• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Dalam masyarakat Jawa, seni merupakan salah satu aspek. kehidupan yang nyata dan mampu bertahan hidup hingga saat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Dalam masyarakat Jawa, seni merupakan salah satu aspek. kehidupan yang nyata dan mampu bertahan hidup hingga saat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam masyarakat Jawa, seni merupakan salah satu aspek kehidupan yang nyata dan mampu bertahan hidup hingga saat ini. Namun dalam berbagai bentuk seni memiliki hubungan yang sangat erat dengan sejarah. Salah satunya adalah tari klasik Pura Pakualaman, yang keberadaannya merupakan bagian dari Yogyakarta. Tari klasik Pura Pakualaman sendiri merupakan salah satu seni tari yang dapat dikatakan sebagai seni klasik karena penciptaannya berasal dari Kadipaten Pura Pakualaman.

Sudah tercatat dengan jelas bahwa pecahnya dinasti kerajaan Mataram menyebabkan adanya politik pecah belah Belanda pada masa penjajahan yang menanamkan kekuasaannya atas wilayah kekuasaan pribumi. Hal ini menyebabkan bagaimana Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akhirnya pecah setelah adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Dengan adanya perjanjian Giyanti tersebut tari tradisi mereka mulai mengarah berbeda. Kemudian gaya tarinya disebut gaya tari

(2)

Yogyakarta dan yang lainnya disebut gaya tari Surakarta sesuai dengan nama-nama wilayahnya.1

Jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Inggris pada tahun 1812 membuat Kasultanan Yogyakarta terpecah menjadi dua pusat pemerintahan yakni Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono dan Kadipaten Pura Pakualaman mendapatkan gelar Adipati Paku Alam. Terpecahnya kerajaan Kasultanan Yogyakarta berdampak pada pola-pola dasar tradisi yang berkembang di jalur istana masing-masing. Kadipaten Pakualaman merupakan bagian wilayah dari Yogyakarta yang masih berkiblat pada Kasultanan Yogyakarta. Namun pada perkembangannya, muncul ciri-ciri yang bersumber dari gaya Surakarta sehingga perpaduan ini memunculkan tari di Pakualaman yang memiliki nafas lain. Perpaduan tersebut meliputi gerak, kostum, dan iringan. Sebutan untuk tari khas Pura Pakualaman itu sendiri adalah Madya, atau sering disebut dengan Gaya Madya. Gerakan tari Gaya Madya ini memiliki keunikan dan kekhasan, yakni ketika menari gerakan gagah namun memiliki rasa dan jiwa halus, begitu juga ketika menari gerakan halus memiliki rasa dan jiwa gagah dan dalam segi rias wajah tidak memiliki karakter gagah, namun rias panggung yang

1 R.M. Soedarsono, Tari-tarian Indonesia : (Jakarta, Proyek pengembangan

(3)

tidak berdasarkan pada suatu tokoh tertentu.2 Pada akhirnya Gaya Madya menjadi spesifikasi bentuk gerak tari khas Pura Pakualaman.

Prinsip gerak tari Gaya Madya yang digunakan di Pura Pakualaman lebih cenderung pada aturan untuk teknik gerak tari. Pada tarian gaya Pura Pakualaman lebih terbuka dan menerima setiap pengembangan dan variasi gerak. Hal inilah yang membedakan antara gaya Pura Pakualaman dengan gaya Yogyakarta.

Legitimasi kekuasaan menjadi dasar bagi setiap kerajaan untuk penciptaan sebuah karya seni yang terjadi di dalamnya. Hal tersebut juga terjadi pada Kadipaten Pakualaman yang ketika itu dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IV pada tahun 1864 hingga 1878 yang terciptanya Beksan Floret. Tarian khas Pura Pakualaman ini diciptakan atas inspirasi yang diperoleh dari suasana pada masa penjajahan Belanda3 di mana para tentara legiun yang sedang bermain anggar. Anggota tentara legiun ini adalah orang-orang Jawa dengan memakai seragam tentara dan diasramakan di istana.

2 Wawancara dengan Dr. Mardjijo atau K.M.T. Nindya Mataya, 7 Januari

2015.

3 Disebut Belanda karena pada masa kepemimpinan Sri Paduka Paku

Alam IV pada tahun 1868 hingga 1878, Pura Pakualaman mengalami penjajahan oleh Belanda.

(4)

Beksan Floret secara etimologis terdiri dari dua kata, yakni Beksan dan Floret. Secara harafiah kedua kata tersebut memiliki

arti yang berbeda. Beksan adalah suatu bentuk tarian yang menggambarkan peperangan antara dua tokoh dalam suatu cerita yang ditampilkan, sedangkan Floret adalah suatu alat (senjata) dari besi yang berbentuk panjang dan berujung runcing, serta di bagian tangkai atau pegangannya terdapat tameng (pelindung), sebagai pengaman tangan. Dapat disimpulkan bahwa Beksan

Floret merupakan tarian yang menggambarkan peperangan antara

dua tokoh dengan menggunakan senjata dari besi yang berbentuk panjang dan runcing yang dinamakan Floret, yang dalam penyajiannya diungkapkan melalui gerak-gerak tari putra.

Floret merupakan senjata yang hampir menyerupai bentuk

pedang yang berasal dari daratan Eropa. Senjata ini mengalami perubahan-perubahan yang semula hanya tajam pada salah satu sisinya, kemudian menjadi bentuk pedang yang tajam pada kedua sisinya. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya muncul bentuk pedang yang hanya tajam pada ujung mata pedangnya dan hanya dapat dipergunakan untuk menusuk. Bentuk inilah yang mengilhami bentuk Floret seperti yang terlihat pada sekarang ini.

Pada perkembangan saat ini, Kadipaten Pakualaman yang telah memiliki dasar tari tradisi gaya Yogyakarta mendapat pengaruh dari tradisi gaya Surakarta, yaitu dengan masuknya

(5)

beberapa tari dari Kasunanan Surakarta. Dalam suatu gaya tari terdapat kekhasan dari karakteristik masing-masing yang menyangkut cara-cara melakukan gerak tertentu dari gaya tari yang bersangkutan. Jika dilihat dari elemen-elemen geraknya boleh dikatakan tidak ada perbedaan antara gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Hanya dalam pelaksanaan teknik dan penyajiannya yang agak berbeda. Gaya Yogyakarta lebih bersifat klasik sedangkan gaya Surakarta sedikit mengarah ke gaya romantik.4

Dalam tari klasik pada kerajaan di Jawa, kata ‘klasik’ sendiri mempunyai konotasi yang sama dari kerumitan, standar tinggi dan bentuk serta memiliki sejarah yang panjang untuk dijelaskan dan dimengerti. Sejarah tari klasik dua gaya hingga saat ini menjadi pernyataan, namun juga terdapat pertanyaan.

B. Rumusan Masalah

Pergeseran fungsi sangat dimungkinkan ada dalam tari ini karena adanya pergeseran zaman. Beberapa pertanyaan muncul atas pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Mengapa muncul tari Beksan Floret di Pura Pakualaman? 2. Bagaimana bentuk Beksan Floret menjadi identitas Pura

Pakualaman?

4 R.M. Soedarsono, Djawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Dramatari

Tradisional di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Yogyakarta,

(6)

C. Tujuan Penelitian

Pertanyaan yang tersaji dari perumusan masalah, memberi arah pada apa yang akan menjadi tujuan penelitian. Secara mendasar tujuan dari penelitian ini memperoleh jawaban dari apa yang dipermasalahkan dalam pertanyaan tersebut. Berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan, maka yang diharapkan adalah dapat memberikan gambaran mengenai struktur dan kajian tubuh

Beksan Floret serta peranan dalam tariannya.

Hasil dari kajian bentuk seni pertunjukan seperti ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan kontribusi mengenai

Beksan Floret. Dengan demikian, kandungan tesis yang ada dalam

penulisan ini mampu memberikan pandangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan penambahan khasanah pengetahuan tari. Selain itu, bahasan yang ada dalam penulisan ini memberikan acuan mengenai kaitannya tarian Beksan Floret dengan struktur dan tubuh dalam Kadipaten Pura Pakualaman. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Berupaya untuk memperoleh gambaran mengenai kemunculan Beksan Floret di Pura Pakualaman.

(7)

3. Berusaha mengetahui identitas tari Pura Pakualaman melalui Beksan Floret.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk menghimpun dan mengumpulkan informasi-informasi mengenai penelitian-penelitian lampau yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk menghindari pengulangan yang tidak disengaja. Selain itu untuk menjaga kemungkinan plagiasi dan menjaga kejujuran dalam penelitian. Perlu dikemukakan beberapa hasil penelitian dan penjelasan mengenai sejarah, bentuk dan fungsi Beksan Floret Pura Pakualaman sebagai berikut.

Buku berjudul Warnasari Sistem Budaya Kadipaten

Pakualaman, 2012, editor SR Saktimulya berisi mengenai

keberadaan sistem pemerintahan hingga kesenian yang ada di Pakualaman dari Sri Paduka Paku Alam I hingga Sri Paduka Paku Alam IX. Buku ini memuat antara lain kesenian, khususnya seni tari, yang ada selama masa pemerintahan masing-masing kepemimpinan Sri Paduka Paku Alam sebagai simbol dari legitimasi raja yang berkuasa.

Dalam tulisan Diskripsi Beksan Floret Tari Klasik Pura

Pakualaman Yogyakarta, yang disusun oleh Dra. Eru Wismawati,

Dra. Purwatinigsih, Drs. Budi Sudarisman dan P. Ismudyastuti, B.A. pada tahun 1994 dijabarkan dengan cukup jelas mengenai

(8)

pengertian, sejarah serta perkembangan Beksan Floret pada masa itu. Selain itu terdapat tulisan mengenai iringan yang digunakan, ragam gerak tari, tata rias dan busana hingga perlengkapan yang digunakan dalam Beksan Floret. Tulisan ini menjadi cukup penting karena karya tulis tersebut menjadi proyek pembinaan kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta setelah perekonstruksian Tari Beksan Floret.

Pada pembahasan mengenai struktur, Anya Peterseon Royce menuliskan bagaimana dia melihat struktur menjadi dasar bagi tari yang dipandang dari perspektif antropologi.5 Hal ini menjadi pondasi penelitian di masa mendatang dari pondasi di masa lalu. Dalam pembahasannya, struktur lebih memandang tari dari pendekatan bentuk, sehingga apa yang menjadi dasar struktur tari

Beksan Floret dapat dilihat dari pendekatan bentuk tari tersebut.

Terdapat beberapa definisi tari yang ada, yang pertama, seni tari adalah keindahan bentuk dari anggota badan manusia yang bergerak, berirama dan berjiwa yang harmonis.6 Keindahan merupakan salah satu elemen penting dalam seni tari. Bentuk tubuh, gerak tubuh, irama, jiwa dan harmonis menjadi suatu kesatuan yang akan membentuk suatu gerakan tubuh dalam suatu keindahan tari. Yang kedua, seni tari adalah ekspresi jiwa

5 Anya Peterson Royce, Anthropology of Dance (Blommington and London

Indiana University Press, 1976), 20.

6

Bagong Kussudiardja, Tentang Tari (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1981), 5.

(9)

manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerik ritmis dan indah.7 Sedangkan menurut B.P.H Suryadiningrat, mengatakan, ingkang

dipun wastani joged inggih punika ebahing sedaya saranduning badan, kasarengan ungeling gangsa/gamelan, katata pikantuk wiramaning gendhing, jumbuhing pasemon kaliyan pikajenging joged (yang dinamakan tari, adalah gerak keseluruhan bagian

tubuh, diatur seirama iringan lagu, kesesuaian tema, serta maksud tari).8

Secara konvensional istilah tradisi digunakan dalam dua makna, baik untuk menyebut (menamakan) proses pengalihan suatu unsur budaya khusus tertentu dalam perjalanan waktu maupun untuk menyebut unsur-unsur itu sendiri yang dialihkan dalam proses ini.9 Memandang suatu satuan folklor sebagai tradisional berarti memahaminya sebagai memiliki kesinambungan temporal, yang berakar pada masa lalu tetapi bertahan pada masa sekarang menurut cara objek alamiah. Akan tetapi, terjadi suatu reorientasi yang kian lama tumbuh di kalangan para penyelidik tradisi, dari pandangan naturalistik ini yang menganggap tradisi, sebagai suatu warisan budaya yang

7

R.M. Soedarsono. 1972. 34.

8 B.P.H. Suryadiningrat dalam Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta.

Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Percetakan Ofset “Liberty”, 1981). 34.

9 Richard Bauman, Folklore dalam Folklore Cultural Performance and

Popular Entertainments (New York and Oxford: Oxford University Press, 1992),

(10)

berakar pada masa lalu dan beralih ke arah suatu pemahaman mengenai tradisi sebagai yang secara simbolis terbentuk pada masa sekarang. Tradisi, demikian dikonseptualisasikan dan dipahami sebagai suatu susunan selektif, susunan interpretatif, yakni penciptaan sosial dan simbolik hubungan antara aspek-aspek masa sekarang dan interpretasi terhadap masa lalu.

Kesenian tidak akan lepas dari unsur-unsur cultural

universal. Kesenian ini meliputi seni tari, seni rupa, seni lukis,

seni suara, seni karawitan dan lainnya. Dengan demikian seni tari adalah bagian dari hasil kebudayaan. Menurut Djoko Suryo dalam bukunya berjudul Gaya Hidup Masyarakat Jawa Pedesaan dijelaskan sebagai berikut.

Pada zaman modern ini bentuk kesenian tradisional telah banyak mengalami perubahan atau pergeseran fungsi dari awal terbentuknya kesenian tersebut. Fungsi tersebut meliputi kesenian sebagai hiburan dan tontonan atau untuk bersenang-senang. Hal ini disebabkan adanya perkembangan dan taraf hidup yang telah merubah pola berpikir manusia sesuai dengan pengaruh perubahan zaman. Seni pertunjukan tradisional sudah banyak mengalami perubahan bentuk dan fungsi. Ada yang hilang bentuknya, ada yang hilang fungsi bentuknya masih, ada yang hilang bentuk sekaligus fungsinya, kemudian muncul bentuk yang baru.10

Catatan tari Beksan Floret belum ditemukan secara lengkap dikarenakan di Pura Pakualaman hanya terdapat catatan notasi

gendhing Beksan Floret. Tarian ini merupakan buah revitalisasi

10

Djoko Suryo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa Pedesaan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktoret Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1985), 49.

(11)

yang dilakukan oleh Bapak Mardjijo pada tahun 1994. Dengan adanya proses revitalisasi ini pula, sebuah tarian putra gagah yang menjadi ciri khas dari Pura Pakualaman muncul dan dapat berkembang dengan baik, salah satunya Beksan Floret.

E. Landasan Teori

Pengungkapan penulisan mengenai Beksan Floret

menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan multidisiplin yang diarahkan pada kajian tekstual dan kontekstual. Kajian tekstual untuk mengungkap Beksan Floret sebagai pertunjukan yang berasal dari tembok Kraton yang keluar dan dapat dipelajari oleh masyarakat, sedangkan kajian kontekstual digunakan untuk mengungkap dan menganalisis

Beksan Floret dari segi bentuk dan perubahan yang terjadi

sehingga Beksan Floret menjadi identitas tari putra Pura Pakualaman.

Hal ini diperkuat dengan ungkapan R.M. Soedarsono bahwa etnokoreologi merupakan kedekatan yang khas untuk tarian etnis dan merupakan kombinasi antara penelitian tekstual dengan kontekstual.11 Dalam materi penelitian ini terdapat beberapa aspek, yakni aspek koreografis, aspek bentuk dan struktur serta identitas yang melibatkan konsep sejarah dan pencatatan tari.

11 R.M. Soedarsono, Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Cetakan

(12)

Penelitian ini juga memiliki inti permasalahan yang meliputi perubahan bentuk, struktur serta identitas pada Beksan Floret dengan menggunakan disiplin etnokoreologi. Oleh karena itu, penelitian ini perlu memperhatikan konstruksi teori untuk mendekati permasalahan yaitu kajian tekstual, kontekstual dan

labanotation.

Etnokoreologi itu sendiri merupakan istilah yang masih sangat muda. Di Amerika istilah ini identik dengan dance

ethnology. Sebelum ada istilah etnokoreologi, pertama-tama

muncul istilah ethnochoreography atau etnokoreografi di awal tahun 1960-an.12 Gertrude Prokosh Kurath menyatakan sebagai berikut.

…ethnocoreography synonymous with “dance ethnology” and defined it as “the scientific study of ethnic dances in all their cultural significance, religious functions, or symbolism or social place.13

(…etnokoreologi identik dengan “etnologi tari” dan didefinisikan sebagai ilmiah dari tarian etnis ada di dalam kebudayaan mereka, fungsi agama, atau simbol atau tempat sosial”)

Hanya saja koreologi lebih banyak digunakan di Inggris, karena lebih menyerupai pencatatan tari. Pada akhirnya Soedarsono mulai memperkenalkan istilah etnokoreologi sebagai pendekatan baru kajian budaya tari ini dengan spesifikasinya

12

Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa (Bandung: P4ST, Universitas Pendidikan Indonesia), 28.

13

Getrude Prokosh Kurath, Panorama of Dance Ethnology dalam Curent

(13)

sendiri.14 Pada akhirnya pula, akan diketahui berbagai aspek yang dihasilkan dari disiplin etnokoreologi, seperti perubahan nilai, pergeseran estetika, nilai etis, filosofis, perubahan bentuk, struktur, perubahan gaya penampilan, perkembangan artistik, perkembangan sosial dan sebagainya.15

Seni adalah suatu bentuk komunikasi yang rumit yang memadukan aspek-aspek visual, seni gerak, estetis gerakan manusia dengan dimensi pendengaran suara-suara musik dan kadang-kadang puisi.16 Tarian tercipta dari simbol-simbol yang dipahami secara kultural dalam konteks-konteks sosial, sakral, dengan membawa informasi dan pengertian sebagai “ritual”. Tarian adalah suatu bentuk kebudayaan yang dihasilkan dari proses-proses kreatif yang dimanipulasi, yaitu yang ditangani dengan ketrampilan tubuh manusia. Setiap masyarakat memiliki citra tarian khusus yang berbeda dengan masyarakat lain.

Kajian yang menitikberatkan pandangan pada salah satu sisinya akan dicoba untuk dihindari dan menyadari bahwa tidak sedikit aspek yang terlibat dalam kehidupan sejarah. Pola-pola sejarah tidak dapat tercakup dalam penjelasan yang berdasarkan

14

R.M. Soedarsono, Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Cetakan Kedua, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001).

15

R.M. Pramutomo, Etnokoreologi: (Suatu Pendekatan Kajian Kebudayaan

Budaya Tari Etnik Non Barat Berdasarkan Pemberlakuan Teks Tari Sebagai Teks Budaya Setempat, 2012), 47.

16 Adrienne L. Kaeppler, ‘Dance’, Folklore, Cultural Performance and

Populer Entertainments (New York and Oxford: Oxford University Press, 1992),

(14)

interpretasi satu faktor, lagi pula pendekatan menurut satu garis penelitian akan bersatu pihak.17 Realitas sosial yang memiliki segi ganda dirasakan demikian pentingnya untuk membangun suatu pengamatan yang digunakan untuk melepaskan kaitan jaringan aspek-aspeknya.

Salah satu perspektif fenomenologis yang relevan bagi kajian tari adalah yang melakukan penyelidikan tentang pengalaman ketubuhan. Penekanan fokus perhatian studi pada pengalaman ketubuhan manusia membuka bagi penyelidikan yang cermat mengenai bagaimana manusia melalui media tubuhnya mengalami ruang, waktu, benda, getaran suara, cahaya, aroma serta lingkungan sosialnya; bahkan juga bagaimana individu mengalami gerak, suhu, permukaan, aroma, bunyi maupun tegangan dan sensasi dalam tubuhnya sendiri. Di sini terbuka peluang untuk mendeskripsikan tubuh manusia sebagai media yang secara aktif terlibat dalam fenomena teralami.18

Tari memainkan suatu peran penting dalam pembentukan komunitas dan identitas sosial.19 Hal itu ditunjukkan dengan jelas bagaimana tari, yang pada awalnya diciptakan dan dinikmati oleh kalangan kerajaan, menjadi awal cakrawala baru bagi

17

Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi

Indonesia, (Jakarta, Gramedia: 1982), 40.

18

Lono Simatupang, Pergelaran (Yogyakarta: Percetakan Jalasutra, 2013), 53-55.

19 Felicia Hughes-Freeland, Komunitas Yang Mewujud: Tradisi Tari dan Perubahan di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), 20.

(15)

perkembangan tari klasik, dengan adanya organisasi-organisasi tari. Munculnya organisasi tari klasik tersebut bertujuan untuk menunjukkan identitas yang ada dalam seni tari klasik istana menjadi sebuah identitas yang disematkan pada masyarakat umum.

Berkaitan dengan identitas, dikatakan bahwa identitas merupakan proses penamaan atau penempatan diri di dalam suatu kategori atau konstruksi sosial tertentu.20 Konsep identitas ini muncul ketika sesuatu hal berhadapan dengan sesuatu yang lain. Identitas sendiri merupakan sebuah konstruksi sosial yang memiliki batasan dalam rangka membedakan diri dengan yang lain. Dalam kategori atau konstruksi sosial tertentu, seni tari Jawa klasik akan terkait dengan nama Pakualaman, dan bukan dengan yang lain.

Gaya tari adalah sifat pembawaan tari, menyangkut cara-cara bergerak yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan.21 Dalam suatu gaya tari terdapat kekhasan dari karakteristik masing-masing yang menyangkut cara-cara melakukan gerak tertentu dari gaya tari yang bersangkutan. Misalnya gaya tari Surakarta dan gaya tari Yogyakarta, di

20 Ken Plumer, “Identity”, dalam William Outhwaite & Tom Bottomore

(ed). The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thought (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), 271.

(16)

dalamnya terdapat ciri khusus yang dapat membedakan masing-masing gaya dan karakteristik tersendiri.

Seni pertunjukan memiliki fungsi yang bermacam-macam, maka tidak mengherankan apabila disiplin pendekatan ilmu komunikasi bisa dipakai untuk penelitian seni pertunjukan.22 Sebenarnya komunikasi adalah paling utama dan lebih menonjolkan makna yang terdapat di belakang tradisi tarian rakyat yang bertujuan cerita dan hikmat utama, serta ide-ide melalui ekspresi tubuh manusia termasuk seluruh anggota badan secara estetis pada teknik gerak tari.

Bila kita berbicara tentang makna tari, maka secara implisit kita membandingkan aspek-aspek komunikatif perilaku tari dengan media ekspresi lain, sehingga akhirnya sebagian besar esensi di dalam tari dapat dikomunikasikan dengan baik dan jelas.23 Asumsinya bahwa tarian berfungsi sama seperti bahasa dan juga memiliki kapasitas yang sama. Waterman juga melihat bahwa tarian memiliki kapasitas untuk “menyampaikan” serta membawakan makna dalam dua cara yang berbeda. Cara pertama yang bisa disebutkan komunikatif denotatif dan cara yang kedua tari dapat disebutkan sebagai cara berkomunikasi dengan keindahan dan dengan empati.

22

R.M. Soedarsono, 1972. 99.

(17)

Struktur dan fungsi merupakan dasar bagi tari yang dipandang dari perspektif antropologi.24 Keduanya menggarisbawahi penelitian di masa lalu dan melengkapi pondasi kedua arah penelitian di masa yang akan datang. Struktur memandang tari dari pendekatan bentuk, sedangkan fungsi memandangnya dari pendekatan konteks dan sumbangannya pada konteks tersebut.

F. Metode Penelitian

1. Tahap Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Dalam mengumpulkan data dilakukan dengan dua metode yaitu: observasi partisipasi (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth inteview). Dengan dua metode penelitian diharapkan mampu mendapatkan dan mengumpulkan data dari berbagai informasi.

a. Studi Pustaka

Dibutuhkan data primer maupun sekunder. Data primer didapat dari hasil observasi partisipasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil mencari dan membaca buku, literatur maupun tesis yang dapat mendukung

(18)

proses penelitian dan penulisan ini. Diharapkan penulisan ini dapat membantu dan mendorong para generasi muda untuk terus belajar dan mengerti seni tradisi ini agar tidak punah dan hilang seiring berkembangnya zaman modern sekarang.

b. Observasi Partisipasi

Observasi partisipasi merupakan metode penelitian yang harus dilakukan dengan baik karena penulis ikut terlibat dalam kegiatan pelatihan tari dan mendengar serta mendapatkan informasi dari berbagai informan. Keterlibatan penulis dalam kegiatan pengajaran, pengelolaan hingga pementasan seni tari klasik dan lebih khusus pada Beksan Floret, meskipun penulis tidak pentas langsung dan hanya terlibat dalam proses latihan, mampu mengetahui bagaimana keadaan dan situasi yang sesungguhnya dalam perkembangan seni tari klasik Pura Pakualaman pada umumnya.

c. Wawancara

Selain melakukan kegiatan praktek langsung untuk mendapatkan data, wawancara terhadap pengelola, pengajar dan penari yang terlibat dalam pementasan Beksan Floret. Mendengar dengan baik dan menanyakan pertanyaan yang memilki hubungan dengan penelitian ini menjadi sangat penting, dibantu dengan alat tulis dan alat perekam sebagai media untuk mendapatkan data yang lebih konkret. Wawancara ini bertujuan untuk merekam

(19)

semua kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang berperan dalam proses pengembangan tarian ini serta mengerti sejarah tentang seluk beluk regenerasi mulai dari terbentuknya tarian ini, orang-orang yang terlibat serta ikut mengembangkan tari Floret hingga saat ini masih bertahan.

2. Tahap Pengolahan Data

Setelah data hasil penelitian lapangan yang terkumpul sudah mencukupi sebagai bahan pembahasan masalah, maka langkah berikutnya adalah melakukan penyeleksian data. Pada tahap penyeleksian data seperti ini sangat diperlukan ketelitian dalam memilih untuk pengklasifikasian menurut permasalahannya, seperti data mengenai sejarah, fungsi dan bentuk dari Beksan Floret dan sebagainya.

Selanjutnya menggabungkan hasil observasi di lapangan dengan studi pustaka dan hasil rekaman peristiwa yang dipentaskan untuk menentukan data yang akan digunakan sebagai bahan penulisan.

Langkah terakhir dalam penulisan ini adalah menganalisa hubungan di antara data yang sudah terkumpul. Setelah melalui proses penginterpretasikan untuk memunculkan berbagai kejadian yang dijadikan sasaran penelitian, kemudian dilakukan pengkajian ulang untuk mendapatkan hasil yang akurat.

(20)

3. Tahap Penulisan

Setelah kedua tahap terselesaikan, maka tahapan terakhir adalah penulisan laporan penelitian berdasarkan hasil kaji ulang dari rangkaian pengolahan data.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH

Dapat digunakan pula untuk mencari kombinasi gerakan untuk n banyak orang agar pada akhir lagu pasangan penari akan bertukar tempat dan menyelesaikan tarian ini tanpa

Mahasiswa Fakultas Psikologi yang sedang mengambil mata kuliah PPLK di Universitas “X” Bandung yang memiliki derajat resilience rendah, maka pada saat mahasiswa mengalami

Tidak merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan, dan/atau lembaga lain... 01 Ikhtisar Data

Pada bab ini akan dilakukan analisis dan pembahasana dari hasil pengumpulan dan pengolahan data terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan

Sutarwi, Pujiasmanto B, Supriyadi 2013, Pengaruh Dosis Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kacang Tanah (Arachis Hypogaea (L.) Merr)

Dengan berlakunya Peraturan Bupati ini, maka Peraturan Bupati Tulang Bawang Barat Nomor 66 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Anggaran Pemerintah Tiyuh Tahun 2019

program studi, nama dan kode mata kuliah, semester, sks, nama dosen pengampu; b) capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah; c) kemampuan akhir yang