BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin dari pankreas (ADA,2014). Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh pankreas, hormonini akan disekresikan sebagai respon peningkatan glukosa didalam sirkulasi dan akan meregulasi glukosa yang didapat dari makanan untuk masuk ke dalam sel-sel tubuh dari sirkulasi darah. Semua makanan kaborhidrat akan dipecah menjadi glukosa didalam darah dan insulin akan membantu glukosa untuk masuk ke dalam sel.
Ketidakmampuan pankreas untuk memproduksi insulin atau ketidakmampuan tubuh menggunakannya akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia).Glukosa yang tinggi didalam darah dalam jangka panjang akan berhubungan dengan kerusakan pada organ lain (IDF Atlas,2013)
2.1.2 Faktor Penyebab
Penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu : pola makan, makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan tubuh dapat memicu timbulnya penyakit, disebabkan oleh kadar insulin oleh sel B pankres memiliki kapasitas maksimum, oleh karna itu mengonsumsi makanan yang berlebihan dapat menyebabkan kadar gula darah meningkat dikarnakan ketidak seimbangan insulin dan glukosa, obesitas juga mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk terserang DM dibanding individu yang tidak obesitas. Faktor genetik juga menjadi salah satu faktor menyebab yang tidak dapat dimodifikasi dari penyakit DM, bahan-bahan kimia dan obat-obatan dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas, peradangan pada pankreas menyebabkan pakreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon, dan penyakit infeksi pada pankreas yang disebabkan oleh mikroorganisme
sepertibakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga pankreas tidak bekerja secara optimal (IDF Atlas, 2013).
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi dari diabetes mellitus dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.1
Klasifikasi Diabetes Melitus I. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel ß, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai yang pedominan resitensi insulin disertai diefisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
III. Diabetes Melitus Tipe Lain A. Defek genetik fungsi sel ß
• MODY 3 (Khoromosome 12, HNF-1 ) • MODY 1 (Khoromosome 20, HNF-4 ) • MODY 2 (Khoromosome 7, glukokinase)
• Bentuk MODY yang paling jaring ( MODY 4: Kromosom 13, faktor promoter insulin-1; MODY 6: Kromosom 2, NeuroD1; MODY 7: Kromosom 9, carboxyl ester lipase)
• Diabetes Neonatus Transien (Paling umum ZAC/HYAMI defect imprinting pada 6q24)
• Diabetes permanen neonatus (Paling umum KCNJ11 gen kode kir6.2 subunit dari ß-cell (ATP channel)
• DNA Mitokondria • Lainnya
B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, lemprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik diabetes, lainnya.
C. Penyakit Eksokrin Pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.
D. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, glukagonoma, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
E. Karena Obat / Zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid,ß-Adrenergic agonists, Thiazides, Dilantin, y-Interveron, lainnya.
F. Infeksi : rubella congenital, Cytomegalovirus, lainnya.
G. Imunologi (jarang): sindrom “ Stiffman”, antibodi anti reseptor insulin, lainnya.
H. Sindroma genetik lain: Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedrich’s, chorea Huntington, sindrom
Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi,
lainnya.
IV. Diabetes Kehamilan
2.1.4 Diagnosa
Diagnosa DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosa tidak bisa ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.Untuk menentukan diagnosa DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena, sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glumeter (Perkeni,2011).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM, kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti polyuria, polifagia dan polydipsia juga penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Ditambahkan juga adanya keluhan lain seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, sertapruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011)
Diagnosa DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaa glukosa plasma puasa >126mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO), dengan cara pemberian glukosa 75g dan
diperiksa setelah 2 jam, pemeriksaan ini lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa (Perkeni, 2011).
Tabel 2.2. Kriteria Diagnosa DM
NO. KRITERIA DIAGNOSA
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu≥ 200 mg dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala Klasik DM+Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 MG/Dl (11,1 mmol/L) TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang harus dilarutkan ke dalam air.
Sumber: Konsesus Pengendalian DM Tipe2 di Indonesia 2011
Apabila hasil pemeriksaan yang diperoleh tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Digolongkan TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0mmol/L), dan diagnosa GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam <140mg/dL (Perkeni, 2011).
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan untuk mereka yang mempunyai risiko DM seperti Indeks Massa Tubuh (IMT) >25kg/m2, aktivitas fisik kurang dan riwayat keluarga.Bertujuan untuk menemukan pasien DM dan Prediabetes seperti TGT maupun GDPT, yang merupakan kondisi kadar glukosa darah diatas normal, tapi belum memenuhi syarat diagnosa diabetes pada tahap ini adalah tahap kritis dimana bila tidak dilakukan perubahan gaya hidup dan pengobatan yang adekuat diagnosa bisa jatuh menjadi diabetes. Pemeriksaan menyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa puasa (Perkeni, 2011).
Tabel 2.3
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosa DM(Mg/Dl)
Bukan DM Belum Pasti DM DM Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu (mg/dL) Plasma Vena Darah Kapiler <100 <9 100-199 90-199 ≥200 ≥200 Konsentrasi Glukosa Darah Puasa (mg/dL) Plasma Vena Darah Kapiler <100 <90 100-125 90-99 ≥126 ≥100 Sumber: Perkeni, 2011
Untuk mempermudah diagnosa diatas, berikut ini adalah skema langkah-langkah untuk diagnosa DM pada Bagan 2.1
Bagan 2.1. Diagnosa DM
Sumber: Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe 2, 2011
2.1.5 Pilar Penatalaksanaan DM
Konsensus pengendalian dan pencegahan Diabetes Mellitus 2011 membuat pilar penatalaksanaan DM sebagai berikut:
1. Edukasi
2. Terapi nutrisi medis 3. Latihan Jasmani
4. Intervensi Farmakologi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan baik. Pada pengolahan diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan tim kesehatan untuk mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku dibutuhkannya edukasi yang komprehentif dan upaya peningkatan motivasi pasien. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberitahu kepada pasien, pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011).
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian penatalaksaan DM secara total.Hal ini memerlukan keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli gizi, dan petugas kesehatan yang lain, serta pasien juga keluarganya). Setiap pasien DM harus mendapatkan TNM sesuai kebutuhannya guna untuk mencapai sasaran terapi, pengaturan makan pada pasien DM sama halnya dengan pengaturan makanan biasa untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan individu masing-masing. Pada pasien DM pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi terutama bagi yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan untuk penderita DM menurut Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe2 (2011) adalah karbohidrat 45-65%, lemak 20-25% kebutuhan kalori, lemak jenuh <7% kebutuhan kalori dan lemak tidak jenuh ganda <10%, jenis makanan lemak yang perlu dihindari antara lain daging berlemak dan susu penuh (whole milk), anjuran konsusmsi kolesterol<200 mg/hari, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi,dimana sumber protein bisa didapat dari seafood (ikan, udang, cumi, dan lainnya), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan dengan masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg, dan untuk anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari (Perkeni, 2011).
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB (m2). Adapun klasifikasi IMT adalah sebagai berikut:
1. BB kurang :<18,5 2. BB normal :18,5-22,9
3. BB lebih :>23,0 4. Dengan resiko :23,0-24,9 5. Obes 1 :25,0-29,9 6. Obes II :>30
Latihan jasmani sehari-hari dan secara teratur (3-4kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) latihan jasmani selain menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga dapat memperbaiki kendali glukosa darah.Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan sesuai umur dan status kesegaran jasmani (Perkeni, 2011).
2.1.6 Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambah bila sasaran glukosa darah belum bercapai dengan mengaturan makan dan latihan jasmani, terapi farmakologis diberikan bersama pengaturan makan dan latihan jasmani terapi terdiri dari obat hipoglikemik oral (OHO) dan bentuk suntikan. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai indikasi, sedangkan dalam keadaan dekompensasi metabolik berat (ketosidosis, streaa berat, berat dan yang menurun cepat, adanya ketonuria), insulin dapat diberikan (Perkeni, 2011).
Gambar 2.1 Algoritma pengelolaan DM Tipe-2 tanpa disertai dekompensasi
Sumber : Konsensus Pencegahan dan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe,2011
2.1.7 Pencegahan Diabetes Tipe-2
Adapun pecegahan DM menurut Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011 adalah sebagai berikut:
1. Pencegahan Primer:
Pencegahan primer ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belumterkena, tetapi berpotensial untuk mendapatkan DM dan kelompok toleransi glukosa. Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengeloaan yang bertujuan untuk kelompok yang mempunyai faktor resiko tinggi dan intoleransi glukosa, skema tentang alur pencegahan primer dapat dilihat pada gambar berikutini:
Gambar 2.2 Algoritma Pencegahan DM Tipe 2
Sumber : Konsensus Pencegahan dan Pengendalian DM Tipe 2, 2011 Materi penyuluhan meliputi antara lain:
a. Penurunan berat badan pada kelompok yang mempunyai resiko DM dan mempunyai berat badan belebih, penurunan berat badan merupakan suatu pencegahan terjadinya resiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Pada beberapa penelitian menunjukkan dengan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah maupun memperlambat DM tipe 2.
b. Diet sehat dianjurkan pada setiap yang memiliki resiko, jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal dan karbohidrat komplek merupakan pilihan yang diberi secara berbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak glukosa darah yang tinggi setelah makan. Makanan juga mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.
c. Latihan jasmani secara teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, juga mempertahankan dan menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan
dikerjakan sedikitnya selama 150menit/minggu, latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali aktifitas/minggu.
d. Menghentikan merokok, meskipun merokok tidak ada hubungannya dengan intoleransi glukosa, tetapi merokok adalah salah satu resiko timbulnya gangguan kardiovaskular dan merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe2.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berupa upaya mencegahan atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM, yang dilakukan dengan pemberian pengobatan dan tindakan deteksi dini penyulit penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan dan menuju perilaku sehat. Dalam pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru, penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu diulang pada pertemuan berikutnya.Penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang menjadi penyebab utama kematian pada pasien DM.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang DM yang telah mengalami penyulit untuk upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut, upaya rehabilitas pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menjadi menetap.Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien juga keluarga pasien, materi penyuluhan yang termasuk upaya rehabilitas yang dapat dilakukam untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.Dalam pencegahan tersier ini memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antara disiplin yang terkait, terutama pada rumah sakit rujukan.Kolaborasi yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vascular, radiologi, rehabilitas medis, gizi, podiatris, juga lainnya) sangat diperlukan untuk keberhasilan pencegahan tersier (Perkeni, 2011).
2.2 Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah suatu organisasi permanen yang menyediakan pelayanan kesehatan, keperawatan, pengobatan untuk masyarakat. Suatu kualitas pelayanan dirumah sakit tentulah menjadi tuntutan prioritas bagi setiap rumah sakit, rumah sakit tidak cukup bila hanya menawarkan konsep “selamat” dimana perlunya rumah sakit memberikan pelayanan maksimal yang merupakan kebutuhan pasien dan kepuasaan pasien terhadap pelayanan (Hafizurracman,2009, Fadli,2013).
Fungsi pelayanan kesehatan sekarang sudah mengalami pergeseran, yang dikenal sebagi organisasi bersifat sosial, dan sekarang telah menjadi sebuah organisasi bisnis yang bersifat mencari keuntungan(profit), hal ini dikarenakan rumah sakit memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk upaya pelayanan kesehatan(Hafizurrachman,2009).
Menurut Sistem Kesehatan Nasional 2009 upaya pelayanan kesehatan secara nasional mengalami peningkatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh penduduk meningkat dari 15,1% pada tahun 1996 menjadi 33,7% pada tahun 2006. Begitu pula pada tahun 2007 menjadi 41,8%, fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik peningkatan, pencegahan, pengobatan, maupun pemulihan (Depkes, 2009).
2.3 Mutu Pelayanan dan Kualitas Pelayanan
Mutu merupakan gambaran dan karakteristik suatu jasa kesehatan yang menunjukkan kemampuan dalam pelayanan yang memuaskan pelanggan baik berupa kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan(Rahmawati dan Suprianto, 2013). Mutu adalah kualitas yang artinya bebas dari kerusakan atau cacat, kesesuaian penggunaan, persyaratan, atau tuntunan, juga melalukan segala sesuatu secara benar semenjak awal, mampu memenuhi kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat.
Kualitas Pelayanan adalah sejauh mana suatu pelayanan jasa kesehatan dapat memenuhi spesifikasi-spesifikasi yang sudah ada, lalu pasien yang menentunkan juga menilai sampai sejauh mana spesifikasi tersebut memenuhi kebutuhan dari pasien itu sendiri, SERVQUAL (ServiceQuality) dibangun atas
adanya perbandingan dua faktor, yaitu persepsi pasien atas apa yang ia terima dari suatu pelayanan rumah sakit (perceived service) dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan (expected service) dari pasien (Parasuraman dkk., 1998)
Jika kenyataannya sama atau lebih dari yang diharapkan layanan kesehatan dapat dikatakan berkualitas dan dapat memuaskan pasien, sebaliknya jika kenyataannya tidak sesuai yang diharapakan pasien maka layanan di katakana tidak berkualitas juga tidak dapat memuaskan pasien, maka ditambahkan nya kualitas jasa dapat didefinisikan sebagai perbandingan dari kenyataan dan harapan pasien atas pelayanan kesehatan yang mereka terima (Parasuraman dkk, 1988). Ditambahkan pula kualitas pelayanan suatu rumah sakit akan bernilai tinggi tergantung dari karyawan rumah sakit itu sendiri, dimana mereka mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas, karna seharusnya layanan yang diterima pasien mampu memberi solusi kepada pasien tersebut (Rangkuti, 2013).
2.4 Kepuasan Pasien
Menurut Kotler didalam Khanazas, 2010, kepuasan pasien berupa suatu perasan senang atau kecewa dari pasien yang berasal dari persepsi yang ia rasakan. Bila hasil yang diterima tidak sesuai harapannya pasien akan merasa tidak puas sehingga dari pembelajaran itu sendiri pasien belajar, sedangkan bila pasien merasa hasil yang puas dari hasil produk dan kinerja itu sendiri pasien akan merasa sangat bergairah untuk memakai produk atau jasa itu lagi.Sama hal nya dengan pernyataan yang diberikan John J. Sviokla, salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pasien sehingga menjadikan persepsi pasien menjadi baik terhadap pelayanan tersebut.
Menurut Fornell, 1992 didalam Lupioadi, 2013, Banyaknya manfaat bagi penyedia jasa kesehatan jika tercapainya tingkat kepuasan pasien, dimana bagi rumah sakit sendiri mampu meningkatkan loyalitas pasien kepada rumah sakit, juga bagi pasien dapat merasa puas terhadap pelayanan dan melakukan perawatan dengan baik bagi penyakitnya, oleh karna itu pentingnya mengukur tingkat kepuasan para pasien, walaupun hal tersebut tidak semudah mengukur tinggi dan berat badan pasien.
Ada beberapa faktor secara kasar yang dapat menentukan kepuasan pasien, walau sifat pasien secara individu berbeda-beda, tetapi faktor seperti halnya sifat ramah dari tim medis dan jaminan juga kenyamanan adalah hal penting untuk mendapatkan kepuasan pasien (Daniel dan Berinyuy, 2010).
Menurut Kotler, 1997, pencapaian dalam meningkatkan kepuasan pasien juga dapat di tingkatkan, dengan cara seperti, memperkecil kesenjangan (gap) antara pihak manajeman rumah sakit dengan pasien, membangun komitmen bersama untuk menciptakan visi dalam memperbaikan proses pelayanan, juga memberikan kesempatan kepada pasien untuk menyampaikan keluhan terhadap pelayanan (Lupiyoadi,2013).
2.5 PersepsiPasien
Menurut kamus bahasa Indonesia persepsi diartikan sebagai suatu proses seseorang untuk mengetahui beberapa hal melalui panca indera atau dari tanggapan suatu respon. Proses pembentukan persespsi dibentuk oleh tiga pengaruh, yaitu rangsangan dari stimulus luar yang dapat berbentuk fisik, visual atau komunikasi verbal, yang kedua adalah hubungan stimulus dengan sekelilingnya, setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap satu stimulus yang sama, persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikirannya sendiri atau lingkungan yang ada disekitarnya dan juga kondisi yang ada dalam diri individu, persepsi bisa sangat berbeda dengan kenyataan yang ada (Anjaryani, 2009).
Pelayanan kesehatan terjadi dimana saat tim medis berinteraksi atau melayani pasien, sikap dan perilaku dari tim medis dapat sangat mempengaruhi persepsi dari pasien terhadap kualitas pelayanan yang ia rasakan dan hal ini langsung dapat mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan (Munhurrun, et al, 2010).
Bagan 2.5.1 Proses Pembentukan Persepsi STIMULI
- Penglihatan
\
Sumber: Anjaryani, 2009
2.6 MetodeSERVQUAL
Metode SERVQUAL adalah penelitian dimensi service quality yang dilakukan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) pada awalnya ada 97 hal yang ditemukan memeliki dampak pada kualitas pelayanan lalu hal-hal ini dikelompokkan menjadi sepuluh dimensi untuk menilai kualitas pelayanan yaitu,
tangible(bukti fisik), Reliability (kehandalan),responsiveness (daya tanggap), communication (komunikasi), credibility (kepercayaan), security (keamanan)
,competence (kompetensi), courtesy (kesopanan), understanding (memahami),
knowing (mengetahui), customers (pelanggan), and access (akses). Pada
perkembangan selanjutnya mereka mengelompokkan menjadi lima dimensi kualitas pelayanan (Daniel dan Benriyuy, 2011).Penelitian ini mengukur persepsi yang digunakan oleh pasien dalam menilai kualitas pelayanan dengan 5 dimensi. Definisi 5 Dimensi SERVQUAL
1. Kehandalan (Reliability) : Kemampuan untuk melakukan layanan yang dijanjikan secara akurat dan tepat
2. Jaminan (Assurance) : Pengetahuan juga kesopanan staf dalam menciptakan kepercayaan dan kenyamanan bagi pasien.
3. Bukti fisik(Tangible) : Fasilitas fisik, peralatan, dan kehadiran staf.
4. Empati (Empathy) : Perhatian yang tulus kepada pelanggan yang bersifat individual atau pribadi yang berupaya dalam memahami keinginan pasien
5. Daya tangkap (Responsiveness) : Kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pasien.
2.6.1 Bagan Kerangka Pemikiran Mutu dan Kepuasan Pasien
Reliability
(Kehandalan)
Assurance
Harapan Pelayanan
Sumber : Diadaptasi dari Daniel dan Berinyuy, 2011
Kerangka pemikiran ini menjelaskan yang mendasari penelitian model SERVQUAL untuk mengukur kualitas pelayanan dan kepuasaan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang menawarkan jasa, dimana kelima dimensi tersebut di harapkan pada pelayanan dan kinerja (Daniel dan Berinyuy,2010).
Tabel 2.6.1 Variabel, Dimensi dan Skala Pengukuran Kualitas Pelayanan
Sumber : Gunawan, 2011
2.6.2 Analisis Kesenjangan Jasa Pelayanan Kesehatan
Dimensi yang sudah dibahas sebelumnya harus disusun dengan baik. Jika tidak diolah dengan baik, hal tersebut akan menimbulkan suatu kesenjangan (gap)
K U A L I T A S P E L A Y A N A N 1.Tangibles (bukti fisik) 1. Kemodernan perlengkapan 2. Kerapian tenaga medis
3. Kebersihan, keindahan dan kerapian ruang rawat
4. Kelengkapan fasilitas
5. Kenyamanan selama perawatan
6. Kenyamanan tempat tidur di ruang rawat
2.Reliability (Kehandalan)
1. Ketepatan waktu layanan
2. Ketepatan waktu pendaftaran di loket 3. Ketepatan waktu mulai pengobatan 4. Ketepatan waktu selesai pengobatan 5. Lama pengobatan
3.Responsiveness (Daya Tanggap)
1. Ketanggapan tenaga medis terhadap permasalahan pasien
2. Keramahan tenaga medis selama perawatan 3. Kecepatan tenaga medis memberikan
pelayanan saat dibutuhkan selama perawatan
4. Fasilitas yang diperoleh selama perawatan 5. Pelayanan makan dan minum selama
perawatan
6. Dapat memberikan pelayanan dengan cepat 7. Kesediaan tenaga medis menerima sumbang
saran dari pasien
4. Assurance (Jaminan)
1. Kemampuan dan pengetahuan tenaga medis selama perawatan
2. Keamanan selama perawatan
3. Resiko keselamatan selama perawatan 4. Keamanan barang bawaan
5. Perilaku tenaga medis selama perawatan 6. Pengalaman tenaga medis dalam melayani
pasien
5. Empathy (Empati)
1. Kemudahan pemesanan tempat berobat 2. Kemudahan pembayaran ongkos rawat 3. Kemudahan mencapai lokasi perawatan 4. Kemudahan mengurus administrasi
perawatan
5. Pengertian dan pemahaman tenaga medis selama perawatan
6. Perhatian personal tenaga medis selama perawatan
diantara penyedia jasa dan pasien karena perbedaan persepsi dari masing-masing pihak. Parasuraman, Zeithaml, dan Berry membentuk model kualitas jasa yang mengidentifikasi 5 kesenjangan untuk mengetahui apa penyebab terjadinya perbedaan persepsi dalam pemberian kualitas jasa.
2.6.2 Bagan Analisis Lima Kesenjangan (GAP)
Sumber:Diadaptasi dariLupiyoadi “Manajemen Pemasaran Jasa” Edisi 3, 2013:219
1. Kesenjangan(gap) 1:Kesenjangan harapan pasien dengan persepsi penyedia jasa kesehatan atas harapan pasien.Para penyedia pelayanan kesehatan tidak selalu dapat mengetahui apa yang di persepsikanpasien sebagai pelayanan yang berkualitas. Kesenjangan ini terjadi karna pihak
Informasi dari mulut ke mulut Kebutuhan Pribadi Informasi dari mulut ke mulut Pelayanan Kesehatan yang Diharapkan Pelayanan Kesehatan yang Diterima Komunikasi Eksternal Penyampaian
Perubahan dari Persepsi Menjadi spesifikasi kualitas
pelayanan kesehatan
Perubahan dari Persepsi Menjadi spesifikasi kualitas
pelayanan kesehatan Kesenjangan 5 Pasien Rumah Sakit Kesenjangan3 Kesenjangan 4 Kesenjangan 1 Kesenjangan 2
penyedia pelayanan kesehatan tidak mengerti apa yang diharapkan pasien dikarenakan kurangnya orientasi riset pemasaran, kurangnya pemanfaatan terhadap temuan riset, kurangnya interaksi antara manajemen pihak rumah sakit dan pasien.
2. Kesenjangan (gap)2: Kesenjangan antara persepsi penyedia jasa kesehatandengan spesifikasi kualitas jasa pelayanan.Penyedia jasa kesehatan sering kali mengalami hambatan atau kesulitan dalam memenuhi atau melampaui keingginan pasien. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti keterbatasan sumber daya, keuntungan, kondisi pasar, dan hal ini dapat membuat ketidaksesuaian antara harapan pasien dan spesifikasi jasa pelayanan yang telah dibuat. Salah satu penjelasan terjadinya kesenjangan ini adalah tidak adanya komitmen total dari manajemen untuk kualitas jasa pelayanan
3. Kesenjangan (gap) 3: kesenjangan penyampaian jasa yaitu kesenjangan spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Kesenjangan 3 adalah perbedaan antara spesifikasi jasa pelayanan kesehatan yang sudah ditentukan dan jasa aktual yang diberikan. Kesenjangan ini muncul ketika para karyawan tidak dapat atau tidak mau memberikan pelayanan kesehatan sesuai yang diinginkan pihak manajemen.Faktor-faktor utama yang menyebabkan kesenjangan ini adalah kerja tim yang tidak efektif sehingga kerja tim yang muncul tidak maksimal, ketidaksesuaian posisi kerja sesuai keahlian, ketidakmampuan karyawan untuk memanfaatkan peralatan yang sudah ada, pengendalian karyawan dalam mengatasi stres, dan peran ambiguitas ketika karyawan tidak memiliki informasi yang menyeluruh terhadap apa yang diinginkan oleh pihak manajemen.
4. Kesenjangan (gap) 4: kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal.Iklan di media sosial yang berada di luar perusahaansangat memperngaruhi harapan pasien. Obral janji yang berlebihan (muluk-muluk) : kadang kala, penyedia pelayanan suka melebih-lebihkan perusahaannya dibanding dengan kompetitornya (lawan)
dalam menghadapi persaingan, seringkali hal ini tidak nyata dengan realitas yang ada dan terjadi obral janji berlebihan dan kesenjangan ini pun muncul.
5. Kesenjangan (gap) 5: kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dengan pelayanan yang diharapkan.Untuk mendapatkan citra yang baik dan dampak positif dari pelayanan haruslah memastikan kualitas pelayanan yang diberikan pada pasien dapat mencapai harapan dan keinginan pasien dari pelayanan kesehatan.
Untuk mengukur adanya perbedaan antara harapan pasien mengenai kualitas pelayanan dan persepsi pasien tentang kualitas pelayanan yang diterima, dibutuhkan responden untuk menjawab mengenai kedua harapan dan persepsi tersebut (Parasuraman et al,1988). Harapan pasien tergantung pada faktor eksternal yang berada dibawah kontrol penyedia layanan, gap 5 dalam gambar diagram ini menjelaskan perbedaan antara harapan pelanggan dan persepsi pelanggan yang di gunakan dalam persepsi kualitas pelayanan, penelitian ini berfokus pada perbedaan antara harapan pasien dengan persepsi layanan yang dirasakan (Daniel dan Berinyuy,2011).
2.6.3 Mengukuran Kualitas Pelayanan Menggunakan Metode SERVQUAL
Sumber: Diadaptasi dari Daniel dan Berinyuy, 2011
Persepsi Pasien
Kualitas yang Didapat
Faktor eksternal yang mempengaruhi ekspektasi
Reliability Assurance Empathy Responsiven Tangibles Ekspektasi Pasien