• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL PELATIHAN PENDAMPING LOKAL DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODUL PELATIHAN PENDAMPING LOKAL DESA"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DESA

(4)
(5)

MODUL PELATIHAN

PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DESA

PENDAMPING LOKAL DESA

NOVEMBER

(6)

PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DESA

PENDAMPING LOKAL DESA

PENGARAH :

Ahmad Erani Yustika

(Direktur Jenderal, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa)

PENANGGUNG JAWAB:

Eko Sri Haryanto (Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa)

PEMBACA :

Bito Wikantosa (Kepala Subdirektorat Pengembangan Kapasitas Masyarakat Desa).

COVER & LAYOUT : Heru Yepe

ILUSTRATOR : Ibe Karyanto

Cetakan Pertama, Oktober 2015

Diterbitkan oleh:

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

(7)

Bismillahirrahmanirrahiim

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT karena dengan rahmatNya hampir secara bersamaan telah hadir di hadapan pembaca tiga jenis Modul Pelatihan. Masing-masing adalah Modul Pelatihan untuk Pendamping Lokal Desa, Modul Pelatihan untuk Pendamping Desa, dan Modul Perlatihan untuk Tenaga Ahli. Sesuai dengan bobot materinya masing-masing, ketiga modul tersebut dibuat untuk kepentingan fasilitasi implementasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Sebagaimana diatur dalam PP No.43 Tahun 2014 dan yang telah diperbarui dengan PP No.47 Tahun 2015, baik Pendamping Lokal Desa, Pendamping Desa maupun Tenaga Ahli ketiganya merupakan tenaga pendamping profesional yang bertugas membantu pemerintah, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dalam menjalankan kewajibannya melakukan pemberdayaan masyarakat Desa.

Kehadiran serangkaian Modul berikut diharapkan mampu mendorong peningkatakan kualitas setiap pelatihan. Dengan demikian setiap pelatihan benar-benar semakin menguatkan komitmen dan meningkatkan kapasitas setiap pendamping profesional dalam memfasilitasi kerja-kerja implementasi UU Desa sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Desa. Di samping itu Modul berikut juga dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi setiap pihak, baik perangkjat pemerintahan di tingkat Daerah Kabupaten, Kecamatan, pemerintah Desa, masyarkat maupun pemangku kepentingan lain dalam upaya memfasilitasi implementasi Undang-Undang Desa.

Akhir kata semoga Alloh SWT memberkati kita sekalian yang telah dengan tulus mengabdikan setiap kerja untuk pembangunan Desa khususnya serta untuk kemajuan bangsa dan negara.

DIREKTUR JENDERAL

PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I MATRIKS KURIKULUM

BAB II PANDUAN MEMBACA MODUL BAB III RENCANA PEMBELAJARAN

PB. 1 VISI UNDANG-UNDANG DESA

SPB.1.1. Visi Perubahan Sosial Desa

SPB.1.2. Ruang Strategis Implementasi UU Desa

BAHAN BACAAN

PB. 2 PRODUK HUKUM DESA

SPB.2.1. Kewenangan Desa

SPB.2.2. Produk Hukum Desa

SPB.2.3. Mekanisme Pengambilan Keputusan

SPB.2.4. Hubungan Peraturan Desa Terkait Produk Hukum Lain

BAHAN BACAAN

ii iii 2 13 22

24 33 36

(9)

PB. 3 SISTEM PEMBANGUNAN DESA

SPB.3.1. Musyawarah Desa Dan Potensi Ruang Terbuka

SPB.3.2. Perencanaan Pembangunan Desa

SPB.3.3. Pelaksanaan dan Pengawasan Pembangunan Desa

SPB.3.4. Penganggaran Pembangunan Desa

BAHAN BACAAN

PB. 4 PENGEMBANGAN WILAYAH DESA

SPB.4.1. Desa Mandiri

SPB.4.2. Pengembangan Wilayah Desa

BAHAN BACAAN

PB. 5 PENDAMPINGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

SPB.5.1. Pemberdayaan Dalam Perspektif Pendidikan Kesadaran Masyarakat

SPB.5.2. Peran Strategis Pendampingan Desa

BAHAN BACAAN

73 77 80 84 87

114 117 120

(10)
(11)

KURIKULUM PELATIHAN

PENDAMPING LOKAL DESA

(12)

MATRIK KURIKULUM

PELATIHAN PENDAMPING LOKAL DESA

A. LATAR BELAKANG

Pengesahan Undang undang Desa No.6 Tahun 2014 (UU Desa) menandai dibukanya gerbang harapan menuju kehidupan berdesa yang lebih maju.UU Desa di samping memberikan dasar hukum bagi keberadaan desa, juga menghadirkan cara pandang baru dalam melihat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Desa diakui desa sebagai subyek yang mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Masyarakatnya memiliki ruang dan kesempatan luas untuk ikut ambil bagian dalam perencanaan pembangunan desa. Bahkan pemerintah, utamanya Pemerintah Kabupaten/ Kota diwajibkan mendampingi desa dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menuju kemandirian.

Ruang lingkup implementasi visi baru UU Desa sangat luas. Salah satunya adalah menyangkut kesiapan pemerintah baik dalam menyiapkan tata kelola dan penyesuaian kerja birokrasi, maupun dalam melakukan pendampingan masyarakat desa. Pendampingan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi 2015 bertujuan;

• Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa;

• Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif;

• Meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antarsektor; dan • Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris.

(13)

Sehubungan dengan tujuan pendampingan, maka kapasitas pendampingan desa yang diperlukan mencakup: (1) pengetahuan tentang kebijakan UU Desa, (2) keterampilan memfasilitasi pemerintah desa dalam mendorong tatakelola pemerintah desa yang baik; (3) keterampilan tugas-tugas teknis pemberdayaan masyarakat, dan (4) sikap kerja yang sesuai dengan standar kompetensi pendamping dan tuntutan UU Desa. Kapasitas itu perlu dimiliki oleh setiap tenaga profesional yang bertindak sebagai pendamping, termasuk Pendamping Lokal Desa dengan tugas utamanya mendampingi desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, kerja sama desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan berskala lokal desa.

Salah satu sarana untuk meningkatkan kapasitas Pendamping Lokal Desa dalam melakukan pendampingan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa adalah pelatihan atau proses pembelajaran. Sekalipun cakupan pokok materi pelatihan atau pembelajaran bagi setiap pendamping desa, baik dari satuan kerja pemerintah daerah maupun tenaga ahli dari pihak ketiga, adalah sama namun manajemen pelatihan (metode penyampaian, media, dan evaluasi pencapaian) berbeda. Terutama manajemen pelatihan atau proses pembelajaran untuk peningkatan kapasitas Pendamping Lokal Desa yang tuntutan kualifikasi dan latar belakangnya lebih bersifat umum.

Atas dasar kebutuhan tersebut, dalam rangka mendukung pelaksanaan UU Desa dan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang menginisiasi penyelenggaraan pelatihan Pendamping Lokal Desa untuk mendorong implementasi UU Desa.

Diharapkan dalam pelatihan ini dapat menghasilkan Pendamping Lokal Desa Pendampingan Desa yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memadai untuk membantu pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa secara profesional, efektif dan efisien, akuntabel, terbuka dan bertanggungjawab.

B. RUANG LINGKUP

Kurikulum Pelatihan Pendamping Lokal Desa disusun dengan maksud memberikan kerangka acuan dalam penyelenggaraan pelatihan Pendamping Lokal Desa sebagai Pendampingan Desa agar siap mendampingi pemerintah desa dan masyarakat desa dalam mengawal implementasi UU Desa.

Selanjutnya, dalam rangka mempersiapkan dan melaksanakan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Pendamping Lokal Desa maka disusun paket pelatihan yang terdiri dari:

1) Petunjuk Penyelenggaraan Pelatihan Pendamping Lokal Desa; 2) Matrik Kurikulum Pelatihan Pendamping Lokal Desa;

(14)

C. TUJUAN PELATIHAN

Tujuan Pelatihan Pendamping Lokal Desa, yaitu:

1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Peserta memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memadai dalam menjalankan tugas pokok, peran dan fungsinya memfasilitasi memfasilitasi implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014.

2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

1. Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:

2. Memahami perspektif dan semangat Implementasi Undang-Undang Desa;

3. Memahami peran dan fungsi Pendamping Lokal Desa dalam pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat;

4. Terampil dalam memfasilitasi pemerintahan desa dan masyarakat menyelenggarakan Musyawarah Desa;

5. Terampil dalam memfasilitasi Pemerintah Desa dan BPD dalam menyusun RPJMDesa dan RKPDesa;

6. Aktif terlibat bersama pemerintahan desa serta masyarakat desa untuk meningkatkan kapasitas dan perannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa;

(15)

D. SKEMA DINAMIKA PELATIHAN

PB.1 Visi Undang undang Desa

PB.2 Produk Hukum Desa

PB.3 Sistem Pembangunan

Desa

PB.4 Pengembangan

Wilayah Desa

(16)

MA

TRIK MA

TERI PELA

(17)

F. GARIS BESAR PROGRAM PELATIHAN

Garis besar program pelatihan Pendamping Lokal Desa terdiri dari tiga materi utama baik menyakup pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Masing-masing bagian terbagi ke dalam aspek yang lebih khusus. Alur pelatihan dimulai dengan membangun perspektif pemahaman tentang visi perubahan sosial desa yang diamanatkan UU Desa No.6 Tahun 2014. Untuk membantu peserta memahami relevansi gagasan ideal visi perubahan desa dengan kenyataan hidup berdesa, termasu pada bagian awal ini peserta didorong untuk belajar mengenali ruang-ruang strategis implementasi UU Desa.

Selanjutnya peserta diajak untuk mengenal dan memahami aspek normatif terkait dengan peraturan perundangan dan kebijakan yang menjadi dasar tata kelola atau pelaksanaan implementasi UU Desa. Bobot dari bagian kedua garis besar program pelatihan terletak pada kemampuan memahami aspek normatif. Meskipun demikian dalam pelatihan ini peserta diajak juga memahami aspek keterampilan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya mendampingi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa.

(18)
(19)
(20)
(21)
(22)

BAB II

PANDUAN

(23)

PANDUAN MEMBACA MODUL

Modul Pelatihan bagi Pendamping Lokal Desa (PLD) ini merupakan bahan pelatihan yang akan dijadikan sebagai bahan pembekalan sekaligus panduan bagi Pendamping Teknis Kabupaten dan Pendamping Desa dalam mendorong implementasi UU Desa melalui pelatihan yang akan mereka sampaikan kepada Pendamping Lokal Desa. Diharapkan nantinya, melalui Modul Pelatihan ini, PLD memiliki persepsi yang benar mengenai UU Desa serta terbangun komitmennya untuk terlibat dalam proses mendorong Desa dalam proses pembangunan.

Modul ini dilengkapi dengan sebuah buku saku berjudul “Tanya Jawab : Memahami UU No 6 Tahun 2104 Tentang Desa”. Adapun buku saku tersebut wajib dimiliki oleh peserta latih untuk mempermu-dah proses belajar yang dilaksanakan. Buku saku itu juga akan menjadi buku pegangan PLD dalam kerjanya melakukan pendampingan di desa.

Kebutuhan Akan Modul Pelatihan

Modul ini dimaksudkan untuk memandu pelatih dalam memfasilitasi proses pelatihan di tingkat ke-camatan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi di lapangan, bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami secara baik dan benar substansi UU Desa berikut proses implementasinya. Dari hasil analisis kebutuhan pelatihan menunjukkan bahwa kondisi pendamping desa menunjukkan tingkat pemahaman yang berbeda tentang implementasi Undang-Undang Desa sesuai dengan latar belakang, karakteristik wilayah, dan kondisi sosial yang ada.

Pengalaman menjalani proses pembangunan yang sentralistik semasa era Orde Baru (Government Driven Development) yang kemudian berubah menjadi pembangunan partisipatif yang mengede-pankan masyarakat sebagai pelaku (Community Driven Development) ternyata masih memiliki kelemahan di mana penguatan di masyarakat tidak diiringi penguatan kepada pemerintah desanya. Padahal, sesuai dengan amanat UU Desa, Desa merupakan subyek pembangunan, persis pada kondisi ini Desa sebagai keseluruhan mencakup pemerintahan desanya serta masyarakat desa, seluruhnya. Desa pada akhirnya merupakan perpaduan antara Local Self Government (LSG) serta Self Governing Community (SGC) sekaligus.

(24)

cu kepada Surat Dirjen PPMD tentang kualifikasi tenaga Pendamping Lokal Desa yang pendidikan minimal adalah Lulus SMP, maka modul ini disusun dengan mempertimbangkan kondisi tersebut. Modul pelatihan ini dimaksudkan untuk :

1. Menyamakan persepsi dan konsep pendampingan desa berbasis pedekatan Desa sebagai Subyek (Village Driven Development- VDD) seperti diamanatkan dalam UU Desa;

2. Mempersiapkan calon Pendamping Desa untuk bisa memfasilitasi proses pelatihan tenaga Pendamping Lokal Desa yang memiliki komitmen dalam rangka mendorong Desa untuk secara optimal mampu mengimplementasikan proses pembangunan dengan semangat UU Desa;

Format Modul

Modul Pelatihan P3MD segaja didesain menjadi 2 (dua) model, pertama adalah:

1. Modul Pelatihan Pendamping Desa; dan

2. Modul Saku (Pocket Module) yang memuat istilah sekaligus muatan substansi dan muatan teknis seputar UU Desa.

Sasaran Pengguna

Modul ini secara khusus ditujukan bagi Pendamping Teknis Kabupaten dan Pendamping Desa yang akan melatih para Pendamping Lokal Desa.

Pendidikan S1, pengalaman relevan 2 tahun. Atau D3, pengalaman relevan 4 tahun.

Sanggup bertempat tinggal di lokasi penugasan (Kecamatan).

Pendidikan SLTP atau sederajat.

Memiliki pengalaman berorganisasi, pernah aktif kegiatan pembangunan, pemberdayaan masyarakat desa. Bertempet tinggal di

Pendamping Desa (Pelatih) Pendamping Lokal Desa (Peserta)

(25)

Dengan sasaran pengguna tersebut, maka format modul yang disiapkan menjawab kebutuhan pengguna.

Modul Pelatihan : menjadi modul pegangan pelatih.

Pocket Module : Modul Saku secara spesifik ditujukan bagi Pendamping Lokal Desa, maka format modul saku ini lebih menyerupai ‘Buku Pintar’

Namun demikian, keseluruhan modul ini bisa dipakai oleh siapa saja yang memiliki kepedulian dan semangat untuk mendukung Desa melalui implementasi UU Desa.

Bagaimana Modul Pelatihan ini Disusun?

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pem-bangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mendorong disusunnya Modul Pelatihan bagi Pen-damping Lokal Desa melalui :

a) Kajian Kebutuan : melalui form isian untuk menggali kebutuhan akan pentingnya mod-ul pelatihan berikut materi yang dibutuhkan. Form tersebut didistribusikan kepada para Koorprov KNPP Transisi untuk diisi sesuai dengan kebutuhan yang ada di lokasi tugasn-ya;

b) Penyusunan Draft Modul I : Draft Modul Pelatihan Pendamping Desa dan Pendamping Lokasl Desa I disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Training KNPP Transisi dilengkapi dengan Bahan Bacaan yang disusun oleh para Tenaga Ahli di KNPP.

c) Workshop Penyelesaian Penulisan Modul, Kurikulum dan Bahan Bacaan Pelatihan Pem-bangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Tahun Anggaran 2015 : Workshop ini sebagai bagian penting untuk membedah Draft Modul I untuk hingga menjadi Modul siap pakai di lapangan;

d) Ujicoba Modul : Modul yang telah selesai secara substansi, diujicobakan ke 5 (lima) ka-bupaten di 5 (lima) provinsi terpisah, yakni Kaka-bupaten Banyumas (Jawa Tengah), Kabu-paten Kampar (Riau), KabuKabu-paten Gianyar (Bali), KabuKabu-paten Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara) dan Kabupaten Malang (Jawa Timur). Dari ujicoba yang dilakukan tersebut sebagai bahan untuk penyempurnaan modul yang disusun.

(26)

panduan pelatih, lembar kerja dan lembar tayang (presentasi atau beberan atau bahan paparan) yang bermanfaat bagi calon pelatih yang akan menyampaikan materi pelatihan. Modul pelatihan dikemas dalam bentuk panduan bagi pelatih agar mudah digunakan dan memungkinkan dan penye-suaian dengan kondisi lingkungan belajar peserta.

Modul pelatihan ini terdiri dari 5 Pokok Bahasan utama dan 12 Subpokok Bahasan yang membahas kerangka isi, proses belajar, media dan penilaian terkait bagaimana visi UU Desa serta upaya-upaya implementasinya. Secara rinci struktur materi modul pelatihan ini digambarkan dalam table sebagai berikut:

POKOK BAHASAN

SUB POKOK BAHASAN

UU Desa : Visi menuju perubahan

desa

- Amanat UU Desa: Perubahan Mendasar Desa

- Ruang Strategis Implementasi UU Desa

Produk Hukum Desa

- Kewenangan Desa

- Jenis-jenis Produk Hukum Desa

- Mekanisme Pengambilan Keputusan

- Hubungan Peraturan Desa Terkait Produk Hukum Lain

Sistem Pembangunan Desa

- Musyawarah Desa dan Potensi Ruang Terbuka

- Perencanaan Pembangunan Desa

- Pelaksanaan dan Pengawasan Pembangunan Desa

- Penganggaran Pembangunan Desa

Pengembangan Wilayah Desa

- Desa Mandiri

- Pengembangan Wilayah Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

-

Perspekif Pendidikan Penyadaran Terkait Peran Pent

-ing Masyarakat Dalam Membangun Desa

- Strategi Pendampingan Desa

Skema Pelatihan

(27)

Catatan

1. Modul Pelatihan Bukan Buku Ajar

Modul ini disusun sebagai koridor pembelajaran semata-mata, dan Modul ini didukung oleh Bahan Bacaan serta Bahan Tayang juga kelengkapan lain yang bisa digali oleh setiap pelatih sesuai den-gan kondisi setempat. Dan olah karenanya, Modul ini murni sebagai pemandu.

Pengalaman dan kapabilitas Pelatih (Pendamping Desa dan juga Pendamping Teknis Kabupaten) akan sangat menentukan hasil dari desain modul yang dikembangkan. Untuk itu, Modul ini tidak dibaca sebagai buku tersendiri, melainkan harus dilengkapi dengan Bahan Bacaan yang disediakan serta bacaan dan pengalaman lain yang mendukung.

2. Kaidah Belajar Orang Dewasa

Modul pelatihan ini disusun berdasarkan kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa, pelatih hendak-nya tidak menggurui, melainkan sebagai fasilitator menjadi pengarah atau pengolah proses belajar dan mengakumulasikan secara partisipatif-kreatif dari pengalaman yang telah dimiliki peserta. Se-bagai suatu pengalaman, modul ini diperlakukan layaknya seSe-bagai panduan bukan kitab suci yang tidak boleh dirubah.

Sebagian bahasan dalam modul pelatihan merupakan refleksi pengalaman para pemangku kepent-ingan yang terlibat dalam pendampkepent-ingan desa. Penjelasan lebih diarahkan sebagai petunjuk praktis dan teknis bagi pelatih yang akan menggunakannya untuk keperluan pelatihan. Manfaat yang di-harapkan dari modul ini, jika dipakai sebagai alat untuk menggali pengalaman dan merefleksikannya dalam kehidupan nyata dalam berdesa.

3. Kreativitas dan Kondisi Lokal

Kreativitas pelatih/ fasilitator sangat menentukan dalam proses pengayaan serta kualitas pelatihan yang dilaksanakan. Modul pelatihan ini lebih efektif, jika digunakan sepanjang tidak menyalahi atur-an atau prinsip-prinsip dasar pendidikatur-an partisipatoris. Oleh karenatur-anya, pelatih dapat :

a) Mengembangkan metodologi serta penggunaan media yang lebih bervariasi. Namun demikian, tujuan dari Modul ini harus tetap menjadi acuan dasar pelatihan.

b) Menggunakan media sekreatif mungkin;

c) Sebanyak mungkin mengangkat persoalan-persoalan atau issue-isuue yang terjadi di lokasi pelatihan;

(28)

4. Cara Menggunakan Modul

Modul pelatihan ini memberikan beberapa petunjuk berupa pilihan belajar yang dapat digunakan oleh pelatih dalam memahami dan menyampaikan materi pelatihan. Setiap pokok bahasan atau subpokok bahasan berisi tema-tema atau aktivitas belajar yang disusun dengan menggunakan pendekatan induktif atau deduktif secara bergantian atau bersamaan. Hal ini sangat tergantung karakteristik materi yang hendak disampaikan. Namun, demikian keselarasan, keterpaduan dan kemudahan penyajian menjadi pertimbangan dalam menggunakan modul pelatihan ini. Oleh karena itu, pahami kurikulum dan struktur anataomi modul pelatihan dengan benar, kemudian hubungkan dengan struktur materi atau pokok bahasan yang disajikan, sehingga memudahkan mendalami sub-stansi maupun metodologinya. Jika terdapat hal-hal yang membutuhkan penyesuaian atau pen-gayaan, pelatih dengan mudah dapat mengguna-kan variasi lain tanpa keluar dari kerangka pokok dari modul pelatihan ini.

Dalam setiap bagian atau pokok bahasan terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau modul den-gan topik yang beragam dan dapat dipelajari secara mandiri sesuai denden-gan materi yang diperlukan. Masing-masing subpokok bahasan dalam modul ini menggambarkan urutan kegiatan pembelajaran dan hal-hal pokok yang perlu dipahami tentang materi yang dipelajari serta keterkaitannya dengan topik lainnya.

Dalam setiap subpokok bahasan dilengkapi dengan panduan pelatih yang membantu dalam meng-arahkan proses, media dan sumber belajar, lembar kerja, lembar evaluasi dan lembar informasi atau bahan bacaan. Masing-masing disusun secara kronologis yang agar memudahkan bagi penggu-na dengan memberikan alterpenggu-natif dalam memanfaatkan setiap subpokok bahasan secara luas dan fleksibel.

Setiap pokok bahasan dilengkapi dengan bahan bacaan pendukung yang dapat dibagikan secara terpisah dari panduan pelatihan agar dapat dibaca peserta sebelum pelatihan di mulai. Pelatih juga diperkenankan untuk menambah atau memperkaya bahan bacaan untuk setiap subpokok bahasan berupa artikel, buku, juklak/juknis dan kiat-kiat yang dianggap relevan.

(29)
[image:29.637.80.561.136.522.2]
(30)
(31)
(32)

RENCANA

PEMBELAJARAN

(33)

Visi Undang Undang Desa

(34)

SPB 1.1.

Visi Perubahan Desa

Tujuan

Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan:

1. Mampu menjelaskan visi UU Desa tentang perubahan desa yang maju, kuat, mandiri, berkeadilan dan demokratis 2. Mampu menjelaskan pemahaman tentang kedaulatan desa

dalam kaitannya dengan azas pengakuan (rekognisi) dan pelaksanaan kewenangan (subsidiaritas) dalam kaitannya pengertian “masyarakat berpemerintahan (Self Governing Community) dan pemerintahan lokal berskala desa (Local Self Government)”.

Waktu

3 JPL (135 menit)

Metode

Curah pendapat, diskusi kelompok, paparan

Media

Lembar Tayang dan Bahan Bacaan

Alat Bantu

(35)

Proses Penyajian

Aktivitas 1.

Kelemahan Desa

1. Bukalah pertemuan dengan menjelaskan tujuan yang akan dicapai dalam sesi belajar bersama ini terkait dengan sub pokok bahasan tentang visi UU Desa

2. Mulailah menghidupkan kelas dengan mengajak peserta untuk berdiskusi, curah gagasan tentang kenyataan desa (sosial, ekonomi, budaya, alam, mata pencarian, konflik dan lainnya). Bantulah diskusi dengan panduan pertanyaan berikut;

Ceritakan tentang “desa” (tempat tinggal peserta)? Apakah jenis pekerjaan yang ada di desa mencukupi kebutuhan hidup masyarakat desa?

Apakah ada kecenderungan masyarakat desa untuk meninggalkan desa (pergi ke kota)?

Mengapa?

Bagaimana susunan pemerintahan desa? Siapakah (kelompok manakah) yang berperan dalam kehidupan berdesa?

Apakah peserta pernah terlibat dalam proses pembangunan desa (musyawarah perencanaan, pengawasan pembangunan)?

3. Selesai diskusi, rangkumlah hasil diskusi kelompok kecil dengan menunjukkan hubungan sebab akibat dari jawaban-jawaban para peserta dan kenyataan kelemahan-kelemahan desa.

(36)

1. Tanyakan kepada peserta apa artinya visi

2. Jelaskan tentang arti visi desa dengan menggunakan jawaban peserta yang paling tepat atau yang

mendekati tepat

3. Langkah selanjutnya, jelaskan kepada peserta apa visi yang diamanatkan UU.

4. Bagikanlah satu kertas kosong (meta plan) kepada setiap peserta. Mintalah peserta dari ujung kiri untuk menghitung berurutan mulai 1 sampai dengan 6. Mintalah peserta untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan nomor urut;

a. Nomor 1 – apa artinya “desa maju?’” b. Nomor 2 – apa artinya “desa kuat?” c. Nomor 3 – apa artinya “desa mandiri?” d. Nomor 4 – apa artinya “desa adil?” e. Nomor 5 – apa artinya “desa sejahtera?” f. Nomor 6 – apa artinya “desa demokratis?”

5. Selanjutnya mintalah setiap peserta secara bergiliran membacakan jawabannya, sebelum menempelkan jawabannya di tempat yang bisa dilihat bersama (Bisa juga disusun di lantai).

Visi desa adalah arah pandangan ke depan

atau cita-cita desa yang dirumuskan dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

desa dan diperjuangkan melalui RKP Desa

Visi UU Desa, menjadikan desa

maju, kuat, mandiri, adil, sejahtera

dan demokratis

(37)

6. Setelah selesai semua peserta membacakan jawabannya, buatlah rangkuman yang jelas tentang pengertian desa maju, kuat, mandiri, adil, sejahtera dan demokratis.

7. Tegaskan bahwa desa akan maju, kuat, mandiri, adil, sejahtera dan demokratis kalau desa berperan sebagai pelaku utama (subyek) dalam pembangunan.

Aktivitas 3.

Azas, Hak dan

Kewenangan Lokal Desa

1. Jelaskan bahwa kedudukan desa sebagai subyek itu didasarkan pada azas pengakuan (rekognisi) dan pelaksanaan kewenangan (subsidiaritas) lokal berskala desa

2. Diskusikan langsung dengan peserta;

Apa artinya hak asal-usul bagi desa? Hak asal-usul desa meliputi apa saja?

3. Jelaskan bahwa hak asal-usul itu juga merupakan pengakuan atas keberadaan desa sebagai komunitas (masyarakat) berpemerintahan (self governing

community)

4. Selanjutnya jelaskan arti subsidiaritas sebagai azas otonomi atau pemberian kewenangan.

Tunjukan

posisi utama

azas rekognisi

dan subsidiaritas

di antara

azas-azas pengaturan

desa lain (Psl.3.

UU Desa No.6

Thn 2014)

Bisa gunakan

Bahan Tayang

SPB 1.1.

Hak asal-usul makna pokoknya adalah

mengakui keberadaan desa sebagai

komu-nitas (masyarakat) yang mengatur hidup

bersama dengan kearifannya, hukum

adat-nya, dan pranata sosialnya

(38)

desa (local self government).

(39)

Lembar Informasi no.1

SPB 1.1.

Desa Lama

Desa Baru

Payung Hukum UU No. 32.2004 dan PP No. 72.2005 UU No. 6/2014

Asas Utama Desentralisasi-residualitas Rekognisi-subsidiaritas Kedudukan Sebagai organisasi pemerintahan

yang berada dalam sistem pemerintahan Kabupaten/Kota (Local State Government)

Sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing commu-nity dan local self government

Posisi dan peran Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa.

Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat

Delivery

kewenangan dan program

Target Mandat

Politik tempat Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek dari atas

Arena: Desa sebagai arena bagi orang desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan,

pemberdayaan dan kemasyarakatan Posisi dalam

pembangunan

Objek Subjek

Model Pemban-gunan

Government driven development atau community driven develop-ment

Fasilitasi, emansipasi dan konsolidasi

Pendekatan dan tindakan

Imposisi dan mutilasi sektoral Fasilitasi, emansipasi dan konsolidasi

(40)

(Sutoro Eko, dkk - 2015)

Paradigma Lama

paradigma Baru

• Fokus pada pertumbuhan ekonomi • Redistribusi oleh negara

• Otoritarianisme ditolelir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan. • Negara memberi subsidi pada

pengusaha kecil.

• Negara menyediakan layanan sosial • Transfer teknologi dari negara maju • Transfer aset-aset berharga pada negara

maju

• Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah

• Sektoral

• Organisasi hirarkhis untuk melaksanakan proyek.

• Peran Negara: Produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar

• Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan

• Proses demokrasi dan keterlibatan warga marginal dalam pengambilan keputusan. • Menonjolkan nilai-nilai kebebasan,

otonomi, harga diri, dll.

• Negara membuat lingkungan yang memungkinkan.

• Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial.

• Penghargaan terhadap kearifan dan teknologi secara partisipatoris.

• Penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas miskin.

• Pembangunan adalah proses multidimensi dan sering tidak nyara yang dirumuskan oleh rakyat.

• Menyeluruh dan terpadu.

• Organisasi belajar non-hirarkhis. • Peran negara: Menciptakan kerangka

legal yang kondusif, membagi kekuasan, mendorong tumbuhnya institusi-institusi lokal

(41)

Lembar Informasi no.2

SPB 1.1.

Menjadikan desa Mandiri, berdaulat

dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan dalam mencapai

kesejahteraan masyarakat desa.

(Pelaku Utama)

Mengurus pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. (Pasal 4)

Subjek

Kewenangan, Hak & Kewajiban.

(Pasal 18, pasal 67)

Rekognisi Pengakuan Hak Asal-usul

Subsidiaritas Kewenangan pemerintahan

(Pasal 3)

(42)

Menjadikan desa Mandiri, berdaulat

dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan dalam mencapai

kesejahteraan masyarakat desa.

(Pelaku Utama)

Mengurus pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. (Pasal 4)

Subjek

Kewenangan, Hak & Kewajiban. (Pasal 18, pasal 67)

Rekognisi

Pengakuan Hak Asal-usul

Subsidiaritas

Kewenangan pemerintahan

(Pasal 3)

Undang undang no. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pendampingan Desa

(Permendes No.3 Th 2015)

Pemberdayaan

Pendampingan

(Psl 128 - 130, PP 43 Th 2014, PP 47 Th 2015)

Pembinaan

Pengawasan

(Psl 112 - 115, UU No.6 Th 2014)

Peran Pemerintah

Pemerintah Provinsi,

(43)

SPB 1.2.

Ruang Strategis

Implementasi UU Desa

Tujuan

Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan,

1. Mampu menjelaskan arti ruang strategis implementasi UU Desa

2. Mampu menunjukkan contoh-contoh nyata potensi ruang-ruang strategis yang ada di desa

Waktu

2 JPL (90 menit)

Metode

Curah pendapat, diskusi kelompok, paparan

Media

Lembar Tayang dan Bahan Bacaan

Alat Bantu

(44)

1. Bukalah pertemuan dengan menjelaskan tujuan yang akan dicapai dalam sesi belajar bersama ini

2. Ajak partisipasi peserta dengan meminta untuk menjawab pertanyaan;

Apa arti implementasi visi UU Desa? Apa yang dimaksud ruang strategis?

3. Kemudian mintalah peserta mengingat kembali pokok materi sebelumnya tentang visi UU Desa.

4. Jelaskan arti ruang strategis implementasi UU Desa.

Pokok penting dari langkah ini adalah

menunjukkan bahwa visi adalah rumusan

tentang cita-cita yang berupa ide atau

ga-gasan.

Implementasi adalah tindakan atau ke-

giatan untuk mewujudkan visi menjadi Visi

yang baik hanya bisa dilihat dari tindakan

(implementasi) desa membangun dan

memberdayakan masyarakat.

Ruang strategis yang dimaksud

adalah ruang terbuka yaitu peristiwa,

tempat atau kesempatan dimana

masyarakat desa bisa berdialog,

bisa menyampaikan gagasan, saling

menguatkan, mendukung gagasan

tentang kepentingan masyarakat desa.

Bisa gunakan

Bahan Tayang SPB

1.1.

(45)

5. Ingatkan kembali secara ringkas tentang sistem (tahap) pembangunan desa; perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan .

6. Bagilah jumlah peserta ke dalam

kelompok-kelompok kecil. Mintalah masing-masing kelompok-kelompok mendiskusikan hal terkait ruang strategis implementasi UU Desa;

Dalam sistem pembangunan desa, dimana tahap yang menentukan pembangunan desa akan berpihak pada masyarakat desa (pro people)atau tidak?

Dimana masyarakat bisa terlibat, ikut menentukan arah pembangunan desa?

Dimana ruang strategis untuk menentukan pembangunan desa yang berpihak pada kepentingan masyarakat desa?

Mengapa ruang itu (pertanyaan c)dinilai strategis? 7. Mintalah setiap kelompok untuk menyampaikan hasil

diskusi. Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi hasil temuan kelompok lain.

8. Akhiri sesi belajar bersama dengan memberikan tekanan pada pokok-pokok gagasan hasil temuan belajar bersama.

a.

b.

c.

(46)
(47)

Desa dan Pulau Harapan

AHMAD ERANI YUSTIKA

Cetak | 11 Agustus 2015 561 dibaca 0 komentar

Pemerintah telah memberi identitas baru atas pilihan pembangunan ekonomi yang harus diambil. Pada isi Nawacita, sekurangnya tafsir itu terpapar di tiga cita, yakni membangun dari pinggiran, peningkatan produkti-vitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi.

Jika dibenturkan dengan konsep ekonomi pemban-gunan, ”Tricita” tersebut berteduh dalam pohon teori ”struktural”. Istilah ”pinggiran” (periphery) adalah frasa populer untuk membenturkan dengan negara/ wilayah ”pusat” (center) dalam tradisi Marxianeco-nomics. Demikian pula, terma ”ekonomi rakyat” dan ”kemandirian ekonomi” lekat dengan konsep yang bersinggungan dengan mazhab tersebut, seperti yang kerap diteriakkan oleh Samir Amin ataupun Fernando Henrique Cardoso (tentu dengan istilah yang tak sepenuhnya persis). Inilah babak baru yang secara sadar diayak pemerintah setelah mengamati secara jeli watak pembangunan (ekonomi) Indonesia sepanjang 70 tahun seusai kemerdekaan.

Pasokan pengetahuan

Salah satu alas pokok yang dipakai untuk menjalankan Tricita di atas adalah Undang-Undang Desa No-mor 6 Tahun 2014. UU ini mendapatkan atensi yang luar biasa dari khalayak karena dipandang sebagai horizon baru pembangunan. Desa diletakkan sebagai pusat arena pembangunan, bukan lagi semata lokus keberadaan sumber daya (ekonomi) yang dengan mudah disedot oleh wilayah lain (kota) untuk beragam kepentingan.

Perhatian menjadi kian luar biasa begitu pemerintah meneruskannya dengan membentuk kementerian yang khusus mengawal urusan desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dengan begitu, urusan desa tak hanya disantuni secara legal (UU), tetapi secara politik dengan lugas afir-masi telah ditunjukkan pemerintah via pembentukan kementerian baru itu (dan dana desa) sehingga pada hari-hari mendatang pusat pertaruhannya adalah bagaimana kekuatan legal dan politik itu menjelma dalam kerja teknokratis di lapangan.

Teknokratisme pembangunan desa itu berdiri tegak di atas tiga pilar (Desa Berdikari). Pertama, mengaru-sutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan sehingga mereka menjadi

(48)

adalah penciptaan komunitas belajar dan balai pencerahan dengan basis karakteristik sosial dan budaya setempat.

Pola semacam itu tidak sekadar menambah pengetahuan dan keterampilan (sesuai dengan pilihan hidup yang telah ditetapkan), tetapi juga menegakkan matra komunitas yang menjadi corak hidup warga desa. Berikutnya, perkara kesehatan juga patut menjadi fokus pendalaman kapabilitas karena masih rendahnya daya dukung pada aspek ini. Kenaikan angka ibu yang meninggal saat melahirkan, peningkatan bayi den-gan ukuran tubuh tidak normal (stunting), gizi buruk, ketersediaan sanitasi, pasokan air bersih, dan lain-lain masih merupakan kenyataan pahit di pedesaan.

Perlu gerakan masif untuk memperbaiki aspek ini karena jumlahnya sangat banyak dan tersebar secara geografis (yang sebagian sulit dijangkau). Di sini tidak hanya perlu anggaran yang besar, tetapi juga pilihan program yang efektif untuk mengatasinya. Perbaikan kualitas manusia merupakan misi yang harus dimenan-gi karena hakikat pembangunan tak lain adalah ekspansi kapabilitas manusia.

Lumbung ekonomi rakyat

Kesejahteraan adalah salah isu mendesak di desa mengingat kantong-kantong kemiskinan berada di sana (sekitar 65 persen penduduk miskin berdiam di desa). Urbanisasi masif yang terjadi disebabkan oleh involusi desa tersebut, bukan karena ada tarikan permintaan tenaga kerja di kota. Inilah yang membuat fenomena ”urbanisasi prematur” terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, gerakan lumbung ekonomi rakyat merupakan palang pintu utama untuk mendongkrak kesejahteraan ekonomi tersebut. Pokok soal yang utama adalah membekali aset produktif yang memadai sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih besar.

Problemnya, sebagian besar kaum miskin itu tak memiliki aset produktif yang mencukupi (khususnya lahan dan modal). Dengan begitu, kebijakan reformasi agraria (yang juga menjadi salah satu komitmen pemerin-tah) menjadi sangat strategis diimplementasikan dengan lokus penduduk desa yang tunaaset tersebut, di samping kebijakan drastis terkait akses terhadap modal.

Berikutnya, menempatkan kegiatan ekonomi hanya pada hulu (misalnya produksi komoditas pertanian atau eksplorasi sumber daya alam lain) terbukti hanya meninggalkan desa dalam kubang keterbelakangan. Desa hanya dimanfaatkan sebagai penyedia bahan baku dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan oleh pelaku dan di wilayah yang lain). Situasi ini harus dihentikan sehingga desa tak lagi cuma memperoleh porsi di hulu, tetapi juga memasuki aktivitas di sektor hilir.

Sumber daya ekonomi sebanyak mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses pencip-taan nilai tambah. Tentu saja proses ini tak mesti bertumpu hanya di satu desa, tetapi bisa pada kawasan pedesaan karena harus disesuaikan dengan skala ekonomi. Intervensi inovasi dan adopsi teknologi menjadi penting agar proses ekonomi pengolahan itu bisa berjalan dengan layak. Jika hal ini berlangsung dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tak lagi inferior.

(49)

idaritas sosial. Apa pun pilihan aktivitas ekonomi yang dikerjakan mesti paralel dengan kebutuhan tersebut agar pembangunan tak menciptakan paradoks: pertumbuhan berbarengan dengan kesenjangan. Konstitusi dengan tepat telah memberikan panduan pada Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Desain Pasal 33 adalah ban-gun usaha yang bersemangat koperasi. Pengambil kebijakan ekonomi mesti punya keberanian moral untuk menjalankan misi daulat ekonomi rakyat ini.

Menumbuhkan daya hidup

Pembangunan yang secara sengaja meretakkan relasi manusia dan pilihan yang akan diambilnya dipasti-kan justru menciptadipasti-kan keterasingan, di samping ketergantungan. Pembangunan menjadi ritus berjarak jika program yang dijalankan tidak menyertakan rakyat sebagai partisipan gerakan, mulai dari perumusan ma-salah, desain, implementasi, hingga monitoring program. Pembangunan menjadi proses mematikan, bukan menumbuhkan daya hidup rakyat.

Proses itulah yang sebagian terjadi atas kebijakan yang diambil selama ini sehingga terjadi mekanisme ket-erasingan dan ketergantungan secara sistematis. Dana desa mesti dicegah tidak mengulang pengalaman itu (dan tak seharusnya perhatian hanya fokus pada dana desa) sehingga anggaran yang digelontorkan harus dimaknai sebatas afirmasi pemerintah untuk menjadikan desa sebagai arena pembangunan tanpa merebut hak (warga) desa menyusun masa depannya sendiri. Ruang harus dibuka selebar-lebarnya bagi warga desa untuk menentukan hajat hidupnya lewat program yang digagas secara partisipatoris.

Jika pilihan itu yang diambil, modal (finansial) bukanlah amunisi utama pembangunan. Modal yang terpenting adalah kapabilitas manusia yang telah terberdayakan dan gerak sosial yang emansipatoris. Modal finansial hanyalah instrumen sekunder karena kebutuhan primer adalah manusia tercerahkan dan otentisitas jaringan sosial yang tersambung secara pekat. Proses inilah yang sebetulnya menjadi jantung perubahan paradigma pembangunan agar geraknya tidak ditindih oleh modal finansial yang kemudian justru mengisolasi sebagian (besar) kaum dari berkah pembangunan itu sendiri.

Jika kemudian para pendamping desa diturunkan ke segala penjuru, fungsinya yang pokok adalah menjadi aktor pemberdaya yang menumbuhkan daya hidup warga tersebut, bukan mengambil alih hak warga meru-muskan jalan hidupnya. Ujung dari proses ini adalah lenyapnya praktik ekonomi subordinatif yang menem-patkan pemilik modal sebagai tuan ekonomi.

Penting pula dipahami bahwa seluruh cakupan di atas harus sensitif terhadap kesinambungan lingkun-gan dan partisipasi perempuan. Pembangunan yang terlalu memberi bobot pada aspek ekonomi mungkin menjadi eskalator untuk mempercepat pencapaian ketinggian kesejahteraan, tetapi juga punya risiko terha-dap destruksi lingkungan. Keduanya tentu tak boleh dikorbankan meski kerap kali tak mudah mencapainya secara bersamaan. Demikian pula, banyak kasus inisiasi pembangunan yang dilakukan dan menyertakan kaum perempuan secara eksesif lebih punya potensi keberhasilan, seperti dalam model pengelolaan lem-baga keuangan. Ekspansi kapabilitas manusia/komunitas harus menyasar perempuan selem-bagai target utama akibat warisan konstruksi sosial yang tak berpihak kepada mereka selama ini.

Pada akhirnya, seluruh urusan ini harus dipayungi oleh kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan lain sebagainya yang memihak dan menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan. Jika kita bisa merawat konsistensi keseluruhan bangunan ini, paras desa akan beru-bah menjadi pulau-pulau harapan yang laik dijadikan sandaran masa depan.

(50)

Produk Hukum Desa

(51)

SPB 2.1.

Kewenangan Desa

Tujuan

Setelah pembelajaran ini peserta mampu:

1. Menjelaskan latar belakang dan pengertian kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa

2. Menemukan dan menjelaskan contoh kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenagan lokal berskala desa

Waktu

1 JPL (45 menit)

Metode

Sharing, curah pendapat. pemaparan, disko, pleno

Media

Bahan bacaan, bahan tayang

Alat Bantu

(52)

1. Mulailah dengan menjelaskan pokok bahasan, sub pokok bahasan dan tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar bersama.

2. Antarkan peserta memahami ruang lingkup pokok bahasan dengan mendiskusikan pertanyaan;

Apa yang dimaksud dengan kewenangan desa? Dari mana sumber yang menjadi dasar

kewenangan desa?

3. Rangkumlah hasil diskusi dengan menunjukkan secara jelas sumber kewenangan desa.

4. Bagilah jumlah peserta ke dalam beberapa kelompok kecil. Berikanlah pertanyaan di bawah berikut sebagai bahan diskusi kelompok:

Sampai dimana batas ruang lingkup kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul?

Sampai dimana batas ruang lingkup kewenangan lokal berskala desa?

Sebutkan produk-produk hasil kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa?

5. Mintalah setiap kelompok untuk memaparkan hasil diskusinya. Berikan kesempatan pada kelompok lain a.

b.

Kewenangan desa bersumber dari

azas rekognisi dan subsidiaritas

(Psl 3, UU Desa No.6 Th 2014)

(53)

6. Rangkum hasil diskusi kelompok sekaligus klarifikasi jawaban para peserta dengan menunjukkan pokok-pokok jawaban yang benar.

(54)

SPB 2.2.

Produk Hukum Desa

Tujuan

Setelah pembelajaran ini peserta mampu:

1. Mampu menjelaskan pengertian dan kedudukan peraturan-peraturan desa dalam struktur hirarki perundang-undangan 2. Mampu menjelaskan jenis-jenis peraturan desa dan

fungsinya dalam kehidupan berdesa

Waktu

2 JP (90 menit)

Metode

sharing, brainstorming. pemaparan, disko, pleno

Media

Bahan bacaan

Alat Bantu

(55)

1. Jelaskan tujuan yang akan dicapai dalam proses pembelajaran terkait dengan materi sub pokok bahasan.

2. hukum bagi kehidupan berdesa.

3. Lanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang kedudukan produk hukum desa dalam struktur hirarki (tata urutan) perundang-undangan.

4. Fasilitasi diskusi bersama untuk memahami ruang produk hukum desa. Sampaikan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai panduan diskusi;

Apa saja produk hukum yang ada di desa? Apa yang dimaksud dengan peraturan desa? Sampai dimana batas ruang lingkup kewenangan desa dalam mengatur produk hukum desa ? Sebutkan dan jelaskan Produk Hukum di Desa menurut UU No. 6 Tahun 2014?

5. Akhiri sesi belajar bersama dengan mengulang pokok-pokok temuan hasil diskusi. Sekaligus berikan tekanan pemahaman pentingnya produk peraturan desa sebagai dasar hukum pembangunan desa dan kehidupan berdesa.

a. b. c.

d.

Jenis peraturan di desa terdiri dari

Peraturan Desa, Peraturan Bersama

Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa.

(UU No.6 Th 2014; BAB VII, Psl 69 – 70)

(56)

SPB 2.2.

UUD

1945

TAP

MPR

UU/Perpu

Peraturan

Pemerintah

Peraturan Presiden

Perda Provinsi

Perda Kabupaten/Kota

Peraturan Desa

Meski

Peraturan Desa

tidak diakui sebagai bagian

dari hirarki peraturan

perundangan, namun tatap

diakui keberadaannya. Pasal

8 ayat (2) UU no. 12 Tahun

2011 dapat diambil pengertian

bahwa

Peraturan Desa

diakui

keberadaannya sebagai produk

hukum dan memliki kekuatan

hukum sepanjang diperintahkan

(didelegasikan) oleh Peraturan

Perundang-undangan di

atasnya atau dibentuk

berdasarkan kewenangan

subjek pelaku pembuatnya,

dalam hal ini Desa.

(Borni Kurniawan, 2015)

(57)

Lembar Informasi no.2

SPB 2.2.

Desasebagai Subjekhukum Musdes SPD

PemdesMasyarakat

RPJM DESA, RKP DESA, APB DESA

PENDAMPING DESA

(SKPD, PENDAMPING PROFESIONAL, PD, PLD, DAN

PIHAK KETIGA)

1. KEBIJAKAN PEMKAB/PEMKOT 2. RPJM DAERAH

3. PROGRAM/PROYEK MASUK DESA YANG TERPADU SECARA NASIONAL, PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

1. KONDISI OBJEKTIF DESA. 2. SUMBER DAYA DESA. 3. ASPIRASI MASYARAKAT.

• Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;

• Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;

• Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;

• Pengembangan dan

pemanfaatan tekhnologitepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan

• Peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desaberdasarkan kebutuhanmasyarakat desa

Peraturan Desa

Peraturan

Kepala Desa

Peraturan

Bersama

Kepala Desa

Jenis Peraturan di Desa

(58)

• Sebagai pedoman kerja dalam penyelenggaraan kegiatan di desa

• Terciptanya tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang di desa

• Memudahkan pencapaian tujuan.

• Sebagai acuan dalam rangka pengendalian dan pengawasan.

• Sebagai dasar pengenaan sanksi atau hukuman.

• Mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan atau kesalahan.

1

2

3

4

5

6

Hak

Masyarakat

dalam

penyusunan

peraturan di

Desa

(UU No. 6 Th 2014, Pasal 69;)

“(9) Rancangan

Peraturan Desa wajib

dikonsultasikan kepada

Masyarakat Desa”.

(59)

SPB 2.3.

Mekanisme

Pengambilan Keputusan

Tujuan

Setelah pembelajaran ini peserta mampu:

1. Mampu menjelaskan mekanisme (tahapan) pengambilan keputusan dan tata peyusunan peraturan desa

2. Mampu menjelaskan kedudukan peraturan desa dalam hubungannya dengan produk hukum lain

Waktu

1 JP (45 menit)

Metode

Sharing, brainstorming, pemaparan, pleno

Media

Bahan bacaan, cerita kasus

Alat Bantu

(60)

1. Mulailah dengan menjelaskan tujuan yang akan dicapai dalam sesi ini dengan menunjukkan topik atau materi yang akan menjadi pokok bahasan.

2. Aktifkan kelas dengan meminta peserta mencari

pasangan (3 orang) yang duduk bersebelahan kemudian minta kesediaan kelompok mendiskusikan beberapa pertanyaan berikut;

Bagaimana mekanisme (tata cara) penyusunan dan pengambilan keputusan sampai pada penetapan produk hukum desa?

Siapa yang bertanggungjawab dalam penyusunan dan pemutusan produk hukum di desa?

Siapa saja yang dilibatkan dalam penyusunan dan pemutusan produk hukum di desa?

Bagaimana keterlibatan masayarakat dalam

penyusunan dan pemutusan produk hukum di desa? 3. Mintalah salah satu kelompok peserta untuk mulai

menyajikan paparan hasil diskusinya.

4. Berikan kesempatan pada kelompok lain untuk

mengonfrontasi/membandingkan hasil diskusinya dengan apa yang baru saja dipaparkan kelompok penyaji.

5. Buatlah rangkuman jawaban terkait dengan materi bahasan secara berurutan dan teratur (sistematis) sehingga mudah dipahami peserta.

6. Akhiri sesi dengan menunjukkan peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum tentang ketentuan

mekanisme pengambilan keputusan. a. b. c. d.

Rancangan

Peraturan

Desa wajib

dikonsultasikan

kepada masyarakat

Desa” (Ayat 9)

Masyarakat Desa

berhak memberikan

masukan terhadap

Rancangan

Peraturan Desa.”

(Ayat 10)

(UU No 6 Th

2014 BAB VII

PERATURAN DESA

Pasal 69)

Lihat lembar

informasi no.1 -

SPB 2.3.

(61)
(62)
(63)

SPB 2.4.

Hubungan Produk Hukum Desa

dengan Produk Hukum Lain.

Tujuan

Setelah pembelajaran ini peserta mampu:

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan jenis rancangan peraturan desa yang dievaluasi Bupati/Walikota

2. Menjelaskan tahapan evaluasi rancangan peraturan desa oleh Bupati/walikota.

Waktu

1 JP (45 menit)

Metode

sharing, brainstorming, pemaparan, pleno

Media

sharing, brainstorming, pemaparan, pleno

Alat Bantu

(64)

1. Mulailah kegiatan dengan menyampaikan tujuan yang akan dicapai dalam sesi kali ini sesuai materi sup pokok bahasan yang akan dibahas.

2. Ajaklah peserta untuk aktif terlibat dalam diskusi pembahasan pertanyaan berikut;

Bagaimana pola hubungan pemerintahan desa dengan pemerintahan Kabupaten/Kota?

Apakah Bupati/Walikota memiliki kewenangan terkait dengan produk hukum atau peraturan desa? 3. Bantulah mengklarifikasi jawaban para peserta untuk

pertanyaan huruf (a)dengan mengingatkan kembali azas rekognisi dan subsidiaritas.

4. Tegaskan jawaban peserta untuk pertanyaan (b) dengan menunjukkan kewenangan Bupati/Walikota terkait dengan jenis-jenis produk hukum atau peraturan desa tertentu.

5. Mintalah peserta untuk berpasangan dengan peserta yang duduk di samping kanannya. Kemudian mintalah setiap pasangan untuk mendiskusikan pertanyaan berikut;

Bagaimana prosedur dan mekanisme evaluasi Bupati/walikota terhadap rancangan peraturan a.

b.

(65)

6. Selesai kelompok berdiskusi, berikan kesempatan kepada pasangan peserta yang berani mengangkat tangan untuk menyampaikan temuan hasil diskusinya.

7. Akhiri sesi pembelajaran sub pokok bahasan berikut dengan memberikan klarifikasi atau penegasan atas jawaban para peserta dengan menunjukkan prosedur dan mekanisme evaluasi sebagaimana yang telah ditetapkan.

Jelaskan dengan mengacu pada isi

Permendagri No. 111 Tahun 2014, Bab

IV, Pasal 14 dan seterusnya tentang

“Evaluasi dan Klarifikasi Peratuan

Desa”

Lihat lembar informasi 2, SPB 3.4.

Cukup beberapa

pasangan

(66)
(67)
(68)

(Borni Kurniawan)

Pengantar

Sebelum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir, Desa kurang mendapat perhatian yang serius dari Negara. Desa belum mendapat pengakuan sebagai entitas kesatuan hukum masyarakat Negara bangsa Indonesia. Sebagai kesatuan hukum masyarakat, Desa secara asali memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Bentuk pengaturannya diwujudkan dalam bentuk hukum adat. Ada yang tertulis, ada yang tidak tertulis. Dengan pranata hukum tersebut, masyarakat desa dapat hidup dalam harmoni tidak hanya antarpenduduk desa itu sendiri, tapi keharmonisan antara penduduk desa dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai contoh masyarakat negeri di Maluku dan Ambon mengenal sasi dan kewang. Di desa-desa di Nusa Tenggara Barat dan Bali dikenal dengan awig-awig.

Awal mulanya sasi adalah piranti di zaman dahulu yang diciptakan masyarakat Maluku untuk memelihara dan melestarikan hutan, laut dengan segala hasilnya di petuanan salah satu desa maupun negeri. Sebagai piranti sosial, waktu itu sasi belum tertulis sebagai perangkat hukum. Meski tidak tertulis, sasi yang berlaku di suatu desa/negeri sangat dipegang teguh. Dalam perkembanganya, sasi kemudian diformalkan dalam bentuk hukum tertulis pada zaman penjajahan Belanda. fungsiSasi dan Kewang meliputi; a) supaya semua tanaman yang menyangkut buah-buahan dijaga dengan baik. Buah-buahan yang ditanam di dalam dusun diambil pada waktunya yaitu ketika buah-buahan tersebut menjadi tua dan masak. b) supaya tanah-tanah negeri dan labuhan (laut) dapat terpelihara dengan baik guna dipakai oleh penduduk negeri tersebut. c) agar menjadi alat pelerai, mengurangi semua bentuk

(69)

anak-anak Dati1 dan Kepala Dati, antara anak-anak pusaka dan kepala pusaka. d) agar pencurian terhadap tanaman dan hasilnya dan kecelakaan-kecelakaan yang sering menimpa perempuan berkurang (Eko dan Kurniawan, 2010).

Di NTB dan Bali, awig-awig adalah aturan hukum adat yang harus dipatuhi semua warga sebagai pedoman dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari maupun sikap dalam berinteraksi dengan lingkungan alam sekitar. Awig-awig adalah aturan yang dikeluarkan oleh Desa atau lembaga adat atas kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah sosial kemasyarakatan tertentu sehingga dicapai kondisi yang baik. Di Desa Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur ada awig-awig yang secara khusus ditujukan untuk melindungi kehidupan nelayan, mengatur kehidupan masyarakat desa agar berperan serta dalam perlindungan alam dari kerusakan dan menjaga budaya lokal dari kepunahan. Misalnya awig-awig tentang perikanan yang di dalamnya mengatur tata kelola dan perlindungan ikan dari aktivitas masyarakat yang biasa berburu ikan dengan caranyetrum dan ngobat (memakai potassium dll). Di Jambi, aturan sejenis awig-awig juga berlaku bagi masyarakat desa hutan, khususnya bagi Suku Rimba yang hidup desa Taman Bukit Dua Belas. Untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka yang bergantung pada alam, masyarakat Suku Rimba memberlakukan aturan yang tidak hanya mengikat masyarakat asli Suku Rimba tapi juga pendatang yang masuk ke wilayahnya. Norma aturan yang diberlakukan contohnya larangan menebang pohon yang dikeramatkan. Dampak positif dari larangan ini adalah kelestarian hutan dan jaminan ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Posisi Perdes dalam Sistem Perundang-Undangan

Dalam perkembangan terkini tidak sedikit desa di banyak daerah berinisiatif membuat Peraturan Desa. Banyak pula desa-desa menginisiasi aturan adat distatuskan menjadi Peraturan Desa. Terlebih ketika gerakan masyarakat sipil mendorong otonomi desa semakin menguat. Banyak ragam urusan yang diatur. Ada yang mengatur tentang pungutan desa, retribusi pasar desa, kebersihan dan kesehatan lingkungan, BUM Desa, pemakaman dan perencanaan pembangunan desa. Desa Kawunganten di Kabupaten Cilacap mengeluarkan Peraturan Desa tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Desa Sarimahi di Kabupaten Bandung membuat Perdes tentang retribusi pasar desa. Di Desa Krandegan Kabupaten Kebumen menetapkan Perdes tentang perlindungan buruh migran dan keluarga buruh migran di desa. Yang paling banyak adalah Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKP Desa) dan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa).

(70)

menurutnya kurang mengakui eksistensi desa dan masyarakat desa. Jimli menyarankan peraturan di desa cukup diserahkan kepada Desa dan selanjutnya diurus oleh Desa dalam bentuk kesepakatan yang bebas dan beragam. Hierarki atau tata urutan produk hukum dari tertinggi ke yang terrendah menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal (7)sebagai berikut:

Dari uraian di atas jelas didapatkan pengertian bahwa Peraturan Desa tidak dilegitimasi atau diakui sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Meski demikian, masih dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut Peraturan Desa tetap diakui sebagai keberadaannya. Jika ditafsirkan pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 dapat diambil pengertian bahwa Peraturan Desa diakui keberadaannya sebagai produk hukum dan memiliki kekuatan hukum sepanjang diperintahkan (didelegasikan) oleh Peraturan Perundang-undangan di atasnya atau dibentuk berdasarkan kewenangan subjek pelaku pembuatnya, dalam hal ini Desa. Jadi, sebelum UU Desa diputustetapkan sebagai Undang-Undang pada 18 Desember 2013 lalu, posisi Peraturan Desa dalam struktur peraturan perundang-undangan nasional tidak memiliki dasar legitimasi Undang-Undang.

Setelah UU Desa lahir, apalagi di dalamnya memuat sejumlah norma yang memerintahkan ataupun mengakui desa untuk memproduksi Peraturan Desa, secara otomatis Perdes mendapatkan pendasaran hukum. Salah satu norma tersebut misalnya pasal 1 angka 7 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan “Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa”. Pendasaran hukum lebih lanjut Peraturan Desa sebagai bagian dari produk perundang-undangan, ditindaklanjuti dengan lahirnya produk hukum turunan

UUD 1945

TAP MPR UU/Perpu

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden

Perda Provinsi

(71)

Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. PP ini memuat norma pengaturan Peraturan Desa tentang i) RPJM Desa, ii) RKP Desa, iii) APB Desa, iv) Pendirian BUM Desa, v) Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa, vi) Pungutan, vii) Organisasi Pemerintah Desa, viii) Pengelolaan kekayaan milik desa ix) perencanaan, pemanfaatan dan pendayagunaan aset desa dan tata ruang dalam pembangunan kawasan perdesaan.

Pasang Surut Hubungan Pemerintah dengan Desa

Paling tidak ada tiga sudut pandang yang akan membayang dalam pikiran ketika membincang tentang Desa. secara sosiologis Desa adalah kesatuan hukum masyarakat atau sekumpulan penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada umumnya kesatuan penduduk tersebut saling memiliki pertalian darah. Dari sudut pandang ekonomi, Desa identik dengan kesatuan penduduk yang memiliki cara yang khas (sistem ekonomi tradisional) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi ekonominya. Pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Dari aspek politik, maka Desa diidentikan dengan kesatuan masyarakat berpemerintahan atau sewbagai sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat struktur kekuasaan dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Dari segi etimologi, banyak ragam untuk menyebut Desa. Desa identik dengan Jawa. Orang Kalimantan menyebut Desa dengan Benua. Penduduk Aceh menyebutnya Gampong. Di Sumatera Selatan, Desa disebut Marga, orang Sumatera Barat menyebutnya Nagari, di Maluku disebut Negeri dan bagi orang Sulawesi Desa disebut Kampung. Pemimpin lokalnya pun memiliki sebutan yang berbeda. Sebagai contoh, di Jawa kepala desa dulu akrab dengan sebutan lurah. Di Sumatera Barat disebut wali nagari, di Maluku disebut raja. Di Aceh kepala desa disebut geuchik.

(72)

pernah masuk ke Indonesia sebenarnya tidak hanya terjadi di masa kekuasaan VOC saja. Tapi juga di masa pendudukan Jepang atas Indonesia. Dalam politik kebijakan berikutnya, ternyata Kompeni juga membangun sistem di mana sumber daya desa secara langsung dikendalikannya. Penerapan sistem tanam paksa di era kepemimpinan Jenderal Johanes Van de Bosch hingga sistem sewa tanah yang diterapkan oleh para penggantinya kemudian,demi untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara (VOC) benar-benar telah menjadikan Desa sebagai alat pemaksa rakyat sekaligus sapi perahan Kompeni. Pemerintah desa dipaksa untuk memungut pajak kepada rakyat hingga memaksa rakyat untuk mengolah tanah dan menyerahkan hasil buminya bukan untuk dikelola pemerintah kerajaan, tapi kepada VOC. Cara-cara ini telah menghancurkan persendian kehidupan politik desa yang seharusnya penuh kearifan dan degradasi sosial. Hingga akhirnya kelaparan serta kemiskinanpun tak bisa dihindari melanda Desa. Derita yang mungkin semakin bertambah ketika Jepang berkuasa struktur cengkeraman kekuasaan diperluas hingga ke level struktur kelembagaan di bawahnya kepala desa (pemerintah desa) yang dalam bahasa sekarang di sebut Rukun Warga (RW) dan Rukun Tangga (RT). Karena, cara pandang penguasa baik yang diperankan VOC maupun Jepang kepada desa yang hanya menempatkan Desa sebagai kaki tangan kekuasaan mereka telah merusak Desa sebagai kesatuan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain wajah sosial Desa dinafikan, kecuali wajah sebagai kaki tangan kekekuasaan.

Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia berhasil merengkuh kemerdekaan, Desa mulai mendapatkan pemuliaan. Di awal-awalkemerdekaan, pemerintah waktu itu melalukan penataan desa dengan cara yang demokratis. Pemeirntah mendudukan masyarakat dan pemerintah desa pada posisi yang setara. Dengan kata lain secara kelembagaan maupun individu masyarakat desa memiliki posisi yang sama. Contoh regulasi yang dikeluarkan pada waktu itu untuk tujuan tersebut diantaranya UU No. 13 tahun 1946 Tentang Penghapusan Desa Perdikan dan UU No. 14 Tahun 1946 Tentang Perubahan Tata Cara Pemilihan Kepala Desa (Maschab, 2013). Dengan UU No. 13 Tahun 1946 tersebut tidak lagi ada pengistimewaan terhadap Desa-Desa yang semula berstatus sebagai perdikan. Dengan UU No. 14 Tahun 1946 setiap warga desa memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi kepala desa.

(73)

Desa tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk mengurus rumah tangganya karena dominasi pengaturan oleh negara. Demokrasi kerakyatan desa hilang. Setelah UU No. 22 Tahun 1999 lahir Desa menerima ruang lebih longgar karena UU ini mengembangkan konsep otonomi desa (local self government). Sayangnya belum lagi berjalan optimal, UU tersebut sudah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang menutup kembali ruang otonomi masyarakat dan desa. Akhirnya, pengelolaan desa yang semu dijernihkan kembali melalui UU No. 6 Tahun 2014 tadi.

UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa atau sering disebut UU Desa mengembalikan cara pandang negara kepada keragaman desa. Dengan kata lain UU Desa menekankan pengakuan (rekognisi) atas keberagaman desa pada urutan terdepan sebagai konsekuensi fakta sejarah adanya 250 kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai berbagai sebutan namaseperti disebut di atas. UU Desa yang ditetapkan akhir 2013 lalu tersebut juga memuat azas subsidiaritas dan memposisikan kedudukan desa tidak lagi sebagai sub kabupaten. Dengan azas ini, desa memiliki kewenangan untuk mendefinisikan diri, memetakan apa permasalahan, mengidentifikasi potensi hingga mengambil keputusan kebijakan untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan desa berskala lokal. Lain dari pada itu untuk mendukung realisasi kewenangan desa membangun negara RI mulai dari desa, UU Desa mengembangkan hubungan pemerintah-desa berdasarkan hak keuangan desa. Realisasinya adalahNegara mengalokasikan Dana Desa (DD) yang bersumberkan APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumberkan APBD. UU Desa menempatkan DD bukan sebagai program pemerintah, tapi sebagai bentuk pengakuan Negara atas hak desa yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahun anggaran. Dengan perubahan mutakhir ini, berarti pemerintah dan desa memiliki hubungan yang lebih proporsional. Desa tidak lagi menjadi halaman belakang NKRI tapi halaman depan.

Keterpaduan Antar Regulasi Membangun Desa

(74)

tersebut. Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 111 Tahun 2015 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, Permendagri No. 112 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Desa, Permendagri No. 113 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri No. 114 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Desa. Kemendesa mengeluarkan Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa, Permendes, PDT dan Transmigrasi No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 serta Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi.

Tabel. Produk-Produk Hukum

(75)

Utrecht (1953) berpendapat bahwa hukum diciptakan untuk menertibkan masyarakat. Oleh karena itu hukum diciptakan sebagai alat pendorong agar ketertiban hidup manusia dapat diraih. Kehadiran UU Desa, dalam perspektif hukum tidak lain untuk mengatur tata kelola desa yang selama ini tidak menciptakan order yang berpihak kepada desa. UU Desa hadir menyediakan instrumen aturan yang berfungsi mendorong peran negara merekognisi desa sebagai entitas NKRI. UU Desa juga berpretensi memberikan perlindungan sekaligus kewenangan kepada desa untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan dimensi asal-usul dan skala kewenangannya.

Tantangan pembuatan regulasi terletak pada pertama suasana kebatinan kedua kementerian yang diliputi polemik penguasaan urusan kewenangan desa. Kedua, aturan norma yang rinci dan problem kohesifitas antar regulasi. Sejak masa pembahasan RUU Desa, para policy maker dan pegiat advokasi RUU Desa telah memperkirakan akan adanya tantangan baru penyiapan regulasi turunan UU Desa. Aturan yang detail berpotensi mempersempit prakarsa dan ruang pengambilan keputusan bagi desa (detail is devil). Sementara ketidaksinkronan regulasi satu dengan lainnya berpotensi menyebabkan masyarakat menderita apa yang disebut informasi asimetris (asymmetric information).

Tantangan tersebut nampaknya terjadi. Contohnya, PP No. 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa tidak terpadu dengan UU Desa. PP No. 47 Tahun 2015 mengandung norma/pasal yang menegasikan nomenklatur UU Desa dan PP yang digantikannya. Pasal tersebut misalnya bagian ketentuan umum pasal 1 ayat (14). Pada pasal 1 ayat (14) PP No. 43 Tahun 2015 berbunyi “Menteri adalah menteri yang menangani desa”. Ketika PP No. 43 Tahun 2015 berganti menjadi PP No. 47 tahun 2015, ketentuan pada pasal 1 ayat (14) ini dihapus. Penghapusan pasal 1 ayat (14) dalam PP No. 47 tahun 2015 membawa konsekuensi yang signifikan terhadap tata urusan desa. Pembagian urusan desa ke dalam dua institusi Kementerian secara politik jelas telah membelah desa. Desa kehilangan cantolan Kementerian yang secara khusus mengurus desa. Padahal UU Desa tidak mendikotomikan Desa ke dalam dua entitas pemerintah desa dan warga masyarakat.

Sebagian narasi tentang tumpang tindih antar regulasi pengaturan desa di atas tentu perlu segera mendapat respon. Terlebih, agenda pelaksanaan UU Desa tidak hanya mensyaratkan ketercukupan kapasitas dan kepatuhan pemerintah desa dan masyarakat desa terhadap berbagai jenis aturan yang dikeluarkan pemerintah. Tapi juga membutuhkan kelembagaan aturan yang mendukung tercapainya tujuan diundangkannya UU Desa. Friedrich Karl von Savingny pernah menyatakan bahwa hukum tumbuh dan berkembang dari masyarakat, hukum diproduksi dari pengalaman masyarakat berdasarkan karakter masyarakat itu sendiri. Karenanya produk hukum yang baik adalah hukum yang dijiwai oleh kebutuhan masyarakatnya, bukan sekadar memenuhi kebutuhan dan kepentingan para pembuat kebijakan dan peraturannya.

(76)

Gambar

Tabel Komponen Modul

Referensi

Dokumen terkait

Puzzle berasal dari bahasa Perancis kuno Apose , yang berarti membingungkan. 17 Puzzle merupakan permainan edukatif dengan sistem bongkar pasang tujuannya

Rapat Gelar Hasil Pengawasan dan Tindak Lanjut pada SKPD Kabupaten /Kota dan Bantuan Keuangan Provinsi pada Kabupaten/Kota 1 Kegiatan Penyusunan Ikhtisar Laporan Hasil Pembinaan

Sedangkan cara tidak langsung disebut iodometri (oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih dalam keadaan yang sesuai yang

8.4 Penganjur atau pegawai, pekerja, wakil dan/atau ejen (termasuk, mana-mana pembekal perkhidmatan pihak ketiga yang berurusan dengan Penganjur untuk tujuan Kempen ini) tidak

Hasil dari penelitian ini bahwa dengan ADP 10µM untuk kelompok etomidat antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak memberi perbedaan bermakna p=0,089 (p>0,05),

Informasi tentang pelaksanaan Penelitian Hibah Unggulan Tahap II UB tahun 2013 yang pembiayaannya bersumber dariDana BOPTN Dikti tahun 2013, dilakukan oleh LPPM UB selaku pelaksana

Christine Hakim telah menetapkan Kriteria produk sebagai standar kualitas yang harus di penuhi oleh Perusahaan Rendang dan Keripik KOKOCI yakni sebagai Untuk semua

Menguji konsistensi dapat dipahami seperti dijelaskan dalam buku Rachmat Krisyantoro (2012:63) tentang wawancara mendalam yang dilakukan terus menerus atau lebih dari