• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengertian hadits sunnah khabar dan atsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "pengertian hadits sunnah khabar dan atsa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Bagi umat Islam khususnya, kehadiran Nabi Muhammad saw,tidak sekedar sebagai ‘penyampai’ ajaran Allah, yang nasihat dan saran-sarannya dibiarkan begitu saja tanpa ketaatan yang total dari mereka, sebagaimana yang telah ditegaskan Allah swt. bahwa beliau adalah panutan yang baik [uswah hasanah].Bahkan seseorang tidak akan disebut beriman secara sempurna ketika dia tidak mengaplikasikan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya yang terangkum dalam al-Qur’an dan hadis dalam kehidupan keseharian.

Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin dapat memisahkan apa yang berasal dari Rasulullah saw. [yang disebut hadis] dengan apa yang datang dari Allah swt. [yang disebut al-Qur’an]. Meminjam istilah Mustafa Yaqub, memisahkan hadis dari al-Qur’an, sama artinya dengan memisahkan al-Qur’an dari kehidupan manusia. Keteladanan Nabi Muhammad saw, ini tercermin tidak hanya dalam sabda dan perbuatan, tetapi juga sifat dan karakternya yang diilustrasikan ‘A’isyah ra. sebagai ‘al-Qur’an berjalan’.Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dilihat dari sisi ini, ulama hadis menjadikan sifat [fisik dan psikis] Nabi saw. (selain sabda, perbuatan dan persetujuannya), sebagai bagian yang integral dalam terma hadis.Dalam hal ini, istilah hadis tersebut biasanya mengacu kepada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya [fisik maupun psikis], baik yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya. Dalam khazanah ilmu hadis, terdapat sejumlah istilah yang dari sisi terminologis memiliki pengertian serupa, yakni: hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Menurut mayoritas ulama hadis, keempat terma itu dianggap sinonim (mutaradif), sehingga dalam pemakaiannya dapat dipertukarkan satu sama lain.

(2)

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS,SUNNAH,KHABAR DAN ATSAR a. Hadits

Istilah Hadis1 atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan hal-hal yang

terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW, baik yang berbentuk perbuatan, sabda (perkataan), persetujuan maupun hal-hal lain yang lebih luas. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyebut hal itu dengan istilah sunnah. Inilah yang selalu menjadi perbincangan “wajib” dalam setiap literatur-literatur studi hadits.

Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai mengartikan istilah

Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang kali ini menjadi sangat urgen mengingat bahwa setiap kata yang menjadi istilah pasti memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata tersebut berkembang dan menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan tertentu.

Kata Hadits (dalam teks arab: ثيدححح) dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki kemiripan arti dengan kata: ةثادحو – اثودح – ثدحي – ثدح yang dalam penjelasan Abdul Majid memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah lembut (ath-thariy), dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).2 Oleh karenanya

dari makna khabr (berita) inilah Hasbi Al-Shiddiqiy berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita.3 Betapapun konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap

terdapat unsur ikhbar (mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam rangka memberitahukan). Penggunaan kata Hadits dalam berbagai konteks kalimat dan berbagai arti ini juga dapat dilacak dalam beberapa ayat Al-Qur-an seperti pada surat Adl-Dhuha ayat 11.











11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.

Penggunaan kata Hadits tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW seperti misalnya pada sabda Nabi Muhammad SAW:

1 Kata Hadis ini,_dengan menggunakan ejaan berakhiran huruf “s”, bukan “ts”, telah terserap ke dalam

lingkup Bahasa Indonesia dengan pengertian sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam; atau bisa diartikan sumber ajaran Islam yg kedua setelah Alquran. Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online 1.1

2 Lihat dalam: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hal: 1-2

3 TM. Hasbi Al-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal:

(3)

- ّىِبّنلا ِنَع ِهححيِب

َأ ْنَع ٍدوُع ْححسَم ِنْب ِهّللا ِدححْبَع ِنْب ِنَمْحّرححلا ِدححْبَع ْنَع

َلوُسَر ُتْعِمَس ِقاّزّرلا ُدْبَع َلاَق - َلاَق ُهّنَأ -ملسو هيلع هللا ىلص

ًاثيِدَح اّنِم َعِمَس ًأَرْما ُهّللا َرّضَن -ُلوُقَي -ملسو هيلع هللا ىلص- ِهّللا

ٍعِماَس ْنِم ُهَل ُظَفْح

َأ ٍغّلَبُم ّبُرَف ُهَغّلَبُي ىّتَح ُهَظِفَحَف

Dari Abdurrahman bin Abdulloh bin Mas’ud dari ayahnya, dari Nabi SAW, bahwa ayahnya tersebut berkata: “Abdul Razaq berkata saya mendengar Rasululloh SAW bersabda: “ semoga Allah memberikan cahaya pada orang yang mendengar hadits dari saya, kemudian menghafalkannya lalu menyampaikannya, maka banyak orang yang menyampaikan itu lebih hafal daripada orang yang (hanya) mendengar (HR. Ahmad)

Penggunaan kata Hadits dalam beberapa ayat Al-Qur-an dan Teks Hadits tersebut pada akhirnya juga menjadi sandaran beberapa pakar hadits untuk menguatkan argumen-argumen mereka tentang terminologi hadis.

Ketika segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW ini menjadi objek kajian keilmuan dalam disiplin ilmu Musthalah al-Hadits, maka terdapatlah varian definisi yang bermunculan untuk mengurai hakikat “hal-hal yang datang atau disandarkan pada Nabi Muhammad SAW”. Maka dalam literatur studi Hadits terdapat beberapa definisi tentang Hadits. Misalnya definisi Hadits yang diungkapkan oleh Muhadditsin (ulama’ hadis) seperti:

 Dr. Mahmud Al-Thahan:

لوححق نم يبححنلا ىلا فيححضا اححم

ةفص وا ريرقت وا لعفوا

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.

 Syaikh Mahfudz At-Turmusiy (Syaikh Mahfudz Termas, Pacitan)

هححيلع هللا ىلص هيلا عوفرملاب صتخي ل ثيدحلا نا

ىلا فيححضا اححم وححهو فوقوملاححب ءاححج لححب ملححسو

يعباتلل فيضا ام وهو عوطقملاو يباحصلا

“Bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; melainkan juga bisa berupa sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada shahabat dan juga bisa sesuatu yang maqtu’ yaitu yang disandarkan kepada tabi’in”

 Syaikh Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi yang mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Hajar,

(4)

istilah-istilah tersebut. Semuanya, baik itu hadits, atsar maupun maupun khabar memang memiliki sisi kemiripan.

Akan tetapi dari kesemua definisi hadis yang telah dipaparkan di atas, walaupun ada perbedaan pemaparan, tetapi semuanya memiliki substansi yang sama, yaitu sebuah hal yang penyandarannya diarahkan kepada Nabi SAW. Selain itu titik kesamaan lainnya adalah bahwa substansi dari definisi tersebut mengarah kepada sebuah objek kajian. Dalam arti setiap definisi di atas selalu mengisyaratkan kepada sebuah hal yang disandarkan pada seseorang, yang itu menjadi objek kajian. Dan pada kenyataannya memang para ahli Hadits menggunakan redaksi ma udlifa, atau ma jaa’a, ma utstsiro ilaihi dan sejenisnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa apa yang menjadi objek kajian ilmu hadits adalah sesuatu yang disandarkan, yang pada kelanjutannya memerlukan proses untuk memastikan bahwa apa yang disandarkan itu benar atau tidak, berkualitas atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dan lain sebagainya.

b. Sunnah

Dalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau kebiasaan, baik itu positif maupun negatif. Dalam ayat-ayat Al-Qur-an maupun Hadits, juga sering dijumpai kata sunnah yang diartikan secara bervariatif. Seperti misalnya pada surat An-Nisa’ ayat 26:

              

“Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

(5)

Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa definisi yang di paparkan oleh para Ulama’ Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan sunnah dalam 3 sudut pandang, yakni:

a. Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: “Segala apa yang dinisbatkan kepada Rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter fisik dan etika, ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW baik sebelum diangkat menjadi utusan-seperti berhannuts-nya beliau di gua Hira- maupun setelah diangkat menjadi rasul.” Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad menjelaskan bahwa “sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada para sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya”.

b. Sunnah menurut Ushuliyyin: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur-an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang patut dijadikan dalil dalam penetapan hukum agama (syari’at)”

c. Sunnah menurut Fuqaha’: “Segala sesuatu yang telah dipastikan berasal dari Nabi SAW yang bukan merupakan hal fardlu juga bukan hal yang wajib”

Sudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi mengingat bahwa masing-masing ulama’ berangkat dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Keilmuan Ushul Fiqh memang menuntut adanya dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar menentukan hukum. Sementara keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan tersendiri yang itu berkaitan dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Sementara muhadditsin juga tidak seragam dalam memberikan definisi terhadap sunnah, meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi yang sama.

Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang mencoba menjelaskan definisi sunnah dengan menghadapkannya pada lawan kata sunnah yaitu bid’ah. Dengan kata lain, Sunnah adalah sesuatu yang bukan bid’ah.

c. Khabar

(6)

Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam mendefiniskan Khabar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Di antara definisi Khabar yang beredar di kalangan Muhadditisin digambarkan secara lengkap oleh Ibnu Hajar sebagaimana sebagai berikut:

Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh nuhbah: “khabar menurut pakar istilah merupakan sinonim dari hadits, dimana keduanya merupakan sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, Sahabat dan Tabi’in. pendapat lain mengungkapkan, bahwa hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW sementara khabar berasal dari selain Nabi SAW. Maka dari itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalam kajian sunnah disebut muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam bidang tarikh/sejarah dan sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain mengatakan dengan konsep umum-khusus, dalam arti setiap hadits adalah khabar, dan belum tentu setiap khabar itu hadits.

Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih terlihat dalam literature-literatur hadits hingga kini. Para pakar kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manna Khalil Qatthan, hingga Subhi Shalih tetap menguraikan perbedaan definisi khabar diantara para Ulama’. Hanya saja, Subhi Shalih terlihat lebih memilih konsep umum-khusus dalam membedakan Khabar dan Hadits. Dalam arti bahwa setiap hadits itu pasti khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar itu bukan bersandar pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau maqtu’. Hal ini mengingat bahwa khabar lebih dominan sebagai pemberitaan atau pemberitahuan, dari manapun datangnya.

d. Atsar

Secara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa ”ini tafsir bil ma’tsur” yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau ”bekas-bekas” orang sebelumnya.

Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai berikut:

terkadang sebagian ulama’ mengkhususkan istilah hadits hanya untuk sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dan Sahabat, sedangkan sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in disebut Atsar. Terkadang istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, seperti misalnya ucapan seseorang bahwa “ini do’a yang ma’tsur”, yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.

Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan memetakan definisi Atsar dalam 2 hal, yakni:

(7)

 Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang meliputi ucapan maupun perbuatan. Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus pada khabar yang mauquf atau maqtu’. Istilah atsar bisa digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai keterangan bahwa itu adalah hadits Nabi SAW. misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan: “atsar ini dari Nabi SAW”, maka berarti hal ini adalah hadits.

B. PENGERTIAN SANAD,MATAN DAN RAWI a. Sanad

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berarti

mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena haditst itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.

Secara temionologis, sanad adalah silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada

matan hadits atau jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkati (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Silsilah orang ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits tersebut sejak disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang memuat perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pengertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan. Sedangkan, sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadits dilihat dari sudut orang perorangannya disebut dengan rawi.

Sedangkan menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan hadist kepada Nabi Muhammad saw,

Berdasarkan pengertian di atas, disebutkan bahwa sanad adalah jalan matan (thariq al-min). Jalan matan berarti serangkaian orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan matan hadits, mulai perawi pertama sampai yang terakhir.

Bagian di bawah ini adalah sanad Haditst:

نع باهش نبا نع كلام انربخأ لاق فسوي نب هللا دبع انثّدح

هيبأ نع معطم نب ريبج نب دمحم

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya”.

(8)

1. Sanad `Aliy'

Sanad ‘Aliy’ adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih banyak. Sanad Aliyini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sanad yang mutlak dan sanad yang nisbi (relatif).

1) Sanad 'aliy yang bersifat mutlak adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya hingga sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Jika sanad tersebut sahib, sanad itu menempati tingkatan tertinggi dari jenis sanad aliy.

2) Sanad 'aliyyang bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rawi di dalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits, seperti Syu'bah, Al-A'masy, Ibnu Juraij, AtsTsauri, Malik, Asy-Syafi'i, Bukhari, Muslim, dan sebagainya, meskipun jumlah rawinya setelah mereka hingga sampai kepada Rasulullah lebih banyak.

Para ulama hadits memberikan perhatian serius terhadap sanad aliy sehingga mereka membukukan sebagian di antaranya dan menamakannya dengan ats-tsultsiyyat. Yang dimaksudkan dengan atstsultsiyyat adalah hadits-hadits yang jumlah rawi dalam sanadnya antara rawi yang menulisnya dengan Rasulullah berjumlah tiga orang rawi.

Di antara kitab-kitab tersebut adalah Ats-Tsultsiyyat Al-Bukhari karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ats-Tsultsiyyat Ahmad bin Hanbal karya Imam As-Safarini.

2. Sanad Nazil

Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan

sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad

yang sama )ika jumlah rawinya lebih sedikit.

b. Matan

(9)

redaksi atau ucapan yang dituiturkan oleh si pengucap.Pengucap atau penutur teks itu bisa abi, sahabat, atau bisa juga tabi’in.

Sedangkan matan menurut istilah ilmu hadis, yaitu sebagai berikut.

تنﺍ ام

ف ملﮑلﺍ ﻥم دنسلﺍ هيلﺍ ى

لﺍ رﮐﺬ ﻱﺬلﺍ ثيدحلﺍ ﺲفن و

هلدانسﺀ

“Perkataan Yang Disebut Pada Akhir Sanad, Yakni Sabda Nabi Saw Yang Disebut Sesudah Habis Disebutkan Sanadnya.”

Contoh:

‘dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullahsaw bersabda :” saandainya tidak akan memberatkan terhadap umatmu, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) niscaya aku melakukan shalat.”(HR. Turmizi).

Pada salah satu definisi yang sangat sederhana disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Berdasarkan definisi di atas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits. Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan: ”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna-makna tertentu”. Jadi, dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

Agar lebih memperjelas dan memudahkan untuk membedakan mana yang matan dan mana yang sanad, maka perhatikan haditst berikut:

نع باهش نبا نع كلام انربخأ لاق فسوي نب هللا دبع انثّدح

هللا لوسر تعمس :لاق هيبأ نع معطم نب ريبج نب دمحم

)ىراخبلا هاور( .روطلاب برغملا ىف أرق )معلص(

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya berkata: “aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib”.

(HR. Bukhari).

Macam-Macam Matan

Setelah kita mengetahui makna matan, langkah berikutnya kita akan berbicara tentang macam-macam matan yang bersumber dari wahyu. Ada al-Qur'an hadits qudsi, dan hadits nabawi, yaitu :

1. AL-Qur'an

(10)

malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushhot dan dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas.

2. Hadits Qudsi

Hadits qudsi adalah kalam yang maknanya dari Allah do; lafadnya dari Nabi saw. Atau dengan ibarat lain, kalam yang dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya bersumber dari Allah.

Hadits qudsi sering diistilahkan dengan hadits ilahi nisb,t kepada i1ali, atau hadits robbani nisbat kepada Rabb. Penisbatan yang mengindikasikan adanya makna kemuliaan, karena disandark.m kepada kesucian 'Allah (ijadasatidiali).

Dalam istilah ini, sebenarnya terdapat dua sisi lafaz 'hadits' dan qudsi. Lafad hadits kembali kepada Nabi dan lafi, qudsi kembali kepada Allah. Penggabungan dua kata ini karena dalam hadits qudsi terdapat perpaduan antara lafad yang 1 bersumber dari Nabi dan makna yang bersumber dari Allah.

Gambaran bentuk ungkapan dari sebuah makna s eperti yang terdapat dalam hadits qudsi sebenarnya banyak didapati contohnya dalam al-Qur'an. Misalnya saat Allah menceritakan ucapan-ucapan para Nabi terdahulu, atau dialog mereka dengan kaumnya. Dialog itu kemudian diceritakan kembali oleh Allah dalam al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Arab, dan teks Al-al-Qur'an saat mengungkapkan isi dialog tersebut tidak persis seperti teks dialog yang sebenarnya tapi sebatas makna dan substansi yang terjadi dalam diolog saat itu.

3. Hadits Nabawi

Sebagaimana telah disinggung di awal pembahas an bahwa hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat psikis dan fisik. Dalam pembahasan ini, yang dilihat sebatas siapa menuturkan teks tersebut, dan tidak melihat bagaimana kualitas lafadnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian: marfu’, mauquf, dan maqthu'.

a. Marfu'

(11)

tidak. Sedangkan, yang menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga kita. Selama ada ungkapan 'Nabi b e r s a b d a ' a t a u ' N a b i m e l a k u k a n i n i d a n i t u ' m a k a d a p a t dinamakan dengan marfu'.

b. Mauquf

Definisi hadits mauquf adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan Penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf, Imik bersambung sanadnya maupun tidak. Jika bersambung maka dinamakan mauquf muttashil, dan jika tidak maka dinamakan mauquf munqathi.

c. Maqthu'

Definisi hadits maqthu' adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada

tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi’in maka diistilahkan dengan maqthu’ baik bersambung sanadnya maupun tidak.

Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits, yaitu: 1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau

bukan,

2. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau yang menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).

c. Rawi Hadits

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut

rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya

merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu:

1. Dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan

(12)

menerima hadits dan hanya menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab ada rawi yang membukukan hadits.

2. Dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut sanad

pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi . pertama, adalah sanad terakhir, dan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian atsar lebih umum dari pada khabar, karena       atsar adakalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain,       sedangkan khabar adalah berita yang datang

Sedangkan dari pertalian sanad, hadits terbagi menjadi empat tingkat, yaitu; hadits yang mutawatir, hadits yang masyhur (hadits yang mustafidl), hadits ahad (hadits

“Hadits yang sanadnya tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan kedhabitan ringan dari yang semisalnya hingga akhir sanad, tidak ada syadz (kejanggalan) dan tidak ada

tujuan pokok penelitian hadits, baik dari segi sanad maupun matan, yaitu untuk mengetahui kualitas sebuah hadits yang diteliti, karena kualitas hadits tersebut sangat

Al-Bukhari dan Muslim tidak membuat definisi yang tegas tentang hadits yang shahih akan tetapi berbagai penjelasan kedua ulama tersebut telah memberikan petunjuk

Dari hasil penyusunan makalah ini dapat di simpulkan bahwa pengertian Hadits ialah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan ketetapan, atau yang

Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.. Hadits ini masyhur

3 “Mengembalikan menelusuri kembali ke asalnya hadits-hadits yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan