Universitas Islam Indonesia Email: [email protected]
ABSTRAK
Manusia harus menghadapi masalah dalam hidup mereka, salah satunya terjadi pada saat usia mereka. Masalah pada lansia sering menjadi stres terutama ketika berhadapan dengan anak-anak bermasalah mereka, baik itu tentang kenakalan remaja atau perasaan kesendirian sebagai anak-anak mereka meninggalkan mereka untuk memulai kehidupan mereka sendiri. Stres adalah respon yang ditunjukkan oleh individu ketika mengancam atau ditekan oleh kondisi atau lingkungan. Anak-anak yang mulai meninggalkan keluarga membawa perasaan 'kekosongan' pada lansia karena mereka digunakan untuk mendapatkan begitu banyak kesenangan dari anak-anak mereka sampai mereka akhirnya meninggalkan. Kondisi ini disebut sering disebut sindrom kekosongan. sindrom Kekosongan mengacu pada perasaan sedih kesepian atau dalam pada saat anak-anak memulai kehidupan baru mereka. Hal ini telah berdampak pada kesehatan; karenanya, diasumsikan bahwa sindrom kekosongan dapat menyebabkan stres dan depresi. Hal ini karena individu berusia beradaptasi dengan kondisi ketidakseimbangan ketika ditinggalkan oleh anak-anak mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci tentang latar belakang dan karakter khusus dari sindrom ini dari kasus-kasus tertentu, dari yang beberapa kesimpulan umum akan ditarik. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan hasil maksimal dari pemahaman. Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus intrinsik, yaitu, beberapa kasus yang menarik yang diambil untuk diletakkan di bawah pengawasan. Subyek penelitian ini adalah orang tua yang hidup terpisah dari anak-anak mereka atau orang yang dicintai. Mereka semua tinggal di Sawah Lor, RT 02 dan RT 03, Desa Kemranggen. Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia merasakan sendiri, beberapa di antaranya bahkan menjadi stres. Untuk mengurangi perasaan ini kesendirian, disarankan bahwa orang tua bergabung dengan beberapa kegiatan di waktu luang mereka
Kata Kunci: Emptynest syndrom, masalah, orang tua, anak, kemranggen,
ABSTRACT
Human beings must face problems in their life time, one of which takes place at the time they age. Problems in elderly often become stressful especially when faced with their problematic children, be it about juvenile delinquency or the feeling of solitude as their children leave them to start their own life. Stress is a response exhibited by individuals when threaten or pressured by a condition or environment. Children who start leaving family bring about the feeling of ‘emptiness’ on elderly as they used to gain so much pleasure from their children until they are finally left. The so-called condition is often called emptiness syndrome. Emptiness syndrome refers to a feeling of lonely or deep sadness at the time the children start their new life. It has impacted on health; hence, it is assumed that emptiness syndrome may lead to stres and depression. This is because aged individuals adapt to the imbalance condition when left by their children. This study was aimed at explaining in detail about the background and special characters of this syndrome from certain cases, from which some general conclusions will be drawn. Qualitative approach was used to gain the most out of comprehension. This research was done with intrinsic case study, that is, some interesting cases were taken to be put under scrutiny. The subjects of this research were parents who live apart from their children or loved ones. They all live in Sawah Lor, RT 02 and RT 03, Kemranggen village. The findings showed that most elderly feel alone, some of which even become stressful. To reduce this feeling of solitude, it is advised that elderly join some activities in their spare time
Keyword: Emptynest syndrom, problem, parent, child, kemranggen
EMPTYNEST SYNDROME PADA ORANG TUA DI DUSUN SAWAH LOR, KEMRANGGEN
PENDAHULUAN
Pada kehidupan yang dijalani manusia pasti terdapat beberapa permasalahan yang
dialami. Salah satunya yaitu saat mengalami tahapan sebagai orang tua. Terdapat beberapa
permasalahn yang hingga membuat sosok orang tua mengalami stres saat menghadapi
permasalahan yang timbul dari anaknya. Baik itu permasalahan yang berkaitan dengan
kenakalan yang ditimbul hingga perasaan stres karena ditinggal anaknya saat anak tersebut
memasuki tahap dewasa yang mengharuskannya untuk hidup mandiri. Jika berbicara masalah
stres yang dialami manusia, stres tidak terlepas dari kehidupan manusia. Stres merupakan suatu
respon yang ditunjukan oleh individu ketika ia merasa terancam atau tertekan akan keadaan
atau lingkungan sekitarnya (Santrock, 200:301-302). Stres tersebut nyatanya dapat terjadi pada
siapa saja, dari masa usia yang sangat muda hingga masa yang sangat tua atau lanjut usia. Setiap
individu dapat mengalami stres, baik wanita maupun pria. Namun, potensi untuk mengalami
stres antara wanita dengan pria tidaklah sama.
Berdasarkan survey yang pernah dilakukan Institute Health Service di Amerika Serikat menemukan bahwa 22,9%wanita mengatakan bahwa mereka mengalami depresiselama hidup
mereka daripada 13,1% pria mengatakanmerasakan hal serupa (Nurlaila, 2011). Hasil tersebut
menyatakan bahwa tingkat stres lebih dapat terjadi pada wanita dibadingkan laki-laki. Hal
tersebut juga semakin menekankan bahwa wanita lebih harus memperhatikan dirinya agar
terhindar dari stres yang dapat menyebabkan keluhan lebih parah pada dirinya.
Wanita pada saat memasuki fase perkembangan dewasa awal hingga madya akan
menghadapi suatu konflik peran dimana saat akan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya atau
akan menjadi ibu rumah tangga yang juga bekerja. Kedua peran tersebut masing-masing
berpotensi untuk mengalami stres. Namun menurut sebuah riset dari Amerika Serikat yang
mengatakan bahwa sebanyak 41% ibu rumah tangga mengalami tingkat kekhawatiran yang
lebih tinggi daripada wanita karir yang juga menjadi seorang ibu (Yulistara, 2013). Maka dari
itu saat wanita telah terlepas dari tugasnya sebagai wanita karir stres lebih mudah timbul pada
dirinya.
Selain itu, permasalahan yang tentunya akan dialami dalam kehidupan wanita yaitu
permasalahan dalam kehidupan sebagai orang tua. Banyak orang tua beranggapan, tugas
sebagai orang tua berakhir sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah, untuk
menjalani kehidupan mereka masing-masing. Anggapan ini membuat banyak orang tua yang
menjadi stres ketika masa itu hampir tiba. Akibatnya, masa tua menjadi masa yang banyak
diasumsikan sebagai masa yang tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang merasa
berperan untuk menentukan kehidupan anak-anak. Dalam hal ini Roading & Santrock
(1991:277) menjelaskan bahwa kondisi semacam itu akan datang dalam kehidupan pasangan
ketika anak-anak mereka menjadi mandiri dan mulai bisa mencari kebutuhannya sendiri dan
mereka telah lepas dari keluarga/orangtua. Ketika anak yang mulai dewasa mulai meninggalkan
rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang mendalam atau beberapa
orangtua tersebut akan mengalami perasaan kesepian atau kekosongan yang sering disebut
dengan empty nest syndrome.
Kepergian anak dari keluarga membawa perasaan kosong pada orang tua karena sebelum
anak meninggalkan keluarga, orang tua memperoleh banyak kepuasaan yang berasal dari
seorang anak (Santrock, 2002b:162). Krisis tersebut dinamakan empty nestsyndrome. Menurut Shakya (2009), empty nest syndrome merupakan perasaan umum yang berupa kesepian maupun kesedihan yang dialami oleh orang tua ketika anak-anak mereka telah meninggalkan rumah.
Menurut Kelleher (dalam Hui-Ling, 2002), emptynest syndrome merupakan faktor yang mempengaruhi kehidupan dan kesehatan dewasa madya karena diasumsikan emptynest syndrome tersebut dapat menyebabkan stres dan depresi. Hal ini disebabkan orang tua menghadapi proses penyesuaian diri baru karena ketidakseimbangan akibat ketidakadaan anak
di rumah (Bassoff dalam Santrock, 2002a:162). Secara umum empty nest syndrome ini kebanyakan dialami oleh para ibu daripada para ayah. Wardani (2012) mengatakan bahwa para
ibu mengakui memiliki perasaan yang lebih buruk daripada para ayah ketika anak-anak mulai
meninggalkan rumah. Hal ini dikarenakan seorang ibu mempunyai kelekatan yang kuat
terhadap anaknya sebab hampir sebagian besar waktu seorang anak, ketika masa bayi hingga
masa remaja, dihabiskan bersama sosok ibu. Keinginan seorang anak untuk memiliki kehidupan
yang mandiri membuat peran seorang ibu kepada anaknya menjadi berkurang.
Menurut Maramis (2006) proses terjadinya sindrom sarang kosong dapat terjadi melalui
beberapa tahap antara lain :
a. Tahap pra nikah : saling menarik perhatian sehingga terjadi hubungan atau relasi yang
kuat, menjadi mementingkan diri sendiri dari pada pasangan serta tidak ada ruang bagi
keluarga maupun teman, seluruh perhatian hanya tertuju pada calon pasangannya.
b. Tahap menikah : terjadi penggabungan dua keluarga, jarak dua keluarga menimbulkan
respon tersendiri, kedekatan dan jarak tempat tinggal dapat mempengaruhi emosional
pasangan dengan keluarga mereka. Masa mempersiapkan kelahiran, masing-masing
pasangan saling menyesuaikan diri dengan perubahan dan biasanya sangat menikmati
c. Tahap orang tua : pada tahap ini biasanya terjadi pembagian tanggung jawab di antara
pasangan dalam hal mencari nafkah dan merawat anak atau mengurus rumah tangga.
Tanggung jawab disesuaikan dengan umur anak yang pertama. Pada tahap ini orang tua
sering menanamkan nilai-nilai dan keyakinan untuk anaknya, apa yang boleh dilakukan
dan apa saja yang tidak boleh dilakukan.
d. Tahap sarang kosong : tahap ini terjadi ketika anak terakhir meninggalkan rumah,
kesempatan ini memungkinkan pasangan dapat menikmati lagi masa berdua seperti awal
pernikahan. Tahap ini mungkin tahap yang paling panjang sehingga biasanya kesempatan
ini digunakan oleh kaum ibu untuk mencari pekerjaan atau bekerja kembali. Ada juga
pasangan mulai masuk masa pensiun, dan kegiatan orang tua mungkin merawat anggota
keluarga yang lain.
Setiap peristiwa pasti akan menimbulkan berbagai dampak, baik itu dampak negatif
maupun dampak positif. Begitu juga dengan empty nest syndrome, selain membawa dampak negatif, yaitu berupa perasaan kesepian dan kekosongan, empty nest syndrome juga dapat membawa dampak positif bagi yang mengalaminya. Santrock (2002b:162) mengatakan bahwa
tidak semua ibu yang mengalami empty nest syndrome mendapatkan dampak yang negatif. Empty nest syndrome dapat pula membawa dampak yang positif bagi ibu. Beberapa dampak positif yang dapat dialami oleh ibu-ibukhususnya pada ibu yang bekerja, antara lain mereka
dapat melanjutkan karir serta pendidikannya dengan cara mengikuti kursus keterampilan atau
melanjutkan pekerjaan mereka yang dahulu ditinggalkan karena harus merawat anak, mereka
dapat menekuni hobi kesukaan, serta mereka lebih bebas melakukan kegiatan apapun. Dampak
positif empty nest syndrome tersebut juga dapat dirasakan oleh ibu rumah tangga berupa adanya keintiman dan kepuasan pernikahan antara ayah dengan ibu. Hal ini disebabkan karena
ketidakadaan seorang anak menyebabkan mereka mempunyai waktu yang lebih banyak untuk
dihabiskan bersama sehingga menimbulkan kepuasan pernikahan. Peneliti tertarik
mengungkap permasalahan emptynest syndrome karena peneliti ingin mengetahui masalah ini lebih jelas karena sindrom ini merupakan permasalahan yang rentan terjadi pada masa menjadi
orang tua. Sindrom ini cenderung diabaikan padahal masalah ini akan menyebabkan gangguan
emosional jika tidak diselesaikan dan akan mengganggu seseorang melewati tugas-tugas
perkembangan semasa hidupnya menuju tahap perkembangan selanjutnya. Berdasarkan
METODE
a. Pendekatan Penelitian
Menurut Poerwandari (2001), untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan
khusus atas suatu fenomena serta untuk dapat memahami manusia dalam segala
kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, maka pendekatan kualitatif merupakan
metode yang paling sesuai untuk digunakan. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian ini dilakukan dengan studi kasus yang bersifat intrinsik,
yaitu kasus yang diambil merupakan kasus yang menarik untuk diteliti. Menurut Moleong
(1998) studi kasus merupakan metode untuk menghimpun dan menganalisis data
berkenaan dengan studi kasus. Sesuatu dijadikan studi kasus biasanya karena ada
masalah, kesulitan, hambatan, penyimpangan, tetapi bisa juga sesuatu dijadikan kasus
meskipun tidak ada masalah, melainkan karena keunggulan atau keberhasilannya. Tujuan
dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar
belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang
kemudian dari sifat-sifat khas tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.
Sedangkan menurut Moleong (2000) pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan dan lainlain. Secara holistik, dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
b. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini yaitu orang tua yang hidup terpisah dari anak maupun orang yang
disayangi. Subjek tersebut merupakan warga dari Dusun Sawah Lor RT 02 dan RT 03
Desa Kemranggen.
c. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti perlu mengkonfirmasikan ulang pada para
calon subjek penelitian untuk memastikan kesediaan mereka dan membuat kesepakatan
mengenai waktu dan tempat pelaksanaan wawancara. Dalam melaksanakan wawancara,
hal penting yang harus dilakukan sebelum memulai wawancara tersebut adalah dengan
membangun rapport yang baik. Rapport sangat penting untuk membuat subjek merasa nyaman dan bebas dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, sehingga
memperhatikan dan mencatat tingkah laku subjek selama wawancara, interaksi subjek
dengan peneliti dan hal-hal lain yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data
tambahan terhadap hasil wawancara.
d. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
dan observasi.
1) Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden
dengan mengunakan alat. (Banister dkk dalam Sugiyono, 2005). Sedangkan menurut
Poerwandari (2001) adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan
wawancara pada tiga pendekatan dasar, yaitu :
a) Wawancara mendalam (indepth interviewing)
Proses wawancara didasar sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaanpertanyaan
secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumya
dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipatif.
b) Wawancara dengan pedoman umum
Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat
umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingat peneliti mengenai
aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist). Menurut Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2000) menyatakan bahwa ada dua jenis
wawancara, yaitu :
a. Wawancara oleh tim atau panel
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang,
tetapi oleh dua orang atau lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara
ini digunakan, hendaknya pada awalnya sudah diminta kesepakatan dan
persetujuan dari terwawancara, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua
orang. Di lain pihak, seseorang pewawancara dapat saja menghadapkan dua
orang atau lebih yang di wawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan
panel.
b. Wawancara tertutup dan wawancara terbuka Pada wawancara tertutup biasanya
Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Sedangkan wawancara terbuka
biasanya subjek yang diwawancarai tahu bahwa mereka sedang diwawancarai
dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara.
c. Wawancara riwayat secara lisan Jenis ini adalah wawancara terhadap orang-orang
yang pernah membuat sejarah atau yang membuat karya ilmiah besar, sosial
,pembangunan, perdamaian dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah
mengungkapkan riwayat hidup dan pekerjaannya, kesenangannya,
ketekunannya, pergaulannya dan lain-lain.
d. Wawancara berstruktur
Dalam wawancara berstruktur, pertanyaan dan alternatif jawaban yang diberikan
kepada subjek telah ditetapkan terlebih dahulu oleh interviewer. e. Wawancara tidak berstruktur
Wawancara tidak berstuktur lebih bersifat informal. Pertanyaan tentang
pandangan, sikap, keyakinan subjek atau tentang keterangan lainnya dapat
diajukan secara bebas kepada subjek. Wawancara jenis ini memang tampak luas
dan biasanya direncanakan agar sesuai dengan subjek dan suasana pada waktu
wawancara dilakukan. Serta subjek diberikan kebebasan menguraikan
jawabannya dan mengungkapkan pandangannya sesuka hati. Dalam penelitian ini
bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur, karena
pertanyaan yang diberikan berisi tentang pandangan, sikap, keyakinan subjek atau
tentang keterangan lainnya dapat diajukan secara bebas kepada subjek dan subjek
diberikan kebebasan menguraikan jawabannya serta mengungkapkan
pandangannya sesuka hati.
2) Observasi
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) salah satu hal yang penting tetapi sering
dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Hasil observasi
menjadi data yang penting karena :
a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks yang akan
diteliti.
b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada
penemuan dari pada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati
masalah secara induktif. Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata,
kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi tentang topik yang
c. Mengingat individu yang telah sepenuhnya terlibat dalam konteks hidupnya sering
mengalami kesulitan merefleksikan pemikiran mereka tentang pengalamannya,
observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian
sendiri kurang disadari.
d. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena
berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam
wawancara.
e. Jawaban terhadap pertanyaan akan diwarnai oleh perspektif selektif individu yang
diwawancara. Berbeda dengan wawancara, observasi memungkinkan peneliti
bergerak lebih jauh dari persepsi selektif yang ditampilkan subjek penelitian atau
pihak-pihak lain.
f. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif
terhadap penelitian yang dilakukannya. Impresi dan perasaan pengamat akan
menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkannya untuk
memahami fenomena yang diteliti. Menurut Moleong (2000), berdasarkan
keterlibatan pengamat dalam kegiatan orang-orang yang diamati, observasi dapat
dibedakan menjadi:
a. Observasi partisipan
Pengamatan berperan serta melakukan dua peran sekaligus yaitu sebagai dan
sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamatinya.
b. Observasi non partisipan
Pengamat tidak berperan serta hanya melakukan fungsi yaitu mengadakan
pengamatan. Dalam pengamatan ini peneliti menggunakan bentuk observasi non
partisipan dimana peneliti tidak mengamati tingkah laku subjek dan tidak ikut
aktif dalam kegiatan subjek, karena peneliti hanya sebagai pengamat.
e. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis tematik dan analisis perbandingan antar subyek.
Kredibilitas penelitian dilakukan dengan melakukan triangulasi data, yaitu mengambil
data dari sumber-sumber data yang berbeda.
HASIL dan PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian diatas dapat dijelaskan beberapa hal yaitu:
1. Gambaran subjek dalam emptynest syndrome
Subjek 1 : Ibu SN berusia 66 tahun. Data yang didapatkan selama penelitian yaitu subjek
memiliki 2 anak, salah satu anaknya merantau keluar pulau yaitu ke Kalimantan untuk
bekerja. Suami telah meninggal dunia kurang lebih 6 tahun yang karena sakit. Pekerjaan
keseharian subjek yaitu petani. Subjek memiliki riwayat penyakit diabetes dan darah tinggi.
Subjek pernah harus mengalami perawatan intensif karena merasa tubuhnya lumpuh
dibagian sebelah kiri. Dikarenakan hal tersebut, subjek tidak dapat bekerja seperti
kesehariannya hingga 3 hari. Subjek merasa dirinya berjuang seorang diri dalam
kehidupannya tanpa dukungan dari siapapun sehingga pernah merasa putus asa. Subjek
merasa kurang semangat karena diusianya yang sudah memasuki usia lansia, subjek harus
bekerja untuk terus bertahan hidup dan harus mengalami sakit hingga tidak dapat
beraktivitas. Subjek merasa kesepian kalau tidak memiliki teman untuk menjalani keseharian
selain istri dari anaknya karena anaknya sibuk bekerja. Subjek menyatakan bahwa pasrah
untuk menjalani kehidupannya yang saat ini hingga tutup usia. Sedangkan data yang
didapatkan dari subjek selanjutnya yaitu Ibu MR berusia 74 tahun. Data yang didapatkan
selama penelitian yaitu subjek tinggal berjauhan dengan tetangga lainnya. Subjek tidak dapat
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara lancar. Subjek hidup sendirian selama
kurang lebih 30 tahun. Suami saubjek meninggal dunia karena bunuh diri dengan alasan
stress terhadap tekanan kehidupan. Subjek pernah merasa terpuruk karena kehilangan sosok
pendamping hidup hingga membuat dirinya sangat tertutup dengan orang disekitarnya.
Subjek terbiasa hidup sendiri hingga memelihara seekor kucing dan menjadikannya teman
hidup sejak suami meninggal dunia. Aktivitas keseharian subjek yaitu bekerja sebagai
pencari rumput untuk kambing. Subjek pernah sakit parah namun tidak mau tetangga
mengetahui keadaannya. Subjek hingga saat ini masih teringat dengan kisah hidup suaminya
sehingga masih sering merasa sedih dan kesepian. Subjek menyatakan memiliki ketakutan
pada kematian karena kejadian yang menimpa suaminya dahulu. Berdasarkan data yang
diperoleh, terdapat beberapa hal yang dibahas diantaranya yaitu : bagi orang tua yang
mengalami gejala-gejala emptynest syndrome biasanya perilaku yang terlihat yaitu terlihat
murung, tidak memiliki semangat untuk melanjutkan aktivitas, selalu merasa kesepian
karena hidup sendiri dan terpisah dari orang yang disayangi, selalu merasa sedih karena
merasa tidak memiliki siapa pun dalam hidupnya, pasrah dengan keadaan hidup saat ini serta
memiliki beberapa pemikiran buruk yang membuat diri menjadi cemas. Menindak lanjuti
data yang diperoleh, adapun tanda dan gejala sindrom sarang kosong menurut Dewi (2007)
a. Ibu meneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu, bila teringat anaknya.
b. Sering termenung menatap tempat tidur yang kosong.
c. Menaruh pakaian anaknya di bawah bantalnya.
e. Diam-diam menciumi pakaian putra atau putrinya.Selanjutnya adapun dampak dari
adanya emptynest syndrome bagi orang tua baik wanita maupun laki-laki yaitu Kesedihan yang dialami usia lanjut dapat terus berlanjut, sering menangis sendirian karena merasa
bahwa hidupnya tidak berguna lagi setelah anaknya tidak serumah. Muncul keinginan
untuk menyendiri, menjauhi pergaulan, dan tidak ingin bekerja lagi. Ini berarti sindrom
sarang kosong yang telah mengakibatkan depresi. Dalam keadaan ini perlu ditangani
secara serius, dengan meminta nasihat orang tua atau seseorang yang dapat dipercaya
untuk memberi nasihat. Biasanya keadaan makin parah, bila bersamaan waktunya dengan
saat memasuki menopause.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi emptynest syndrome
Menurut Maramis (2006) hal-hal yang dapat menjadi faktor presipitasi atau pencetus
terjadinya sindrom sarang kosong adalah:
a. Kehilangan masa menjadi ibu
Ketika anak mulai meninggalkan rumah, seorang ibu harus menghadapi penyesuaian
kahidupan yang biasa disebut dengan periode sarang kosong. Sindrom sarang kosong ini
sangat terasa bagi ibu rumah tangga karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di
rumah dan selalu berinteraksi dengan anak-anak. Penyesuaian awal yang harus dilakukan
adalah penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup atau
suami, dan secara otomatis menyebabkan harus dilakukannya perubahan peran (Rahmah,
2006).
b. Hubungan dengan pasangan
Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang
ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali berpusatkan pada
pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa
sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang sudah tidak didampingi pasangan, cenderung
mengorientasikan diri pada kegiatan diluar rumah dengan melibatkan diri pada kesibukan
dan keramaian di luar rumah, seorang ibu mendapatkan kompnsasi atas rasa
kehilangannya terhadap anak-anak. Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu
sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari sindrom sarang
c. Harga diri usia lanjut
Sindrom sarang kosong muncul sebagai gejala yang banyak melanda kaum ibu, terutama
di negara barat, yang hubungan kekerabatan keluarga hampir tidak ada. Di luar negeri
yang dinamakan keluarga, hanya ayah, ibu, dan anak-anak. Sehingga, bila anak-anak
pergi meningalkan rumah, terasa sekali adanya kekosongan. Apalagi bila suami telah
meninggal dunia, atau terpaksa hidup sendiri karena perceraian. Hal ini berbeda dengan
di Indonesia yang nilai kekerabatan keluarga masih menyertakan kakek, nenek, paman,
bibi, saudara sepupu, keponakan, dan saudara deket lainnya. d. Ikatan dengan anak yang
terlalu erat. Ikatan antara ibu dengan anak atau orang tua dengan anak yang kuat dapat
memperburk keadaan. Peran orang tua sewaktu anak masih tinggal bersama dapat
dilakukan secara langsung dan peran orang tua berangsur-angsur mulai tidak dapat
dilakukan setelah anak pergi, apalagi jika jarak tempat tinggalnya jauh atau luar kota.
d. Faktor sosial dan kultural
Sindrom sarang kosong lebih jarang dijumpai di zaman modern terutama pada keluarga
extended family dan lanjut usia yang tinggal sediri, jika dibandingkan dengan nuclear
family atau keluarga inti. Di banyak budaya seperti Afrika, India, Timur Tengah, dan
Asia, usia lanjut dipandang sebagai orang yang terhormat dan dihargai, dan anak-anak
mereka bertanggung jawab untuk merawat mereka tetapi saat ini nilai-nilai tersebut sering
kali sudah berubah.
3. Upaya Penanggulangan Emptynest Syndrome
Upaya pencegahan dan penanggulangan emptynest syndrome menurut Witmer (2007) yaitu: a. Lakukan sesuatu yang bermanfaat
Menjadi sukarelawan, mengambil suatu kelas les, menemukan suatu kegemaran baru
akan dapat memanfaatkan waktu luang sehari-hari secara baik. Gunakan waktu ekstra
secara konstruktif dan menghindari kegiatan rutinitas yang membosankan.
b. Ambil suatu perjalanan, dan lakukan bulan madu bersama pasangan
Nyalakan kembali romantis atau rasa cinta dengan pasangan kembali melalui perjalanan
ke sebuah tempat, membicarakan tentang masa depan, dan membuat perencanaan.
Pikirkan tentang kemungkinan bulan madu kedua yang akan memulai kembali
masa-masaindah bersama pasangan.
c. Memanfaatkan waktu luang
Memenfaatkan waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat seperti mengecet rumah
membawa semangat jiwa kembali datang. Jika orang tua menunggu sampai mereka pergi
orang tua akan menemukan masalah dan akan mengalami sindrom sarangg kosong.
d. Membuat paket kegiatan kepedulian sosial
Orang tua masih dapat berperan serta dalam membantu orang lain melalui kegiatan sosial
f. Beri selamat pada diri sendiri
Walaupun peran orang tua tidak pernah belum selesai dilaksanakan, orang tua sudah
mencapai suatu tujuan. Orang tua sudah menjadikan anaknya sebagai seorang dewasa
muda yang mandiri, dimana hal ini bukan tugas yang mudah. Beri pujian untuk suatu
pekerjaan yang berhasil dikerjakan dengan baik.
g. Dapatkan dukungan atau cari dukungan dari keluarga yang lain
Ketika orang tua mengalami perasaan tertekan, kesedihan yang berlebihan, anak dapat
mengunjungi atau dapat meminta pertolongan dokter, perawat, keluarga lain atau kerabat.
Apabila sindrom sarang kosong terjadi berlarut-larut dan tidak diantisipasi, maka seorang
ibu akan menjadi sangat sensitif dan sering berprasangka negatif. Seorang ibu merasa
anaknya tidak lagi menempatkannya di urutan pertama dalam hidup setelah anaknya
menikah. Ia merasa anaknya lebih memilih pasangannya dari pada dirinya (Indriasari &
Ivvaty, 2007).
KESIMPULAN
Kepergian anak-anak menimbulkan perasaan yang tidak nyaman bagi para ibu. Perasaan
tidak nyaman ini berupa perasaan sedih dan merasa kehilangan anak-anak, bahkan ada yang
merasa stres, khawatir, dan kehilangan perannya sebagai seorang ibu. Perasaan tidak nyaman
ini selalu muncul pada ibu di awal-awal dia harus melepaskan kepergian anak terakhirnya dari
rumah. Perilaku yang sering muncul yang menunjukan bahwa seseorang mengalami emptynest syndrome yaitu seperti sering merasa sedih dan kesepian saat hidup sendiri ditinggal orang yang disayangi, merasa hidupya tidak lagi berdaya karena kurangnya dukungan dari orang
disekitarnya hingga melemahnya kondisi tubuh karena pemikiran negatif yang sering muncul.
Adanya dukungan sosial dari keluarga dan upaya melakukan stategi coping dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, berkumpul bersama teman-teman dan keluarga yang lain, serta
menyibukkan dirinya dengan bekerja, dapat membantu para ibu tersebut menyesuaikan diri
dengan kepergian anak-anak mereka dari rumah. Penyesuaian diri ini pada akhirnya dapat
membantu para ibu mencapai kesejahteraan psikologis maupun kemajuan dalam perkembangan
SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh beberapa saran bagi
pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini, antara lain:
1) Bagi ibu rumah tangga
Umumnya yang menyebabkan stres pada ibu rumah tangga adalah aktivitas yang statis
dan monoton, serta reinforcement yang mereka peroleh kurang nyata. Saran yang diberikan pada ibu rumah tangga untuk mengurangi stres yang dialami adalah mengikuti
kegiatan-kegiatan di luar rumah, seperti arisan, kegiatan-kegiatan sosial, atau acara
perkumpulan yang diikuti oleh para ibu lainnya. Aktivitas tersebut secara tidak langsung
dapat memberikan reinforcement bagi ibu rumah tangga berupa relasi-relasi baru yang memungkinkan mereka untuk melakukan coping stress. Meminimalisir efek yang ditimbulkan oleh empty nest syndrome dapat dilakukan dengan cara mempersiapkan sedini mungkin kondisi psikis orang tua, khusus ibu, dengan cara membangun
kemandirian anak sejak dini. Hal tersebut dilakukan agar orang tua, khususnya ibu, dapat
menyesuaikan diri sejak awal saat anak telah dapat mengurus dirinya sendiri. Selain
mempersiapkan kondisi psikis untuk menghadapi krisis empty nest syndrome, orang tua diharapkan dapat mengenal dan mengetahui seberapa besar kemampuan dan kapasitas
anak untuk hidup mandiri. Hal tersebut dilakukan agar orang tua dapat membangun
kepercayaan pada anak saat menjalani kehidupan yang lebih mandiri sehingga rasa cemas
atau khawatir pada anak dapat diminimalisir.
2) Bagi Ibu Bekerja
Stres yang dialami oleh ibu bekerja disebabkan karena padatnya jadwal di dalam maupun
di luar rumah yang dijalani oleh ibu bekerja. Saran yang dapat diberikan untuk ibu bekerja
adalah mereka dapat mengatur dan menyeimbangkan jadwal mereka antara jadwal di
lingkungan tempat kerja dan jadwal untuk mengatur urusan domestik rumah tangga.
Selain menyeimbangkan jadwal antara pekerjaan di lingkungan kerja dengan urusan
domestik dalam rumah tangga, ibu bekerja juga dapat menyediakan waktu bagi mereka
untuk beristirahat.
3) Bagi Pihak-Pihak Terkait (RT atau RW setempat) Hal-hal yang dapat dilakukan oleh
pihak RT atau RW setempat untuk dapat mengurangi dan meminimalisir stres dan empty nest syndrome yang dialami oleh para ibu, yaitu membuat suatu kegiatan rutin yang dapat dihadiri oleh para warga, khususnya para ibu, agar para warga tersebut dapat
dan masalah pada individu lainnya dan mungkin mereka dapat memperoleh saran dari
individu lainnya untuk masalah yang sedang meraka hadapi.
4) Bagi peneliti selanjutnya.
Penelitian tentang tingkat stres tentu sudah sangat umum dilakukan, khususnya pada
bidangpsikologi. Penelitian mengenai tingkat stres dan emptynest syndrome ini diharapkan dapat berkelanjutan, yaitu untuk kedepannya dapat dikembangkan dengan
meneliti faktor-faktor lain yang mungkin terkait dengan tingkat stres dan empty nest syndrome, seperti status sosio ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akmalah, Nurul. 2014. Psychological Well-being pada Ibu Usia Dewasa Madya yang
Berada pada Fase Sangkar Kosong, Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, Vol 02
2. Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas
Psikologi Univeritas Indonesia.
3. Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (edisi
kelima). (Penerj. Achmad Chusairi, Juda Damanik; Ed. Herman Sinaga, Yati
Sumiharti). Jakarta: Erlangga.
4. Tika, Larasati. 2001 . Jurnal Kualitas Wanita Yang Mengalami Menopause . Dibuka di
website http://www.dokumen.org/pdf/10865. Pada tanggal 6 September 2016