• Tidak ada hasil yang ditemukan

JIMVET. 01(3): (2017) ISSN : HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINJEKSI FORMALIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JIMVET. 01(3): (2017) ISSN : HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINJEKSI FORMALIN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

424

HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINJEKSI FORMALIN

Histopathological changes of rat (Rattus norvegicus) kidney injected with formalin Almunawati1, Hamdani Budiman2, Dwinna Aliza3

1Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala 2Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

E-mail: almunawati@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian formalin secara intraperitoneal terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus). Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus putih jantan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan 4 kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas enam ekor tikus. Kelompok kontrol tikus hanya diberi pakan dan air minum tanpa perlakuan apapun, kelompok 1 tikus diinjeksi formalin dengan dosis 1 mg/kg bb, kelompok 2 diinjeksi formalin dengan dosis 2,5 mg/kg bb, kelompok 3 diinjeksi formalin dengan dosis 5 mg/kg bb. Masing-masing kelompok diberi perlakuan selama 14 hari berturut-turut secara intraperitoneal. Selama penelitian tikus diberi pakan dan air minum secara adlibitum. Tikus dietanasi pada hari ke 15, kemudian organ ginjal dikoleksi untuk pembuatan preparat histopatologi. Hasil analisis statistik menunjukkan rata-rata (± SD) jumlah sel-sel tubulus ginjal pada tikus yang mengalami degenerasi parenkim K0 (0,00 ± 0,00); K1 (2,10 ± 0,17); K2 (2,56± 0,32); dan K3 (3,00 ±0,72); degenerasi hidropis K0 (0,00 ± 0,00); K1 (1,80 ± 0,69); K2 ( (7,23 ± 0,60); dan K3 (7,50 ± 0,26); dan nekrosis K0 (0,06 ± 0,11); K1 (3,70 ± 0,43); K2 (7,23 ± 0,60); dan K3 (7,50 ± 0,26). Pemberian formalin berpengaruh nyata terhadap kerusakan sel-sel tubulus ginjal tikus putih, Disimpulkan bahwa semakin besar dosis formalin yang diberikan maka semakin besar pengaruhnya terhadap kerusakan histopatologi ginjal tikus.

Kata kunci: degenerasi, formalin, ginjal, nekrosis, Rattus norvegicus

ABSTRACT

The study aims to determine the effect of formalin administration intraperitoneally on Rats (Rattus norvegicus) kidney. Animals used in this study were 24 male rats. The research design used was a completely randomized design (CRD) with 4 unidirectional pattern group treatments. Each treatment group consisted of six rats. Group control was given only feed and drinking without any treatment, group 1, 2, and 3 were injected intraperitoneally with formalin with the dose of 1, 2.5, and 5 mg/kg bw, respectively. The treatment was carried out for 14 consecutive days. During the reseach, rats were fed comercial feed and given drinking water adlibitum. Rat were euthanized on day 15, then the kidney was collected for histopathological examination. The statistical analysis showed that the average (± SD) number of renal tubular cells in rat with degeneration of parenchyma were K0 (0.00 ± 0.00), K1 (2.10 ± 0.17), K2 (2.56± 0.32), and K3 (3.00 ±0.72) , degeneration hidropis were K0 (0.00 ± 0.00), K1 (1.80 ± 0.69), K2 (7.23 ± 0.60), and K3 (7.50 ± 0.26), and necrosis were K0 (0.06 ± 0.11), K1 (3.70 ± 0.43), K2 (7.23 ± 0.60), and K3 (7.50 ± 0.26). The administration in conelusion of formalin significantly affect the renal tubular cells damage in rat, the higher the dose of formalin injected, the higher the damage of histopathological of kidney rats.

Keywords: degeneration, formalin, kidney, necrosis, Rattus norvegicus

PENDAHULUAN

Formalin merupakan bahan kimia yang bersifat toksik, yang toksisitasnya telah dievaluasi oleh berbagai organisasi ternama seperti International Agency

(2)

425

For Research on Cancer (IARC), Agency for Toxic Substances and Disease

Registry, USA (ATSR) dan International Programme on Chemical Safety (IPCS).

Formalin telah diklasifikasikan oleh IARC ke dalam kelompok senyawa yang beresiko menyebabkan kanker (Wulan, 2015). Secara umum ambang batas aman di dalam tubuh adalah 1 miligram per liter. Bila formalin masuk ke tubuh melebihi ambang batas tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau jangka pendek, dan dalam jangka panjang, baik melalui inhalasi, kontak langsung atau tertelan(Faradila dan Elmatris, 2014).

Ginjal merupakan organ berpembuluh darah sangat banyak dan memiliki fungsi untuk menyaring atau membersihkan darah dengan mengeluarkan zat sisa organik, seperti urea, asam urat, kreatinin, dan produk penguraian hemoglobin dan hormon namun karena paparan zat toksik bisa terjadi kerusakan pada ginjal (Wijayanti dkk., 2015). Ginjal merupakan organ kedua setelah hati yang paling sering menjadi sasaran perusakan oleh zat–zat kimia, karena organ ini menerima 25-30 % sirkulasi darah untuk dibersihkan, sehingga sebagai organ filtrasi kemungkinan terjadinya perubahan patologik sangat tinggi. Hal ini disebabkan banyak zat kimia yang diekskresikan melalui urin (Suhita dkk., 2013). Peningkatan ekskresi sisa-sisa metabolit, dapat menyebabkan kerusakan ginjal, karena keracunan yang diakibatkan kontak dengan bahan-bahan tersebut. Kerusakan jaringan ini bila dibiarkan dapat mengakibatkan gagal ginjal yang berakhir dengan kematian (Soepraptini dkk., 2012).

Penelitian mengenai perubahan histopatologis pada sel tubulus ginjal yang telah dilakukan sebelumnya ditemukan adanya perubahan fisiologi ginjal, penurunan berat badan dan organ, nekrosis hepar dan tubulus ginjal secara fokal. Kerusakan pada tubulointerstisial berupa degenerasi dan nekrosis (Wibowo, 2012). Formalin mempunyai sifat mudah larut dalam air, sehingga akan bereaksi dengan mudah dengan mukosa pada sel-sel yang terpapar. Formalin yang mengenai sel akan mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma sel dan nukleus, sehingga akan mengubah struktur mukosa yang mengakibatkan perubahan fungsional yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel (Santosa dkk., 2008).

MATERIAL DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 kelompok perlakuan dan 6 ulangan. Kelompok pertama merupakan kontrol (K0), yaitu tikus tidak mendapatkan perlakuan injeksi formalin. Kelompok kedua (K1), yaitu tikus diinjeksi formalin dosis 1,0 mg/kg BB/hari. Kelompok ketiga (K2), yaitu tikus diinjeksi formalin dosis 2,5 mg/kg BB/hari. Kelompok keempat (K3), yaitu tikus diinjeksi formalin dosis 5,0 mg/kg BB/hari. Pemberian formalin untuk kelompok perlakuan dilakukan selama 14 hari secara intraperitoneal.

Pada hari ke-15 semua tikus dietanasi dengan menggunakan kloroform, kemudian sampel organ ginjal diambil untuk dibuat sediaan histopatologi dengan pewarnaan hemaktosilin-eosin (HE). Pengamatan terhadap perubahan degenerasi dan nekrosis dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 100 x 10 dengan 5 lapang pandang.

(3)

426

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap jumlah sel tubulus ginjal tikus yang mengalami degenerasi parenkim dan degenerasi hidropis serta nekrosis pada setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata- rata (± SD) jumlah sel-sel tubulus ginjal pada tikus yang mengalami degenerasi parenkim, degenerasi hidropis dan nekrosis yang diinjeksi formalin dengan dosis bertingkat.

Perlakuan Degenerasi Parenkim Degenerasi Hidropis Nekrosis K0 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,06 ± 0,11a K1 2,10 ± 0,17b 1,80 ± 0,69b 3,70 ± 0,43b K2 2,56± 0,32bc 2,46 ± 0,50b 7,23 ± 0,60c K3 3,00 ±0,72c 5,46 ± 0,94c 7,50 ± 0,26c

a, b, bc, c Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) Keterangan :

K0 = tikus yang hanya diberi pakan standar tanpa perlakuan apapun

K1 = tikus yang diberi pakan pakan standar dan diinjeksi formalin secara intraperitoneal dengan dosis 1 mg/Kgbb per hari

K2 = tikus yang diberi pakan standar dan diinjeksi formalin secara intraperitoneal dengan dosis 2,5 mg/Kgbb per hari

K3 = tikus yang diberi pakan standar dan diinjeksi formalin secara intraperitoneal dengan dosis 5 mg/Kgbb per hari

Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa rata-rata jumlah sel tubulus ginjal yang mengalami degenerasi parenkim terjadi peningkatan dari kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol K0 (0,00 ± 0,00), pada K1 sebesar (2,10 ± 0,17), K2 sebesar (2,56± 0,32), dan pada K3 sebesar (3,00 ±0,72). Hasil analisis statistik menggunakan analisis of variance (ANOVA) pola satu arah menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dari pemberian formalin dengan dosis bertingkat terhadap sel-sel tubulus ginjal yang mengalami perubahan. Hasil uji Duncan yang menunjukkan jumlah sel-sel tubulus ginjal yang mengalami degenerasi parenkim berpengaruh nyata pada semua perlakuan. K0 berpengaruh nyata terhadap K1, K2, dan K3. K1 berpengaruh nyata terhadap K3 namun tidak berpengaruh nyata terhadap K2, serta K2 tidak berpengaruh nyata terhadap K3.

(4)

427

Gambar 1. Perbandingan rata-rata jumlah kerusakan sel tubulus ginjal yang mengalami degenerasi parenkim, degenerasi hidropis, dan nekrosis.

Respons toksik yang dihasilkan akan semakin besar seiring dengan semakin tingginya konsentrasi suatu senyawa yang masuk ke tubuh. Kerusakan ginjal yang disebabkan oleh zat toksik salah satunya akan memperlihatkan gambaran mikroskopis berupa degenerasi pada sel tubulus. Degenerasi merupakan suatu kondisi ketika sel kehilangan struktur normal sel akibat pengaruh dari dalam atau dari luar sel. Degenerasi sel ditandai dengan adanya gangguan metabolik. Hal ini menimbulkan penimbunan bahan-bahan secara intraseluler maupun ekstraseluler yang kemudian menuju kematian sel dan merupakan tanda dimulainya kerusakan sel karena adanya toksin ( Fahrimal dkk., 2016).

Degenerasi merupakan tanda awal kerusakan akibat toksin yang bersifat sementara (reversibel) dan sel masih dapat pulih atau normal kembali apabila paparan toksin dihentikan. Degenerasi parenkimatosa merupakaan degenerasi teringan yang ditandai dengan terjadi sitoplasma membengkak dan sitoplasma bergranula hal ini dikarenakan sel tidak mampu mengeliminasi air sehingga tertimbun di dalam sel dan organela-organela sel juga turut menyerap air dan membengkak sehingga mengakibatkan sitoplasma nampak bergranula (Harada et al. 1999). Degenerasi parenkimatosa memiliki nama lain yaitu degenerasi keruh, degenerasi albuminosa, dan cloudy swelling. Tanda khas degenerasi ini adalah pembengkakan dan kekeruhan sitoplasma akibat protein yang mengendap. Degenerasi ini terjadi akibat adanya pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel karena benda toksik salah satunya formalin (Sarjadi, 2003). Kerusakan hanya terjadi pada sebagian kecil struktur sel. Kerusakan ini menyebabkan oksidasi sel terganggu, sehingga proses eliminasi air pun juga terganggu. Sehingga, terjadi penimbunan air dalam sel (Istikhomah dan Lisdiana, 2015).

Jumlah sel tubulus ginjal yang mengalami degenerasi hidropis juga terjadi peningkatan. Pada kelompok kontrol K0 (0,00 ± 0,00), pada K1 sebesar (1,80 ± 0,69), K2 sebesar (2,46 ± 0,50), dan pada K3 sebesar (5,46 ± 0,94). Hasil analisis statistik menggunakan analisis of variance (ANOVA) pola satu arah menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dari pemberian formalin dengan dosis bertingkat terhadap sel-sel tubulus ginjal yang mengalami perubahan. Hasil uji Duncan yang menunjukkan jumlah sel-sel tubulus ginjal yang mengalami

(5)

428

degenerasi hidropis berpengaruh nyata pada beberapa perlakuan. K0 berpengaruh nyata terhadap K1, K2 dan K3. Kelompok K1 berpengaruh nyata terhadap K3 namun tidak berpengaruh nyata terhadap K2, dan K2 berpengaruh nyata terhadap K3.

Degenerasi hidropis adalah degenerasi yang terjadi dengan ciri-ciri sel membengkak sampai dua kali normal. Bersifat reversibel dan sering disebut juga

balooning degeneration. Derajat keparahannya lebih tinggi bila dibandingkan

dengan degenerasi parenkimatosa. Memiliki gambaran khas yaitu gambaran vakuola dari kecil sampai besar yang berisi air dan tidak mengandung lemak. Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air. Secara mikroskopis pada sel-sel yang mengalami degenerasi hidropis terlihat adanya ruangan-ruangan jernih di sitoplasma tetapi tidak sejernih kolagen maupun lemak (Suyanti, 2008).

Jumlah sel tubulus ginjal yang mengalami nekrosis juga terjadi peningkatan. Pada kelompok kontrol K0 sebesar (0,06 ± 0,11), pada K1 sebesar (3,70 ± 0,43), K2 sebesar (7,23 ± 0,60), dan pada K3 sebesar (7,50 ± 0,26). Hasil analisis statistik menggunakan analisis of variance (ANOVA) pola satu arah menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05) dari pemberian formalin dengan dosis bertingkat sel-sel tubulus ginjal mengalami perubahan. Hasil uji Duncan yang menunjukkan jumlah sel-sel tubulus ginjal yang mengalami degenerasi hidropis berpengaruh nyata pada beberapa perlakuan. Kelompok K0 berpengaruh nyata terhadap K1, K2, dan K3. Kelompok K1 berpengaruh nyata terhadap K3 namun tidak berpengaruh nyata terhadap K2, dan K2 berpengaruh nyata terhadap K3.

Nekrosis merupakan tahap lanjut dari degenerasi karena terlalu banyak bahan-bahan yang harus direabsorbsi kembali oleh sel-sel tubulus sehingga terjadi kematian sel. Nekrosis dalam penelitian ini akibat adanya zat toksik formalin yang diberikan pada tikus selama 14 hari. Kematian sel dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah hipoksia akibat terganggunya sistem sirkulasi oleh zat toksik yang masuk. Selain hipoksia, kematian sel juga dapat disebabkan karena iskemia. Konsentrasi formalin yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan reaksi dengan hampir semua komponen di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel, menyebabkan kematian sel, dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. Kerusakan di dalam sel terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma dan nukleus. Perubahan secara mikroskopik akan tampak pada perubahan intinya yang kehilangan gambaran kromatin, menjadi keriput, tidak vasikuler lagi, inti lebih padat, berwarna gelap (piknosis), inti terbagi atas fragmen-fragmen, robek (karioreksis), inti tidak lagi berwarna kerena itu pucat tidak nyata (kariolisis) (Suhita, 2013). Semakin lama ginjal terpapar senyawa toksik, maka jumlah sel jaringan organ ginjal yang mengalami nekrosis semakin besar (Mandia dkk., 2013).

Lamanya paparan dan besarnya dosis formalin akan berefek terhadap kerusakan yang terjadi pada sel, dosis yang tinggi menyebabkan semakin banyaknya zat yang beredar, apabila formalin masuk ke tubuh secara rutin dan terus menerus akan mengakibatkan penumpukan pada tubuh. Penumpukan ini antara lain akan mengakibatkan nekrosis, penciutan selaput lendir, terjadi kelainan pada jantung, hati, ginjal, otak, serta mengakibatkan kegiatan sel terhenti (Kusumawati, 2004). Beberapa obat atau zat kimia yang beredar dalam sirkulasi

(6)

429

sistemik akan dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup tinggi. Sebagai akibatnya akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri, terutama di tubulus ginjal karena disinilah terjadi proses reabsorpsi dan eksresi dari zat-zat toksik tersebut (Windhartono dan Sasmito, 2013).

Hasil pengamatan gambaran histopatologi ginjal tikus putih yang diinjeksi formalin diamati dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 1000 x tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Histopatologi ginjal tikus kelompok KO (kontrol), K1 (injeksi formalin dosis 1 mg/Kg bb per hari), K2 (injeksi formalin dosis 2,5 mg/Kg bb per hari), dan K3 (injeksi formalin dosis 5 mg/Kg bb per hari), a) nekrosis, b) degenerasi hidropis, c) degenerasi parenkim (HE, 1000 x).

Pada kelompok perlakuan yang diberi formalin dosis bertingkat secara intraperitoneal, terjadi perubahan histopatologi meliputi degenerasi parenkim, degenerasi hidropis, dan nekrosis. Pada kelompok 1 (K1) tikus yang diinjeksi formalin secara intraperitoneal dengan dosis 1 mg/Kg bb per hari menunjukan tingkat kerusakan yang ringan, kelompok 2 (K2) yaitu tikus yang diinjeksi formalin secara intraperitoneal dengan dosis 2,5 mg/Kg bb per hari meunjukan tingkat kerusakan yang sedang, kelompok 3 (K3) yaitu tikus yang diinjeksi

K0 K1

(7)

430

formalin secara intraperitoneal dengan dosis 5 mg/Kg bb per hari, sel-sel tubulus ginjal mengalami degenerasi dan nekrosis yang lebih parah dari kelompok perlakuan 1 dan 2 serta sel epitel tubulus yang memipih, hal ini menunjukkan bahwa besarnya paparan dosis dalam tubuh berpengaruh terhadap kerusakan yang terjadi pada sel.

Hasil yang diperoleh antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu antara kelompok kontrol yang tidak diberi formalin dengan K1 yang diberi formalin dengan dosis 1 mg/Kg bb per hari, antara kontrol dengan K2 yang diberi formalin dengan dosis 2,5 mg/Kg bb per hari dan antara kontrol dengan K3 yang diberi formalin dengan dosis 5 mg/Kg bb per hari. Hasil ini menunjukkan bahwa formalin yang digunakan 14 hari secara intraperitoneal dapat mempengaruhi gambaran histopatologi ginjal dibandingkan dengan yang tidak diberi formalin, dan pemberian formalin berpengaruh nyata terhadap kerusakan sel-sel tubulus ginjal pada tikus putih. semakin besarnya dosis yang masuk ke dalam tubuh maka semakin besar kerusakan yang ditimbukan pada sel (Lee, 2003).

KESIMPULAN

Pemberian formalin dengan dosis bertingkat 1,0; 2,5; dan 5,0 mg/kg BB secara intraperitoneal selama 14 hari pada tikus putih menyebabkan perubahan histopatologi sel tubulus ginjal berupa degenerasi parenkim, degenerasi hidropis, dan nekrosis. Semakin besar dosis yang diberikan, maka kerusakan yang terjadi juga semakin besar.

DAFTAR PUSTAKA

Fahrimal, Y., Rahmiwati, D. Aliza. 2016. Gambaran histopatologis ginjal tikus putih (rattus norvergicus) jantan yang diinfeksikan trypanosoma evansi dan diberi ekstrak daun sernai (Wedelia biflora). Jurnal Medika

Veterinaria. 10(2):2503-1600

Faradila, Y.A., dan Elmatris. 2014. Identifikasi formalin pada bakso yang dijual pada beberapa tempat di kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.

3(2):156-158.

Harada T., E.A. Boorman, and R.R. Maronpot. 1999. Liver and Gallbladder. In:

Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi 1.

Cache River Press.199-136

Istikhomah, dan Lisdiana. 2015. Efek hepatoprotektor ekstrak buah pedada

(Sonneratia caseolaris) pada tikus putih (Rattus norvegicus).Unnes

Journal Of Life Science. 4(1):1-8.

Kusumawati, F. 2004. Penetapan kadar formalin yang digunakan sebagai pengawet dalam bakmi di pasar wilayah kota Surakarta. Jurnal Penelitian

Sains dan Teknoogi. 5(1):131-140.

Lee, W.M. 2003. Drug induced hepatotoxicity. NEJM. 349-474.

Mandia, S., N. Marusin, dan P. Santoso. 2013. Analisis histologis ginjal ikan Asang (Osteochilus hasseltii ) di danau Maninjau dan Singkarak, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. Ua.). 2(3): 194-200.

(8)

431

Santosa, T.N., R.S. Tyas, dan T. Silvana. 2008. Pengaruh pemberian diazepam, formalin dan minuman beralkohol terhadap bobot intestinum, hepar dan ren mencit Mus musculus. Skripsi. Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Ed 2. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Soepraptini, J., F.R. Safda, dan S.P. Koesnoto. 2012. Gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan pada kasus patah tulang femur dengan terapi ekstrak tanaman (Cissus ouadrangularis) dan kalsium karbonat. Vetmedika

J Klin Vet 5. 1(1):5-8.

Suhita, N.L.P.R., I.W. Sudira, dan I.B.O. Winaya. 2013. Histopatologi ginjal tikus putih akibat pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica) peroral.

Buletin Veteriner Udayana. 5(2):71-78.

Suyanti, L. 2008. Gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus pada pemberian fraksi asam amino non-protein Lamtoro merah (Acacia villosa) pada uji toksisitas akut. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Wibowo, M 2012. Pengaruh formalin peroral dosis bertingkat selama 12 minggu terhadap gambaran histopatologis ginjal tikus Wistar.Skripsi. Kedokteran Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.

Wijayanti, F., D.S. Latiyani, dan M. Nanik. 2015. Pengaruh Pemberian formalin peroral terhadap kadar ureum dan kreatinin tikus Wistar. Jurnal

Kedokteran Muhammadiyah. 2 (1):39-42.

Windhartono, Z.K. dan E. Sasmito. 2013. Pengaruh infusa wortel (Daucus carota l.) terhadap histopatologi ginjal tikus jantan yang diinduksi uranium.

Jurnal Kedokteran Yarsi. 21 (1): 033-040.

Wulan, S.R.S. 2015. Identifikasi Formalin pada bakso dari pedagang bakso di kecamatan Panakukkang kota Makassar. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Hasanuddin. Makassar

Gambar

Tabel  1.  Rata-  rata  (±  SD)  jumlah  sel-sel  tubulus  ginjal  pada  tikus    yang  mengalami degenerasi parenkim, degenerasi hidropis dan nekrosis  yang diinjeksi  formalin dengan dosis bertingkat
Gambar  1.  Perbandingan  rata-rata  jumlah  kerusakan  sel  tubulus  ginjal  yang  mengalami degenerasi parenkim, degenerasi hidropis, dan nekrosis
Gambar  2.  Histopatologi  ginjal  tikus  kelompok  KO  (kontrol),  K1  (injeksi  formalin dosis 1 mg/Kg bb per hari), K2 (injeksi formalin dosis 2,5 mg/Kg bb  per hari), dan K3 (injeksi formalin dosis 5 mg/Kg bb per hari),  a) nekrosis, b)  degenerasi hid

Referensi

Dokumen terkait

hidrogennya yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning [10]. Namun jika dibandingkan dengan pembanding yaitu kitosan 1,5%, aktivitas antioksidan

Karakteristik angka kejadian phlebitis yang terjadi berdasarkan penyebabnya masih variatif, penyebab yang sering terjadi pada pasien sering dipengaruhi diantaranya adalah

Tujuan dari sudut pengambilan kamera ini bertujuan untuk memfokuskan penonton pada ekspresi Sucipto dan dialog yang diucapkannya “Kalau aku meninggal anakku nanti

Temperatur udara dapat mempengaruhi perkerasan lunak, karena ketika suhu mulai naik maka perkerasan akan lebih melunak, sedangkan jika suhu turun makan perkerasan

Tingginya nilai log total mikroba pada penyimpanan 0 jam dipengaruhi oleh jumlah mikroba awal pada bahan baku (daun cem-cem, air, kelapa parut) serta rendahnya sanitasi selama

Cara pengukuran tinggi badan menggunakan alat stadiometer modifikasi (hasil rancangan) yaitu denga cara memasang rakitan stadiometer sesuai dengan urutan pada lantai

pengerian pengembangan pegawai ditinjau dari administrasi bahwa, dalam setiap proses atau usaha untuk mencapai tujuan , maka tujuan ini akan dapat berhasil guna secara

Menurut Raksaka dalam penelitian Sukaesih (2008:2) konsep money follows function pengalokasian anggaran harus didasarkan pada fungsi masing-masing unit/satuan kerja yang