• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol XI Nomor 1 Januari Jurnal Medika Respati ISSN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol XI Nomor 1 Januari Jurnal Medika Respati ISSN :"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN HDR SITUASIONAL DAN

KETIDAKBERDAYAAN MELALUI PENDEKATAN KONSEP

STRES ADAPTASI STUART DI RSUP PERSAHABATAN, JAKARTA

Wahyu Rochdiat M

1

Budi Anna Keliat

2

Ice Yulia W

3 Email : dhionawesome@yahoo.co.id

Abstrak

Klien dengan penyakit fisik yang dirawat di rumah sakit umum memiliki risiko untuk mengalami masalah psikososial HDR situasional dan ketidakberdayaan. Harga diri rendah situasional adalah perkembangan dari persepsi yang negatif dari berharganya diri dalam merespon situasi terkini, sedangkan ketidakberdayaan diartikan sebagai persepsi kurangnya kontrol atas situasi saat ini. Liaison nurse dan perawat ruangan bekerja sama memberikan asuhan keperawatan yang berkelanjutan pada klien HDR situasional dan ketidakberdayaan dengan menggunakan Konsep Stres Adaptasi Stuart dan Consultation Liaison Mental Health Nurse (CLMHN). Setiap kelompok klien mendapatkan tiga paket tindakan keperawatan. Paket tindakan pertama adalah tindakan keperawatan generalis ditambah terapi kognitif, paket kedua terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan logoterapi, sedangkan paket terakhir merupakan kombinasi tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan logoterapi. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa paket tindakan ketiga paling efektif pada 41 klien serta dapat meningkatkan kemampuan klien dan keluarga dalam mengatasi masalah. Rekomendasi dari laporan ini adalah penggunaan terapi kognitif dan logoterapi dapat menjadi standar terapi spesialis keperawatan jiwa pada klien HDR situasional dan ketidakberdayaan.

Kata kunci :

Terapi Kognitif, Logoterapi, Harga Diri Rendah Situasional, Ketidakberdayaan, Konsep Stres Adaptasi Stuart, Consultation Liaison Mental Health Nurse

Abstract

Client with physical disease who’s nursed at general hospital had risk of having situasional low self esteem and powerlessness. Situasional low self esteem is development of a negative perception of self-worth in response to current situation, while powerlesness is perception of a perceived lack of control over of current situation. Liaison and general nurse working together to give continous nursing care to client with situational low self esteem and powerlessness using Stuart Stres Adaptation and Consultation Liaison Mental Health Nurse (CLMHN) concept. Each gorup of client has been given three therapy package. First package are general and cognitive therapy, second package are general and logo therapy, while the third are consists of general, cognitive and logo thearpy. The results showed that the third package of therapy had most effective at 41 clients and also could improve the ability of client and family to overcome the problem. Based on the result, it’s important to recommended that cognitive and logo therapy can be made standard of therapy of nursing specialist to client with situational low self esteem and powerlessness.

Key Words :

Cognitive therapy, Logo therapy, Situational low self esteem, Powerlesness, Stuart Stres-Adaptation, Consultation Liaison Mental Health Nurse

PENDAHULUAN

Manusia merupakan mahluk yang holistik. Setiap

individu memiliki aspek biologis (fisik),

psikologis (emosi) dan sosial dimana semua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam menentukan status kesehatan individu. Hal ini berarti bila keadaan fisik dari individu terganggu,

maka kondisi psikologis dan sosial dapat terganggu. Seseorang yang menderita penyakit fisik sering disertai dengan gangguan psikososial dan hal ini merupakan masalah yang serius dalam perawatan kesehatan karena akan mengganggu proses penyembuhan penyakit (Kongable, 2007 dalam Keltner, 2010). Masalah psikososial yang

(2)

terjadi pada individu dengan penyakit fisik dapat bermacam-macam jenisnya.

World Health Organization (WHO) memaparkan secara rinci tentang prevalensi terjadinya depresi pada klien dengan penyakit fisik. Tuberculosis (TBC) menempati peringkat pertama dengan prevalensi depresi pada penderitanya sebanyak 46%, diikuti dengan HIV/AIDS (44%), kanker (33%), stroke (30%) dan DM sebesar 27% (WHO, 2003). Prevalensi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia seperti yang dipaparkan oleh Departemen Kesehatan RI melakukan riset kesehatan dasar. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya gangguan mental emosional pada penduduk usia lebih dari 15 tahun di Indonesia sebesar 11,6%.

Klien yang memiliki penyakit fisik mengalami masalah psikososial yang akan menghambat proses kesembuhannya. Hal ini patut menjadi perhatian bagi perawat yang bekerja di rumah sakit umum untuk melakukan asuhan keperawatan secara holistik. Penatalaksanaan proses asuhan keperawatan yang berlangsung secara terus menerus dan holistik selama klien dirawat di rumah sakit umum dapat dilakukan dengan

menggunakan manajemen pelayanan

keperawatan jiwa di rumah sakit umum yang terintegrasi dengan konsep Consultation Liaison Mental Health Nursing (CLMHN). Liaison nurse merupakan perawat dengan keahlian (spesialisasi) di bidang keperawatan jiwa yang memfokuskan perawatan pada klien yang dirawat di rumah sakit umum.

Liaison nurse bekerja sama dengan perawat ruangan dan tenaga kesehatan lain dalam merawat

klien. Kerja sama tersebut membutuhkan suatu proses manajemen keperawatan jiwa. Proses manajemen tersebut menggunakan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) dengan empat pilar profesional untuk melaksanakannya (Keliat, 2010). Pada pilar IV terintegrasi konsep CLMHN

dimana Liaison nurse melakukan asuhan

keperawatan.

Asuhan keperawatan yang dilakukan oleh Liaison nurse menggunakan konsep Stres Adaptasi Stuart. Klien yang dirawat di rumah sakit umum melakukan adaptasi atau berespon terhadap stresor presipitasi yang dihadapi. Respon terhadap stresor menunjukkan tanda dan gejala masalah psikososial. Kemampuan untuk beradaptasi klien dipengaruhi oleh kondisi masa lalu klien (stresor

predisposisi) sebelum mengalami stresor

presipitasi dan kemampuan yang dimiliki oleh klien untuk melakukan pemecahan masalah (sumber koping). Kedua hal ini menentukan usaha untuk memecahkan masalah yang dipakai oleh klien (Stuart, 2009).

BAHAN DAN METODE

Penulis sebagai calon spesialis keperawatan jiwa telah menerapkan konsep Stres Adaptasi Stuart dan Liaison nurse saat melakukan praktek residensi selama sembilan minggu di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas RSUP Persahabatan dari tanggal 20 Februari sampai 20 April 2012. Konsep Liaison nurse digunakan penulis untuk melakukan asuhan keperawatan psikososial pada klien dengan penyakit fisik dan juga untuk melatih perawat ruangan dalam melakukan manajemen

keperawatan sehingga menghasilkan

penatalaksanaan proses keperawatan yang holistik dan terus menerus.

(3)

Penyakit fisik yang paling banyak terjadi pada klien kelolaan adalah DM, PPOK dan TB Paru. Diabetes melitus dan PPOK merupakan contoh penyakit kronis sedangkan TB Paru bila tidak mendapatkan terapi pengobatan yang tepat akan menjadi penyakit yang susah disembuhkan. Kedua hal ini menurut Ford dkk (2004) dapat menyebabkan gangguan mood seperti depresi. Depresi merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya afek depresif,

kehilangan minat, berkurangnya energi,

menurunnya aktivitas, konsentrasi berkurang, harga diri berkurang, adanya gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, serta tidur dan makan yang terganggu (Maslim, 2002). Dari tanda dan gejala tersebut, diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada klien depresi adalah harga

diri rendah (HDR) situasional dan

ketidakberdayaan. Hal ini terlihat pada hasil praktik residensi bahwa sebesar 41 orang mengalami ketidakberdayaan dan 41 orang juga mengalami HDR situasional. Penulis sebagai

perawat Liaison bersama perawat ruangan

kemudian melakukan tindakan keperawatan generalis dan terapi spesialis untuk mengatasi kedua diagnosis keperawatan tersebut.

Tindakan keperawatan generalis dilakukan oleh penulis dengan bantuan perawat ruangan pada semua klien yang terdiagnosis memiliki HDR situasional dan ketidakberdayaan, sedangkan terapi spesialis dilakukan oleh penulis sebagai Liaison nurse. Terapi spesialis yang dilakukan oleh penulis pada klien dengan HDR situasional dan ketidakberdayaan antara lain terapi kognitif dan logoterapi.

Hasil dari terapi yang dilakukan pada klien kelolaan menunjukkan bahwa tanda dan gejala

HDR situasional dan ketidakberdayaan pada klien sebagian besar mengalami penurunan. Selain itu, kemampuan klien dan keluarga untuk mengatasi

HDR situasional dan ketidakberdayaan

mengalami peningkatan. Berdasarkan latar

belakang yang telah diuraikan, penulis bermaksud untuk melaporkan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan HDR

situasional dan ketidakberdayaan dengan

menggunakan terapi kognitif dan logoterapi di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas RSUP Persahabatan.

HASIL

1. Hasil Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas RSUP Persahabatan

Penulis selama melakukan praktik residensi juga melakukan pelatihan MPKP kepada perawat ruangan sebanyak lima orang di masing-masing ruangan sehingga diharapkan pelaksanaan asuhan keperawatan psikososial tidak hanya dilakukan saat penulis praktik tetapi juga dilakukan secara berkelanjutan. Pelatihan dilakukan pada beberapa kegiatan empat pilar profesional MPKP antara lain pembuatan rencana harian, alokasi klien, operan, pre conference, post conference, dan patient care delivery.

Hasil dari pelatihan pada pembuatan rencana harian adalah perawat di kedua ruangan masih belum membuat rencana harian sesuai standar setiap hari. Rencana harian yang dibuat pun masih belum mengikuti format yang sudah dibuat. Perawat ruangan masih perlu diingatkan untuk membuat rencana harian yang sesuai dengan standar. Hal ini membuat asuhan keperawatan

(4)

Liaison nurse terhadap klien HDR situasional dan ketidakberdayaan belum terorganisir.

Kegiatan yang dilakukan oleh penulis adalah melatih perawat ruangan untuk membuat alokasi klien dengan menggunakan format yang sudah baku. Hasilnya adalah pembuatan alokasi klien masih belum bisa dibudayakan. Hal ini dikarenakan belum sadarnya perawat tentang pentingnya alokasi klien. Perawat di kedua ruangan memiliki masalah yang sama dimana perawat sulit melakukan alokasi klien karena jumlah perawat yang sangat kurang bila dibandingkan dengan jumlah klien.

Hasil pelatihan kegiatan operan dari penulis menunjukkan bahwa operan di kedua ruangan sudah mulai membudaya dan mendekati standar.

Operan sudah memasukkan diagnosis

keperawatan dan tindakan keperawatan yang akan dilakukan di shift berikutnya. Hal ini tentunya

mempermudah Liaison nurse untuk mengoperkan

hasil asuhan keperawatan kepada klien HDR situasional dan ketidakberdayaan serta tindak lanjutnya di shift berikutnya.

Penulis kemudian melakukan tindakan pelatihan dan role model pelaksanaan pre conference dan post conference di kedua ruangan. Hasilnya adalah kegiatan pre conference sudah membudaya dilakukan tetapi kegiatan post conference belum dapat dilakukan. Kondisi ini membuat hasil tindakan keperawatan yang sudah dilaksanakan di sepanjang shift tidak dapat terevaluasi dengan baik.

Hasil pelatihan dan pendampingan pada kegiatan patient care delivery perawat di kedua ruangan menunjukkan hasil bahwa kualitas asuhan

keperawatan psikososial untuk diagnosis

keperawatan ansietas, gangguan citra tubuh, HDR situasional, ketidakberdayaan dan keputusasaan meningkat setelah dilatih oleh penulis, namun dirasakan belum membudaya selama 9 minggu penulis praktik residensi dengan alasan beban kerja yang tinggi antara kegiatan manajerial dengan asuhan keperawatan. Hal ini akhirnya membuat klien tidak dirawat secara holistik khususnya pada klien HDR situasional dan ketidakberdayaan.

2. Hasil Asuhan Keperawatan pada Klien HDR Situasional dan Ketidakberdayaan Persentase terbesar rentang usia klien kelolaan adalah pada usia dewasa (21-60 tahun) sebesar 78%. Proporsi jenis kelamin klien didominasi jenis kelamin laki-laki (65,9%) dan sebanyak 20 orang (48,8%) klien tidak memiliki pekerjaan. Persentase terbanyak pendidikan klien adalah SMA (29,3%) sedangkan sebanyak 30 orang klien (73,1%) memiliki status pernikahan menikah. Stresor predisposisi biologi yang dominan dengan persentase lebih dari 50% adalah riwayat menderita penyakit kronis (70,7%), riwayat rumah sakit berulang (68,3%) dan riwayat putus obat (64,3%). Stresor predisposisi psikologis yang paling dominan adalah kesedihan klien yang berkepanjangan sehubungan dengan penyakit yang tidak sembuh-sembuh (95,1%) sedangkan stresor predisposisi sosial yang paling sering disampaikan oleh klien kepada penulis sebagai Liaison nurse adalah status ekonomi yang rendah (61%).

Stresor presipitasi biologis yang paling sering dikeluhkan oleh klien kepada penulis adalah adanya kondisi tubuh sehubungan dengan penyakitnya (97,5%). Stresor psikologis yang paling banyak dirasakan oleh klien adalah

(5)

kecemasan tentang biaya rawat di rumah sakit. Sebanyak 32 klien mengeluhkan kecemasan

tentang biaya rawat inap yang harus

ditanggungnya sebagai ancaman yang

membutuhkan energi yang besar (78%). Stresor sosial yang sering dirasakan adalah pengalaman hospitalisasi yaitu sebanyak 20 klien (48,8%). Asal stresor yang paling banyak adalah berasal dari dalam diri sendiri (100%). Waktu terjadinya stresor yang paling banyak dinyatakan oleh klien adalah antara waktu 1-6 bulan (56,1%), sedangkan jumlah stresor yang paling banyak dirasakan oleh klien adalah 3 stresor (48,7%). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa sebanyak 31 klien mengalami HDR situasional. Respon kognitif klien HDR situasional terbanyak adalah pikiran bahwa dirinya tidak berguna atau tidak berharga semenjak sakit dan pikiran bahwa dirinya tidak pantas mendapatkan penyakitnya (75,6%). Respon fisiologis yang paling sering dirasakan oleh klien adalah gangguan pola makan (63,4%), sedangkan respon afektif yang paling dominan berupa rasa malu yang dialami oleh 31 klien (75,6%). Respon perilaku klien yang paling banyak berupa kontak mata yang kurang dialami 31 klien (75,6%), sedangkan respon sosial yang paling banyak ditunjukkan oleh klien adalah kurang berinteraksi dengan klien lain (68,3%). Hasil pengkajian juga menunjukkan bahwa sebanyak 31 klien mengalami HDR situasional.

Respon kognitif terhadap stresor yang

ditunjukkan 31 klien (75,6%) adalah sulit mengambil keputusan, berpikir bahwa dirinya lemah dan berpikir bahwa tindakan keperawatan yang dilakukan tidak atau sedikit bermanfaat. Respon fisiologis yang paling sering dikeluhkan oleh klien adalah gangguan pola makan, yaitu

sebanyak 26 klien dari 41 klien (63,4%), sedangkan respon afektif yang selalu dirasakan oleh klien adalah adanya perasaan sedih dan tidak berdaya sehubungan dengan perawatan yang harus dia terima (75,6%). Respon perilaku yang paling sering ditampakkan adalah kurangnya terlibat dalam aktivitas perawatan (75,6%) sedangkan respon sosial yang paling dominan adalah kurang berinteraksi dengan klien lain (25 orang atau 60,9%).

Untuk kemampuan mengatasi masalah pada klien dan keluarga menunjukkan bahwa baik klien HDR situasional maupun ketidakberdayaan tidak satupun klien yang memiliki kemampuan mengatasi masalah. Kemampuan keluarga yang paling banyak ditunjukkan oleh keluarga adalah kemampuan menggunakan pelayanan kesehatan. Penulis menemukan diagnosis DM, TB Paru dan PPOK sebagai diagnosis medis yang paling banyak di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas. Empat puluh satu klien yang menderita DM, TB paru dan PPOK ada sepuluh klien yang memiliki diagnosis keperawatan HDR situasional saja. Sepuluh klien lainnya ditemukan mengalami masalah ketidakberdayaan saja saat dirawat di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas RSUP Persahabatan, sedangkan sebanyak 21 klien mengalami tidak hanya HDR situasional tetapi juga ketidakberdayaan.

Klien kelolaan dibagi menjadi tiga kelompok kecil oleh penulis. Ketiga kelompok klien tersebut adalah: kelompok klien yang memiliki diagnosis keperawatan HDR situasional saja, kelompok klien yang memiliki diagnosis keperawatan ketidakberdayaan saja dan kelompok klien dengan diagnosis keperawatan HDR situasional dan

(6)

ketidakberdayaan. Masing-masing kelompok akan mendapat paket tindakan keperawatan. Paket tindakan keperawatan pertama adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan terapi kognitif. Paket tindakan keperawatan kedua adalah tindakan keperawatan

generalis (klien dan keluarga) dan logoterapi. Paket tindakan keperawatan ketiga adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga), terapi kognitif dan logoterapi. Tabel 1 menunjukkan distribusi penatalaksanaan paket terapi terhadap ketiga kelompok.

Tabel 1. Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada

Klien HDR situasional dan ketidakberdayaan Di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari - 20 April Tahun 2012 (n=41) Diagnosis Keperawatan Generalis + T.Kognitif (Paket 1) Generalis + Logo (Paket 2) Generalis + T. Kognitif + Logo (Paket 3) Jumlah a. HDR Situasional (Kelompok 1) 4 2 4 10 b. Ketidakberdayaan (Kelompok 2) 3 4 3 10

a. HDR Situasional dan Ketidakberdayaan

(Kelompok 3) 5 5 11 21

Jumlah Total Klien 12 11 18 41

Sumber: data primer

Evaluasi keperawatan dilakukan pada semua

kelompok klien yang masing-masing

mendapatkan tiga paket terapi, sehingga penulis melakukan evaluasi seluruhnya pada

sembilan kelompok kecil. Kesembilan

kelompok kecil tersebut dievaluasi dengan membandingkan tanda gejala sebelum dan

sesudah dilakukan paket tindakan

keperawatan. Selain itu, evaluasi juga

dilakukan dengan membandingkan

kemampuan klien dan keluarga sebelum dan

sesudah dilakukan paket tindakan

keperawatan. Tabel 2 menunjukkan distribusi rata-rata kriteria evaluasi pada kelompok

klien yang memiliki diagnosis HDR

situasional saja setelah mendapat ketiga paket tindakan.

Tabel 3 memperlihatkan distribusi rata-rata kriteria evaluasi pada kelompok klien yang memiliki diagnosis ketidakberdayaan saja setelah mendapat ketiga paket tindakan, sedangkan tabel 4 menunjukkan distribusi rata-rata kriteria evaluasi pada kelompok

klien yang memiliki diagnosis HDR

situasional dan ketidakberdayaan setelah mendapat ketiga paket tindakan.

(7)

Tabel 2. Distribusi Rata-Rata Kriteria Evaluasi pada Kelompok Klien dengan HDR Situasional Setelah Mendapatkan Paket Tindakan Keperawatan di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas

RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012

N

o Kriteria Evaluasi

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3

pre post pre post pre post

% % % % % %

Respon terhadap Stresor

1 Kognitif 100 0 100 33 100 0

2 Fisiologis 100 33 100 33 100 8

3 Afektif 100 25 100 25 100 0

4 Perilaku 92 17 83 50 100 8

5 Sosial 75 8 50 17 92 8

Kemampuan Mengatasi Masalah

1 Kemampuan Klien 16 100 0 50 0 100

2 Kemampuan Keluarga 21 89 14 72 7 82

Sumber: data primer

Tabel 3. Distribusi Rata-Rata Kriteria Evaluasi pada Kelompok Klien dengan Ketidakberdayaan Setelah Mendapatkan Paket Tindakan Keperawatan di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas

RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012

N

o Kriteria Evaluasi

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3

pre post pre post pre post

% % % % % %

Respon terhadap Stresor

1 Kognitif 100 22 100 8 100 0

2 Fisiologis 100 0 100 17 100 22

3 Afektif 100 16 100 38 100 0

4 Perilaku 78 11 50 17 78 0

5 Sosial 78 22 58 22 89 0

Kemampuan Mengatasi Masalah

1 Kemampuan Klien 0 47 5 90 0 100

2 Kemampuan Keluarga 11 78 21 88 22 94

Sumber: data primer

Tabel 4. Distribusi Rata-Rata Kriteria Evaluasi pada Kelompok Klien dengan HDR Situasional dan Ketidakberdayaan Setelah Mendapatkan Paket Tindakan Keperawatan di Ruang Dahlia Atas

dan Soka Atas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012

N

o Kriteria Evaluasi

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3

pre post pre post pre post

% % % % % %

Respon terhadap Stresor

1 Kognitif 96 36 96 24 94 0

2 Fisiologis 67 20 60 7 67 9

3 Afektif 100 20 100 10 100 11

4 Perilaku 85 15 85 10 93 9

5 Sosial 67 7 53 7 52 9

Kemampuan Mengatasi Masalah

1 Kemampuan Klien 4 56 3 75 0 90

2 Kemampuan Keluarga 9 58 9 71 9 74

Sumber: data primer

Hasil evaluasi pada kelompok klien HDR situasional menunjukkan bahwa terapi kognitif mampu menurunkan respon kognitif pada klien,

sedangkan secara keseluruhan tindakan

keperawatan paket tiga menunjukkan hasil yang paling besar dalam penurunan rata-rata respon pada

klien HDR situasional begitu pula dalam

(8)

klien yang memiliki diagnosis ketidakberdayaan saja dan kelompok klien dengan dua diagnosis yaitu

HDR situasional dan ketidakberdayaan,

menunjukkan hasil evaluasi bahwa tindakan keperawatan paket tiga menghasilkan penurunan

rata-rata respon dan peningkatan rata-rata

kemampuan yang paling besar dibandingkan paket satu dan paket dua.

PEMBAHASAN

Usia klien yang dikelola oleh penulis selama praktik residensi didominasi oleh klien dengan usia dewasa (21-60 tahun). Tugas perkembangan pada usia ini

adalah mencapai intimasi dan generativitas

(Ericksson, 1973 dalam Fontaine, 2009). Kondisi-kondisi yang dihadapi oleh klien dengan DM, TB Paru dan PPOK seperti waktu perawatan yang lama

dan komplikasi yang dihadapi oleh klien

menyebabkan klien pada usia dewasa gagal

mencapai tugas perkembangannya sehingga

berisiko mengalami masalah psikososial seperti harga diri yang rendah dan merasa tidak berdaya dengan kondisi fisiknya.

Jenis kelamin laki-laki mendominasi prosentase klien kelolaan. Laki-laki terbiasa berperan sebagai seorang yang dominan dan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat maupun lingkungan sosialnya (Townsend, 2009). Kondisi sakit akibat penyakit kronis dan penyakit yang memiliki waktu terapi jangka panjang seperti DM, TB dan PPOK dapat menyebabkan penurunan

kemampuan kemampuan laki-laki dalam

mengambil keputusan dan mengurangi perannya secara sosial. Hal ini membuat klien merasakan harga diri rendah dan ketidakberdayaan.

Ketiadaan pekerjaan yang dialami sebagian besar klien menyebabkan klien merasa tergantung kepada orang lain karena dia tidak punya uang yang cukup

diperparah dengan kondisi sakit kronis dan perawatan jangka panjang pada klien DM, TB paru dan PPOK yang tentu saja membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga menyebabkan klien menjadi tidak berdaya.

Tingkat pendidikan klien didominasi pendidikan menengah ke bawah. Kelompok orang yang diukur berdasarkan stratifikasi sosialnya seperti jenjang pendidikan memiliki korelasi yang positif untuk mengalami masalah psikososial (Stuart, 2009). Standar yang ditetapkan oleh kelompok sosial mungkin terlalu tinggi bagi kebanyakan klien yang penulis rawat, apalagi klien hidup di ibu kota dengan

tuntutan pendidikan yang tinggi. Hal ini

menyebabkan klien mengalami gangguan pada ideal dirinya yang akan menuntunnya pada jatuhnya harga diri yang dia miliki. Penyakit kronis yang dimiliki semakin menambah hambatan untuk

mencapai ideal dirinya sehingga terjadilah

ketidakberdayaan.

Klien sebagian besar telah menikah. Hal ini ternyata

menyebabkan HDR situasional dan

ketidakberdayaan pada klien dengan penyakit fisik. Kondisi tersebut dapat terjadi karena kombinasi antara penyakit fisik yang dimiliki oleh klien dan status pernikahannya merupakan suatu kejadian

yang menyebabkan stres (Fontaine, 2009).

Pernikahan berarti klien memiliki pasangan dan mempunyai anak. Keadaan ini menghasilkan tuntutan yang cukup besar bagi klien untuk memenuhi tuntutan tersebut. Penyakit kronis dan perawatan jangka panjang menghalangi klien untuk memenuhi tuntutan dari pasangan dan dari anaknya sehingga konsep diri klien menjadi terganggu. Klien dengan penyakit fisik membawa stresor predisposisi jauh sebelum dia dibawa ke rumah sakit umum. Stresor predisposisi memperbesar risiko bagi klien dengan penyakit fisik untuk mengalami

(9)

inap (Stuart, 2009). Stresor predisposisi yang dibahas dalam laporan ini ternyata mampu menjadikan 41 klien klien kelolaan penulis mengalami HDR situasional dan ketidakberdayaan. Stresor presipitasi merupakan suatu kejadian yang dianggap sebagai ancaman yang besar bagi klien

sehingga dapat menyebabkan stres dan

memunculkan masalah psikososial HDR situasional dan ketidakberdayaan (Stuart, 2009; Townsend, 2009). Saat klien dibawa ke rumah sakit umum, baik di unit pelayanan gawat darurat maupun poliklinik, klien sejatinya sedang mengalami stresor presipitasi. Selain itu, klien juga kemungkinan mendapat stresor presipitasi yang baru berupa pemasangan alat medis, hasil lab yang abnormal, kondisi hospitalisasi dan biaya perawatan. Keadaan ini patut menjadi perhatian bagi perawat di poliklinik dan unit gawat darurat, bahkan penting bagi Liaison nurse untuk segera mengkaji klien di unit ini. Johnston (2008) menjelaskan bahwa semakin cepat Liaison nurse bertemu dan mengkaji klien di setting rumah sakit, maka lama rawat dan kemungkinan muncul masalah psikososial yang berat dapat dikurangi sebanyak 47%.

Laporan ini membahas masalah psikososial HDR situasional dan Ketidakberdayaan yang terjadi pada klien DM, TB paru, dan PPOK yang menjalani rawat inap di ruang Dahlia Atas dan Soka Atas RSUP Persahabatan. Penyakit-penyakit tersebut

telah diteliti dapat menimbulkan masalah

psikososial bagi penderitanya. Solowiecyzk (2010) menyatakan bahwa penderita DM sangat rentan mengalami depresi dimana gangguan konsep diri dan ketidakberdayaan menjadi bagian dari depresi tersebut. Naidoo (2010) dan McNab (2010) mengungkapkan bahwa penderita TB paru dan PPOK mengalami perasaan tidak berdaya dan harga diri yang rendah.

ketidakberdayaan muncul pada klien dengan penyakit fisik karena klien berespon terhadap stresor presipitasi dengan cara yang salah dan klien tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan harga

diri yang positif dan kontrol terhadap

lingkungannya. Selain itu, kemampuan keluarga sebagai pemberi dukungan sosial pada klien juga kurang optimal (Stuart, 2009; Townsend, 2009; Videbeck, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian Smith (2003), bahwa sebesar 20-50% klien yang dirawat inap di rumah sakit umum menunjukkan masalah psikiatrik.

Roberts (1997) dan Sharrock, dkk (2006) menjelaskan bahwa salah satu peran Liaison nurse adalah sebagai pendidik bagi perawat ruangan dalam merawat klien dengan penyakit fisik yang memiliki masalah psikososial. Penulis yang berperan sebagai Liaison nurse telah melatih 5

perawat di masing-masing ruangan untuk

melakukan asuhan keperawatan holistik pada klien. Penulis juga melakukan pelatihan kegiatan MPKP kepada perawat ruangan. Pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang holistik pada klien kelolaan. Proses asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Liaison nurse dan perawat ruangan

bersama-sama melakukan pengkajian stresor

presipitasi dan stresor predisposisi klien saat klien masuk ke ruangan (Sharrock, dkk., 2006). Setelah

menegakkan diagnosis keperawatan HDR

situasional dan ketidakberdayaan, Liaison nurse menetapkan rencana dan dikomunikasikan kepada

perawat. Liaison nurse dan perawat ruangan

bersama-sama melakukan tindakan keperawatan sesuai perannya.

Perawat ruangan melakukan tindakan keperawatan

(10)

yaitu terapi kognitif dan logoterapi. Ada tiga kelompok yang mendapatkan tiga paket tindakan keperawatan. Semua paket tindakan keperawatan

dijaga kontinuitasnya. Kontinuitas asuhan

keperawatan dapat tercapai bila ada komunikasi antara perawat di tiap shift selama 24 jam. Oleh karena itu, diperlukan pelaksanaan pilar profesional dari MPKP jiwa yang telah dilatih oleh Liaison nurse.

Perawat ruangan yang telah dilatih menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga kontinuitas asuhan dengan melakukan operan sesuai standar. Selain menjaga kontinuitas asuhan melalui tindakan operan, perawat ruangan juga harus membuat rencana harian. Dengan adanya rencana harian yang benar diharapkan paket terapi yang sudah direncanakan liaison nurse dapat dilakukan di setiap shift.

Tindakan keperawatan berfungsi untuk menurunkan respon HDR situasional dan ketidakberdayaan klien

serta di waktu yang sama meningkatkan

kemampuan klien dan keluarga untuk memecahkan masalah. Hasil evaluasi dari paket tindakan keperawatan di semua kelompok, didapatkan hasil bahwa berdasarkan jumlah tanda gejala dan

kemampuan setelah mendapatkan tindakan

keperawatan tiga memiliki efek yang lebih besar dalam menurunkan tanda gejala secara keseluruhan. Selain itu, tindakan keperwatan paket tiga juga mampu meningkatkan kemampuan klien dan keluarga mengatasi masalah di semua kelompok. Adaptasi klien dengan penyakit fisik terhadap stresor predisposisi dan presipitasi dipengaruhi oleh kemampuan klien dan keluarga mengatasi masalah HDR situasional dan ketidakberdayaan (Stuart, 2009). Kemampuan klien dan keluarga ini

membantu klien HDR situasional dan

ketidakberdayaan dalam mengatasi dampak dari

dilakukan baik oleh perawat ruangan dan terapi spesialis juga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan klien dan keluarga. Peningkatan yang paling besar ternyata ditunjukkan pada kelompok klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan logoterapi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Seluruh kelompok klien dan mendapatkan tiga paket terapi secara tuntas. Paket pertama adalah tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif, paket kedua terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan logoterapi, sedangkan paket ketiga terdiri dari tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan logoterapi.

Terapi kognitif paling efektif untuk menghilangkan respon kognitif/pikiran negatif pada klien HDR

situasional. Kombinasi terapi kognitif dan

logoterapi paling efektif untuk menurunkan tanda gejala HDR situasional dan Ketidakberdayaan di semua kelompok.

Kombinasi terapi kognitif dan logoterapi paling efektif untuk meningkatkan kemampuan klien dan keluarga untuk mengatasi masalah pada semua kelompok klien. Penerapan manajemen kasus dan pelayanan keperawatan pada klien HDR situasional dan ketidakberdayaan yang diberikan terapi kognitif dan logoterapi menggunakan pendekatan teori stres adaptasi Stuart memberikan dampak yang efektif mengatasi HDR situasional dan ketidakberdayaan. Saran bagi profesi keperawatan spesialis jiwa antara lain: Penggunaan terapi kognitif sebagai terapi spesialis keperawatan jiwa untuk menghilangkan respon kognitif pada klien HDR situasional, penggunaan terapi kombinasi berupa terapi kognitif dan logoterapi untuk mengatasi masalah HDR situasional dan ketidakberdayaan pada klien yang dirawat di rumah sakit umum. Laporan ini juga

(11)

tentang efektifitas penerapan manajemen kasus pada klien HDR situasional dan ketidakberdayaan yang diberikan terapi kognitif dan logoterapi dengan menggunakan pendekatan teori Stres Adaptasi

Stuart. Perawat spesialis jiwa diharapkan

menyelenggarakan pelaksanaan Liaison nurse di semua unit pelayanan rumah sakit umum, terkhusus di unit gawat darurat, poliklinik dan unit rawat inap. Bagi RSUP Persahabatan, penulis menyarankan

untuk meningkatkan dan mempertahankan

pelaksanaan MPKP di ruang Dahlia Atas dan Soka Atas, memfasilitasi sarana dan prasarana untuk pelaksanaan pelayanan keperawatan jiwa termasuk menyediakan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) perawat di rumah sakit umum dalam melakukan asuhan keperawatan psikososial. Selain itu, rumah sakit diharapkan dapat memfasilitasi perawat rumah sakit yang sudah berpengalaman untuk mengikuti pelatihan pemberian asuhan keperawatan psikososial sehingga dapat menjadi role model bagi pelaksanaan asuhan keperawatan yang holistik dan mendukung adanya penerapan pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum

yang bersifat spesialistik melalui program

perencanaan dan pengusulan pengembangan tenaga perawat spesialis jiwa melalui pendidikan formal. Bagi klien dan keluarga diharapkan mampu mempertahankan hasil pelaksanaan terapi yang telah dicapai dan menjadikannya sebagai kemampuan yang membudaya.Klien dengan HDR situasional dan Ketidakberdayaan diharapkan tetap melakukan latihan menggunakan buku kerja atau buku harian yang dimiliki. Terakhir, keluarga diharapkan mampu menerapkan ketrampilan yang telah diajarkan sehingga dapat menjadi social support

kualitas hidup klien.

KEPUSTAKAAN

Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.

Fontaine, KL. (2009). Mental health nursing sixth edition. New Jersey: Prentice Hall.

Ford, J. D., Trestman R. L., Steinberg, K., Tennen, H., & Allen, S. (2004). Prospective association of anxiety, depressive, and addictive disorders with high utilization of primary, specialty and emergency medical care. Social Science & Medicine, 58(11), 2145–2148.

Johnston, ML. (2008). An examination of the services provided by psychiatric consultation liaison nurses in a general hospital. Journal of psychiatric and mental health nursing, 2008,15,500-507.

Keliat. (2010). Modul model praktek keperawatan profesional jiwa (MPKP) jiwa. Jakarta: WHO-FIK UI.

Keltner, NL. (2010). Psychiatric nursing 6th edition.

Evolve learning system: USA

Naidoo, P., Mwaba, K. (2010). Helplessness, depression and social support among people being treated for tuberculosis in south africa. Social behavior and personality journal, 2010, 38(10), 1323-1334.

Roberts, D. (1997). Liaison mental health nursing: Origins, definition and prospects. Journal of andvanced nursing, 1997, 25, 101-108

Sharrock, J. (2006). The mental health nurse: A valuable addition to the consultation-liaison team. International journal of mental health nursing (2006) 15, 35-43.

Solowiejczyk, J. (2010), Diabetes and depression:

some thoughts to think about. Diabetes

spectrum, 23 (1), 11-15,

http://spectrum.diabetesjournal.org/content/23/1 /11.full.

Stuart. (2009). Principles and practice of

psychiatric nursing (9th edition). St Louis: Mosby.

Townsend, M.C., (2009). Psychiatric mental health nursing : concepts of care in evidence based practice pliladephia : Davis Company.

Videbeck, S.L. (2001). Psychiatric mental health nursing (2nd ed). Philadhelpia: Lippincott

Williams & Wilkins.

WHO. (2003). The world health report

(12)

Gambar

Tabel 1. Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada
Tabel 2. Distribusi Rata-Rata Kriteria Evaluasi pada Kelompok Klien dengan HDR Situasional   Setelah Mendapatkan Paket Tindakan Keperawatan di Ruang Dahlia Atas dan Soka Atas

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan alat otomatis infus pasien untuk 10 tetes per menit dari 100 tetes rata-rata dari setiap tetes adalah 5,53 detik per tetes,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pati jagung berpengaruh nyata terhadap tekstur, kadar air, kadar abu, total padatan terlarut, sedangkan

dan hasil tanaman caisin, serta Hasil analisis ragam terhadap untuk mengetahui jenis pupuk jumlah daun baik pada umur 15, 30, organik dan dosis pupuk fosfat alam

Faktor penentu sosial kesehatan fisik dan mental pada populasi orang dewasa yang lebih tua, jaringan sosial yang kuat dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi

Saya hanya ingin mengungkapkan syukur dan rasa penghargaan kepada Pimpinan khususnya Pak Ketua, Pak Irman Gusman telah secara konsisten mendukung saya membawa

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dalam peneleitian ini adalah sebagai berikut: (1) secara umum siswa Kelas XI IPA SMA Negeri di Kota

Penggunaan sukrosa sebagai bahan tambahan dalam pembuatan gula semut bertujuan untuk meningkatkan kandungan sukrosa pada gula merah sehingga dapat mempercepat proses pembuatan

Setelah dilakukan penelitian, peneliti menemukan keunggulan-keunggulan dari strategi active sharing knowledge pada saat proses pembelajaran berlangsung yaitu yang pertama