• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEGAL ANOTASI. Putusan Perkara Korupsi No. 29/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Ir. Putranefo Aleksander Prayugo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEGAL ANOTASI. Putusan Perkara Korupsi No. 29/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Ir. Putranefo Aleksander Prayugo"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 1

LEGAL ANOTASI

Putusan Perkara Korupsi No. 29/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Ir. Putranefo Aleksander Prayugo

I. Pengantar

Kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang melibatkan terdakwa Putranefo Aleksander Prayugo sebenarnya pertama kali muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses dugaan suap alih fungsi lahan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang melibatkan tersangka Yusuf Emir Faisal dan anggota Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Sarjan Taher. Tak disangka, dalam pemeriksaan tersebut itu ditemukan kasus baru yang juga melibatkan Yusuf. yakni dugaan suap pengadaan SKRT di Departemen Kehutanan. Proyek SKRT sendiri sudah ada sejak 1991 melalui dana hibah dari Inggris dengan pelaksananya Philips Radio Communication. Pada 1996, pembangunan kembali dilakukan setelah ada hibah dari Amerika yang kali ini dikerjakan Motorola Inc. Amerika dengan menunjuk agen tunggal di Indonesia untuk melaksanakan proyek itu, yakni PT Masaro Radiokom. Pada 2003-2004, proyek sempat dihentikan Menteri Kehutanan Mohammad Prakoso karena dinilai tidak efektif. Proyek itu kembali dihidupkan pada Agustus 2006, ketika MS Kaban menjadi menteri Kehutanan (Majalah Tempo, 3/7/09).

Putranefo adalah Presiden Direktur PT. Masaro Radiokom yang menjadi rekanan Dephut dalam program revitalisasi dan pengadaan SKRT tahun 2006 dan 2007. Ia divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan pemilik PT. Masaro Radiokom, Anggota Komisi Kehutanan DPR RI dan beberapa pejabat Departemen Kehutanan melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sejumlah Rp. 89 miliar. Vonis hakim lebih dulu dijatuhkan terhadap Yusuf Emir Faisal yakni pidana penjara selama empat tahun enam bulan penjara. Hukuman tersebut disatukan dengan vonis kasus Tanjung Api-api. Sementara itu, Anggoro Widjojo dan Putrannya David Angkawidjaya masih buron hingga kini.

II. Hal-hal Yang Dimuat Dalam Putusan a. Perbuatan

Terdakwa PUTRANEFO ALEKSANDER PRAYUGO selaku Presiden Direktur PT. Masaro Radiokom Bersama-sama dengan ANGGORO WIDJOJO, WANDOJO SISWANTO, JONI ALIANDO, ARYONO, DAVID ANGKAWIJAYA dan ARYONO melakukan beberapa perbuatan yang berdiri sendiri sehingga dipandang sebagai beberapa kejahatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu:

(2)

Page | 2

1. memperkaya PT. Masaro Radiokom sebesar Rp. 89.329.245.016

2. WANDOJO SISWANTO sebesar Rp. 20.000.000,-; dan USD 10.000 3. BOEN MOCHTAR POERNAMA sebesar USD 20.000,-

4. YUSUF ERWIN FAISAL dibagikan kepada anggota komisi IV DPR RI tahun 2004-2009 sebesar Rp. 125.000.000,- dan Sin $ 220.000

ATAU

Terdakwa PUTRANEFO ALEKSANDER PRAYUGO selaku Presiden Direktur PT. Masaro bersama ANGGORO WIDJOJO dan DAVID ANGKAWIJAYA memberi sesuatu kepada Pegawai negeri atau penyelenggaran negara Departemen Kehutanan yakni WANDOJO SISWANTO, JONI ALIANDO, ARYONO, BOEN MOCHTAR POERNAMA dan kepada Anggota DPR RI YUSUF ERWIN FAISAL atas maksud tertentu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Dimana perbuatan mana dimaksud diatas dilakukan dalam kegiatan pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah di Departemen Kehutanan pada tahun 2006 dan 2007, diantarannya:

1. Revitalisasi Jaringan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan RI Tahun 2006

2. Perluasan Jaringan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan RI Tahun 2006;

3. Perluasan Sistem Jaringan Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Lingkup Taman Nasional dan Tahun 2007;

4. Perluasan Lingkup Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Tahun 2007; 5. Pengadaan Radio Bergerak Sistem komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Tahun 2007. b. Pasal Yang Didakwakan

1. Primair : Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana;

Subsider: Pasal 3 jo. . Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana;

ATAU

2. Primair : Pasal 5 Ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana;

Subsider : Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana;

(3)

Page | 3

c. Tuntutan

1. Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan dalam dakwaan Kesatu Primers;

2. Pidana penjara 7 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda Rp. 250.000.000,- subsider 3 bulan kurungan; dengan perintah supaya terdakwa tetap dalam tahanan;

3. Membayar uang pengganti sebesar Rp. 89.329.245.016,- dikurangi dengan hasil kejahatan yang telah disita sebesar Rp. 20.000.000,-; dan USD 10.000,- pengembalian dari Ir. WANDOJO SISWANTO; dan USD 20.000,- pengembalian dari Ir. BOEN MOCHTAR POERNAMA; dikompensasikan dengan tanah dan bangunan serta benda bergerak lainnya milik terdakwa, dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah perkara memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap maka harta benda akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi biaya uang pengganti tersebut. Dalam hal tidak mempunyai harta benda yang menukupi biaya uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 3 tahun;

d. Vonis

1. Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama; 2. Pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- subside

4 (empat) bulan kurungan;

3. Mengurangi lamanya terdakwa dalam tahanan dengan jumlah pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan agar terdakwa agar tetap dalam tahanan;

5. Membayar uang pengganti sebesar Rp. 89.329.245.016,- dikurangi dengan hasil kejahatan yang telah disita sebesar Rp. 20.000.000,-; dan USD 10.000,- dari Ir. WANDOJO SISWANTO; dan USD 20.000,- pengembalian dari Ir. BOEN MOCHTAR POERNAMA; dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah perkara memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap maka harta benda akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi biaya uang pengganti tersebut. Dalam hal tidak mempunyai harta benda yang menukupi biaya uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 2 tahun. e. Hakim Yang Menyidangkan

1. Hani Indrawati SH., M.Hum (Hakim Ketua) 2. H. Herdi Agusten SH., M.Hum (Hakim anggota) 3. H. Ahmad Linoh, SH., M.Pd (Hakim Anggota) 4. Slamet Subagio SH., M.H (Hakim anggota) 5. Sofialdi, SH (Hakim Anggota)

(4)

Page | 4

III. Tanggapan Terhadap Putusan

a. Perihal Penahanan

Dari uraian masa penahanan oleh penyidik, penuntut umum dan pengadilan yang tertera dalam putusan, terlihat saling tumpang tindih. Yaitu penyidik KPK menahan tersangka sampai dengan tanggal 28 Oktober 2010, sedangkan penuntut umum KPK juga sudah menahan sejak tanggal yang sama. Kemudian, penuntut umum KPK menahan tersangka sampai tanggal 16 November 2010, sementara Pengadilan tipikor sudah menahan sejak tanggal 11 November 2010. Artinya, walaupun hanya bersifat administratif, namun secara faktual pada tanggal 28 Oktober 2010 tersangka ditahan oleh 2 institusi yang berbeda yakni penyidik dan penuntut umum KPK. Kemudian dari tanggal 11 November 2010 sampai dengan 16 November 2010, tersangka ditahan oleh penuntut umum KPK dan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Hal ini menandakan kurangnya perhatian institusi penegak hukum dalam menagani masalah administrasi peradilan yang menurut hemat saya seharusnya tidak perlu terjadi.

b. Surat Dakwaan

Oleh jaksa, dakwaan disusun dalam bentuk alternatif dan subsider. Perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dalam dakwaan kesatu adalah perbuatan yang melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara disusun secara subsider antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Sementera dalam dakwaan kedua dituduh melakukan penyuapan kepada pegawai negeri dalam bentuk subsider Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Pada dasarnya, dakwaan alternatif maupun subsider memiliki persamaan. Hal ini dapat dilihat dari segi tujuan yang hendak dicapai. Bentuk surat dakwaan alternatif ditujukan untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggungjawaban hukum pidana (crime liability) dan memberi pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat.1

Sementara, dalam dakwaan subsider digunakan terhadap ketentuan pidana yang saling bertitik singgungan/saling berdekatan, dan dengan maksud agar terdakwa tidak lepas dari pertanggung jawaban pidana terhadap perbuatan/tindak pidana yang telah dilakukan.2 Perbedaannya adalah dalam hal pembuktian oleh hakim, dimana dalam

dakwaan alternatif hakim bebas memilih dakwaan mana yang sesuai dengan fakta hukum yang muncul dalam persidangan. Sementara dalam dakwaan subsider, hakim harus memeriksaa dakwaan primer terlebih dahulu, baru apabila tidak terbukti baru dilanjutkan kepada dakwaan subsider.

Dalam dakwaan kedua, terdakwa PUTRANEFO dituduh melakukan penyuapaan kepada pejabat di Dephut untuk memuluskan program SKRT. Namun, uraian peristiwa pengadaan

1 Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika, h. 401.

2 Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua di Kejaksaan Dan Pengadilan Negeri; Upaya

(5)

Page | 5

pada tahun 2006 tidak dijelakan sampai tuntas, hanya dijelaskan sampai penetapan program SKRT oleh Departeman Keuangan setelah sebelumnya disahkan oleh DPR (h. 113). Begitu pula pada dakwan subsidernya, yakni pengadaan ditahun 2007 (h. 120). Seharusnya, karena prinsip dakwaan alternatif maupun subsider tidak jauh berbeda, yakni terhadap perbuatan yang saling bersinggungan/berdekatan, maka seharusnya peristiwa yang diuraikan dalam dakwaan kedua baik primer (h. 116) maupun subsider (h. 122) tidak hanya sampai penyerahan uang dari terdakwa bersama ANGGORO keapda pejabat Dephut saja, jaksa seharusnya juga menguraikan peristiwa-peristiwa sampai saat penetapan PT. Masaro Radiokom sebagai pelaksana pengadaan barang dan/atau jasa melalui penunjukan langsung seperti halnya uraian dalam dakwaan kesatu. Karena, terpilihnya PT. Masaro Radiokom untuk mengerjakan program SKRT-lah yang menjadi tujuan terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum tersebut dengan menyuap sejumlah pejabat di Depratemen Kehutanan.

Kemudian, penyusunan dakwaan kesatu dalam bentuk subsider antara Pasal 2 dengan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 sesungguhnya tidaklah tepat.

Pertama, inti delik dalam Pasal 3 adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang. Sementara terdakwa sebagai Presiden Direktir PT. Masaro Radiokom bukanlah dalam kapasitas sebagai seorang yang memiliki kewenangan untuk disalahgunakan. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Romli Atmasasmita dalam salah satu artikelnya bahwa terhadap Pasal 3 khusus dialamatkan kepada Pegawai negeri/pejabat publik.3 Lebih lanjut menurutnya ada 3 hal yang mendasari Pasal 2 dengan Pasal 3

tersebut, yaitu:

1. Secara historis, peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi mulai dari UU Prp Nomor 24 tahun 1960 sampai dengan perubahan terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2000, memiliki sarasaran utama pegawai negeri atau penyelenggaran negara. Pemikirannya, yang bisa menyalahgunakan kewenangan hanyalah penyelenggaran negara yang sedang menjalankan jabatan pemerintah;

2. klausul “memperkaya” pada pasal 2 menunjukkan kelaziman dari para pengusaha (swasta). Sedangkan pada pasal 3 disebut sebagai perbuatan yang “menguntungkan”, karena tugas dari seorang pegawai negeri adalah mengabdi kepada negara dan yang terjadi dalam praktik adalah menggunakan kewenangan atau kesempatan dengan tujuan untuk “menguntungkan” atau “undue avantage” sebagaimana juga disebutkan dalam Konvensi PBB Anti Korupsi 2003;

3. ancaman hukuman minimal pada Pasal 2 yakni 4 tahun lebih tinggi daripada Pasa 3 yakni 1 tahun, karena posisi pegawai negeri merupakan posisi yang “terpojok” dengan iming-iming untuk menyalahgunakan kewenangan.

3Romli Atmasasmita, Perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20

tahun 2001, diunduh dari http://infohukum.co.cc/perbedaan-pasal-2-dan-pasal-3-uu-nomor-31-tahun-1999-yang-telah-diubah-dengan-uu-nomor-20-tahun-2001/

(6)

Page | 6

Kedua, hampir semua jenis korupsi dapat didakwa dengan menggunakan Pasal 2 (Pasal keranjang sampah), karena inti delik dalam pasal ini adalah “melawan hukum”. Sementara, inti delik dalam Pasal 3 adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang merupakan unsur melawan hukum secara diam-diam. Jadi, penggunaan Pasal 3 dalam bentuk subsider dari Pasal 2 akan sia-sia. Karena, apabila perbuatan tidak terbukti di Pasal 2 maka kemungkinan besar terdakwa akan lepas dari dakwaan Pasal 3, karena memiliki unsur yang sama. Akan lebih berguna jika Pasal 2 langsung disusun dalam bentuk subsider dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan lebih subsider dengan Pasal 13, karena akan memaksa hakim untuk memeriksa satu-persatu Pasal yang didakwakan apabila tidak terbukti pada dakwaan primer ataupun subsider.

c. Pertimbangan Hakim

Karena dakwaan berbentuk alternatif, hakim memilih dakwaan kesatu yang dianggap memiliki kesesuaian dengan fakta hukum yang terungkap dipersidangan yakni dakwaan kesatu primer. Dalam dakwaan tersebut, terdakwa melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana.

1) Perihal Unsur “Melawan hukum”

Majelis hakim mengawali ulasannya dengan memaparkan sifat melawan hukum materil. Majelis berkesimpulan bahwa pengertian “melawan hukum” adalah tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan (korupsi) dan bertentangan dengan keharusan dalam pergaula hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya dan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan kaharusan atau kepatutan (h. 358). Dengan kata lain, majelis berpendirian dalam argumentasi awalnya, bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum secara materil. Namun, dalam uraian fakta hukumnya, majelis mempertimbangkan unsur “melawan hukum” secara formil, yakni perbuatan terdakwa terlah bertentangan dengan Keppres No. 80 Tahun 2003:

- Pasal 1 Ayat (16) karena menugaskan SIGIT SUTIYOSO menyiapkan dokumen pengadaan SKRT DIPA 069 Tahun 2006 dan 2007;

- Pasal 17 Ayat (5) huruf f karena alasan untuk menunjuk langsung tidak sesuai dengan petunjuk Keppres;

- Pasal 3 huruf (c) dan (d) karena upaya terdakwa melakukan pendekatan kepada pejabat Dephut RI dengan berhubungan secara langsung sebelum pelaksanaan pengadaan peralatan SKRT Tahuun 2006 dan 2007;

- Pasal 13 Ayat (1) karena akibat perbuatan terdakwa proses pengadaan dengan penunjukan langsung dilakukan hanya degnan formalitas, dimana JHONI ALIANDO selaku ketua Panitia pengadaan tidak pernah membuat rencana keraja, RAB, maupun HPS;

(7)

Page | 7

- Pasal 5 huruf f karena terdakwa yang seharusnya memahami mekanisme penunjukan langsung dimana harus ada negosiasi dengan calon penyedia pengadaan barang dan/jasa, namun itu diabaikannya;

- Lampiran Bab I C.1.a.4 karena kegiatan pengadaan oleh PT. Masaro dimana terdakwa sebagai Presideng Direktur hanya berdasarkan kesepakatan terdakwa dangan pejabat Dephut, tidak mempertimbangkan keadaan yang memang mendesak untuk dilakukan penunjukan langsung;

- Pasal 3 huruf c, d dan e karena mengabaikan prinsip-prinsip dasar pengadaan barang dan/jasa;

Hal ini menerangkan bahwa sesungguhnya terdakwa menurut majelis telah melanggar norma-norma hukum dalam kegiatan pengadaan barang dan/atau jasa (Keppres No. 80 Tahun 2003). Dengan kata lain, unsur melawan hukum formil (peraturan perundang-undangan) telah terpenuhi. Maka dengan demikian terdapat ketidakkonsistenan majelis dalam menghubungkan pendirian hakim yang pada awalnya mengedepankan konsep melawan hukum dalam arti materil (melanggar kepatutan dalam masyarakat), sedangkan pada fakta hukum yang dibuktikan adalah terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya telah melawan hukum secara materil (melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003).

2) Perihal Kerugian Negara

Penulis menyadari tidak terlalu kompeten untuk menilai persoalan tentang kerugian negara. Namun, ada hal yang dapat penulis sampaikan terkait penerapan asas kesimbangan yang perlu juga diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan kerugaian negara tersebut. Ahli dari BPKP (PIPING EFFRIANTO) menyebutkan bahwa SOP dalam memeriksa kerugian keuangan negara berdasarkan dokumenn atau data-data yang hanya diperoleh dari penyidik saja (h. 249). Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007 seperti yang disampaikan oleh Ahli DIAN M. P. SIMATUPANG dimana dalam setiap pemerksaan keuangan harus mengacu kepada prinsip asersi, yaitu setiap pemeriksaan keuangan tidak boleh berdasarkan dari informasi salah satu pihak, harus kedua belah pihak dan kalau bisa diluar pihak tersebut. Hal ini juga disampaikan oleh hakim anggota IV (SOFIALDI,SH) dalam Disenting Opinion-nya, yang menyatakan pendapat ahli dari BPKP tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keahliannya karena tidak ditemukannya berapa besaran yang pasti harga pembandingnya, melainkan hanya disimpulkan sendiri oleh ahli BPKP dengan mengacu kepada pendapat/perhitungan PT.LEN Industri yang tidak memberikan pendapat apapun dalam hal ini (h. 386). Seharusnya BPKP dalam melakukan pemeriksaan kerugian negara harus bekerja secara independen mengingat kapasitasnya dihadirkan dipersidangan adalah sebagai ahli yang mendasarkan keterangannya dari latar belakang keilmuan yang ia miliki.

(8)

Page | 8

3) Perihal Pidana Uang Pengganti

Penjatuhan pidana uang pengganti kepada terdakwa PUTRANEFO sebesar Rp. 89.329.245.016,00 tidak sepenuhnya tepat. Hal ini karena delik korupsi yang terjadi adalah perbuatan bersama-sama (plegen) antara terdakwa dengan ANGGORO WIDJOYO beserta pejabat Dephut, maka kurang tepat apabila semua kerugian negara harus sepenuhnya dibebankan kepada terdakwa. Seperti yang diungkapkan oleh hakim anggota IV dalam dissenting opinioin-nya, bahwa perkara a quo telah menguntungkan PT. Masaro Radiokom, sedangkan kapasitas terdakwa adalah sebagai Presiden Direktur sebagaimana terungkap dalam bukti No. 1164 baru menempatkan sahamnya pada PT. Masaro sebesar 20% dan pada tanggal 30 agustus 2007 baru menjabat sebagai Presiden direktur. Hal ini menurutnya tidak adil, karena keuntungan PT. Masaro yang disisi lain merupakan kerugian negara harus ditimpakan semua kepadanya. Dimana seharusnya, ANGGORO WIDJOYO sebagai pemilik saham mayoritas harus juga dibebankan untuk menanggung kerugian negara tersebut. Penerapan hukuman uang pengganti yang cukup berat kepada PUTRANEFO ini secara politis dapat saja dibaca untuk menutup penyelesaian kasus SKRT ini yang juga melibatkan ANGGORO WIDJOYO, mengingat keberadaannya yang sampai sekarang ini masih berstatus buron.

IV. Hal-hal Lain

a. Beberapa kali ditemukan kalimat yang terputus atau tidak lengkap, sehingga menyulitkan untuk mengetahui maknanya. Seperti dalam halaman 379 dalam kalimat “Oleh karena itu, dakwaan yang berkaitan dengan Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana ini haruslah dinyatakan”.; b. Beberapa saksi yang dihadirkan dimuka persidangan tidak mengetahui perihal kebijakan

penunjukan langsung dalam pengadaan SKRT tahuun 2006 maupun 2007 karena kebanyakan hanya bertugas menangani masalah teknis. Misalnya penjaga repeater di pulau Bangka (NOLDI NGELO), pengelola Taman Nasional wilayah I (JIMMY SALANTI), pemeriksa barang dan hasil pelaksanaan kegaiatan (WIHARNO), panitia pemeriksa dan penerima dokumen (SUHARDJITO), staf Biro Umum Dephut (CAHYONO). Seharusnya, penyidik menghadirkan orang-orang yang terkait dengan kebijakan penunjukan langsung tersebut, seperti dari pihak Departemen Perdagangan yang menurut keterangan beberapa saksi melihat sertifikat Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) dari Dep. Perdagangan tersebut yang dijadikan dasar untuk melakukan penunjukan langsung;

c. Penunjukan Ahli dari PT. LEN kurang tepat, karena nama PT. LEN disebutkan pernah juga direncanakan sebagai rekanan Dephut, namun tidak terlaksana. Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang tidak diperbolehkan sebagai prasarat seorang ahli dalam persidangan. Seharusnya, pihak PT. LEN didengar keterangannya hanya sebagai saksi bukan ahli

d. Dalalm persidangan, tidak disinggung adannya dugaan keterlibatan Menteri Kehutanan. Jika merujuk kepada kasus pengadaan badang dan/jasa pemerintahan di beberapa

(9)

Page | 9

kementerian negara, tidak tertutup kemungkinan ada peran dari Menteri selaku pengguna anggaran, apalagi menteri yang bersal dari partai politik.

V. Kesimpulan

a. Penyidik harus cermat dalam melakukan penahanan terhadap tersangka, maupun terdakwa dalam proses peradilan pidana karena hal demikian menunjukkan profesionalitas aparat penegak hukum;

b. Dalam menyusun dakwaan tindak pidana korupsi, sudah saatnya penegak hukum memperhatikan delik mana yang harus didakwa dengan menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. Putusan hakim memang sudah sesuai dengan fakta hukum yang ada, bahwa memang terdapat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Ir. PUTRANEFO ALEKSANER PRAYUGO bersama-sama dengan ANGGORO WIDJOYO dan beberapa pejabat Dephut, namun dalam penerapan hukumnya masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi terdakwa.

Jakarta, 3 Februari 2012 Eksaminator

Refki Saputra

(10)

Page | 10

Referensi

Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua di Kejaksaan Dan Pengadilan Negeri; Upaya Hukum dan Eksekusi Edisi Pertama , Sinar Grafika: Jakarta.

Romli Atmasasmita, Perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, diunduh dari http://infohukum.co.cc/perbedaan-pasal-2-dan-pasal-3-uu-nomor-31-tahun-1999-yang-telah-diubah-dengan-uu-nomor-20-tahun-2001/

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan perkoperasian di KUD Karya Mina Kota Tegal sudah sesuai yang diharapkan, sehingga akan dapat memberikan kontribusi terhadap

Masalah yang akan dipecahkan nantinya adalah perancangan kembali bangunan pasar tradisional bercitra modern melalui pendekatan teknologi bangunan dengan batasan

Metode penelitian yang dilakukan untuk merancang dan membuat sistem informasi Toko Online KPRI UNS Surakrata ini adalah dengan menggunakan metode penelitian

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul : Studi Gejala Efek Samping Obat Captopril Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Di Rumah Sakit Daerah dr.. Soebandi

Pada akhir minggu ke-10 pascafertilisasi, atau minggu ke-12 bila dihitung sejak masa menstruasi terakhir, seluruh usus telah masuk ke dalam abdomen dan keluar dari tali

Terlibat dalam koalisi dominan, mampu memberi rekomendasi rancangan kebijakan, namun ‘g’’’’’]retidak bisa mengelola langsung anggaran dikarenakan posisinya diluar

Pada tahun 2014 (Jan s/d Mei) daerah yang terjadi kasus HPAI antara lain : Kab. Padang Pariaman sebanyak 1 kasus di bl Feb

Nilai koefisien determinasi ditunjukkan oleh nilai R yang menunjukkan korelasi berganda, yaitu faktor pola komunikasi keluarga, percaya diri, introversi, dan harga