• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBEDAH PEMIKIRAN LUDWIG WITTGENSTEIN TENTANG UNIFORMITY DAN PLURIFORMITIY ; Refleksi Atas Kebhinekaan Indonesia. Hermanto, Drs., MM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBEDAH PEMIKIRAN LUDWIG WITTGENSTEIN TENTANG UNIFORMITY DAN PLURIFORMITIY ; Refleksi Atas Kebhinekaan Indonesia. Hermanto, Drs., MM."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBEDAH PEMIKIRAN LUDWIG WITTGENSTEIN TENTANG UNIFORMITY DAN PLURIFORMITIY ;

Refleksi Atas Kebhinekaan Indonesia Hermanto, Drs., MM. *)

ABSTRAK

Ludwig Josef Johann Wittgenstein Lahir di Wina, 26 April 1889 adalah salah seorang filsuf paling berpengaruh pada abad 20 dan memiliki kontribusi yang besar dalam filsafat bahasa, filsafat matematika, dan logika. Ia berpendapat bahwa masalah filsafat sebenarnya adalah masalah bahasa.

Ide sentral karya Wittgenstein adalah teori gambar (picture theory), yaitu bahwa proposisi adalah gambar dari realitas. Suatu gambar dapat menampilkan apa yang digambarkan jika ada kesamaan struktur antara keduanya. Wittgenstein menyebut struktur logis ini sebagai bentuk logis (logical form). Hubungan antara gambar (bahasa) dan yang digambarkannya (obyek, realitas) adalah kesamaan bentuk logis. Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa sehari-hari mengandung begitu banyak keberagaman yang membentuk permainan bahasa atau language-games.

(2)

alam khasanah penciptaan manusia oleh Allah swt, dilengkapi dengan beragam fasilitas yang tak terhitung jumlahnya mulai dari darah, susunan saraf yang paling kecil sampai dengan hal yang abstrak dan hanya bisa didengar dengan mnggunakan telinga yaitu bahasa lewat alat ucap manusia, maka semakin lengkaplah keanekaragaman yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Terlebih bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk menyingkap rahasia segala perbedaan yang ada pada manusia.

Aktfitas bahasa merupakan ciri khas manusia yang dengan bahasa itu pula manusia dapat melaksanakan refleksi dan kebebasannya (Chauchard, 1993:11). Gadamer bahkan mengatakan bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia itu (Sumaryono, 1993: 26). Sesunguhnya bahasa itu apapun ragamnya harus diakui dapat memainkan peran sangat besar dalam kehidupan manusia.

Manusia itu senantiaa hidup dalam gerak dan perubahan menimbulkan keanekaragaman dan keanekaragaman itu akan menimbulkan perbedaan-perbedaan, bahkan dapat memacu konflik manakala tidak dapat dijalin komunikasi yang baik. Oleh karena itu manusia hidup pasti membutuhkan komunikasi, dan salah satu

bentuk komunikasi atar manusia adalah bahasa. Komunikasi sebagai dasar relasi berupaya mengatasi perbedaan, tanpa menegasikan eksistensi individu. Komunikasi yang berhasil senantiasa berlangsung dalam semangat saling menghargai antar individu, antar kelompok sebagai ua paya mendekatkan diri pada kepentingan bersama dan mencegah timbulnya konflik.

Komunikasi akan berhasil dalam bahasa yang diakomodasikan secara kontekstual Wittgenstein aalah salah seorang filsuf analitik di abad ke duapuluh yang perkembangan pemikirannya dapat dibagi ke dalam dua periode arah pemikiran Wittgenstein. Periode pertama, adalah menentukan bahasa ideal I yang seragam

(uniformity) bagi filsafat. Periode kedua, adalah menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya beraneka ragam (pluriformity). Kedua arah pemikiran Wittgenstein ini mengandung dasar filosofi tentang unity dan plurality.

Kebhinekaan merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kesatuan, meskipun Negara dan bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Semboyan kebhinekaan merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara “hal satu” dan “hal banyak”, yaitu kesatuan dan kemajemukan. Keanekaragaman di dalam

D

(3)

segala aspek kehidupannya tidak dilihat sebagai ancaman bagi kesatuan bangsa Indonesia, tetapi justeru diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan begi bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya (Handono-Hadi, 1994: 61)

Bagaimana penjelasan secara filosofis tentang aspek kesatuan dan kemajemukan dalam kebhinekaan?. Dalam makalah ini, Kiranya pemikiran Wittgenstein tentang Uniformitas dan Pluriformitas dapat dipakai sebagai salah satu sarana refleksi atas prinsip Kebhinekaan bangsa Indonesia.

PROFIL LUDWIG WITTGENSTEIN DAN KARYANYA

Ludwig Josef Johann Wittgenstein (Wina, 26 April 1889- Cambridge, 29 April 1951) adalah salah seorang filsuf paling berpengaruh pada abad 20 dan memiliki kontribusi yang besar dalam filsafat bahasa, filsafat matematika, dan logika. Ia berpendapat bahwa masalah filsafat sebenarnya adalah masalah bahasa. Ludwig Wittgenstein merupakan filsuf kelahiran Austria yang kemudian melanjutkan studinya di Inggris. Karya awalnya adalah:

“Tractatus-Logico-Philosophicus” memiliki pengaruh yang

sangat besar dalam gerakan Lingkaran Wina, terutama Ruldof Carnap dan Moritz Schick. Dia adalah seorang murid Bertrand Russell, salah seorang filsuf Inggris

ternama di Universitas Cambridge, yang sangat mempengaruhi pandangan kemudian. Wittgenstein mengajar di Trinity College, Cambridge dan sampai akhir hayatnya tinggal di kota ini.

Wittgenstein adalah putra seorang industriawan yang sangat kaya. Tetapai Ludwig Wittgenstein tidak terlalu tertarik hal-hal duniawi dan ia tidak menuntut warisannya. Meskipun ayahnya beragama Protestan dan ibunya beragama Katholik, yang selanjutnya ikut agama ibunya, sebenarnya kedua orang tuanya masih keturunan Yahudi. Wittgenstein terutama dikenal karena paham filsafatnya semasa hidupnya berubah dan menjadi berbeda secara total sehingga kadangkala orang menyebutnya sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II.

Wittgenstein adalah penulis

Tractatus Logico-Philosophicus yang merupakan sumber inspirasi kaum logis-positivis dalam hal analisis antara pernyataan yang bermakna dengan pernyataan yang tidak bermakna. Dia menjelaskan ini melalui teori pemaknaan yang dikenal sebagai teori gambar. Dalam karyanya kemudian, Philosphical Investigations, dia mengoreksi pandangan

awalnya dalam Tractatus dan lebih menekankan pendekatan holistik-praktis dalam pendekatan terhadap persoalan bahasa. Pandangan ini mempengaruhi para

(4)

filsuf yang menganut paham ordinary

language philosophy, seperti Gilbert Ryle.

Di antara karya-karyanya, adalah: 1. Logisch-Philosophische Abhandlung,

Annalen der Naturphilosophie, 14 (1921);

2. Tractatus Logico-Philosophicus, (1922); 3. Philosophische Untersuchungen (1953); 4. Philosophical Investigations, alihbahasa

Inggris oleh G.E.M. Anscombe (1953); 5. Bemerkungen über die Grundlagen der

Mathematik, (1956);

6. Remarks on the Foundations of Mathematics, alihbahasa Inggris oleh

G.E.M. Anscombe, rev. ed. (1978); 7. The Blue and Brown Books (1958)

(Bahan kuliah dalam bahasa Inggris kepada mahasiswa Cambridge pada tahun 1933-35);

8. Philosophische Bemerkungen, ed. by Rush Rhees (1964);

9. Philosophical Remarks (1975)

(http://id.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Wittgens tein, akses tanggal 30/11/2008)

PEMIKIRAN WITTGENSTEIN TENTANG UNIFORMITAS DAN PLURIFORMITAS Wittgenstein I, begitu orang menyebut tahap awal pemikirannya, adalah tonggak gagasannya yang mempengaruhi para filsuf neopositivisme (di Inggris). Sedangkan tahap pemikiran berikutnya, Wittgenstein II, yang tertuang dalam karyanya yang kedua menjadi titik pangkal tradisi analitik bahasa.

1. Teori Gambar: Wittgenstein I

Inti karya Wittgenstein dalam

Tractatus Logico-Philosophicus ialah bahwa

apa yang dapat dikatakan bisa dikatakan dengan jelas, dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan kita harus berdiam diri. Maksudnya, untuk menarik batas terhadap ungkapan pikiran kita harus dapat memikirkan kedua belah sisi batas tersebut yang itu tidaklah mungkin. Sebab itu berarti kita harus dapat memikirkan apa yang tak dapat dipikirkan. Bagi Wittgenstein batas tersebut hanya dapat ditarik dalam bahasa.

Ide sentral karya Wittgenstein yang pertama ini adalah teori gambar (picture

theory), yaitu bahwa proposisi adalah

gambar dari realitas. Suatu gambar dapat menampilkan apa yang digambarkan jika ada kesamaan struktur antara keduanya. Struktur yang dimaksud adalah susunan atau kaitan logis tertentu antara elemen-elemen yang membentuk sesuatu. Wittgenstein menyebut struktur logis ini sebagai bentuk logis (logical form).

Hubungan antara gambar (bahasa) dan yang digambarkannya (obyek, realitas) adalah kesamaan bentuk logis.

Bila kita kaji lebih lanjut proposisi yang biasa kita pakai, ujar Wittgenstein, kita akan sampai pada proposisi yang paling dasariah yang tidak dapat dikaji lebih lanjut. Proposisi dasariah ini terdiri dari unsur-unsur yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, yaitu nama-nama (names). Sedangkan

(5)

unsur-unsur dasariah realitas adalah obyek-obyek (objects). Masing-masing unsur, baik proposisi maupun realitas, tidak dapat berdiri sendiri. Nama-nama selalu tergabung dalam proposisi. Begitu pula obyek-obyek, selalu tergabung dalam

paduan obyek.

(http://panimbang.blogspot.com/2006/01/wit tgenstein.html, akses tanggal 30/11/2008). 2. Language Game”: Wittgenstein II

Jika sebelumnya Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa yang memiliki makna hanyalah bahasa deskriptif, kini ia menyangkalnya dengan mengajukan konsep "language game" (aturan atau tata bahasa). Bahasa deskriptif menurutnya hanyalah salah satu bentuk saja dalam keseluruhan penggunaan bahasa. Arti kata-kata hanya dapat dipahami dalam kerangka acuan aturan bahasa yang digunakan. Satu kata yang sama bila digunakan dalam tata bahasa dengan aturan pakai yang berbeda, akan mendapat arti yang berbeda pula. Arti suatu kata terus-menerus selalu dapat berubah, tergantung penggunaannya. Kata “kiri” dapat merupakan “lawan dari kanan”, atau bisa berarti “paham beraliran progresif”, atau juga bermakna “harap berhenti” alias “stop!” jika bunyinya didengar oleh pengemudi kendaraan. Makna suatu kata bisa sangat meruah.

Pada tahap II ini Wittgenstein sadar bahwa suatu kata tidak harus menunjuk pada suatu obyek dan makna kata

tergantung dalam penggunaannya. Suatu kata tetap memiliki arti walaupun tidak ada obyek yang ditunjuknya, misalnya Tuhan. Arti suatu kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, karena ia tak dapat dilepaskan dari tata aturan bahasa yang digunakan. Wittgenstein menyadari akan kemeruahan bahasa yang terlalu sempit jika hanya untuk menggambarkan fakta-faktanya saja.

3. Menolak teori, menawarkan pemahaman

Sejak semula Wittgenstein sadar bahwa gaya berpikirnya aneh dan berbeda dengan corak dominan pada masanya. Namun tak lama setelah kematiannya keanehan idenya itu diyakini benar. Arus pasang intelektual yang ia terjang dahulu memang semestinya dilawan. Arus itu bernama saintisme (scientism), suatu paham yang menganggap setiap persoalan yang jelas memiliki solusi ilmiah (scientific

solution) ataupun tak memilikmya sama

sekali, dan teori ilmiah merupakan satu-satunya cara untuk memahami segala persoalan.

Salah satu bentuk saintisme dalam persoalan humaniora ialah anggapan bahwa filsafat, sastra, sejarah, musik dan seni hanya dapat dipelajari jika ia merupakan ilmu atau sains (science), di mana para “teoritisi-peneliti” memaksakan “metodologi-metodologi” mereka pada wilayah yang bukan sains ini. Bagi Wittgenstein ini merupakan sebuah

(6)

“ketololan” yang telah mengakibatkan sangat besarnya jumlah tulisan-tulisan akademis yang buruk yang dicirikan dengan penteorian palsu, spesialisasi semu, dan perkembangan kosa-kosa kata yang pseudo-teknis.

Sesungguhnya, kata Wittgenstein, ada beberapa pertanyaan yang tak memiliki jawaban ilmiah (scientific answers), bukan karena ia sangat mendalam dan merupakan misteri yang tak dapat dijangkau, tetapi semata-mata karena ia bukanlah pertanyaan ilmiah (non-scientific questions). Hal itu termasuk pertanyaan-pertanyaan tentang cinta, seni, sejarah, kebudayaan, musik… Semua itu adalah pertanyaan yang berkaitan dengan upaya untuk memahami diri dan kemanusiaan kita secara lebih baik.

Meski pemikiran Wittgenstein mengalami perubahan antara karya awal dan akhirnya (Wittgenstein I dan II), tetapi perlawanannya terhadap saintisme tetaplah konstan. Filsafat baginya bukanlah sebuah teori, melainkan sebuah kegiatan. Filsafat bukan mengusahakan kebenaran ilmiah

(scientific truth), tetapi kejelasan konseptual (conceptual clarity). Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, kejelasan ini dicapai

melalui sebuah pemahaman yang benar tentang bentuk logis bahasa.

Bagi Wittgenstein, perbedaan antara ilmu (science) dan filsafat (philosophy) terletak pada perbedaan keduanya dalam bentuk pemahaman: yang satu teoritis dan

yang lain non-teoritis. Pemahaman ilmiah

(scientific understanding) tampak melalui

konstruksi dan pengujian atas hipotesis-hipotesis dan teori-teori, sedangkan pemahaman filosofis (philosophical understanding) sepenuhnya non-teoritis,

yaitu pemahaman yang saling berkaitan yang melibatkan sikap dan afeksi. Pemahaman non-teoritis adalah bentuk pemahaman yang tampak ketika, misalnya, kita mengatakan bahwa kita memahami suatu puisi, irama musik, suasana hati seseorang, atau bahkan mengerti sebuah kalimat. Memahami sebuah kalimat juga membutuhkan partisipasi dengan bentuk kehidupan, “language game” dan konteks kalimat itu.

Kepada kita Wittgenstein telah mengajarkan tak cuma bagaimana melawan saintisasi pemahaman, tetapi juga bagaimana semestinya memahami seseorang, cinta, sejarah, seni, sastra, filsafat, Tentu agar kemanusiaan kita

menjadi lebih baik.

(http://panimbang.blogspot.com/2006/01/wit tgenstein.html, akses tanggal 30/11/2008). Pada konteks filsafat, fenomena yang paling menjadi sorotan adalah hal satu (the one) dan hal banyak (the Many).

Hal satu (the One) dan hal banyak

(the Many) merupakan problem metafisika

yang menyita perhatian para filsuf sejak zaman Yunani Kuno hingga para filsuf kontemporer dewasa ini. Para filsuf yang

(7)

menekankan kesatuan realitas atau bertitik tolak dari hal satu dalam memahami realitas dinamakan monisme, sedngkan pluralisme adalah pandangan yang menganggap, bahwa ada lebih dari dua prinsip azali sebagai suatu hakikat (Edwards P, 1967: 363-364). Bakker mengibaratkan pandangan monisme dengan istilah “bubur”, sedangkan pluralisme dikiaskan tdengan “pasir”. Menurutnya, baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistic maupun materialisti. Monisme mutlak menyusutkan sedapat mungkin segala kegandaan dan kemacam-ragaman, sehingga hanya tinggal satu realitas tunggal, entah materi atau roh. Sebaliknya pluralisme mutlak menghapus sedapat mungkin segala kesatuan dan keseragaman, sehingga hanya tinggal kejamakan mutlak, yaitu pecahan, entah pecahan materi atau titik-titik rohani.

Setiap pengada berdikari tanpa kesatuan apapun dengan yang lain. Akan tetapi baik monisme mutlak maupun pluralisme mustahil dipertahankan sehingga yang ada hanya monisme lunak dan pluralisme lunak atau tendensi monistik dan pluralistik. Monisme lunak hanya menganggap hanya satu pegada, entah materi atau roh yang meliputi keseluruhan kenyataan. Segala bentuk monisme menekankan kesatuan dalam keanekaan. Senaliknya plurlisme lunak menganggap kenyataan itu jamak dan beraneka ragam

yang terdiri dari unit-unit yang serba otonom dan tanpa hubungan intrinsik. Jika dirunut lebih jauh, maka pandangan masing-masing filsuf mengenai hal satu da hal banyak memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup tegas (Edwards P, 1967: 27 , 30). Pandangan Plato tentang hal satu dan hal banyak bertitik tolak dari upayanya untuk merumuskan kenyataan atau realitas, yakni hal ada (being) dan hal menjadi (becoming). Tujuan utamanya adalah untuk mendukung kebenaran pengtahuan. Kebenaran pengetahuan bagi Plato hanya ditemukan dalam dunia ide, yaitu dunia yang bersifat tetap, satu dan tak terbai. Di sini terlihat adaya keterkaitan yang erat antara metafisika dengan epistemology, atara realitas dengan pengetahuan, antara kenyataan dengan kebenaran. Konsepsi tentang hal satu seperti oleh Plotinus yang mengembangkan ajaran Plato dalam rangka mendukung pandangannya tentang adanya hierarki dalam realitas. Hierarki yang tertinggi, yang menjadi muara dari seluruh kenyataan yang dinamaknnya to

hen, merupakan puncak kesatuan dari

segala yang ada (Sontag, 1970: 32).

To hen atau the one dalam filsafat

Plotinus mengacu pada gagasan mengenai Tuhan. The one adalah kebaikan yang merupakan tujuan hidup manusia. The one adalah Yang Esa, yang segala sesuatu ikut ambil bagian di dalamnya, sepanjang segala sesuatu itu ada (Delfgaauw, 1992:

(8)

46). Problem the one dan the many adalah kategori problem metafisika.

Wittgenstein termasuk salah seorang filsuf analitik yang konsheren dengan persoalan bahasa dalam bidang flsafat. Perkembangan pemikiran Wittgenstein sebagai tokoh filsafat bahasa dapat dibagi ke dalam dua tahapan yang berlainan prinsip satu sama lain. Wittgenstein I, berupaya menentukan suatu bahasa ideal bagi filsafat, yaitu suatu bahasa yang didasarkan pada logika bahasa yang sempurna, bermakna univok, dan terbatas (Wittgenstein, 1969: 7). Wittgenstein dalam periode ini, mendapatkan bahasa yang seragam

(uniformity) dalam bidang filsafat, agar para

filsuf terhindar dari kekacauan bahasa. Wittgenstein I, mencoba menagkap dasar kesatuan melaui bahasa ideal, sehingga dasar pemikiran lebih bersifat konseptual. Dalil bahwa ada paralelitas antara bahasa dengan realitas, artinya bahasa dipandang sebagai gambar atau cermin realitas (Pitcher, 1964: 78).

Perubahan radikal terjadi dalam pemikiran Wittgenstein pada permulaan tahap kedua, ketika Wittgenstein melihat

pluriformitas justeru lebih menonjol dalam

kehidupan konkrit. Usaha univokalitas dalam pemikiran Wittgenstein I kemudian ditinggalkan, sebab Wittgenstein II lebih menekankan pada penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari

mengandung begitu banyak keberagaman yang membentuk permainan bahasa atau

language-games (Lyotard, 1989: 10; Charlesworth, 1959: 104). Pluriformitas merupakan kenyataan konkrit yang tak terbantahkan. Ada begitu banyak permainan bahasa yang berlangsung sesuai dengan aturan mainnya masing-masing. Peranan penting sebuah aturan permainan dicontohkan dalam permainan catur (Wittgenstein, 1983: 12 dan 150). Wittgenstein II mencoba menangkap realitas sebagaimana adanya, sehingga dasar pemkirannya lebih bersifat realistik.

Apabila kedua tahapan pemikiran filsafat Wittgenstein ini dikaitkan dengan problem the One dan the Many, maka terlihat kecenderungan bahwa pandangan Wittgenstein secara keseluruhan memihak pada the Many atau pluralisme lunak, meskipun faktor the One dalam Wittgenstein I cukup mendapat perhatian yang besar dalam konteks bahasa ideal. Wittgenstein II yang mengetenghkan konsep language games cenderung memihak pada pluralisme lunak, skarena keberagamaan dan perbedaan dipandang sebagai esensi. Unsur kesatuan (unity) hanya diberi perhatian kecil dalam konsep

family resemblance, kemiripan keluarga

(Wittgenstein, 1983: 32).

Problem metafisika dalam pemikiran filsuf-filsuf klasik tentang hal satu (the One) dan hal banyak (the Many) yang diarahkan

(9)

pada realitas ini dimodifikasi oleh Wittgenstein untuk diterapkan dalam problem kebahasaan. Realitas dalam pandangan para filsuf analitik identik dengan persoalan bahasa. Bahasa dalam filsafat kontemporer, memaikan peranan yang dapat dibandingkan dengan being dalam filsafat klasik. Bertens, menyatakan bahwa memang terdapat kemiripan tertentu antara bahasa dengan being, yakni sama-sama bersifat universal. Being adalah universal dari sudut objektif, sedangkan bahasa universal dari sudut subjektif, karena bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan atau diungkapkan, makna atau arti hanya bisa timbul dalam hubungan dengn bahasa (Bertens, 1987: 123).

MEMBEDAH PEMIKIRAN WITTGENSTEIN REFLEKSI ATAS KEBHINEKAAN INDONESIA

Persoalan mengenai kesatuan dan kemajemukan, yang terlihat dalam filsafat Barat, terutama gerak perkembangan pemikiran Wittgenstein tentang uniformity dan pluriformity, kiranya termuat pula dalam kebhinekaan Indonesia. Jika kebhinekaan Indonesia dihubungkan dengan pemikirannya Wittgenstein, maka paling tidak ada lima problem yang mengitarinya, diantaranya:

Pertama, problem filosofis mengenai ”hal satu” (thie One) dan “hal banyak” (the Many), kesatuan (unity) dan kemajemukan (plurality), keseragaman

(uniformity) dan keanekaragaman

(pluriformity) terletak dalam ruang lingkup

yang saling berhimpitan atau salig tumpang tindih, namun sesungguhnya dapat dibedakan. Problem “hal satu” dan “hal banyak” merupakan problem ontologik, yang mencoba menentukan asal realitas. Problem kesatuan dan kemajemukan terletak dalam kawasan epistemologik, yang berupaya menentukan sistem berpikir. Problem keseragaman dan keanekaragaman terletak dalam bidang bahasa (kebudayaan), yang mempersoalkan sarana yang lebih memadai bagi manusia dalam memahami dan mengungkapkan kenyataan. Perkembangan pemikiran Wittgenstein, dapat dikatakan mencakup ketiga bidang di atas, namun kecenderungannya lebih dititikberatkan pada butir ketiga, yakni kebahasaan.

Kedua, perkembangan pemikiran Wittgenstein dari periode pertama ke periode kedua menunjukkan adanya diskontinuitas. Diskontinuitas yang menunjukkan perubahan pola pikir, yang semula menekankan pada bidanga yang bersifat logis, didasarkan atas logika bahasa yang sempurna sebagai ciri pemikiran Wittgenstein I, kepada pemikiran yang bersifat empirik karena bertitik tolak dari bahasa sehari-hari yang memperlihatkan keanekaragaman bentuk permainan bahasa (ciri pemikiran

(10)

Wittgenstein II), diskontinuitas yang penulis maksudkan adalah penolakan Wittgenstein II atas pemikirannya terdahulu (Wittgenstein I), hal ini sesungguhnya menunjukkan adanya perkembangan tujuan dan arah pemikiran dari Wittgenstein I ke Wittgenstein II. Tujuan pemikiran Wittgenstein I adalah mengatasi kekacauan penggunaan bahasa dalam bidang filsafat. Arah pemikiran Wittgenstein I yaitu mebentuk bahasa ideal, yakni bahasa yang didasari atas logika. Tujuan pemikiran Wittgenstein II, yaitu menangkap realitas sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, menggambarkan realitas dengan menemukan, menetapkan, dan membedakan aturan permainan dalam berbagai permainan bahasa (language

games). Arah pemikiran Wittgenstein pada

kedua periode ini dapat dipakai sebagai alat analisis bagi kebhinekaan Indonesia, sesuai dengan problem yang dihadapi, yakni kesatuan dan keanekaragaman.

Ketiga, pemikiran Wittgenstein I yang terarah pada upaya mencari kesatuan bahsa ideal bagiu filsafat, namun kesatuan dalam kebhinekaan Indonesia adalah kesatuan tanpa paksaan, kesatuan yang tumbuh dari kesadaran akan makna pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesatuan dalam kebhinekaan Indonesia berarti kesatuan dalam keanekaragaman bangsa Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara

multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha, Konghucu serta barbagai macam aliran kepercayaan (M. Ainul Yaqin, 2005).

Pemikiran Wittgenstein II, menunjukkan perhatian yang besar terhadap realitas sesungguhnya, yakni keanekaragaman. Unsur keanekaragaman

(pluriformity) yang tercermin dalam permainan bahasa merupakan salah satu cara analisis bagi konsep ”berbeda-beda” dalam kebh inekaan Indonesia. Berbeda-beda merupakan ciri pluriformity, sekaligus menunjukkan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Keanekaragaman adalah fakta kehidupan manusia yang merupakan kodrat alami, mustahil untuk diingkari.

Keempat, keharmonisan antara kesatuan dan keanekaragaman dalam Kebhinekan Indonesia bersifat statis sekaligus dinamis. Aspek statis menekankan pada kesatuan atau

(11)

kesamaan kesadaran, cita-cita semangat, dan tujuan. Kesatuan didasarkan pada kesamaan historis, yakni penderitaan yang sama-sama dialami dalam era penjajahan dan diwujudkan dalam keputusan. Aspek dinamis melihat perbedaan yag ada diatara berbagai suku bangsa sebagai kenyataan konkrit yang bersifat alamiah dan merupakan fakta kehidupan yang tak terbantahkan.

Kelima, unsur kasatuan bersifat subjektif, karena merupakan upaya pemikiran manusia untuk menemukan kesamaan dalam perbedaan atau keseragamaan dalam keanekaragaman. Arah pemikiran Wittgenstein I cenderung pada kesatuan atau uniformity, namun dalam perkembangan pemikirannya, Wittgenstein II cenderung berpijak pada kenyataan konkrit dan menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Kebhinekaan Indonesia yang mengandung arti berbeda-beda dalam satu itu mengandung aspek keanekaragaman dan kesatuan sekaligus. Aspek kesatuan bersifat subjektif fungsional, karena atas dasar penunjukkan pada kenyataan berupa: multietnik, multi-budaya, dan multi-agama dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Perkembangan lebih lanjut dalam kehidupan bangsa Indonesia, seharusnya mengarah pada peningkatan penyadaran ddan penghayatan kesa tuan dalam kekayaan keanekaragaman, sebab

pilar-pilar kehidupan berbanagsa dan bernegara yang ditegakkan atas dasar Pancasila yang mampu merangkul keanekaragaman atau perbedaan itu sebagai suatu kekayaan bangsa. Hal ini perlu dipertegas agar dapat menjadi bahan renungan bagikehidupan berbangsa dan bernegara. Kebhinekaan Indonesia yang mengandung reason d’etre (alasan keberadaannya) harus dapat dipahami dalam pengalaman historis bangsa Indonesia. Pancasila dan Kebhinekaan Indonesia dalam dimensi kefilsafatan tidak dapat dipisahkan, namun secara kategoris dapat dibedakan. Pancasila dapat dipandang sebagai prinsip pertama (first principle) bagi keberadaan bangsa Indonesia, sedangkan Kebhinekaan Indonesia merupakan suatu keharusan (das

sollen) bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Keenam, Kebhinekaan Indonesia sebagai cermin budaya bangsa Indonesia itu bersifat dinamik karena kesatuan sebagai titik ideal terus menerus diperjuangkan. Manusia Indonesia yang

monopluralis dalam istilah Notonegoro,

sebagai pendukung Kebhinekaan Indonesia dalam rangka mencapai harmoni yang bertujuan menggalang semangat persatuan dan kesatuan.

DAFTAR PUSTAKA

Charleswort M. J. (1959). Philosophy and

Linguistic Analysis. Pittsburgh: Duquesne University.

Chauchard, P. (1983). Le Langage et la

(12)

Widyamartaya : Bahasa dan

Pikiran. Yogyakarta: Kanisius.

Edwars P. (1967). Encyclopedia of Philosophy. New York: The Macmillan Company & The Free Press.

Handono-Hadi. (1994). Hakikat dan Muatan

Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius

http://id.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Wittgenst ein, akses tanggal 30/11/2008s (http://panimbang.blogspot.com/2006/01/wit

tgenstein.html, akses tanggal 30/11/2008)

Lyotard J. F. (1989). The post Modern

Condition: A Report on Knowledge.

Manchester: Manchester University Press.

Pitcher G. (1964). The Pholosophy of

Wittgenstein. New Jersey: Englewood Cliffs.

Sontag F. (1970). Problems of Metaphysics, Pennsylvania: Chandler

Publishing Company.

Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat.

Yogyakarta: Kanisius.

Wittgenstein L. (1969). Tractatus

Logoco-Philosophicus, Fourth Impression,

with a new Translation by D. F. Pears & B. F. Mc Guinnes, London : Routledge & Kegan Paul Ltd.

____________ (1983). Pholosophical Infestigation, Translated by: G. E. M.

Anscombe, Tenth Edition, Oxford: Basi Blackwell.

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisis data juga dapat diketahui bahwa hasil belajar siswa dari tes awal yang dilakukan masih rendah, maka dilakukan pembelajaran melalui variasi pembelajaran pada

Perusahaan dapat memanfaatkan perkembangan teknologi tersebut untuk menyelesaikan permasalahan perhitungan besaran bonus tahunan karyawan dengan mengembangkan sistem penunjang

membeli banyak batu hingga mencapai puluhan kilo gram dengan harga sampai beribu-ribu (seribu merupakan sejuta dalam bahasa jual beli batu akik), biasanya dibayar dengan

Selain itu siswa juga antusias mengikuti permainan dalam proses pembelajaran serta mau mengerjakan tugas yang diberikan (walaupun masih terdapat sedikit siswa

Maka untuk memenuhi persyaratan analisis yang akan digunakan perlu dilakukan transformasi data dari skala ordinal menjadi skala interval.” Metode yang digunakan

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara

Pengujian kekerasan dilakukan dengan metode Vickers skala mikro untuk sampel hasil sintesis, hasil penempaan dan pengerolan paduan ZrNbMoGe pada posisi di dalam

Kemampuan pakan ternak dalam hat ini jerami padi dapat menampung minimal 1,4 ekor sapi per hektar sawah per panen, sehingga potensi pengembangan Lahan sawah irigasi, satu kali