• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN

HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA

(Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku

Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

SRI NIKMAH

NIM 21106001

JURUSAN SYARI‟AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara:

Nama : Sri Nikmah

NIM : 211 06 001

Jurusan : Syari‟ah

Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah

Judul : PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Keluraha Bugel)

telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.

Salatiga, 28 Februari 2011 Pembimbing

Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si. NIP. 19790930 200312 1 001

(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sri Nikmah

NIM : 211 06 001

Jurusan : Syari‟ah

Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 26 Februari 2011 Yang menyatakan,

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Hidup bermanfaat untuk orang lain….

PERSEMBAHAN

Untuk ayah-ibuku, Untuk suamiku, Untuk abi-umi, Untuk permata hatiku “RAJWA NAILAL AMNI”

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Kelurahan Bugel Salatiga)”, yang merupakan hasil dari studi lapangan di Kelurahan Bugel.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Drs. Mubasirun, M. Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah

3. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Sekretaris Jurusan Syari‟ah

4. Ilyya Muhsin, S.H.I., M. Si, selaku Kaprogdi AS dan pembimbing dalam penulisan skripsi ini.

5. Moh. Khusen, M. Ag., MA dan Evi Ariyani, SH, MH yang turut memberikan masukan-masukan.

6. Teman-teman AS angkatan 2006 dan pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penelitian yang penulis lakukan ini tentu belum sempurna, masih banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak khususnya pembaca selalu penulis harapkan demi kemajuan bagi penulis dikemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(7)

ABSTRAK

Nikmah, Sri. 2011. Perkawinan Lintas Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan

Perundang-Undangan Di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Kelurahan Bugel Salatiga).

Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah. Sekolah TinggiAgama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si.

Kata Kunci: Perkawinan, Lintas Agama, Hukum Islam

Penelitian ini dilakukan guna mengetahui kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel Salatiga. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) bagaimanakah praktek perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel? (2) mengapa perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel? (3) bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka, sehingga mampu bertahan hingga saat ini? (4) bagaimanakah pandangan para tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel? (5) bagaimana tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap praktek perkawinan lintas agama?

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi. Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis dengan cara mengklasifikasikan data sehingga dapat diketahui kekurangan data dan segera berusaha untuk melengkapinya. Setelah semua data terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.

Dalam penelitian ini ada dua pola perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan, perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar.

Kehidupan rumah tangga beda agama di Kelurahan Bugel ternyata harmonis dan ada toleransi yang tinggi antar keluarga. Meskipun menurut para tokoh agama di Kelurahan Bugel perkawinan lintas agama tidak sah karena hubungan mereka dianggap zina. Menurut hukum Islam, praktek perkawinan lintas gama yang terjadi di Kelurahan Bugel adalah tidak sah karena perkawinan yang dilakukan secara Islam kemudian salah satu pasangan murtad dianggap tidak sah. Begitu juga perkawinan yang dilakukan dengan cara Kristen yang kemudian pihak perempuan masuk Islam, dianggap tidak sah dan perkawinan tersebut dapat diputuskan.

(8)

Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan hukum. Selain itu dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu membuka paradigma baru tentang perkawinan lintas agama.

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... .... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... .... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... .... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... .... v

KATA PENGANTAR ... .... vi

ABSTRAK ... .... vii

DAFTAR ISI ... .... ix

DAFTAR TABEL ... .... xii

DAFTAR GAMBAR ... …xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... .... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... .... 1

B. Fokus Penelitian ... .... 5 C. Tujuan Penelitian ... .... 6 D. Kegunaan Penelitian... .... 6 E. Penegasan Istilah ... .... 7 F. Kajian Pustaka ... .... 9 G. Metode Penelitian... .... 12 H. Sistematika Penulisan ... .... 18

(10)

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA

A. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 .... .... 20 B. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI ... .... 28 C. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam ... .... 33 BAB III PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL

A. Letak Geografis dan Kondisi Lingkungan Kelurahan Bugel ... ... 42 B. Struktur Sosial dan Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Masyarakat Kelurahan Bugel ... .... 44 C. Profil Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama.... 47 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA TERHADAP PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL

A. Praktek Perkawinan Lintas Agama ... .... 74 B. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Lintas Agama ... .... 82 C. Konflik dan Akomodasi Nilai Keluarga Pelaku Perkawinan Lintas

Agama ... .... 89 D. Pandangan Tokoh Masyarakat/ Tokoh Agama Terhadap Praktek

Perkawinan Lintas Agama ... .... 97 E. Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan Di Indonesia

Terhadap Perkawinan Lintas Agama ... 105 BAB V PENUTUP

(11)

B. Saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel, Sidorejo Salatiga ... .... 45 Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bugel ... .... 46 Table 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel Sidorejo Salatiga Berdasarkan Agama ... .... 46 Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Lintas Agama ... .... 75 Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian ... .... 82 Tabel 4.3 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti Agama Ibu ... .... 90 Tabel 4.4 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kelurahan Bugel ... .... 44

Gambar 3.2 Kartu Keluarga Untung-Mutiah ... .... 50

Gambar 3.3 Kartu Keluarga Rusdi-Sugini ... .... 54

Gambar 3.4 Kartu Keluarga Kasbiyantoro-Siti ... .... 60

Gambar 3.5 Formulir Kartu Keluarga Masal-Supratini ... .... 65

Gambar 3.6 Kartu Keluarga Tri-Darwati ... .... 70

Gambar 4.1 Akta Nikah Untung Subiyanto dan Mutiah ... .... 76

Gambar 4.2 KTP Untung dan Muntiah Sekarang ... .... 76

Gambar 4.3 Akta Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti Suryati ... .... 77

Gambar 4.4 KTP Kasbiyantoro Sekarang ... .... 77

Gambar 4.5 Akta Perkawinan Tri Antara Ryadi dan Darwati ... .... 78

Gambar 4.6 KTP Darwati dan Tri Sekarang ... .... 78

Gambar 4.7 Akta Perkawinan Rusdi dan Sugini ... .... 80

Gambar 4.8 KTP Rusdi dan Sugini Sekarang ... .... 80

Gambar 4.9 Akta Perkawinan Masal dan Supratini ... .... 81

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing Lampiran 3 Lembar Konsultasi

(15)
(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu tahap kehidupan yang ingin dilalui setiap manusia setelah lahir dan menjadi dewasa. Sudah menjadi kodrat bagi setiap makhluk untuk bisa mempertahankan diri dalam kehidupan. Perkawinan merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan keturunan, bahkan ada ungkapan bahwa wujud cinta manusia yang paling beradab adalah perkawinan.

Pada hakikatnya perkawinan dilakukan untuk menghalalkan hubungan seksual antara dua insan manusia, laki-laki dan perempuan. Walaupun demikian yang diharapkan dari sebuah perkawinan bukan hanya sekedar kehalalan semata, namun juga sebuah kebahagiaan seumur hidup. Membangun rumah tangga yang harmonis dan hidup di lingkungan masyarakat yang sehat merupakan dambaan setiap orang. Sebuah perkawinan merupakan satu peristiwa penting dalam masyarakat, selain menyangkut pribadi suami-istri juga menyangkut keluarga dan masyarakat (Asmin, 1986:11). Dalam kacamata agama perkawinan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat (Nuruddin dan Tarigan, 2006:57).

(18)

Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (KHI Pasal 2). Sedangkan perkawinan menurut agama Hindu adalah sakral dan hanya sah bila sudah dilakukan menurut agama tersebut. Perkawinan seorang Kristen diartikan sebagai suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan cinta Kristus dan Gerejanya (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1981:30-31).

Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa perkawinan erat kaitannya dengan ibadah keagamaan, sehingga tata cara atau aturan pelaksanaannya sangat perlu diperhatikan untuk bisa dikatakan sah. Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Sosroatmodjo dan Aulawi, jika ada pengaruh suatu agama pada isi dan perkembangan suatu peraturan hukum, maka layak apabila pengaruh agama yang paling nampak terdapat pada hukum perkawinan dan kekeluargaan (1981:14).

Karena perkawinan akan mengakibatkan hubungan hukum yang baru antara seseorang dengan negaranya maka aturan tentang perkawinan juga diatur oleh negara. Dengan demikian secara administratif kenegaraan, perkawinan memiliki status legal di mata hukum. Di Indonesia aturan tentang perkawinan muncul dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

(19)

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk menuju sebuah keluarga yang bahagia dan kekal tentu dibutuhkan persamaan pandangan hidup. Mengingat agama sebagai wahyu Tuhan mengandung kebenaran mutlak, yang diyakini paling benar oleh para pemeluknya, agama dijadikan sebagai landasan, pegangan dan pedoman baik dalam melakukan hubungan dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia, termasuk dalam masalah perkawinan (Asmin, 1986:8).

Seperti yang kita ketahui bahwa Islam menghendaki perkawinan dilakukan oleh orang yang seagama, secara teoritis perbedaan agama akan berpotensi menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur‟an surat Al Baqoroh:221 ditegaskan,

































































….

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga….

Pada umumnya setiap agama melarang umatnya melangsungkan perkawinan dengan umat dari agama lain, bila terjadi hal demikian, si pelaku

(20)

akan mendapat sanksi baik dari kalangan seagama maupun keluarganya. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi ringan yaitu celaan sampai sanksi berat berupa pengucilan dari keluarga (Asmin, 1986:8).

KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif bagi umat Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan lintas agama. Pasal 40 KHI menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur adanya perkawinan lintas agama, namun secara tersirat melarang adanya praktek perkawinan lintas agama yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Walaupun sudah ada aturan tegas yang melarang adanya perkawinan lintas agama hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa praktek perkawinan lintas agama terjadi dalam masyarakat, bahkan mereka memiliki akta nikah sebagai bukti legalisasi dari negara. Teknologi komunikasi yang berkembang pesat memungkinkan tidak terbatasnya pergaulan manusia, baik antar ras, golongan, suku maupun agama.

Begitu pula yang terjadi dalam pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Walaupun sudah ada aturan yang melarang terjadinya perkawinan lintas agama, ternyata dalam masyarakat Kelurahan

(21)

Bugel ada yang melakukan perkawinan lintas agama tersebut, bahkan dari mereka sudah menjalani kehidupan rumah tangganya bertahun-tahun dengan perbedaan agama yang ada dalam keluarga mereka. Kesenjangan yang muncul dalam masyarakat inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti perkawinan lintas agama khususnya di Kelurahan Bugel.

B. Fokus Penelitian

Adanya peraturan yang melarang perkawinan lintas agama ternyata belum mampu mencegah praktek perkawinan lintas agama dalam masyarakat. Aturan dalam KHI dan UU Perkawinan yang merupakan hukum positif perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi pedoman bagi lembaga pencatat nikah untuk tidak mencatat perkawinan lintas agama, namun kenyataan dalam masyarakat berkata lain.

Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek yang terjadi dalam masyarakat Kelurahan Bugel inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti perkawinan lintas agama. Bagaimanakah praktek perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel. Mengapa perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel? Bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka, sehingga mampu bertahan hingga saat ini? Dengan adanya praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, bagaimanakah pandangan para tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel? Bagaimana tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap praktek

(22)

perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel? Berbagai pertanyaan di atas adalah hal-hal yang ingin peneliti cari jawabannya dari penelitian ini.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan guna mengetahui proses terjadinya praktek perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan lintas agama, baik faktor eksternal maupun faktor internal. Cara pasangan suami istri mempertahankan perkawinan mereka, cara mereka menyelesaikan masalah, cara mereka mempraktekkan agama mereka masing-masing dalam kehidupan rumah tangga, cara mereka mendidik anak juga merupakan tujuan adanya penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui pandangan tokoh agama maupun tokoh masyarakat yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel tentang adanya praktek perkawinan lintas agama di wilayah mereka. Pandangan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia tentang perkawinan lintas agama pun menjadi penting untuk diketahui dalam rangka menganalisis praktek perkawinan lintas agama. Dengan adanya penelitian ini diharapkan ditemukan fakta-fakta baru yang mampu memberi pemahaman bagi peneliti pada khususnya dan pembaca pada umumnya untuk menyikapi praktek perkawinan lintas agama.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritik

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya tentang bagaimana praktek perkawinan lintas agama terjadi, mengapa

(23)

perkawinan tersebut bisa terjadi, bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka serta bagaimana pandangan tokoh agama di sekitar mereka. Selain itu juga diharapkan menemukan fakta-fakta baru yang sesuai dengan keadaan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama, sehingga hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau usulan dalam membuat kebijakan-kebijakan hukum yang berkaitan dengan perkawinan.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi KUA dan Catatan Sipil

Hasil dari penelitian tentang perkawinan lintas agama ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi KUA dan Kantor Catatan Sipil sebagai lembaga pencatat perkawinan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang akan mencatatkan perkawinannya yang dilakukan secara lintas agama.

b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah

Dengan adanya penelitian terhadap pelaku perkawinan lintas agama ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan produk hukum mengenai perkawinan lintas agama tersebut.

(24)

Perkawinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974). Perkawinan menurut KHI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah, bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah,

mawaddah dan rahmah (KHI Pasal 2). Perkawinan yang dimaksud peneliti

dalam penelitian ini adalah akad antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik dicatatkan di KUA/Kantor Catatan Sipil ataupun tidak.

Lintas agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antar agama yang berbeda.

Jadi perkawinan lintas agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita yang berbeda agama sejak sebelum perkawinan dilangsungkan hingga penelitian ini dilakukan dan salah satunya beragama Islam.

Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fiqh yang digunakan di Indonesia.

Perundang-undangan di Indonesia yang dimaksud adalah aturan yang berlaku di Indonesia mengenai perkawinan, meliputi UU Perkawinan No. 1/1974 dan KHI.

(25)

Dengan demikian perkawinan lintas agama dalam tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita yang berbeda agama sejak sebelum perkawinan dilangsungkan hingga penelitian ini dilakukan dan salah satunya beragama Islam yang dipandang/dinilai menggunakan sudut pandang fiqh dan perundang-undangan di Indonesia.

F. Kajian Pustaka

Fenomena perkawinan lintas agama memang bukan hal yang baru, namun tetap menarik untuk dikaji. Tidak menutup kemungkinan tema penelitian ini sudah ada yang mengkaji, seperti halnya skripsi yang disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar

Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana

pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama (Fuadi, 2006).

Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam

Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam

(26)

muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi, 2004).

Kedua karya di atas merupakan kajian secara pustaka terhadap pendapat seorang tokoh tentang praktek perkawinan lintas agama, sehingga dapat dikatakan sebagai kajian teoritik. Dalam hal ini tentu hanya mempertimbangkan boleh atau tidaknya praktek kawin lintas agama dengan pertimbangan-pertimbangan secara teori dan tidak melihat fakta yang terjadi dalam masyarakat.

Suhadi dalam bukunya Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar

Islam mencoba mengajak mengkaji kawin lintas agama dengan konsep kritik

nalar Arkoun. Menurut Suhadi ideologi dan kepentingan dari konstruksi larangan kawin lintas agama di Indonesia adalah sebagai suatu upaya preventif mengurangi perpindahan agama (Suhadi, 2006:145). Hal ini dibangun dalam suasana perebutan jumlah pemeluk agama, khususnya antara Islam dan Kristen. Konstruksi larangan kawin lintas agama yang berawal dari diskursus sipil bergeser menjadi diskursus kekuasaan, setelah berlangsungnya kontestasi-kontestasi antara Islam politik dan Kristen politik untuk menjadikan Negara sebagai lokus kontestasi (Suhadi, 2006:145). Harapan Suhadi dalam bukunya ini (2006:152) adalah menunjukkan kritik nalar Islam terhadap suatu ketentuan hukum yang tak terkatakan dengan sendirinya oleh cara berpikir

(27)

nalar Islam yang linear. Dalam masalah kawin lintas agama, umat Islam telah lama terkungkung dalam „nalar politik-agama” dalam waktu yang panjang, sehingga sulit untuk menuju “nalar religi” yang lebih jernih. Tidak jauh berbeda dengan kedua karya di atas, buku ini hanya membahas sebatas cara memandang adanya aturan larangan kawin lintas agama di Indonesia. Dengan begitu diharapkan pembaca mampu menilai adanya praktek kawin lintas agama dari sisi yang lain, namun sayangnya dalam buku ini Suhadi belum menjelaskan makna dari “nalar religi” yang ditawarkan olehnya guna menganalisis praktek kawin lintas agama tersebut.

Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian lapangan. Peneliti terjun ke masyarakat untuk melihat dan mempelajari bagaimana perkawinan lintas agama dipraktekkan para pelakunya. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui fenomena riil yang terjadi di masyarakat. Peneliti terinspirasi oleh penelitian yang dilakukan Wahyu Pamungkas dkk yang melakukan penelitian perkawinan lintas agama di Dukuh Banjaran Salatiga. Hanya saja penelitian yang akan dilakukan peneliti berada di Kelurahan Bugel Salatiga. Wahyu Pamungkas dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa praktek perkawinan lintas agama ini dilakukan karena adanya dorongan faktor eksternal seperti faktor ekonomi serta status sosial dan faktor internal seperti pandangan agama serta kebutuhan akan perlindungan (Pamungkas, 2008:59). Akad dalam perkawinan lintas agama yang terjadi di Banjaran dilakukan dengan cara hillah atau salah satu pihak berpindah agama menurut agama pasangannya, walaupun demikian dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap

(28)

mempraktekkan agama semula masing-masing dan mereka mengaku rumah tangga mereka tetap harmonis walaupun berada dalam perbedaan ini.

Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas, peneliti mencoba untuk memfokuskan pada masalah yang telah peneliti jabarkan di latar belakang masalah di atas. Penelitian Pamungkas di atas hanya dilakukan selama satu bulan sehingga belum begitu mendalam penggalian fakta-faktanya dan penelitian tersebut hanya sebagai tugas mata kuliah, untuk itu peneliti berani mengambil tema yang sama. Peneliti berharap dalam penelitian ini nanti dapat menemukan fakta-fakta yang lebih mendalam, sehingga penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Pamungkas. Tidak menutup kemungkinan hasil yang didapat akan berbeda mengingat lokasi penelitian yang berbeda pula.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian kualitatif, karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan lintas agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagaimana perkawinan lintas agama dipraktekkan di dalam masyarakat dan bagaimana kehidupan rumah tangga mereka.

(29)

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dan informan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Bugel, Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Peneliti memilih lokasi ini karena di wilayah Kelurahan Bugel cukup banyak terjadi praktek perkawinan lintas agama, ada sekitar lima pasangan suami istri. Kelurahan Bugel merupakan wilayah yang cukup maju meskipun berada di tepian kota Salatiga. Hal ini ditandai dengan pola kehidupan yang modern, seperti halnya bangunan rumah yang sebagian besar sudah terbuat dari bata, mata pencaharian penduduk sudah beragam bahkan agama yang ada sudah mulai beragam. Di wilayah Keluraha Bugel ini agama Islam adalah agama mayoritas, agama selain Islam biasanya dianut oleh para pendatang baru. Praktek keberagamaan masih sangat kental sehingga menjadi menarik ketika di wilayah Kelurahan Bugel ini ternyata ada pelaku perkawinan lintas agama.

4. Sumber Data

Subjek yang diteliti adalah pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel. Informasi-informasi yang berkaitan dengan praktek perkawinan lintas agama penulis gali dari beberapa informan terkait, yaitu pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama, orang tua atau keluarga pelaku perkawinan lintas

(30)

agama yang tinggal serumah serta tokoh masyarakat/ tokoh agama yang tinggal di wilayah kelurahan Bugel. Untuk mendukung penelitian ini, penulis juga mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen penting yang terkait dengan praktek perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel, yaitu kutipan akta nikah dll.

Tabel 1.1 Informan sekaligus Subjek Penelitian

Tabel 1.2 Informan Lain

Informan Agama Ket.

M. Sungaidi Islam Ketua NU Ranting Bugel Nur Salim Islam Tokoh Agama

M.Toha Islam Tokoh Muhammadiyah

M. Roji Islam Tokoh Agama

Wawan Islam Anak Kasbiyantoro & Siti Suryati

Widi Islam Anak Rusdi & Sugini Ernawati Islam Menantu Untung & Tiah

5. Prosedur Pengumpulan Data

a. Metode Observasi

Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi subjek penelitian.

Informan Suami Agama Istri Agama

I Kasbiyantoro Katholik Sri Suryati Islam

II Rusdi Kristen Sugini Islam

III Untung Kristen Mutiah Islam

IV Tri Islam Darwati Kristen

(31)

Teknik observasi ini merupakan upaya memperoleh data dengan melihat atau mengamati obyek yang diteliti serta melakukan pencatatan terhadap kejadian yang penulis ketahui pada masyarakat Kelurahan Bugel khususnya pasangan pelaku perkawinan lintas agama.

b. Metode Wawancara

Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto,1998:115).

Di sini penulis melakukan wawancara terhadap pasangan pelaku perkawinan lintas agama dan anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan mereka untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai fokus penelitian, yang sebelumnya sudah dipersiapkan daftar pertanyaan yang ingin ditanyakan.

Wawancara juga dilakukan dengan tetangga dekat pasangan perkawinan lintas agama guna mendapatkan informasi tentang kehidupan pasangan perkawinan lintas agama tersebut menurut mereka. Tokoh masyarakat / tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel juga menjadi terwawancara guna mendapatkan informasi tentang pandangan/ pendapat mereka mengenai adanya pasangan pelaku perkawinan lintas agama di sekitar mereka.

(32)

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati (Arikunto, 1998 : 236).

Dokumen-dokumen yang dimaksudkan misalnya kutipan akta nikah, kartu keluarga, KTP, data demografi dari kelurahan dan dokumen-dokumen lain yang menunjang penelitian ini.

6. Analisis Data

Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalis dengan cara mengklasifikasikan data sehingga dapat diketahui kekurangan data dan segera berusaha untuk melengkapinya. Setelah semua data terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi secara lebih rinci sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan

(33)

karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis.

Pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan satu dengan yang informan lain, maupun membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.

8. Tahap-Tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut:

a. Sebelum melakukan penelitian penulis menentukan ide atau tema yang akan diteliti yaitu perkawinan lintas agama.

b. Penulis mencari informasi dari masyarakat dan kerabat yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel tentang ada atau tidaknya pelaku perkawinan lintas agama.

c. Berdasar informasi yang didapatkan ada cukup banyak pelaku perkawinan lintas agama di wilayah Kelurahan Bugel, maka penulis menetapkan Kelurahan Bugel sebagai lokasi penelitian.

d. Kemudian penulis menyusun proposal penelitian.

e. Setelah proposal disetujui, maka penulis baru terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi.

f. Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data dimulai sampai seluruh data terkumpul.

(34)

g. Analisis data dilakukan dengan cara: pertama, membuat rekap data berdasar klasifikasi. Kedua, menyusun pola-pola perilaku masyarakat pelaku perkawinan lintas agama berdasar klasifikasi dan ketiga, menginterpretasikan hasil penelitian untuk mendapatkan kesimpulan hasil dari fokus penelitian.

h. Penyusunan laporan penelitian.

H. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan umum perkawinan lintas agama, dalam bab ini memaparkan perkawinan lintas agama perspektif UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan lintas agama perspektif KHI dan perkawinan lintas agama perspektif Hukum Islam.

BAB III Perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel memaparkan seluruh hasil penelitian yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis dan kondisi lingkungan Kelurahan Bugel, struktur sosial dan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Kelurahan Bugel dan profil pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama.

BAB IV Tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Bab ini menganalisis praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama, konflik dan akomodasi

(35)

nilai keluarga pelaku perkawinan lintas agama, pandangan tokoh masyarakat / tokoh agama terhadap praktek perkawinan lintas agama dan tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel.

BAB V Penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini.

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA

A. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap keragaman hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Sebelum diundangkannya undang-undang ini, di Indonesia berlaku bermacam-macam hukum perkawinan menurut golongan masing-masing. Bagi orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Islam, bagi golongan penduduk Indonesia Asli beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie

Christen Indonesia, bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku hukum

adat dan bagi orang-orang Timur Asing Cina, Timur Asing lainnya, Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan mereka berlaku undang-undang Hukum Perdata/BW (Asmin, 1986:11). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia sehingga sejak undang-undang ini diundang-undangkan (tanggal 2 Januari 1974) maka setiap warga negara Indonesia dalam melakukan perkawinan tunduk pada undang-undang ini.

1. Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam undang-undang ini dapat kita lihat dalam anak kalimat pasal 1 yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan: pertama, ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua

(37)

belah pihak secara formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Kedua, digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa orang Barat. Ketiga, digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin, 2006:40).

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan ini tertuang dalam anak kalimat kedua pasal 1 yang berbunyi: dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rumusan tujuan perkawinan di atas menunjukkan bahwa dalam setiap perkawinan mengandung harapan besar untuk mendapatkan kebahagiaan baik secara materiil maupun spiritual. Kebahagiaan yang diharapkan tentu kebahagiaan untuk selamanya dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil (Syarifuddin, 2006:40). Setiap

(38)

pasangan suami istri tentu berharap bahwa pasangan yang dipilih hari ini adalah pasangan untuk seumur hidup dan mereka hanya berharap berpisah karena kematian.

Masih dalam rumusan tujuan perkawinan tersebut, kita dapat melihat bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal harus berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Pandangan ini sejalan dengan sifat religius dari bangsa Indonesia yang mendapatkan realisasinya di dalam kehidupan beragama dan bernegara (Asmin, 1986:20).

3. Sahnya Perkawinan

Adanya undang-undang yang mengatur perkawinan memperjelas bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini.

Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Penjelasan pasal 2 ayat (1) ini menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam undang-undang ini.

(39)

Sahnya perkawinan harus sesuai dengan hukum agama/kepercayaannya masing-masing, sehingga tidak ada kemungkinan untuk orang yang beragama Islam melakukan perkawinan dengan melanggar aturan agamanya, begitu pula orang-orang yang beragama Kristen, Hindu, Budha ataupun penganut kepercayaan.

4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat mengenai diri pribadi calon mempelai.

Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang meliputi:

a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1).

b. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8).

c. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2).

d. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 11). Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No. 1/1974, meliputi:

(40)

a. Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).

b. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9).

d. Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No. 9/1975).

Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974, meliputi:

a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yang:

1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas;

(41)

3) berhubungan semenda; 4) berhubungan susuan;

5) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

6) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin;

7) masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).

8) telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (pasal 10).

b. Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun.

5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974

Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, aturan tentang perkawinan campuran dipersempit. Pasal 57 undang-undang ini memberikan pengertian perkawinan campuran sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Jadi dapat kita lihat bahwa dalam undang-undang ini hanya membatasi perkawinan campuran pada perkawinan warga negara

(42)

Indonesia dan warga negara asing. Nampak bahwa perkawinan antar sesama warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda, termasuk agama yang berbeda bukan termasuk dalam pengaturan perkawinan campuran dalam undang-undang ini.

Pasal 58 UU No. 1/1974 selanjutnya mengatakan, bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Sedangkan dalam pasal 59 menyatakan, bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata (ayat 1), dan perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini (pasal 2).

Dalam hal perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia ini berarti bahwa untuk perkawinan campuran juga berlaku syarat-syarat perkawinan pada umumnya menurut undang-undang ini, yaitu bahwa sahnya suatu perkawinan digantungkan kepada hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Jika ia seorang Islam maka harus mengikuti aturan agama Islam, jika ia beragama Kristen maka harus mengikuti agama Kristen, begitu juga untuk agama-agama yang lainnya.

(43)

Jadi dalam undang-undang ini tidak ada aturan yang tegas mengenai perkawinan lintas agama, karena yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini menyatakan, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ayat tersebut tersirat bahwa adanya larangan perkawinan lintas agama yang kemudian dikuatkan dengan pasal 40 poin c dan pasal 44 KHI.

KHI secara tegas melarang adanya perkawinan lintas agama namun di sisi lain KHI juga membuka peluang untuk perkawinan lintas agama tersebut. Hal ini nampak pada bab xvi tentang putusnya perkawinan terutama pasan 116 dalam poin h menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan: peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga memperbolehkan adanya perkawinan lintas agama. Adanya pasal ini yang bertentangan dengan pasal 75 yang menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena salah satu dari suami atau istri murtad. Selain itu juga KHI secara tidak langsung mendukung adanya pemurtadan.

(44)

B. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI 1. Pengertian Perkawinan

Pasal 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan merupakan penjelasan dari ungkapan lahir batin yang terdapat dalam rumusan UU No. 1/1974 yang mengandung arti bahwa akad perkawinan bukan semata perjanjian yang bersifat keperdataan.

Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UU Perkawinan. Dari ungkapan di atas menyatakan bahwa dalam Islam, perkawinan merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam KHI dijelaskan dalam pasal 3. Pasal tersebut menyatakan, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Dari rumusan tujuan di atas mengandung pengharapan bahwa setiap rumah tangga yang akan dibangun akan menjadi rumah tangga yang bahagia lahir batin dan kekal serta diridhai oleh Allah SWT.

(45)

3. Sahnya Perkawinan

Pasal 4 menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi KHI juga menganggap sahnya perkawinan jika dilakukan menurut aturan agama masing-masing atau aturan kepercayaan yang dianut pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Pada dasarnya syarat sah perkawinan dalam KHI sama dengan syarat sah yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, hanya saja ada beberapa pasal yang dirinci dalam KHI. Selain mengatur syarat perkawinan, KHI juga mengatur masalah rukun perkawinan. Rukun adalah segala sesuatu yang harus ada dalam sebuah perkawinan.

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta ijab dan kabul (pasal 14).

Syarat bagi calon mempelai meliputi:

a. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No. 1/1974 (pasal 15 ayat 1).

b. Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1).

c. Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:

(46)

Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:

1) karena pertalian nasab;

2) karena pertalian kerabat semenda; 3) karena pertalian sesusuan.

Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

1) karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan orang lain;

2) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

3) seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41, ayat (1) seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya.

Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah raj‟I ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah raj‟i. Pasal 43, ayat (1) dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: a) dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, b) dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili‟an.

(47)

Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

d. Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu:

130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 153).

Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.

Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

(48)

5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI

KHI mengatur secara tegas larangan perkawinan lintas agama, hal ini tertuang dalam pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam. Juga tertuang dalam pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Sehingga jelas dengan adanya pasal di atas, seharusnya bagi pemeluk agama Islam di Indonesia tidak ada sedikitpun kemungkinan untuk dapat melakukan perkawinan dengan orang yang tidak beragama Islam. Dengan demikian di KUA hanya dapat menerima perkawinan antara orang Islam. Untuk orang selain Islam perkawinan harus dicatatkan di KCS.

Perkawinan yang dilangsungkan secara Islam, namun setelah perkawinan salah satu pasangan keluar dari agama Islam atau murtad status perkawinannya menjadi batal. Hal ini ditegaskan dalam KHI pasal 75 poin a yaitu perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad. Sehingga tidak ada sedikit pun toleransi yang diberikan KHI untuk seseorang melakukan perkawinan lintas agama. Untuk orang-orang yang melakukan perkawinan secara non Islam dan dikemudian hari salah satu dari mereka masuk agama Islam, dalam KHI tidak ada aturan atau penjelasan tentang hal tersebut.

(49)

C. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam bahasa arab sering disebut dengan kata nikah ( ) atau zawaj ( ). Dua kata tersebut yang banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadis Nabi. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga akad (Syarifuddin, 2006:36).

Secara terminologi pengertian perkawinan menurut Dr. Ahmad Ghandur yang dukitip oleh Syarifuddin (2006:39) sebagai berikut:

Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

Dari pengertian di atas, perkawinan dilakukan guna memenuhi naluri seks manusia secara legal, sepakat untuk mengarungi hidup bersama, sehingga dalam perkawinan tersebut muncul hak dan kewajiban antara suami dan istri yang harus dipenuhi.

2. Tujuan Perkawinan

Ada beberapa tujuan perkawinan yang disyariatkan atas umat Islam, diantaranya:

a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan (Sabiq, 1980:19).

(50)

b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47)

3. Sahnya Perkawinan

Dalam Islam, rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum, begitu juga dalam perkawinan. Rukun adalah segala hal yang harus terwujud atau ada dalam suatu perkawinan.

Rukun yang pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga (Sabiq, 1980:53). Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat terlihat dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak dengan adanya sebuah akad. Menurut ulama Syafi‟iyah, rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:

a. calon mempelai laki-laki b. calon mempelai perempuan

c. wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan d. dua orang saksi

e. ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.

4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat perkawinan adalah segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.

(51)

Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi:

a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki;

b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda;

c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat;

d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup;

e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi:

a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya;

b. Keduanya sama-sama beragama Islam;

c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;

d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya;

e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.

Syarat bagi wali nikah, meliputi: a. Dewasa dan berakal sehat; b. Laki-laki;

(52)

c. Muslim; d. Merdeka;

e. Tidak berada dalam pengampuan; f. Berpikiran baik;

g. Adil;

h. Tidak sedang melakukan ihram. Syarat bagi saksi, meliputi:

a. Berjumlah minimal dua orang; b. Kedua saksi beragama Islam; c. Kedua saksi adalah orang merdeka; d. Kedua saksi adalah laki-laki; e. Kedua saksi bersifat adil;

f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.

5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam

Dalam Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai perkawinan lintas agama. Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama politeisme (Sabiq, 1980:152).

Pendapat-pendapat ulama tentang perkawinan lintas agama adalah sebagai berikut:

a. Pendapat pertama, Islam tidak mengenal perkawinan antar pemeluk agama. Pendapat ini berdasar atas Q.S Al Baqarah:221

(53)

















































































221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Menurut pendapat ini, perkawinan lintas agama merupakan suatu proses yang bersifat laten, mendangkalkan keyakinan beragama masing-masing yang menyebabkan hilangnya arti nilai-nilai dan peranan hukum agama dalam hidup dan kehidupan rumah tangga (Ramulyo, 2006:62).

Menurut beberapa ulama, perkawinan lintas agama diasumsikan akan menimbulkan banyak permasalahan yang sangat fundamental menyangkut keselamatan keimanan, rentan konflik, mengancam keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan nilai-nilai sakral perkawinan (Syafi‟i dan Ulfiah, 2004:53).

Larangan perkawinan lintas agama dalam ayat di atas juga mencakup perempuan muslim yang hendak mengawini laki-laki musyrik. Seorang wanita yang menikah dengan pria non muslim, kemungkinan terbesar adalah dia akan mengikuti suaminya. Karena suami adalah kepala keluarga yang memiliki otoritas dalam rumah tangga maka dia dapat membawa istri dan anak-anaknya untuk mengikuti agamanya. Begitu juga

(54)

apabila seorang laki-laki muslim yang menikahi perempuan non muslim, ancaman keteguhan tauhid dapat terjadi. Perempuan non muslim akan membawa tradisi dan mengajarkan tradisi-tradisi hidup kepada keluarganya. Selain itu, seorang laki-laki apabila sudah mencintai istrinya, dia bisa melakukan apa pun yang diminta sang istri.

Dalam Islam memelihara keselamatan keluarga adalah tanggung jawab besar yang harus dipikul dan tanggung jawab yang diberikan Allah ini tidak dapat dilaksanakan jika dalam satu keluarga terdapat dua agama berbeda.

Adanya ayat Q.S Al Maidah:5 yang menerangkan bahwa dihalalkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita ahli kitab, tidak menyebabkan ulama yang melarang perkawinan lintas agama menarik pendapatnya. Berkaitan dengan perempuan ahli kitab yang halal untuk dinikahi, menurut ulama yang menganut pendapat tersebut, pada zaman sekarang sudah tidak ada, yang ada hanya keturunan ahli kitab yang sudah menjadi musyrik.

Menurut Qaul Mu‟tamad yang disadur oleh Syafi‟i dan Ulfiah, (pendapat yang kuat) dalam madzhab Syafi‟i, golongan ahli kitab yang halal menikah dengan orang Islam adalah perempuan yang menganut agama Nasrani dan Yahudi sebagaimana agama yang ada semenjak masa sebelum Nabi Muhammad SAW (2004:69). Mereka yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani setelah Al Qur‟an diturunkan tidak dianggap sebagai ahli kitab. Hal ini karena terdapat perkataan miin qoblikum (di masa

(55)

sebelum kamu) dalam surat Al Maidah ayat 5, perkataan ini menjadi batasan bagi ahli kitab yang dimaksud.

b. Pendapat kedua, dalam Islam dikenal adanya perkawinan lintas agama, yaitu laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Menurut pendapat ini ada pengecualian yang diatur dalam Q.S Al Maidah:5

























































































5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Alasan para ulama yang membolehkan nikah beda agama karena nikah beda agama secara doktrinal tidak dilarang oleh Allah SWT. Karena sebenarnya persoalan krusial nikah beda agama adalah ganjalan yang lebih bersifat kultural dan struktural yang selama ini dianggap sebagai persoalan teologis. Persoalan yang bersifat kultural dan struktural adalah persoalan yang bisa dihindari.

Semua ulama sepakat bahwa menikah dengan orang musyrik adalah dilarang, berarti tidak bisa ditujukan kepada semua orang di luar Islam, karena ternyata orang-orang yang berasal dari golongan ahli kitab diperbolehkan menikah dengan orang Islam. Keempat imam mazhab juga

(56)

sepakat bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini perempuan ahli kitab, yakni perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani dan tidak sebaliknya (Mughniyah, 1994:43).

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, keterangan dalam surat Al Baqarah 221 adalah pengharaman oleh Allah perihal menikah dengan orang musyrik, yaitu mereka yang menyekutukan Allah, menyembah kepada selain Allah seperti menyembah berhala, api, dll (Katsir, 2002:427). Yang dimaksud ahli kitab adalah orang yang beragama Nasrani dan Yahudi, asalkan mereka perempuan yang menjaga kehormatannya maka boleh dinikahi.

Demikian pula yang disebutkan dalam tafsir Al Misbah karangan Quraish Shihab (2000:29), larangan menikah yang dijelaskan dalam surat Al Baqarah:221 adalah menikahi orang musyrik, bukan orang yang berbeda agama. Musyrik dan orang yang di luar Islam haruslah dipisahkan, karena golongan ahli kitab, meskipun secara institusi bukan orang Islam dibolehkan menikah.

c. Pendapat ketiga, perkawinan yang dilakukan secara Islam dan dikemudian dari salah satu dari mereka keluar dari agama Islam/ murtad, maka perkawinannya dianggap fasakh atau batal (Sabiq, 1981:133). Yang disebut dengan memfasakh akad nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami-istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain

Gambar

Tabel 1.2 Informan Lain
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kelurahan Bugel
Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bugel
Gambar 3.2 Kartu Keluarga Untung-Mutiah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan (Y1) adalah

Penggunaan rute pengangkutan sampah di Kecamatan Medan Baru dengan menggunakan Algoritma Dijkstra tidak selamanya dapat dijadikan sebagai acuan untuk penentuan rute karena

Memperoleh pengetahuan mengenai hambatan yang dialami masyarakat sebagai penerima kredit dan UPK sebagai pelaksana kegiatan atau pemberi kredit dalam proses pemberian

Stres pengasuhan disini menunjukkan pengalaman stres orang tua sebagai sebuah fungsi dari faktor pribadi dalam memecahkan personal stres lain yang secara langsung

Dari pengertian dan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh guru dalam membimbing,

Kritik intern adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup layak untuk dipercaya kebenarannya. 22 Dalam kritik sumber apabila

Dalam dosis yang sama, jenis pupuk kandang yang paling baik untuk penanaman cabai merah di dataran tinggi adalah pupuk kandang ayam, tetapi harganya lebih mahal (Tabel 7)..

Algoritma jaringan saraf tiruan diterapkan untuk mengolah data keempat variabel tersebut, segingga diperoleh keluaran yang mampu mengenali 6 jenis bahasa,