• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara di Indonesia

2.1.1. Sejarah Pembentukan Batubara

Marco Polo salah seorang petualang dunia di abad 13 berkebangsaan Italia, pada tahun 1271 telah menjelajah di negeri China. Selanjutnya melakukan petualangnya selama 25 tahun kemudian kembali ke negerinya dengan membawa banyak cerita dan pengalaman. Salah satu kisah menarik adalah ditemukannya benda aneh yang disebut black stone yang dimanfaatkan orang China sebagai bahan bakar. Black stone sudah ratusan tahun yang silam digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar secara berangsur-angsur berkurang, digeser oleh bahan bakar minyak yang dianggap lebih praktis dan efisien.

Negara-negara produsen minyak khususnya negara Timur tengah sekitar tahun 1973/1974 mengalami gejolak politik membuat ketidak stabilan di negara tersebut. Akibatnya terjadi krisis minyak yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Persediaan minyak di dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan dunia, terutama oleh negara-negara industri, menyebabkan harga minyak meningkat tidak terkendali, dan biaya produksi di industri terpaksa meningkat tinggi. Akibatnya, pada saat itu negara-negara industri di Eropa dan Asia mulai lagi melirik sumber bahan bakar batubara dan bahkan mencari sumber-sumber energi alternatif lain seperti gas alam, panas bumi (geothermal), tenaga angin, tenaga nuklir, tenaga gelombang laut, tenaga matahari dan lain-lain.

(2)

Secara khusus di Indonesia, penggunaan energi alternatif batubara kembali gencar setelah krisis moneter (krismon) melanda sekitar tahun 1996. Pilihan kembali penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif cukup beralasan mengingat disamping semakin terasa krisis sumber energi minyak bumi dan gas, cadangan batubara Indonesia masih cukup besar mencapai hampir 30 milyar ton yang tersebar di berbagai daerah, khususnya di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi serta sedikit tersedia cadangan di Jawa. Selain batubara sebagai sumber energi alternatif tidak terbaharukan (unrenewbale), pasca krisis moneter gencar pula dilakukan penelitian pembuatan dan penggunaan biodiesel sebagai biofuel atau energi alternatif terbarukan (renewable). Biodiesel memiliki kelebihan ramah lingkungan, dapat diproduksi dari berbagai sumber minyak nabati seperti minyak jarak, minyak sawit, minyak bunga matahari dan lain-lain. Namun batubara matang memiliki keungulan lain, memiliki nilai kalor tinggi (mencapai 8000 kkal/kg) dan mudah terbakar, sehingga dapat dikatakan batubara tersebut siap terbakar dan siap pakai tanpa biaya proses yang mahal sebagaimana dalam proses pembuatan biodiesel (Aladin, 2011).

2.1.2. Proses Pembentukkan Batubara

Batubara memiliki kesamaan dengan arang kayu, yaitu memiliki kandungan unsur kimia yang serupa (C, H, O, N, S, dan P), bersumber sama-sama dari bahan kayu (tumbuhan), memiliki nilai kalori yang kurang lebih sama (nilai kalor arang kayu sekitar 7000 kal/gr, batubara kelas bituminius sekitar 6000-8000 kal/gr). Hanya saja batubara terbentuk melalui proses alam dalam jangka waktu yang sangat panjang, batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang sudah yang sudah mati dengan komposisi utama sellulosa (suatu polisakarida) melalui suatu

(3)

proses coalification pengaruh oleh pengaruh faktor kimia, fisika dan biologi akan mengubah secara perlahan sellulosa tersebut menjadi batubara (peat, lignit, subituminious, bituminous, dan antrasit). Reaksi coalification sesungguhnya cukup kompleks, namun dapat disederhanakan sebagai berikut :

(C6H12O5)n → C20H22O4 + CH4+ H2O + CO

Tempat pembentukkan batubara dapat terjadi dimana sisa-sisa tumbuhan berasal, tetapi kemungkinan pula dengan satu dan lain faktor batubara terjadi di suatu tempat yang berbeda dengan sumber sisa-sisa tumbuhan tersebut. Dikenal dua teori tempat terbentuknya batubara yaitu teori in situ dan teori drif.Teori in situ merupakan batubara yang terbentuk dengan penyebaran luas dan relatif merata, kualitasnya relatif lebih baik sebab kadar abunya lebih rendah dan bahan pengotornya lebih sedikit. Sedangkan teori drif merupakan penyebaran sempit dengan kualitas kurang baik sebab banyak mengandung bahan pengotor yang terangkut bersama selama proses perpindahan dari tempat asal tumbuhan ke tempat sedimentasi. Beberapa faktor yang dapat berpengaruh dalam proses pembentukkan batubara, antara lain yaitu : posisi geoteknik, morfologi, iklim, penurunan, umur geologi, jenis tumbuh-tumbuhan, proses dekomposisi, struktur cekungan batubara, dan metamorfosis organik (Aladin, 2011).

(4)

2.1.3. Klasifikasi Batubara Tabel 2.1.3. Klasifikasi Batubara

Kriteria (basis kering) Kelas Batubara I. Anthracite II. Bituminous III. Subbituminous IV. Lignite Proksimate/kalor Fixed carbon (%) ≥ 86 86-54 53-56 ≤ 52 Volatile matter (%) ≤ 14 14-54 53-56 ≥ 52 Moisture (%) ≤ 6 Mei-16 18-30 ≥ 38 Calorivic Value (kcal/kg) 7740-8300 7410-8741 5990-7540 ≤ 5250 Ultimate/Density Carbon (%) 75-85 65-80 55-70 35-45 Hidrogen (%) 1,5-3,5 4,5-6 5,5-6,5 6-7,5 Oksigen (%) 5,5-9 4,5-10 15-30 38-48 Nitrogen (%) 0,5-1 0,5-2,5 0,8-1,5 0,6-1 Sulfur (%) 0,5-2,5 0,5-6 0,3-1,5 0,3-2,5 Density (kg/L) 1,35-1,70 1,28-1,35 1,35-1,40 1,40-1,45 Sumber: Kirk and Othmer, 1980; Hessley et al, 1986

Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang secara umum diklasifikasikan menjadi empat kelas utama menurut standar ASTM (Kirk-Othmer, 1980) atau lima kelas jika dimasukkan peat atau gambut sebagai jenis batubara yang paling muda (Larsen, 1978). Dalam hal ini kelas batubara disertai dengan kriteria berdasarkan analisis proximate dan nilai kalornya, juga kriteria berdasarkan analisis ultimate dan kandungan sulfur total serta densitasnya.

(5)

Peat (gambut) biasa juga disebut brown coal (batubara muda), merupakan jenis batubara yang paling rendah mutunya, bersifat lunak, dapat dilihat dari warna dan struktur (kayu), mudah pecah saat pemanasan. Lignite, yaitu jenis batubara di atas brown coal, namun kualitasnya masih tergolong rendah. Jenis batubara ini berwarna coklat mengkilat, struktur kayu masih nampak, kandungan air dan oksigen relatif tinggi, dengan kandungan kalor yang rendah. Sub-bituminous sering juga disebut black lignite adalah jenis batubara transisi antara lignite dan bituminous, dengan kualitas sedang. Bituminous, yaitu jenis batubara yang termasuk kategori kualitas baik, memiliki sifat lebih keras dari sub-bituminous, kandungan oksigen rendah, sedangkan kandungan karbon dan kalor relatif tinggi. Anthracite, yaitu jenis batubara dengan kandungan karbon cukup tinggi, zat mudah menguap (volatile matter) dan kandungan oksigennya relatif rendah, pada saat pembakaran tidak atau kurang menghasilkan asap. Anthracite memiliki kandungan kalor tertinggi dengan kualitas terbaik diantara jenis batubara yang telah disebutkan sebelumnya. Anthracite yang paling keras, dengan struktur kompak dan padat dikenal dengan nama graphite merupakan jenis batubara dengan kualitas tertinggi (Aladin, 2011).

2.1.4. Kualitas Batubara

Batubara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan pengotor (impurities). Pada saat terbentuknya, batubara selalu bercampur dengan mineral penyusun batuan yang selalu terdapat bersamaan selama proses sedimentasi, baik sebagai mineral anorganik ataupun sebagai bahan organik. Disamping itu, selama berlangsung proses coalification terbentuk unsur S yang tidak dapat dihindarkan. Keberadaan pengotor dalam batubara hasil penambangan

(6)

diperparah lagi, dengan adanya kenyataan bahwa tidak mungkin membersihkan/ memilih/mengambil batubara yang bebas dari mineral. Hal tersebut disebabkan antara lain, penambangan batubara dalam jumlah besar selalu mempergunakan alat-alat berat antara lain: bulldoser, backhoe, tractor, truck, belt conveyor, ponton, yang selalu bergelimang dengan tanah. Dikenal dua jenis impurities yaitu: inherent impurities dan external impurities. Dimana Inherent impurities merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam batubara. Sedangkan External impurities merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses penambangan antara lain terbawanya tanah yang berasal dari lapisan penutup (overburden).

2.1.5. Proses Pembakaran ( Combustion Process)

Proses Combustion atau pembakaran batubara dapat didefinisikan sebagai oksidasi karbon dan hidrokarbon membentukan karbon dioksida dan air dengan menghasilkan panas. Metode pembakaran berdasarkan arah aliran pembakaran terdiri dari up draught combustion dan down-draught combustion. Metode lainnya adalah fluidized bed combustion. Batubara pada umumnya mengandung 30% -40% volatile matter (bahan mudah menguap) termasuk tar yang teruapkan sekitar suhu 450 0C. Dalam pembakaran sederhana ini, panas di transfer pada nyala api secara radiasi dan konveksi (Pit and Milward, 1979).

(7)

2.1.6. Analisis Batubara

Banyak cara yang dilakukan untuk mengetahui kualitas/mutu batubara berkaitan dengan pemanfaatannya. Pada prinsipnya dikenal 2 jenis pengujian/ analisis yaitu Analisis Proksimat (Proximate Analysis) dan Analisis Ultimat (Ultimate Analysis/Elemental Analysis).

1. Analisis Proksimat, yang perlu diketahui antara lain:

a. Moisture Content

b. Ash Content

c. Volatile Matter

d. Fixed Carbon

e. Total Sulfur

f. Gross Calorific Value

g. Hardgrove Gindability Index

2. Analisis Ultimate, yang perlu diketahui antara lain: a. Carbon Content

b. Hidrogen Content c. Oxygen Content d. Nitrogen Content e. Sulfur Content

(8)

Dalam analisis ultimate ingin diketahui besaran dan jenis unsur/elemen pembentuk batubara khususnya unsur C, H, O, N, dan S. Kandungan/jumlah oksigen merupakan salah satu indikatordari chemical properties batubara. Hal ini akan mampu menjelaskan sifat batubara terhadap kemudahan terbakar/menyala, yang sering dikaitkan dengan macam tingkatan batubara, kemampuan mencair (liquifaction) dan sifat berubah menjadi coke (coking) dari batubara, di samping merupakan informasi yang penting untuk determinasi dalam penggolongan batubara (rank determination). Jumlah kandungan oksigen biasanya diperoleh/ dihitung dengan cara mengurangkan hasil analisis ultimat dari unsur C, H, N, S pada nilai 100%. Metode ini dikenal sebagai “oxygen-by-difference” Penilaian jumlah oksigen dengan cara mengurangi akan menimbulkan kesalahan secara akumulatif terhadap unsur lainnya dan juga perhitungan terhadap mineral matter dan mineral matter free basis. Sebagai catatan, untuk menghitung persentase oksigen, suatu metode telah dikembangkan pada tahun 1950, khususnya untuk batubara, tetapi metode tersebut dirasakan kurang praktis karena hanya mampu dilakukan apabila sarana laboratorium cukup lengkap.

Proses demineralisation batubara, merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan apabila batubara akan dimanfaatkan dalam industri (baik sebagai coal plant, power plant). Pencermatan analisis batubara lebih diarahkan pada kemampuan untuk menghasilkan panas. Pemanasan sangat dimungkinkan berjalan sangat cepat atau agak lambat (Sukandarrumidi, 1995).

Sifat batubara ditentukan oleh beberapa hal antara lain: cara terbentuknya/ tumbuhan asal, dan tempat terbentuknya/tempat penambangan. Sangat boleh jadi sifat batubara yang berasal dari Sumatera, berbeda dengan sifat batubara yang

(9)

berasal dari Kalimantan dibawah ini diberikan contoh hasil analisis proksimat batubara dari Sumatera dan batubara dari Kalimantan.

Tabel 2.1.6. Hasil Analisis Proksimat Batubara

UNSUR UNIT

SUMATERA SEBULU

(KALIMANTAN)

WORST AVERAGE

High heating value Kcal/kg 4.225 5,245 6.957

Total moisture % 28,300 23,600 6,100 Volatile matter % 15,100 30,300 43,900 Ash content % 12,800 7,800 6,100 Sulfur content % 0,9 0,400 0,3700 Hardgrove Grind.Ind - 59,4-65 61,00 41,00 Sumber: Sukandarrumidi, 2005

2.2. Abu Terbang (Fly Ash) Batubara

Abu terbang (fly ash) merupakan limbah padat hasil dari proses pembakaran di dalam furnace pada PLTU Ombilin yang kemudian terbawa keluar oleh sisa-sisa pembakaran dan ditangkap dengan menggunakan elektrostatik presipitator. Abu terbang merupakan residu mineral dalam butir halus yang dihasilkan dari pembakaran batubara yang dihaluskan pada suatu pusat pembangkit listrik. Abu terbang terdiri dari bahan anorganik yang terdapat di dalam batubara yang telah mengalami fusi selama pembakarannya. Bahan ini memadat selama berada di dalam gas-gas buangan dan dikumpulkan

(10)

menggunakan presipitator elektrostatik. Karena partikel-partikel ini memadat selama tersuspensi di dalam gas-gas buangan, partikel-partikel abu terbang umumnya berbentuk bulat. Partikel-partikel abu terbang yang terkumpul pada presipitator elektrostatik biasanya berukuran seperti debu (0,074 – 0,005 mm). Bahan ini terutama terdiri dari silikon dioksida (SiO₂), aluminium oksida (Al₂O₃), dan besi oksida (Fe₂O₃) (Dafi, 2009).

Abu terbang batubara umumnya dibuang di landfill atau ditumpuk begitusaja di dalam area industri. Penumpukkan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini umumnya abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam :

1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan

2. Penimbun lahan bekas pertambangan

3. Recovery magnetit, cenosphere, dan karbon

4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori

5. Bahan penggosok (polisher)

6. Filler aspal, plastik, dan kertas

(11)

8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)

9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben

ASTM C 618 dan Canadian Standard Asociation (CSA) A 23,5 memberikan 2 jenis abu terbang yaitu tipe F dan tipe C. Secara umum perbedaan kedua tipe ini adalah pada sumbernya, yaitu batubara. Perbedaan yang nyata secara khusus yakni pada komposisi kimia yang terkandung dalam abu terbang. Abu terbang tipe F memiliki komposisi kimia yaitu : SiO₂.Al₂O₃-Fe₂O₃ ≥ 70 %, dan untuk kadar CaO rata-rata kurang dari 8%. Abu terbang tipe C untuk komposisi yang sama SiO₂.Al₂O₃-Fe₂O₃ memiliki kadar antara 50 – 70% (Aptika, 2010).

2.2.1. Sifat Abu Terbang 2.2.2. Sifat Fisik Abu Terbang

Abu terbang merupakan material yang dihasilkan dari proses pembakaranbatubara pada alat pembangkit listrik, sehingga semua sifat-sifatnya juga ditentukan oleh komposisi dan sifat-sifat mineral-mineral pengotor dalam batubara serta proses pembakarannya. Dalam proses pembakaran batubara ini titik leleh abu batubara lebih tinggi dari temperatur pembakarannya. Kondisi ini menghasilkan abu yang memiliki tekstur butiran yang sangat halus. Abu terbang batubara yang terdiri dari butiran halus umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai

(12)

3000 kg/m³ dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2

Adapun sifat-sifat fisiknya antara lain : /kg.

a) Warna : abu-abu keputihan

b) Ukuran butir : sangat halus yaitu sekitar 88 %

(Dafi, 2009).

2.2.3. Sifat Kimia Abu Terbang

Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yang dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan sub/bituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang lebih sedikit dari pada bituminous. Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silikat (SiO₂), alumina (Al₂O₃), dan besi oksida (Fe₂O₃), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang (Dafi, 2009).

2.2.4. Komposisi Kimia Abu Terbang

PLTU Ombilin menggunakan ASTM Standar (Standar the American Society for Testing and Materials) untuk kadar abunya yaitu 1-13%, volatile matter yaitu 20-40% dan nilai kalornya berkisar antara 5.800-7.700 kkal/kg.

(13)

Komposisi kimia abu terbang dari PLTU Ombilin dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.2.4. Komposisi Abu Terbang dari PLTU Ombilin

No. PARAMETER UNIT RESULT METHOD

1. SiO₂ % 60,68 SNI 13-3608-1994 2. Al₂O₃ % 19,49 SNI 13-3608-1994 3. Fe₂O₃ % 12,48 SNI 13-3608-1994 4. CaO % 2,28 SNI 13-3608-1994 5. MgO % 2,46 SNI 13-3608-1994 6. Na₂O % 0,17 ASTM D5759-12 7. K₂O % 0,12 ASTM D5759-12 8. TiO₂ % 0,96 ASTM D5759-12 9. P % 0,01 ASTM D5759-12

10. Loss on Ignition, LOI % 0,12 Gravimetri Sumber : SOMB PLTU Ombilin, 2002

Dari tabel 2.2.4. di atas dapat diketahui bahwa kandungan tertinggi dari abu terbang batubara PLTU Ombilin adalah silika sebesar 60,68%, posfor sebesar 0,01% dan oksida-oksida lainnya dalam jumlah yang kecil.

2.3. Silika

Silika merupakan unsur penyusun lithosfer kedua terbesar ( 27,61%) setelah oksigen (46,46%); 60% dari bebatuan basalt dan granit tersusun oleh SiO₂;

(14)

serta 5 dari 7 kelompok mineral primer (kecuali kelompok fosfat dan karbonat) mengandung Si; dan Si merupakan penyusun lempeng pada struktur liat silikat. Mineral silikat (SiO₂) yang kristalin meliputi kuarsa, tridimit dan kristobalit, sedangkan yang nonkristalin adalah opalin silika yang terbentuk secara biologis dari proses selefikasi dari rerumputan dan bagian pohon deciduous (Hanafiah, 2007).

2.4. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan menggunakan pelarut yang tidak saling campur. Berdasarkan fase yang terlibat, terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pemindahan komponen dari padatan ke pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui tiga tahapan, yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan atau ke dinding sel, di dalam dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan tahapan terakhir adalah pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan ekstrak. Ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan. Tingkat ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan yang diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik.

Terdapat dua macam ekstraksi padat-cair, yaitu dengan cara sokhlet dan perkolasi dengan atau tanpa pemanasan. Metode lain yang lebih sederhana dalam mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tak terlarut.

(15)

2.5. Ekstraksi Padat-Cair (Leaching)

Ekstraksi padat-cair (leaching) adalah proses pemisahan zat padat yang terlarut dari campurannya dengan pelarut yang tidak saling larut. Pemisahan umumnya melibatkan pemutusan yang selektif, dengan atau tanpa difusi. Pada kasus yang ekstrim dari simple washing terdiri dari pertukaran (dengan pengadukan) dari satu cairan interstitial dengan yang lainnya, di mana terjadi pencampuran.

Leaching merupakan proses peluruhan bagian yang mudah terlarut (solute) dari suatu padatan dengan menggunakan suatu larutan (pelarut) pada temperatur dan proses alir tertentu. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan bagian yang mudah terlarut karena lebih berharga dari padatannya, misalnya bahan tambang, minyak nabati, dan lain-lain, ataupun untuk menghilangkan bahan kontaminan yang mudah terlarut dari padatan yang lebih berharga, misalnya pigmen dari kontaminan kimiawi yang bisa atau mudah dilarutkan.

Ada empat faktor penting yang secara dominan mempengaruhi laju ekstraksi :

1. Ukuran Partikel

Semakin kecil ukuran solute, akan semakin mudah mengekstraksinya selain itu hendaknya ukuran butiran partikel tidak memiliki range yang jauh satu sama lain, sehingga setiap partikel akan menghabiskan waktu ekstraksi yang sama.

(16)

2. Pelarut (Solvent)

Pelarut harus mempunyai selektivitas tinggi, artinya kelarutan zat yang ingin dipisahkan dalam pelarut harus besar, sedangkan kelarutan dari padatan pengotor kecil atau diabaikan. Dan viskositas pelarut sebaiknya cukup rendah sehingga dapat bersirkulasi dengan mudah.

3. Temperatur

Dalam banyak kasus, kelarutan material yang diekstraksi akan meningkatdengan naiknya temperatur, sehingga laju ekstraksi semakin besar. Koefisien difusi diharapkan meningkat dengan naiknya temperatur untuk memberikan laju ekstraksi yang lebih tinggi (Richarson, 2001).

2.6. Dampak Batubara Hig Ash

Batubara dengan kandungan ash tinggi juga merupakan sumber pencemaran lingkungan. Abu hasil pembakaran batubara akan bertebaran di udara dan lingkungan, akan mengganggu keindahan lingkungan, mengganggu pernapasan, hingga dapat menyebabkan penyakit bagi manusia. Batubara high ash juga berdampak rendahnya kualitas batubara yang bersangkutan, yaitu menyebabkan rendahnya nilai kalor batubara. Seperti setelah diuraikan sebelumnya, bahwa nilai kalor batubara berbanding lurus dengan nilai fixed carbonnya, sementara fixed carbon berbanding terbalik dengan kandungan ash.

Pembakaran batubara akan menghasilkan limbah abu yang terdiri dari dua jenis, yaitu abu dasar (bottom ash) sekitar 20% dan abu terbang (fly ash) sekitar 80%. Bottom ash merupakan fraksi yang lebih kasar dan memiliki warna abu-abu

(17)

gelap. Setelah melalui proses pembakaran abu dasar akan jatuh dan terkumpul di dasar tungku pembakaran (furnance). Fly ash merupakan fraksi yang halus berwarna lebih terang. Setelah proses pembakaran, fly ash akan turut terbawa oleh gas buang dan dipisahkan oleh prespirator elektrostatik atau dust collector (Aladin, 2011).

2.7. Kolorimetri

Variasi warna suatu sistem berubah dengan berubahnya konsentrasi suatu komponen, membentuk dasar apa yang lazim disebut analisis kolorimetrik oleh ahli kimia. Warna itu biasanya disebabkan oleh pembentukan suatu senyawa berwarna dengan ditambahkannya reagensia yang tepat, atau warna itu dapat melekat dalam penyusun yang diinginkan itu sendiri. Intensitas warna kemudian dapat dibandingkan dengan yang diperoleh dengan menangani kuantitas yang diketahui dari zat itu dengan cara yang sama.

Kolorimetri dikaitkan dengan penetapan konsentrasi suatu zat dengan mengukur absorpsi relatif cahaya sehubungan dengan konsentrasi tertentu zat itu. Dalam kolorimetri visual, cahaya putih alamiah atau pun buatan umumnya digunakan sebagai sumber cahaya, dan penetapan biasanya dilakukan dengan suatu instrumen sederhana yang disebut kolorimeter atau pembanding (comparator) warna.

Atas dasar kebanyakan pengukuran kolorimetrik terdiri dari perbandingan warna yang dihasilkan oleh zat dalam kuantitas yang tidak diketahui dengan warna yang sama yang dihasilkan oleh kuantitas yang diketahui dari zat yang akan ditetapkan itu (Vogel,1994).

(18)

Pada kolorimetri, suatu pengulangan warna dilakukan dalam dua larutan yang mengandung sejumlah zat warna yang sama pada kolom dengan diameter penampang yang sama serta tegak lurus dengan arah sinar. Biasanya sinar putih digunakan dan kondisi keasaman transmisi antara larutan standart dan larutan sampel diperoleh dengan pengamatan visual. Yang dapat dikenal dengan hukum Lambert -Beer.

Hukum Lambert. Hukum ini menyatakan bahwa bila cahaya monokromatik melewati medium tembus cahaya, laju berkurangnya intensitas oleh bertambahnya ketebalan, berbaring lurus dengan intensitas cahaya. Ini setara dengan menyatakan bahwa intensitas cahay yang dipancarkan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya ketebalan medium yang menyerap. Atau dengan menyatakan behwa lapisan mana pun dari medium itu yang tebalnya sama akan menyerap cahaya masuk kepadanya dengan fraksi yang sama.

Hukum ini dapat dinyatakan oleh persamaan diferensial :

T =𝐼𝐼

𝐼𝐼𝐼𝐼 = 10−𝑎𝑎1𝑙𝑙

A= 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝐼𝐼𝐼𝐼

𝐼𝐼 = 𝑎𝑎1𝑙𝑙

Dimana : Io = intensitas cahaya yang masuk pada larutan

I = intensitas cahaya yang diteruskan larutan

l = tebal medium

𝑎𝑎1= konstanta untuk partikel larutan

(19)

A = absorbansi

Hukum Beer. Hukum ini menyatakan bahwa intensitas cahaya monokromatik berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya kosentrasi zat penyerap secara linier. Ini dpat ditulis dalam bentuk :

𝑇𝑇 =𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 = 10−𝑎𝑎2𝐶𝐶 atau

𝐴𝐴 = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 = 𝑎𝑎2𝑐𝑐

Dimana a2

c = konsentrasi dari larutan

= konstantan untuk partikel larutan

jadi diperoleh lah penggabungan dari persamaan di atas yaitu :

𝑇𝑇 =𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 10−𝑎𝑎′𝑐𝑐𝑙𝑙

𝐴𝐴 = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 = 𝑎𝑎′𝑐𝑐𝑙𝑙

Jadi inilah persamaan fundamental dari kolorimeter, dan sering disebut sebagai hukum Beer-Lambert. Nilai a akan jelas bergantung pada cara menyatakan konsentrasi. Jika c dinyatakan mol dm-3 dan l dalam sentimeter, maka a di beri lambang ∈ dan disebut koefisien absorpsi molar atau absorptivitas molar (Vogel, 1994).

Gambar

Tabel 2.1.3. Klasifikasi Batubara
Tabel 2.1.6. Hasil Analisis Proksimat Batubara
Tabel 2.2.4. Komposisi Abu Terbang dari PLTU Ombilin

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menyimak penjelasan guru tentang tanggung jawab warga, siswa dapat mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa di desanya.. Setelah

Bagian organisasi dan kepegawaian Sekretariat Daerah Kabupaten Demak menjadi ujung tombak dalam peningkatan nilai budaya kerja pegawai di lingkungan pemerintah Kabupaten

Kedua, sertifikasi yang semula dilakukan oleh pihak pertama (first party) berubah menjadi dilakukan oleh pihak ketiga yaitu Unit Sertifikasi Tenaga Kerja (USTK)

Data yang dijadikan sumber penelitian berasal dari Profil Perkembangan Desa Kesiman Kertalangu Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar Tahun 2012-2013 dan Profil Desa

Penciptaan pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu tahun 2014 sebesar 5,49 persen dari sisi pengeluaran terlihatn bahwa komponen pengeluaran konsumsi rumahtangga

Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini terkait dengan bahwa business governance,IT governance, dan kemampuan manajerial TI adalah penentu adaptabilitas

Pendampingan Penyusunan Bahan ajar LKS Berbasis Puzzle Edukatif-Interaktif bagi Guru MI Nihayatul Amal 2 Purwasari Kabupaten Karawang Hibah Penelitian Strategis (HIPSTRA)

Upaya pelestarian Rusa Sambar Di Pusat Penangkaran Rusa Di Desa Api-Api Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser Utara ( Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 7