekspresi matematis pada grid.

Ekspresi matematis ini harus bisa menggabungkan operator matematis dengan fungsi

yang telah ditetapkan. Kemampuan ini diperlukan untuk penyusunan indeks dan

untuk menghitung indeks akhir berdasarkan faktor-faktor bobot. Raster berbasis

software GIS biasanya menyediakan fungsi ini dalam bentuk 'kalkulator grid'.

6. Klasifikasi grid dan penurunan kontur dari layer grid

Klasifikasi dari grid istirahat yang dibutuhkan untuk membantu interpretasi.

Interpretasi sering dibuat dalam bentuk penilaian seperti 'Risiko tinggi', 'risiko

menengah' dan 'risiko rendah'. Dalam kasus ini diinginkan untuk menunjukkan jalan

penuh warna nilai-nilai, kelas-kelas ini juga dapat ditampilkan pada peta dalam

bentuk kontur. Sejak persiapan kontur bisa menjadi sangat memakan waktu dalam

kasus grid sangat tidak teratur, jalan pintas dapat dibuat dengan membuat grid kelas

satu, dan mengkonversikannya ke poligon. Dalam hal yang ujung-ujungnya

(19)

II‐13 

7. Persiapan rangkuman statistik dan historis

Setelah hasil akhir ini telah diturunkan dalam peta grid, akan lebih ilustratif jika

hasil juga bisa ditampilkan dalam bentuk Tabel dan grafik. Oleh karena itu informasi

statistik (nilai maksimum, minimum dan rata-rata) akan diperlukan dari berbagai

grid peta, dibagi per sub-area. Di samping itu informasi mengenai ukuran dari

"risiko tinggi, 'risiko menengah' dan 'risiko rendah' akan sangat berharga (informasi

histogram).

II.9. INDEKS ANCAMAN BENCANA

Indeks Ancaman Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu

kemungkinan terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat

untuk bencana yang terjadi tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun

berdasarkan data dan catatan sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu

daerah. Dalam penyusunan peta risiko bencana, komponen-komponen utama ini

dipetakan dengan menggunakan Perangkat GIS. Pemetaan baru dapat dilaksanakan

setelah seluruh data indikator pada setiap komponen diperoleh dari sumber data

yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas

ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Komponen dan indikator untuk

menghitung Indeks Ancaman Bencana dapat dilihat pada tabel berikut :

(20)

II‐14  Bumi

2. Peta Zonasi Gempa Bumi 2010

1 Lahan terbuka Skor Bahaya=0.3333

*Lahan

Terbuka+0.3333*(1-2 Kemiringan Lereng 33.33%

(21)

II‐15 

1 Frekuensi (sejarah

(22)

II‐16 

Teknologi manufaktur kimia BPPT,

LAPAN,

Kapasitas (40 %) Industri

kecil

Identifikasi Jenis Ancaman (Hazard)

Untuk menentukan jumlah ancaman yang ada pada suatu daerah (Provinsi

dan Kabupaten/Kotagunakan data dari dibi (http://dibi.bnpb.go.id). Sesuai dengan jenis ancaman yang di Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas

PB) terdapat 14 Jenis Bencana. Tidak semua provinsi memiliki semua jenis

bencana tersebut.

Peta bahaya menentukan wilayah dimana peristiwa alam tertentu terjadi

dengan frekuensi dan intensitas tertentu, tergantung pada kerentanan dan kapasitas

daerah tersebut, yang dapat menyebabkan bencana. Untuk sebagian besar bencana,

intensitas tinggi hanya terjadi dengan frekuensi sangat rendah (bencana "kecil"

terjadi lebih sering daripada bencana "besar"). Selanjutnya pada beberapa bahaya

(23)

II‐17  Hazard SNI

Beberapa jenis hazard (peta ancaman) telah dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga

terkait, maka disarankan menggunakan peta ancaman tersebut untuk jenis bencana :

a. Gempabumi (tim 9 revisi gempa)

b. Longsor (ESDM)

c. Gunungapi (PVMBG)

d. Banjir (PU dan Bakosurtanal)

e. Kekeringan (BMKG)

1. Gempabumi

Gunakan field Value untuk melakukan pengkelasan hazard, gunakan nilai berikut:

PGA Value Kelas Nilai Bobot

(%)

Skor

< 0.26 Rendah 1 0.333333

0.26-0.70 Sedang 2 100 0.666667

> 0.70 Tinggi 3 1.000000

Catatan : Nilai di atas digunakan ketika menyusun peta risiko. Untuk layout peta ancaman (hazard) gunakan sesuai dengan nilai asli dari tim 9.

2. Tanah Longsor

Gunakan field kerentanan. Jadikan nilai dari 4 kelas menjadi 3 kelas sesuai dengan

(24)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐18  4. Banjir

Gunakan Field Kelas_Rawan. Hanya terdapat satu jenis kelas yaitu rawan banjir.

Lakukan

overlay kelas rawan banjir tersebut dengan SRTM untuk mendapatkan ketinggian

genangan.

Gunakan kelas skoring dibawah :

Kedalaman (m) Kelas Nilai Bobot

(%)

Gerakan Tanah Sangat Rendah , Rendah Rendah 1 0.333333

Gerakan Tanah Menengah Sedang 2 100 0.666667

Gerakan Tanah Tinggi Tinggi 3 1.000000

 

Kawasan Rawan Bencana (KRB)

Kelas Nilai Bobot

(%)

Gunakan KRB dari PVMBG untuk hazard gunungapi. Kelas KRB sesuaikan dengan peta

Catatan : Cross check kelengkapan peta KRB ke PVMBG, gunakan titik gunungapi untuk mengetahui

(25)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐19  5. Kekeringan

Gunakan field Acm_Kering. Rubah kelas yang ada dari 5 kelas menjadi 3 kelas.

Lakukan skoring sesuai dengan kelas yang ada (tinggi, sedang, rendah)

Zona Ancaman Kelas Nilai Bobot

(%)

Skor

Sangat Rendah, Rendah Rendah 1 0.333333

Sedang Sedang 2 100 0.666667

Tinggi, Sangat Tinggi Tinggi 3 1.000000

Hazard Non SNI

Hazard non SNI merupakan peta ancaman yang belum diperoleh dari K/L terkait.

Zonasi hazard ini harus ditentukan menggunakan metodologi yang telah ditentukan.

Jenis ancaman non SNI meliputi :

a. Tsunami

b. Konflik Sosial

c. Kegagalan teknologi

d. Epidemi dan Wabah Penyakit

e. Kebakaran Gedung dan Permukiman

f. Kebakaran Hutan dan Lahan

g. Cuaca Ekstrim

h. Gelombang Ekstrim dan Abrasi

2.10. Indeks Kerentanan

Peta kerentanan dapat dibagi-bagi ke dalam kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan

ekologi/lingkungan. Kerentanan dapat didefinisikan sebagai Exposure kali Sensitivity.

"Aset-aset" yang terekspos termasuk kehidupan manusia (kerentanan sosial), wilayah

ekonomi, struktur fisik dan wilayah ekologi/lingkungan. Tiap "aset" memiliki sensitivitas

sendiri, yang bervariasi per bencana (dan intensitas bencana). Indikator yang digunakan

dalam analisis kerentanan terutama adalah informasi keterpaparan. Dalam dua kasus

informasi disertakan pada komposisi paparan (seperti kepadatan penduduk, rasio jenis

(26)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐20  hanya ditutupi secara tidak langsung melalui pembagian faktor pembobotan.

Sumber informasi yang digunakan untuk analisis kerentanan terutama berasal dari

laporan BPS (Provinsi/kabupaten Dalam Angka, PODES, Susenan, PPLS dan PDRB) dan

informasi peta dasar dari Bakosurtanal (penggunaan lahan, jaringan jalan dan lokasi

fasilitas umum). Informasi tabular dari BPS idealnya sampai tingkat desa/kelurahan.

Sayangnya tidak ada sumber yang baik tersedia untuk sampai level desa, sehingga

akhirnya informasi desa dirangkum pada level kecamatan sebelum dapat disajikan dalam

peta tematik. Untuk peta batas administrasi sebaiknya menggunakan peta terbaru yang

dikeluarkan oleh BPS. Gambar dengan komposisi indikator kerentanan ditunjukkan

berikut ini:

Indeks Penduduk Terpapar

Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di

kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator

kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena

bencana. Indeks ini baru bisa diperoleh setelah Peta Ancaman untuk setiap bencana

selesai disusun.Data yang diperoleh untuk komponen sosial budaya kemudian dibagi

dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari nilai indeks dalam

bentuk kelas (rendah, sedang atau tinggi), komponen ini juga menghasilkan jumlah jiwa

penduduk yang terpapar ancaman bencana pada suatu daerah.

Kerentanan Sosial

Indikator yang digunakan untuk kerentanan sosial adalah kepadatan penduduk, rasio

jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Indeks

kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (60%), kelompok

rentan (40%) yang terdiri dari rasio jenis kelamin (10%), rasio kemiskinan (10%), rasio

orang cacat (10%) dan kelompok umur (10%).

Sesuai dengan indeks parameter dan bobot dalam Peraturan Kepala BNPB No. 02

Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, pada Kerentanan Sosial

ada 5 parameter, Namun penentuan parameter Kerentanan Sosial disini menyesuaikan

dengan keberadaan data yang dimiliki, yaitu parameter Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis

Kelamin dan Rasio Kemiskinan. Sehingga bobot dari parameter menyesuaikan seperti

(27)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐21 

Parameter Bobot (%) Kelas Skor

Rendah Sedang Tinggi

Kepadatan

Indeks Kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan.

Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator berbeda Tergantung

pada jenis ancaman bencana. Sama halnya dengan Indeks Penduduk Terpapar, Indeks

Kerugian baru dapat diperoleh setelah Peta Ancaman untuk setiap bencana telah selesai

disusun.

Data yang diperoleh untuk seluruh komponen kemudian dibagi dalam 3 kelas

ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari ditentukannya kelas indeks,

penghitungan komponen-komponen ini juga akan menghasilkan potensi kerugian daerah

dalam satuan rupiah.

Kerentanan Ekonomi

Parameter Bobot (%) Kelas Skor

Rendah Sedang Tinggi

Lahan

(28)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐22  Kerentanan Fisik

Parameter Bobot (%) Kelas Skor

Rendah Sedang Tinggi

Rumah 40 < 400 juta 400-800 juta >800 juta

Rendah Sedang Tinggi

Hutan

Indeks Kapasitas dihitung berdasarkan indikator dalam Hyogo Framework for Actions (Kerangka Aksi Hyogo-HFA). HFA yang disepakati oleh lebih dari 160 negara di dunia terdiri dari 5 Prioritas program pengurangan risiko bencana. Pencapaian

prioritas-prioritas pengurangan risiko bencana ini diukur dengan 22 indikator pencapaian.

2.11. Indikator HFA

Prioritas program pengurangan risiko bencana HFA dan indikator pencapaiannya

adalah :

1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas

nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk

(29)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐23  a. Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan risiko

bencana

telah ada dengan tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang

pemerintahan

b. Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan

pengurangan

risiko bencana di semua tingkat pemerintahan

c. Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian

kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal

d. Berfungsinya forum/jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko

bencana

2. Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan

kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah; dengan

indikator :

a. Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data

bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor

utama daerah

b. Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip

dan

menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan

utama

c. Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala

besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat

d. Kajian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko-Risiko Lintas

Batas Guna Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk

Pengurangan Risiko

3. Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk

membangun ketahanan dan budaya aman dari bencana di semua tingkat;

dengan indikator :

a. Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat

diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan

(melalui jejaring, pengembangansistem untuk berbagi informasi,

(30)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐24  b. Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan

mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai

pengurangan risiko bencana dan pemulihan

c. Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta

analisis manfaat biaya (cost benefit analysist) yang selalu

dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset

d. Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh

komunitas dalam

melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu

menjangkau masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun

pedesaan.

4. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar; dengan indikator :

a. Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari

kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan

dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya

alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim

b. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial

dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling

berisiko terkena dampak bahaya

c. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang

ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi

kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi

d. Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat

unsur-unsur

pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin

mendirikan

bangunan untuk keselamatan dan kesehatan umum (enforcement of

building codes)

e. Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam

proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana

f. Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak

(31)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐25  infrastruktur.

5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di

semua tingkat, dengan indikator :

a. Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme

penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan

risiko bencana dalam pelaksanaannya

b. Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang

siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk

menguji dan mengembangkan program-program tanggap darurat

bencana

c. Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme

antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang

efektif dan pemulihan pasca bencana

d. Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca

bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa

tanggap darurat

Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian ketahanan daerah maka kita dapat

membagi tingkat ketahanan tersebut kedalam 5 tingkatan, yaitu :

Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya

pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam

rencana-rencana atau kebijakan.

Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko

bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disesbabkan

belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.

Level 3 Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas tekait pengurangan

risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis,

namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum

menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak negatif dari

bencana.

Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam

pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang

(32)

Paparan Antara Analisis Rencana Bencana Kabupaten Sleman 2014 

II‐26  ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di

daerah tersebut.

Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas

yang memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.

2.12. Metode Penghitungan Indeks Kapasitas

Indeks Kapasitas diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu waktu.

Tingkat Ketahanan Daerah bernilai sama untuk seluruh kawasan pada suatu

kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah kajian kapasitas ini. Oleh

karenanya penghitungan Tingkat Ketahanan Daerah dapat dilakukan bersamaan dengan

penyusunan Peta Ancaman Bencana pada daerah yang sama. Untuk perhitungan Indeks

Kapasitas dapat diunduh di www.bnpb.go.id.

Indeks Kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi terfokus kepada beberapa

pelaku penanggulangan bencana pada suatu daerah. Panduan diskusi dan alat bantu untuk

memperoleh Tingkat Ketahanan Daerah terlampir. Berdasarkan Tingkat Ketahanan

Daerah yang diperoleh dari diskusi terfokus, diperoleh Indeks Kapasitas. Hubungan

(33)

 

27  Indikator yang digunakan untuk peta kapasitas adalah indicator HFA yang terdiri dari:

a) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana; b) peringatan dini dan kajian risiko

bencana; c) pendidikan kebencanaan; d) pengurangan factor risiko dasar; dan e)

pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Parameter konversi Indeks dan persamaan

ditunjukkan pada di bawah ini.

2.13. PENGKAJIAN RISIKO BENCANA

Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan memetakan Tingkat Ancaman,

Tingkat Kerentanan dan Tingkat Kapasitas berdasarkan Indeks Kerugian, Indeks Penduduk

Terpapar, Indeks Ancaman dan Indeks Kapasitas. Metodologi untuk menterjemahkan

berbagai indeks tersebut ke dalam peta dan kajian diharapkan dapat menghasilkan tingkat

risiko untuk setiap ancaman bencana yang ada pada suatu daerah. Tingkat risiko bencana ini

menjadi landasan utama untuk menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah.

Peta Risiko Bencana disusun dengan melakukan overlay Peta Ancaman, Peta Kerentanan dan Peta Kapasitas. Peta Risiko Bencana disusun untuk tiap-tiap bencana yang mengancam suatu

(34)

 

28  Analisa Risiko Bencana yang didasarkan pada Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun

2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana merupakan sebuah acuan awal

untuk membangun dasar yang kuat dalam proses perencanaan penyelenggaraan

penanggulangan bencana. Sebagai acuan awal, pedoman ini perlu diperjelas dalam sebuah

panduan teknis untuk pengkajian setiap bencana yang ada di Indonesia. Panduan teknis

tersebut sebaiknya disusun dengan mempertimbangkan kemampuan pemerintah daerah untuk

melaksanakan pengkajian secara mandiri.

Bagi pengguna pedoman ini, sebaiknya membangun tim kerja yang memiliki kapasitas

teknis dibidang GIS yang memadai, dan memiliki pemahaman dalam sistem penanggulangan

bencana nasional. BNPB dapat memberikan bantuan asistensi terkait peta risiko bencana

yang disusun. Oleh karena itu proses asistensi menjadi penting untuk menjamin tercapainya

kualitas hasil kajian yang memadai. Diharapkan dengan hasil kajian yang berkualitas,

kebijakan yang disusun untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu kawasan

(35)

III-1

III.1. Gambaran Umum Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman terbentang mulai 110o 13’ 00” sampai dengan 110o 33’ 00” Bujur Timur, dan mulai 7o 34’ 51” sampai dengan 7o 47’ 03” Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 100 – 2.500 meter di atas permukaan air laut. Jarak terjauh Utara-Selatan kira-kira 32 km, Timur – Barat kira-kira 35 km, terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, dan 1.212 dusun.

• Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah, • Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, • Bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta,

Propinsi D.I.Yogyakarta

• Bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I. Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah.

Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedang bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa ladang dan pekarangan, serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua buah bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian dari Kawasan Wisata Kaliurang. Beberapa sungai yang mengalir melalui Kabupaten Sleman menuju Pantai Selatan antara lain Sungai Progo, Krasak, Sempor, Nyoho, Kuning, dan Boyong. Berdasarkan pantauan Kanwil Perhubungan, hari hujan terbanyak dalam satu bulan adalah 27 hari. Rata-rata curah hujan tertinggi 22,8 mm. Kecepatan angin maksimum 24,00 knots dan minimum 0,00 knots, sementara rata-rata kelembaban nisbi udara tertinggi 86,0 % dan terendah 73,0 %. Temperatur udara, tertinggi 27,5 0C dan terendah 25,5 0 C.

III.1.1. KONDISI GEOMORFOLOGI

(36)

III-2 10 (sepuluh) satuan geomorfologi. Ada beberapa satuan geomorfologi yaitu : Satuan Puncak Gunungapi Merapi, Satuan Tubuh Gunungapi Merapi, Satuan Kaki Gunungapi Merapi, Satuan Dataran, Satuan Perbukitan Melandai sampai Terjal, Satuan Gumuk Pasir, Satuan Pegunungan Baturagung, Satuan Pegunungan Seribu, Satuan Dataran Tinggi Wonosari, dan Satuan Panggung Masif.

Sleman merupakan bagian dari Satuan Morfologi Kaki Gunungapi Tengah Merapi. Pada umumnya kondisi daerah relatif sama, dengan kemiringan lereng yang relatif seragam dari utara sampai ke selatan yaitu berkisar 8%, dengan ketinggian antara 162,5 – 337,5 meter di atas permukaan air laut. Beda tinggi antara daerah terendah adalah 175 m, sehinga hanya ada satu pengelompokan morfologi di daerah penelitian yaitu topografi miring landai. Sedangkan Kota Yogyakarta hanya memiliki satuan geomorfologi berupa dataran fluvio-vulkanik yang merupakan hasil proses pengendapan material-material vulkanik yang berasal dari gunungapi Merapi.

Daerah penelitian secara geomorfologi dapat dibedakan menjadi 7 (tujuh) satuan geomorfologi, sebagai berikut :

A. Satuan Kerucut Gunungapi

Satuan Kerucut Gunungapi terletak diatas ketinggian 900 meter dari permukaan laut dan mempunyai kelerengan lebih dari 57%. Daerah ini mempunyai jumlah kepadatan penduduk yang sangat rendah hingga tidak ada. Di daerah puncak hampir tidak dijumpai sungai dan juga jarang sekali ditemui mata air.

(37)

Sleman

Jl. Candi Boko 1, Tridadi, Sleman, 55511, Telp. 0274 868504

PETA GEOMORFOLOGI

KABUPATEN SLEMAN

0 1.25 2.5 5 7.5 10 Kilometers

µ

Proyeksi : Universal Transverse Mercator/Lat Long Datum WGS 84/UTM Zone 49S Sistem Grid : Geografis/UTM

Magelang

- Peta Rupa Bumi Indonesia, Skala 1:25.000 - Peta Dasar Kabupaten Sleman, BPBD Kab. Sleman

(38)

III-4 B. Satuan Tubuh Gunungapi

Satuan Tubuh Gunungapi berada pada ketinggian 750 - 900 meter dari permukaan laut dan mempunyai kelerengan antara 20% - 30%. Daerah ini mempunyai jumlah penduduk yang sangat sedikit, dengan wilayah permukiman yang sedikit pula. Di daerah ini banyak dijumpai mata air dan banyak dijumpai adanya sumur-sumur dangkal.

C. Satuan Lereng Gunungapi

Satuan Lereng Gunungapi terletak pada ketinggian 475 – 700 meter diatas permukaan laut dan mempunyai kelerengan sekitar 10% - 20%. Daerah ini mempunyai kepadatan penduduk yang sedang.

D. Satuan Dataran Fluvio Vulkanik

Satuan Dataran Fluvio Vulkanik ini pelamparannya paling luas diantara satuan yang lain. Satuan ini terletak pada ketinggian dibawah 475 meter di atas permukaan laut dan mempunyai kelerengan yang sebagian besar datar. Daerah ini empunyai kepadatan penduduk yang cukup tinggi.

E. Satuan Perbukitan Struktural Vulkanik Tua

Satuan ini melampar di bagian selatan-timur di daerah prambanan dan sekitarnya dengan pelamparan yang sedikit. Satuan ini berada pada ketinggian 100 – 300 meter diatas permukaan laut dan mempunyai kelerengan antara 10% - 20%. Daerah ini memepunyai kepadatan penduduk yang sedang.

F. Satuan Bukit Terisolasi

Satuan ini pelamparan sangat sedikit dan terletak di daerah Godean dan sekitarnya. Satuan ini terletak pada ketinggian 50 – 200 meter diatas permukaan laut dan mepunyai kelerengan 10% - 20%.

G. Batuan Struktural Batugamping

Satuan ini pelamparannya sedikit di bagian selatan Kabupaten Sleman dengan ketinggian antara 50 – 150 meter. Daerah ini mempunyai nilai keperengan 10% - 20%.

III.1.2. KONDISI GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Wilayah Sleman tersusun atas berbagai macam batuan yang sebagian besar merupakan hasil rombakan gunungapi yang melingkupi sebagian besar wilayah utara

(39)

III-5 batuan beku mikrodiorit, batupasir, batulempung dan konglomerat yang menyusun kelompok Perbukitan Godean. Berdasarkan satuan formasi, litologi yang menyusun daerah Sleman dari muda ke tua adalah sebagai berikut :

1. Endapan Gunungapi Merapi Muda

Formasi ini Berumur Pleistosen Atas, tersusun atas material hasil rombakan endapan Merapi Tua berupa endapan tuf, pasir, dan breksi yang terkonsolidasi lemah.

2. Endapan Gunungapi Merapi Tua

Formasi ini berumur Pleistosen Atas, terdiri atas breksi, aglomerat, lava, andesit dan basal.

3. Formasi Sentolo

Menurut Wartono Rahardjo, dkk (1995), formasi ini pada bagian bawah terdiri atas konglomerat alas yang ditumpangi oleh napal tufan dengan sisipan tuf. Batuan ini berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis bagus yang kaya akan Foraminifera.

4. Formasi Nglanggran

Formasi ini dicirikan oleh penyusun utama terdiri atas breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Umur dari Formasi ini diperkirakan Miosen Tengah

5. Formasi Semilir

Formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai selaan breksi. Umur dari Formasi ini diperkirakan Miosen Bawah.

6. Formasi Kebobutak

Formasi ini tersusun oleh Breksi andesit, tuf, tuf lapili, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit.

7. Formasi Nanggulan

Formasi ini tersusun oleh Batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran, batulempung dengan kongkresi limonit, sisipan napal, dan batugamping, batupasir dan tuf.

8. Andesit

(40)

Sleman

Jl. Candi Boko 1, Tridadi, Sleman, 55511, Telp. 0274 868504

PETA GEOLOGI

KABUPATEN SLEMAN

0 1.25 2.5 5 7.5 10 Kilometers

µ

Proyeksi : Universal Transverse Mercator/Lat Long Datum WGS 84/UTM Zone 49S Sistem Grid : Geografis/UTM

Magelang

- Peta Rupa Bumi Indonesia, Skala 1:25.000 - Peta Dasar Kabupaten Sleman, BPBD Kab. Sleman - Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Skala 1:100.000, 1995 - Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Skala 1:100.000,1992

Keterangan :

(41)

III-7 9. Mikrodiorit

Bahan galian yang dijumpai di formasi ini berupa lempung dan tanah urug. Sebarannya meliputi wilayah Kecamatan Godean.

III.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan Daerah Penelitian

Hampir setengah dari luas wilayah penyelidikan merupakan tanah pertanian yang subur dengan didukung irigasi teknis di bagian barat dan selatan. Keadaan penggunaan tanahnya dibedakan atas sawah, tegal, pekarangan, hutan dan lain-lain. Selain dimanfaatkan sebagai tanah pertanian, juga dimanfaatkan sebagai tegalan. Daerah tegalan terutama berkembang pada daerah dengan kondisi kelerengan yang sedang sampai curam, seperti pada daerah tinggian yang ada di sebelah timur daerah penyelidikan.

(42)

Sleman

Jl. Candi Boko 1, Tridadi, Sleman, 55511, Telp. 0274 868504

PETA PENGGUNAAN LAHAN

KABUPATEN SLEMAN

0 1.25 2.5 5 7.5 10 Kilometers

µ

Proyeksi : Universal Transverse Mercator/Lat Long Datum WGS 84/UTM Zone 49S Sistem Grid : Geografis/UTM

Magelang

- Peta Rupa Bumi Indonesia, Skala 1:25.000 - Peta Dasar Kabupaten Sleman, BPBD Kab. Sleman

(43)

IV-1

 

 

 

 

Penganalisisan Data yang dilakukan dalam tahapan ini mengacu dan berdasarkan atas

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomer 02 Tahun

2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Adapun parameter-parameter

yang digunakan dalam tahapan analisa disini, tidak mutlak dipergunakan semua secara

ideal, oleh karena adanya keterbatasan data dasar untuk penganalisaannya, sehingga

untuk menjembataninya digunakan asumsi-asumsi sehingga kesempurnaan anasilis tetap

baik.

Pengkajian Risiko Bencana disusun berdasarkan indeks-indeks yang telah ditentukan.

Indeks tersebut terdiri dari Indeks Ancaman, Indeks Kerentanan (Indeks Penduduk

Terkapar, Indeks Kerugian), dan Indeks Kapasitas. Kecuali Indeks Kapasitas,

indeks-indeks yang lain amat bergantung pada jenis ancaman bencana. Indeks Kapasitas

dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Peta Risiko Bencana harus disusun

untuk setiap jenis ancaman bencana yang ada pada daerah kajian.

Analisis Ancaman

Indeks Ancaman Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan

terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang

terjadi tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan

sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah.

Peta bahaya menentukan wilayah dimana peristiwa alam tertentu dengan frekuensi dan

intensitas tertentu, tergantung pada kerentanan dan kapasitas daerah tersebut, yang dapat

menyebabkan bencana. Untuk sebagian besar bencana, intensitas tinggi hanya terjadi

dengan frekuensi sangat rendah (bencana “kecil” terjadi lebih sering daripada bencana

“besar”). Selanjutnya pada beberapa bahaya setempat dan lain-lain hampir merata.

Berdasarkan hasil kaiian, potensi bencana yang mengancam Kabupaten Sleman dapat

digolongkan pada tiga kategori, yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana

sosial. Jenis bencana tersebut meliputi, antara lain:

1.

Erupsi Gunung Merapi

2. Aliran/Banjir

Lahar

(44)

IV-2

4. Gerakan

Tanah

5.

Angin Puting Beliung

6. Kebakaran

7. Kekeringan

IV.1. Erupsi Gunung Merapi

Erupsi gunungapi pada dasarnya merupakan proses keluarnya magma atau gas dari dalam

bumi ke permukaan berupa letusan (eksplosif) yang menghasilkan bahan lepas berbagai

ukuran atau leleran (efusif) yang menghasilkan lava/leleran batu pijar.

Sebelum terjadi letusan, tekanan magma menyebabkan macam-macam gejala yang kasat

mata seperti perubahan warna dan ketebalan asap. Dan gejala yang hanya dapat diamati

menggunakan peralatan. Misalnya gejala gempa-gempa vulkanik dengan seismograf.

Gejala pembesaran atau pemekaran tubuh gunung (deformasi) dengan pengukur jarak

elektronik. Serta adanya perubahan kandungan gas, peningkatan suhu, dan pelebaran

rekahan-rekahan di puncak gunung.

Erupsi yang terjadi berupa rangkaian proses fisika dan kimia yang sangat kompleks di

dalam sistem yang mempunyai tekanan dan suhu tinggi. Magma yang mempunyai massa

jenis lebih ringan dibanding dengan batuan di sekitarnya, terdorong oleh gaya apungan ke

atas, sehingga menimbulkan retakan-retakan sebagai jalan keluarnya (migrasi).

Erupsi vulkanik mencakup proses yang terjadi dalam kantong magma dan proses aliran

magma ke permukaan bumi. Proses erupsi vulkanik merupakan proses aliran fluida kental

dari kantong magma ke permukaan bumi. Aliran ini terjadi karena tekanan kantong

magma menjadi lebih besar dari batuan sekitarnya sebagai akibat tertutupnya saluran

magma. Manifestasi tipe erupsi gunungapi berbeda-beda antara gunungapi satu dan

lainnya. Gunungapi dapat memiliki karakter letusan eksplosif dan efusif. Hal ini

tergantung dari sifat fisik material magma dan sistem vulkanis gunungapi yang

bersangkutan.

(45)

IV-3

gunungapi. Secara umum, bahaya letusan gunungapi dibedakan menjadi tiga yaitu

Bahaya Primer, Bahaya Sekunder, dan Bahaya Tersier.

Bahaya Primer

Merupakan jenis ancaman bahaya yang berasal langsung dari sumber letusan,

antara lain aliran lava, aliran piroklastik, jatuhan piroklastik (tephra), abu vulkanik dan

gas vulkanik.

1. Aliran lava

Pada gunungapi dengan magma tipe basaltik-andesitik (kekentalan sedang) sering terjadi

aliran lava dengan kecepatan 3–5 km per hari dengan suhu antara 600 sampai 1000

o

C.

2. Guguran lava pijar

Guguran lava pijar dapat terbentuk akibat guguran atau runtuhan kubah lava baru atau

tumpukan material lama yang masih panas di puncak. Guguran lava pijar bersifat

membakar dan merusak lingkungan yang terlanda.

3. Awan panas (Pyroclastic Flow)

Awan panas bersifat paling merusak daripada jenis bahaya yang lain. Awan panas adalah

aliran massa panas ( 300 – 600 derajat celcius) berupa campuran gas dan material

gunungapi yang terdiri dari berbagai ukuran bergumpal bergerak turun secara turbulen

dengan kecepatan sampai 70-100 km/jam.

4. Lontaran material vulkanik (batu, kerikil dsb)

Pada saat terjadi letusan explosif, terjadi lontaran rempah batuan ke udara kemudian

menyebar hingga dapat mencapai radius beberapa kilometer berukuran 2 mm hingga

beberapa meter.

5. Hujan abu

Hujan abu adalah jatuhan material vulkanik yang berukuran sangat halus (beberapa mm)

sampai kasar (2 cm). Hujan abu merusak bila terjadi dalam volume yang besar dan dapat

meningkatkan keasaman air yang berakibat buruk pada kesehatan.

6. Longsoran gunungapi

(46)

IV-4

7. Tsunami

Tsunami adalah gelombang laut besar yang melanda daerah pantai yang dapat disebabkan

oleh letusan gunungapi yang terjadi di laut atau material letusannya mengarah ke laut

dengan volume besar. Tsunami dapat juga disebabkan oleh gempa di tengah laut.

Tsunami akibat letusan Krakatau 1883 adalah contoh yang paling merusak sepanjang

sejarah letusan gunungapi. Tsunami ini melanda pantai bagian barat Jawa dan selatan

Sumatera.

Bahaya Sekunder

Bahaya sekunder merupakan jenis ancaman bahaya vulkanik sesudah terjadi

letusan. Yang termasuk jenis bahaya sekunder adalah lahar hujan dan kekeringan akibat

letusan, krisis air bersih akibat letusan. Lahar hujan terjadi bila endapan material vulkanik

di puncak atau lereng terkena hujan lebat. Dengan demikian lahar adalah lumpur

campuran air hujan, material vulkanik bergerak menuruni lereng dan lembah.

Bahaya Tersier

Bahaya tersier adalah jenis bahaya yang tidak terkait langsung dengan proses

letusan, tetapi akibat dari salah kelola dalam eksploitasi sumber daya di sekitar

gunungapi. Misalnya penambangan pasir dan batu, kerusakan hutan dsb. Kerusakan

lingkungan akibat akibat aktivitas penambangan pasir dan batu dan kerusakan hutan akan

cenderung memperluas area landaan awan panas yang akan terjadi atau dengan kata lain

akan cenderung memperluas daerah ancaman bahaya. Karena topografi yang tidak rata,

adanya bukit-bukit dan lembah serta keberadaan pepohonan di hutan, merupakan

penghambat alami luncuran awan panas.

Ancaman bahaya tersier ini, dari waktu ke waktu semakin besar Risikonya. Hal

terjadi karena kerusakan lingkungan di sekitar gunungapi semakin intensif, sementara

masyarakat sangat tergantung pada sumberdaya di lingkungan gunungapi, terutama

fungsinya sebagai daerah resapan air. Oleh sebab itu pelestarian lingkungan di sekitar

gunungapi merupakan salah satu upaya penurunan Risiko bencana.

Gunung Merapi

merupakan salah satu gunungaktif di Indonesia yang bertipe

strato dengan frekuensi erupsi antara 2-7 tahun. Gunung Merapi terletak di Jawa Tengah,

tepatnya di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

(47)

IV-5

rendah dibanding batuan sekitarnya, leburan material ini mendesak naik ke permukaan

bumi sebagai magma. Batuan G. Merapi tergolong andesit-basaltik. Komposisi

berdasarkan kandungan silika ini sangat terkait dengan sifat fisis dan rheologi dari

magma itu sendiri dan berpengaruh pada proses transportasinya ke permukaan. Mengenai

kandungan volatilenya, magma G. Merapi termasuk dalam magma dengan kandungan

volatile rendah. Karena itulah kebanyakan erupsi G. Merapi tidak explosif.

Aktivitas Gunung Merapi dicirikan oleh pertumbuhan kubah lava. Pertumbuhan

kubah secara terus menerus menyebabkan tinggi kubah melampaui tinggi dindingnya.

Pada saat terjadi ketidakseimbangan antara tinggi kubah dan volume kubah

mengakibatkan terjadinya longsor. Longsornya kubah lava dalam volume yang besar

didukung oleh keadaan kemiringan lereng Gunung Merapi yang terjal menyebabkan

terjadinya awanpanas yang meluncur dengan kecepatan tinggi (~100 km/jam) dalam

radius yang cukup jauh.

Salah satu keunikan Gunung Merapi adalah memiliki penduduk yang tinggal di

kawasan rawan bencana (KRB) III di semua sektor. Dusun yang paling dekat berada pada

jarak 3,5 km dari Puncak Merapi. Umumnya penduduk memiliki mata pencaharian

sebagai petani dan peternak sehingga bahaya gunungapi ini tidak hanya berbahaya

terhadap penduduk tetapi juga pada lahan pertanian dan ternak. Erupsi Gunung Merapi

tahun 1994 telah menyebabkan 66 korban jiwa manusia yang terkena luncuran

awanpanas di sektor selatan (K. Boyong). Peta kawasan rawan bencana disajikan pada

Gambar 4.4

.

Tabel 4.1. Indeks Ancaman Erupsi G. Merapi

Kawasan Rawan Bencana Kelas Nilai Bobot (%) Skor

KRB II Sedang 2

100

0.666667

KRB III Tinggi 3 1.000000

IV.2. Aliran/Banjir Lahar (Lahar Hujan)

(48)

IV-6

Penyebab Terjadinya Aliran Lahar hujan sbb:

a). Material ; berupa bebatuan dengan berbagai ukuran dan batang-batang kayu dilembah

atau lereng gunung sebagai material dasar bahan rombakan.

b). Air ; sebagai media pengangkut, berasal dari air hujan dengan intensitas

sedang-tinggi dengan durasi yang cukup.

c). Kemiringan ; merupakan kemiringan dasar sungai atau lembah yang curam sebagai

media gravitasi.

Fenomena Terjadinya Aliran Lahar hujan sbb:

a). Runtuhan Tebing ; tebing gunung runtuh akibat hujan dengan intensitas tinggi dan

durasi yang cukup sehingga mengakibatkan material lepas, hasil runtuhan tersebut

bercampur air mengalir menuruni lereng dan lembah sebagai aliran lahar hujan.

Gambar 4.1. Ilustrasi Runtuhan Tebing

b). Runtuhan Pembendung Alam ; bendung alam yang terbentuk oleh timbunan

material lepas dari runtuhan tebing atau lereng, runtuh akibat limpasan (overflow)

atau rembesan (piping) meluncur melalui lembah atau alur yang ada sebagai aliran

lahar hujan.

(49)

IV-7

Gambar 4.2. Ilustrasi Peluruhan Lahar hujan

Aliran Lahar hujan mempunyai karakteristik sbb:

a).

Endapan lahar hujan dilembah atau dilereng gunung bercampur dengan air hujan

dalam volume yang cukup besar sehingga mampu mengalir menuruni lembah atau

mengikuti alur-alur sungai digunung sebagai aliran lahar hujan.

b).

Aliran Lahar hujan mengalir dengan kecepatan yang cukup tinggi (10-20

m/detik), bergerak karena gaya gravitasi.

c).

Aliran Lahar hujan mengangkut bahan rombakan baik berupa bebatuan dengan

berbagai ukuran maupun batang-batang kayu.

d).

Aliran Lahar hujan dibagian depan disebut kepala aliran (head) dan dibagian

belakang disebut ekor aliran (tail).

e).

Kepala aliran umumnya terdiri dari bebatuan berukuran besar dan kadang-kadang

disertai batang-batang kayu, sehingga mempunyai daya rusak yang tinggi.

f).

Aliran Lahar hujan terjadi secara mendadak, sulit diperkirakan sebelumnya dan

kejadiannya tanpa adanya tanda-tanda awal, sehingga sulit memberikan informasi

peringatan sedini mungkin pada masyarakat untuk menghindar.

(50)
(51)
(52)

IV-10

Bencana yang disebabkan oleh aktivitas Gunung Merapi diklasifikasikan ke

dalam 2 (dua) bagian yaitu bencana primer (primary disaster) yang merupakan akibat

langsung dari letusan gunungapi seperti jatuhan abu, batu – batu kecil hingga besar,

aliran piroklastik, aliran lava, aliran lumpur dan runtuhan gunung, sedangkan bencana

sekunder (secondary disaster) merupakan akibat tidak langsung dari letusan gunungapi

seperti aliran lahar hujan, runtuhan lereng gunung (lahar). Pada Peta KRB Gunung

Merapi,

wilayah yang berpotensi terkena bahaya sekunder lahar hujan terdapat pada

wilayah KRB I

. Wilayah-wilayah di Kabupaten Sleman yang berpotensi terkena bahaya

lahar hujan dapat dilihat pada

Gambar 4.4

.

Tabel 4.2. Indeks Lahar Hujan G. Merapi

Kawasan Rawan Bencana Kelas Nilai Bobot (%) Skor

KRB I (sebagai Ancaman Bahaya Lahar Hujan)

Tinggi 3 100 1.000000

IV.3. Gempa bumi

Proses Kejadian

Secara definisi Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi yang disebabkan

oleh adanya penyebaran energi dalam bentuk gelombang pada lapisan kerak bumi. Jika

lapisan kerak bumi ada akumulasi gaya, pada saat lapisan kerak bumi ini tidak kuat

menahan akumulasi energi tadi akan patah secara tiba tiba yang kita sebut gempabumi.

Peristiwa patahnya kerakbumi ini mengeluarkan energi yang dominan dalam bentuk

gelombang yang disebut gelombang seismik dan menimbulkan goncangan di permukaan,

seperti ditunjukkan pada

Gambar 4.5

.

Gambar

Gambar 3.1. Kondisi morfologi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
Gambar 4.4.b. Peta Ancaman Lahar Hujan Gunung Merapi
Gambar 4.5. Ilustrasi proses terjadi gempa bumi (sumber : Microsoft Encarta)
Gambar 4.7. Peta kawasan rawan bencana Gempa Kabupaten Sleman
+7

Referensi

Dokumen terkait

JADWAL PERWALIAN JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA SEMESTER GANJIL 2016-2017 STMIK

Dari hasil penelitian tentang desain sistem pembelajaran yang dirancang efektif, efisien, dan berkualitas pada mata kuliah Psikologi Perkembangan Peserta Didik

Pemberdayaan pegawai adalah usaha-usaha atau upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran atas potensi yang dimiliki oleh

Kegiatan pengembangan Hotel dan Resort di tahun 2009 difokuskan pada pembangunan Pullman Bali Legian Nirwana yang ditargetkan untuk dapat beroperasi pada pertengahan

Metode : Penelitian ini merupakan studi analisa observasional dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk menganalisa korelasi atau hubungan antara derajat

Berdasarkan diagram jaringan kerja kegiatan verifikasi koleksi buku yang dilakukan di perpustakaan SMA Negeri 2 Medan yang memuat waktu kejadian paling cepat

Berdasarkan hasil analisis data dari penelitian tindakan kelas yang sudah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1) Terdapat peningkatan kemampuan

TAKWIM AKTIVITI.