• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sudah memasuki wilayah udara negara lain (transboundary haze pollution 4 ),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tersebut sudah memasuki wilayah udara negara lain (transboundary haze pollution 4 ),"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Pencemaran udara yang berasal dari kebakaran hutan merupakan salah satu isu yang selalu hangat untuk dibicarakan1, baik dalam lingkup nasional, regional2, maupun internasional3. Hal ini terjadi karena efek yang ditimbulkan dari buruknya kualitas udara mempengaruhi berbagai sektor, baik sektor sosial dan sektor politik. Efek tersebut semakin bertambah buruk jika asap yang timbul dari kebakaran hutan tersebut sudah memasuki wilayah udara negara lain (transboundary haze pollution4),

1

Hal ini dikarenakan sejak tahun 1980-an masalah kebarakan hutan merupakan masalah yang selalu terjadi di Indonesia. Terus berulang ketika memasuki musim kemarau. Secara kronologis kebakaran hutan di Indonesia terjadi dalam beberapa periode, yaitu dari tahun 1982-1983, 1997-1998, 2005 hingga tahun 2010 serta periode 2011-2012. Implikasi dari bencana tersebut telah banyak menimbulkan kerugian baik dari sektor sosial,ekonomi dan hubungan dengan Malaysia, Singapura, dan negara ASEAN lainnya. (Baca : Agustia Purba, 2013, Kepentingan Indonesia tidak meratifikasi

Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution tahun 2002-2012, Jurnal Online Mahasiswa, Vol

1 Nomor 2 (2014) Universitas Riau, hlm. 2) 2

Agenda mengenai pencemaran asap di tingkat regional mulai dibahas dalam pertemuan para menteri lingkungan hidup ASEAN dan kemudian diwujudkan dalam kesepakatan menteri lingkungan hidup ASEAN pada tanggal 19 Juni 1990. (Baca : Penjelasan UU Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Pengesahan Asean Agreement Transboundary Haze Pollution)

3

Salah satu bentuk keprihatinan dibidang lingkungan mendorong segenap masyarakat internasioanl untuk mulai berkonsentrasi pada dialog-dialog bertema lingkungan, dialog ini dimulai pada waktu diselenggarakannya konferensi internasional di Amerika Serikat pada tahun 1968. Salah satu protes yang disampaikan adalah bantuan luar negeri negara maju kepada negara yang sedang berkembang yang menurut mereka telah menghasilkan bencana lingkungan. Konferensi ini merupakan awal dari adanya perhatian masyarakat internasional terhadap kerusakan lingkungan secara global, yang kemudian diikuti oleh konferensi Stockholm di Swedia tahun 1972 yang melahirkan deklarasi

Stockholm. Konferensi PBB mengenai lingkungan yang kedua dilaksanakan di Brazil tahun 1992 yang

lazim disebut sebagai Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi). 4

Transboundary haze pollution adalah pencemaran udara yang disebabkan karena asap yang berasal dari suatu negara tertentu yang memasuki yurisdiksi negara lain/lintas batas. Lihat, Dinarjati Eka Puspasari dan Agustina Merdekawati, 2007, Pertanggungjawaban Indonesia Dalam Penyelesaian

Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Indonesia Berdasarkan Konsep State Responsibility, Publikasi Hasil Penelitian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 2

(2)

2 karena terganggunya aktifitas negara lain yang berimbas pada terganggu hubungan antar negara.

Awal Agustus lalu parlemen Singapura, tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2014 mengesahkan undang-undang baru mengenai Transboundary Haze Pollution. Hal ini dilatarbelakangi pada kejadian tahun 2013 dimana pada Juni 2013, kebakaran liar di Sumatera, Indonesia, membuat kawasan Asia Tenggara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand Selatan) tertutupi kabut asap yang sangat parah.

The Pollutant Standards Index (PSI) di Singapura mencapai puncaknya pada 401

(kisaran berbahaya), sementara di Muar, Johor, the Air Pollution Index (ASI) pada 23 Juni mencapai angka 746, hal ini mengantarkan daerah tersebut dalam keadaan darurat. Sedangkan standar normal tidak boleh melebihi 200 untuk kedua PSI dan ASI, hal ini mengklasifikasikan udara tidak sehat untuk semua orang yang terkena, terutama mereka yang memiliki masalah kesehatan5.

Secara umum, definisi dari haze pollution adalah sebagai berikut :

Haze pollution means the direct or indirect alteration of the environment — (a) to its detriment or degradation or potential detriment or degradation; or

(b) to the detriment or potential detriment of its use or other environmental value, which is of a wide scale and involves smoke resulting from any land or forest fire wholly outside Singapore6;

5

Lihat, Zheng Ying Chong and Jacquelyn Chen, 2014, Corporate Responsibility Moving Up

Asian Governments’ Agenda: Singapore’s Transboundary Haze Pollution Bill dalam http://www.eco-

business.com/opinion/corporate-responsibility-moving-asian-governments-agenda-singapores-transboundary-haze-pollution-bill/ diakses tanggal 6 februari 2015 6

(3)

3

Haze pollution is smoke resulting from land and or forest fire with causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resource, and ecosystem and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment7

Secara umum haze pollution adalah pencemaran atau polusi yang terjadi dalam suatu negara atau daerah, namun akibat dari pengaruh cuaca, atmosfer dan biosfer menyebabkan polusi atau pencemaran tersebut menyebar dan memasuki wilayah negara atau daerah lain serta mengganggu aktivitas, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya di negara yang terkena dampak8.

Khusus di wilayah Asia Tenggara, kerusakan di wilayah udara baru terasa menjelang tahun 1980an, dimana pada saat itu khusus bagi Indonesia izin-izin pembukaan hutan untuk perkebunan di Indonesia mulai marak dan dilegalkan oleh pemerintah demi pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Namun, seiring dengan maraknya izin-izin perkebunan yang dilegalkan membuat pendayagunaan hutan semakin tidak terkontrol. Sehingga kesimbungan ekosistem hutan menjadi kurang di perhatikan oleh pemerintah.

Masalah-masalah seputar masalah kehutanan pun mulai terjadi, salah satunya adalah kebarakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir disetiap musim kering. Setiap memasuki musim kering kebakaran hutan dan lahan berulang terjadi di Indonesia. Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan adalah salah satu yang menjadi

7

Article 1 Asean Agreement Transboundary Haze Pollution (AATHP) 8

(4)

4 langganan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, kebakaran juga melanda beberapa titik di Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa walau pada tingkat yang relative kecil.

Berdasarkan pemantauan sejumlah titik api (hot spot) mulai sepanjang tahun 2014 khusus bagi wilayah Asia Tenggara terdapat total hotspot sebanyak 130.331 titik. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa total hotspot di Indonesia tercatat 24.898 titik. Sementara itu, untuk periode yang sama, jumlah hotspot yang terjadi di negara ASEAN yang lain menunjukkan jumlah yang jauh lebih tinggi, yaitu: Myanmar 37.926 titik, Thailand 19.120 titik, Kamboja 17.349 titik, Vietnam 13.225 titik, Laos 11.540 titik, Malaysia 4327 titik, dan Philipina 1.946 titik. Untuk Indonesia sendiri hotspot yang berhasil dipantau, yaitu di pulan Kalimantan 15.170 titik dan Sumatra dengan 9.728 titik9.

Tingginya jumlah titik api dari kebakaran hutan inilah menimbulkan kerugian bagi masyarakat, baik dari sudut pandang sosial maupun ekonomi. Timbulnya asap dari kebakaran hutan tentu saja menggangu kegiatan masyarakat. Hal ini menjadi perhatian terlebih bagi masyarakat global, ketika asap tersebut sudah melewati lintas batas teritorial negara. Dimana negara-negara tetangga yang wilayahnya di sebelahan dengan Indonesia juga merasakan efek dari adanya kabut asap ini. Salah satunya antara lain Singapura10 dan Malaysia11 yang lebih sering terkena dampak langsung dari adanya asap lintas batas negara ini.

9

Lihat, http://www.weather.gov.sg/wip/c/portal/layout?p_l_id=PUB.1003.613 diakses tanggal 7 Februari 2015 pukul 9.21 pm

10

Tahun 2013 merupakan puncak kabut asap yang terjadi di Singapura sehingga mendesak parlemen untuk mengesahkan aturan mengenai pemberantasan kebakaran hutan.

(5)

5 Dialog-dialog mengenai penyelesaian masalah tranboundary haze pollution selalu menjadi agenda rutin dalam pertemuan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Agenda ini mulai dibahas dalam pertemuan para menteri lingkungan hidup ASEAN dan kemudian diwujudkan dalam kesepakatan menteri lingkungan hidup ASEAN pada tanggal 19 Juni 1990. Kesepakatan menteri lingkungan hidup ASEAN tersebut dijabarkan lebih jauh dalam rencana kerja sama ASEAN tentang pencemaran asap lintas batas pada tahun 1995. Rencana kerja tersebut meliputi prosedur dan mekanisme untuk kerja sama pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas. Kebakaran lahan dan hutan pada tahun 1997 mengakibatkan pencemaran asap lintas batas di ASEAN. Kejadian pencemaran asap lintas batas tersebut dibahas ditingkat ASEAN dan menghasilkan Hanoi Plan of Action 1997, anggota ASEAN sepakat untuk membuat ASEAN Agreement Transboundary Haze Pollution12 (AATHP), sebagai komitmen bersama13.

Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke negara-negara ASEAN justru merupakan negara-negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut. Hal ini sempat disayangkan oleh negara-negara “pengimpor” asap,

11

Berbeda dengan singapura, Malaysia cenderung lebih menahan diri untuk tidak “vocal” seperti Singapura. Mereka justru lebih memilih untuk meliburkan sekolah-sekolah dan menghimbau warganya untuk mengurangi aktifitas di luar rumah. (Lihat, Tina Dyah, 2014, Dibalik Lunaknya Sikap

Malaysia Terhadap Asap Riau dalam http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/06/24/dibalik-lunaknya-sikap-malaysia-terhadap-asap-riau-571613.html )

12

Persetujuan ASEAN tersebut ditandatangani tahun 2002 dan diratifikasi oleh negara anggota ASEAN berturut-turut adalah Malaysia yang telah meratifikasi tanggal 3 Desember 2002, Singapura tanggal 13 Januari 2003, Brunei Darussalam tanggal 27 Februari 2003, Myanmar tanggal 5 Maret 2003, Vietnam tanggal 24 Maret 2003, Thailand tanggal 10 September 2003, Laos tanggal 19 Desember 2004, Kamboja tanggal 24 April 2006. Setelah diratifikasi negara ke-8 maka persetujuan ini baru berlaku, tepatnya pada tahun 2007. Kemudian Filipina meratifikasi tanggal 1 Februari 2010 , dan terakhir Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2014 (Lihat, www.asean.org ).

13

(6)

6 olah Indonesia tidak sungguh-sungguh ingin menanggulangi permasalahan asap akibat kebakaran hutan ini. Padahal menurut AATHP, jika dilihat dari segi teknis, beban Indonesia dalam penanganan asap lintas batas menurut AATHP menjadi berkurang, karena tanggung jawab penanganan tidak hanya diemban sendirian oleh Indonesia. Artinya negara-negara regional juga memiliki kewajiban untuk menanggulangi masalah ini secara bersama-sama. Namun, dari segi pergaulan internasional, menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak mampu menyelesaikan masalah dalam negerinya sendiri.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan penghambat mengapa Indonesia lambat dalam meratifikasi AATHP ini antara lain : dari segi aturan hukum yang berlaku, dari segi ekonomi, dan dari segi kebiasaan masyarakat. Dari segi hukum14 misalnya, lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan telah merusak hutan. Ditambah lagi dengan adanya kebijakan megenai otonomi daerah yang terus menyebabkan terjadinya benturan kebijakan antar pemeritah pusat dan daerah15. Dari segi ekonomi, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terbesar di wilayah Asia Tenggara. Besarnya jumlah kawasan tersebut tentunya Indonesia memiliki banyak keuntungan dari produksi hasil hutan. Sehingga kepentingan ekonomi lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelestarian ekologi dan kelansungan sumber daya hutan. Adanya perjanjian kabut asap atau AATHP tentunya merupakan hal yang berpengaruh bagi pemerintah

14

Agustia Purba, Op.cit, hlm. 10. 15

(7)

7 Indonesia jika meratifikasinya16. Dari segi kebiasaan masyarakat, penerapan metode

burn clearing dalam pembukaan lahan merupakan hal yang umum digunakan oleh

masyarakat mengingat lebih paktis dan ekonomis dibanding dengan metode zero

burning17 atau controlled burning18 yang digalakkan oleh oleh pemerintah sesuai

dengan kebijakan regional yang tertuang dalam AATHP.

Lambatnya respon yang diambil oleh pemerintah Indonesia terkait dengan ratifikasi AATHP ini maka pada tanggal 5 Agustus 2014 lalu, parlemen Singapura membentuk aturan yang mengatur kabut asap lintas batas secara khusus yang disebut dengan Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 Of 2014) yang kemudian disingkat STHP. Setidaknya undang-undang ini memuat ketentuan mengenai kewenangan ekstraterritorial bagi setiap tindakan dari dalam ataupun dari luar Singapura yang menimbulkan dampak berupa pencemaran asap atas wilayah Singapura19, kewajiban (baik kewajiban secara pidana maupun perdata) yang dilakukan oleh entitas yang bersangkutan dan memicu asap dan kerugian secara fisik maupun ekonomi di wilayah Singapura20, hak setiap entitas untuk membela diri jika asap tersebut disebabkan karena bencana alam, tindakan perang, atau tindakan lain yang sebutkan dalam Pasal 7 STHP Act 2014. Selain itu, undang-undang ini juga

16

Agustia Purba, Op.cit, hlm. 12. 17

Zero burning adalah penyiapan lahan tanpa bakar, dimana perusahaan perkebunan, kehutanan dan usaha lainnya yang bersifat komersil dilarang untuk membuka atau menyiapkan lahan dengan melakukan pembakaran.

18

Controlled burning adalah pembakaran terkendali, yang memperbolehkan masyarakat tradisional untuk membuka atau menyiapkan lahan dengan melakukan pembakaran dengan syarat harus terkendali. (baca, ______, 2006, Zero Burning Untuk Atasi Kebakaran Hutan, dalam

http://www.merdeka.com/khas/zero-burning-untuk-atasi-kebakaran-hutan-vn2k4x7.html ) 19

Pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 Of 2014) 20

(8)

8 memuat mengenai langkah-langkah pencegahan, mengurangi atau pengendalian asap berupa timbulnya polusi udara di langit Singapura, berdasarkan informasi satelit, kecepatan arah angin dan informasi yang didapatkan dari badan metereologi. Selain itu, Direktur jendral (pihak yang diberi tanggungjawab terhadap penanggulangan bencana asap) dapat langsung menyurati entitas yang berkaitan langsung dengan bencana asap sesuai dengan informasi akurat yang bisa langsung didapatkan dari instansi-instansi terkait penanganan bencana asap dan serangkaian penalti yang akan diberikan kepada semua pihak yang menghalangi kinerja Direktur Jendral dalam menjalankan tugasnya.

Hal yang menjadi sorotan dalam studi ini adalah bagimana yurisdiksi ekstrateritorial yang diberlakukan undang-undang tersebut berlaku kepada semua pihak (entitas) yang berperan dalam timbulnya bencana asap tersebut. Yurisdiksi ekstrateritorial merupakan perluasan teknis tertentu dari prinsip yurisdiksi territorial. Hal ini diperlukan untuk memberikan pembenaran atas tindakan negara terhadap perbuatan yang terjadi diwilayah mereka namun penyebab perbuatan tersebut berada diluar wilayah teritorial mereka21. Dimana suatu negara mempunyai kekuasaan sepenuhnya di wilayahnya untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negaranya dan sebaliknya negara itu tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya diwilayah negara lain. Namun ada beberapa pengeculian dimana suatu negara dapat

21

(9)

9 melaksanakan yurisdiksinya diwilayah negara lain (yurisdiksi ekstrateritorial), walaupun dalam beberapa hal ada pembatasan-pembatasannya22.

Salah satu kasus yang terkenal mengenai penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ini adalah Lotus Case, pada 2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS Lotus (kebangsaan Prancis) dengan SS Boz Kourt (kebangsaan Turki) di daerah utara Perairan Yunani. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, delapan warga Turki didalam SS Bozkourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. M. Demons (kapten SS Bozkourt) ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki. Dalam putusannya, Permanent Court of International

Justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai

dengan yurisdiksi negaranya. Tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri dan merugikan negara tersebut23.

Dari contoh kasus diatas sekiranya dapat menjadi rujukan mengenai pemberlakuan yurisdiksi ekstraterritorial bahwa hukum nasional dapat tetap berlaku selama tidak ada larangan dari hukum kebiasaan internasional untuk mengaturnya. Mengingat dalam studi ini akan dititikberatkan pada bagaimana pemberlakuan yurisdiksi ekstrateritorial dalam Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014

(No. 24 Of 2014) terhadap kabut asap yang terjadi di yurisdiksi teritorial Singapura

22

Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi negara Vs, Yurisdiksi Ekstrateritorial, Jurnal Hukum Internasional Volume 2 Nomor 4 Juli 2005, FH UI, hlm. 689.

23

(10)

10 yang berasal dari kebakaran hutan di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengambil masalah mengenai bagaimanakah pengaturan hukum internasional mengenai pertanggungjawaban terhadap kabut asap yang terjadi akibat dari kebakaran hutan yang melanda Indonesia secara rutin, sehinga menimbulkan kerugian bagi negara lain.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap kabut asap dari kebakaran hutan di Indonesia menurut Hukum Internasional?

2. Bagaimana penerapan dari pelaksanaan yurisdiksi ekstrakteritorial yang diatur dalam Pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014

(No. 24 Of 2014)? C. TUJUAN PENELITIAN

Dari serangkaian rumusan masalah yang dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui dan memahami bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap kabut asap dari kebakaran hutan di Indonesia menurut Hukum Internasional.

2. Untuk mengetahui dan memahami penerapan dari pelaksanaan yurisdiksi ekstrakteritorial yang diatur dalam Pasal 4 Singapore Transboundary

(11)

11

D. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa :

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pengajian ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial Dalam Singapore Transboundary Haze Pollution Act

2014 (No. 24 Of 2014) Akibat Kabut Asap Dari Kebakaran Hutan Di

Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Pemerintah Indonesia yaitu sebagai masukan dalam rangka memberi pertimbangan dan masukan dalam kemungkinan berlakunya aturan asing yang dapat berlaku secara ekstrateritorial akibat kabut asap dari kebakaran hutan di Indonesia.

b. Praktisi dan cendikiawan yaitu diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan ilmu hukum khususnya hukum lingkungan internasional dan bagi penelitian yang serupa secara lebih mendalam.

(12)

12 c. Masyarakat yaitu diharapkan penulisan ini dapat memberikan wacana bahwa sebenarnya peran masyarakat sangat besar dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kabut asap dari kebakaran hutan yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat kebanyakan masyarakat tidak mengetahui dan memahami dampak dari perubahan yang bisa mereka ciptakan.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian yang mengangkat tema mengenai konsep Transboundary Haze

Pollution dan kebakaran hutan sudah pernah ada sebelumnya tetapi sepanjang

penelurusan kepustakaan di perpustakaan pasca sarjana UGM dan perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan juga pada dunia cyber, belum ditemukan judul penelitian PENERAPAN YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL DALAM SINGAPORE

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT 2014 (NO. 24 OF 2014) AKIBAT KABUT

ASAP DARI KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA, sehingga penelitian ini dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian penelitian.

Adapun beberapa judul penelitian yang terkait dengan tema diatas yang pernah ada sebelumnya, antara lain :

1. Penelitian mengenai “Tinjauan Yurisidis Tentang Bahaya Kebakaran Hutan Di Riau” oleh Aulia Rahmawati dan Grizelda tahun 2014 yang memfokuskan penelitian pada permasalahan mengenai pengaturan

(13)

13 penanganan terhadap bahaya kebakaran hutan di Indonesia khususnya di Riau baik dari segi aturan nasional maupun aturan internasional regional Asia Tenggara;

2. Penelitian mengenai ”Pertanggungjwaban Indonesia Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Indinesia Berdasarkan Konsep State Responsibility” oleh Dinarjati Eka Puspita Sari S.H. M.Hum dan Agustina Merdekawati S.H Tahun 2007 yang memfokuskan pada permasalahan bentuk pertanggunganjawaban Indonesia dalam penyelesaian kasus tersebut berdasarkan konsep state

responsibility dan mengenai upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah

Indonesia dalam menghindari tuntutan yang timbul atas adanya

transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan di Indonesia. Hasil

pembahasan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa rejim pertannggungjawaban negara yang berlaku adalah rejim liability, kriteria pertanggungjawaban dengan konsep strict liability, tanggung jawab murni ada pada pemerintah Indonesia, jenis pemulihan atas kerugian didasarkan pada kesepakatan para pihak. Sedangkan untuk upaya yang harus pemerintah Indonesia dengan dua langkah, yakni meratifikasi ASEAN

Agreement Transboundary Haze Pollution, dan Pemerintah terlibat dalam

Program Clean Development Mecanism sebagaimana diatur dalam protocol Kyoto;

(14)

14 3. Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran

Lingkungan Internasional” oleh Prof. Marsudi Triadmodjo yang memfokuskan pada permasalahan lahirnya konsep pertanggungjawaban negara atas suatu kegiatan pencemaran lingkungan yang berakibat sampai diluar batas yurisdiksinya dan konsekuensinya atas pelanggaran terhadap kewajiban tersebut.

4. Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Transnasional” oleh Deni Bram Tahun 2011. Penelitian ini memfokuskan pada perbedaan konsep pertanggungjawaban negara sebagai akibat pencemaran asap lintas batas negara menurut hukum transnasional dan hukum lingkungan internasional dan bagaimana mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang bersifat transnasional dalam hukum lingkungan internasional serta dapatkah pemerintah Indonesia dimintai pertanggungjawaban atas kasus pencemaran asap apabila locus delicti nya berada dalam yurisdiksi negara Indonesia. Hasil pembahasan dari penelitian ini yaitu pertama, keberadaan hukum lingkungan internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional turut pula membawa pemberlakuan dari prinsip tanggung jawab negara dalam beberapa kasus hukum lingkungan internasional.

Kedua, mekanisme penyelesaian hukum lingkungan internasional yang

(15)

15 diawali dari adanya claim dari negara yang mengalami kerugian yang merupakan suatu bentuk absorpsi hukum lingkungan internasional terhadap keberlakuan prinsip utama dalam hukum internasional tersebut.

Ketiga, berdasarkan teori pertanggungjawaban negara yang terdapat pada Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act

yang dirilis oleh International Law Comission pada akhir 2002, maka pemerintah Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pencemaran kabut asap yang terjadi. Sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari pertanggungjawaban Indonesia adalah reparasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada negara tercemar seperti keadaan semula baik kerugian yang berifat materiil hingga kepada kerugian imateriil.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dimana fokus kajian dalam penelitian sebelumnya umumnya membahas tentang masalah penanganan dan bentuk pertanggungjawaban negara menghadapi Transboundary

Haze Pollution sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi konsen penelitian

adalah mengenai pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial yang berlaku dalam

Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 Of 2014) dan

pertanggungjawaban dari pemerintah Indonesia jika timbul tuntutan atas perihal ini menurut hukum internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak kayu tumbuhan Biau berpotensi sebagai antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Shigella dysenteriae yang ditandai dengan terbentuknya

Model analisis yang digunakan untuk membedakan dan melakukan prediksi terhadap perataan laba dengan menggunakan ukuran perusahaan, rasio profitabilitas (yang diukur

Berdasarkan hasil evaluasi dari model pengukuran bahwa 56 indikator valid dalam pengukuran setiap variabel latennya dapat digunakan dalam membentuk model

Deskripsi variabel akan dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi jawaban masing-masing responden berdasarkan item pertanyaan, yang kemudian digolongkan

Karena tujuan penelitian ini adalah untuk memahami peranan aspek lingkungan dalam Manjemen Aset Infrastruktur, penelitian ini dilakukan dengan menguraikan pengertian aspek dan

Pariwisata adalah suatu aktivitas manusia dilakukan secara sadar, yang mendapat pelayanan secara bergantian di antara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri,

Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan ini dibatasi pada balita usia 24-59 bulan di Puskesmas Cihampelas Kabupaten Bandung Barat sebagai target populasi dan

Tiada bahagian daripada terbitan ini boleh diterbitkan semula, disimpan untuk pengeluaran atau ditukarkan ke dalam sebarang bentuk atau dengan sebarang alat juga pun, sama ada.