• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BALUMBANG JAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BALUMBANG JAYA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Keadaan Umum Kelurahan Balumbang Jaya

Dalam subbab ini, dipaparkan tiga kelompok karakteristik Kelurahan Balumbang Jaya. Karakteristik tersebut dilihat dari (1) kondisi geografis, (2) sumberdaya alam (SDA), serta (3) kondisi demografi Kelurahan Balumbang Jaya.

4.1.1 Kondisi Geografis

Kelurahan Balumbang Jaya berada dalam wilayah administratif Kecamatan Bogor Barat. Secara geografis, kelurahan ini terletak pada 106,48o Bujur Timur (BT) dan 60,36o Lintang Selatan (LS). Ketinggiannya adalah 200 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan curah hujan 2,5 mili meter kubik (mm3). Kelurahan Balumbang Jaya memiliki luas total 123.373 hektar (ha) serta terdiri atas 38 Rukun Tetangga (RT) dan 12 Rukun Warga (RW).

Dalam hal batas wilayah, Kelurahan Balumbang Jaya berbatasan dengan satu desa dan tiga kelurahan lainnya. Batas wilayah Kelurahan Balumbang Jaya tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Margajaya. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Babakan.

4. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Bubulak.

Adapun jarak kantor Kelurahan Balumbang Jaya ke Ibu Kota Kecamatan Bogor Barat, Ibu Kota Bogor, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, dan Ibu Kota Negara adalah:

1. Ibu Kota Kecamatan Bogor Barat 6 kilo meter (km).

2. Ibu Kota Bogor 12 km.

3. Ibu Kota Provinsi Jawa Barat 120 km.

4. Ibu Kota Negara 60 km.

Berkenaan dengan akses kendaraan menuju Kantor Kelurahan Balumbang Jaya, lokasi ini dapat ditempuh dengan menaiki tiga kali kendaraan umum dari Kota Bogor. Pertama, angkutan umum bernomor 03. Setelah berhenti di Terminal

(2)

Laladon atau pun Bubulak, masyarakat yang ingin mengunjungi kantor kelurahan dapat menaiki angkutan umum dengan rute Kampus Dalam. Kendaraan ini berhenti di pangkalan angkutan umum yang dekat dengan Kampus IPB Dramaga. Selanjutnya, masyarakat dapat menggunakan jasa ojek dengan tarif Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah). Kantor Kelurahan Balumbang Jaya terletak di tengah pemukiman warga.

4.1.2 Sumberdaya Alam (SDA)

Di Kelurahan Balumbang Jaya, ada empat jenis peruntukkan (penggunaan) lahan. Penggunaan itu meliputi pemanfaatan lahan untuk (1) perumahan (pemukiman) dan pekarangan, (2) jalan, (3) sawah, dan (4) perkebunan. Pemanfaatan lahan untuk kawasan perumahan dan pekarangan menempati persentase terbesar, yaitu sekitar 66 persen. Disusul oleh penggunaan lahan untuk prasarana jalan, yakni lebih kurang 15 persen. Penggunaan lahan bagi keperluan pertanian (sawah) dan perkebunan memiliki jumlah yang relatif kecil, yaitu masing-masing sekitar 15 persen dan 2 persen.

Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa Kelurahan Balumbang Jaya yang dulunya cukup terkenal sebagai kawasan pertanian, kini justru memiliki lahan sawah dan perkebunan yang relatif sedikit. Jumlah penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan sangat dibutuhkannya lahan untuk perumahan. Sawah dan perkebunan pun dikonversi menjadi perumahan penduduk. Selain itu, cukup banyak pula yang dibangun menjadi kos-kosan mahasiswa.

Selanjutnya, baik penduduk asli Kelurahan Balumbang Jaya maupun pendatang (misalnya, mahasiswa) tentu membutuhkan prasarana jalan yang kondisinya baik. Hal ini guna mendukung kegiatan sehari-hari warga dan memudahkan akses orang luar untuk masuk ke wilayah Kelurahan Balumbang Jaya. Maka, semakin berkuranglah sawah dan perkebunan karena makin banyak yang dialihfungsikan menjadi prasarana jalan.

(3)

Tabel berikut ini merupakan jumlah dan persentase penggunaan lahan di Kelurahan Balumbang Jaya.

Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009

Lahan/Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

Perumahan/Pemukiman dan Pekarangan 82,277 66,68

Sawah 18,596 15,07

Jalan 19,5 15,80

Perkebunan 3 2,43

Total 123,373 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.

4.1.3 Kondisi Demografi

Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya sampai akhir bulan Desember tahun 2009 tercatat sebanyak 9.455 jiwa. Jumlah ini terdiri atas 4.943 orang laki-laki dan 4.512 jiwa perempuan. Berdasarkan angka ini, kepadatan penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya dicatat mencapai 756 jiwa/km dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2.518. Di bawah ini adalah tabel yang memperlihatkan jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Balumbang Jaya menurut kelompok usia.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Menurut Kelompok Umur Tahun 2009

Kelompok Usia (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

0–4 613 6,48 5–9 902 9,53 10–14 899 9,50 15–19 823 8,70 20–24 930 9,83 25–29 1.177 12,40 30–34 965 10,20 35–39 819 8,66 40–44 616 6,51 45–49 512 5,41 50–54 358 3,78 55–59 271 2,86 60–64 222 2.34 65-69 139 1,47 Total 9.455 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.

Berdasarkan data monografi ini, terlihat bahwa mayoritas warga di Kelurahan Balumbang Jaya merupakan penduduk usia produktif. Penduduk usia

(4)

25−29 tahun memiliki jumlah terbesar dengan persentase sekitar 12 persen. Persentase terbesar kedua ditempati oleh penduduk dengan usia produktif 30−34 tahun, yaitu lebih kurang 10 persen.

Berbicara mengenai agama, mayoritas penduduk Kelurahan Balumbang Jaya beragama Islam, yakni sebanyak 9.368 orang (99,07 persen). Selain itu, terdapat penduduk yang beragama Kristen (0,65 persen), Katolik (0,24 persen), dan Hindu (0,021 persen). Kehidupan beragama yang harmonis sangat diterapkan di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya. Jika ada acara atau kegiatan di kelurahan ini (agama, pernikahan, kerja bakti, dan sebagainya), anggota masyarakat saling membantu.

Aspek demografi berikutnya di Kelurahan Balumbang Jaya, yang sangat erat dengan kondisi SDA, adalah mata pencaharian penduduk. Sebagaimana yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, sawah dan perkebunan sebagian besar telah dikonversi menjadi kawasan perumahan dan pekarangan serta prasarana jalan. Hal ini berarti bahwa telah terjadi penyempitan lahan pertanian dimana penyempitan itu mengakibatkan para petani kehilangan mata pencaharian. Dengan kata lain, sebagian besar penduduk Kelurahan Balumbang Jaya tidak lagi memiliki pekerjaan. Banyaknya penduduk yang menganggur tersebut lebih kurang 25 persen.

Tabel 3. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Petani 432 7,18

Wiraswasta/Pedagang 1.062 17,67

Buruh 1.241 20,65

Swasta/BUMN/BUMD 839 13,96

Pegawai Negeri Sipil (PNS) 96 0,16

TNI/Polri 10 0,16

Pensiunan 523 8,70

Tidak bekerja 1.506 25,06

Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.

Masih dalam hal mata pencaharian, jumlah terbesar kedua ditempati oleh penduduk yang berprofesi sebagai buruh dengan persentase sekitar 20 persen. Di Kelurahan Balumbang Jaya, orang-orang yang telah kehilangan pekerjaan pada sektor pertanian, terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau pun yang tidak

(5)

memiliki sumberdaya pribadi yang tinggi (pendidikan, keterampilan, dan modal) memilih bekerja sebagai seorang buruh. Sebagian besar buruh di Kelurahan Balumbang Jaya merupakan buruh bangunan dan pengangkut pasir. Jenis pekerjaan ini dilakoni oleh kaum laki-laki, sedangkan buruh perempuan bekerja sebagai tukang cuci dan Pembantu Rumah Tangga (PRT). Berbeda dengan buruh laki-laki yang cenderung bekerja serabutan (tidak tentu/pasti waktu dan penghasilannya), kondisi buruh perempuan lebih baik (pekerjaan rutin dan menerima bayaran per bulan). Buruh cuci di Kelurahan Balumbang Jaya sebagian besar bekerja di Asrama IPB, sedangkan PRT bekerja di kos-kosan atau pun perumahan di sekitar kelurahan tersebut.

Selain pengangguran dan buruh, jenis pekerjaan lainnya yang mendominasi di Kelurahan Balumbang Jaya adalah pedagang (±17 persen). Sebagian besar penduduk yang memiliki profesi seperti ini bukanlah pedagang besar. Dengan kata lain, pedagang skala mikro (kecil). Ada yang berjualan gorengan (pisang, ubi, tahu, tempe, dan sebagainya), sayur (kangkung dan bayam), atau pun makanan ringan (cemilan) di sekolah-sekolah. Menurut pengakuan salah seorang penduduk yang berprofesi sebagai pedagang seperti ini, penghasilan yang diterima tidak pantas disebut “keuntungan” (laba). Jumlahnya yang sangat kecil hanya dianggap sebagai uang jajan sehari-hari, bahkan lebih banyak terpakai lagi seluruhnya untuk membeli bahan baku (salah satunya tepung).

Aspek demografi terakhir yang dibahas adalah tingkat pendidikan. Penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya rata-rata merupakan lulusan SD/Sederajat. Kondisi ekonomi yang sangat serba kekurangan mengakibatkan sebagian besar penduduk di kelurahan tersebut tidak dapat mengakses fasilitas pendidikan.

Beruntung sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah mengadakan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sekolah-sekolah negeri membebaskan biaya pangkal (uang gedung) dan bulanan (SPP) untuk para muridnya. Bagi para orang tua di Kelurahan Balumbang Jaya, program ini sangat membantu meringankan beban rumah tangga terkait dengan anggaran untuk kebutuhan pendidikan anak-anak. Walaupun masih harus membayar uang buku

(6)

dan seragam, setidaknya program ini telah membantu dalam meringankan setengah beban rumah tangga miskin di kelurahan tersebut.

Terkait dengan kebutuhan pendidikan, salah satu hal yang berpegaruh adalah ketersediaan fasilitas pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini, Kelurahan Balumbang Jaya memiliki gedung SD sebanyak 3 buah, sedangkan gedung SLTP ada 1 buah. Adapun jumlah gedung Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kelurahan Balumbang Jaya masing-masing adalah 1 buah.

Tabel 4. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Tamatan SD/ Sederajat 1.683 49,70

Tamatan SLTP/ Sederajat 610 18,20

Tamatan SLTA/ Sederajat 986 29,12

Tamatan Akademi/D1–D3 46 1,35

Tamatan Perguruan Tinggi/S1–S2 60 1,77

Total 3.385 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.

4.2 Karakteristik RTSM Responden

Ciri-ciri khas rumah tangga responden juga dilihat dari tiga komponen. Komponen itu berupa (1) status bekerja/aspek ekonomi suami−isteri, (2) rasio tingkat pendidikan suami−isteri, dan (3) kriteria RTSM penerima PKH menurut RTSM responden sendiri.

4.2.1 Status Bekerja (Aspek Ekonomi) Suami−Isteri

Kategori pada status bekerja RTSM responden terdiri atas dua klasifikasi, yaitu (1) salah satu pihak berkontribusi dalam rumah tangga (isteri tidak bekerja−suami bekerja dan isteri bekerja−suami tidak bekerja) serta (2) suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga. Di bawah ini adalah tabel yang menunjukkan jumlah RTSM responden menurut status bekerja suami−isteri.

(7)

Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase RTSM responden berdasarkan kontribusi ekonomi suami−isteri dalam rumah tangga yang dilihat dari status bekerja.

Tabel 5. Jumlah RTSM Responden Menurut Status Bekerja Suami−Isteri Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009

Status Bekerja Jumlah RTSM Persentase (%)

Isteri Tidak Bekerja−Suami Bekerja

11 37,93

Isteri Bekerja−Suami Tidak Bekerja 5 17,24 Suami−Isteri Sama-Sama Bekerja 13 44,83 Total 29 100

Pada Tabel 5, terlihat bahwa RTSM responden didominasi oleh rumah

tangga dengan tipe “suami−isteri sama-sama bekerja”. Rumah tangga ini, dalam

periode Februari 2009 hingga Februari 2010, memiliki pekerjaan produktif (menghasilkan uang). Alasan mengapa isteri bekerja adalah ingin membantu suami. Isteri tidak mendapatkan tekanan atau paksaan dari siapa pun untuk bekerja. Kaum isteri dari RTSM dengan tipe “suami−isteri sama-sama bekerja”

tidak setuju terhadap anggapan ”hanya laki-laki atau suami yang pantas dan mampu melakukan kerja produktif”. Salah satu RTSM responden memberikan

tanggapan mengenai hal ini, yaitu:

“Wah, enggak ah Neng, enggak setuju! (Tertawa). Kerja apa aja, selagi halal, badan juga masih sehat, kenapa enggak?? Malah kan bisa punya duit buat keluarga juga”. (RTSM 6: BR; 39 tahun; membuka usaha warung)

Jumlah terbesar kedua ditempati oleh RTSM responden dengan tipe

”hanya suami yang bekerja”. Dalam rumah tangga ini, kaum isteri tidak bekerja

secara produktif. Oleh karena, isteri beranggapan ”seorang perempuan lebih baik berada di rumah, mengurus suami dan anak, serta mengatur rumah tangga”. BM (RTSM 7; 46 tahun) menuturkan:

(8)

“Mau jaga anak aja. Dia sih enggak pernah minta saya buat gimana-gimana. Emang sayanya yang mau di rumah. Ngurus suami, beres-beres rumah, sama ngejaga anak-anak. Makanya ada PKH gini, ya kebantu. Kan dulu mah semuanya harus dari uang suami, tapi sekarang dibantu sama PKH buat kebutuhan anak sekolah. […]”.

Tipe lain yang ditemukan pada RTSM responden dalam rentang waktu Februari 2009 hingga Februari 2010 adalah rumah tangga dimana hanya isteri yang bekerja. BE (RTSM 2; 44 tahun) yang bekerja sebagai buruh cuci di Asrama IPB Dramaga berkata bahwa suami beliau menganggur sejak tahun 2007. Namun, sebelum suami menganggur, BE memang telah bekerja sebagai buruh cuci. Suami BE pada awalnya bekerja di salah satu toko, tapi terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penuturan BE:

“Bapak nganggur, Neng. Udah tiga tahunan. Dulu kerja sama orang, kena PHK. Ya udah, enggak dapet kerja lagi. Cuma bantu-bantu Ibu aja sekarang. […]”.

Menurut BE, tidak semua kebutuhan sekolah anak dan rumah tangga dapat terpenuhi dari penghasilan beliau atau pun dana bantuan PKH. Namun, masih menurut beliau, PKH membantu dalam meringankan setengah beban rumah tangga. Di bawah ini adalah ungkapan beliau mengenai hal tersebut:

“Maunya Ibu dari dulu. Kalau mau nurutin enaknya sih, ya di rumah aja. Kayak yang orang kaya, Neng. Istrinya di rumah, cuma tinggal nerima duit. Tapi, kita kan bukan orang kaya. Kalau Ibu di rumah, bapak juga dulu tiap bulannya kecil banget dapetnya, jadi gimana buat makan sama sekolahnya anak-anak?? Kayak gini deh. Ini aja masih susah. PKH Alhamdulillah ngebantu setengahnya. Tapi, kan kebutuhan mah makin banyak, makin mahal”.

Sama seperti RTSM 2 di atas, BE (RTSM 4; 50 tahun), BH (RTSM 13; 54 tahun), BS (RTSM 30; 31 tahun), dan BA (RTSM 25; 42 tahun) hanya bekerja sendiri. Suami BE, PK (83 tahun), sakit sejak beberapa tahun lalu. Begitu pula dengan suami BH dan suami BS, yang masing-masing mengalami sakit batu ginjal dan paru-paru sejak lebih kurang dua tahun silam. Suami BA sendiri, PS (52 tahun), terkena PHK sejak tahun 2006. Berbeda dengan BE (RTSM 2), BE

(9)

(RTSM 4), BH, dan BS yang memang telah memiliki pekerjaan produktif sebelum suami terkena PHK atau sakit, BA baru bekerja sejak PS di-PHK.

Jenis pekerjaan RTSM responden cenderung homogen, yaitu buruh bangunan dan buruh pencari pasir (suami) serta buruh cuci dan Pembantu Rumah Tangga/PRT (isteri). Sebagai seorang buruh, penghasilan yang diterima oleh kaum suami tentu tidak menentu. Hal ini bergantung pada ada−tidaknya

‘panggilan’ kerja. Berbeda dengan suami, kaum isteri menerima penghasilan

setiap bulan (gaji) dari pekerjaan sebagai tukang cuci atau PRT. Kondisi ini dapat dilihat pada salah satu RTSM responden, yaitu BM (55 tahun) dan PS (60 tahun). BM bekerja sebagai buruh cuci pada salah satu rumah yang ada di sebuah kawasan perumahan, sedangkan PS merupakan seorang pencari pasir. Pendapatan BM tiap bulan adalah Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). PS sendiri dalam periode Februari 2009 sampai Februari 2010 mendapatkan tiga kali

‘panggilan’ kerja dan menerima upah Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)

dalam jangka waktu tersebut. Salah seorang anak perempuan dari pasangan suami−isteri ini juga bekerja dan menerima gaji. Namun, jumlahnya yang sedikit membuat BM dan PS tidak pernah menuntut apa pun dari gaji tersebut. Berikut ini merupakan penuturan BM (RTSM 1):

“Ibu dua setengah tiap bulan, itu emang cuma kerja di satu rumah aja. Kalau bapak, kan tahun kemaren mah ada tiga kali kerjaan. Dapet enem ratus semuanya. Sama yang PKH doang. Gajinya Isna mah enggak pernah Ibu sama bapak minta-minta. Kita malah kasian, Neng. Uangnya sedikit, jadi ya udah buat dia aja. Baik, Neng. Sayang sama orang tua […]”.

Berbeda dengan pasangan suami−isteri di atas, BN (39 tahun) dan PD (40 tahun) masing-masing bekerja sebagai buruh cuci di Asrama IPB Dramaga dan penjual sayur. Pendapatan BN sebesar Rp. 300.000,00/bulan (tiga ratus ribu rupiah per bulan), sementara itu PD bisa membawa pulang uang tiap bulan lebih kurang Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah). Berikut ini adalah penjelasan yang diungkapkan oleh BN (RTSM 14):

(10)

“Iya! (Tertawa). Enggak sampe’ gede-gede kok jumlahnya. Di bawah lima puluh lah. Yaaaa, emmmm, tulis aja tiga puluan Teh. (Tertawa). Kalau Ibu sih, Alhamdulillah agak gede’ an dikit. Tiga ratus lah tiap bulan. […]”.

Ada pula salah satu RTSM responden yang bekerja sebagai penjual gorengan. Namun, jualan tersebut tidak dijajakan sendiri. BE (50 tahun) merasakan kondisi fisik yang lemah, selain itu suami beliau (PK, 83 tahun) menderita sakit sejak beberapa tahun lalu. Hal-hal ini yang mengakibatkan BE menitipkan dagangan kepada orang lain untuk dijual. Berikut ini ungkapan beliau (RTSM 4):

“(Tertawa), iya enggak apa-apa. Ya kan cuma lima hari jualan aja setiap minggu. Kadang dapet sepuluh, dua limaan, ya kadang dua tiga. Ya seringnya antara dua puluan lebih dikit lah. Ya sok atuh, diitung aja sebulan mah Ibu dapet berapa, kecil! (Tertawa). […]”.

Berdasarkan penuturan di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan yang diterima oleh BE lebih kurang Rp. 400.000,00/bulan (empat ratus ribu rupiah tiap bulan). Menurut BE, jumlah ini bukan keuntungan yang sebenarnya. Tapi, hanya sebatas balik modal. Uang tersebut tidak benar-benar dapat menopang kehidupan rumah tangga. Hal ini karena sebagian besar dari jumlah tersebut digunakan kembali untuk membeli bahan dagangan.

Rumah tangga responden lainnya, BR (34 tahun) dan PA (44 tahun), masing-masing bekerja sebagai buruh cuci di sekitar tempat tinggal beliau dan tukang servis alat elektronik (kipas angin, radio, televisi). Jika sang Istri menerima pendapatan Rp. 350.000,00/bulan (tiga ratus lima puluh ribu rupiah per bulan), PA bisa memperoleh Rp. 200.000,00/bulan (dua ratus ribu rupiah tiap bulan). Hal ini diutarakan oleh BR (RTSM 6):

“[…] dikit. Suami mah sebulan bisa dua ratus ribu. Kalau saya, yaaaa lebih seratus lima puluh lah! (Tertawa). Udah sih, sama yang uang PKH aja”.

Adapun pasangan BI (29 tahun) dan PM (28 tahun) yang masing-masing memiliki pekerjaan sebagai cleaning service di Kampus IPB Dramaga dan buruh bangunan, sang Istri berpenghasilan Rp. 200.000,00/bulan (dua ratus ribu rupiah tiap

(11)

bulan). Sementara itu, PM mendapatkan tiga kali ‘panggilan’ kerja dalam periode Februari 2009 sampai dengan Februari 2010 sehingga penghasilan beliau sebesar Rp. 900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) selama rentang waktu tersebut. Berikut penuturan pasangan suami−isteri ini (RTSM 29):

(BI) “Sebulannya kecil, Neng. Cuma dua ratus”.

(PM) “Saya Alhamdulillah tahun kemaren ada tiga kali panggilan kerja. Sebulan dapetnya seratus, jadi bisa ada sembilan ratus lah tahun kemaren. Sekarang aja nih, lagi sepi panggilan. (Tertawa)”.

Rumah tangga responden bernomor 28 (dua puluh delapan), BS dan PS, masing-masing bekerja sebagai buruh cuci dan supir pribadi (terkadang supir mobil bak). Pekerjaan sebagai supir dilakukan oleh PS hanya jika ada ‘panggilan’ kerja. Bila tidak ada, sang Istri yang akan bekerja. Hal tersebut berarti bahwa RTSM ini tidak menerima penghasilan setiap bulan. Pendapatan yang diterima oleh PS sekali ‘panggilan’ kerja adalah Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah), sedangkan sang Istri mendapatkan Rp. 55.000,00/kerja (lima puluh lima ribu rupiah per satu kali mencuci). Di bawah ini merupakan penjelasan BS dan PS:

(PS)“Bapak cuma yaaa tiga puluan, kecil ya Neng? (Tertawa)”. (BS) “Ibu Alhamdulillah gede’ an dikit, tapi dikiiiiiit aja. Cuma sekitar lima-lima sekali nyuci. Enggak tentu, kadang sebulan enggak kerja si Bapak, jadi Ibu yang nyuci. Kalo’ bapak kerja, ya Ibu enggak. Kan jaga si Ade’ kecil. Sama dapet dari PKH. Enggak ada lagi. Emang cuman ini, Neng”.

4.2.2 Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri

Ada dua kategori yang menjadi karakteristik rasio jenjang pendidikan RTSM responden. Variasi nilai tersebut, antara lain (1) isteri rendah−suami rendah (sama-sama tamatan SD) dan (2) salah satu pihak lebih tinggi (tingkat pendidikan isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, serta SMP−SD).

(12)

Berikut ini tabel yang memperlihatkan jumlah RTSM responden berdasarkan tingkat pendidikan suami−isteri.

Tabel 6. Jumlah RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009

Rasio Tingkat Pendidikan Jumlah RTSM Persentase (%) Isteri Rendah−Suami Rendah 23 79,31 Isteri Rendah−Suami Sedang 1 3,45 Isteri Rendah−Suami Tinggi 3 10,34 Isteri Sedang−Suami Rendah 2 6,90 Total 29 100

Hampir semua RTSM responden berpendapat bahwa pendidikan memiliki peranan penting baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Rumah tangga responden merasa sangat rugi dengan jenjang sekolah formal yang pernah dikenyam. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan pasangan suami−isteri tersebut, dua diantaranya, sulit mengakses jenis pekerjaan produktif yang bergaji tinggi serta kesulitan untuk memberikan pengajaran kepada anak dalam hal mata pelajaran sekolah. Namun, hampir seluruh RTSM responden juga lebih memilih anak laki-laki untuk disekolahkan, jika dana yang dimiliki sangat terbatas. Alasan yang dikemukakan, tentu saja, karena anak laki-laki dianggap akan menjadi seorang kepala rumah tangga. Untuk bisa memasuki dunia kerja yang layak, si Anak harus mengenyam pendidikan yang tinggi pula. Sementara itu, anak perempuan masih bisa diajarkan memasak dan mengurus rumah. Berikut penuturan salah satu RTSM responden:

“Sama aja sih. Tapi, kalau perempuan kan masih bisa diajarin masak. Jadi, kalau enggak ada duit, ya udah diajarin masak aja”. (RTSM 8: BR; tamatan SD)

4.2.3 Kriteria RTSM Penerima PKH

Semua RTSM responden memiliki kesamaan pendapat mengenai siapa yang berhak untuk menjadi peserta PKH. Berbagai kriteria tersebut adalah memiliki rumah yang kurang baik kondisinya, suami−isteri bekerja sebagai buruh,

(13)

memiliki anak balita/ibu hamil/ibu melahirkan dan/atau anak usia sekolah, serta mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Hampir semua rumah RTSM responden memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tanpa teras dan pagar, beratapkan seng, dindingnya terbuat dari triplek, dan lantai berupa semen. Di dalam rumah, bagian depan merupakan ruang tamu dan terdapat paling banyak dua kamar tidur. Sementara itu, pada bagian belakang rumah, terdapat dapur dan kamar mandi. Rumah-rumah tersebut berukuran sangat sederhana. Adapun kepemilikan barang elektronik, hampir seluruh RTSM responden telah dan hanya memiliki satu buah televisi.

Gambar

Tabel  berikut  ini  merupakan  jumlah  dan  persentase  penggunaan  lahan  di Kelurahan Balumbang Jaya.
Tabel 4. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Tabel 5. Jumlah RTSM Responden Menurut Status Bekerja Suami−Isteri Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009
Tabel 6. Jumlah RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009

Referensi

Dokumen terkait

Tidak dilaksanakannya kewajiban salah satu pihak dalam kehidupan rumah tangga merupakan nusyuz, baik yang dilakukan oleh suami maupun isteri.. Ketika isteri melalaikan

Antara faktor dalaman yang mencetuskan konflik dalam rumah tangga bermadu berpunca apabila pihak suami merahsiakan perkahwinan keduanya daripada pengetahuan isteri pertama, sikap

Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat tidak

Demikianlah seharusnya hubungan antara suami isteri dalam rumah tangga, namun kadang-kadang pasangan suami isteri sibuk dengan pekerjaannya sehingga dalam kehidupan rumah

Menurut hakim Muhammad Habiburrahman untuk kasus tuntutan harta bersama oleh suami yang bekerja tidak menentu yang membuat suami kurang berkontribusi dalam kehidupan

Meskipun lebih dari separo responden istri migran menyatakan bahwa dengan perginya suami untuk bekerja ke Malaysia beban pekerjaan rumah tangga menjadi semakin berat,

Meskipun lebih dari separo responden istri migran menyatakan bahwa dengan perginya suami untuk bekerja ke Malaysia beban pekerjaan rumah tangga menjadi semakin berat,

data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau. sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari