• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKOLOGI TERNATE EDITOR. Ibnu Maryanto Hari Sutrisno

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKOLOGI TERNATE EDITOR. Ibnu Maryanto Hari Sutrisno"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

EKOLOGI TERNATE

EDITOR

Ibnu Maryanto

Hari Sutrisno

PUSAT PENELITIAN BIOLOGI-LIPI

2011

(3)

© 2011 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi*

Katalog dalam Terbitan

Ekologi Ternate/Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (Editor). – Jakarta: LIPI Press, 2011.

xiii + 371 hlm.; 14,8 x 21 cm

ISBN 978-979-799-609-3

1. Ekologi 2. Ternate

577

Editor Bahasa : Risma Wahyu Hartiningsih Penata Letak : Ibnu Maryanto

Penata Sampul : Fahmi Penerbit : LIPI Press

*Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Gedung Widyasatwaloka, Cibinong Science Center Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169111

Telp.: 021-8765056, 8765057

(4)

DAFTAR ISI

Ucapan Terimakasih iii

Kata Sambutan v

Kata Pengantar vii

DAFTAR ISI xi

GEOLOGI DAN IKLIM

Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara: Dinamika Erupsi dan Potensi

Ancaman Bahayanya 1

Indyo Pratomo, Cecep Sulaeman, Estu Kriswati & Yasa Suparman Karakteristik Erupsi G Kie Besi dan Potensi Ancaman Bencananya Terhadap Lingkungan Kota Ternate: (Representasi dari karakter

gunungapi aktif di Busur Gunungapi Halmahera) 15 Estu Kriswati & Indyo Pratomo

Analisa Anomali Curah Hujan dan Parameter Laut-Atmosfer Periode

Januari - Agustus 2010 di Provinsi Maluku Utara 27 Dodo Gunawan

FAUNA

Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera) dan Mamalia Kecil

di Pulau Ternate 43

Sigit Wiantoro & Anang S Achmadi

Keanekaragaman Mamalia Kecil di Pulau Moti 55 Anang Setiawan Achmadi & Sigit Wiantoro

Kajian Ekologi Burung di Hutan Gunung Gamalama, Ternate, Maluku

Utara 69 Wahyu Widodo

Komunitas Burung Pulau Moti Ternate Maluku Utara 83 Eko Sulistyadi

Keanekaragaman Herpetofauna di Pulau Ternate dan Moti, Maluku Utara 105 Mumpuni

(5)

Komunitas Keong Darat di Pulau Moti, Maluku Utara 121 Heryanto

Kajian keanekaragaman Ngengat (Insekta: Lepidoptera) di Gunung

Gamalama, Ternate 133

Hari Sutrisno

Tinjauan Keanekaragaman dan Sebaran Kupu Ternate 145 Djunijanti Peggie

Efektifitas Trap Warna Terhadap Keberadaan Serangga Pada Pertanaman

Budidaya Cabai di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan P Ternate Ternate 159 Abdu Mas’ud

Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau

Moti, Ternate, Maluku Utara 167

Warsito Tantowijoyo & Giyanto FLORA

Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara 187 Hetty IP Utaminingrum & Roemantyo

Hutan mangrove di Pulau Moti 199

Suhardjono & Ujang Hapid

Keanekaragaman Anggrek di G Gamalama, Ternate 219 Izu Andry Fijridiyanto & Sri Hartini

Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara 227 Edi Mirmanto

Keanekaragaman Jenis Pohon di Hutan Sekunder Pulau Moti,

Ternate-Maluku Utara 237

Razali Yusuf

Keanekaragaman Tumbuhan Berkhasiat Obat di Pulau Moti, Ternate,

Maluku Utara 251

Siti Sunarti

Eksplorasi Tumbuhan di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara 267 Deden Girmansyah & Siti Sunarti

(6)

MIKROBIOLOGI

Drug Discovery Antibiotik Berbasis Biodiversitas Aktinomisetes Lokal

Asal Ternate 283

Arif Nurkanto

Isolasi dan Identifikasi Kapang-Kapang Kontaminan Dari Biji Kenari

Kering (Canarium ovatum) 295

Nurhasanah &Sundari

Mikroba Laut Penghidrolisis Senyawa Nitril di Sekitar Pulau Moti,

Ternate 301

Nunik Sulistinah & Rini Riffiani

Isolasi dan Penapisan Bakteri Pendegradasi Dibenzothiophene,

Phenanthrene dan Fluoranthene Asal Perairan Laut Sekitar Pulau

Moti-Ternate 309 Rini Riffiani & Nunik Sulistinah

Penapisan dan Isolasi Bacillus Penghasil Amilase Dari Limbah Sagu

(Metroxylon sagu Rottb) 317

Deasy Liestianty1, Nurhasanah2 SOSIAL BUDAYA

Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis 329 Dhurorudin Mashad

Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” Pada Kebudayaan

Ternate, Maluku Utara 343

Safrudin Amin  

(7)

Ekologi Ternate 43-54 (2011)

Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera) dan Mamalia Kecil

di Pulau Ternate

Sigit Wiantoro & Anang S. Achmadi

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911. E-mail : sigit.wiantoro@lipi.go.id

ABSTRACT

A study on small mammals in Ternate Island has been conducted from July 28th to August 9th

2009. A total of ten species of bats comprising nine species of fruit bats and one species of insect bat were recorded. Nyctimene albiventer and Macroglossus minimus were the most abundance species, while Pteropus hypomelanus was the lowest abundance species with only one individual was recorded. The correlation regression analysis showed that the abundance and diversity of bats were not effected by air temperature and wind speed. Five species of rats were also recorded in this study comprising three common species: Rattus

rattus, R. norvegicus, R. exulans; one endemic species: R. morotaiensis and one unidentified

species: Rattus sp. Moreover, two species of insectivore (Crocidura monticola and Suncus

murinus) and one protected small mammal (Phalanger orientalis) were also recorded.

Key words: Diversity, small mammals, Ternate PENDAHULUAN

Indonesia terdiri dari banyak pulau dan di kawasan Asia Tenggara dan Pasi-fik memiliki posisi strategis sebagai penghubung antara dua wilayah biogeo-grafi yang sangat berbeda, yaitu kawasan Asia dan Australia (Whitmore 1987). Sehingga keberadaan fauna yang terdistribusi di kawasan ini, sangat dipengaruhi oleh komposisi fauna dari kedua kawasan tersebut (Turner et al. 2001). Berdasarkan komposisi fauna yang ada, Wallace (1869) membagi kawasan ini menjadi lima kelompok yang terdiri dari beberapa pulau, yaitu kelom-pok Indo-Malaya, kelomkelom-pok Timor, kelompok Celebes, kelompok Papua dan kelompok Maluku.

Berdasarkan sejarah geologi, kepu-lauan Maluku merupakan kawasan yang sangat unik yang berkaitan erat dengan kawasan New Guinea dan Australia (George 1981) sehingga menjadikan kawasan ini salah satu pusat kajian untuk mengungkap keberadaan fauna yang berkaitan dengan adanya pengaruh dari komposisi fauna dari kawasan Asia (Sulawesi) dan New Guinea (Flannery 1995). P.Ternate terma-suk di dalam kawasan kepulauan Maluku, dengan luas kawasan kurang lebih 76 km2.Pulau ini

merupakan pulau vulkanik yang sebagian besar kawasannya didominasi oleh vulkanik Gunung Gamalama dengan ketinggian mencapai 1715 m dpl. Ternate memiliki sejarah geologi yang kompleks, yang sangat berpengaruh terhadap

(8)

Wiantoro & Achmadi

komposisi fauna yang ada, tetapi sampai saat ini belum terungkap secara maksimal (Flannery 1995).

Penelitian tentang fauna termasuk mamalia di Pulau Ternate dan sekitarnya pertama kali dilakukan oleh A.R. Wallace pada tahun 1858 (Wallace 1869). Dari penelitian ini, Wallace berhasil menemukan beberapa jenis baru untuk burung, beberapa jenis mamalia besar dan kurang lebih 25 jenis kelelawar yang terdistribusi di kawasan Pulau Ternate dan sekitarnya. Pada tahun 1991, Flannery telah melakukan penelitian tentang mamalia di kawasan Ternate. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui terdapat satu jenis Diprodontia dan 11 jenis kelelawar (Flannery 1995). Sedangkan menurut Wilson & Reeder (2005), Ternate merupakan “type locality” (tempat dimana pertama kali dijumpai dan dideskripsi suatu jenis baru) dari 2 jenis kelelawar, yaitu Pteropus hypomelanus yang dideskripsi oleh Temminck pada tahun 1853 dan Myotis ater yang dideskripsi oleh Peter pada tahun 1866. Hal ini membuktikan bahwa kawasan Ternate mempunyai informasi ilmiah yang sangat tinggi.

Kelelawar merupakan anggota dari kelas mamalia yang mampu terbang secara sempurna (Hill & Smith 1984). Kelelawar memiliki peran ekologis yang sangat penting, diantaranya adalah membantu penyebaran biji dan penyerbu-kan bunga pada berbagai jenis tumbuhan, sehingga berfungsi sebagai “peran kunci” dalam sebuah komunitas hutan (Nowak 1995). Keberadaannya di alam sangat menguntungkan, termasuk bagi kawasan Ternate yang sebagian besar

kawasan-nya merupakan perkebunan pala, cengkeh dan tanaman buah seperti durian dan manggis yang merupakan salah satu penyokong ekonomi bagi masyarakat di kawasan tersebut.

Kondisi kawasan Ternate yang tidak terlalu luas seiring dengan pertumbuhan penduduk, tentunya akan berpengaruh terhadap populasi fauna yang ada, termasuk kelelawar. Pengalihan lahan sebagai tempat pemukiman dan pembu-kaan hutan sebagai lahan perkebunan merupakan faktor yang sangat berpenga-ruh terhadap kerusakan habitat dan kelangsungan hidup fauna. Kelelawar merupakan salah satu indikator lingku-ngan untuk mengetahui adanya gangguan atau kerusakan terhadap habitat yang ada. Kelelawar merupakan jenis kunci, apabila jenis ini hilang, maka akan berpengaruh terhadap jenis yang lain, baik hewan maupun tumbuhan (Primark 1998). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi keanekaragaman jenis kelelawar di kawasan P. Ternate

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan pada tanggal 28 Juli sampai dengan 9 Agustus 2009 di kawasan G. Gamalama dan sekitarnya. Penelitian ini meliputi 4 lokasi pengam-bilan data, yaitu: Lokasi 1 merupakan kawasan di sekitar laguna (danau) N 00046’238" E 127020’684", ketinggian

lokasi 100-200 m dpl dengan habitat berupa hutan sekunder, tanaman pala, durian dan cengkeh. Lokasi 2 berada lebih atas dari lokasi 1 dengan ketinggian mencapai 300-400 m dpl, berada pada

(9)

Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera)

koordinat N 00047’145" E 127021"461"

sampai dengan N 00047’ 120" E

127021’285", lokasi ini didominasi oleh

tanaman pala, cengkeh dan tanaman buah pisang. Lokasi 3 berada pada posisi N 00047’365" E 127021’328" sampai

dengan N 00047’272" E 127021’259"

dengan ketinggian 400-500 m dpl, kondisi habitat di lokasi ini sama dengan habitat di lokasi 2. Lokasi 4 berada di jalur pendakian gunung Gamalama pada posisi N 00047’624" E 127020’855" sampai

dengan N 00047’784" E 127020’718"

dengan ketinggian mencapai 800-1000 m dpl. Lokasi ini didominasi oleh tanaman pala, bambu dan pada bagian atas merupakan kawasan transisi dengan hutan pegunungan.

Penelitian dilakukan dengan meng-gunakan 2 metode perangkap (trapping) yaitu mist-net trap dan harp trap. Seba-nyak 10 mist-net dari bahan polyester 75d/2 ply; tinggi 2.7 m; panjang bervariasi antara 9 sampai dengan 16 m dan 2 buah harp-trap dipasang di setiap lokasi penelitian mulai pukul 18.00 sampai dengan 07.00. Sementara itu untuk tikus dan mamalia yang lain menggunakan perangkap Kasmin (kasmin trap) atau perangkap hidup dan jepitan untuk perangkap mati (dead trap). Umpan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelapa bakar, campuran petis dan selai kacang, pisang dan ikan asin. Perangkap sebanyak 100 dipasang mengikuti jalur setapak yang ada di lokasi dengan jarak pasang 5-10 m. Penge-cekan dilakukan 2 kali yaitu pagi hari pukul 07.00 WITA dan malam hari pukul 11.00 WITA. Kelelawar dan tikus atau mamalia lain yang tertangkap

diidenti-fikasi berdasarkan karakter morfologi dan ukuran tubuh mengacu pada buku Corbet & Hill (1992) dan Flannery (1995), dan kemudian dilakukan preservasi untuk selanjutnya disimpan di Museum Zoolo-gicum Bogoriense sebagai spesimen koleksi.

Parameter lingkungan diukur di setiap lokasi penelitian, antara lain suhu udara dan kecepatan angin dengan menggunakan alat pengukur JDC’s SKYWATCH Xplorer 4.

HASIL

Kelimpahan dan Keragaman Kelela-war

Dari penelitian yang telah dilakukan tercatat sebanyak 157 individu kelelawar yang terdiri dari satu jenis kelelawar Microchiroptera dan 9 jenis kelelawar Megachiroptera (lampiran 1). Di setiap lokasi penelitian hasil tangkapan selalu didominasi oleh kelelawar pemakan buah, dan sangat jarang dijumpai kelelawar pemakan serangga.

Kelelawar Nyctimene albiventer memiliki kelimpahan jenis paling tinggi sebanyak 3.15 ind/net.malam, diikuti oleh Macroglossus minimus dengan kelim-pahan jenis mencapai 2.91 ind/net. malam. Sedangkan kelelawar Pteropus hypomelanus memiliki kelimpahan jenis terendah, jenis ini hanya tertangkap 1 individu selama penelitian ini berlangsung (Tabel 1).

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketa-hui bahwa lokasi 1 yaitu kawasan sekitar laguna, pada ketinggian 100-200 m dpl memiliki kelimpahan jenis kelelawar paling tinggi dengan kelimpahan jenis

(10)

Wiantoro & Achmadi

kelelawar mencapai 3.30 ind/net.malam, sedangkan lokasi 4 yang dengan ketinggian 800-1000 m dpl memiliki kelimpahan jenis kelelawar terendah, yaitu 1.50 ind/net.malam.

Dari hasil pengukuran dua parameter lingkungan, yaitu suhu udara dan kecepatan angin, diketahui bahwa suhu udara yang terukur berkisar antara 69.80 oF sampai dengan 83.79 oF.

Kecepatan angin tertinggi mencapai 13.10 km/jam terukur di lokasi 4, yang berada di ketinggian 1000 m dpl, sedangkan kecepatan angin terendah 2.63 km/jam terukur di lokasi 1, dengan ketinggian 100 sampai dengan 200 m dpl. Berdasarkan data kecepatan angin, terdapat kecenderungan semakin tinggi lokasi penelitian maka kecepatan angin juga semakin tinggi.

Berdasarkan analisis korelasi regresi, suhu udara dan kecepatan angin yang terukur di setiap lokasi tidak berpengaruh terhadap kelimpahan jenis

R er ata s u hu uda ra ( o F) R er ata ke cep at an ang in (k m/jam)

Kelimpahan jenis kelelawar (ind/net.malam)

E . ni g re sc ens D . m o luccens is D . v iri d is E . s p elaea M . minimus N . alb iventer N ycti m e n e sp. P . h ypome la nus P . p er sonat u s R . am p le xic a u da tu s To ta l Lokasi 1 77.43 2.63 0.00 0.10 1.00 0.30 0.70 0.40 0.00 0.10 0.70 0.00 3.30 Lokasi 2 82.76 3.50 0.03 0.03 0.10 0.00 0.96 0.90 0.03 0.00 0.13 0.03 2.23 Lokasi 3 82.30 6.70 0.05 0.05 0.10 0.00 0.55 1.20 0.00 0.00 0.05 0.10 2.10 Lokasi 4 70.50 13.10 0.00 0.05 0.05 0.00 0.70 0.65 0.00 0.00 0.05 0.00 1.50 Total 0.08 0.23 1.25 0.30 2.91 3.15 0.03 0.10 0.93 0.13  

Keterangan: ind/net.malam = jumlah individu per net per malam; F = Fahrenheit; Km/jam = Kilometer

per jam

Tabel 1. Kelimpahan jenis kelelawar yang tertangkap di setiap lokasi penelitian.

kelelawar (Gambar 1 dan 2). Berda-sarkan Gambar 1, terlihat adanya hubungan yang searah antara suhu udara dengan kelimpahan jenis kelelawar, akan tetapi dari nilai signifikansi > 0.05 (sig T= 0.667). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari suhu udara terhadap kelimpahan jenis kelelawar. Sedangkan dari gambar 2 nampak adanya hubungan yang berlawanan arah antara kecepatan angin dan kelimpahan jenis kelelawar dengan nilai signifikansi > 0.05 (sig T = 0.158) sehingga terbukti bahwa tidak ada pengaruh kecepatan angin terhadap kelimpahan jenis kelelawar.

Keragaman Mamalia Lain

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini untuk keragaman mamalia lain ialah 5 jenis tikus yang terdiri atas 3 jenis tikus yang sering dijumpai karena distribusi-nya yang luas (Rattus rattus, R. norvegicus, R. exulans), 1 jenis tikus yang endemik di Kepulauan Maluku dan

(11)
(12)

Wiantoro & Achmadi

Emballonura nigrescens. Ketersediaan sumber pakan dan habitat bertengger merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya kelimpahan jenis kelelawar pemakan seranggga. Berdasarkan penelitan serangga malam yang dilakukan di kawasan gunung Gamalama dan sekitarnya, diketahui bahwa keragaman dan populasinya juga termasuk rendah (Sutrisno & Darmawan 2010). Peru-bahan kondisi habitat dari hutan menjadi perkebunan dengan kondisi tanaman yang hampir seragam akan berpengaruh terhadap ketersediaan tempat bertengger (roosting) bagi kelelawar, karena beberapa jenis kelelawar pemakan serangga membutuhkan tempat ber-tengger yang spesifik (Kunz & Pierson 1995).

Ketersediaan sumber pakan yang melimpah merupakan salah satu faktor pendukung bagi kelangsungan hidup kelelawar anggota subordo Megachirop-tera. Di kawasan Ternate banyak dijumpai berbagai macam tanaman buah,

Tabel 2. Jumlah jenis mamalia kecil selain kelelawar dan individu yang tertangkap.

No Nama Jenis Individu

Insektivora 1 Suncus murinus 4 2 Crocidura monticola 3 Phalangeridae 3 Phalanger orientalis 1 Rodensia 4 Rattus rattus 2 5 Rattus norvegicus 2 6 Rattus exulans 1 7 Rattus morotainensis 1 8 Rattus sp. 3 Total Individu 17

seperti manggis (Garcinia mango-stana), durian (Durio zibethinus) termasuk tanaman pala (Myristica fragran) sebagai tanaman perkebunan. Kelelawar pemakan buah Nyctimene albiventer memiliki kelimpahan jenis paling tinggi, diikuti oleh Macroglossus minimus (Tabel 1). N. albiventer merupakan kelelawar yang umum dijumpai di kawasan kepulauan Maluku (Corbet & Hill 1992). Sedangkan M. minimus juga merupakan kelelawar yang sangat umum dijumpai, kelelawar ini memiliki daerah distribusi yang sangat luas mulai dari daratan Asia sampai dengan New Guinea (Corbet & Hill 1992). Kelelawar jenis ini merupakan kelelawar pemakan nektar yang dihasilkan oleh pohon pisang, sehingga dengan banyaknya pohon pisang yang selalu dijumpai di daerah perkebunan merupakan salah satu faktor yang mendukung tingginya kelimpahan jenis dari kelelawar tersebut.

(13)

Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera)

Berdasarkan analisis dari kurva kulumatif jenis yang diperoleh, menunjuk-kan bahwa selama penelitian dilakumenunjuk-kan terjadi penambahan jumlah jenis sampai dengan hari terakhir pengambilan data (Gambar 3).

Dari gambar 3 tersebut di atas, menunjukkan bahwa kurva kumulatif jenis masih meningkat sampai dengan akhir dari waktu penelitian. Hal ini memungkinkan adanya penambahan jenis kelelawar seandainya dilakukan penambahan waktu dan lokasi penelitian. Pada tahun 1866, Peters pernah mene-mukan satu jenis kelelawar pemakan serangga, Myotis ater di kawasan Ternate (Corbet & Hill 1992; Wilson & Reeder 1995), sedangkan dari penelitian ini tidak menjumpai kelelawar jenis tersebut. Begitu juga dengan Flannery yang melakukan penelitian di lokasi yang sama pada tahun 1991 mencatat adanya 12 jenis kelelawar. Sehingga dari penelitian ini merekomendasikan untuk melakukan penelitian yang mencakup lokasi yang lebih banyak lagi di kawasan Ternate.

Kelimpahan jenis kelelawar paling tinggi dijumpai di lokasi 1 yang mencapai 3.30 ind/net.malam. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh lokasi 2, lokasi 3 dan lokasi 4 dengan kelimpahan jenis paling rendah, yaitu 1.50 ind/net.malam (tabel 1). Lokasi 1 memiliki habitat yang lebih beragam dibandingkan dengan ketiga lokasi yang lain. Habitat dari makhluk hidup biasanya lebih dari satu, yaitu habitat tempat tinggal, habitat mencari makan dan lainnya (Sumarwoto 1997). Di lokasi ini terdapat hutan sekunder dan berbagai tanaman

perke-bunan terutama pala dan cengkeh. Keberadaan hutan sekunder di sekitar danau tersebut merupakan salah satu alternatif sebagai habitat bertengger (roosting) dari kelelawar. Sedangkan daerah perkebunan buah merupakan kawasan yang sangat potensial sebagai habitat untuk mencari makan. Di lokasi 1 juga dijumpai kelelawar Eonycteris spelaea, kelelawar jenis ini biasanya memiliki tempat bertengger di gua atau cerukan batu, sehingga diduga di lokasi ini terdapat gua yang dijadikan sebagai tempat tinggal kelelawar yang memung-kinkan adanya jenis kelelawar lain, terutama kelelawar pemakan serangga, karena menurut Suyanto (2001) lebih dari setengah dari jumlah jenis kelelawar pemakan serangga yang ada di Indonesia memilih tempat bertengger di goa.

Lokasi 2 dan 3 memiliki habitat yang hampir sama. Di kedua lokasi ini didominasi oleh tanaman cengkeh dan pala dengan sedikit tanaman buah. Lokasi tersebut diduga merupakan habitat mencari makan bagi kelelawar pemakan buah, akan tetapi bukan sebagai habitat tempat tinggal. Hal ini dikarenakan di kedua lokasi tersebut masih terdapat aktivitas manusia, terutama kegiatan perkebunan yang dilakukan pada siang hari tentunya akan menjadi gangguan bagi kelelawar yang pada saat bersamaan harus berada di tempat bertenggernya untuk beristirahat. Profil tanaman pala dan cengkeh dengan kanopi yang rapat dan termasuk rendah, tidak sesuai sebagai tempat bertengger bagi kelela-war berukuran tubuh dan lebar sayap yang besar, seperti kalong Pteropus hypomelanus yang dijumpai di lokasi 1.

(14)

Wiantoro & Achmadi

Gambar 3. Kurva kumulatif jenis dan individu kelelawar. Lokasi 4 berada di jalur pendakian

gunung Gamalama dengan ketinggian mencapai 1000 m dpl, memiliki habitat yang terdiri dari tanaman pala dengan jumlah yang semakin berkurang dan merupakan kawasan transisi dengan hutan pegunungan yang didominasi oleh tanaman pakis. Kelimpahan jenis kelelawar di tempat yang tinggi menunjukkan hasil yang rendah, hal ini sangat dipengaruhi oleh keterbatasan sumber pakan (Zubaid 1994; Shukor 1997; Wiantoro et al. 2009).

Pengelompokan tipe habitat menunjukkan bahwa lokasi 1 memiliki hubungan yang lebih dekat dengan lokasi 3. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis tanaman atau tumbuhan yang terdapat di kedua lokasi ini memiliki kemiripan yang lebih besar sebagai tempat mencari makan ataupun untuk bertengger bagi sebagian jenis kelelawar yang tertangkap, sehingga memungkinkan dijumpai jenis kelelawar yang sama pada kedua lokasi yang sama. Hal ini berbeda dengan hubungan antara ketiga lokasi dengan lokasi 4 yang memiliki tingkat perbedaan

jumlah jenis kelelawar yang dijumpai dibandingkan dengan ketiga tipe habitat diatas. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ketinggian yang berbeda didukung jenis tanaman yang lebih sedikit sebagai sumber makanan kelelawar yang memungkinkan dijumpai jenis kelelawar yang lebih sedikit.

Analisis korelasi regresi dari dua parameter lingkungan terhadap total kelimpahan jenis kelelawar tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan suhu udara dan kecepatan angin tidak berpengaruh terhadap total kelimpahan jenis kelelawar. Walaupun makin tinggi kecepatan angin menunjuk-kan kecenderungan makin rendah kelimpahan jenis kelelawar. Suhu udara yang terukur berkisar antara 69.80 oF

sampai dengan 83.79 oF atau sama

dengan 21 oC sampai dengan 28.77 oC

masih dalam kisaran normal (Kunz 1998). Banyak faktor yang mempenga-ruhi kelimpahan jenis kelelawar, diantaranya ketersediaan sumber pakan, tempat bertengger, keberadaan predator

(15)

Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera)

dan kerusakan habitat (Zubaid 1994; Nowak 1995; Johnston 2002).

Sementara itu, diperolehnya satu jenis tikus yang tidak teridentifikasi (Rattus sp.) dapat mengindikasikan bahwa kawasan hutan produksi tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai adanya kemungkinan populasi yang berbeda dengan hasil penelitian yang sudah ada seperti oleh Corbet and Hill (1992); Flannery (1995) atau Taylor et al. (1982). Adapun bentuk baru dari Rattus sp. memiliki ukuran sebagai berikut : panjang kepala dan badan (head and body length; HBL) 225 ± 0.71 mm; berat badan (weight) 246 ± 14.14 gr; ekor (tail) 195.5 ± 9.19 mm (80 – 90 % dari panjang badan); panjang telinga 19.6 mm; kaki belakang (hindfoot) 32.07 ± 1.51 mm. Warna rambut tubuh bagian atas coklat abu-abu cerah, bagian bawah putih krem dengan garis berwarna coklat mulai dari dibawah leher sampai di belakang kaki depan. Ekor berwarna coklat gelap, dengan bagian bawah yang lebih pucat. Terdapat rambut jarum di tubuh bagian atas dan tidak di tubuh bagian bawah (Gambar 5.)

Karakter eksternal dari populasi tikus ini sangat mirip dengan R. norvegicus dan R. praetor. Untuk R. norvegicus merupakan tikus yang sangat umum dan

memiliki distribusi yang sangat luas dari mulai Eropa, daratan Indochina, Seme-nanjung Malaya, Indonesia dan sampai ke Australia (Wilson and Reeder 2005; Taylor et al. 1982). Sedangkan R. praetor memiliki distribusi dari mulai pulau-pulau kecil yang berdekatan dengan Pulau Papua, Australia sampai ke Pulau Solomon (Taylor et al. 1982) dan belum ada laporan sebelumnya terdapat di Pulau Ternate dan kepulauan Maluku lainnya. Karakter yang menonjol dari tikus ini sehingga membedakan dengan kedua jenis yang terdekat tersebut terletak pada tengkorak kepala yaitu pada bagian rostrum atau tengkorak hidung yang lebih panjang dan lurus serta pada pola garis persambungan antara tulang parietal (os parietali) dan tulang frontal (os frontale) atau dikenal dengan coronal suture dan sagittal suture. Bentuk tulang squamosal dari tikus ini merupakan peralihan antara R. norvegicus dan R. praetor.

Phalanger orientalis yang juga dijumpai pada penelitian ini merupakan salah satu temuan yang penting mengi-ngat jenis kuskus ini merupakan salah satu jenis mamalia yang dilindungi (IUCN 2007; Maryanto et al. 2008). Masih ada 3 jenis lagi kelompok kuskus yang statusnya dilindungi dan pernah

dilapor-Gambar 4. Pengelompokan tipe habitat yang berdasarkan kelimpahan dan keragaman jenis kelelawar dengan menggunakan indeks Euclidean distance.

(16)

Wiantoro & Achmadi

kan terdapat juga di Pulau Ternate yaitu Phalanger alexandrae, Phalanger ornatus dan Strigocuscus pele-ngensis (Maryanto et al. 2008). Survei populasi untuk kuskus ini masih diperlukan untuk mengetahui jumlah individu yang masih tersisa dalam usaha untuk konservasi dan pelestarian mamalia tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan 10 jenis kelelawar yang terdiri dari 9 jenis kelelawar pemakan buah dan satu jenis kelelawar pemakan serangga. Nyctimene albiven-ter dan Macroglossus minimus merupa-kan jenis kelelawar yang paling dominan. Kelimpahan jenis kelelawar paling tinggi mencapai 3.30 ind/net.malam, dijumpai di lokasi sekitar danau (Laguna) dengan ketinggian antara 100-200 m dpl. Total kelimpahan jenis kelelawar di setiap lokasi penelitian tidak dipengaruhi oleh suhu udara dan kecepatan angin. Ditemukan juga satu jenis tikus dengan bentuk baru dan tidak teridentifikasi yang masuk kedalam genus Rattus.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ibnu Maryanto, Nanang Supriatna dan Kepala Walikota Ternate yang telah membantu selama proses penelitian hingga penulisan hasil penelitian ini selesai. Penelitian ini di biayai IPTEKDA LIPI

DAFTAR PUSTAKA

Corbet, GB. & JE. Hill. 1992. The Mammals of The Indomalayan Region : A Systematic Review. Natural History Museum & Oxford University Press. New York. 488 pp.

Flannery, T. (1995). Mammal of The South-West Pacific & Mollucan Islands. REED BOOKS. Australia. 464 pp.

George, W. 1981. Wallace and His Line. In : Whitemore TC. Wallace’s Line and Plate Tectonic. Claren-don Press. Oxford. 3-8.

Hill, JE. & JD. Smith. 1984. Bats A Natural History. British Museum

 

Gambar 5. Rattus sp. terlihat dari samping depan (anterolateral view) dan bagian tubuh

(17)

Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera)

(Natural History) Cromwell Road. London

IUCN Redlist. 2007. Phalangeridae Specialist Group 1996. Phalanger orientalis. In: 2007 IUCN Red List of Threatened Species.

<www.iucnredlist.org>

Johnston, D. 2002. Data Collection Protocol Yuma Bat (Myotis yumanensi) in Wetlands Regional Monitoring Program Plan 2002. United States

Kunz, TH. 1998. Ecological and Behavioral Methods for the Study of Bats. Smithsonian Institute Press. Washington D.C

Kunz, TH& ED. Pierson.1995. Bats of The World; an Introduction. Dalam Nowak, R.M.Walkers Batsof The World. John Hopkins University Press. Baltimore and London

Maryanto, I., AS. Achmadi & AP. Kartono. 2008. Mamalia dilindu-ngi Perundang-undangan Indonesia. LIPI-Press. Jakarta Nowak, KM. 1995. Walker’s Bat of the

World. John Hopkins University Press, Baltimore and London Primark, R. 1998. Biologi Konservasi.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Shukor, MN. 1997. An elevational transect study of small mammals on Mt. Kinabalu, Sabah, Malay-sia. PhD Thesis, University of illinois at Chicago, Illinois, USA.

Sutrisno, H & Darmawan. 2010. Kajian Biodiversitas Serangga Kupu Malam Ternate. LIPI Press.

Sumarwoto, O. 1997. Ekologi Lingku-ngan Hidup dan Pemba-ngunan, ed 7. Penerbit Djambatan. Suyanto, A. 2001. Kelelawar Di

Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Bogor.

Taylor, JM, JH. Calaby & HM. van Deusen. 1982. A Revision of the genus Rattus (Rodentia; Muridae) in the New Guinea Region. Bulletin of the Am. Mus. of Nat. History. 173 (3): 177 – 336. Turner, H., P. Hovenkamp & PC. van

Welzen. 2001. Biogeography of Southeast Asia and The West Pacific. J. Biogeo.28: 217-230. Wallace, AR. 1869. Malay Archipelago.

Periplus

Whitemore, TC. 1987. Biogeographical evolution of the Malay Archipe-lago. Oxford: Clarendon Press. Wiantoro, S., E. lit, Mohd fizl sidq, N.

Salmizar, I. Sait and MT. Abdullah. 2009. Notes on field survey and new distributional record of small mammals in mount Murud, Sarawak. J. Trop. Biodiv. & Cons. 5 (1): 57-64

Wilson, DE & DM. Reeder. 2005. Mammals species of The World. A Taxonomic and Geographic Reference (3rd ed). John Hopkins

University Press.

Zubaid, A. 1994. Vertical stratification of pteropodid bats in a Malaysian lowland rainforest. Mammalia 58: 309-311

(18)

Wiantoro & Achmadi Pteropus personatus Wi a n to ro , S Pteropus sp. Wi a n to ro , S Nyctimene albiventer Wi a n to ro , S Macroglossus minimus Wi a n to ro , S Pteropus hypomelanus Wi a n to ro , S Wi a n to ro , S Wi a n to ro , S Dobsonia moluccensis Dobsonia viridis

(19)

Gambar

Tabel 1. Kelimpahan jenis kelelawar yang tertangkap di setiap lokasi penelitian.
Tabel 2. Jumlah jenis mamalia kecil selain kelelawar dan individu yang tertangkap.
Gambar 3. Kurva kumulatif jenis  dan individu kelelawar.
Gambar 4.  Pengelompokan tipe habitat yang berdasarkan kelimpahan dan keragaman jenis kelelawar dengan menggunakan indeks Euclidean distance.

Referensi

Dokumen terkait

Menyampaikan materi tentang luas permukaan kubus dan balok secara online melalui bahan ajar dalam bentuk file word/pdf dan diikuti berupa video pembelajaran

SEKOLAH MENENGAH KEBANGSAAN SERI NIBONG 130 18 TKB Lelaki Permatang Pauh Johan Dashyen A/L Murugiah SMK Tun Hussein Onn 131 18 TKB Lelaki Permatang Pauh Naib Johan Roy

Dalam unit ini peserta diajak untuk mendiskusikan bagaimana pengelola sekolah, yaitu kepala sekolah, guru dan komite sekolah serta orangtua siswa, dengan dukungan dari

82. Karantina dalam Bahasa Arab : A. Mahjarun B. Mustassyfa C. Funduqun D. Tsuknatun E. Mitharun 83. ‘ Haji’ dalam Bahasa Arab

Pengujian ADC ini digunakan untuk mendapatkan nilai digital dari sinyal analog yang diberikan oleh potensiometer linier yang terpasang pada mekanik penggerak teleskop. Nilai

PASIR SIDIK WIYONO SD NEGERI 6 BABAT SD KarangbinangunPNS 027 Guru Kelas SD (Kelas Atas)... Maksum Sa'dullah SD NEGERI 6 BABAT SMP Sukodadi PNS

[r]

Komponen lingkungan yang diprakirakan akan terkena dampak dari kegiatan ini adalah meliputi fisiografi dan topografi, penggunaan lahan, kuantitas air, erosi tanah,