• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya Pelayanan BK Dalam Pengembangan Kurikulum 2013 Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pentingnya Pelayanan BK Dalam Pengembangan Kurikulum 2013 Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

23

Abstrak

Pendidikan di Indonesia saat ini belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan pendidikan kita dengan negara-negara lain dari waktu ke waktu selalu mengalami penuruan. Meskipun banyak di antara peserta didik yang memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara peserta didik yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasi-onal.Satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampin-gan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura personalis) siswa. Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills. Dilihat dari kacamata teoritis maupun empiris, tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan karakter saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak di negeri ini.Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkata-an, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan,sesuai den-gan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks yang lebih luas yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Kata-kata Kunci: Pelayanan BK, Kurikulum 2013, Mutu Pendidikan

Pentingnya Pelayanan BK

Dalam Pengembangan Kurikulum 2013

Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah

Siti Fitriana

(2)

A. PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 banyak menjadi bahan pembicaraan bagi semua pihak terutama di kalangan pendidik baik guru, dosen, pengawas, praktisi, maupun pemerhati pendidikan sam-pai dengan tingkat DPR yang membidangi pendidikan juga turut ambil peran guna memberi-kan masumemberi-kan kepada pemerintah tentang kebermanfaatan kurikulum tersebut jika diberlaku-kan pada tahun ini. Banyak praktisi yang memikirdiberlaku-kan nasib keilmuan yang mereka tekuni selama ini apakah masih digunakan atau tidak, dengan kepentingan yang bermacam-macam dari para pihak sehingga sering menimbulkan kontroversi tentang banyaknya pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum 2013 hanya dibuat untuk kepentingan tertentu atau benar-benar berorientasi pada siswa yang akhirya dapat meningkatkan kualitas peserta didik di sekolah.

Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup ke-hidupan pribadi maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya pemerintah karena diwujud-kan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang meneguhdiwujud-kan pent-ingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di tanah air indonesia. Lalu bagaimanakah kondisi pendidikan Indonesia saat ini? Jika kita melihat dengan kacamata objektivitas, maka akan muncul kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kalau kita melihat perbandingan pendidikan kita dengan negara-negara lain dari waktu ke waktu selalu mengalami penuruan. Hal ini dapat dilihat pada data statistik mengenai pendidikan Indonesia. Di antaranya laporan United Nation Educational,

Scientific, and Cultural (UNESC)yang menyebutkan, bahwa peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari 58 ke 62. Selain itu, daya saing Indonesia menurut World Economic

Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada uru-tan ke-7. Hal ini sebetulnya menunjukkan indikasi adanya ketertinggalan pendidikan kita dari pendidikan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun di kawasan global. Bahkan

secara khusus Bank Dunia (World Bank) mempublikasikan laporan mengenai adanya pening -katan kuantitas pendidikan dan anak yang bersekolah di Indonesia, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan (http://siteresources.worldbank.org).

B. PEMBAHASAN

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Meskipun banyak di antara peserta didik yang memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara peserta didik yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional.Secara faktual, tujuan pendidikan Indonesia sering dibias-kan seturut dengan pandangan umum; demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase

(3)

lulusan, tingginya nilai ebtanas murni, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura per-sonalis) siswa (Kartono,2007). Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills

(di antaranya EQ, karakter, kedisiplinan, semangat juang, dsb), siswa Indonesia masih harus banyak belajar dari negara-negara lain.Mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Bimbingan dan Konseling di Sekolahmerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pendidikan karena di dalam kegiatan pendidikan terdapat pengajaran, pembimbingan maupun pelatihan.

Shertzer dan Stone (dalam Winkel, 2005: 1) mengemukakan bahwa bimbingan ( guid-ance) adalah suatu proses membantu orang-perseorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya. Dalam kerangkaini, maka bimbingan bisa diartikan sebagai pros-es pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan in-dividu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno, 2004: 99). Senada dengan itu, Djumhur dan Moh. Surya (1975:15), berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan un-tuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Den-gan demikian dapat disimpulkan bahwa bimbinDen-gan merupakan kegiatan yang memberikan bantuan pada individu untuk menentukan arah, menemukan jalan ataupun mengambil keputu-san bagi dirinya sesuai maupun oleh lingkungannya.

Sedangkan konseling (counseling) didefinisikan sebagai proses pemberian bantuan

yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien atau konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (Prayitno, 2004: 105). Senada dengan itu,

Winkel (2005:35) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari

(4)

dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konseling adalah usaha membantu konseli atau klien den-gan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus yang dihadapinya dan berujung pada pemecahan masalah tersebut. Jika diambil benang merah antara bimbingan (guidance) dan konseling (counseling), maka bisa dikatakan bahwa masing-masing mempunyai peranan yang khas namun saling melengkapi satu sama lain. Bimbingan lebih bersifat membantu secara preventif (menentukan langkah atau mengambil keputusan ke depan untuk menghindari munculnya masalah atau problem), sedangkan konseling merupakan bantuan yang lebih bersifat represif (mengupayakan solusi setelah mengalami masalah atau problem).

Jika dikaitkan dengan implementasi bimbingan konseling dalam institusi pendidikan, bagaimanakah proses bimbingan konseling yang terjadi di sekolah-sekolah? Jawaban dari per-tanyaan tersebut bisa menjadi sangat beragam dan relatif. Di satu sisi, bisa disebut bimbingan konseling di sekolah dan pendidikan Indonesia sudah terakomodasi dengan baik. Pemerin-tah melalui UU no 20 th 2003 tentang pendidikan nasional menegaskan pentingnya bimbin-gan konseling yang tersirat dalam makna pendidikan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memi-liki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Hal ini menun-jukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap implementasi bimbingan konseling di sekolah. Sehingga ketika ada campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah, bisa dikatakan ada dukungan kuat, karena dalam penerapan bimbingan konseling di sekolah, peran serta pemerintah dan pihak yang berwenang adalah sesuatu yang penting (Tan, 2004: 232).

Akan tetapi, di sisi lain, secara faktual dan aktual, implementasi bimbingan konsel-ing di sekolah belumlah seperti yang diharapkan. Adanya sasaran utama pencapaian standar akademik semisal ujian nasional ataupun kompetensi kognitif lain, terkadang mengabaikan peranan bimbingan konseling. Sementara di lain pihak, ada kecenderungan umum bahwa ter-jadi kerancuan peran bimbingan konseling di sekolah. Peran pembimbing dan konselor den-gan lembaga bimbinden-gan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbinden-gan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi terutama dalam mengembangkan pendidikan karakter yang saat ini didambakan bagi semua pihak, di-tempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa.

Dilihat dari kacamata teoritis maupun empiris, tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan karakter saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak di negeri ini. Untuk

(5)

itu-lah, sejak lebih dari satu tahun ke belakang pemerintah terus berupaya menggulirkan wacana tentang pentingnya penerapan pendidikan karakter di sekolah.Terkait dengan pendidikan di SMP, pada bulan Maret 2010 lalu pemerintah telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul ”Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama”. Sebagai buku terbitan dari lembaga yang paling bertanggungjawab dalam pengembangan pendidikan nasional, buku ini tentu akan menjadi bacaan dan pegangan wajib seluruh stakeholder pendidikan di negeri ini, terutama para praktisi pendidikan di sekolah-sekolah. Jika kita lihat isi buku tersebut terkesan bahwa pengembangan pendidikan karakter di SMP hanya dilakukan melalui 3 (tiga) pendeka-tan, yaitu: (1) pembelajaran; (2) Manajemen Sekolah; dan (3) Ekstra Kurikuler.

Dengan adanya konsep pendidikan karakter, timbul pertanyaan dimanakah sebena-rnya posisi bimbingan dan konseling dalam pengembangan pendidikan karakter? Padahal ka-lau kita meihat konteks yang ada bahwa bimbingan dan konseling sangat kental dengan kara-kter, tetapi seolah-olah terjadi dikotomi antara keberhasilan akademik dengan pembentukan kepribadian. Hal ini kemudian menimbulkan kegelisahan tersendiri, karena sebetulnya bimb-ingan konseling mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Secara nyata, bimbingan konseling mempunyai kaitan erat dengan ketiga hal ini, sehingga bisa dilihat peran bimbingan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Pertama, kaitan antara bimbingan konseling dengan administrasi sekolah, dimana yang dimaksud dengan administrasi sekolah bukanlah aspek tata usaha, melainkan lebih pada aspek manajerial dan kepemimpinan sekolah. Tan (2004: 232) menyebutkan bahwa kesuk-sesan bimbingan konseling juga sangat tergantung pada administrasi, kepemimpinan di seko-lah, dan seluruh sumber daya yang ada di sekolah. Secara khusus bimbingan konseling dan administrasi sekolah mempunyai hubungan yang bersifat mutualistik. Administrasi sekolah membutuhkan bimbingan konseling dalam hal masukan, saran-saran, dam laporan-laporan yang terutama berkaitan dengan kebutuhan siswa, tujuannya adalah supaya terjadi

pening-katan mutu dan layanan yang diberikan pihak sekolah terhadap siswa (Winkel, 2005: 85).

Dengan melakukan bimbingan dan konseling pada siswa, pihak BK diharapkan mengerti dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswa secara komperehensif untuk disampaikan pada pihak sekolah. Sedangkan bimbingan konseling juga terutama membutuhkan dukungan dan antusiasme dari pihak administrator sekolah baik dalam segi moral, etika, fasilitas, maupun profesionalitas. Dua kaitan ini sebenarnya mengindikasikan diperlukannya bimbingan konsel-ing dalam hal menkonsel-ingkatkan kualitas layanan sekolah bagi siswa, baik dalam hal pendidikan maupun aspek pelayanan yang lainnya (afektif, psiko-sosial,dsb).

Kedua, kaitan antara bimbingan konseling dengan aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah identik dengan kurikulum yang ada, dimana kemudian tujuannya adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa.

(6)

Se-dangkan bimbingan konseling membantu siswa untuk meresapi pengalaman belajar tersebut. Dengan kata lain, bidang pengajaran menyajikan pengalaman belajar, sedangkan bimbingan

konseling mengajak siswa untuk merefleksikan pengalaman belajar itu dalam konteks per

-sonal dan sosialnya (Winkel, 2005: 89). Artinya dengan masukan dari bimbingan konseling,

kurikulum bisa menjadi lebih personal bagi siswa. Bimbingan konseling juga dapat membantu peningkatan aspek pengajaran dan pembelajaran dalam hal pengembangan kurikulum (agar sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas siswa) dan juga dalam penentuan penjurusan siswa, terutama agar penjurusan siswa tidak hanya didasarkan pada hasil tes IQ semata, tetapi juga memperhitungkan aspek minat, bakat, psikologis, dan kompetensi siswa.

Ketiga, keterkaitan antara bimbingan konseling dengan siswa. Dimana sesungguhnya, bimbingan konseling punya peran besar dalam meningkatkan kualitas siswa. Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari bimbingan dan konseling di sekolah yakni untuk membantu individu (siswa) mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predispo-sisi yang dimilikinya (seperti: kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti: latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pan-dangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya (Prayitno, 2004: 114). Bimbingan konseling bertugas untuk mem-bantu siswa dalam hal perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis), menge-nal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu, serta mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah atau hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup (Kartono, 2007).

Dengan mengenal dan memahami siswa secara personal, psikologis maupun sosial, maka bimbingan konseling mengakomodasi keberagaman siswa, serta membantu siswa untuk mengalami pembelajaran yang terkait dan relevan dengan kehidupan mereka, dimana hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang kontekstual (Johnson, 2008: 21). Bimbingan konseling juga membantu siswa menemukan kapabilitas dan kecerdasannya masing-masing tanpa diukur hanya dari IQ sebagai harga mati. Karena di dalam masing-masing siswa setida-knya tersimpan delapan kecerdasan dasar yang bisa dioptimalkan dengan bantuan bimbingan konseling.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan ke-mampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

(7)

mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya po-tensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.

Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuk-sesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem pena-naman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, ke-sadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehing-ga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau penge-lolaan mata pelajaran, pengepenge-lolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dil-ihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP) apalagi berkembangnya kurikulum 2013 ini yang ingin mengedepankan pendidikan karakter sebagai tolok ukur keberhasilan peserta didik, dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan sebenarnya dapat dicapai dengan baik.

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dan secara lebih operasional UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU ini

(8)

belajar, widyaiswara, tutor, instruktur dan fasilitator (Pasal 1 Butir 6 UU No.20/2003). Pada

satuan pendidikan dasar dan menengah (sekolah/ madrasah) berkinerja pendidik yang disebut guru, guru BK atau konselor (sesuai dengan penyebutan yang ada secara eksplisit pada PP No. 74/ 2008 tentang Guru). Yang dimaksud guru BK di sini adalah pendidik yang berstatus guru yang ditugaskan menyelenggarakan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK), sedangkan Konselor adalah pendidik yang sudah menyandang gelar profesi Konselor, yaitu gelar yang diperoleh setamat dari Pendidikan Profesi Konselor (PPK) yang selama ini telah terselenggara di beberapa LPTK.

Dalam hal ini, di sejumlah sekolah/ madrasah di Indonesia telah bertugas pendidik yang bergelar Konselor. Dengan demikian kurikulum yang dikembangkan perlu mengefek-tifkan tenaga pendidik tersebut di sekolah/ madrasah (yaitu guru, guru BK atau Konselor). Hal ini telah dengan sangat bijak dikemukakan pada PP No. 74/ 2008 tentang Guru yang sekaligus mencantumkan keberadaan guru, guru BK atau Konselor. Guru BK secara eksplisit dicantumkan karena kondisi sekarang memang jumlah Konselor (tamatan program PPK) be-lum memadai, sehingga untuk penyelenggara BK masih kebanyakan ditugaskan kepada guru (yang selanjutnya disebut guru BK). Keberadaan Konselor disebutkan secara eksplisit dalam PP tersebut mengacu kepada kondisi ke depan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 20/ 2003 yaitu bahwa pendidik profesional penyelenggara pelayanan BK adalah Konselor. Sesuai dengan landasan operasional dan amanat UU serta PP di atas jelaslah bahwa pelayanan BK se-harusnyalah diselenggarakan di sekolah/ madrasah seiring dengan diberlakukannya kurikulum pada satuan pendidikan tersebut. Menurut Prayitno (2012) dalam kaitannya dengan pengem-bangan Kurikulum 2013 yang direncanakan akan segera diberlakukan, pelayanan BK yang dimaksud akan memperkuat kurikulum baru itu; oleh karenanya keberadaan pelayanan BK tersebut perlu mendapat tempat dan arahan operasional yang eksplisit jelas dan terukur. Hal ini semua diperlukan untuk menyukseskan kurikulum baru yang dimaksud dalam pengembangan potensi peserta didik secara optimal, sesuai dengan fokus pengembangan upaya pendidikan yaitu dikuasainya oleh peserta didik kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepriba-dian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang berguna bagi peserta didik, masyarakat, bangsa dan Negara (Pasal 1 Butir 1 UU No. 20/2003).

Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendi-dikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kement-erian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan.

(9)

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidi-kan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas wak-tu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum mem-berikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan kara-kter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terha-dap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk men-gatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.Pendidikan karakter bertu-juan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang men-garah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter di-harapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuan-nya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyara-kat luas.

(10)

Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi bu-daya sekolah.Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk ber-hasil secara akademis.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang pa-dat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah dan pentingnya BK dalam pengembangan karakter siswa juga perlu mendapatkan tempat yang layak dan memadai agar dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan dari pendidikan nasional.

Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan,sesuai den-gan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks yang lebih luas yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

C. KESIMPULAN

Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan pribadi maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya pemerintah karena diwu-judkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang meneguhkan pentingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di tanah air indonesia.Kualitas

(11)

pendi-dikan di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Meskipun banyak di antara peserta didik yang memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara peserta didik yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional. Mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam pening-katan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningpening-katan kualitas pen-didikan Indonesia. Bimbingan konseling adalah sebuah layanan yang berorientasi pada siswa. Bimbingan konseling berusaha memahami keberadaan dan kebutuhan siswa, serta membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Thomas, 2004. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences dalam Pendidikan. Bandung: Kaifa.

Depdiknas RI, 2008, PenataanPendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Ditjen PMPTK, 2007, Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Coun-seling). Bandung : CV Ilmu.

Kartono, ST, 2007. ”Perlunya Bimbingan Konseling”. Didaktika (online). Tersedia:http:// qodrat.wordpress.com/2007/10/03/pentingnya-bimbingan-konseling-oleh-st-kartono dalam-didaktika/

Permendiknas RI, 2008, Nomor 27 tentang Standar Kualifikasi akademik dan Kompetensi

Konselor.

Prayitno, & Erman Amti, 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka

Cipta.

Tan, Esther, 2004. Counselling in Schools: Theories, Processes dan Techniques Singapore : Graw Hill.

Winkel, W.S. & M.M. Sri Hastuti, 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.

Yogyakarta: Media Abadi.

---, 2002. ”Laporan Peningkatan Kualitas Pendidikan”. World Bank (online).

Referensi

Dokumen terkait

(3) Gaji dan penghasilan lain para anggota Direksi ditetapkan oleh Menteri dengan mengingat ketentuan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang- undang. Anggota

Pengelolaan barang milik daerah merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah.. Oleh karena itu, pengelolaan barang milik daerah yang baik akan mencerminkan

Dalam penelitian ini apakah variabel tersebut berpengaruh terhadap underpricing dan apakah variabel Return On Asset (ROA), Total Asset Turnover dan Tingkat bunga sertifikat

RANCANG BANGUN SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK MENILAI ASPEK KECERDASAN CALON KEPALA DAERAH DENGAN METODE PROFILE MATCHING!. Universitas Pendidikan Indonesia |

Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan, semangat, sikap dan perilaku seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (created new and different), melalui

To handle failures of nodes, HDFS effectively uses data replication of file blocks across multiple Hadoop cluster.. nodes, thereby avoiding any data loss during

Penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan, apakah dengan penerapan metode Team Game Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi

Dapat diamati pada tabel bahwa setelah 20 hari jumlah kalus yang terbentuk pada media dengan gula pasir dan sukrosa memberikan hasil yang lebih besar dan tidak berbeda nyata satu