• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hadits Ahad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Hadits Ahad"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HADITS AHAD

HADITS AHAD

Makalah Ini Disusun Guna

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas AkademikMemenuhi Tugas Akademik

Mata

Mata kuliah kuliah : : Studi Studi Hadits Hadits (Teori (Teori dan dan Metodologi)Metodologi)

Dosen

Dosen pengampu pengampu : : Dr. Dr. Hj. Hj. Marhumah, Marhumah, M.PdM.Pd

Disusun Oleh: Disusun Oleh:

FARIDA RIFQI AMALIA FARIDA RIFQI AMALIA

NIM. 1320411085 NIM. 1320411085 1 PAI A MANDIRI 1 PAI A MANDIRI

KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCA SARJANA PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM PASCA SARJANA PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA YOGYAKARTA

2013 2013

(2)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN A.

A. Latar BelakangLatar Belakang

Seluruh umat Islam telah menyepakati bahwa hadits Nabi Muhammad Seluruh umat Islam telah menyepakati bahwa hadits Nabi Muhammad SAW adalah sumber dasar hukum Islam setelah

Al-SAW adalah sumber dasar hukum Islam setelah Al-Qur‟an, dan umat IslamQur‟an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti serta mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan diwajibkan mengikuti serta mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan

Al-mengikuti dan mengamalkan Al-Qur‟an.Qur‟an.

Al-Al-Qur‟an dan hadits merupakan sumber hukum pokok syariat IslamQur‟an dan hadits merupakan sumber hukum pokok syariat Islam yang senantiasa harus dipedomani, dan diamalkan

yang senantiasa harus dipedomani, dan diamalkan baik dalam bentuk perintahbaik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Para pendahulum umat Islam telah sepakat untuk maupun larangannya. Para pendahulum umat Islam telah sepakat untuk  berpegang

 berpegang pada pada hadis hadis dan dan menghormatinya. menghormatinya. Berpijak Berpijak pada pada prinsip prinsip inilahinilah maka dalam berbagai persoalan, baik persoalan kecil maupun yang besar maka dalam berbagai persoalan, baik persoalan kecil maupun yang besar selalu dikembalikan kepada hadits, jika tidak ditemui penjelasan yang jelas selalu dikembalikan kepada hadits, jika tidak ditemui penjelasan yang jelas dalam

Al-dalam Al-Qur‟an.Qur‟an. Karena di antara fungsi dari hadits adalah menetapkanKarena di antara fungsi dari hadits adalah menetapkan hukum-hukum yang belum ada, mengukuhkan hukum-hukum yang ada di hukum-hukum yang belum ada, mengukuhkan hukum-hukum yang ada di Al- Al-Qur‟an, serta menafsirkan ayat

Qur‟an, serta menafsirkan ayat-ayat Al--ayat Al-Qur‟an yang bersifatQur‟an yang bersifat mujmal mujmal ..

Hadits memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki Hadits memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki  pembahasan

 pembahasan yang yang unik. unik. Di Di antaranya antaranya pembagian pembagian hadits hadits ditinjau ditinjau daridari kuantitasnya. Makna tinjauan dari segi kuantitas di sini adalah dengan kuantitasnya. Makna tinjauan dari segi kuantitas di sini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits. menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur,

mutawatir, masyhur, dandan ahad,ahad, namun ada juga yang membaginya hanyanamun ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadits

menjadi dua, yakni hadits mutawatirmutawatir dandan ahad.ahad. Hadits ahad merupakan salahHadits ahad merupakan salah satu hadits yang ditinjau dari segi kuantitasnya. Dalam makalah ini satu hadits yang ditinjau dari segi kuantitasnya. Dalam makalah ini selanjutnya

selanjutnya akan akan memaparkan memaparkan secara khusecara khusus psus posisi hadis osisi hadis ahad ahad dalamdalam kaitannya tentang konsep hadits ahad, urgensi, kehujjahan, serta kaitannya tentang konsep hadits ahad, urgensi, kehujjahan, serta contoh-contoh dari hadits ahad tersebut.

contoh dari hadits ahad tersebut.

B.

B. Rumusan MasalahRumusan Masalah 1.

1. Bagaimana konsep hadits ahad?Bagaimana konsep hadits ahad? 2.

(3)

3. Bagaimana kehujjahan dari hadits ahad? 4. Apa contoh-contoh dari hadits ahad tersebut?

(4)

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Hadits Ahad

 Al-ahad merupakan bentuk jama‟ dari kata ahad , yang menurut  bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah suatu hadits yang tidak terkumpul syarat-syarat hadits mutawatir padanya, atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian  zanni dan tidak sampai kepada qath‟i dan  yaqin.1  Adapun menurut para ulama didefiniskan sebagai berikut:

ä) w)pü Gn)ãpãã91ãp P6Uã läa

xãqA=%ãq&Uã P5ã Wfçi Õ=*beã ò u&f^m

Wfç% T äi

ò ätæ g58 P>ã l äæ =RF%v 0eã 8 ã9Qvã oi ce:

RU éîîeü pã ÖBMpãÖRæ<üpã

=% ãq&Uã =ç5

 Artinya: khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan  jumlah perawu hadits mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima,

dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.

Definisi tentang hadits di atas merupakan kecenderungan para ulama yang melihat pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadis ahad. Definisi tersebut berbeda dengan definisi hadis ahad menurut ulama yang membedakan hadits berdasarkan  jumlah rawinya menjadi tiga, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.

Para ulama ini mendefiniskan hadits ahad sebagai berikut:

1

 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Rajawali Grafindo, 2010), hal. 107

(5)

Artinya: “hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur, atau hadis mutawatir.2

Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap (tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist mutawatir . Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist ahad tidak setinggi hadist mutawatir . Untuk hadist mutawatir  tingkat keakuratan riwayatnya mencapai qath‟i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedangkan untuk hadist ahad, tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai  zhanni (dugaan keras). Karenanya, untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk hadist mutawatir , penelitian yang demikian itu tidak diperlukan karena sudah pasti kebenaran wurud-nya.

Adapun dalam pembagian hadits ahad para ulama ahli hadits secara garis besar membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan  ghairu masyhur . Ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yakni „aziz dan gharib.

1. Hadits Masyhur 

 Masyhur menurut bahasa berarti nampak. Sedangkan menurut istilah adalah yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.3  Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:4

Menurut Ibnu Hajar, hadits masyhur adalah:

Artinya: “masyhur adalah hadits yang mempunyai jalan yang tak terhingga, tetapi lebih dua  jalan dan tidak sampai kepada batas hadits  yang mutawatir.

2

 Ibid., hal. 108

3

Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal. 113

4

 Munzier Suprapta, Ilmu Hadis,… Ibid., hal. 110

(6)

Menurut ulama ushul, hadits masyhur  adalah sebagai berikut:

Artinya: “hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak  sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah  sahabat dan demikian pula setelah mereka.”

Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat. Beberapa ulama mendefinisikan hadits masyhur adalah segala hadits yang populer dalam masyarakat, meskipun tidak memiliki sanad, baik berstatus  shahih  atau dha‟if . Para ulama hanafiyah memberikan pendapat bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib untuk diamalkan, namum bagi yang menolaknya tidak dikatakan sebagai kafir.5

Hadits masyhur ini ada yang berstatus  shahih, hasan  dan dha‟if . Yang dimaksud dengan sahih apabila telah memenuhi ketentuan hadis  shahih  baik pada sanad dan matannya. Begitu pula yang berstatus hasan dan dha‟if   juga bergantung pada ketentuannya baik pada sanad maupun matannya.

Ditinjau dari segi lingkungan tersiar dan tersebarnya hadits masyhur dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Hal ini dikarenakan terkadang suatu hadits dikatakan masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama lain serta masyarakat umum, dan terkadang suatu hadits juga dikatakan masyhur  pada pembicaraan banyak orang, meskipun hadits tersebut hanya diriwayatkan melalui sanad, bahkan terkadang tidak memiliki sanad sama sekali.6

Berikut ini adalah beberapa contoh hadits masyhur menurut  pembagian di atas:

5

 Ibid., hal. 111

6

 Nuruddin „Itr, Ulum Al-Hadits 2 dengan judul asli Manhaj An- Naqd Fii „Uluum Al -Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 203-204







   

(7)

a. Hadits masyhur di kalangan ahli hadits saja

.

)

“Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan qunut setelah ruku‟ selama satu bulan untuk mendo‟akan hukuman atas (tindakan kejahatan)  suku Ri‟l dan  suku dzakwan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 b. Hadits masyhur di kalangan ahli muhadditsin dan ulama lain, serta masyarakat umum

“Seorang muslim (yang sempurna keislaman-nya) adalah orang yang umat Islam selamat dari kejahatan lidah dan tangannya”.

c. Hadits masyhur di kalangan fuqaha

“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majjah)

d. Hadits masyhur di kalangan ahli ulama fiqh

“Diangkatkan (dosa/hukuman)dari umatku karena tersalah (tidak  senagja, lupa, dan perbuatan yang dilakukan karena terpaksa) (HR

Ibnu Majjah)

e. Hadits masyhur di kalangan ulama ahli bahasa Arab

“Sebaik -baiknya hamba Allah adalah suhaib, kalaupun ia tidak punya rasa takut kepada Allah maka ia tetap tidak akan mendurhakainya” f. Hadits masyhur di kalangan ahli pendidikan

“Tuhankulah yang mendidikku, maka Ia mendidikku dengan baik”. g. Hadits masyhur di kalangan umum

“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan setan) (HR. Tirmidzi)





 

ٔ 

 



 

(









ً    



 .



ً 



 .

ٌ    ٕ   

 



 





 .

ٕ  

(8)

h. Serta masih banyak lagi hadits-hadits yang kemasyhurannya hanya di kalanagan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.

Adapun kitab-kitab hadits masyhur yang populer di kalangan masyarakat umum adalah sebagai berikut:

a.  Al-Maqasid Al-Hasanan Fima Istahara Ala Alsinati, karya As-Sazhawy  b.  Kasyful Chafa‟ Wa Muzail Ilyas Fima Istahara Min Al -Hadits Ala

 Alsinatan, karya Al-Ajluny

c. Tamyizut Tayyib Min Al-Chabits Fima yaduru Ala Alsinatin Nas Min  Al-Hadits, karya Ibnu Al-Daiba‟ As-Syaibany7

2. Hadits Ghairu Masyhur  a. Hadits „aziz 

„ Aziz bisa berasal dari „ Azza- ya‟izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya‟azzu  berarti qawiya (kuat). Sedangkan „aziz menurut istilah, didefiniskan sebagai berikut:8

Artinya: “hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam  semua tabaqhat sanad.

Ibnu Hajar dan lainnya berpendapat bahwa hadits „ aziz itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Mereka membedakan hadits „aziz dan hadits masyhur dengan perbedaan yang sempurna. Mereka menggunakan istilah masyhur khusus untuk hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih.

Definisi lain menurut istilah ilmu hadits, „aziz berarti:

Artinya: “bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad.”

7

 Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Titial Illahi Press, 1997), hal. 35

8

 Munzier Suprapta, Ilmu Hadis… Ibid., hal. 116

    

   





(9)

Definisi di atas menjelaskan bahwa hadits „aziz adalah hadits yang  perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanadnya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat, atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang  perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari

hadits masyhur.9

Hukum hadits „aziz  ini sama dengan hukum hadits masyhur, yakni  bergantung kepada keadaan sanad dan matannya. Oleh karena itu, apabila pada kedua unsur tersebut telah terpenuhi kriteria hadits  shahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang bersangkutan adalah  sahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan dan ada pula yang dha‟if . hadits  sahih tidak disyaratkan harus berupa hadits „aziz,  bahkan terkadang merupakan hadits gharib.10

 b. Hadits gharib

Gharib menurut bahasa berarti munfarid   (menyendiri) atau al-ba‟id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya). Dapat juga diartikan sebagai asing, atau pelik.

Menurut istilah, ulama ahli hadits seperti Ibnu Hajar Al-Asqali mendefinisikan hadits gharib sebagai berikut:

  Artinya: “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian itu terjadi.”

Dalam pengertian lain disebutkan sebagai berikut:

9

 Nuruddin „ltr, Ulum Hadis 2…. Ibid., hal. 212

10

 Ibid., hal. 213



(10)

Artinya: “hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri perawi, karena tidak ada orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap matan atau sanadnya.”

Berdasarkan definisi pertama menunjukkan, bahwa penyendirian yang dimaksud dalam hadits gharib, adalah penyendirian dalam perawi atau  sanad nya. Sedangkan berdasarkan definisi kedua, bahwa  penyendirian dalam hadits gharib bukan hanya terjadi pada sanad atau  perawi, akan tetapi bisa juga terjadi pada matannya. Pada sisi lainnya, sebagaimana disebutkan pada definisi pertama, bahwa penyendirian itu  bisa terjadi pada thabaqah mana saja. Suatu hadits jika diriwayatkan oleh banyak orang pada beberapa thabaqahnya, akan tetapi pada salah satu thabaqahnya hanya diriwayatkan oleh satu orang, maka hadits itu  pun disebutkan dengan hadits gharib.

Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits ini bisa berkaitan dengan personalianya, dan tidak ada orang yang meriwayatkannya selain perawi itu sendiri, yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi  berbeda dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadits itu. Di samping itu, penyendirian seorang perawi  bisa terjadi pada awal, tengah, atau akhir sanad.

Ada dua macam pembagian hadits  gharib, yaitu:  pertama, dilihat dari sudut bentuk penyendirian perawinya, dan kedua, dilihat dari sudut kaitannya antara penyendirian pada sanad dan pada matan. Dilihat dari  bentuk penyendirian perawinya, hadits  gharib terbagi kepada dua  bagian, yaitu  gharib muthlaq dan  gharib nisbi. Kemudian, dilihat dari sudut kaitannya antara penyendirian pada  sanad dan matan terbagi kepada dua bagian pula, yaitu  gharib  pada  sanad dan matan secara  bersama dan gharib pada sanad saja.

1) Hadits gharib dilihat dari sudut penyendirian perawi a) Gharib Muthlaq

Dikategorikan sebagai gharib muthlaq apabila penyendirian itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut

(11)

hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadits  gharib muthlaq ini harus berpangkal di tempat ashlu sanad, yakni thabi‟i,  bukan sahabat. Hal ini dikarenakan tujuan perbincangan  penyendirian perawi dalam hadits  gharib di sini adalah untuk menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab secara umum dan diakui oleh jumhur ulama ahli hadits, bahwa sahabat-sahabat dianggap adil semuanya.11

 b) Gharib Nisbi

Dikategorikan hadits nisbi yang tergolong pada gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi. Penyendiriannya seorang rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabit an (ketsiqqahan) perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.12

2) Hadits  gharib dilihat dari sudut kaitanya antara penyendirian pada  sanad dan matan

a) Gharib pada sanad dan matan

Yang dimaksud adalah hadits yang matannya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja.13

 b) Gharib pada sanad saja

Yang dimaksud dengan  gharib  pada  sanad saja adalah hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada sorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan hadits melalui sumber sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai gharib pada sanad.

Apabila suatu hadits telah diketahui sanadnya gharib, maka matannya tidak perlu diteliti lagi, sebab ke ghariban pada sanad

11

Munzier Suparta, Ilmu Hadis… Ibid., hal. 119

12

 Ibid., hal., 120

13

(12)

menjadikan hadits tersebut berstatus  gharib.  Namun, bila sanadnya tidak  gharib, mungkin matannya yang  gharib. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya ditujukan pada matannya. Apabila matannya diketahui gharib, maka haditsnya pun menjadi  gharib pula.14

B. Urgensi Hadits Ahad

Hadits ahad menempati kedudukan yang sangat penting dan srategis dalam menjelaskan dan mengimplementasikan apa yang digariskan dalam Al-Qur‟an. ia berfungsi sebagai penjelas, penguat dari Al-Al-Qur‟an. Hadits ahad  juga menjelaskan mengenai  syariat yang secara khusus terdapat dalam Al-Qur‟an. Namun demikian, hadits ahad memiliki nilai nadhariy, yakni hadits yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut, apakah  jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat kredibilitas yang dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadis ahad inilah yang memerlukan  penelitian secara cermat apakah para perawinya adil atau tidak, dhabith atau tidak, sanadnya muttashil  (bersambung) atau tidak, dan seterusnya yang nanti dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadis apakah hadits tersebut  shahih, hasan, maupun dha‟if.

C. Kehujjahan Hadits Ahad

Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul (berkualitas shahih) hukumnya wajib untuk diamalkan. Namun, permasalahan yang berkaitan dengan soal aqidah, para ulama berselisih pendapat. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi‟i, dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila persyaratan riwayatnya yang shahih terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.15

Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah, baik dari Al-Qur‟an maupun As Sunah. Dalil -dalil tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

14

 Ibid ., hal. 122

15

(13)















































Artinya:

“T idak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Kata thoifah dalam ayat di atas telah terjadi kesepakatan di kalangan para ahli bahasa bahwa kalimat tersebut dapat digunakan untuk satu orang atau lebih. Oleh karena itu ayat di atas tersebut merupakan dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad bisa diterima dan diamalkan, ayat di atas memberikan perintah kepada kaum muslimin untuk mengutus seseorang ataupun lebih dalam rangka untuk menuntut ilmu agama, agar kemudian orang yang diutus tersebut bisa mengajarkan dan menyampikan ilmunya jika telah kembali dari tempat menuntut ilmu.16

Golongan lain berpendapat bahwa hadits ahad dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah aqidah, karena hadits yang shahih memberikan faidah ilmu dan yang memfaedahkan ilmu wajib untuk diamalkan. Pendapat lain, hadits ahad meskipun memenuhi syarat tetap tidak dapat dijadikan dalil terhadap penetapan aqidah. Karena hadits ahad berstatus  zhanni. Permasalahan aqidah adalah mengenai keyakinan yang tidak dapat didasarkan dengan petunjuk yang masih  zhanni, melainkan harus didasarkan  pada petunjuk yang qath‟i.

16

(14)

Golongan Qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir  menetapkan  bahwa beramal dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Al-Juba‟i dari golongan Mu‟tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali  berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara yang lain mengatakan bahwa beramal menggunakan hadits ahad tidaklah wajib, kecuali hadits ahad yang diriwayatkan oleh empat orang. Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadits ahad sebagai dasar untuk beramal, Ibnu Al-Qayim mengatakan bahwa “ada tiga segi keterkaitan  sunnah dengan Al-Qur‟an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Qur‟an.  Kedua, menjelaskan maksud Qur‟an, dan ketiga adalah menetapkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an.17

Pandangan-pandangan para ahli hadits, menganggap bahwa hadits ahad dianggap sebagai zhanni al-wurud yang bermakna bahwa secara umum hadits yang berasa dari Rasulullah SAW masih diragukan. Pandangan ini  berbeda hal nya dengan hadits mutawatir yang dianggap qath‟i al -wurud  atau

keabsahan hadits Rasulullah SAW tidak diragukan lagi kebenarannya.

Permasalahan  zhanni al-wurud memang telah menjadi pandangan yang umum di kalangan muhadditsin. Atas dasar pandangan tersebut maka  para pakar hadits mengadakan penyelidikan terhadap hadits ahad. Berbagai

kriteria dibuat oleh para ulama untuk menyaring sekian banyak hadits, sehingga mereka bisa menentukan dari sekian hadits yang diragukan tersbeut manakah yang mendekati kebenaran. Hasil dari penyelidikan panjang ini para  pakar hadits membagi hadits ahad menjadi 3 tingkat, yaitu shahih, hasan, dan

dhai‟if.18

Hadits ahad dikatakan shahih jika setiap rawi dinilai adil dan dzabith, sanadnya pun bersambung, tidak ada keganjilan dan tidak ada cacat. Jika kualitas rawi sedikit lebih rendah dari kualitas hadits  shahih, namun kriteria yang lain sama, maka hadits tersebut berkualitas hasan. Akan tetapi jika tidak

17

 Ibid., hal. 110

18

(15)

memenuhi kriteria hadits  shahih  maupun hasan makan hadits tersebut dinamakan dha‟if .

Setelah hadits ditentukan kesahihannya, dan bila hadits tersebut memnuhi kriteria  shahih atau hasan maka ia bisa menjadi hujjah dalam  permasalahan agama, baik dalam ushul maupun furu‟. Jadi, meskipun secara imum hadits ahad dipandang  zhanni dari aspek wurudnya, namun apabila secara ilmiah telah terbukti kesahihannya maka ia harus diamalkan.

D. Contoh-contoh Hadits Ahad 1. Hadits Masyhur 

a) Hadits masyhur sahih, yakni hadits yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya.

gB&UéfY ÖRj:ã ka91ã x ä-ã:ã

“ Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum‟at, hendaknya ia mandi” (HR. Bukhari)

 b) Hadits masyhur hasan, yakni hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya.

<ã=Mvp<=Mv 

“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang lain.)

c) Hadits masyhur dhaif, yakni hadits masyhur yang tidak mempunyai syrat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya.

“ Menuntut ilmu wajib bagi kaum muslim laki-laki dan perempuan.” 2. Hadits „aziz 

 



ٔ

(16)

"Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia". (HR. Al-Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama)

Hadits tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah SAW, kemudian ia diriwayatkan kepada Qatad ah dan „Abd Al-„Aziz bin Suhaib. Selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pulan, yaitu Syu‟bah dan Husain Al-Mu‟allim. Sedangkan dari Abd Al-„Aziz diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Abd Al-Waris dan Ismail  bin‟Ulaiyyah. Seterusnya dari Husain diriwayatkan oleh Yahya bin Sa‟id dari Syu‟bah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Ja‟far, dan juga oleh Yahya bin Sa‟id, sedang yang dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair  bin Harb dan dari „Abd Al-Waris diriwayatkan oleh Musdad dari Ja‟far diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mutsana dan Ibn Basyar, sampai kepada Bukhari dan Muslim.

3. Hadits Gharib

a. Bentuk penyendiriannya 1) Gharib mutlak

)

“Segala amal itu tergantung pada niat, dan bagi seseorang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi, antara lain Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, An- Nasa‟I dan Ibn Majah. Pada tiap-tiap thabaqahnya, hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi. Akan tetapi pada thabaqah sahabat hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi, yaitu Umar  bin Khatab. Namun perlu diketahui, bahwa meskipun hadits ini dikategorikan ke dalam kelompok gharib, akan tetapi sanad yang dilaluinya tergolong sanad yang shahih.

2) Gharib nisbi

(17)

Contoh  gharib nisbi  berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu

“Kami diperintahkan (oleh Rasulullah SAW) agar membaca Al - Fatihah dan surat yang mudah (dari Al-Qur‟an.”) (HR. Abu

Daud)

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, dan Sa‟id. Semua rawi ini berasal dai Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.

 b. Letak ke gharibannya

1) Gharib pada sanad dan matan

“ Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan, dan memperberat timbangan, yaitu kalimat subhana allah wa bihamdih  subhana allah il‟adzim”

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dengan sanad Muhammad bin Fudhail, Abu Zur‟ah „Umarah, Abu Zur‟ah, dan Abu Hurairah. Imam Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini adalah gharib, karena hanya rawi-rawi tersebutlah yang meriwayatkannya, tidak ada rawi lainnya.

2) Gharib pada sanad saja

“Orang mukmin makan dalam satu usus, sedang orang kafir makan dalam tujuh usus.”

Menurut Al-Hafidz Ibn Rajab, bahwa matan hadits ini melalui bebeapa jalur diketahui berasal dari Nabi. Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah dan dari Ibn Umar, dari Nabi. Adapun hadits Abu Musa Al- Asy‟ari yang diriwayatkan

ٔ     





 

ٕ

ٕ 

 ٕ





   ٕ

 

(18)

oleh muslim melalui Kuraib menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini.

BAB III PENUTUP

Analisis Pembahasan

Wacana penggunaan hadits ahad dapat dijadikan sebuah hujjah dalam masalah aqidah atau tidak, merupakan bagian dari kekayaan khazanah Islam. Para ulama telah mendiskusikan topik permasalahan ini sejak lama. Sebagian ulama  berpendapat bahwa hadits ahad hanya akan menghasilkan suatu hal yang dzanni. Adapun ulama lain berpendapat bahwa hadits ahad bermanfaat pada ilmu dan keyakinan. Meskipun mereka tidak sampai bertemu dalam satu titik kesepakatan, namun kita bisa menarik kesimpulan yang sama bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah perbedaan pendapat dalam permasalahan yang masih diperbolehkan oleh syara‟. Meskipun begitu, kaum muslim tetap harus menentukan sikap terhadap pendapat tersebut, dimana diantara dua pendapat tersebut yang harus ia ikuti dan dianggap sesuai.

Atas dasar tersebut, seorang muslim harus memahami koridor dalam memahami koridor dalam memilih pendapat. Koridor itu adalah yang pertama:  bahwa ia harus memilih pendapat yang sejalan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah.

Kedua, ia harus memilih pendapat yang paling rajah dan kuat dalilnya. Dengan kata lain, ia harus memilih pendapat yang kebenarannya mendekati kebenaran Al-Qur‟an dan sunnah. Ketiga, ia harus memilih sebuah pendapat yang dianggapnya  benar berdasarkan niat yang tulus dan ikhlas. Seorang muslim harus selalu

menghormati pendapat dan pendirian saudaranya muslim selama pendapat tersebut tetap sejalan dengan Al-Qur‟an dan sunnah. Perbedaan pendapat dalam

(19)

masalah-masalah ijtihadiyyah tidak boleh menyibukkan kaum muslim dari tugas-tugas yang lebih penting. Masih banyak kaum muslim yang belum memahami dan menyakini „aqidah dan syariat Islam. Tugas untuk mendidik umat dengan „aqidah dan syariat Islam merupakan tugas ter  penting yang harus dijadikan fokus  perhatian oleh setiap kaum muslim.

Kesimpulan

Hadits ahad adalah hadits yang terbatas jalan-jalan riwayatnya dan tidak sampai kepada peringkat hadith mutawatir atau bilangan perawi hadith ahad tidak sampai kepada bilangan perawi hadith mutawatir. Dalam klasifikai hadits ahad, ia terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah perawi pada setiap hadits yang diriwayatkan yaitu hadits masyhur, hadits „aziz, dan hadits gharib. Sebagian ulama membagi hadits ahad kepada dua yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Dalam hadits masyhur terdapat hadits-hadits tertentu yang terkenal di kalangan ahli hadits saja, fuqaha, ahli bahasa, ahli pendidikan, masyarakat pada umumnya dan lain-lain. Sedangkan hadits ghairu masyur terbagi menjadi hadits „aziz dan hadits gharib. Dalam hadits gharib terbagi menjadi dua, yakni menurut bentuk  penyendiriannya dan menurut letak kegharibannya. Menurut bentuk  penyendiriannya hadits gharib terbagi lagi menjadi dua yakni gharib mutlaq dan gharib nisbi, sedangkan menurut ketak kegharibannya terbagi menjadi gharib pada sanad dan matan, serta gharib pada sanad nya saja. Hadits ahad juga dilihat dari sudut kesempurnaan syarat-syarat sanad dan matannya terbagi kepada tiga yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Hadits ahad dapat dijadikan hujjah dan beramal dengannya jika memenuhi syarat-syarat sah periwayatannya (hadits sahih) dan begitu juga sebaliknya.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

„ltr, Nurudin, Ulum Al-Hadits 2 dengan judul asli Manhaj An- Naqd Fii „Uluum  Al-Hadits, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994

Al-Qaththan,  Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta Timur: Pustaka AL-Kautsar, 2005

http://rud1.cybermq.com/post/detail/2237/klasifikasi-hadits

Munzier, Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Rajawali Grafindo, 2010 Thahhan, Mahmud, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997

Referensi

Dokumen terkait

Ilmu gharib hadits adalah Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakaioleh umum.. Adapun Cara-Cara

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa sanad hadits tersebut adalah bermasalah karena tidak memenuhi syarat dari keshahihan hadits shahih yakni belum

Sedangkan dari pertalian sanad, hadits terbagi menjadi empat tingkat, yaitu; hadits yang mutawatir, hadits yang masyhur (hadits yang mustafidl), hadits ahad (hadits

hadits munqathi’ ialah hadits yang sanad-nya terputus di bagian sebelum sahabat, jadi periwayat sesudah sahabat, terputus seorang atau lebih tidak secara berurut dan

Ada tujuh pertanyaan untuk menentukan status suatu hadits berdasarkan kredibilitas perawinya, diantaranya adalah apakah perawi tersebut bertaqwa, apakah perawi tersebut jauh

Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadits-hadits oleh setiap perawi pertama (shahabat atau tabi’i). Sebagai langkah pertama ialah mengenal terlebih

Hadis ini sanad-nya bersambung dan memungkinkan adanya pertemuan (liqa&gt;’), mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, diriwayatkan oleh perawi yang thiqah,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kitab Ta‟lim al-Muta‟allim karya syeikh Az-Zarnuji yang memuat 21 hadits Nabi Muhammad SAW, sanad hadits yang terdapat dalam kitab