CARA ORANG TUA MEMPERLAKUKAN ANAK DOWN SYNDROME DI DESA PALAES, KECAMATAN LIKUPANG BARAT, KABUPATEN MINAHASA UTARA
Jessica E. Lowis, Deetje D. Solang, Sinta E.J. Kaunang
Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi
Universitas Negeri Manado, E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan gambaran tentang orang tua memperlakukan anak down syndrome yang berfokus pada 1) cara yang akan dilakukan orang tua untuk memperkenal kan anak down syndrome ke lingkungan sekitar 2) reaksi orang tua dalam memperlakukan anak down syndrome 3) melihat bagaimana anak berkomunikasi dengan orang tua atau lingkungan sekitar 4) pendidikan apa yang diberikan orang tua terhadap anak 5) melihat toleransi seperti apa yang ditunjukkan keluarga / saudara / saudari anak down syndrome. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan di Desa Palaes Kec. Likupang Barat, Kab. Minut (Minahasa Utara) dengan subjek penelitian ialah sebuah keluarga yang mempunyai anak down syndrome. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ialah observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini orang tua melakukan atau mengasuh dengan begitu sangat baik dalam membantuh anak, serta peran orang tua sangat berefek dan berpengaruh terhadap anak dalam peningkatan keterampilan dan perkembangan anak down syndrome kemudian dalam pelaksanaanya cara orang tua mengasuh anak atau peranan orang tua, dilakukan dengan cara dan strategi yang bagus dan cara yang dilakukan memiliki nilai keberhasilan yang sempurna dan tentunya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Subjek seperti memiliki cara berkomunikasi khusus dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya. Walaupun pendidikan sangatlah penting bagi semua orang, namun keterbatasan juga yang membuat beberapa anak tidak dapat bersekolah. Dapat disimpulkan bahwa cara orang tua memperlakukan anak down syndrome sangat penuh kasih sayang dan menerima keadaan anak walaupun memiliki keterbatasan, selain itu dari pihak keluarga dan lingkungan selalu memberikan perhatian kepada anak down syndrome sehingga dia merasa nyaman di lingkungannya.
Kata kunci: Perlakuan orang tua, anak Down syndrome
PENDAHULUAN
Sebagian anak memang terlahir dalam keadaan yang kurang sempurna. Secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial mereka terhambat dalam mencapai tujuan atau kebutuhan dan potensi secara maksimal, seperti yang dinyatakan oleh Suran & Rizzo dalam Mangunsong (2011). Mereka yang disebut dengan anak berkebutuhan khusus ini berbeda dengan kebanyakan anak karena mereka memiliki kekurangan seperti keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan emosional, keterbatasan fisik, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan pendengaran, kerusakan penglihatan, ataupun memiliki bakat khusus.
Hambatan perkembangan yang dapat terjadi pada anak sejak usia dini adalah kelainan pada kromosom, salah satunya yaitu down syndrome. Down syndrome merupakan abnormalitas kromosom yang paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Di dunia, insidennya secara umum yaitu 1:600 hingga 1000 kelahiran, namun angka ini dapat beragam sesuai dengan usia ibu saat melahirkan. Pada ibu yang melahirkan pada usia lebih dari 45 tahun, angka insidennya dapat mencapai 1:30 kelahiran (Boas, dkk., 2009) Saat ini di dunia terdapat sekitar delapan juta orang yang mengalami down syndrome, sedangkan di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak yang mengalami down syndrome (Aryanto, 2008).
Terminologi yang digunakan untuk menyebut anak down syndrome adalah impairment.
Impairment diartikan sebagai kehilangan, kerusakan, atau ketidak lengkapan dari aspek psikologis maupun fisiologis atau ketidak lengkapan/kerusakan pada struktur anatomi, dan biasanya merujuk pada kondisi yang bersifat medis atau organis (Lewis, 2014).
Hallahan, Kauffman & Pullen (2009) mengatakan bahwa down syndrome biasanya disertai dengan retardasi mental. Down
syndrome merupakan kelainan genetis yang menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental dengan ciri-ciri yang khas pada keadaan fisiknya. Anak-anak down syndrome biasanya memiliki penampilan wajah yang mirip satu dengan lainnya. Secara umum perkembangan dan pertumbuhan fisik anak down syndrome relatif lebih lambat, seperti pertumbuhan berat badan dan tinggi badan.
Keterbelakangan mental yang dialami anak
down syndrome mengakibatkan
keterlambatan dalam perkembangan aspek kognitif, motorik, dan psikomotorik. Amin (1995) menambahkan bahwa jika dilihat dari tingkatan IQ maka anak down syndrome termasuk dalam kategori tunagrahita sedang, yaitu berkisar antara 40 sampai 55.
Menurut Selikowitz (2001) anak
down syndrome kurang bisa
mengkoordinasikan antara motorik kasar dan halus, sehingga mereka kesulitan untuk menyisir rambut dan mengancingkan baju sendiri. Selain itu anak down syndrome juga
mengalami kesulitan dalam
mengkoordinasikan antara kemampuan bahasa dan kognitif, seperti memahami manfaat suatu benda. Menurut Wardhani, Rahayu, & Rosiana (2012) memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan beban berat bagi orangtua baik secara fisik maupun mental. Beban berat yang dimaksudkan yaitu peran berbeda yang harus dilakukan oleh orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, seperti cara-cara orangtua menampilkan anaknya ke masyarakat luas, dan cara-cara orangtua menghadapi anaknya tersebut. Hal ini membuat orangtua harus menyesuaikan diri lebih baik dari orang tua yang memiliki anak normal. Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa down syndrome biasanya disertai dengan retardasi mental. Orang yang paling banyak menanggung beban akibat retardasi mental yaitu orangtua serta keluarga dari anak
tersebut. Anak yang mengalami retardasi mental menimbulkan dampak pada orangtua seperti rasa bersalah, berdosa, kurang percaya diri, terkejut/tidak percaya, malu, dan over protective (Somantri, 2007). Hal ini didukung dengan hasil dari penelitian Hamidi (2004), yang menunjukkan bahwa orangtua yang memiliki anak dengan retardasi mental mengalami perasaan sedih, menolak, depresi, malu, marah, dan menerima keadaan anaknya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome atau yang biasa disingkat POTADS (2012), bahwa reaksi yang ditunjukkan oleh orangtua dengan anak down syndrome hampir serupa, pada awalnya orangtua dengan anak down syndrome akan mengalami perasaan terkejut, goncangan batin, terkejut, tidak dapat menerima keadaan anaknya, menyalahkan diri sendiri, dan menghindar dari kenyataan yang menimpa anaknya. Respon selanjutnya adalah mereka akan merasa sedih, kecewa, dan marah ketika mereka mengetahui apa yang akan mereka hadapi dan alami. Pada saat tersebut mereka sering menyalahkan diri sendiri dan tidak menerima kenyataan. Reaksi perasaan biasanya muncul dalam bentuk pertanyaan ‘mengapa kami mengalami cobaan?’, ‘apa kesalahan yang telah kami lakukan?’, dan pertanyaan lainnya yang mengekspresikan kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan. Reaksi selanjutnya adalah mulai menerima keterbatasan anak dan menyesuaikan diri dengan keadaan anak.
Orangtua dengan anak down syndrome tentu memiliki kesulitan dan tantangan yang lebih dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak normal. Oleh karena itu, orangtua dengan anak down syndrome memerlukan perhatian ekstra dalam mengurus anaknya dan hal ini menyebabkan beban orangtua dengan anak down syndrome lebih berat dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak normal. Bukan hanya orangtua, saudara
dari anak berkebutuhan khusus juga berjuang dengan perasaan yang sulit seperti ketakutan, kemarahan, cemburu, rasa bersalah, malu, kesepian, kebingungan, dan tertekan. Di sisi lain, beberapa saudara dari anak berkebutuhan khusus menganggap hidup dengan anak berkebutuhan khusus sebagai suatu ujian.
Saudara dari anak berkebutuhan kusus sering menunjukkan peningkatan toleransi untuk perbedaan serta memiliki tingkat empati dan altruisme yang lebih tinggi, juga mengalami peningkatan dalam kedewasaan dan tanggung jawab (Verté, Hebbrecht, & Roeyers, 2006).
Menurut Hurlock (1999) anak yang lebih tua diharapkan untuk ikut bertanggung jawab dalam mengasuh saudaranya yang memiliki keterbatasan. Hal ini menjadi lebih berat dibandingkan mengasuh adik yang normal karena anak yang memiliki keterbatasan memerlukan waktu dan perhatian yang lebih banyak namun hanya mendapat sedikit balasan. Masalah ini tentu menjadi beban tambahan bagi orangtua dengan anak down syndrome, dimana orangtua harus menjelaskan bagaimana keadaan dan keterbatasan anak down syndrome pada anaknya yang lain. Orangtua juga harus memberi pemahaman pada anaknya bahwa mereka harus lebih menyayangi dan lebih sabar dalam menghadapi saudaranya yang mengalami down syndrome. Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan serta berbagai masalah yang datang akan menjadi tantangan bagi orangtua dengan anak down syndrome untuk menerima anaknya atau tidak. Orangtua memegang tanggung jawab dan peran yang besar dalam perkembangan anaknya.
Berbagai hambatan dan kesulitan dalam perkembangan anak down syndrome serta pengalaman orangtua dengan anak down syndrome yang telah dipaparkan atas, menunjukkan bahwa dalam menerima keadaan dan kondisi anaknya, orangtua melalui proses yang tidak mudah. Orangtua
mengalami berbagai macam emosi, memiliki sudut pandang sendiri, serta berpengaruh pada perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua dengan anak down syndrome tersebut.
Menyikapi keadaan demikian, orangtua sebenarnya akan melakukan penyesuaian psikologis dengan situasi yang dialami. Hal inilah yang melatarbelakangi ketertarikan peneliti untuk menggali lebih dalam mengenai penyesuaian psikologis orangtua dengan anak down syndrome.
Sebagaimana yang dikemukakan Grolnick (2011) bahwa parenting atau pengasuhan memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan kemandirian anak. Dan tugas utama yang dihadapi seseorang dengan disabilitas adalah mencapai kemandiriannya (Cohen, 1977). Kemandirian memang aspek yang penting untuk seorang anak, terlebih ketika anak tersebut sudah memasuki usia remaja. Namun kemandirian tersebut tidak hanya penting bagi anak normal saja. Anak dengan Down Syndrome juga perlu untuk mencapai tingkat kemandiriannya. Dimana walaupun mereka memiliki keterlambatan, namun mereka tetap bisa melakukan aktivitas- aktivitas tertentu oleh diri mereka sendiri.
Tidak selalu menggantungkan pada orang lain. Cohen (1977) dalam bukunya mengemukakan bahwa, tugas utama yang dihadapi seseorang dengan disabilitas adalah mencapai kemandirian. Dan penelitian tentang kemandirian pada penyandang Down Syndrome penting, karena kemandirian berkontribusi pada self esteem (Buckley, et al.
2002).
Tercapainya kemandirian pada anak Down Syndrome, tentunya dipengaruhi pula oleh lingkungan sosial di sekitar mereka.
Sejauh mana orang-orang di sekitar mereka memberikan ruang untuk mereka mengembangkan kemampuannya dan mencoba untuk melakukan aktivitas tertentu sendiri. Dalam hal ini lingkungan yang paling
berpengaruh adalah keluarga, dan orang tua lah yang berperan besar di dalamnya. Pola pengasuhan orang tua dalam mendidik, merawat dan menjaga anak, sangat menentukan tumbuhkembang anak. Bentuk pola pengasuhan seperti apa, itulah yang akan membentuk karakter anak, dikarenakan polapembiasaan-pembiasaan yang
diterapkan pada saat di rumah.
Berdasrkan permasalahan yang ditemukan peneliti, tujuan dari penelitian ini ialah (1) Cara yang akan dilakukan Orang tua untuk Memperkenal kan anak down syndrome ke Lingkungan sekitar (2) Reaksi orang tua dalam memperlakukan anak down Syndrome (3) Melihat Bagaimana anak berkomunikasi dengan orang tua atau lingkungan sekitar (4) Pendidikan apa yang diberikan orang tua terhadap anak (5) Melihat toleransi seperti apa yang ditunjukkan keluarga / saudara / saudari anak down Syndrome.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. “Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas (sugiyono 2017:21)” Penelitian dilakukan di Desa Palaes Kec. Likupang Barat, Kab. Minut (Minahasa Utara) Dalam penelitian kualitatif ini peneliti berfungsi sebagai instrument penelitian yang utama. Begitu penting dan keharusan keterlibatan peneliti dan penghayatan terhadap permasalahan dan subjek penelitian, dapat dikatakan bahwa peneliti melekat erat dengan subyek penelitia.
Itulah sebabnya dalam penelitian kualitatif dituntut adanya pengamatan mendalam (in- depth observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview). (Arikunto, 2013:24).
Dalam penelitian ini data yang telah
terkumpul dikelompokkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data utama diperoleh dari informan, orang tua, kakak, saudara/family. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan langkah-langkah seperti, Orientasi-observasi, kunjungan lapangan- wawancara dan pengelolahan data-analisis data dan studi dokumentasi. Analisis data penelitian ini akan terdiri atas pengujian, pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian.
Menganalisis bukti studi kasus adalah suatu hal yang sulit karena strategi dan tekniknya belum tertidentifikasikan secara memadai dimasa yang lalu. Namun begitu, dalam penelitian ini akan dimulai dengan strategi analisis yang umum yang mengandung prioritas tentang apa yang akan dianalisis dan mengapa. (Yin, 2012:133)
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ditemukan bahwa subjek tidak pernah dibatasi dalam hal beriteraksi dengan dunia luar atau dalam kata lain KI selaku oramg tua tidak pernah mengurung subjek agar supaya tidak terlihat oleh orang sekitar. Oleh karena itu KI selalu membawah subjek kemanapun KI pergi, misalkan ketiga pergi ke kebun , ke acara suka bahkan ke acara dukapun subjek selalu dibawah oleh KI, sehingga orang-orang yang berada dilingkungan sekitar tempat tinggal subjek sudah mengenal keberadaan dan keaadaan dari subjek. Selain tidak membatasi ruang gerak subjek, KI juga tidak memeperkenalkan subjek dengan orang-orang berpapasan atau bertemu. Kemudian I1 selalu mengajak subjek saat bepergian ke tempat- tempat seperti acara suka, acara duka, berbelanja ke minimarket, subjek juga tidak pernah dibatasi saat subjek ingin bersosialisasi ataupun bercengkrama dengan
orang-orang dilingkungan sekitar tempat tinggalDari observasi yang peneliti dapatkan kemampuan adaptasi subjek dengan lingkungan sangat baik, subjek sering bersapa dan bercengkrama dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Ketika ada orang lewat depan rumah subjek memanggilnya dan memberikan salam, begitu juga saat peneliti dating kerumah subjek peneliti langsung disapa oleh subjek.
Perlakuan orang tua juga yang sabar dan menerima atau tidak pernah ada rasa penyesalahan atauapun penolakan terhadap kehadiran subjek, karena orang tua berprinsip bahwa apa yang sudah diberikan oleh Tuhan adalah anugerah terindah dan berkat yang tidak boleh ditolak apalagi diabaikan. Oleh sebab itu orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk subjek karena bagi orang tua subjek bisa berhasil suatu saat selama orang tua selalu berusaha membimbing dan mendampingi subjek.
Kemudian dalam berkomunikasi dengan anak down syndrom orang tua yang pada keseharaiannya selalu melihat aktivitas subjek mengatakan bahwa subjek seperti memiliki cara berkomunikasi khusus dengan orang tua dan lingkungan sekitaranya, seperti contoh jika sudah lapar subjek akan mengeluarkan kata kurang jelas tetapi dapat dimengerti oleh orang disekitarnya. Bahkan subjek juga sudah dapat berkomunikasi dengan menyebut nama-nama orang yang tinggal ataupun sering dating dirumah subjek.
Hasil wawancara dengan orang tua mengenai rencana masa depan anak bahwa KI yang seorang ibu tunggal setelah ditinggal pergi oleh alm. Suami, KI menjalani keseharian kehidupannya dengan subjek saja, hal tersebut membuat KI menjadi tidak bisa jauh dari subjek, oleh Karena itu akhirnya subjek tidak bisa disekolahkan di sekolah resmi, melainkan hanya mendapat pendidikan sederhana dari KI, salah satu pelajaran yang
diberikan misalnya subjek diajarkan supaya bisa mandiri dalam hal makan, minum, selain itu juga subjek diajarkan supaya bisa berpakaian sendiri, sesekali juga subjek diajarkan cara melakukan kebersihan rumah.
Walaupun hanya pendidikan sederhana yang diberikan kepada subjek oleh KI akan tetapi subjek sudah memiliki perkembangan yang lumayan dalam hal makan.
Sikap anggota keluarga terhadap anak down syndrome sangat baik, menurut I2 bahwa ketika melihat subjek yang memiliki down syndrome mereka (keluarga) tidak memiliki rasa intoleran ataupun menolak keberadaan subjek, hal tersebut demikian karena melihat bagimana perjuangan dan kesabaran dari orang tua subjek dalam menerima dan tetap bersyukur sekalipun anak mereka memiliki kekurangan, oleh sebab itu kita (keluarga) menjadi lebih memberikan perhatian lebih kepada subjek agar supaya dapat juga membantu orang tua subjek dalam membimbing dan mendampingi subjek. Ibu kandung subjek, memang awalnya sempat optimis bahwa keluarga besarnya tidak akan menerima keadaan anaknya, akan tetapi seiring waktu penerimaan dan rasa toleransi keluarga terhadap subjek sangatlah besar, hal tersebut membuat saya sangat bersyukur memiliki anak seperti subjek yang selalu menghibur dan menghadirkan canda tawa bagi saya dan keluarga besar saya.
Pembahasan
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga.
Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak- anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Lestari (2012) menyatakan bahwa peran orang tua
adalah cara-cara yang digunakan oleh orang tua mengenai tugas-tugas yang mesti dijalankan dalam mengasuh anak. Selain itu orang tua juga berkewajiban untuk memperkenalkan anaknya ke lingkungan sekitar. Namun berbeda dengan anak down syndrome, Down syndrome itu sendiri merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik, mental, dan inteligensi anak yang diakibatkan karena adanya kelainan perkembangan kromosom, yaitu susunan kromosom ke 21 yang berjumlah tiga (normalnya hanya berjumlah dua) atau sering disebut dengan istilah trisomi (Rohmadheny, 2016). Hal tersebut tentunya membuat orang tua merasa kurang percaya diri untuk memperkenalkan anaknya yang memiliki keterbelakangan atau down syndrome. Tapi berbeda denga napa yang saya temukan di salah satu kecamatan di kabupaten minahasa utara, tepatnya di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat.
Cara orang tua memperkenalkan anak down syndrome ke lingkungan sekitar
Hasil penelitian yang saya temukan kekurangan tidak membuat seseorang untuk merasa percaya diri, apalagi orang tua yang memiliki anak down syndrome. subjek (ade embo) sering dibawah oleh orang tuanya kemanapun mereka pergi, seeprti pergi ke kebun, ke pesta atau acara suka dan bahkan juga dibawah pergi ke acara duka cita dan berbelanja di minimarket. Selain itu subjek tidak pernah dibatasi dalam hal beriteraksi dengan dunia luar atau dalam kata lain KI selaku oramg tua tidak pernah mengurung subjek agar supaya tidak terlihat oleh orang sekitar sehingga orang-orang yang berada dilingkungan sekitar tempat tinggal subjek sudah mengenal keberadaan dan keaadaan dari subjek. Selain tidak membatasi ruang gerak subjek, KI juga tidak memeperkenalkan
subjek dengan orang-orang berpapasan atau bertemu.
Reaksi orang tua dalam memperlakukan anak down Syndrome
Emosional pada setiap orang tua muncul ketika para orang tua mengetahui kondisi anaknya. seperti yang dikemukakan oleh Wijayanti, (2015) bahwa reaksi orang tua yang pertama kali muncul pada saat mengetahui bahwa anaknya mengalami kelainan adalah perasaan terkejut, kegoncangan batin, melakukan penyangkalan yaitu dengan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya. Huiracocha et al.
(2017) yang mengatakan hampir semua keluarga yang memiliki anak dengan down syndrome membutuhkan penghasilan tambahan dalam membayar terapi tambahan untuk anak.
Hal ini berbanding terbalik dari hasil penelitian yang di temukan peneliti di lapangan, sabar dan menerima atau tidak pernah ada rasa penyesalahan atauapun penolakan terhadapa kehadiran subjek, karena orang tua berprinsip bahwa apa yang sudah diberikan oleh Tuhan adalah anugerah terindah dan berkat yang tidak boleh ditolak apalagi diabaikan. Oleh sebab itu orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk subjek karena bagi orang tua subjek bisa berhasil suatu saat selama orang tua selalu berusaha membimbing dan mendampingi subjek.
Selain itu keluarga tidak pernah berpikir bahwa subjek merupakan beban atau kutukan dari Tuhan, melainkan menganggap subjek sebagai anugerah terindah dari Tuhan yang selalu menghibir dan membuat tertawa dan tidak pernah sedikitpun keluarga menolak keadaan subjek yang memiliki kekurangan, akan tetapi selalu setia mendampingi dan membimbing subjek.
Melihat bagaimana anak berkomunikasi dengan orang tua atau lingkungan sekitar
Anak down syndrome juga mengalami kesulitan dalam komunikasi.
Kemampuan komunikasi berada di bawah kemampuan mental anak lain pada umumnya.
Hal ini dikarenakan kemampuan bahasa yang rendah dan mempengaruhi kemampuan komunikasi dengan orang lain. Mereka memiliki ucapan yang tidak jelas dan sering keliru dalam mengucapkan kata dibanding dengan anak lainnya (Gunarhadi, 2005).
Anak down syndrome biasanya lebih mudah mempelajari hal secara visual seperti membaca dan demonstrasi visual dibandingkan dengan auditory, seperti mendengarkan dan instruksi secara verbal.
Selain itu, mereka lebih mudah menerima informasi an memahami bahasa dibandingkan dengan memproduksi bahasa. Dengan kata lain, kemampuan bahasa reseptif mereka lebih baik dibandingkan dengan kemampuan ekspresifnya (Kumin, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian, orang tua yang pada keseharaiannya selalu melihat aktivitas subjek, bahwa subjek seperti memiliki cara berkomunikasi khusus dengan orang tua dan lingkungan sekitaranya, seperti contoh jika sudah lapar subjek akan mengeluarkan kata kurang jelas tetapi dapat dimengerti oleh orang disekitarnya”. Namun subjek sudah bisa mempelajari cara berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya walaupun hanya dengan kode- kode ataupun kata-kata sederhana yang walaupun kurang jelas tapi dapat dimengerti.
Bahkan subjek juga sudah dapat berkomunikasi dengan menyebut nama-nama orang yang tinggal ataupun sering dating dirumah subjek.”
Pendidikan apa yang diberikan orang tua terhadap anak
Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Pendidikan, kemampuan, pengetahuan merupakan salah satu modal yang kita miliki untuk hidup di zaman yang serba sulit ini. Tentu saja pendidikan, kemampuan, wawasan dan pengetahuanlah yang kita butuhkan. Di dalam bangku pendidikan banyak sekali hal yang kita dapatkan.Tetapi entah mengapa banyak sekali warga di Indonesia ini yang tidak mengenyam bangku pendidikan sebagaimana mestinya, khususnya di daerah-daerah terpencil di sekitar wilayah Indonesia ini. Sepertinya kesadaran mereka tetang pentingnya pendidikan perlu ditingkatkan. Tidak terlebih untuk anak down syndrome, mereka juga memerlukan Pendidikan yang layak seperti halnya anak-anak normal pada umumnya walaupun mereka memiliki keterbatasan.
Walaupun hanya pendidikan sederhana yang diberikan kepada subjek oleh Ibu akan tetapi subjek sudah memiliki perkembangan yang lumayan dalam hal makan, minum dang anti baju. Selain itu subjek sudah memiliki kemandirian sederhana dalam hal makan, minum, dang anti baju, bahkan subjek juga sudah mulai belajar cara mandi sendiri. Selain itu orang tua juga selalu mengajak subjek untuk bercakap-cakap tentang kata-kata sederhana, sekalipun subjek masih sangat kurang, akan tetapi respon subjek terhadap apa yang diberikan oleh orang tua sangatlah lumayan bagus. Menurut Lestari (2012) menyatakan bahwa peran orang tua adalah cara-cara yang digunakan oleh orang tua mengenai tugas-tugas yang mesti dijalankan dalam mengasuh anak.
Melihat toleransi seperti apa yang ditunjukkan keluarga / saudara / saudari anak down Syndrome
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya.
Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dar generasi ke generasi. Dari kajian lintas budaya ditemukan dua fungsi utama keluarga, yakni internal dan eksternal, mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya (Minuchin, 1974).
Keberfungsian keluarga merupakan salah satu topik yang memperoleh perhatian dari para peneliti dan terapis. Secara umum keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga, baik pada level sistem maupun subsistem, dan berkenaan dengan kesejahteraan, kompetensi, kekuatan, serta kelemahan keluarga (Shek, 2002).
Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan saudara atau kerabat dekat dari ibu subjek dan subjek itu sendiri, ketika melihat subjek yang memiliki down syndrome mereka (keluarga) tidak memiliki rasa intoleran ataupun menolak keberadaan subjek, hal tersebut demikian karena melihat bagimana perjuangan dan kesabaran dari orang tua subjek dalam menerima dan tetap bersyukur sekalipun anak mereka memiliki kekurangan, oleh sebab itu kita (keluarga) menjadi lebih memberikan perhatian lebih kepada subjek agar supaya dapat juga membantu orang tua subjek dalam membimbing dan mendampingi subjek dan juga ibu kandung subjek, memang awalnya sempat optimis bahwa keluarga besarnya tidak akan menerima keadaan
anaknya, akan tetapi seiring waktu penerimaan dan rasa toleransi keluarga terhadap subjek sangatlah besar, hal tersebut membuat saya sangat bersyukur memiliki anak seperti subjek yang selalu menghibur dan menghadirkan canda tawa bagi saya dan keluarga besar saya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas peneliti dapat mengatakan bahwa peranan orang tua anak Down Syndrome dalam mengasuh anak sangat besar peranannya, dan juga bukan hanya sekedar pola asuh biasa tapi pola asuh atau cara mengasuh tersebut bisa meningkatkan dan membawah keberhasilan bagi anak. Menurut Sri Lestari (2012) peran orangtua merupakan : Peran yang sangat penting untuk anak menuju masa dewasanya. Anak di didik agar dapat menemukan jati dirinya dan mampu menjadi dirinya sendiri.
Kesimpulan
Berdasarlan hasil paparan data, temuan dan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa cara orang tua memperlakukan anak down syndrome yang berfokus pada 1) cara yang akan dilakukan orang tua untuk memperkenal kan anak down syndrome ke lingkungan sekitar 2) reaksi orang tua dalam memperlakukan anak down syndrome 3) melihat bagaimana anak berkomunikasi dengan orang tua atau lingkungan sekitar 4) pendidikan apa yang diberikan orang tua terhadap anak 5) melihat toleransi seperti apa yang ditunjukkan keluarga / saudara / saudari anak down syndrome menghasilkan sikap yang positif dari orang tua dan keluarga dari anak down syndrome. Keberadaan subjek sangatlah diterima oleh keluarga besar dan bahkan mereka sangat menyanyangi subjek dan selalu memberikan perhatian lebih kepada subjek.
Daftar Pustaka
Amin, M. (1995). Ortopedagogik anak tunagrahita. Bandung: Depdikbud.
Arikunto, S. 2013.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Aryanto. (2008). Gangguan pemahaman bahasa pada anak down syndrome.
www.tx-wicara.blogspot.com.
Diakses pada 20 November 2013 Boas, dkk. (2009). Prevalence of congenital
heart defects in patients with down syndrome in the municipality of Pelotas, Brazil. J. Pediatric , 85, 403- 407.
Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif:
Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang:
UMM Press.
Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga:
Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
Dalam Keluarga. Jakarta: Kencana.
Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher.
(2014). Medical surgical nursing.
assessment and mangement of clinical problems (9th edition). St.
Louis: Mosby
Mangunsong, Frieda. 2011. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa Jilid 1. Jakarta: LPSP3 Moleong, L. J.
2005.
Selikowitz, Mark. (2001). Mengenal Sindrom Down. Jakarta: Penerbit Arcan Somantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar
Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung : Alfabeta, CV.
Wardhani, Mira K., Rahayu, Makmuroh S., dan Rosiana, Dewi. (2012).
Hubungan Antara “ Personal Adjusment” dengan Penerimaan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di RSUD X.
Jurnal Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, 3(01), 49-54.