• Tidak ada hasil yang ditemukan

Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI BANTEN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Katalog BPS : 6101006.36

BADAN PUSAT STATISTIK

PROVINSI BANTEN

(2)

(3)

ANALISIS KETERKAITAN

INDUSTRI KIMIA HULU HILIR

(4)

ANALISIS KETERKAITAN INDUSTRI KIMIA HULU HILIR DI PROVINSI BANTEN ISBN : 978-602-0932-43-9 Nomor Publikasi : 36000.1564 Katalog BPS : 6101006.36 Ukuran Buku : 18,2 cm x 25,7 cm Jumlah Halaman : xi + 77 Naskah :

Badan Pusat Statistik Provinsi Banten

Gambar Kulit :

Badan Pusat Statistik Provinsi Banten

Diterbitkan oleh :

© Badan Pusat Statistik Provinsi Banten

Dicetak oleh : CV. Dharmaputra icetak oleh :

……….

Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik

(5)

iii KATA PENGANTAR

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten ini merupakan analisis lanjutan yang difokuskan pada industri kimia di Provinsi Banten yang baru pertama kali disusun oleh BPS Provinsi Banten. Publikasi ini menyajikan tinjauan penyediaan dan penggunaan produk / bahan baku dan analisis keterkaitan hulu hilir pada industri kimia di Banten. Publikasi ini juga menyajikan tabel-tabel dan pohon industri terkait analisis tersebut..

Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada Badan Pusat Statistik Provinsi Banten sehingga memungkinkan terbitnya buku ini. Semoga publikasi ini bermanfaat.

Serang, Desember 2015 Badan Pusat Statistik Provinsi Banten

Kepala,

(6)

(7)

v DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 3

1.2. Maksud dan Tujuan ... 5

1.3. Sistematika Penulisan... 7

BAB II. METODE PENELITIAN ... 9

2.1. Jenis dan Sumber Data ... 11

2.2. Rapat Koordinasi dan Konsultasi………...…...……….. 12

2.3. Konsep dan Definisi ………...……….… 12

BAB III. KETERSEDIAAN BAHAN BAKU ... 15

3.1. Sepuluh Industri Prioritas ... 17

3.2. Ruang Lingkup Industri Petrokimia ………...…...……….. 20

3.3. Bahan Baku Industri Petrokimia Hulu……...……….… 21

3.4. Sumber Daya dan Cadangan Minyak Bumi ... 22

3.5. Sumber Daya dan Cadangan Gas Alam ... 25

3.6. Sumber Daya dan Cadangan Batubara ... 27

(8)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

vi

Halaman

BAB IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI KIMIA BANTEN ... 31

4.1. Kondisi Industri Kimia di Banten... 33

4.2. Rantai Industri Petrokimia... 37

BAB V. INDUSTRI KIMIA HULU HILIR ... 41

5.1. Kelompok Industri Kimia... 43

5.2. Sebaran Industri Kimia Menurut Wilayah... 45

5.3. Output Industri Petrokimia Menurut Wilayah... 48

5.4. Serapan Tenaga Kerja Industri Kimia Menurut Wilayah... 51

5.5. Penawaran dan Permintaan Industri Kimia Hulu ... 54

5.6. Keterkaitan Antar Sektor Industri ... 59

5.7. Penutup ... 64

(9)

Daftar Isi

vii DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. PDRB Provinsi Banten pada Industri Pupuk,

Kimia, Farmasi, dan Barang dari Karet/Plastik,

Tahun 2010-2014 ... 33 Tabel 4.2. Nilai Investasi Lapangan Usaha Industri Kimia

dan Farmasi Provinsi Banten, 2010-2014 ... 36 Tabel 4.3. Volume Produksi PT. Chandra Asri Petrochemical

di Provinsi Banten, 2013-2014 …... 39 Tabel 5.1. Penawaran Industri Petrokimia (Industri Pupuk,

Kimia, dan Barang dari Karet/Plastik)

di Provinsi Banten ... 56 Tabel 5.2. Permintaan Industri Petrokimia (Industri Pupuk,

Kimia,dan Barang dari Karet) di Provinsi Banten ... 58 Tabel 5.3. Klasifikasi Sektor (Industri Pengolahan) dalam

(10)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1. Bangun Industri Nasional ... 18 Gambar 3.2. Sebaran Cadangan Minyak Bumi Indonesia ... 22 Gambar 3.3. Cadangan Minyak Bumi Indonesia (miliar barel),

2009 – 2013 ………... 23

Gambar 3.4. Produksi Naphta Indonesia (ribu barel),

2009-2013 ... 24 Gambar 3.5. Sebaran Cadangan Gas Alam

di Indonesia, 2012 ………... 25 Gambar 3.6. Cadangan Gas Alam Indonesia (TSCF),

2010-2013 ... 26 Gambar 3.7. Produksi Gas Alam Indonesia (MMCF),

2009 - 2014 ... 26 Gambar 3.8. Peta Persebaran Sumber Daya dan Cadangan

Batubara Indonesia ... 27 Gambar 3.9. Peta Persebaran Sumber Daya dan Cadangan

Batubara dan CBM Indonesia ... 28 Gambar 4.1. Pohon Industri Petrokimia ... 40 Gambar 5.1. Jumlah Industri Kimia Menurut Kelompok

Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 43 Gambar 5.2. Persentase Output Industri Kimia Menurut

Kelompok Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 44 Gambar 5.3. Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri

Kimia Menurut Kelompok Industri di Provinsi

Banten, 2013 ... 45 Gambar 5.4. Jumlah Industri Kimia Hulu Menurut Lokasi

Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 46 Gambar 5.5. Jumlah Industri Kimia Antara Menurut Lokasi

Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 47 Gambar 5.6. Jumlah Industri Kimia Hilir Menurut Lokasi

(11)

Daftar Isi

ix Halaman

Gambar 5.7. Output Industri Kimia Hulu Menurut Lokasi

Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 49 Gambar 5.8. Output Industri Kimia Antara Menurut Lokasi

Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 50 Gambar 5.9. Output Industri Kimia Hilir Menurut Lokasi

Industri di Provinsi Banten, 2013 ... 51 Gambar 5.10. Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri

Kimia Hulu Menurut Lokasi Industri di Provinsi

Banten, 2013 ... 52 Gambar 5.11. Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri

Kimia Antara Menurut Lokasi Industri di

Provinsi Banten, 2013 ... 53 Gambar 5.12. Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri

Kimia Hilir Menurut Lokasi Industri di Provinsi

Banten, 2013 ... 54 Gambar 5.13. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Sektor

(12)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga Kerja pada Kelompok Industri Kimia Hulu

Menurut Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 .. 67 Lampiran 2. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga

Kerja pada Kelompok Industri Kimia Antara

Menurut Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 .. 68 Lampiran 3. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga

Kerja pada Kelompok Industri Kimia Hilir

Menurut Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 .. 69 Lampiran 4. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga

Kerja pada Industri Bahan Kimia Menurut

Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 ... 70 Lampiran 5. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga

Kerja pada Industri Barang Kimia Lainnya

Menurut Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 .. 71 Lampiran 6. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga

Kerja pada Industri Serat Buatan Menurut

Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 ... 72 Lampiran 7. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga

Kerja pada Industri Industri Farmasi, Produk Obat Kimia Menurut Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 ...

73

Lampiran 8. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga Kerja pada Industri Karet dan Barang dari Karet

(13)

Daftar Isi

xi Halaman

Lampiran 9. Jumlah Perusahaan, Nilai Output dan Tenaga Kerja pada Industri Plastik dan Barang dari

Plastik Menurut Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2013 ... 75 Lampiran 10. Nilai Indeks Backward Linkage Sektor Industri

Pengolahan di Banten Tahun 2010 ... 76 Lampiran 11. Nilai Indeks Forward Linkage Sektor Industri

(14)

(15)

`

1

PENDAHULUAN

(16)

(17)

3 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi, dimana tingkat persaingan semakin tinggi, industri pengolahan di suatu negara dituntut untuk mampu menghasilkan output secara efisien. Efisiensi tersebut dapat tercapai jika sumber daya yang tersedia dialokasikan secara efektif dan efisien, misalnya dengan cara membentuk suatu daerah industri atau konsentrasi spasial industri. Konsentrasi spasial merupakan pengelompokkan dari aktivitas ekonomi secara spasial dalam suatu lokasi tertentu dan saling terkait, seperti konsentrasi industri tekhnologi tinggi di Silicon Valley (Ellison dan Glaeser,1997), konsentrasi spasial pada kota tepi air (Fujita dan Mori,1996), kluster industri (Porter, 1990) serta aglomerasi perkotaan (Fujita dan Thiesse, 2002). Konsentrasi spasial, umumnya terjadi karena adanya campur tangan Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kapabilitas nasional seperti yang dikatakan oleh Porter (1990).

Konsentrasi spasial dibentuk dengan alasan skala ekonomi dan dengan tujuan untuk memperoleh kemudahan bahan baku dan pemasaran serta penghematan biaya transpor (Krugman, 2001). Dalam bahasa yang lebih sederhana, konsentrasi spasial adalah upaya untuk menciptakan saling keterkaitan antar industri yang ada dalam suatu daerah. Keterkaitan tersebut, bisa berarti keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage). Keterkaitan ke belakang adalah

(18)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

4

bentuk keterkaitan dimana suatu industri (industri hilir) menggunakan output industri lainnya (industri hulu) sebagai bahan baku, sehingga kemajuan yang terjadi pada industri hilir tertular pada industri hulu. Sedangkan keterkaitan ke depan terjadi jika output suatu industri (industri hulu) digunakan sebagai output industri lainnya (industri hilir), sehingga kemajuan yang terjadi pada industri hilir dapat ditopang oleh oleh industri hulu.

Sejak mulai berdiri sendiri sebagai suatu provinsi pada tahun 2000 sampai sekarang ini, struktur ekonomi Banten selalu didominasi oleh sektor industri pengolahan. Dominasi tersebut, tercermin dari besar nya

share industri pengolahan dalam pembentukan PDRB, yang pada tahun 2014 share nya mencapai 34,23 persen. Secara teknologi produksi, industri di Banten umumnya dibedakan menurut industri yang bercirikan padat modal dan padat tenaga kerja. Kedua jenis industri ini, masing-masing cenderung mengelompok dan membentuk suatu konsentrasi spasial, di daerah yang berbeda. Contohnya adalah daerah Banten Utara dan Serang Timur, yaitu daerah konsentrasi bagi industri yang bercirikan padat tenaga kerja, seperti industri makanan, tekstil dan alas kaki. Sedangkan daerah Serang Barat dan Kota Cilegon adalah daerah-daerah bagi industri baja dan bahan kimia, yang merupakan industri dengan teknologi yang padat modal.

Berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, pemerintah diharuskan berperan dalam mendorong kemajuan sektor industri. Sementara itu, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) memprioritaskan 10 industri yang dikelompokan ke dalam industri andalan, industri pendukung, dan industri hulu. Salah satu industri prioritas dalam kelompok industri hulu adalah Industri petrokimia dasar berbasis minyak bumi, gas, dan batubara. Banten dalam hal ini Cilegon,

(19)

Pendahuluan

5 merupakan klaster industri petrokimia hulu berbasis olefin. Melihat peranan strategis dari industri ini dalam perekonomian Banten, pemerintah daerah sangat perlu untuk memiliki informasi yang terperinci mengenai penyediaan dan penggunaan produk-produk industri petrokimia di wilayah Banten dan bagaimana keterkaitan berbagai industri petrokimia dalam hal penyediaan dan penggunaan produk-produknya di wilayah Banten dan bagaimana keterkaitan berbagai industri tersebut. Adanya informasi suatu keterkaitan yang kuat dari berbagai industri dapat memberikan indikasi potensi pemanfaatan sumber-sumber bahan baku dan produk yang lebih efisien.

Dalam analisis ini penyusunan rantai nilai atau pohon industri diharapkan dapat menjabarkan struktur penyediaan dan penggunaan produk industri kimia berbasis olefin di Provinsi Banten. Melalui analisis ini juga dapat diketahui upaya-upaya untuk memanfaatkan peranan industri kimia hulu bagi industri-industri lainnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat Provinsi Banten.

1.2. Maksud dan Tujuan

Analisis yang disusun adalah analisis keterkaitan industri kimia hulu hilir di Provinsi Banten pada kondisi tahun 2013. Analisis ini disusun dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang keterkaitan industri-industri dalam penyediaan dan penggunaan bahan baku / produk industri-industri, khususnya industri petrokimia hulu (berbasis olefin) di Provinsi Banten pada kondisi tahun 2013.

(20)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

6

Tujuan penyusunan adalah :

1. Untuk mengetahui peranan Industri Kimia (Industri kimia, pupuk, farmasi serta Industri karet, barang dari karet, dan plastik) dalam perekonomian Banten

2. Untuk mengetahui penawaran dan permintaan produk industri petrokimia hulu (berbasis olefin) di Banten

3. Menyusun kelompok industri kimia di Banten berdasarkan data Survei Industri Besar Sedang (IBS) Tahun 2013

Penyusunan analisis keterkaitan industri kimia hulu hilir ini dapat diterapkan dalam analisis perencanaan khususnya perencanaan bidang industri di Provinsi Banten. Mengingat analisis ini meninjau keterkaitan penyediaan dan penggunaan produk industri-industri, sehingga analisis ini dimaksudkan juga untuk dapat mendukung upaya perumusan program ekonomi terutama dalam upaya pembangunan lapangan usaha industri pengolahan.

Dengan maksud dan tujuan tersebut di atas, pemerintah daerah diharapkan mampu membuat kebijakan dan program pembangunan yang dapat memberdayakan berbagai industri-industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian Banten, serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat Provinsi Banten khususnya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

(21)

Pendahuluan

7 1.3. Sistematika Penulisan

Publikasi ini dibagi dalam 5 bab penulisan, ditambah lampiran berupa tabel-tabel data pendukung.

Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan serta sistematika penulisan. Bab 2 merupakan metodologi penelitian. Bab 3 merupakan uraian ketersediaan bahan baku. Bab 4 merupakan uraian perkembangan industri kimia di Banten.

Sedangkan Bab 5 merupakan analisis berupa deskripsi dari hasil analisis rantai nilai industri menurut kelompok industri dan wilayah serta permintaan dan penawaran produk pada industri petrokimia di Provinsi Banten. Pada bab 5 juga diberikan deskripsi ringkas keterkaitan ke belakang dan ke depan dari hasil Tabel Input Output Banten Tahun 2010.

(22)

(23)

2

METODE

PENELITIAN

(24)

(25)

11 BAB II

METODE PENELITIAN

2.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil survei Industri Besar Sedang (IBS) yang dilakukan BPS dengan referensi waktu selama tahun 2013 serta wawancara mendalam (indept study) langsung ke beberapa pelaku industri dan asosiasi industri. Data sekunder adalah statistik industri nasional yang bersumber dari Kementerian Perindustrian RI dan data dari asosiasi industri terpilih. Data sekunder digunakan untuk menyusun pemetaan awal yang menggambarkan konfigurasi sektor industri yang dikaji secara umum. Sedangkan data primer digunakan untuk mengetahui karakteristik ketersediaan bahan baku dan pemanfaatan bahan baku sektor industri yang dikelompokkan ke dalam industri hulu, antara dan hilir.

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada beberapa pelaku industri/perusahaan dan asosiasi industri, menggunakan kuesioner sebagai panduan agar wawancara dapat lebih fokus pada inti analisis. Poin pokok yang digali secara mendalam adalah mengenai besarnya kebutuhan bahan baku, akses terhadap bahan baku, proporsi biaya bahan baku dalam proses produksi, tingkat efisiensi penggunaan bahan baku, intensitas penggunaan bahan baku pada industri yang bersangkutan, distribusi bahan baku dan lain-lain aspek yang berkaitan.

(26)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

12

2.2. Rapat Koordinasi dan Konsultasi

Rapat Koordinasi (Rakor) dan konsultasi dalam analisis ini ditujukan untuk mendapatkan konfirmasi dan masukan dari para pemangku kebijakan, dinas instansi terkait dan para ahli agar analisis dapat menggambarkan realitas yang ada di industri pengolahan kimia hulu hilir di Banten.

2.3. Konsep dan Definisi

Industri kimia hulu hilir yang dicakup dalam analisis ini adalah industri petrokimia yang terdiri dari industri kimia, pupuk, farmasi serta industri karet, barang dari karet dan plastik. Klasifikasi cakupan industri petrokimia tersebut mengacu pada Kode Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2009 Cetakan III. Kelompok Industri Hulu merupakan Industri Bahan Kimia (201), golongan ini mencakup pembuatan produk kimia dasar, pupuk dan nitrogen compound, seperti halnya plastik dan karet sintetis dalam bentuk dasar.

Kelompok Industri Kimia Antara terdiri dari Industri Barang Kimia Lainnya (202) dan Industri Serat Buatan (203). Golongan Industri Barang Kimia Lainnya mencakup pembuatan produk kimia selain kimia dasar dan serat buatan. Golongan ini juga mencakup pembuatan berbagai barang seperti pestisida, cat, pernis dan bahan pelapis sejenis, tinta cetak, dan damar untuk campuran semen; deterjen dan sabun, preparat pembersih, parfum, dan preparat toilet dan produk kimia lain seperti bahan peledak, petasan/mercon, preparat kimia perekat untuk penggunaan fotografi (termasuk kertas film dan kertas peka cahaya), gelatin, preparat diagnostik komposit dan lain-lain. Golongan Industri Serat Buatan mencakup

(27)

Metode Penelitian

13 pembuatan kawat pijar ganda tiruan atau sintetis, benang dan serat tiruan atau sintetis yang tidak diolah untuk pemintalan dan pembuatan strip atau kawat pijar tunggal tiruan atau sintetis.

Kelompok Industri Kimia Hilir terdiri dari Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional (210), Industri Karet dan Barang dari Karet (221) dan Industri Barang dari Plastik (222). Golongan Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional mencakup pembuatan produk farmasi dasar dan preparat farmasi antara lain preparat darah, obat-obatan jadi, preparat diagnostik, preparat medis, obat tradisional atau jamu dan produk botanikal untuk keperluan farmasi. Industri Karet dan Barang dari Karet mencakup pembuatan ban karet untuk semua jenis kendaraan dan peralatan, berbagai strip/potongan ban untuk vulkanisir dan kegiatan vulkanisir. Golongan ini juga mencakup pembuatan produk karet lainnya, pembuatan produk karet alam atau sintetis lainnya dalam bentuk yang berbeda dan juga pembuatan bahan-bahan karet untuk perbaikan, di mana karet adalah unsur utama. Industri Barang dari Plastik mencakup pengolahan dasar plastik baru atau daur ulang menjadi produk akhir atau antara, menggunakan berbagai proses dan pencetakan. Proses produksi dapat membuat bermacam-macam jenis produk plastik dalam bentuk dan keperluan yang berbeda. Golongan ini juga mencakup antara lain, plat, tabung, peralatan, kontainer pembungkus, bahan bangunan dari plastik, barang-barang plastik rumah tangga, ban berjalan untuk alat angkut dan lain-lain.

(28)

(29)

3

KETERSEDIAAN

BAHAN BAKU

(30)

(31)

17 BAB III

KETERSEDIAAN BAHAN BAKU

3.1. Sepuluh Industri Prioritas

Peran pemerintah dalam mendorong kemajuan sektor industri ke depan dilakukan secara terencana serta disusun secara sistematis dalam suatu dokumen perencanaan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dokumen perencanaan tersebut harus menjadi pedoman dalam menentukan arah kebijakan pemerintah dalam mendorong pembangunan sektor industri dan menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan industri nasional.

Sebagai implementasi amanat pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No. 3 tahun 2014 disusunlah Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) agar menjadi pedoman bagi pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri sehingga tercapai tujuan penyelenggaraan Perindustrian. RIPIN memiliki masa berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dan bila diperlukan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

Di dalam RIPIN telah ditentukan ditentukan 10 industri prioritas yang dikelompokkan kedalam industri andalan, industri pendukung dan industri hulu sebagai berikut :

Industri Andalan meliputi : 1. Industri Pangan

(32)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

18

3. Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka 4. Industri Alat Transportasi

5. Industri Elektronika dan Telematika (ICT) 6. Industri Pembangkit Energi

Industri Pendukung meliputi :

7. Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong dan Jasa Industri Industri Hulu meliputi :

8. Industri Hulu Agro

9. Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam

10. Industri Kimia Dasar Berbasis Minyak bumi dan gas dan Batubara Kesepuluh industri prioritas tersebut merupakan bagian dari Bangun Industri Nasional. Adapun bagan Bangun Industri Nasional bisa dilihat seperti Gambar 1 berikut.

Gambar 3.1.

(33)

Ketersediaan Bahan Baku

19 Bangun Industri Nasional berisikan industri andalan masa depan, industri pendukung dan industri hulu, dimana ketiga kelompok industri tersebut memerlukan modal dasar berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, serta teknologi, inovasi dan kreativitas. Pembangunan industri di masa depan tersebut juga memerlukan prasyarat berupa ketersediaan infrastruktur dan pembiayaan yang memadai, serta didukung oleh kebijakan dan regulasi yang efektif.

Sebagai salah satu bagian dari industri hulu, yaitu kelompok Industri Kimia Dasar Berbasis Minyak bumi dan Gas dan Batubara, Industri Kimia Hulu diharapkan menjadi pendukung industri andalan. Industri Kimia menjadi salah satu industri strategis baik ditinjau dari posisinya dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) industri manufaktur maupun dalam konteks keterkaitan dengan industri hilir lain seperti, plastik, serat sintetik, karet sintetik, kosmetik, pupuk, tekstil, dan lain-lain.

Industri petrokimia di Indonesia sangat diuntungkan oleh kondisi potensi sumber bahan baku (minyak bumi, gas alam, batubara dan biomassa) dan potensi pasar di dalam negeri yang cukup besar. Adapun Industri Petrokimia Hulu yang dikembangkan di Indonesia sesuai RIPIN (Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional) 2015-2035 adalah: Etilena; Propilena; Butadiene; Benzena; Toluena; p-Xylena; o-Xylena; Metanol; Ammonia; dan Asam Formiat.

Industri Kimia hulu dapat dikategorikan sebagai jenis industri yang padat modal (capital intensive), padat teknologi (technology intensive) dan lahap energi (energy intensive). Industri kimia hulu merupakan industri strategis yang mempunyai keterkaitan luas dengan industri kimia antara dan kimia hilir, sehingga untuk peningkatan efisiensi dan daya saing pembangunannya dapat dilakukan secara terintegrasi.

(34)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

20

3.2. Ruang Lingkup Industri Petrokimia

Industri petrokimia secara umum dapat didefinisikan sebagai ”industri yang berbahan baku utama produk minyak bumi dan gas (naphta, kondensat, gas alam), batubara, serta biomassa; yang mengandung senyawa-senyawa olefin, aromatik, gas sintesa, dan organik lainnya yang dapat diturunkan dari bahan-bahan tersebut, untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi daripada bahan bakunya.”

Industri petrokimia dasar termasuk dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 20117: Industri Kimia Dasar Organik yang Bersumber dari Minyak Bumi, Gas Alam, dan Batubara. Kelompok ini mencakup usaha industri kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia, yang bahan bakunya berasal dari minyak bumi dan gas bumi maupun batu bara, seperti ethylene, propilene, benzena, toluena, caprolactam termasuk pengolahan coal tar.

Industri petrokimia dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

1. Industri petrokimia hulu (dasar)

Industri petrokimia dasar merupakan industri paling hulu dalam rangkaian industri petrokimia, memproses bahan baku berupa naphta dan/atau kondensat menjadi olefin, aromatik, dan parafin. Contoh : industri olefin (ethylene, propiline, butadiane, dll), industri aromatik (benzene, toluene, xylene, dll), industri berbasis C-1(ammonia, methanol).

(35)

Ketersediaan Bahan Baku

21

2. Industri petrokimia antara

Industri petrokimia antara adalah industri yang memproses bahan baku olefin, aromatik (produk industri petrokimia hulu) menjadi produk-produk turunannya seperti vinyl chloride, styrene, ethylene glycol, dll.

3. Industri petrokimia hilir

Industri petrokimia hilir adalah industri yang mengolah bahan yang dihasilkan oleh industri petrokimia antara menjadi berbagai produk akhir yang digunakan oleh industri atau konsumen akhir (industrial dan consumer goods). Contoh: Polietilena (HDPE, LDPE, LLDPE);

Polipropilena (PP); Polistirena (PS); Polivinilkhlorida (PVC); PET, Karet Sintetis (ABS), Serat Sintetis (polyester, nilon), dll.

3.3. Bahan Baku Industri Petrokimia Hulu

Sumber bahan baku (feedstock) Industri petrokimia hulu berasal dari sumber minyak bumi (naphta, kondensat), gas alam, batu bara, serta biomassa yang dapat menghasilkan senyawa-senyawa olefin, aromatik, gas sintesa, dan senyawa-senyawa organik lainnya yang dapat diturunkan dari bahan-bahan tersebut, yang memiliki nilai tambah lebih tinggi daripada bahan bakunya.

Ketersediaan bahan baku dan utilitas merupakan pendukung penting bagi keberlangsungan industri petrokimia hulu di Indonesia. Keduanya merupakan dua pertiga komponen biaya produksi dalam industri ini. Suplai bahan baku yang berkesinambungan serta harga yang kompetitif adalah faktor penting. Feedstock tersebut disamping untuk bahan baku industri petrokimia dasar juga digunakan sebagai bahan energi.

(36)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

22

3.4. Sumberdaya dan Cadangan Minyak Bumi

Meskipun jumlahnya tidak besar namun Indonesia memiliki potensi cadangan minyak bumi terbukti sebesar 4 miliar barrel dengan tingkat produksi sekitar 950 ribu barel per hari. Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral (ESDM), potensi sumber daya berbasis minyak bumi terbesar terdapat pada wilayah pulau Sumatera bagian tengah, Kalimantan Timur, dan pulau Jawa bagian barat - timur.

Gambar 3.2.

Sebaran Cadangan Minyak Bumi Indonesia

(37)

Ketersediaan Bahan Baku

23 Selama sepuluh tahun terakhir, laju penurunan cadangan terbukti minyak bumi sebesar 92,5 juta barel per tahun, atau dengan kata lain selama sepuluh tahun cadangan minyak dan kondensat nasional hilang sebesar 1 miliar barel.

Gambar 3.3.

Cadangan Minyak Bumi Indonesia (miliar barel), 2009 - 2013

Sumber : Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2014, Kementerian ESDM

Dibandingkan dengan tahun 2010, ketersediaan cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2011 mengalami penurunan hingga 0,03 miliar barel menjadi 7,73 miliar barel termasuk di dalamnya cadangan Blok Cepu. Dengan rata-rata tingkat produksi 0,329 miliar barel, ketersediaan cadangan minyak bumi di Indonesia saat ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi Indonesia hingga 23 tahun ke depan.

4,3 4,23 4,04 3,74 3,69 3,7 3,53 3,69 3,67 3,86 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2009 2010 2011 2012 2013 Proven Potential

(38)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

24

Hingga akhir tahun 2011, produksi minyak Indonesia mencapai 902 ribu barel per hari, terdiri dari minyak 794 ribu barel per hari dan kondensat 108 ribu barel per hari . Nilai ini lebih rendah 4,5% dibandingkan produksi minyak Indonesia tahun sebelumnya dan target produksi / lifting minyak bumi di dalam APBN-P 2011 sebesar 945 ribu barel per hari.

Produksi naphta Indonesia sebagai salah satu bahan baku utama dalam industri kimia hulu selama lima tahun terakhir cenderung fluktuatif. Produksi naphtha tertinggi tercapai pada tahun 2011 sebanyak 26,8 juta barel namun terus menurun pada tahun-tahun berikutnya. Hingga Januari 2013, produksi naphtha Indonesia tercatat sebanyak 23,8 juta barel.

Gambar 3.4.

Produksi Naphta Indonesia (ribu barel), 2009 - 2013

Sumber : Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2014,

Kementerian ESDM 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 2009 2010 2011 2012 2013

(39)

Ketersediaan Bahan Baku

25 3.5. Sumberdaya dan Cadangan Gas Alam

Pada 2013 potensi cadangan gas Indonesia cukup besar yaitu mencapai 150,39 triliun cubic feet (TSCF) dengan cadangan terbukti 101,54 TSCF dan cadangan potensial 48,85 TSCF. Sementara tingkat produksi gas alam Indonesia mencapai 2,97 TSCF pada tahun 2013.

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral (ESDM), cadangan gas bumi terbesar terdapat pada wilayah perairan Natuna, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Papua.

Gambar 3.5.

Sebaran Cadangan Gas Alam di Indonesia, 2012

(40)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

26

Gambar 3.6.

Cadangan Gas Alam Indonesia (TSCF), 2010 – 2013

Gambar 6.

Cadangan Gas Alam Indonesia Tahun 2010 – 2013 (TSCF)

Sumber : Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2014,

Kementerian ESDM

Gambar 3.7.

Produksi Gas Alam Indonesia (MMSCF), 2009-2013

Sumber : Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2014,

Kementerian ESDM 2.700.000 2.800.000 2.900.000 3.000.000 3.100.000 3.200.000 3.300.000 3.400.000 3.500.000 2009 2010 2011 2012 2013 107,34 108,4 104,71 103,35 101,54 52,29 48,74 48,18 47,35 48,85 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2009 2010 2011 2012 2013 Proven Potential

(41)

Ketersediaan Bahan Baku

27 3.6. Sumberdaya dan Cadangan Batubara

Batubara yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia adalah batubara biasa dan batubara yang berbentuk coal bed methane. Kedua jenis batubara ini sangat besar jumlahnya dan belum tergarap secara optimal. Berikut adalah peta persebaran potensi sumberdaya batubara.

Gambar 3.8.

Peta Persebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Indonesia

Sumber : Kementerian ESDM

Ketersediaan sumberdaya dan cadangan batubara Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan sumberdaya fosil lainnya walaupun jumlahnya hanya sebesar 3,3% cadangan dunia. Pada tahun 2013, sumberdaya batubara Indonesia sebanyak 120.525 juta ton dengan cadangan sebesar 31.361 juta ton. Jumlah ini tersebar di beberapa provinsi

(42)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

28

di Indonesia. Sumberdaya dan cadangan batubara terbesar berada di wilayah provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dengan total masing-masing provinsi tersebut sebesar 62.405 juta ton dan 61.417 juta ton (Kajian Supply Demand Energi 2014, Kementerian ESDM).

Gambar 3.9.

Peta Persebaran Sumber Daya

dan Cadangan Batubara dan CBM Indonesia

Sumber : Kementerian ESDM

3.7. Kilang Minyak dan Gas Bumi serta Batubara

Kapasitas kilang minyak Indonesia pada 2014 mencapai 1,1157 juta barel per hari. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang dapat diolah di kilang dalam negeri hanya sekitar 649.000 barel per hari. Untuk tahun 2015, kapasitas kilang Indonesia diperkirakan sebesar 1,167 juta barel per hari sedangkan produksi minyak yang bisa diolah Indonesia hanya sebesar

(43)

Ketersediaan Bahan Baku

29 719.000 barel per hari. Kilang minyak milik PT Pertamina terletak di Dumai, Sungai Pakning, Plaju, Cepu, Balikpapan, Kasim, Cilacap dan Balongan. Sementara kilang milik swasta yaitu TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indotama) dan TWU (Tri Wahana Universal). Ada satu kilang swasta dalam proses pembangunan yaitu TWU II dan direncanakan akan dibangun Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) Cilacap.

3.8. Pelaku Utama Industri Petrokimia Dasar (Hulu)

Untuk mendukung industri petrokimia nasional yang kompetitif, Kementerian Perindustrian telah mencanangkan pengembangan klaster industri petrokimia. Pendekatan klaster ini digunakan mengingat industri petrokimia memiliki keterkaitan yang kuat secara horizontal dan vertikal dengan industri hilirnya dan subsektor industri / sektor ekonomi lainnya.

Berdasarkan Roadmap Industri Petrokimia, klaster Industri Petrokimia, terdiri dari:

1. Klaster Industri Petrokimia hulu berbasis olefin di Cilegon, Banten. 2. Klaster Industri Petrokimia hulu berbasis aromatic di Tuban, Jawa

Timur.

3. Klaster Industri Petrokimia hulu berbasis metana di Bontang, Kalimantan Timur.

(44)

(45)

4

PERKEMBANGAN

INDUSTRI KIMIA

(46)

(47)

33 BAB IV

PERKEMBANGAN INDUSTRI KIMIA BANTEN

4.1. Kondisi Industri Kimia di Banten

Industri Petrokimia merupakan penghaasil utama bahan baku bagi sektor industri lainnya yang terdiri dari industri Pupuk, Kimia, Farmasi, dan Barang dari karet/plastik. Pertumbuhan industri petrokimia tahunan rata-rata 2010 – 2014 adalah sebesar 4,5 persen. Jumlah nilai tambah bruto dari produk industri Pupuk, Kimia, Farmasi, dan Barang dari karet/plastik, seperti terlihat pada tabel 1, pada tahun 2010 mencapai 27,15 triliun, tahun 2011 meningkat lagi menjadi 29,30 triliun, pada tahun 2012 dan 2013 meningkat lagi masing-masing menjadi 32,68 triliun dan 33,84 triliun. Pada tahun 2014 mengalami peningkatan menjadi 35,83 triliun dan sampai dengan triwulan 3 tahun 2015 telah mencapai 28,98 triliun.

Tabel 4.1.

PDRB Provinsi Banten pada Industri Pupuk, Kimia, Farmasi, dan Barang dari Karet/Plastik, Tahun 2010-2014

Uraian 2010 2011 2012 2013 2014 Nilai PDRB (triliun rupiah) 27,15 29,30 32,68 33,84 35,83 Pertumbuhan (persen) 6,21 3,36 8,79 3,29 0,86 Kontribusi terhadap PDRB Non Migas (persen) 25,34 25,00 25,88 23,86 24,31

(48)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

34

Dalam pertumbuhannya, industri petrokimia di Banten memang cenderung melambat. Pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan sebesar 6,21 persen sedangkan pada tahun 2014 hanya mampu tumbuh sebesar 0,86 persen. Pertumbuhan yang melambat ini terutama diakibatkan oleh penurunan produksi pada industri hulu yakni industri bahan kimia sebagai penyumbang terbesar pada industri petrokimia. Selain penurunan produksi, ada beberapa permasalahan internal yang biasa dihadapi oleh sektor industri umumnya yaitu belum kokohnya struktur industri yang tercermin dari masih lemahnya keterkaitan antara industri hulu dengan industri hilir, antara industri kecil, menengah dan besar; keterbatasan industri dasar yang menjadi pemasok bahan baku dan bahan penolong industri yang menyebabkan tingginya ketergantungan impor; keterbatasan produksi barang setengah jadi dan komponen; keterbatasan populasi industri berteknologi tinggi; belum optimalnya kapasitas produksi; keterbatasan penguasaan pasar domestik (khususnya akibat penyelundupan); ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi dan beberapa negara tujuan; dan belum kuatnya peranan industri kecil dan menengah. Lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir membuat suatu wilayah belum memiliki struktur industri yang kuat (Bappenas, 2010).

Pertumbuhan industri yang melambat akan mempengaruhi kontribusinya terhadap pembentukan PDRB. Bila dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB sektor industri non migas, industri pupuk, kimia dan barang dari karet/plastik ini cukup memberikan kontribusi yang besar namun cenderung menurun. Pada tahun 2010, lapangan usaha industri ini memberikan kontribusi sebesar 25,34 persen dari total PDRB sektor industri non migas, kemudian pada tahun 2011 menjadi 25,00 persen, tahun 2012 mencapai 25,88 persen, tahun 2013 menjadi 23,86 persen dan tahun 2014 menjadi 24,31 persen.

(49)

Perkembangan Industri Kimia Banten

35 Industri bahan kimia menggunakan kimia dasar organik yang dihasilkan dari pengolahan minyak bumi menggunakan kilang minyak yang nantinya akan diolah lebih lanjut di suatu pabrik dan akan menghasilkan barang jadi atau biasa disebut industri petrokimia hilir. Sarana pengolahan bahan baku petrokimia yang ada selama ini dirasa belum cukup untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Diperlukan adanya investasi yang sangat besar untuk membangun industri ini karena saat ini di Banten masih terkendala minimnya sarana pengilangan, pengolahan, transmisi, penyimpanan dan distribusi bahan petrokimia.

Menurut Samuelson dan Nordhaus, investasi atau penanaman modal adalah pengeluaran yang dilakukan oleh para penanam modal yang menyangkut penggunaan sumber-sumber seperti peralatan, gedung, peralatan produksi dan mesin-mesin baru lainnya atau persediaan yang diharapkan akan memberikan keuntungan dari investasi tersebut. Investasi merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Investasi atau penanaman modal terbagi menjadi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Sukirno (2004) berpendapat bahwa investasi adalah pengeluaran atau pengeluaran penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.

Dilihat dari data investasi, industri petrokimia yang terdiri dari industri kimia dan farmasi, nilai dan jumlah proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) selama 2010 – 2014 terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) selama 2010 – 2014, nilai proyeknya cenderung mengalami penurunan meskipun jumlah proyek PMA terus meningkat tiap tahunnya. Nilai PMDN dan PMA

(50)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

36

Industri Kimia dan Farmasi Provinsi Banten selama periode 2010-2014 dipaparkan oleh Tabel 2 berikut.

Tabel 4.2.

Nilai Investasi Lapangan Usaha Industri Kimia dan Farmasi Provinsi Banten, 2010-2014 Uraian 2010 2011 2012 2013 2014 PMDN (miliar rupiah) 2 830,01 2 577,25 2 490,28 4 008,86 8 081,30 PMA (juta USD) 5 216,90 836,97 3 925,10 3 720,21 2 034,63

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Banten

Data BKPMD memperlihatkan, industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi terus meningkat sejak tahun 2010 hingga triwulan I tahun 2015. Total realisasi investasi industri ini sebesar Rp. 143,3 triliun rupiah termasuk dalam urutan kelima terbesar berdasarkan sektor dari total seluruh realisasi investasi sebesar 1.759,4 triliun rupiah. Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam upaya untuk mengurangi impor dan untuk meningkatkan penggunaan / pemakaian barang-barang yang bisa diproduksi. Selama Triwulan I tahun 2015 terdapat 236 proyek Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi dengan nilai realisasi investasi total 10,1 triliun rupiah atau berkontribusi sebesar 8,1 persen dari total realisasi investasi pada triwulan I tahun 2015 sebesar 124,6 triliun rupiah.

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2015 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang - bidang

(51)

Perkembangan Industri Kimia Banten

37 usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu / tax allowance

diharapkan dapat meningkatkan investasi di sektor ini. Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BKPMPT) Provinsi Banten mendukung penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk membantu mempermudah dan memperlancar serta memberi kepastian akan perizinan yang terkait investasi. PTSP yang sudah diterapkan diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di Banten dalam menarik lebih banyak lagi investor, termasuk investasi bidang industri dasar. Sebagai wilayah yang memiliki service area yang baik, Provinsi Banten sangat potensial bagi kegiatan penanaman modal yang bergerak di sektor industri. Kota Cilegon yang dekat dengan Pelabuhan Merak, merupakan wilayah strategis bagi kegiatan industri. (banten.metronews.com)

4.2. Rantai Industri Petrokimia

Industri petrokimia pada dasarnya berbahan baku dari minyak mentah dan gas bumi. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya minyak bumi dan gas alam seharusnya bisa mengembangkan industri petrokimia agar menjadi lebih maju.

Turunan industri petrokimia yang berasal dari minyak bumi saat ini yang industrinya sudah ada sebagian besar masih berada di sektor hulu antara lain industri olefin, aromatic, ethylene, propylene, butadiene, benzene, toluene, dan xylene. Turunan dari produk ethylene dan propylene

sebagian sudah dapat diproduksi di Indonesia dan sebagian masih belum dikembangkan. Selanjutnya turunan dari produk ethylene dan propylene

(52)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

38

Sementara itu, untuk turunan dari produk butadiene, benzene, toluene, dan xylene sebagian masih dalam pembangunan di Indonesia. Turunan dari produk tersebut pada sektor hilirnya dibutuhkan untuk pembuatan karet sintetis dan serat sintetis, pelarut, bahan pelembut / plasticizer, dan bahan pembersih.

Di Indonesia, termasuk di Provinsi Banten, industri petrokimia turunan gas alam masih sangat terbatas. Di sektor hulu, industri yang sudah ada adalah industri ammonia dan methanol. Turunan ammonia hanya urea beserta produksi lanjutannya, sedangkan turunan methanol adalah industri Formaldehyde, potensi produk turunan lainnya adalah

Acrylonitrile, Caprolactam, Methionine, Nylon 6, Methyl Tertier Butyl Ether (MTBE), Dimethyl Ether (DME), Acetic Acid (Dry Process), Polyvinyl Alcohol (Poval) dan sebagainya.

Namun demikian, selama penyediaan gas sering menjadi sentral penyebab terganggunya aktifitas industri petrokimia (terutama pupuk). Karenanya dalam beberapa tahun terakhir ini muncul gagasan untuk menggunakan gas dari batu bara baik gas hasil gasifikasi batubara maupun gas dari coal bed methane sebagai bahan baku industri kimia di masa-masa mendatang.

Perusahaan di industri petrokimia hulu di Banten adalah PT. Chandra Asri Petrochemical. PT Chandra Asri Petrochemical merupakan pelaku tunggal produksi industri petrokimia hulu dengan basis olefin di Banten dan Indonesia. PT. Chandra Asri Petrochemical (CAP) di Ciwandan, Kota Cilegon dengan luas lahan sekitar 136 hektar. Berdasarkan izin yang dikeluarkan BKPM, CAP memiliki 3 proyek yang telah berproduksi komersial pada tahun 1993 di Kabupaten Serang dengan nilai realisasi investasi sebesar 417 juta rupiah dan pada tahun 1996 sebesar 204 juta

(53)

Perkembangan Industri Kimia Banten

39 rupiah, serta di Kota Cilegon yang telah berproduksi komersial pada tahun 2010 dengan nilai realisasi investasi sebesar 1,07 triliun rupiah.

Hingga Triwulan I tahun 2015, proyek konstruksi CAP di kota Cilegon atas Izin Prinsip Penanaman Modal yang dikeluarkan pada tahun 2013 sudah mencapai 49 persen yaitu 1,8 triliun rupiah dari rencana awal investasi yaitu sebesar 3,7 triliun rupiah. Guna memastikan produksi yang berkesinambungan, CAP berencana membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 1.000 MW yang lebih besar dari kebutuhan yang dipakainya, sehingga diharapkan dapat memasok kelebihan listrik tersebut ke PLN.

Kapasitas dan volume produksi industri petrokimia di Provinsi Banten pada periode tahun 2013-2014 dipaparkan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 4.3.

Volume Produksi PT. Chandra Asri Petrochemical di Provinsi Banten, 2013-2014 (Ton)

Produk Kapasitas Produksi Volume Produksi 2013 2014 Ethylene 600 000 596 000 561 000 Propylene 320 000 325 000 296 000 Py-Gas 280 000 212 000 181 000 Mixed C4 220 000 216 000 185 000 Polyethylene 336 000 317 000 311 000 Polypropylene 480 000 458 000 477 000 Styrene Monomer 340 000 322 000 250 000 Butadiene 100 000 58 000 179 000

Sumber : Laporan Tahunan PT. Chandra Asri Petrochemical

(54)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten 40

Ga

m

ba

r 4.

1

.

P

o

h

o

n Indu

stri

P

et

ro

k

im

ia

(55)

5

INDUSTRI KIMIA

HULU HILIR

(56)

(57)

43 BAB V

INDUSTRI KIMIA HULU HILIR

5.1. Kelompok Industri Kimia

Seperti dijelaskan sebelumnya, industri petrokimia terbagi dalam 3 (tiga) kelompok industri, yaitu industri kimia hulu, antara dan hilir. Berdasarkan banyaknya perusahaan / industri, industri petrokimia hilir mendominasi jumlah industri petrokimia yang terdapat di Provinsi Banten, yaitu sebanyak 248 perusahaan, diikuti oleh industri antara sebanyak 91 perusahaan dan industri hulu sebanyak 68 perusahaan. Gambar 4.1 mendeskripsikan jumlah industri petrokimia menurut kelompok industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

Gambar 5.1.

Jumlah Industri Kimia Menurut Kelompok Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

(58)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

44

Berdasarkan besarnya output yang dihasilkan, industri petrokimia hulu memberikan kontribusi paling besar di Provinsi Banten pada tahun 2013, yaitu sebesar 86,09 triliun rupiah atau 65,24 persen dari total output industri petrokimia, diikuti oleh industri hilir sebesar 23,90 triliun rupiah dan industri antara sebesar 21,96 triliun rupiah. Gambar 4.2 menyajikan besarnya output industri petrokimia menurut kelompok industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

Gambar 5.2.

Persentase Output Industri Kimia Menurut Kelompok Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Menurut besarnya jumlah tenaga kerja output yang diserap, industri petrokimia hilir paling besar menyerap tenaga kerja di Provinsi Banten pada tahun 2013, yaitu sebesar 51.419 tenaga kerja atau 60,58 persen dari total jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri

65,24% 16,64% 18,11% Industri Hulu Industri Antara Industri Hilir

(59)

Industri Kimia Hulu Hilir

45 petrokimia, diikuti oleh industri antara sebanyak 20.308 tenaga kerja dan industri hulu sebanyak 13.145 tenaga kerja. Gambar 4.3 menyajikan banyaknya tenaga kerja yang diserap industri petrokimia menurut kelompok industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

Gambar 5.3.

Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri Kimia Menurut Kelompok Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

5.2. Sebaran Industri Kimia Menurut Wilayah

Jika dirinci menurut lokasi industri, industri petrokimia hulu paling banyak terdapat di Kota Cilegon sebanyak 22 perusahaan atau 32,35 persen dari total jumlah industri petrokimia hulu di Banten, diikuti oleh Kabupaten Serang sebanyak 17 perusahaan, Kabupaten Tangerang sebanyak 16 perusahaan dan sisanya terdapat di Kota Tangerang dan Kabupaten Lebak, masing-masing sebanyak 16 dan 2 perusahaan. Gambar

15,49% 23,93% 60,58% Industri Hulu Industri Antara Industri Hilir

(60)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

46

4.4 mendeskripsikan sebaran industri industri petrokimia hulu menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

Gambar 5.4.

Jumlah Industri Kimia Hulu Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Sementara itu industri petrokimia antara paling banyak terdapat di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, masing-masing sebanyak 38 dan 37 perusahaan atau 41,76 persen dan 40,66 persen dari total jumlah industri petrokimia antara di Banten, diikuti oleh Kabupaten Serang sebanyak 13 perusahaan, dan sisanya sebanyak 3 perusahaan terdapat di Kota Tangerang Selatan dan Kota Cilegon. Gambar 4.5 mendeskripsikan sebaran industri industri petrokimia hulu menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(61)

Industri Kimia Hulu Hilir

47 Gambar 5.5.

Jumlah Industri Kimia Antara Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Hampir serupa dengan industri petrokimia antara, industri petrokimia hilir paling banyak terdapat di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, masing-masing sebanyak 108 dan 107 perusahaan atau keduanya hampir 86 persen dari total jumlah industri petrokimia hilir di Banten, diikuti oleh Kabupaten Serang sebanyak 20 perusahaan, dan sisanya sebanyak 12 perusahaan terdapat di Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Pandeglang. Gambar 4.6 mendeskripsikan sebaran industri industri petrokimia hilir menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(62)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

48

Gambar 5.6.

Jumlah Industri Kimia Hilir

Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

5.3. Output Industri Petrokimia Menurut Lokasi Industri

Untuk output industri petrokimia hulu, jika dirinci menurut lokasi industri, output paling besar berasal dari Kota Cilegon sebesar 61,15 triliun rupiah atau 71,03 persen dari total output industri petrokimia hulu di Banten, diikuti oleh Kabupaten Serang sebesar 11,17 triliun rupiah, Kabupaten Tangerang sebesar 8,43 triliun rupiah, Kota Tangerang sebesar 5,27 triliun rupiah dan sisanya sebesar 63,64 miliar rupiah berasal dari di Kabupaten Lebak. Gambar 4.7 mendeskripsikan output industri industri petrokimia hulu menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(63)

Industri Kimia Hulu Hilir

49 Gambar 5.7.

Output Industri Kimia Hulu Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Sementara itu output industri petrokimia antara paling besar berasal dari Kota Tangerang sebesar 15,69 triliun rupiah atau 71,44 persen dari total output industri petrokimia antara di Banten, diikuti oleh Kabupaten Tangerang sebesar 2,71 triliun rupiah, Kabupaten Serang sebesar 2,63 triliun rupiah, dan sisanya sebesar 0,92 triliun rupiah berasal dari Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Gambar 4.8 mendeskripsikan output industri industri petrokimia hulu menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(64)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

50

Gambar 5.8.

Output Industri Kimia Antara Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Output industri petrokimia hilir paling besar berasal dari Kota Tangerang sebesar 11,14 triliun rupiah atau 46,63 persen dari total output industri petrokimia hilir di Banten, diikuti oleh Kabupaten Tangerang sebesar 10,84 triliun rupiah (45,36 persen), Kabupaten Serang sebesar 1,53 triliun rupiah, dan sisanya sebesar 0,39 triliun rupiah berasal dari Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Pandeglang. Gambar 4.8 mendeskripsikan output industri industri petrokimia hulu menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(65)

Industri Kimia Hulu Hilir

51 Gambar 5.9.

Output Industri Kimia Hilir Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

5.4. Serapan Tenaga Kerja Industri Kimia Menurut Wilayah

Untuk penyerapan tenaga kerja pada industri hulu, jika dirinci menurut lokasi industri, Kota Cilegon merupakan lokasi industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu 5.394 tenaga kerja atau 41,03 persen dari total jumlah tenaga kerja yang diserap industri petrokimia hulu di Banten, diikuti oleh Kabupaten Serang sebanyak 3.060 tenaga kerja, Kota Tangerang sebanyak 2.319 tenaga kerja, Kabupaten Tangerang sebanyak 2.263 tenaga kerja, dan sisanya terdapat di Kabupaten Lebak sebanyak 109 tenaga kerja. Gambar 4.10 mendeskripsikan sebaran tenaga kerja yang diserap oleh industri petrokimia hulu menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(66)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

52

Gambar 5.10.

Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri Kimia Hulu Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Sementara itu pada industri petrokimia antara, Kota Tangerang merupakan lokasi industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 14.986 tenaga kerja atau 73,79 persen dari total jumlah tenaga kerja yang diserap industri petrokimia antara di Banten, diikuti oleh Kabupaten Tangerang sebanyak 4.315 tenaga kerja, Kabupaten Serang sebanyak 796 tenaga kerja,dan sisanya sebanyak 1.007 tenaga kerja terdapat di Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Gambar 4.11 mendeskripsikan sebaran tenaga kerja yang diserap oleh industri petrokimia antara menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(67)

Industri Kimia Hulu Hilir

53 Gambar 5.11.

Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri Kimia Antara Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

Pada industri petrokimia hilir, Kota Tangerang merupakan lokasi industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 27.149 tenaga kerja atau 52,80 persen dari total jumlah tenaga kerja yang diserap industri petrokimia hilir di Banten, diikuti oleh Kabupaten Tangerang sebanyak 18.958 tenaga kerja, Kabupaten Serang sebanyak 4.081 tenaga kerja, Kota Cilegon sebanyak 573 tenaga kerja, Kabupaten Lebak sebanyak 460 tenaga kerja , dan sisanya sebanyak 198 tenaga kerja terdapat di Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Pandeglang. Gambar 4.12 mendeskripsikan sebaran tenaga kerja yang diserap oleh industri petrokimia hilir menurut lokasi industri di Provinsi Banten pada tahun 2013.

(68)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

54

Gambar 5.12.

Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Industri Kimia Hilir Menurut Lokasi Industri di Provinsi Banten, 2013 (persen)

Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang (IBS)

5.5. Penawaran dan Permintaan Industri Kimia Hulu

Selama 2007-2012 produksi ethylene sangat ftuktuatif dengan trend cenderung menurun minus 1,66 persen rata-rata per tahun. Pada tahun 2007 produksi ethylene tercatat mencapai 574.570 ton, kemudian di tahun berikutnya menurun menjadi 551.580 ton, lalu susut lagi menjadi 512.780 ton di tahun 2009. Pada tahun 2010, produksi ethylene melonjak menjadi 580.400 ton, lalu di tahun 2011 merosot kembali menjadi 500.325 ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 517.100 ton. Sementara itu, dalam 2 tahun terakhir ini produksi propylene cenderung menyusut, sehingga secara keseluruhan selama 2007-2012 pertumbuhannya terkesan negatif Pada tahun 2007 produksi propylene diketahui mencapai 474.325 ton, kemudian di tahun berikutnya turun menjadi 440.627 ton, lalu meningkat

(69)

Industri Kimia Hulu Hilir

55 menjadi 489.925 ton di tahun 2009. Pada tahun 2010, produksi propylene

naik menjadi 528.560 ton, tetapi di tahun 2011 susut menjadi 429.250 ton, tetapi pada tahun 2012 hanya 380.400 ton. Permintaan olefin di dalam negeri cenderung terus meningkat, sementara kapasitas industrinya relatif terbatas, maka untuk memenuhi permintaan tersebut terpaksa dilakukan impor. Selama 2007-2012 impor ethylene mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 25,82 persen rata-rata per tahun, kemudian propylene mengalami pertumbuhan 13,22 persen rata-rata per tahun, sedangkan butadiene dalam periode yang sama impornya cenderung menurun dengan penyusutan minus 1,67 persen rata-rata per tahun.

Sementara itu, kegiatan ekspor olefin Indonesia baru dimulai di tahun 2009, volume ekspor propylene sebanyak 70.532 ton dengan nilai sekitar US$ 4.923 ribu. Di tahun berikutnya, selain propylene Indonesia juga mengekspor ethylene dengan jumlah sekitar 15.856 ton senilai US$ 20.250 ribu.

Supply olefin untuk pasar di dalam negeri ditentukan berdasarkan jumlah produksi ditambah impor kemudian dikurangi dengan volume ekspornya. Dengan asumsi ini maka pada tahun 2007 supply ethylene di Indonesia tercatat mencapai 835.527 ton kemudian di tahun berikutnya naik menjadi 993.349 ton lalu pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 1.176.494 ton, dan pada tahun 2012 mencapai 1.220.278 ton. Dengan demikian selama periode 2007-2012, pertumbuhan supply ethylene

mencapai 8,22 persen rata-rata per tahun.

Dari Tabel Input Output Provinsi Banten Tahun 2010 dapat diketahui bahwa dari total supply industri kimia, sekitar 33,23 persen outputnya berasal dari impor dan sisanya sebesar 66,77 persen digunakan sebagai input antara oleh industri lainnya. Sedangkan untuk industri

(70)

Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

56

farmasi,produk obat kimia dan obat tradisional, output yang digunakan sebesar 67,21 persen berasal dari impor dan hanya sekitar 32,79 persen dari supply yang tersedia digunakan sebagai input antara oleh industri lain. Sedangkan untuk industri karet dan barang dari karet serta industri plastik dan barang dari plastik yang merupakan kelompok industri hilir di Banten, masing-masing sekitar 5,59 persen dan 6,08 persen berasal dari impor. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri kimia hulu di Banten sangat tergantung dengan impor sedangkan industri kimia hilirnya mengandalkan output yang berasal dari domestik atau dalam negeri.

Tabel 5.1.

Penawaran Industri Petrokimia (Industri Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet/Plastik) di Provinsi Banten(juta rupiah)

No. Sektor Penawaran Impor Konsumsi Akhir Jumlah 1 Industri Kimia 24 639,16 49 500,12 74 139,29 2 Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional

1 736,71 847,46 2 584,17

3 Industri Karet,

Barang dari Karet 742,72 12 552,37 13 295,09

4 Industri Barang dari

Plastik 364,05 5 619,51 5 983,56

Jumlah 27 482,65 68 519,46 96 002,10 Sumber : Tabel I-O Banten 2010

(71)

Industri Kimia Hulu Hilir

57 Dalam periode yang sama trend supply propylene mengalami pertumbuhan yang cenderung menurun sebesar 0,16 persen per tahun. Jika pada tahun 2007 supply propylene mencapai 648.168 ton, maka di tahun berikutnya mengalami kenaikan menjadi 691.103 ton, kemudian pada tahun 2009 turun menjadi 688.564 ton. Pada tahun 2010, supply propylene

kembali mengalami penurunan, yakni menjadi 669.070 ton, lalu turun lagi menjadi 652.038 ton di tahun 2011 tetapi pada tahun 2012 meningkat menjadi 637.368 ton.

Fluktuasi selama 2007-2012 menyebabkan angka pertumbuhan

supply butadiene cenderung menurun (1,24 persen) rata-rata per tahun. Pada tahun 2007 supply butadiene tecatat mencapai 49.802 ton, kemudian di tahun berikutnya berikutnya susut menjadi 41.799 ton, lalu turun lagi menjadi 35.220 ton dan pada tahun 2012 mencapai 42.768 ton.

Di Indonesia, ethylene dikonsumsi oleh industri ethylene glycol, industri ethyl benzene, ethylene dichloride serta industri polyethylene dan dalam jumlah relatif kecil dikonsumsi oleh sektor industri lain. Industri pengguna ethylene yang terbesar selama ini adalah industri polyethylene, disusul oleh industri ethylene dichloride, kemudian industri ethylene glycol dan yang paling sedikit adalah industri ethyl benzene.

Propylene di Indonesia saat ini dikonsumsi antara lain oleh industri

acrylic acid, industri oxo alcohol dan industri polyproylene. Di Indonesia,

propylene sebagian besar digunakan di sektor industri polypropylene. Kemudian industri oxo alcohol (2-Ethyl Hexanol) dan paling sedikit digunakan di sektor industri acrylic acid.

Di lndonesia butadiene dikonsumsi secara tetap oleh industri styrene butadiene rubber (SBR), industri styrene butadiene latex (SBL) dan industri acrylonitrile butadiene styrene (ABS). Selama kurun waktu 2007

(72)

-Analisis Keterkaitan Industri Kimia Hulu Hilir di Provinsi Banten

58

2008. Konsumsi butadiene oleh industri ABS terus meningkat, sedangkan konsumsi oleh industri SBR dan SBI. Sangat fluktuatif dengan trend-nya cenderung menyusut.

Berdasarkan Tabel Input Output Provinsi Banten Tahun 2010 terlihat bahwa produk industri petrokimia cenderung berorientasi ekspor. Dari total permintaan 54 triliun rupiah, sekitar 99,92 persen merupakan produk ekspor. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 35,73 miliar rupiah digunakan untuk konsumsi antara, atau digunakan sebagai input oleh industri lain dan sekitar 6,39 miliar rupiah digunakan untuk konsumsi akhir.

Tabel 5.2.

Permintaan Industri Petrokimia (Industri Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet) di Provinsi Banten(juta rupiah)

No. Sektor

Permintaan

Antara Konsumsi

Akhir Ekspor Jumlah

1 Industri Kimia 27 306,42 2 889,49 43 801 958,93 43 832 154,84

2

Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional

1 087,94 1 486,44 8 061,22 10 635,60

3 Industri Karet,

Barang dari Karet 5 783,92 839,62 6 670 527,02 6 677 150,55

4 Industri Barang dari

Plastik 1 553,33 1 176,32 3 499 807,84 3 502 537,49

Jumlah 35 731,61 6 391,87 53 980 355,00 54 022 478,47

Gambar

Gambar 4.1. Pohon Industri Petrokimia

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

lebih aktif dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat sebagaimana Motto Polisi, di harapkan pihak Kepolisian dapat bertindak secara bijak dan jernih

Setelah selesai diinkubasi lebih kurang selama 1 jam, kemudian dilakukan titrasi larutan borat pada bagian dalam (inner chamber) cawan Conway blanko dengan larutan HCl

Penelitian ini meneliti bagaimana gambaran aspek-aspek ekuitas merek pada Indomie terbentuk dalam masyarakat sementara masyarakat sendiri tahu bahwa mie instan jika

Diharapkan pihak perusahaan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas terhadap Komitmen Afektif, karena Komitmen Afektif mempunyai pengaruh yang dominan dalam

Analisis filogenetik menggunakan metode ML, NJ, dan ME, menunjukkan bahwa dalam clade Haliaeetus leucogaster, terdapat cabang-cabang lebih kecil dengan sampel RR01, RR02 berada

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi dan menegtahui penyebab miskonsepsi siswa kelas IX SMP Negeri 1 Klego pada pembelajaran matematika materi

[r]