• Tidak ada hasil yang ditemukan

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

DRAF RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN...

TENTANG

TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menimbang:

a. Bahwa kekuasaan kehakiman sebagai pilar negara hukum (rechstaat) merupakan kekuasaan yang bersifat merdeka, tidak memihak untuk menegakkan hukum dan keadilan;

b. Bahwa dalam menjalankan penyelenggaraan peradilan seringkali mengalami intervensi, gangguan, tindakan, ucapan, tingkah laku dan/atau publikasi yang bertendensi penghinaan baik yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung;

c. Bahwa untuk menjaga martabat dan wibawa peradilan diperlukan adanya kekuasaan kemerdekaan untuk menindak (contempt power) pelaku yang mengganggu setiap jalannya fungsi peradilan;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam huruf a, huruf b dan huruf c, diperlukan adanya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court).

Mengingat:

1. Pasal 1, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009) Nomor 157 TLNRI Nomor 5076);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 1985 Nomor 73, TLNRI Nomor 3316) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LNRI Nomor 4958);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 Nomor 98, TLNRI Nomor 4316) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 (LNRI Nomor 2011 Nomor 70, TLNRI 5226);

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (LNRI Tahun 1986 Nomor 20, TLNRI Nomor 3327) sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (LNRI Tahun 2009 Nomor 158, TLNRI Nomor 5077);

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI tahun 1986 Nomor 77, TLNRI Nomor 3344 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI Tahun 2009 Nomor 160 TLNRI Nomor 5079); 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LNRI Tahun 1989

(2)

Nomor 49, TLNRI Nomor 3400 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (LNRI Tahun 2009 Nomor 159 TLNRI Nomor 5078);

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (LNRI Tahun 1997 Nomor 84, TLNRI Nomor 3713);

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi (LNRI Tahun 2009 Nomor 155, TLNRI Nomor 5074);

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (LNRI Tahun 2012 Nomor 153, TLNRI Nomor 5332);

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LNRI Tahun 2004 Nomor 6, TLNRI Nomor 4356) yang kemudian ditangguhkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (LNRI Tahun 2005 Nomor 4, TLNRI Nomor 4468) kemudian diberlakukan kembali dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang Nomor 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menjadi Undang-Undang (LNRI Tahun 2005 Nomor 73, TLNRI Nomor 4523).

Dengan Persetujuan bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN... TENTANG TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:

1. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

2. Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan adalah setiap perbuatan bersifat intervensi, tindakan, sikap, ucapan, tingkah laku dan/atau publikasi yang bertendensi dapat menghina, merendahkan, terganggunya, dan merongrong kewibawaan, kehormatan dan martabat hakim atau badan peradilan.

(3)

3. Tindak pidana penyelenggaraan peradilan secara langsung adalah tindak pidana yang dilakukan pada saat dan ketika proses peradilan sedang berlangsung.

4. Perintah Pengadilan adalah setiap perintah baik yang diberikan secara lisan maupun tertulis oleh hakim atau pengadilan yang ada dalam diktum penetapan atau putusan untuk dipatuhi dan dilaksanakan.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Bagian Ke Satu Asas

Pasal 2

(1) Peradilan dilakukan “DEMI KETUHANAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. (3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan serta mandiri, merdeka, jujur, tidak

memihak dan terbuka untuk umum.

(4) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

(5) Setiap orang yang melakukan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan dipidana sesuai dengan undang-undang ini.

Pasal 3

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(2) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(3) Setiap orang berhak untuk mendapatkan keadilan dalam peradilan yang merdeka tidak memihak serta terbuka untuk umum.

(4) Setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayan cepat untuk memperoleh keadilan.

Bagian Kedua Tujuan

Pasal 4

(1) Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila.

(4)

pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

BAB III

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 5

(1) Undang-Undang ini berlaku untuk semua tingkatan dan lingkungan peradilan.

(2) Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan untuk semua lingkungan peradilan di daerah hukumnya.

(3) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ditemukan, hanya berwenang mengadili apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

BAB IV

KETERTIBAN PERSIDANGAN

Bagian Kesatu Keluhuran Peradilan

Pasal 6

Setiap orang wajib menjaga keluhuran, kemerdekaan dan kehormatan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara Hukum Indonesia, tempat dimana pencari keadilan memenuhi hak-haknya untuk memperoleh keadilan dari peradilan yang merdeka dan tidak memihak.

Bagian Kedua Kelancaran Persidangan

Pasal 7

(1) Setiap orang wajib menjaga ketertiban dan kelancaran penyelenggaraan peradilan yang merdeka dan tidak memihak.

(2) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.

(3) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat. (4) Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat. (5) Siapapun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak

(5)

bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.

(6) Siapapun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.

(7) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadili penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan untuk menitipkannya.

Pasal 8

(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.

(2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.

(3) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.

(4) Hakim ketua sidang wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal-hal yang mengganggu penyelenggaraan peradilan dimana masyarakat menggunakan hak asasinya untuk mendapatkan keadilan dari peradilan yang merdeka dan tidak memihak berdasarkan asas-asas peradilan.

Bagian Ketiga Teguran

Pasal 9

Setiap orang yang mengganggu penyelenggaraan peradilan dapat diberi teguran.

Tindakan

Pasal 10

(1) Hakim atau pengadilan dapat melakukan tindakan demi memperlancar penyelenggaraan peradilan; (2) Tindakan dilakukan dapat dalam bentuk putusan, penetapan atau perintah lisan.

Pasal 11

(1) Untuk menjaga kelancaran ketertiban dan keamanan penyelenggaraan peradilan hakim dapat memerintahkan;

a. Agar seseorang atau sekelompok orang dikeluarkan dari ruangan persidangan atau dari halaman pengadilan;

b. Larangan memasuki tempat penyelenggaraan peradilan dalam radius tertentu. (2) Perintah hakim tersebut dapat dilakukan secara lisan atau dalam bentuk penetapan.

(6)

(3) Untuk pengamanan penyelenggaraan peradilan hakim dapat memerintahkan kepolisian atau alat keamanan negara lainnya masuk ke ruang persidangan.

(4) Segala biaya yang timbul untuk mengamankan jalannya penyelenggaraan peradilan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelancaran, ketertiban dan keamanan penyelenggaraan peradilan diatur dengan atau berdasarkan peraturan mahkamah Agung.

Pasal 12

Setiap orang wajib melaksanakan yang diperintahkan peradilan dalam rangka kelancaran penyelenggaraan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.

BAB V

PENGAMANAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

Bagian Kesatu Perintah Pengamanan

Pasal 13

(1) Hakim atau pengadilan dapat mengeluarkan perintah kepada petugas Kepolisian Republik Indonesia atau polisi pengamanan peradilan mengamankan penyelenggaraan peradilan.

(2) Untuk mengamankan di dalam persidangan, perintah sebagaimana disebut dalam ayat (1) dapat dilakukan secara lisan dan untuk pengamanan di luar persidangan dapat dilakukan dengan penetapan.

Bagian Kedua Polisi Pengaman Peradilan

Pasal 14

(1) Untuk mengamankan penyelenggaraan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, selain aparat kepolisian dibentuk satuan tugas Pengamanan Peradilan.

(2) Polisi Pengamanan Peradilan dan satuan tugas Pengadilan bertugas untuk mengamankan penyelenggaraan peradilan, baik di dalam maupun di luar persidangan.

(3) Satuan tugas Pengadilan membantu Polisi Pengaman Pengadilan di areal pengadilan

Pasal 15

(1) Polisi Pengamanan Peradilan merupakan pengaman penyelenggaraan peradilan. (2) Petugas Pengaman Peradilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk:

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan.

(7)

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan.

c. Memeriksa tanda pengenal seseorang dalam rangka mengamankan penyelenggaraan peradilan. d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana terhadap penyelenggaraan

peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan.

f. Menangkap dan menahan dengan koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan mengindahkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

g. Membuat dan menandatangani berita acara.

h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan.

(3) Polisi pengaman peradilan sebagaimana dimaksud ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(4) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai kelengkapan berkas perkara, Petugas Pengaman Peradilan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan dalam persidangan praperadilan.

BAB VI PEMBIAYAAN

Pasal 16

(1) Negara memberikan jaminan keamanan, fasilitas penyelenggaraan peradilan dan kesejahteraan hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

(2) Segala pembiayaan sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB VII KETENTUAN PIDANA

Pasal 17

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak

Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 18

Setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan penyelenggaraan peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan atau pidana denda paling banyak

(8)

Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 19

Setiap orang yang menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim sehubungan dengan penyelenggaraan peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000, 00(seratus juta rupiah).

Pasal 20

(1) Setiap orang yang merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alat-alat perlengkapan sidang pengadilan yang mengakibatkan hakim tidak dapat menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat sidang pengadilan sedang berlangsung yang menyebabkan sidang pengadilan tidak dapat dilanjutkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya mengalami luka-luka dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya atau saksi saat memberikan kesaksiannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 21

Setiap orang membuka keterangan yang telah disampaikan dalam penyelenggaraan peradilan dalam sidang tertutup, atau membuka identitas orang yang harus dilindungi, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 22

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) setiap orang yang:

a. Membocorkan proses persidangan yang dinyatakan tertutup untuk umum.

b. Mempublikasikan atau membiarkan dipublikasikan proses persidangan yang dinyatakan tertutup untuk umum.

Pasal 23

Setiap orang yang tidak segera pergi dari ruang persidangan sehingga mengganggu penyelenggaraan peradilan setelah diperintah oleh hakim atau pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 24

Setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi

(9)

kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.00,- (satu milyar rupiah).

Pasal 25

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000.000.00,- (tujuh puluh lima juta rupiah) setiap orang yang:

a. Menyembunyikan orang yang telah melakukan tindak pidana atau orang yang dituntut karena melakukan tindak pidana;

b. Memberikan pertolongan kepada orang sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau penahanan, atau;

c. Setelah terjadi suatu tindak pidana dengan maksud untuk menutupi atau menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan menghancurkan menghilangkan, menyembunyikan benda-benda yang menjadi sasaran atau sarana melakukan tindak pidana atau bekas-bekas tindak pidana lainnya atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan pejabat yang berwenang

melakukan penyidikan atau penuntutan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan dari penuntutan terhadap keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus derajat kedua atau dalam garis menyamping derajat ketiga atau terhadap istri atau suami atau bekas istri atau suaminya.

Pasal 26

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.75.000.000, 00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang:

a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;

b. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai tahanan untuk menjalani masa penahanan yang ditetapkan;

c. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai narapidana untuk menjalani pidana.

(2) Turut serta melakukan, sebagaimana disebut pada ayat (1) a, b, c, diancam pidana yang sama sebagaimana disebut pada ayat (1).

Pasal 27

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000, 00 (satu milyar) setiap orang yang:

a. Melepaskan, memberi pertolongan, daya upaya sehingga seseorang dapat meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas perintah pejabat yang berwenang melakukan penahanan, atau; b. Melepaskan, memberi pertolongan, daya upaya sehingga seseorang dapat meloloskan diri dari pidana

perampasan kemerdekaan berdasarkan putusan hakim.

(10)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah) setiap orang yang:

a. melepaskan, memberi pertolongan atau membiarkan tahanan meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas pemerintah pejabat yang berwenang melakukan penahanan, atau;

b. meloloskan diri dari pidana perampasan kemerdekaan berdasarkan putusan hakim.

Pasal 29

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) setiap orang yang:

a. Melepaskan barang dari sitaan berdasarkan peraturan perudang-undangan atau dari simpanan atas perintah hakim atau menyembunyikan barang tersebut, padahal diketahui bahwa barang tersebut berada dalam sitaan atau simpanan, atau;

b. Menghancurkan, merusak dan/atau membuat tidak dapat dipakai suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Penyimpanan barang yang melakukan, membiarkan dilakukan atau membantu melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.7.500.000, 00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi karena kealpaan penyimpanan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.7.500.000, 00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 30

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000, 00 (tujuh puluh lima juta rupiah) bagi advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya:

a. Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya sedangkan patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak yang dibantunya atau;

b. Berusaha memenangkan pihak yang dibantunya, meminta imbalan dengan maksud mempengaruhi terhadap saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.

Pasal 31

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.75.000.000.000, 00 (tujuh puluh lima juta rupiah) setiap orang yang;

a. Dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, advokat dan/atau hakim sehingga penyelenggaraan peradilan terganggu. b. Menyampaikan alat bukti palsu atau mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan di sidang

pengadilan, atau;

c. Mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyelenggaraan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 32

(11)

hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000, 00 (tujuh puluh juta rupiah).

Pasal 33

Saksi yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana dimuka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 34

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum tidak datang pada saat dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa atau tidak memenuhi suatu kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku, dipidana dengan:

a. pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.7.500.000, 00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) bagi perkara pidana, atau;

b. pidana denda paling banyak Rp.7.500.000, 00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) bagi perkara lain. (2) Setiap orang tidak mematuhi perintah pengadilan sehubungan dengan penyelenggaraan peradilan,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 35

Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku harus memberikan keterangan diatas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, oleh sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dan merugikan pihak lawan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).

Pasal 36

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun setiap orang:

a. Melakukan penyerangan langsung kepada saksi saat memberikan kesaksiannya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan;

b. Melakukan penyerangan langsung kepada aparat penegak hukum sehingga mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan, atau;

c. Melakukan penyerangan langsung petugas pengadilan yang sedang menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan.

Pasal 37

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 329 huruf a atau huruf b KUHP dilakukan karena terkait dengan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Bab I bagian Keempat maka pembuat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

(12)

dilakukan karena terkait dengan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Bab I bagian Keempat maka pembuat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pasal 38

Setiap orang yang tidak mematuhi perintah perampasan kemerdekaan dari putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 39

Aparat penegak hukum, Advokat, petugas Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat tahun) dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 40

Aparat penegak hukum, petugas Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau

menyalahgunakan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 41

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 413, Pasal 415, 416, 417, Pasal 425, Pasal 434 ayat (2), Pasal 659, Pasal 664, Pasal 666, Pasal 667, Pasal 668, Pasal 680, Pasal 712 dan Pasal 713 KUHP sepanjang perbuatan tersebut menyangkut badan peradilan, dipidana karena melakukan tindak pidana terhadap proses peradilan dengan pidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut.

BAB VII

PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Paragraf Kesatu Hukum Acara

Bagian Kesatu Umum

Pasal 42

Pemeriksaan terhadap tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

(13)

Pemeriksaan Persidangan

Pasal 43

(1) Pemeriksaan tindak pidana penyelenggaraan peradilan dilakukan secara sumir oleh pengadilan Negeri di wilayah hukum terjadinya tindak pidana tersebut.

(2) Dalam hal terjadi tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan di depan persidangan ketika hakim menyelenggarakan peradilan, hakim tersebut dapat dengan serta merta menjatuhkan pidana.

Bagian Ketiga Alat Bukti

Pasal 44

(1) Alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. (2) Pengetahuan hakim merupakan alat bukti yang sah.

(3) Dalam hal ini terjadi tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan, dimana hakim sebagai saksi, hakim tersebut membuat pernyataan kesaksian dibawah sumpah di depan pengadilan dengan di saksikan dua orang saksi.

(4) Kesaksian dalam penyumpahan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dituangkan dalam berita acara penyumpahan.

(5) Berita acara penyumpahan sebagaimana disebut dalam ayat (2) menjadi alat bukti surat.

Pasal 45

Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan dihadirkannya alat bukti di persidangan, demi tegaknya hukum dan keadilan.

Pasal 46

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengganggu penyelenggaraan peradilan dengan tidak memberikan atau melakukan apa yang diperintahkan pengadilan guna kepentingan menegakkan hukum dan keadilan dapat dilakukan penahanan, sampai dilakukannya apa yang diperintahkan tersebut.

(2) Dalam hal perintah itu merupakan menyerahkan sesuatu dan hal itu telah dilakukan, maka orang sebagaimana di sebut dalam ayat (1) dapat dikeluarkan dari tahanan.

(3) Apabila setelah dilakukan penahanan orang sebagaimana disebut dalam ayat (1) tetap tidak mau melaksanakan atau menyerahkan apa yang diperintahkan, hakim atau pengadilan memerintahkan jaksa untuk menghadirkannya di persidangan untuk dilakukan persidangan secara sumir.

Pasal 47

(1) Persidangan terhadap perbuatan yang mengganggu penyelenggaraan peradilan yang dilakukan pada saat persidangan sedang berlangsung dapat dilakukan secara sumir pada saat perbuatan itu terjadi dengan memberitahu dasar dan alasannya serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk

(14)

menyatakan pembelaannya pada saat itu juga.

(2) Dipersamakan dengan ayat (1) adalah perbuatan yang dilakukan diluar gedung pengadilan yang mengganggu persidangan yang sedang berlangsung atau setelah putusan diucapkan.

Bagian Ketiga Sistem Pembuktian

Pasal 48

Pembuktian terhadap tindak pidana penyelenggaraan peradilan berupa tidak dipatuhinya perintah pengadilan baik yang diberikan secara lisan maupun dalam penetapan atau putusan adalah berdasarkan hukum,

dibebankan kepada terdakwa.

Paragraf Kedua Pertangunggjawaban Pidana

Bagian Kesatu

Pertanggungjawaban Pidana Mutlak

Pasal 49

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengganggu penyelenggaraan peradilan yang dilakukan di depan persidangan yang sedang berlangsung atau ketika dilakukan pemeriksaan setempat, penyitaan dan eksekusi, bertanggung jawab mutlak atas gangguan tersebut tanpa perlu pembuktian unsur

kesalahan.

(2) Dipersamakan sebagaimana dalam ayat (1) yaitu publikasi yang bertendensi dapat mengganggu atau mempengaruhi penyelenggaraan dengan mempublikasikan perkara yang sedang berlangsung atau masih aktif.

Bagian Kedua

Pertanggungjawaban Korporasi

Pasal 50

(1) Apabila tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan dan saksi pidana dijatuhkan kepada:

a. Badan usaha, dan/atau;

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(15)

dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Paragraf Ketiga Penahanan

Pasal 51

(1) Setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan penyelenggaraan peradilan dapat dilakukan penahanan.

(2) Perintah penahanan yang diberikan oleh pengadilan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(3) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan kemudian dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perkara tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau yang sedang diperiksa pada setiap tingkat pemeriksaan tetap diperiksa dan diadili sampai perkara tindak pidana tersebut diputus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, segala ketentuan yang mengatur tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan dan hukum acara tetap berlaku, kecuali telah diatur dalam Undang-Undang ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan hukum acara dan tata tertib persidangan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung.

Pasal 55

Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.

(16)

dalam LNRI.

Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, Ttd.

YASONNA H. LAOLY

(17)

RANCANGAN PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN...

TENTANG

TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)

I. UMUM

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktek ketatanegaraan relatif rentan dapat diintervensi, baik melalui kebijakan hukum pembuat undang-undang, kekuatan di dalam masyarakat (organisasi massa, media massa, partai politik) melalui pembentukan pendapat umum (public opinion) pada saat peradilan sedang berlangsung. Pengaruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik kekuasaan atau kekerasan massa yang bersifat anarkhis, mewarnai proses peradilan sehingga mengganggu penyelenggaraan proses peradilan.

Pada hakekatnya, urgensi dan latar belakang tentang undang-undang contempt of court penting eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari jalannya persidangan. Dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat, gedung pengadilan hampir dapat dipastikan penuh pengunjung yang tidak jarang menimbulkan kegaduhan di ruang sidang dengan bersorak, bertepuk tangan, yang tentunya akan mengganggu jalannya persidangan. Selain itu, kadang ada massa berdemonstrasi menuntut dihentikan proses persidangan, dituntut hukum mati, dibebaskan terdakwa, dan lain sebagainya. Kemudian juga terjadi pengacara meninggalkan persidangan atau menginterupsi dengan keras putusan hakim, terdakwa menyerang hakim akibat tidak puas dengan putusan hakim.

Di luar persidangan, pemberitaan besar-besaran terhadap suatu kasus atau kritikan yang disampaikan secara terbuka melalui media massa sering kali terjadi dan tidak jarang pula bahwa pers mengeluarkan pemberitaan atau pernyataan yang menimbulkan situasi atau kondisi yang berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Dampak dari pemberitaan tersebut adanya kesan bahwa seseorang yang diajukan ke depan pengadilan seolah-olah bersalah walaupun proses persidangan itu belum selesai. Dari dimensi lain, sebenarnya eksistensi contempt of court ibarat “pedang bermata dua”. Di satu sisi, upaya

menegakkan kewibawaan lembaga peradilan, dan di sisi lainnya akan menjadi bumerang bagi masyarakat. Di Indonesia, pengaturan contempt of court dalam hukum positif (isu constitutum/ius operatum) belum memadai untuk melakukan penindakan terhadap pelaku contempt of court.

Konsekuensi logis dimensi tersebut, maka diperlukan adanya peraturan khusus yang mengatur tentang tindak pidana penyelenggara peradilan (contempt of court) sehingga segala segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu proses perkara maupun tidak, di dalam maupun di luar pengadilan, dilakukan perbuatan secara aktif ataupun pasif berupa tidak berbuat yang bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (the due administration of justice), merendahkan kewibawaan dan martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan di dalam menjalankan peradilan, dapat ditindak dan diproses badan peradilan.

II. PASAL DEMI PASAL

(18)

Ayat 2

Termasuk melakukan intervensi adalah perbuatan yang bersifat memerintahkan, mengarahkan,

memanggil, menghubungi, menggunakan alat/teknologi informasi kepada hakim atau pejabat pengadilan dan sebagainya, dilakukan baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Ayat (3)

Termasuk tindak pidana penyelenggaraan peradilan yang dilakukan secara langsung adalah ucapan, tingkah laku, publikasi, perbuatan yang dilakukan di luar gedung pengadilan yang dapat mengganggu, atau mempengaruhi persidangan yang sedang berlangsung, penjatuhan hukuman yang belum

berkekuatan hukum tetap, proses penyitaan dan pelaksanaan putusan atau eksekusi sedang dilakukan.

Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9

Tidak semua perbuatan yang mengganggu jalannya persidangan harus dilakukan teguran melainkan perbuatan yang bersifat dan termasuk kategorisasi merendahkan keluhuran martabat dan wibawa hakim seperti melempar hakim, mencaci maki, membuat gaduh, merusak fasilitas ruang persidangan, dan lain sebagainya dimana pemberian teguran tersebut diserahkan kepada pertimbangan hakim.

(19)

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Dalam rangka integrited criminal justice system diperlukan adanya kerja sama yang bersifat integral antar penegak hukum. Oleh karena itu, diharapkan mencegah adanya rekayasa kasus yang masuk di peradilan. Dalam konteks ini, perintah pengadilan dapat berupa keharusan menghadirkan saksi yang tidak terdapat dalam berkas perkara yang berkorelasi dengan pokok perkara, menghadirkan alat bukti tertulis, dan lain sebagainya, sehingga tidak akan menyesatkan hakim dalam memutus perkara bersangkutan.

Pasal 13

Ayat 2

Pengamanan di luar pengadilan bersifat mencegah, menghindari dan mengantisipasi penggunaan massa oleh para pihak seperti ketika dilakukan pemeriksaan ditempat (descente), sidang ditempat, dilakukan penyitaan, sita eksekusi, eksekusi. Perintah dilakukan sehingga adanya kepastian dan dasar hukum sehingga adanya pembiaran, pengabaian dan tidak dilaksanakan perintah ini sudah termasuk kategori contempt of court yaitu tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders).

Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat 1

Hal ini sesuai dengan PP 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung.

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Termasuk dalam ketentuan ini adalah pimpinan lembaga atau institusi, badan hukum, komisi, yang menjalankan dinas kenegaraan.

(20)

Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas

(21)

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 143 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana disebutkan, bahwa: “saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41

(22)

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (2)

Terminologi kata “dapat” bila terdapat hal-hal yang bersifat khusus, sehingga penjatuhan pidana tidak dapat dilakukan pada saat itu juga, sehingga pemeriksaannya dapat dilakukan secara sumir, di luar pokok perkaranya.

Pasal 44

Ayat (2)

Ketentuan Pasal 78 ayat (1) UU Nomor ...Tahun 1950 Tentang Susunan,Kekuasaan dan Jalan

Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia menyebutkan pengetahuan hakim merupakan alat bukti yang sah.

Ayat (4)

Ketentuan Pasal 187 KUHAP mengkategorisasikan Berita Acara Penyumpahan merupakan salah satu alat bukti petunjuk, sehingga hakim tidak perlu dihadirkan sebagai saksi.

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Ayat (1)

Penahanan dilakukan demi terwujudnya kepastian hukum. Pada asasnya pihak berperkara sering kali mengalami kesulitan mendapatkan alat bukti dan barang bukti, sehingga melalui pengadilan dan hakim karena jabatannya serta demi tegaknya hukum dan keadilan, hakim dapat memerintahkan setiap orang untuk menyerahkan alat bukti yang dimaksud di depan persidangan.

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

(23)

Ayat (2)

Sistem pertanggungjawaban mutlak atau strict liability juga dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang mempublikasi terhadap perkara yang sedang dalam proses peradilan sehingga publikasi tersebut bertendensi adanya pendapat umum (public opinion) yang dapat mempengaruhi hakim, juga secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman. Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas

Referensi

Dokumen terkait

Populasi yang menj adi responden dari survei ini adalah gay dan LSL lainnya yang melaporkan hubungan seks dengan laki-laki lain dalam 3 bulan t erakhir, dan berada di lokasi

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa pada beberapa karakter, tanaman kacang bogor akibat perlakuan kolkisin menunjukkan koefisien keragaman rendah pada karakter

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepadamasyarakat perikanan tentang gambaran embriogenesis ikan nila apabila telur ikan nila ditetaskan pada

1) Pasar Sidodadi Kleco memiliki lokasi yang strategis yaitu berada di pinggir jalan dimana merupakan jalur lintas yang sering dilewati oleh pengendara dari

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Analisa data dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu Univariat yaitu distribusi frekwensi dengan menentukan persentase untuk masingmasing kategori pada tiap-tiap sub

Dari banyak penelitian yang ada seperti penelitian rukmono budi utomo dalam penelitiannya berjudul Model Regresi Persentase Keuntungan Perusahaan Manufaktur Ditinjau