• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RESPONSIVITAS PELAYANAN PUBLIK Studi di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RESPONSIVITAS PELAYANAN PUBLIK Studi di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESPONSIVITAS PELAYANAN PUBLIK

Studi di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

Darwin Wiraswasta

---

Abstrak

Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dari semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam memberikan layanan kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global. Bagaimana kinerja birokrasi Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang dalam melayani masyarakat dianggap baik atau tidak sangat ditentukan oleh banyak faktor. Tetapi melihat konfigurasi personal yang ada dan keadaan yang berkenaan dengan birokratisasi yang ada penulis dapat mengidentifikasikan adanya faktor sumber daya dan budaya organisasi. Sumber daya manusia yang kurang memadai serta struktur birokrasi yang ada diperkirakan akan berpengaruhterhadap kinerja pelayanan yang dijalankan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah kualitas sumber daya manusia dan budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap responsivitas pelayanan publik di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Sampel diambil secara acsidetial sebanyak 25 orang. . Analisis data dilakukan dengan analisis korelas ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara bersama-sama kualitas sumber daya manusia dan budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap responsivitas pelayanan publik di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Hal ini terbukti bahwa kualitas sumber daya manusia dan budaya organisasi merupakan dua aspek penting dalam terwujudnya responsivitas kinerja organisasi Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Dengan demikian maka, semakin berkualitas sumber daya manusia dan semakin positif budaya organisasi sebagai unsur pendorong keberhasilan, maka akan semakin baik juga responsivitas pelayanan publik di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan perlu adanya pembenahan-pembenahan mengenai bidang tugas yang dilaksanakan pemerintah Sekretariat Daerah Kabupaten Deli Serdang, sehingga aparat betul-betul mengerti tentang tugas pokok dan fungsinya, sehingga dapat meningkatkan daya tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan publik

Kata kunci: kualitas SDM, budaya organisasi, responsivitas,pelayanan publik. Abstract

Improving the performance of the bureaucracy in providing public services becomes an increasingly important issue to immediately get the attention of all parties. Bureaucracies that have poor performance in providing services to the public will greatly affect the performance of government and society as a whole in order to improve the competitiveness of a country in the global era. How the performance of Sunggal subdistrict bureau Deli Serdang in serving the community is considered good or not is determined by many factors. But looking at existing personal configurations and the circumstances with respect to the existing bureaucratization the authors can identify the existence of resource factors and organizational culture. Inadequate human resources and existing bureaucratic structures are expected to affect the performance of services run. This study aims to analyze whether the quality of human resources and organizational culture significantly influence the responsiveness of public services in Sunggal District Deli Serdang Regency. Samples were taken acsidetially as many as 25 people. . Data analysis was done by double correlation analysis. The results showed that together the quality of human resources and organizational culture significantly influence the responsiveness of public services in Sunggal District Deli Serdang Regency. It is evident that the quality of human resources and organizational culture are two important aspects in the realization of the organizational performance responsiveness Sunggal District Deli Serdang District. Thus, the more qualified human resources and the more positive the organizational culture as a driving element of success, it will be better also the responsiveness of public services in Sunggal District Deli Serdang District. In improving the quality of service, there needs to be improvements in the field of tasks implemented by the Regional Secretariat of Deli Serdang, so that the officers really understand about the main tasks and functions, so as to increase the responsiveness to the public needs

Keywords: Policy Implementation, DPRD Code of Conduct

PENDAHULUAN

Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan

kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan

(2)

untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan. Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk itu, diperlukan konsepsi konsepsi sistem pelayanan publik yang berisi nilai, persepsi, dan acuan perilaku yang mampu mewujudkan hak asasi manusia

Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dari semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam memberikan layanan kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global. Tuntutan kesiapan birokrasi pelayanan di Indonesia untuk dapat menghadapi era global sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi banyak kalangan (Dwiyanto, 2002:52).

Dalam kenyataan pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi pemerintah pusat kepada daerah propinsi tidak harus semua dilaksanakan, karena pelayanan

diberikan sepanjang hal itu memang dibutuhkan dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat, demikian pula kewenangan yang diberikan pemerintah daerah propinsi kepada pemerintah daerah kabupaten sampai kepada tingkat kelurahan/desa. Dalam situasi herarkhis yang sangat tinggi menyebabkan pola pelayanan dari masing-masing daerah atau Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara akan sangat bervariasi tergantung pada kemampuan yang ada di daerah. Dengan kata lain kegiatan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat akan diberikan dalam batas kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah dibawahnya atau Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Untuk menilai responsivitas kinerja birokrasi pemerintah memang sangat luas, tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisien dan efektifitas, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolistis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap pemberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan.

(3)

Kehadiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tonggak baru dalam hubungan Pusat dan Daerah. Disebut demikian karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki filosofi dan paradigma yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya. Apabila Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggunakan filosofi “keseragaman dalam kesatuan”, maka dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan filosofi keanekaragaman dalam kesatuan” (Wasistiono, 2006:26).

Sebagai konsekuensi logis dari perubahan filosofi di atas, daerah memiliki kebebasan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Daerah, termasuk dalam pengaturan kelembagaan. Pola otonomi yang digunakan juga berubah dari pola simetris ke pola asimetris. Artinya isi dan bentuk otonomi daerah yang satu dengan yang lainnya dapat berbeda – beda. Hal ini nampak dari adanya otonomi khusus bagi Aceh dan Papua.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menawarkan perubahan fungsi utama pemerintah daerah, yang semula sebagai promoter pembangunan menjadi pelayanan masyarakat. Perubahan tersebut dengan sendirinya akan mengubah bentuk, susunan, kedudukan dan fungsi kelembagaan pemerintah daerah baik unsur staf, unsur lini teknis, unsur lembaga teknis maupun unsur lini ke wilayah.

Selain perubahan pada tataran filosofis, pola dan fungsi utama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah juga menawarkan beberapa paradigma baru antara lain kedaulatan rakyat, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat serta pemerataan keadilan. Melalui perubahan paradigma tersebut, peran eksekutif yang dominant selama ini (executive

heavy) digeser menjadi dominasi

legislative (legislative heavy). Hal ini terlihat dari pasal-pasal di dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut menempatkan bab DPRD berada di depan bab Kepala Daerah. Selain itu, pengatura kedudukan, kewenangan serta hak DPRD juga memperlihatkan penguatan posisi tersebut. Dilihat dari penjelasan system Pemerintah Daerah kedua sisi kutub semacam ini tidak sehat untuk kehidupan masyarakat yang demokratis. Di dalam masyarakat yang demokratis pembagian kekuasaan menghendaki adanya prinsip “check and balance” artinya ada pembagian kekuasaan dan fungsi yang jelas dan berimbang antara eksekutif, legislative serta yudikatif. Pergeseran dominasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan dan telah berpengaruh terhadap jalannya Pemerintahan Daerah termasuk pada tingkat Pemerintahan Kecamatan.

Selain satu perubahan mendasar adalah terjadinya perubahan kedudukan kecamatan. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Kecamatan merupakan wilayah administrasi pemerintahan, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Kecamatan merupakan wilayah kerja Camat sebagai Perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah kota (Pasal 1 huruf m Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Dengan definisi tersebut dapat diketahui bahwa

(4)

Kecamatan bukan lagi Kepala Wilayah Administrasi Pemerintahan, dengan demikian Camat bukan lagi sebagai Kepala Wilayah yang mempunyai kewenangan, Kecamatan hanyalah merupakan wilayah kerja Camat sebagai Perangkat Daerah, artinya kedudukan Camat di Kecamatan tidak berbeda jauh dengan Perangkat Daerah lainnya yang ada di Kecamatan seperti Kepala Cabang dinas, Kepala UPTD. Dengan demikian Camat tidak secara otomatis mempunyai kewenangan untuk menjalankan urusan pemerintahan umum yang meliputi pengawasan, koordinasi serta kewenangan residu.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu Daerah Otonom di Propinsi Sumatera Utara, bahwa dalam rangka meningkatkan peran Camat dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan berdasarkan pasal 66 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perlu ditetapkan pelimpahan sebagaian kewenangan pemerintah dari Bupati kepada Camat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, serta untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, maka dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan, kemudian Bupati Deli Serdang mengeluarkan suatu kebijakan berupa Peraturan Bupati Deli Serdang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Rincian Tugas dan Fungsi Kecamatan dan Kelurahan.

Kantor Camat Sunggal adalah satuan kerja perangkat daerah

sebagaimana ditetapkan dalam Perda Kabupaten Deli Serdang No.5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Deli Serdang No.886 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan Perangkat Daerah Kabupaten Deli Serdang, yang juga mengatur tentang tugas, fungsi, dan rincian tugas Kecamatan.

Bagaimana kinerja birokrasi Kecamatan Sunggal dalam melayani masyarakat dianggap baik atau tidak sangat ditentukan oleh banyak faktor. Tetapi melihat konfigurasi personal yang ada dan keadaan yang berkenaan dengan birokratisasi yang ada penulis dapat mengidentifikasikan adanya faktor sumber daya dan budaya organisasi. Sumber daya manusia yang kurang memadai serta struktur birokrasi yang ada diperkirakan akan berpengaruh terhadap kinerja pelayanan yang dijalaskan. Sumber daya manusia memiliki kedekatan dengan pendidikan. Seperti diutarakan oleh Dwiyanto (2003:22) beberapa kabupaten dan kota menyadari bahwa otonomi daerah memerlukan kemampuan aparatur yang lebih baik dan melakukan investasi pada aparaturnya dengan memberikan beasiswa untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sekalipun pendapat ini tidak secara langsung akan mempengaruhi kinerja tetapi dapat diramalkan bahwa pendidikan yang tinggi cenderung membuka wawasan yang lebih luas akibatnya dapat membentuk kinerja yang lebih baik dalam pekerjaannya.

Selain sumber daya adalah faktor budaya organisasi. Aspek Budaya

(5)

organisasi diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik. Budaya organisasi merupakan suatu keadaan lingkungan dalam suatu organisasi yang berkaitan dengan suatu kesatuan asumsi-asumsi, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai yang dibawa kemudian diintegrasikan oleh seluruh anggota organisasi tersebut untuk

membimbing mereka dalam

melaksanakan fungsinya. Dalam organisasi terjadi transaksi dan kristalisasi yang membentuk budaya yang lain menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi sebagaimana dikatakan Luthons, F.(1995) dipercaya dapat mempengaruhi responsivitas pelayanan organisas.

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, adalah fenomena kinerja birokrasi pemerintah yang berkenaan dengan sumber daya manusia dan budaya organisasi Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Bila dirumuskan akan tersusun kalimat sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Responsivitas pelayanan publik di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara ?

2. Apakah kemampuan Sumber daya manusia mempengaruhi responsivitas pelayanan publik di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara ?

TINJAUAN PUSTAKA

Responsivitas dalam Bingkai Kinerja Pelayanan publik

Konsep birokrasi banyak dipublikasikan oleh banyak ahli, setelah

Weber meletakkan batu pertama lahirnya organisasi formal yang bernama birokrasi. Menurut Weber sebagai organisasi formal, birokrasi mempunyai konsep yang ideal yaitu: (a) kegiatan birokrasi dilaksanakan secara teratur dengan batas-batas otoritas yang jelas, (b) ada herarkhi kewenangan, (c) ada aturan yang jelas tentang perilaku, otoritas dan tanggung jawab pegawai, dan (d) pegawai diterima atas dasar merit bukan ikatan kekerabatan.

Perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju, maka konsep birkroasi pun berkembang sejalan dengan lingkup dan permasalahan yang dihadapi oleh lingkungan sosialnya. Perpektif lain tentang birokrasi diantaranya dikemukakan oleh Francis Rouke (1984), Guy Peters (1978), dan Nicholas Henry. Rouke mengatakan bahwa walaupun birokrasi itu pada mulanya berfungsi hanya untuk melaksanakan kebijakan politik. Oleh karenanya diperlukan dukungan politik. Dukungan politik sama pentingnya dengan melaksanakan politik.

Sementara itu Peters mengatakan bahwa salah satu sumber kekuatan birokrasi adalah karena birokrasi mempunyai power of decision. Walaupun birokrasi terkenal mempunyai sebutan red tape dan prosedural, kalau dibandingkan dengan lembaga legislatif maka proses pengambilan keputusan dalam birokrasi tentang beberapa isu masih lebih cepat. Sedangkan Henry mengatakan bahwa suatu itu mempunyai kekuasaan yang tidak dapat disangkal lagi bahwa birokrasi itu mempunyai kekuasaan (power). Dua kekuasaan yang menonjol antara lain, pertama, kekuasaan untuk tetap tinggal hidup

(6)

selamanya (staying power), dan kedua, kekuasaan untuk membuat keputusan (policy making power).

Dari pendapat tersebut di atas menggambarkan bahwa birokrasi mempunyai kekuasaan dan memiliki daya tahan untuk tetap tinggal. Karena birokrasi juga merupakan organisasi formal maka birokrasi memiliki ciri-ciri seperti organisasi formal. Di sini Etzioni (1969 : 78), menyatakan bahwa organisasi mempunyai ciri-ciri antara lain adalah:

1. Adanya pembagian kerja, kekuasaan dan tanggung jawab, berkomunikasi, pembagian yang direncanakan untuk mempertinggi tujuan khusus.

2. Adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang mengawasi penyelenggaraan usaha-usaha bersama dalam organisasi, dan pengawasan usaha tersebut untuk mencapai tujuan organisasi. Pusat kekuasaan ini harus menunjuk secara terus menerus pelaksanaan organisasi dan menata kembali strukturnya untuk meningkatkan efisiensi.

3. Pengaturan personil, misalnya orang-orang yang bekerja secara tidak memuaskan dapat dipindahkan dan kemudian mengangkat pegawai untuk melaksanakan tugasnya.

Hubungan antara birokrasi dengan organisasi bahwa birokrasi mempunyai tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan sebagaimana yang telah disebut dalam misi organisasi. Dalam rangka itulah maka gugatan terhadap penilaian kinerja merupakan suatu fenomena yang harus diungkapkan. Penilaian tersebut dapat digunakan sebagai ukuran

keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu (Keban, 1995).

Selanjutnya Jackson dan Morgan (1981) menyatakan bahwa kinerja pada umumnya menunjukkan tingkat tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya yang hendak dicapai. Pendapat atau konsep tersebut kurang mengenai pada permasalahan penelitian ini, sehingga perlu memunculkan konsep lain. Konsep lain yang disampaikan oleh Rue dan Byar (1981) dalam Keban (1995) yang menyatakan bahwa “kinerja atau performance adalah tingkat pencapaian hasil atau tingkat the degree of accomplishment, atau kinerja merupakan tingkat pencapaian organisasi secara berkesinambungan.

Admo Sudirja (1997) menyatakan bahwa kinerja juga prestasi kerja, yaitu prestasi penyelenggaraan sesuatu atau

(performance knowwraill you do a piece

of work for activity). Penyelenggaraan

sesuatu dalam konteks penelitian ini adalah penyelenggaraan pemerintahan. Pendapat lain yang disampaikan oleh Faustino (1995) performance adalah suatu cara mengukur konstruksi-konstruksi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya, konsep ini lebih bersifat individual, namun demikian faktor-faktor individu juga berpengaruh terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan. Sehingga konsep yang disampaikan oleh Faustino lebih cocok untuk mendukung permasalahan penelitian, karena kinerja mempunyai pengertian tentang bagaimana, individu memberikan kontribusi pada mutu organisasi. Lebih jelas lagi setelah muncul konsep kinerja yang disampaikan oleh Bernadin dan Russel, kutipan Jones (1991) konsep

(7)

kinerja adalah dampak yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu.

Konsep lain yang dianggap lebih tepat yaitu konsep kinerja yang disampaikan oleh Peter Jaurgen dalam Steers (1985), yaitu kinerja adalah tingkat yang menunjukkan seberapa jauh pelaksanaan tugas dapat dijalankan secara aktual dan misi organisasi tercapai. Dalam pelaksanaan tugas maka akan ditampilkan cara-cara untuk menghasilkan perolehan dengan mutu aktifitas yang dicapai dengan masuk kerja.

Dari beberapa konsep maka kinerja adalah konsep utama organisasi, yang menunjukkan tugas-tugas organisasi dalam rangka pencapaian tujuan. Dalam konteks penelitian ini pengertian kinerja organisasi merupakan tingkat kemampuan, hasil-hasil, dan prestasi kerja aparat pemerintah Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan visi dan misinya.

Selanjutnya Mardiasmo (2000), mengatakan, dalam mengukur kinerja digunakan indikator-indikator. Indikator kinerja didefinisikan sebagai ukuran kualitatif atau kuantitatif, yaitu yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran, tanpa indikator maka sulit untuk menilai kinerja. Sistem ukuran kinerja dipecah menjadi lima indikator yaitu : input, output, outcome, benefit, impact.

Len Vine (1990) dalam Dwiyanto (1995) mengusulkan tiga konsep yang bisa dipergunakan untuk meningkatkan kinerja birokrasi publik atau organisasi non bisnis yaitu dengan menggunakan indikator : responsiveness, responsibility

dan accountability. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep responsiveness (Responsivitas) sebagai variabel yang akan diukur, dan berposisi sebagai variabel dependent.

Pengukuran Responsivitas

Dalam pelaksanaan Governance

and Decentralization survey 2002 (GDS

2002) yang diketuai oleh Agus Dwiyanto, responsivitas dijadikan salah satu ukuran untuk melihat pelayanan publik dari banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan tindakan pemerintah dalam menanggapi keluhan tersebut, dan kepedulian pemerintah terhadap masalah kesehatan, pendidikan, maupun usaha kecil menengah (UKM ). Namun demikian konsep responsivitas di sini digunakan untuk melihat pelayanan publik yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Responsivitas juga dapat digunakan untuk melihat apakah suatu organisasi publik dapat dikatakan berhasil atau tidak. Meskipun penilaian responsivitas sudah berkembang pesat tetapi dalam penggunaannya belum berkembang sebagaimana yang telah terjadi disektor swasta. Berdasarkan data empiris penilaian responsivitas organisasi publik belum merupakan tradisi yang populer, karena visi dan misi organisasi seringkali tidak tertuang secara jelas.

Dalam penelitian ini, responsivitas merupakan salah satu indikator kinerja organisasi publik yang menjadi fokus utama. Menurut Hormon (1995) responsivitas (responsiveness) adalah kemampuan pemerintah (organisasi) untuk mengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, mengembangkan program-program sesuai dengan

(8)

kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Di sini responsivitas menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan dengan kebutuhan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka responsivitas organisasi tersebut dinilai semakin baik. Sedangkan Dilulio (1994) mengatakan bahwa responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk mengenali pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokrasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Organisasi yang mempunyai responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga (Osborne dan Plastrik, 2000).

Namun Eran Vigoda (2000) memandang lebih jauh tentang pengertian responsivitas. Dikatakannya pendekatan sejauh yang menyangkut Public Administration, responsivitas dianggap kontroversial. Studi yang mendeskripsikan tentang responsivitas sebagai atau yang terbaik biasanya berkaitan dengan kejahatan sosial yang bertentangan dengan kompromi efektivitas profesional dan lebih buruk

lagi dengan indikasi jalan yang berguna secara politik jika tidak dengan istilah korupsi (Rourke, dalam Vigoda 2000).

Selanjutnya menurut Vigoda, kemampuan merespon merusak profesionalisme jika memaksa pegawai negeri untuk memenuhi warga negara bahkan ketika tindakan itu bertentangan dengan kepentingan masyarakat umum. Untuk memenuhi kepentingan publik, pertimbangan jangka pendek dan keputusan populer adalah overemphazed selagi isu jangka panjang lain hanya menerima sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Dalam organisasi publik kemampuan merespon para birokrat dapat dilihat dari sektor publik internal dan eksternal terhadap organisasi (Smith 1993 dalam Vigoda). Ukuran keberhasilan internal seperti proses managerial, prosedur formal dan rutin, dari minat/kepentingan terbatas ke warganegara biasa yang juga menaruh perhatian dalam literatur manajemen. Sasaran utama mereka adalah untuk memungkinkan pemerintah pusat mengamankan kendali tertutup dari tim manajemen yang diserahi. Sedangkan sektor publik eksternal berkaitan dengan informasi tentang konsekuensi dari aktivitas sektor publik, dengan demikian dapat memperbaiki pencapaian organisasi. Di sini terkait dengan proses tanggung jawab (akuntabilitas ) untuk merespon otoritas publik dari segala permintaannya, yang nantinya akan berdampak pada pengawasan internal, sehingga manajer dan pegawai negeri menjadi lebih peka terhadap tugas-tugas mereka dan sangat komitmen dengan melayaniorang.

(9)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Responsivitas Pelayanan publik

David (1998:10) membahas organisasi dengan mengatakan bahwa peluang dan ancaman luar pada setiap saat akan melampaui sumber daya manusia yang tersedia. Artinya kekuatan yang dimiliki selalu berada dalam posisi yang lebih lemah dalam menanggulangi ancaman, kemampuan dalam mengejar dan memanfaatkan peluang.

Menurut Steers (1974) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi adalah: Faktor kualitas sumber daya manusia, struktur organisasi, frekuensi, pimpinan dari masyarakat, dan bentuk kepemimpinan. Jadi suatu kinerja organisasi akan baik apabila dipengaruhi oleh kelima faktor tersebut di atas.

Sedangkan Bryson (1995) berpendapat bawa ada upaya-upaya yang relevan yang dapat dilakukan guna meningkatkan kinerja suatu organisasi, yaitu dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor-faktor internal, seperti halnya yang dikemukakan oleh Steers, faktor eksternal merupakan input, karena input merupakan aspek yang mempengaruhi kinerja organisasi, yang terdiri dari atas : pengawasan SDM, anggaran, sarana dan prasarana, dan budaya organisasi. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor internal adalah hal-hal yang berkaitan dengan proses manajemen yaitu : proses perencanaan, pengorganisasian, proses pelaksanaan, proses penyelenggaraan, pengawasan dan evaluasi. Setiap aspek mempunyai aspek yang sama untuk muncul sebagai faktor dominan.

Pendapat lain yang disampaikan oleh Gogin mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja adalah kapasitas organisasi yang dapat memberikan kontribusi kepada keberhasilan implementasi. Kemampuan organisasi dipengaruhi oleh tiga hal pokok, yaitu struktur organisasi, personal (human resources) dan finansial. Tiga hal tersebut bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Mengacu kepada teori-teori yang telah dijelaskan di atas dan dihubungkan dengan fenomena di lapangan (actionable couses), maka penelitian ini dibatasi pada variabel organisasi pemerintah di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, sehingga tidak semua variabel obyek penelitian diungkapkan, tetapi hanya variabel yang dianggap penting atau yang memiliki pengaruh besar untuk mengkaji permasalahan kinerja birokrasi. Adapun yang menjadi perhatian khusus variabel yang mempengaruhi adalah sumber daya manusia dan budaya organisasi.

Kualitas Sumber Daya Manusia

Untuk memaknai sumber daya manusia perlu dibedakan antara pengertian secara makro dan secara mikro. Pengertian secara Makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara yang ada dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja. Di samping itu sumber daya manusia secara makro berarti pula penduduk yang berada dalam usia produktif, meskipun karena berbagai sebab atau masalah masih terdapat juga yang belum produktif karena belum memperoleh lapangan kerja yang tersedia. Sumber daya manusia dalam arti mikro adalah orang

(10)

yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja, dan lain-lain.

Handari Nawawi (2001-37.38) membedakan Pengertian SDM secara mikro dilihat dari tiga sudut :

a. Sumber daya manusia adalah orang yang bekerja dan berfungsi sebagai Asset organisasi atau perusahaan yang dapat di hitung jumlahnya (kuantitatif).

b. Sumber daya manusia adalah potensi yang menjadi motor penggerak organisasi atau perusahaan.

c. Manusia sebagai sumber daya adalah mahluk hidup ciptaan Tuhan YME, sebagai penggerak organisasi/ perusahaan berbeda dengan sumber daya lain.

Cordoso Comes (1972.2) membagi sumber daya manusia yaitu; akal, perasaan, keinginan, kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, dorongan, daya dan karya. Satu satunya sumber daya yang memiliki rasio, ras dan karsa. Semua potensi sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap upaya pendapatan tujuan organisasi. Sedangkan Prijono Tjiptokriyanto (1982, 29) menyatakan sumber daya manusia adalah untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan kerja, produktifitas kerja dan dengan demikian juga meningkatkan pendapatan dan tingkat hidup.

Susilo Martoyo (1987.27) berpendapat bahwa: sumber daya manusia merupakan hasil akal budi daya yang disertai pengetahuan dan pengalaman yang dilakukan dengan melalui jerih payah perjuangan yang berat. Sumber daya manusia adalah alat

untuk mencapai tujuan atau kemampuan guna memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesempatan-kesempatan tertentu atau meloloskan diri dari kesukaran.

Flippo dalam (Hani Handoko 2000.3) menyatakan sumber daya manusia sebagai berikut : manajemen personalia adalah perencanaan pengorganisasian dan pengawasan kegiatan-kegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.

Sementara itu Cordaso Gomes mengatakan sumber daya manusia merupakan satu-satunya yang memiliki akal pikiran, perasaan dan keinginan, kemampuan, serta ketrampilan untuk berkembang dalam karya dan daya. Demikian pula Prijono yang menyampaikan bahwa di dalam diri manusia terdapat keinginan untuk meningkatkan pendapatan agar tingkat kehidupan berubah ke arah yang lebih sejahtera. Sama halnya dengan pendapat Susilo Martoyo yang mengatakan sumber daya manusia merupakan alat untuk mencapai guna memperoleh keuntungan. Pendapat-pendapat / konsep-konsep di atas tidak sesuai untuk diterapkan dalam organisasi publik tetapi lebih pada bentuk-bentuk organisasi swasta atau yang non formal. Dalam organisasi pemerintah, sumber daya manusia sering dinamakan sebagai aparatur, yaitu pegawai yang melaksanakan tugas (Wijaya, 1995:16). Selanjutnya Ancok (2002 : 165), mengatakan bahwa sumber daya manusia merupakan human resources,

(11)

yaitu tenaga atau kekuatan manusia yang memiliki energi atau power dimana manusia sebagai perencana, pengendali, pengawasan maupun pengevaluasi dan memanfaatkan hasilnya.

Demikian pula pelayanan publik di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara juga memerlukan aparat atau pegawai yang melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Sedangkan Simamora, mengatakan bahwa sumber daya manusia merupakan human resources, yang merujuk pada orang-orang didalam organisasi. Orang (manusia) merupakan elemen yang selalu ada disetiap organisasi. Mereka membuat tujuan, inovasi dan mencapai tujuan-tujuan organisasi (Simamora, 1999 : 2).

Dengan demikian maka unsur manusia sebagai aparat pemerintahan sangat diperlukan. Demikian juga aparat di birokrasi pemerintahan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, tidak lepas dari peran serta aparat untuk mencapai responsivitas kerjanya.

Pengukuran Kualitas Sumber Daya Manusia. Menurut Becker, Suselid and Utrich (2001), sistem pengukuran sumber daya manusia yang efektif mempunyai 2 (dua) tujuan penting yaitu memberi petunjuk bagi pembuatan keputusan dalam organisasi dan berfungsi sebagai dasar untuk mengevaluasi kinerja sumber daya manusia.

Konsep yang dikembangkan ditunjukkan pada peran penting sumber daya manusia pada masa yang akan datang, dimana organisasi memiliki fokus strategi untuk menciptakan kompetisi tingkat tinggi yang berkelanjutan. Hal ini untuk memaksimalkan konstribusi

sumber daya manusia terhadap tujuan organisasi.

Untuk organisasi publik pengukuran tersebut sulit diterapkan, karena unsur kompetitif tidak terlihat dalam proses mencapai kinerja. Unsur kompetitif hanya terlihat pada sumber daya manusia di organisasi bisnis. Husclid, Jacson & Randal (dalam Becker, Huseclid & Ulrich, 2001), mengungkapkan bahwa manajemen sumber daya manusia yang berkualitas terdiri dari dua dimensi penting, yaitu (a) Manajemen sumber daya manusia teknis, mencakup : rekruitmen, kompensasi dan benefit, (b) Manajemen sumber daya manusia yang mencakup penyampaian (delivery) pelayanan.

Husclid mengungkapkan bahwa kebanyakan manajemen sumber daya manusia lebih memusatkan kegiatannya pada penyampaian (delivery) yang tradisional dan teknis daripada kegiatan sumber daya manusia yang strategik.

Untuk organisasi publik

kecenderungannya pada manajement sumber daya manusia teknis dan pada penyampaian yang tradisional, sehingga kompetitif kurang begitu menonjol.

Di dalam strategi kompetisi menurut Huseld sumber daya manusia harus profesional. Profesional dalam mengelola infra struktur, profesional dalam melakukan pelayanan, tahu persis dalam bidang-bidang tugasnya. Dengan demikian profesionalisme merupakan faktor yang dapat dipergunakan untuk mengukur sumber daya manusia. Aparatur birokrasi yang melayani kepentingan umum kebanyakan masih belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kumorotomo (2001:131), menyatakan bahwa :

(12)

Ketentuan bahwa birokrasi punya kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi terbalik sehingga bukan lagi birokrasi yang melayani masyarakat tetapi justru masyarakat yang melayani birokrasi.

Sikap-sikap birokrasi yang tidak tersedia melayani masyarakat secara adil dan merata itu tampak di hampir setiap instansi negeri. Hal ini disebabkan karena sikap pandang organisasi di pemerintah kita selalu berorientasi pada:

kegiatan (activity) dan

pertanggungjawaban formal (formal accountability). Penekanan pada hasil (product) atau kualitas pelayanan (service quality) sangat kurang, ditambah dengan semangat kerja yang buruk (Kumorotomo, 2001).

Gaya manajemen yang selalu berorientasi pada tugas akan membawa pengaruh tidak terpacunya pagawai kepada hasil dan kualitas pelayanan umum. Dengan demikian maka tingkat disiplin pagawai relatif rendah. Tingkat disiplin pegawai ini dipergunakan untuk mengukur sumber daya manusia. Formalitas dalam rincian-rincian tugas-tugas organisasi menuntut uniformalitas dan keseragaman yang tinggi, akibatnya para pegawai jadi takut berbuat keliru dan cenderung menyesuaikan pekerjaan-pekerjaannya dengan petunjuk pelaksanaan (juklak), walaupun keadaan yang ditemuinya dalam kenyataan sangat jauh bedanya dengan peraturan-peraturan yang ada.

Dengan berpihak pada teori Moslow tentang tingkatan-tingkatan kebutuhan manusia, dalam penelitiannya Hidayat dan Suckerly, memberi skala 1 sampai 12 mengenai kebutuhan manusia. Dia menyatakan bahwa di kalangan

pegawai negeri Indonesia kebutuhan rasa aman memperoleh skor tertinggi (8,31) kemudian kebutuhan sosial (6,77), kebutuhan dasar / fisiologi (6,34), aktualisasi diri (4,25 ) dan terakhir kebutuhan akan harga diri (4,84). Ini menunjukkan bahwa pegawai negeri pada umumnya mempunyai rasa cemas yang tinggi terhadap kegagalan dan ingin merasa aman dalam pekerjaannya. Perasaan takut gagal yang berlebihan membuat pegawai takut mengambil resiko takut bertindak dan tidak berani melakukan perubahan-perubahan yang membawa kebaikan pada organisasi. Dengan demikian maka kreatifitas pegawai jarang dimiliki. Faktor kreatifitas pegawai yang digunakan untuk mengukur sumber daya manusia. Budaya Organisasi

Menurut Luthons, F. (1995), budaya dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Dapat digambarkan bahwa orang dapat dipengaruhi dan dibentuk oleh budaya dimana mereka bertempat tinggal/hidup. Orang yang bertempat dan tumbuh hidup pada masyarakat pada masyarakat bersifat individualistik maka ia dapat dipastikan mendapat pendidikan tentang berbagai nilai, kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku normatif yang diharapkan oleh lingkungannya. Demikian pula apa yang terjadi pada orang hidup tumbuh berkembang pada lingkungan masyarakat sosialistik, tradisionalistik, sikularistik, paternalistik, maupun lainnya.

Masyarakat mempunyai budaya sosial dan budaya sosial mempengaruhi individu-individu yang pada gilirannya pada saat individu-individu tersebut

(13)

bergabung menjadi anggota organisasi maka mereka membawa budaya masing-masing ke dalam organisasi. Di dalam organisasi terjadi transaksi dan kristalisasi membentuk budaya yang lain menjadi budaya organisasi. Dalam transaksi terjadi interaksi antar budaya masing-masing individu, masing-masing kelompok dalam sistem organisasi secara keseluruhan baik secara vertikal maupun horisontal. Dalam proses kristalisasi terjadi peleburan atau amalgamasi budaya, dan tidak seluruh budaya individu terlebur tetapi masih tersisa dari hasil transaksi. Sebagai contoh saat orang bergabung ke dalam suatu organisasi dengan membawa budaya masing-masing, maka yang terjadi ia terus menyesuaikan diri dengan berbagai norma, nilai-nilai dan kepercayaan yang berlaku dominan dalam organisasi tersebut agar ia dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Dari pengertian di atas budaya tidak lebih dari suatu sistem nilai atau oleh Koentjaraningrat (2002 : 25) dinamakan sistem nilai budaya. Dikatakannya, suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih kongkrit, seperti aturan-aturan, kasus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu.

Sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud idiil dari kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar

dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai

budaya yang hidup dalam

masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat.

Kedua, adalah sikap mental, walaupun sering dikacaukan dengan istilah sistem nilai budaya, sebenarnya mempunyai arti yang sama sekali berlainan. Konsep sistem nilai budaya atau cultural value system itu banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial, yang terutama memfokus kepada kebudayaan dan masyarakat, dan baru secara sekunder kepada manusia individu dalam masyarakat. Sebaliknya, konsep sikap mental atau attitude itu, banyak dipakai dalam ilmu psikologi, yang terutama memfokus kepada individu dan baru secara sekunder kepada kebudayaan dan masyarakat yang merupakan lingkungan dari individu. Suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan fisiknya). Walaupun berada di dalam diri seorang individu, sikap itu biasanya toh juga dipengaruhi oleh nilai budaya dan sering juga bersumpah kepada sistem nilai budaya.

Istilah ketiga, adalah mentalitas, bukan istilah buat suatu konsep ilmiah dengan suatu istilah sehari-hari dan biasanya diartikan sebagai keseluruhan

(14)

dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya. Pokoknya, istilah itu mengenai sistem nilai budaya maupun sikap mental dan bisa kita pakai kalau kita membicarakan kedua hal tersebut, tanpa maksud untuk secara ketat mengkhusus terhadap salah satu dari keduanya.

Dari penjelasan tersebut di atas maka pengertian budaya dalam konteks budaya organisasi pada hematnya lebih mengarah kepada pengertian mentalitas, sehingga jika dikaitkan dengan kegiatan pembangunan seperti yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, maka pengertian mentalitas akan muncul sejalan dengan kelambanan dalam pelaksanaan pembangunan yang disebabkan oleh mentalitas manusia Indonesia yang penuh keragu-raguan, kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas adalah : (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu ; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tidak percaya pada diri sendiri ; (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.

Dalam kehidupan organisasi sebagai sistem interaksi para anggota organisasi akan melahirkan istilah budaya atau mentalitas organisasi. Adapun ciri-ciri budaya organisasi menurut Luthons, F (1995) adalah Kebiasaan sikap perilaku yang dapat diamati. Ketika anggota organisasi saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, mereka menggunakan bahasa umum, teknologi dan ritual yang sama. Norma-norma. Standar-standar

sikap perilaku ditetapkan termasuk berbagai guideliner terhadap beberapa nilai besar suatu pekerjaan dapat dikerjakan. Nilai-nilai Dominan. Ada nilai-nilai yang umum yang sengaja didorong dan yang menjadi harapan organisasi hal mana anggota organisasi dapat menerima dan menerapkan. Contoh seperti loyalitas tinggi, disiplin, kerja efisien dan seterusnya.

Filosofi

Kebijakan-kebijakan fundamental yang sengaja diciptakan sebagai landasan moral kerja dan credo organisasi. Contoh seperti pembeli adalah raja, we service better, setia menemani anda. Aturan-aturan main. Adanya rambu-rambu bagi setiap anggota organisasi dalam berinteraksi dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga roda organisasi berjalan lancar. Terlebih bagi pendatang anggota baru maka ia harus belajar dan meyesuaikan diri terhadap aturan-aturan main agar dapat diterima penuh oleh kelompok-kelompok dalam organisasi.

Iklim Organisasi. Iklim organisasi meliputi keadaan atau kondisi psikologis yang terfokuskan melalui hubungan interaksi antar anggota organisasi secara internal maupun eksternal dengan pihak luar organisasi. Karakteristik iklim organisasi dan budaya organisasi bila diamati dengan cermat mencerminkan keterkaitan yang erat walaupun tidak sama. Iklim organisasi yang merupakan sebagian karakter budaya organisasi lebih merefleksikan kondisi dinamis hubungan psikologis antar anggota organisasi, sedangkan budaya organisasi lebih merupakan sikap perilaku.

(15)

Dalam penelitian pengertian nilai budaya diartikan sebagai mentalitas yang berarti keseluruhan isi serta kemampuan pikiran dan jiwa manusia yang dapat diukur dari : Kebiasaan dan sikap yang dapat diamati . Kebiasaan yang dapat diamati dalam pengertian ini berupa slogan yang terpampang dalam yang digunakan untuk menuntun berjalannya organisasi. Menurut Purwanto dkk (2001), di Indonesia budaya organisasi tercermin dalam credo dan slogan yang nilai-nilainya dipercayai oleh organisasi pemerintah maupun swasta. Departemen Pendidikan Nasional memiliki “slogan tut wuri handayani”, Kantor Pegadaian mempunyai slogan “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Pada kenyataannya di dalam kehidupan organisasi terdapat sisi-sisi nilai budaya yang kondusif dan dapat pula berimplikasi saling berseberangan. Credo dan slogan merupakan nilai-nilai yang berusaha dibangun oleh organisasi sebagai budaya kerja yang baik dan kondusif Tetapi di lain pihak terdapat sisi-sisi nilai budaya yang berimplikasi sama sekali lain dengan maksud semula, seperti budaya paternalistik, gotong-royong ataupun solidaritas.

Digambarkan oleh Rustam, E. (1990), bahwa budaya paternalistik dalam organisasi menyebabkan tumbuh suburnya kultus individu dan hilangnya kreativitas kerja yang logis. Sedangkan nilai budaya solidaritas ternyata membawa dampak negatif terhadap tumbuhnya organisasi yang sehat, seperti solidaritas kelompok maupun organisasi dapat menjurus kecenderungannya berupa menutupi kesalahan teman atau nama kelompok ataupun nama organisasi bila terjadi

kesalahan dengan maksud menunjukkan solidaritas. Kultur budaya gotong-royong juga dapat menjurus terjadinya penyimpangan maksud dan tujuan nilai-nilai semula yang terkandung di dalamnya.

Nilai-nilai yang dominan

Kebudayaan biasanya sarat dengan simbolisme. Dalam setiap tindakannya seseorang selalu berpegang teguh kepada dua hal yaitu Pertama, filsafat atau pandangan hidup yang religius dan mistis. Kedua, pada sikap hidup yang etis dan menjunjung tinggi moral serta derajad hidupnya. Pandangan hidup akan selalu berkaitan dengan Tuhan yang serta mistis, amgis, dan segala kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia (supranatural). Tiap-tiap unsur dalam kehidupan selalu dikaitkan dengan tindakan simbolis, yang biasanya banyak dipakai dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi penerusnya (Dwiyanto, 2003).

Pada budaya kekuasaan politik tradisional terdapat keyakinan bahwa pimpinan tidak pernah bersalah atau tidak pernah mau dipersalahkan. Apa yang pimpinan lakukan telah dianggap benar menurut.

Iklim organisasi

Karakteristik iklim organisasi dan budaya organisasi bila diamati dengan cermat mencerminkan keterkaitan yang erat walaupun tidak sama. Iklim organisasi yang merupakan sebagian karakter budaya organisasi lebih merefleksikan kondisi dinamis hubungan psikologis antar anggota organisasi, sedangkan budaya organisasi lebih merupakan sikap perilaku. Karena itu

(16)

iklim organisasi menunjuk pada pola hubungan terutama antara atasan dan bawahan (patron-klien).

Hubungan patron-klien

digambarkan oleh Murder (1985) bahwa posisi seorang bawahan dan atasan disamakan dengan posisi hubungan antara seorang anak dengan bapaknya dalam konsep Jawa. Seorang anak harus menghormati bapaknya, yang secara praktis termanifestasi dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus (kromo) dalam berbicara dengan bapak. Hubungan antara orang tua dengan anak merupakan hubungan superior dan inferior. Anak atau yang inferior harus menghormati (ngajeni) orang tua atau yang superior. Anak melayani orang tua untuk mencari perhatian, dan orang tua harus dapat memberikan perhatian atau sesuatu yang lain yang dapat menunjukkan sebuah perhatian. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya, dalam tata krama pergaulan antar sesama, dan masih berpegang pada preferensi sosial, seperti umur, pangkat, jabatan atau hal-hal yang dianggap menjadi ukuran status dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem birokrasi di Indonesia selama ini dibangun di atas budaya paternalisme yang lebih bersifat feodalistik. Pola interaksi dalam feodalisme biasanya dibangun berdasarkan hubungan asimetris, bukannya egalitarian, seperti dengan adanya. Eksklusivisme dalam berinteraksi dengan seseorang karena adanya perbedaan dalam hal usia, jabatan, peran, kedudukan, maupun status seseorang (Hardjowirogo, 1989). Kondisi budaya pelayanan yang demikian

membawa implikasi pada terbatasnya akses setiap aparat untuk dapat menyampaikan ide-ide perubahan secara bebas kepada organisasi. Setiap aparat birokrasi, khususnya aparat birokrasi di tingkat bawah, cenderung dihinggapi perasaan takut untuk menyampaikan ide perubahan kepada pimpinannya.

Ditambahkan oleh Rustam, E. (1990), bahwa budaya paternalistik dalam organisasi menyebabkan tumbuh suburnya kultus individu dan hilangnya kreativitas kerja yang logis. Sedangkan nilai budaya solidaritas ternyata membawa dampak negatif terhadap tumbuhnya organisasi yang sehat, seperti solidaritas kelompok maupun organisasi dapat menjurus kecenderungannya berupa menutupi kesalahan teman atau nama kelompok ataupun nama organisasi bila terjadi kesalahan dengan maksud menunjukkan solidaritas. Kultur budaya gotong-royong juga dapat menjurus terjadinya penyimpangan maksud dan tujuan nilai-nilai semula yang terkandung di dalamnya. (Robin, 1994 : 479) mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan: (a) Nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, (b) Falsafah yang menuntut kebijakan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, (c) Cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, (d) Asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat diantara anggota organisasi. Semua tema sentral merujuk pada sistem pengertian yang diterima secara bersama.

METODE PENELITIAN

Sesuai dengan maksud penelitian yang akan menguji hipotesa, maka penelitian ini adalah penelitian sosial

(17)

maka tipe penelitian yang digunakan adalah survei eksplanatori. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai pada Kantor Camat Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang yang berjumlah 25 orang. Karena jumlah populasi relatif kecil (kurang dari 100 orang), maka seluruh populasi dijadikan sampel (total sampling). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan, Wawancara, Kuesioner Observasi dan Dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode koreklasi product moment.

PEMBAHASAN

Analisis Hasil Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dari hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini maka pembahasan hasil penelitian mengenai Responsivitas Pelayanan publik Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara (studi tentang Pengaruh Sumber Daya Manusia dan Budaya Organisasi terhadap Responsivitas Pelayanan Publik Pemerintahan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara), akan didiskripsikan untuk setiap variabel dan hubungan antara variabel yang ada. Analisis Variabel Kualitas Sumber Daya Manusia (X1)

Variabel kualitas Sumber Daya Manusia terdiri dari tiga indikator, yaitu indikator profesionalisme, indikator tingkat tanggung jawab aparat dan indikator tingkat kreatifitas aparat. Indikator-indikator ini yang akan diulas. Dari kuesioner yang diajukan pada 25 orang responden, dapat diketahui masing-masing kategori sebagai berikut:

Tabel 5.1. Nilai Kategori Variabel Kualitas Sumber Daya Manusia (X1)

No nilai skor Interval Kategori N % 1 33 – 38 Rendah 3 12 2 39 – 45 Sedang 9 36 3 46 – 51 Tinggi 13 52

Jumlah 25 100

Sumber : Data primer diolah, 2012

Berdasarkan tabel kategori di atas dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yang terdapat pada kategori tinggi yaitu antara jumlah skor 45 – 51 sebanyak 13 orang atau 52 persen, berpendapat bahwa sumber daya manusia sangat diperlukan dalam kelancaran proses pelayanan di pemerintahan Kecamatan Sunggal. Sedangkan yang setuju dalam kategori sedang diantara jumlah skor 39 – 45 sebanyak 9 orang atau 36 persen berpendapat bahwa setuju sumber daya manusia diperlukan didalam proses pelayanan. Dan responden yang menjawab ragu-ragu sebanyak 3 orang atau 12 persen yang terdapat dalam kategori rendah dengan jumlah skor antara 33 – 38. kenyataan semacam inilah yang perlu dijadikan masukan bagi pemerintah Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara untuk dilakukan pembenahan-pembenahan, terutama mengenai profesionalisme aparat, tanggung jawab dan kemampuan berkreasi dalam pelayanan.

(18)

Analisis Variabel Budaya Organisasi (X2)

Variabel budaya organisasi terdiri dari tiga indikator yaitu: indikator sikap perilaku yang dimiliki aparat, indikator nilai-nilai dominan, dan indikator iklim organisasi. Dari kuesioner yang diajukan kepada 25 orang responden, maka dapat diketahui masing-masing nilai kategori sebagai berikut:

Tabel 5.2. Nilai Kategori Variabel Budaya Organisasi (X2)

No nilai skor Interval Kategori N %

1 28 – 33 Rendah 2 8

2 34 – 39 Sedang 9 36

3 40 – 45 Tinggi 14 56

Jumlah 25 100

Sumber : Data primer diolah, 2012

Berdasarkan tabel kategori di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden, yaitu yang terdapat pada kategori tinggi antara jumlah skor 41 – 46 sebanyak 14 orang atau 56 persen, berpendapat bahwa budaya organisasi sangat penting dalam menunjang kinerja aparat terutama dalam mencapai tingkat efektifitas pelayanan, disiplin kerja yang tinggi, loyalitas yang tinggi serta sikap menarik bagi aparat dalam proses pelayanannya. Semua itu yang sangat diharapkan masyarakat, sehingga perlu adanya penataan dan pembenahan bagi perangkat Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Sedangkan yang terdapat pada kategori sedang yaitu antara jumlah skor 35 – 40 sebanyak 9 orang responden atau 36 persen berpendapat bahwa budaya organisasi cukup dibutuhkan. Sedangkan yang 2 orang responden atau 8 persen diantara jumlah skor 29 – 34

menyatakan ragu-ragu. Hal ini disebabkan karena responden sedikit sekali berakses pada pelayanan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Analisis Variabel Responsivitas (Y) Variabel responsivitas terdiri dari tiga indikator, yaitu indikator tingkat kemampuan mengenali kebutuhan dan aspirasi masyarakat, indikator pengembangan program pelayanan dan indikator tingkat kesesuaian antara program dan kegiatan.

Dari kuesioner yang diajukan kepada 25 orang responden, maka dapat diketahui masing-masing nilai kategori sebagai berikut:

Tabel 5.3. Nilai Kategori Variabel Responsivitas (Y)

No nilai skor Interval Kategori N %

1 40 – 43 Rendah 3 12

2 44 – 47 Sedang 6 24

3 48 – 50 Tinggi 16 64

Jumlah 25 100

Sumber : Data primer diolah, 2012

Berdasarkan tabel 5.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden terdapat dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 16 orang responden atau 64 persen dengan nilai skor antara 48 – 50. berarti sebagian besar responden menghendaki adanya tingkat responsivitas pelayanan sangat tinggi terutama dalam mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dengan pengembangan program-program pelayanan sehingga akan tercapai kesesuaian antara program dan kegiatan. Dengan demikian maka pelayanan akan semakin efektif.

(19)

Responden yang menjawab setuju dan dalam kategori sedang dengan nilai skor antara 44 – 47 sejumlah 6 orang responden atau 24 persen. Kelompok responden ini cukup setuju apabila aparat mampu merespon segala kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Sedangkan yang 3 orang responden atau 12 persen menjawab ragu-ragu, ini disebabkan bahwa responden tidak atau sedikit sekali memiliki akses kepada pelayanan publik Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Dengan perkataan lain tingkat responsivitas birokrasi Kecamatan Sunggal cukup tinggi. Responsivitas memang sangat diperlukan dalam pelayanan publik, karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk menganali kebutuhan masyarakat seperti yang disampaikan oleh Osborn dan Plastrik.

Analisis Hubungan Variabel Dengan Tabulasi Silang

Untuk melihat hubungan antar variabel terlebih dahulu melihat nilai total masing-masing kategori dari beberapa variabel yaitu kategori variabel X1, kategori variabel X2 dan kategori variabel Y. Kemudian X1 dengan Y dan X2 dengan Y.

Tabel 5.4. Tabel Kategori Nilai Variabel X1, X2,

dan Variabel Y

Variabel Total Skor Interval Kategori

X1 33 – 51 33 – 38 Rendah 39 – 45 Sedang 46 – 51 Tinggi X2 29 – 46 29 – 34 Rendah 35 – 40 Sedang 41 – 46 Tinggi Y3 40 – 50 40 – 43 Rendah 44 – 47 Sedang 48 – 50 Tinggi Sumber : Data primer diolah, 2012

Dari tabel di atas maka dapat terlihat perbedaan kalkulasi antara variabel kualitas sumber daya manusia (X1), variabel budaya organisasi (X2) dan variabel responsivitas (Y).

Variabel kualitas sumber daya manusia (X1) total skor terendah adalah 33 sedang yang tertinggi 51. dari skor ini kemudian dibedakan dengan interval angka untuk menentukan tiga kategori yaitu kategori tinggi, kategori sedang dan kategori rendah dengan interval skor tinggi antara 46 – 51, sedang antara 39 – 45 dan rendah antara 33 – 38. demikian juga untuk variabel budaya organisasi (X2) memiliki total skor terendah 29 dan tertinggi 46. Untuk menentukan tiga kategori tinggi dengan interval antara 41 – 46, kategori sedang antara 35 – 46 dan kategori rendah antara 29 – 34.

Untuk variabel responsivitas (Y) memiliki total skor terendah 40 dan tertinggi 50 terbagi dalam tiga kategori, kategori tinggi antara interval 48 – 50, kategori sedang dengan interval antara 44 – 47 sedangkan kategori rendah antara 40 – 43.

a. Hubungan Antara Variabel Sumber Daya Manusia (X1) dengan Variabel Responsivitas (Y)

Untuk mengetahui tingkat perbedaan antara variabel sumber daya manusia dengan variabel responsivitas, maka perlu ditampilkan tabel tabulasi silang sebagai berikut:

(20)

Tabel 5.5. Tabulasi Silang Antara Variabel Kualitas Sumber Daya Manusia (X1)

dengan Variabel Responsivitas (Y) Kualitas

SDM Rendah Sedang Tinggi Responsivitas (Y) Jumlah Rendah 4 % 1 4 % 1 0 8 % 2

Sedang 8 % 2 16 % 4 12 % 3 36 % 9 Tinggi 4 % 1 12 % 3 44 % 10 56% 14 Jumlah 12 % 3 16 % 4 72% 18 100 % 25 Sumber : Data primer diolah, 2012

Dari 25 orang responden yang tersebar dalam kolom-kolom tabel terlihat adanya perbedaan dalam jumlah presentasi dalam setiap kategori. Untuk responden yang terdapat dalam kategori jawaban sumber daya manusia rendah dan responsivitas rendah sebanyak 4 persen, responden yang terdapat dalam kategori jawaban kualitas sumber daya manusia sedang dan responsivitas rendah sebanyak 8 persen dan responden yang termasuk dalam kategori jawaban sumber daya manusia tinggi dan responsivitas rendah sebanyak 4 persen.

Adapun responden yang termasuk dalam kategori jawaban sumber daya manusia rendah dan tingkat responsivitas sedang sebanyak 4 persen, responden yang terdapat dalam kategori jawaban tentang kualitas sumber daya manusia sedang dengan jawaban tentang sumber daya manusia sedang dengan jawaban responsivitas sedang sebanyak 5 persen, dan responden yang terdapat dalam kategori jawaban sumber daya manusia tinggi dan responsivitas rendah sebanyak 8 persen. Selanjutnya untuk responden yang terdapat dalam kategori jawaban kualitas sumber daya manusia rendah dan responsivitas tinggi sebanyak 4 persen, responden yang

terdapat dalam kategori jawaban sumber daya manusia sedang dan responsivitas tinggi sebanyak 12 persen dan responden yang terdapat dalam kategori jawaban kualitas sumber daya manusia tinggi dengan responsivitas yang tinggi sebanyak 56 persen.

Dari penjelasan di atas maka terlihat adanya perbedaan yang menaik kategori X1 tinggi dengan kategori Y yang tinggi dengan selisih sebanyak 45,1 persen. Perbedaan ini cukup besar sehingga terlihat ada hubungan yang nyata antara variabel kualitas sumber daya manusia (X1) dengan variabel responsivitas (Y).

Untuk mengetahui tingkat keeratan pengaruh tadi maka dilakukan analisa korelasi produk momen, yang hasilnya adalah F hitung 0,708 sedang F tabel dalam taraf signifikan 5 persen dan n = 25 maka hasilnya adalah 0,207 sehingga F hitung > F tabel. Berarti variabel sumber daya manusia mempunyai pengaruh positif sebesar 0,708 terhadap variabel responsivitas. Sumber daya manusia yang tinggi akan diikuti pula dengan responsivitas yang tinggi pula.

Hubungan Antara Variabel Budaya Organisasi (X2) dengan Variabel

Responsivitas (Y)

Untuk mengetahui tingkat perbedaan antara variabel budaya organisasi dengan variabel responsivitas, maka perlu ditampilkan tabel tabulasi silang sebagai berikut:

(21)

Tabel 5.6. Tabulasi Silang Antara Variabel Budaya Organisasi (X2) dengan Variabel

Responsivitas (Y)

SDM Rendah Sedang Tinggi Responsivitas (Y) Jumlah Rendah 8 % 2 0,00 % 0 0,00 % 0 8 % 2 Sedang 4 % 1 16 % 4 12 % 3 24 % 8

Tinggi 4 % 1 12 % 3 44 % 11 60 % 14 Jumlah 12 % 3 16 % 4 52 % 14 100 % 25 Sumber: Data primer diolah, 2012

Dari 25 orang responden yang tersebar dalam kolom-kolom tabel adanya perbedaan dalam jumlah presentasi terlihat dalam setiap kategori.

Untuk responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi rendah dengan responsivitas rendah sebanyak 8 persen, responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi sedang dengan responsivitas rendah sebanyak 12 persen dan responden yang dalam kategori jawaban budaya organisasi tinggi dengan responsivitas rendah sebanyak 4 persen.

Untuk responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi rendah dengan responsivitas sedang sebanyak 0,00 persen, responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi sedang dengan responsivitas sedang sebanyak 16 persen, dan responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi tinggi dengan responsivitas sedang sebanyak 8 persen.

Untuk responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi rendah dengan responsivitas tinggi sebanyak 0,00 persen (tidak ada), responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya organisasi sedang dengan responsivitas tinggi sebanyak 16 persen, dan responden yang terdapat dalam kategori jawaban budaya

organisasi tinggi dengan responsivitas tinggi sebanyak 56 persen.

Dari penjelasan di atas maka terlihat adanya perbedaan yaitu kategori variabel X2 tinggi dengan kategori variabel y tinggi dengan selisih sebanyak 42,4 persen, yaitu antara 2,17 persen dengan 44,57 persen. Perbedaan ini cukup besar sehingga ada hubungan yang nyata antara variabel budaya organisasi (X2) dengan variabel responsivitas (Y).

Untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antar variabel maka diperlukan analisis produk moment, yang hasil perhitungannya adalah sebesar 0,701 (F hitung) sedangkan F tabel pada tingkat kebenaran 5 persen sebesar 0,207 sehingga F hitung > F tabel. Ada pengaruh yang signifikan pada taraf kesalahan 5 persen, sebesar 0,701 artinya budaya organisasi yang baik akan diikuti dengan responsivitas kinerja yang baik pula.

Analisis Pengujian Data

Sebelum data dianalisis lebih lanjut, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian data untuk menentukan validitas dan reliabilitas data.

1. Uji Validitas Data

Validitas menunjukkan adanya kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sebenarnya terjadi pada obyek yang diteliti. Menurut Masrun (dalam Sugiono 1998:106) item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula.

Sifat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau R = 0,3. Jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka

(22)

instrumen tersebut dinyatakan tidak valid. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan analisis korelasi

product moment maka diperoleh nilai

muatan seperti pada tabel 5.7.

Dari tabel tersebut di bawah ini maka terbukti bahwa nilai r berada diatas 0,3 sehingga nilai data tersebut dapat dikatakan valid dan sesuai dengan masalah yang sedang diteliti.

Tabel 5.7. Uji Validitas Data Tiap Item Variabel Sumber Daya Manusia, Budaya Organisasi dan Responsivitas

No Variabel Item Nilai r Keterangan 1 Responsivitas a.Daya Tanggap 1 2 3 0,791 0,830 0,751 Valid Valid Valid b.Pengembangan Program pelayanan 1 2 3 0,935 0,963 0,25 4 Valid Valid Valid c.Pengembangan program dan kegiatan 1 2 3 4 0,633 0,525 0,544 0,900 Valid Valid Valid Valid 2 Variabel Kualitas SDM a.Profesionalisme 1 2 3 0,913 0,493 0,556 Valid Valid Valid b.Tanggung jawab aparat 1 2 3 4 0,517 0,863 0,565 0,505 Valid Valid Valid c.Kreativitas 1 2 3 0,708 0,675 0,739 Valid Valid Valid 3 Variabel Budaya Organisasi

a.Indikator sikap perilaku yang dipilih 1 2 3 0,902 0,463 0,595 Valid Valid Valid b.Indikator nilai-nilai dominan 1 2 3 0,874 0,941 0,915 Valid Valid Valid

Sumber : Data Lampiran diolah

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan setelah uji validitas, sebenarnya setelah diuji validitas dan data tersebut menunjukkan valid maka otomatis data tersebut sudah reliabel Teknis pengujian ini menggunakan rumus Spearman Brown dan hasilnya tertera dalam Tabel 5.8.

Tabel di bawah nampak antara item ganjil dengan item genap untuk setiap variabel menunjukkan hubungan yang nyata secara statistik. Dengan demikian semua data dinyatakan reliable.

Tabel 5.8. Uji Reliabilitas Data Variabel Kualitas Sumber Daya Manusia, Budaya Organisasi dan Responsivitas

No Variabel Item Nilai r Keterangan 1 Kualitas SDM (X1) a. Profesional Aparat b. Tanggung jawab c. Kreatifitas 1 – 3 1 – 4 1 – 3 04879 06147 06131 Reliable Reliable Reliable 2 Budaya Organisasi (X2)

a.Sikap perilaku yang dimiliki b.Nilai-nilai dominan c.Iklim organisasi 1 – 3 1 – 3 1 – 3 0,4449 0,9327 0,7054 Reliable Reliable Reliable 3 Responsivitas (Y) a.Mengenali kebutuhan masyarakat b.Pengembangan program pelayanan

c.Kesesuaian antara program dan kegiatan 1 – 3 1 – 3 1 – 4 0,9384 0,7652 0,9583 Reliable Reliable Reliable Sumber : Lampiran diolah

Pembahasan dan Pengujian Hipotesis 1. Pengaruh Kualitas Sumber Daya

Manusia (X1) Terhadap Responsivitas Pelayanan (Y)

Untuk mengetahui tingkat prediksi variabel X1 dan variabel Y tersebut digunakan analisa regresi sederhana. Adapun hasil perhitungan tersebut diketahui sebesar 0,708 artinya setiap terjadi perubahan pada variabel kualitas sumber daya manusia (X1) sebesar 0,708 maka akan terjadi perubahan pada variabel responsivitas pelayanan publik (Y) sebesar 0,708. Jadi setiap perubahan pada variabel X1 akan diikut pula perubahan pada variabel Y.

Untuk mengetahui berapa besar pengaruh kualitas sumber daya manusia (X1) terhadap variabel responsivitas pelayanan publik (Y) digunakan uji t yang hasilnya adalah t hitung sebesar 9,508. Sedangkan t tabel dengan tingkat kesalahan 5 persen hasilnya adalah 1,671 sehingga t hitung (9,508) > t tabel (1,671). Dengan demikian maka Ho ditolak dan Hi diterima. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara variabel

Gambar

Tabel 5.1. Nilai Kategori Variabel Kualitas  Sumber Daya Manusia (X 1 )
Tabel    5.2.  Nilai  Kategori  Variabel  Budaya  Organisasi (X 2 )
Tabel 5.4. Tabel Kategori Nilai Variabel X 1 , X 2 ,  dan Variabel Y
Tabel  5.6.  Tabulasi  Silang  Antara  Variabel  Budaya  Organisasi  (X 2 )  dengan  Variabel  Responsivitas (Y)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ekstraksi pektin kulit buah jeruk bali pernah diteliti dan diketahui bahwa untuk memperoleh persen yield pektin paling besar yaitu dengan menggunakan pelarut

Meskipun susut bobot akhir terendah terjadi pada jamur tiram putih dalam kemasan 2 lubang berdiameter 5 mm (1.425 %) tetapi disain kemasan ini hanya mampu mempertahankan

[r]

dalam Kumpulan Pengurusan dan Profesional Gred 41 dan ke atas dan Kumpulan Pelaksana Gred 29 hingga Gred 40 yang masih BELUM DISAHKAN DALAM PEKRHIDMATAN seperti mana

Secara luas bertujuan untuk menjelaskan akan pentingnya penghawaan alami pada suatu bangunan sebagai ruang aktivitas manusia serta manfaat yang dapat diperoleh dari adanya

Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan mempertanyakan berbagai hal yang terkait dengan Kelompok Tani

Dalam buku laporan KKN ini, kami beri judul “Desa Koleang Selangkah Lebih Maju.” Judul tersebut dipilih karena memiliki makna yang bagus, yaitu dengan adanya

Kualitas pelayanan publik di Kepolisian Sektor Kecamatan Uluere Kabupaten Bantaeng dapat dilihat dari beberapa indikator, salah satunya adalah dari segi responsivitas,