• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN TERNAK (Flemengia congesta dan Desmodium rensonii) PADA POLA TANAMA TUMPANGSARI DENGAN TANAMAN JAGUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMAMPUAN DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN TERNAK (Flemengia congesta dan Desmodium rensonii) PADA POLA TANAMA TUMPANGSARI DENGAN TANAMAN JAGUNG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN TERNAK

(Flemengia congesta dan Desmodium rensonii) PADA POLA

TANAMA TUMPANGSARI DENGAN TANAMAN JAGUNG

(Study on the Carrying Capacity of Flemengia congesta and Desmodium

rensonii as Forages in an Intercropping System with Corn)

ANDI ELLA danA.NURHAYU

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Sudiang, Makassar

ABSTRACT

Field experiments were conducted in Sub Station, Balai Pengkajain Teknologi Pertania Sulawesi Selatan at Gowa, to study the carryng capacity of forage legumes Flemingia congesta and Demodium rensonii intercropping with corn. Corn and legumes grown in the field with two combination of species and three rows spacing of legume (120, 180 and 240 cm). Cutting intervals of legumes was 6 weeks and cutting height was 100 cm above the ground. The highest total herbage dry weight was 9,8 t/ha was obtained by corn and D.

rensonii combination, with rows spacing 240 cm. The hiegesth carryng capacity of herbage dry matter was

3.49 Animan Unit/ha and 5,62 Animal Unit/ha on based protein requirement. The result showed that D.

rensonii is promising as forage source, in terms the productivity of herbage dry matter.

Key Words: Forage legume, Intercropping

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilakukan di Kebun Percobaan Gowa, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, untuk melihat kemampuan daya dukung hijauan pakan (Flemengia congesta dan

Desmodium rensonii) pada pola tanam tumpangsari dengan tanaman jagung. Jagung dan leguminosa pakan

ditanam pada plot percobaan, dua jenis leguminosa pakan ditanam dengan tiga jarak tanam yaitu 120, 180 dan 240 cm antara larikan. Interval pemotongan leguminosa setiap 6 minggu dengan tinggi pemotongan 100 cm dari permukaan tanah. Total produksi bahan kering tertinggi yaitu 9,8 t/ha diperoleh tumpangsari antara jagung dengan D. rensonii pada jarak tanam 240 cm. Kemampuan daya dukung hijauan berdasarkan bahan kering tertinggi adalah 3,49 Animal Unit/ha, sedangkan berdasarkan kandungan protein tertinggi adalah 5,62 Animal Unit/ha. Dari hasil ini nampaknya bahwa jenis D. rensonii mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai hijauan pakan ternak

Kata Kunci: Leguminosa Pakan, Tumpangsari

PENDAHULUAN

Usaha untuk meningkatkan produksi ternak terutama ternak ruminansia nampaknya akan mengalami suatau hambatan, terutama sulitnya mendapatkan lahan yang dapat digunakan khusus untuk ditanami tanaman pakan, sehingga produksi hijauan pakan yang berkualitas samakin terbatas, kalaupun ada lahan tersedia masih lebih diutamakan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, juga semakin intensifnya penggunaan lahan yang ada, akibatnya ternak banyak memperoleh hijauan yang berupa hasil limbah pertanian

yang berkualitas rendah. Oleh karena itu perlu upaya yang lebih luas untuk memacu peningkatan produksi hijauan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan seefisien mungkin, yaitu dengan menggunakan pola tanam tumpangsari antara tanaman pangan dan tanaman pakan.

Penanaman leguminosa pakan dengan tanaman pangan akan dapat beberapa keuntungan seperti perbaikan struktur tanah,meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah sebab leguminosa dapat menfiksasi N udara dengan bantua rizobium yang ada pada

(2)

bintil akar, dan lebih penting lagi adalah dapat memproduksi hijauan pakan dan tidak menggangu produksi tanaman pangan itu sendiri. Peananaman dengan pola tumpangsari akan memberikan produksi pakan yang lebih tinggi (MWANGI et al., 2004 ; HERE et al.,

2004), baik antara tanaman pakan sendiri maupun dengan tanaman pangan

Telah banyak jenis leguminosa yang dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pangan. Jenis lain yang telah mulai dikembangkan adala F. congesta yang dalam bahasa Sundanya adalah hahapa atau otok-otok kebo dalam bahasa Jawa, juga disebut orakora dalam bahasa Bugis, dan D. rensonii yang bahas Sundanya adalah genteng cangkeng. SEMBIRING (1991) melaporkan bahwa respon petani menanam kedua jenis ini sangat tinggi terutama F. congesta, kareana telah dirasakan manfaatnya yaitu daunnya dapat berfungsi sebagai pupuk hijua/mulsa sehingga produksi tanaman pangannya meningkat, juga dapat menguatkan teras dan meningkatkan penggeburan tanah. Karena itu perlu ditingkatkan lagi pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Penggunaan F. congesta masih lebih banyak diarahkan pada pemanfaatan daunnya sebagai pupuk hijua, sedangkan sebagai pakan ternak masih terbatas sebagai campuran rumput yang dimanfaatkan pada musim kemarau (HAWKINS et al., 1990). Salah satu potensi yang dimiliki oleh tanaman ini adalah produksi hijauan keringnya cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 3,70 t/ha/th pada jarak tanam 6 m antara larikan, bahkan dapat mencapai 13,75 t/ha/tahun dengan jarak tanam 4,5 m. Potensi ini sangat mendukung untuk meningkatkan popolasi ternak, sehingga target pencapaian swasembada daging dapat terpenuhi.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan dikebun percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, untuk melihat kemampuan daya dukung hijauan pakan (F. congesta dan D.

rensonii) yang ditumpangsarikan dengan

tanaman jagung. Percobaan ini menggunakan rancangan petak terbagi pola faktorial dengan tiga ulangan. Petak utama adalah jarak tanam leguminosa yaitu:

J1: Jarak tanam 120 cm/satu larikan tanaman jagung

J2: Jarak tanam 180 cm/dua larikan tanaman jagung

J3: Jarak tanam 240 cm/ tiga larikan tanaman jagung

Yang ditempatkan sebagai anak petak adalah:

S1: Tanaman Flemengia congesta

S2: Tanaman Desmodium rensonii

Bibit tanaman leguminosa sebelumya disemaikan pada kantong plasti, setelah berumur 1 bulan dipindahkan ke plot percobaan. Tiap plot ditanami tiga larikan leguminosa yang sama. Jarak tanam dalam larikan 20 cm dan antara larikan masing-masing 120, 180 dan 240 cm. Pemotongan seragam dilakukan pada saat pertumbuhan tanaman telah stabil dan tingginya lebih dari satu meter di atas permukaan tanah, kemudian pemotongan selanjutnya setiap interval 6 minggu.

Jagung ditanaman setelah tanaman leguminosa telah dipotong sebanyak tiga kali, dengan jarak tanam 20 cm dalam larikan dan 60 cm antara larikan,sehingga setiap jarak tanaman leguminosa masing-masing terdiri dari 1 baris jagung untuk jarak tanam 120 cm, 2 baris jagung untuk jarak tanam 180 cm dan 3 baris jagung untuk jarak tanam 240 cm. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman leguminosa sebelum pemotongan, tinggi tanaman jagung sebelum panen dan produksi hijauan leguminosa dan jagung. Untuk mengetahui produksi bahan kering hijauan leguminosa maka setiap pemotongan diambil sampel dari 10 pohon tanaman yang berasal dari larikan tengah tiap plot. Untuk tanaman jagung juga diambil 10 pohon dari masing-masing plot pola tanam tumpangsari. Sampel tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 80°C selama 48 jam untuk mengetahui bobot keringnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman leguminosa

Pada pemotongan awal, yang merupakan pemotongan penyeragaman pertumbuhan kembali tanaman, tinggi tanaman diukur sehari

(3)

sebelum pemotongan. Umur tanaman pada saat pemotongan pertanama sekitar satu tahun. Pertumbuhan tanaman bervariasi antara jenis leguminosa, ini terlihat dari tinggi tanaman dimana jenis D. rensonii dengan tinggi tanaman 243,2 cm kemudian F. congesta dengan tinggi tanaman 199,8 cm. Perbedaan jenis tanaman sangat berpengaruh terhadap kecepata pertumbuhan awal tanaman (MACHRIA et al., 2005), sehingga pada saat pemotongan pertama perbedaan produksi akan kelihatan. Akan tetapi jenis tanaman juga berpengaruh terhadap pemotongan yang berulang, kadang suatu tanaman cepat pertubuhan awalnya akan tetapi tidah tahan terhadap pemotongan yang berulang.

Untuk pengumpulan data selanjutnya tanaman dipotong setiap interval 6 minggu. Setelah pemotongan pertama rata-rata tinggi tanaman bervariasi disetiap pemotongan dan jenis leguminosa yang berbeda. Pada pemotongan pertama terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman dari masing-masing jenis leguminosa,. Pada pemotongan kedua dan ketiga sudah memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari tinggi tanaman dimana D. rensonii tinggi tanaman lebih baik dari F. congesta (Tabel 1).

Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman hanya terlihat pada pemotongan kedua dan ketiga. Produksi pada jarak tanam 240 cm nyata lebih tinggi dari jarak tanam 120 cm, tapi tidak berbeda dengan jarak tanam 180 cm. Semakin rapat jarak tanam nampaknya semakin terhambat pertumbuhan tanaman.

Interaksi perlakuan terhadap tinggi tanaman tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Meskipun demikian, jenis D. resonii denga jarak tanam 240 cm mempunyai tanaman yang tinggi, terutama pada pemotongan ketiga, kemudian disusul F. congesta. dengan jarak tanam yang sama.

Produksi bahan kering hijauan leguminosa

Pada pemotongan pertama, produksi hijauan kering antara D. rensonii dan F.

congesta tidak berbeda. Pada pemotongan

kedua dan ketiga D. rensonii produksi hijauannya sangat nyata lebih tinggi dari F.

congesta. Perbedaan produksi yang diperoleh

dapat disebabkan terjadinya persaingan tanaman untuk memperoleh nutrisi dari dalam tanah, juga perolehan sinar matahari (NJARUI dan WANDERA, 2000; NJARUI et al., 2007), dan sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.

Jarak tanam tidak terlihat adanya pengaruh nyata untuk semua pemotongan terhadap produksi hijauan, namun terlihat jarak tanam 240 cm produksi hijauannya lebih baik dari jara tanam 120 cm dan 180 cm pada pemotongan kedua dan ketiga, sedangkan pada pemotongan pertama jarak tanam 180 cm lebih baik. Interaksi kedua perlakuan juga tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata pada semua pemotongan.

Tabel 1. Pengaruh jarak tanam dan jenis leguminosa terhadap tinggi tanaman dari setiap periode pemotongan

Pemotongan Perlakuan

I II III

Jarak tanam leguminosa (cm) ………. cm ……….. 120 180 240 138,1a 141,2a 141,2a 150,0a 158,1a 159,9a 160,8a 167,2ab 1752a Jenis legminosa F. congesta D. rensonii 132,0a 144,0b 136,7a 174,7c 153,0a 188,8b Huruf yang tida sama pada kolam yang sama dalam tiap kelompok pengamatan berbeda nyata (P < 0,05)

(4)

Jarak tanam antara leguminosa tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata untuk semua pemotongan, namun masih terlihat jarak tanam 240 cm produksi hijauannya masih lebih baik dari jarak tanam 120 cm dan 180 cm pada pemotongan kedua dan ketiga, sedangkan pada pemotongan pertama jarak tanam 180 cm yng lebih baik. Interaksi dari kedua perlakuan juga tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata pada semua pemotongan (Tabel 2).

Produksi bahan kering hijauan jagung

Jarak tanam jenis leguminosa memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata terhadap produksi bahan kering hijauan jagung, dimana jarak tanam 240 cm produksi haijaun keringnya lebih tinggi dari jarak tanam 120 cm dan 180 cm, juga jarak tanam 180 cm lebih tinggi dari jarak tanam 120 cm. Untuk perlakuan jenis leguminosa kedua perlakuan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap produksi hijauan kering tanaman jagung (Tabel 3).

Kemampuan daya dukung hijauan pakan

Pola tanam tumpangsari jagung dengan leguminosa pakan, di samping produksi utamanya yang berupa jagung juga adanya produksi sampingan berupa hijauan pakan, yang akan diperuntukkan untuk mencukupi kebutuhan hijauan ternak. Dengan pola tanam tumpangsari diharapkan adanya peningkatan produksi hijauan dibandingkan tanaman tunggal persatuan luas tertentu.

Nampaknya jagung yang ditanam dengan leguminosa hampir 50 % produksi hijauan lebih rendah dari pada jagung yang ditanam tanpa leguminosa dengan populasi yang sama (satu dan dua larikan), namun pada populasi tanaman jagung lebih padat (tiga larikan) perbedaanya tidak telalu jauh. Hasil ini seperti yang dilaporkan SUMARSONO (1988), bahwa salah satu jenis tanaman produksinya akan lebih tinggi atau lebih rendah bila ditumpangsarikan dari pada tanaman tunggal, akan tetapi total produksi akan lebih tinggi pada pola tumpangsari.

Tabel 2. Pengaruh jarak tanam dan jenis leguminosa terhadap produksi bahan kering hijauan dari setiap

periode pemotongan

Pemotongan Perlakuan

I II III

Jarak tanam leguminosa (cm) ……… kg/ha ……….. 120 180 240 655,2a 730,7a 455,1a 956,7a 1033,0a 1034,0a 798,1a 591,0a 806,0a Jenis legminosa F. congesta D. rensonii 550,6a 572,3a 672,2a 1346,0c 562,6a 828,7b Huruf yang tida sama pada kolam yang sama dalam tiapa kelompok pengamatan berbeda nyata (P < 0,05)

Tabel 3. Pengaruh jarak tanam dan jenis leguminosa terhadap produksi bahan kering hijauan jagung yang

ditanam dengan leguminosa dan tanpa leguminosa Jagung dengan leguminosa

F. congesta D. rensonii

Rataan Jagung tanpa leguminosa

Jarak tanam leguminosa (cm)

………. t/ha ……… 120 180 240 1,30 1,87 2,42 1,07 1,79 2,34 1,27a 1,74b 2,26c 2,42 2,69 2,28 Rataan 1,84 1,73

(5)

Meskipun produksi bahan kering jagung yang ditanam dengan leguminsa lebih rendah dari tanaman jagung yang ditanam tanpa leguminsa, akan tetapi masih ada tambahan hijauan dari leguminosa sehingga total produksi bahan kering hijauan dari pola tanam jagung dengan legumnosa lebih tinggi. Total produksi berdasarkan bahan kering dan protein kasar pada pola tanam tumpangsari jagung denga leguminosa terlihat pada Tabel 4.

Bila rata-rata kebutuhan hijauan seekor ternak dengan berat badan 300 kg adalah 7,7

kg bahan kering dan protein 0,77 kg dengan pertabahan berat badan 0,5 kg/hari (NAS, 1970), maka kebutuhan hijauan selama setahun adalah 7,7 kag x 365 hari = 2.810,5 kg bahan kering, untuk protein adalah 7,7 kg × 365 hari = 281,05 kg. Dari semua kombinasi pola tanam antara jagung dengan leguminosa, maka dapat diperoleh daya dukung hijauan bahan kering maupun protein dari masing-masing pola tanam terlihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Produksi bahan kering dan protein hijauan pada pola tanam jagung dengan leguminosa dan tanpa

leguminosa

Jagung dengan leguminosa

F. congesta D. rensonii

Jagung tanpa leguminose Jarak tanam leguminosa (cm)

……… t/ha ……….. 120 Bkj Bkl Proj Prol 1,31 4,49 0,21 0,76 1,07 7,23 0,16 1,18 2,47 0,40 180 Bkj Bkl Proj Prol 1,87 5,52 0,29 0,94 1,79 7,19 0,27 1,18 2,69 0,44 240 Bkj Bkl Proj Prol 2,41 4,27 0,38 0,73 2,34 7,48 0,36 2,22 2,28 0,37

Bkj: Bahan kering jagung; Bkl: Bahan kering leguminosa; Proj: Protein hijauan jagung; Prol: Protein hijauan leguminose

Tabel 5. Kemampuan daya dukung hijauan pada pola tanam jagung dengan leguminosa dan tampa

leguminosa

Jagung dengan leguminosa

F. congesta D. rensonii

Jagung tanpa leguminose Jarak tanam leguminosa (cm)

……… UT/tahun ……….. 120 Bahan kering Protein kasar 2,06 3,46 2,95 4,77 0,88 1,42 180 Bahan kering Protein kasar 2,56 4,39 3,19 5,16 0,96 1,54 240 Bahan kering Protein kasar 2,37 3,96 3,49 5,62 0,81 1,32 UT = Unit Ternak

(6)

Bila pada luasan lahan tertentu ternyata daya dukung hijauannya berdasarkan bahan kering, ternyata lebih rendah dibandingkan berdasarkan daya dukung kebutuhan protein. leguminosa jenis D. rensonii dengan jarak tanam 240 cm daya dukung bahan keringanya mencapai 3,49 UT/ha/tahun dan lebih tinggi dari F. congesta, sedangkan bila berdasarkan protein maka daya dukungnya dapat mencapai 5,62 UT/ha/tahun. Perbedaan ini dimungkinkan oleh karena kandungan protein hijauan dari masing kombinasi perlakuan berbeda satu sama lainnya. Meskipun produksi bahan kering tinggi tapi bila kadar proteinnya rendah maka akan berpengaruh terhadap total produksi protein dan akan berhubungan dengan kemampuan daya dukung terhadap kebutuhan ternak.

Kemampuan daya dukung ini sangan relevan dengan kondisi pedesaan, dengan rata-rata pemilikan ternak perkeluarga petani antara 2 – 5 ekor (ELLA et al., 1994), berarti petani

yang memiliki ternak kerbau atau sapi 2 – 5 ekor dengan luas pemilikan lahan satu hektar maka kebutuhan ternaknya akan hijauan ataupun protein dapat terpenuhi. Bila dibandingkan dengan daya tampung padang pengembalaan di Indonesia hanya mencapai 0,8 – 1 UT/ha (BULO, 1992). Dengan adanya pola tanam umpangsariberarti ada peningkatan daya dukung lahan disamping mendapatkan hasil dari jagung pipilan.

KESIMPULAN

1. Pola tumpangsari antara tanaman leguminosa pakan dengan tanaman jagung mampu meningkatkan produksi hijauan pakan.

2. Kemampuan daya dukung hijauan pakan pada pola tumpangsari jagung dan lguminosa mencapai 2 – 5 UT/th

DAFTAR PUSTAKA

BULO,D. 1992. Pengaruh interval pemotongan dan pemupukan terhadap produksi lamtoro (Leucaena leucocephala) yang ditanam dibawah tegakan pohon kelapa. Prosiding Pengelolaan dan Komunikasi Peternakan di Sulawesi Selatan, Makassar.

ELLA,A.,S.BAHAR,D.BULO dan R.SALAM. 1992. Studi potensi sumber daya lahan dan ternak serta pola penyediaan pakan bagi peningkatan produksi sapi Bali di Kabupaten Barru. Pros. Pertemuan Pengelolaan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan, Makassar.

HERE, D.M., I.E. GRUBEN., P. TATSOPONG., A. LUNPHA., M. SAENGKHAM and K. WANGPICHER. 2004. Inter-row planting og legumes to improve and create protein consentration in Paspalum abatum cv. Ubon Pasture in Nort-East Thailand. Tropical Grassland 38: 167 – 177.

HOWKINS,R.,A.RAHMAN and H.SEMBIRING. 1990. Applying farming system research concepts and methods to development of multipurpose tree species. Proc. of Iternational Conference Held. November 1989 in Jakarta. pp. 155 – 165.

MACHERIA, P.N., J.I. KINYAMARIO., M.N. EKAYA

and C.K.K.GAOHENE. 2005. Enhancement of grassland production through integration of forege legumes in semi-ari rangelands of Kenya. Tropical Grassland 39: 234.

MWANGI,D.M.,G.CADISCH.,W.THORPE and K.E. GILLER. 2004. Harvesting management options for legumes intercropped in Napier grass in the central highlands of Kenya. Tropical Grasslands 38: 234 – 244.

NAS. 1977. Tropical legumes: Resource for the Future. National Academy of Secience, Washington, D.C.

NJARUI,D.M.G.and F.P.WANDERA. 2000. Effect of intercropping pasture legumes with fodder grass and mize on forage and grain yield in the the semi-arid Kenya. Participatory technology development for soil management by small holders in Kenya. Special publication on Soil Management and Legume Research Network Projects, Kenya Agricultural Research Institute, Nairobi Kenya. pp. 155 – 168.

NJARUI, D.M.G., E.N. NJOKA., S.A. ABDULRAZAK

and J.G. MUREITHI. 2007. Effect of planting pattern of two herbaceous forage legumes in fodder grass no productivity of grass/legumes mixture in semi-arid Tropical Kenya. Tropical and Subtropical Agroecosystem 7: 73 – 85 SUMARSONO. 1998. Pengaruh Kepadatan Populasi

Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam) de (Wit) Cunningham terhadap Hasil Hijauan dan jagung (Zea mays L.) pada Dua Pola Tanam Tumpangsari. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gambar

Tabel 1.  Pengaruh jarak tanam dan jenis leguminosa terhadap tinggi tanaman dari setiap periode pemotongan  Pemotongan
Tabel 2.  Pengaruh  jarak  tanam  dan  jenis leguminosa terhadap produksi bahan kering hijauan dari setiap  periode pemotongan
Tabel 5. Kemampuan daya dukung hijauan pada pola tanam jagung dengan leguminosa dan tampa  leguminosa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menyimpulkan bahwa : (a) Budaya organisasi pada PDAM Kabupaten Kudus kuat, begitu pula dengan lingkungan kerja fisik pada PDAM Kabupaten Kudus Baik;

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahanuntuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan sehingga

Tekolabbua dukungan tokoh masyarakat dalam kategori sedang dengan rataan skor 61,0 sedangkan di Kelurahan Pundata Baji dalam kategori rendah dengan rataan skor 31,8.

GAMBARAN PERSEPSI PENYAJIAN MAKANAN DAN SISA MAKANAN BIASA PADA PASIEN RAWAT INAP KELAS III RSUD IR SOEKARNO SUKOHARJO Pendahuluan : Pelayanan gizi di rumah sakit dapat

Label adalah sebuah control untuk menampilkan suatu tulisan tertentu. Biasanya digunakan untuk menampilkan tulian pada form sebagai

Namun berdasarkan hasil penelitian Anwar Sitepu (2014) ada lima faktor yang menyebabkan kesalahan dalam penetapan sasaran, yaitu: 1) basis data terpadu yang digunakan sebagai

Kenyataannya, pada percobaan ini, setelah direndam pankuronium bromida 4 mg sediaan otot masih memberikan gambaran kontraksi sehingga efek neuroterapi dari ekstrak tidak