• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kesejahteraan Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kesejahteraan Keluarga"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kesejahteraan Keluarga

Undang-undang No 10 Tahun 1992 mendefinisikan keluarga sejahtera sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Sunarti (2008) membagi kesejahteraan keluarga menjadi kesejahteraan ekonomi (family well-being) dan kesejahteraan material (family material well-being). Kesejahteraan ekonomi diukur melalui kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga seperti pendapatan, upah, aset, dan pengeluaran keluarga, sedangkan kesejahteraan material diukur dari jumlah barang dan jasa yang dapat di akses oleh keluarga.

Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga. Martinez et al (2003) telah menelaah sebanyak 36 laporan dan hasil penelitian mengenai kesejahteraan keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga berhubungan dengan aspek kesehatan (health), ekonomi (economics factor), kehidupan keluarga yang sehat (healthy family life), pendidikan (education), kehidupan bermasyarakat (community life and community support) serta budaya dan keberagaman (culture and diversity).

Beberapa indikator kesejahteraan keluarga yang telah digunakan dalam penelitian antara lain: indikator garis kemiskinan yang dikemukakan oleh world bank yaitu pendapatan US$ 1per hari dan US$ 2 per hari (Muladsih 2011), garis kemiskinan Badan Pusat Statistik atau BPS (Muladsih 2011 & Elmanora 2011), indikator BPS untuk menentukan sasaran program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yaitu 14 kriteria rumah tangga miskin (Muflikhati 2010), indikator kesejahteraan keluarga Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasonal atau BKKBN (Iskandar 2007 & Aniri 2008), indikator kemiskinan karena alasan ekonomi yang dikeluarkan BKKBN (Aniri 2008), indikator FINCA untuk menentukan sasaran program social metric matrix (Muflikhati 2010, Utami 2010 & Aniri 2008), indikator CBMS atau Community Based Monitoring System (Suryadarma et all 2005) dan Scorecard Poverty for Indonesia (Elmanora 2011).

(2)

Penelitian ini menggunakan Garis Kemiskinan (GK) BPS dan 14 kriteria rumah tangga miskin sasaran program BLT sebagai indikator kesejahteraan keluarga. Indikator Garis Kemiskinan mengukur jumlah penduduk miskin bergasarkan Garis Kemiskinan dengan nilai yang berbeda-beda berdasarkan wilayah yaitu untuk daerah perdesaan dan perkotaan. Menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan (jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan). Sampai bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa (13,33 %). Jumlah ini telah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (14,15%). Penelitian ini menggunakan Garis Kemiskinan perdesaan sebagai indikator yaitu untuk wilayah Jawa Tengah pada tahun 2010 sebesar Rp 179.982,00/kapita/bulan.

Indikator penerima BLT muncul sebagai akibat kebijakan kenaikan harga BBM. Kriteria ini dilihat dari kondisi rumah tinggal dan pemenuhan kebutuhan dasar lain seperti pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Keluarga yang berhak mendapatkan BLT adalah keluarga yang memenuhi sembilan kriteria atau lebih. Sedangkan keluarga yang memenuhi kriteria kurang dari sembilan butir dinyatakan tidak miskin (BPS diacu dalam Muflikhati 2010).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga

Menurut Syarief dan Hartoyo (1993) kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, budaya, teknologi, keamanan, kehidupan agama, dan kepastian hukum. Penelitian-penelitian mengenai kesejahteraan dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator, seperti hasil penelitian Iskandar (2007) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS antara lain pendidikan istri, pendapatan, pekerjaan suami (bukan buruh), kepemilikan aset, dan perencanaan. Penelitian Rambe (2004) menunjukkan kesejahteraan keluarga menurut Garis Kemiskinan BPS dipengaruhi oleh pendidikan suami, semakin tinggi pendidikan suami maka peluang untuk sejahtera juga akan semakin meningkat. Kondisi sosial ekonomi keluarga seperti besar keluarga, pendidikan, aset, pendapatan dan pengeluaran perkapita memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir (Muflikhati et al 2010).

(3)

Strategi koping

Menurut Voydanoff (1987), strategi koping adalah proses yang dilakukan oleh individu dan keluarga dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Upaya strategi koping bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengatur emosi dalam menghadapi tekanan ekonomi yang dialami oleh keluarga. Beberapa strategi koping yang dapat dilakukan untuk mengatasi tekanan ekonomi keluarga antara lain:

1. Family Work Effort atau pengupayaan kerja bagi anggota keluarga yang dilakukan ketika pencari nafkah utama sudah tidak bekerja lagi.

2. Informal Economy. Kegiatan ini berupa penukaran antara barang dan jasa dengan uang (barter). Keterampilan melalui hobi yang dimiliki seperti pekerja kayu dapat memperoleh tambahan pendapatan dari kegiatan ini. Selain itu, terdapat juga keluarga yang menukarkan barang dan jasa dalam bentuk lain seperti peralatan rumah tangga, merawat anak dan transportasi. Penggunaan informal economy ini diasosiasikan dengan keluarga yang memiliki tekanan ekonomi dan kepuasan pernikahan yang rendah.

3. Financial Management atau manajemen keuangan. Hal ini dilakukan melalui pembuatan anggaran dan pembayaran tagihan. Strategi koping seperti penghematan dalam pengeluaran lebih sering dilakukan oleh keluarga saat menghadapi kesulitan ekonomi.

Menurut McCubbin (1979) diacu dalam Friedman, Bowden, dan Jones (2003), koping keluarga adalah proses aktif yang dilakukan oleh keluarga dengan menggunakan sumber daya keluarga yang dimiliki dan mengembangkan perilaku baru untuk meningkatkan kekuatan keluarga dan mengurangi dampak stres terhadap anggota keluarga. Selanjutnya Friedman, Bowden, dan Jones (2003), mengumpulkan dua tipe strategi koping yang dapat dilakukan keluarga yaitu internal (internal family coping strategies) dan eksternal (external family coping strategis). Termasuk internal family coping strategies adalah strategi hubungan keluarga (resiliensi keluarga, berbagi/bercerita kepada seluruh anggota keluarga, dan fleksibilitas peran) strategi kognitif (normalisasi, mengartikan masalah, menyelesaikan masalah bersama, dan memperoleh informasi dan pengetahuan), dan strategi komunikasi (terbuka dan jujur, dan menggunakan humor). External family coping strategis terdiri atas strategi komunitas (memanfaatkan jejaring), strategi dukungan sosial (keluarga luas, teman, tetangga, kelompok, dan

(4)

dukungan sosial lainnya), strategi spiritual (nasehat, terlibat dalam kegiatan keagamaan, memiliki keyakinan terhadap Tuhan, dan berdoa).

Menurut Puspitawati (1998), keluarga yang hidup di bawah tekanan akan mengalami stres ketika terjadi masalah, khusunya masalah keuangan. Lebih lanjut Puspitawati mengatakan bahwa terdapat dua tipe strategi koping yang dilakukan oleh keluarga ketika mengalami kesulitan keuangan yaitu menambah pendapatan (generating income) dan mengurangi pengeluaran (cutting back). Generating income adalah strategi untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya uang di dalam keluarga yang dapat dilakukan dengan cara: anggota keluarga memiliki pekerjaan sampingan, menambah jam kerja atau menambah jumlah anggota keluarga yang bekerja. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan waktu tambahan orang tua untuk bekerja adalah berkurangnya waktu orang tua untuk anak.

Cutting back adalah strategi yang digunakan untuk merespon rendahnya keterbatasan sumber daya uang melalui pola pengeluaran yang berbeda sehingga dapat mengurangi pengeluaran. Biasanya keluarga mengurangi pengeluaran yang kurang penting, seperti rencana jalan-jalan. Akibatnya, keluarga mengalami penurunan standar hidup. Strategi penghematan ini lebih sering dilakukan oleh keluarga. Selain itu, tingkat kemiskinan berhubungan erat dengan strategi penghematan dibandingkan dengan strategi menambah pendapatan.

Sunarti dan Khomsan (2006) diacu dalam Kusumo (2009) mengatakan bahwa keluarga petani memiliki strategi koping untuk memperoleh ketahanan pangan diawali dari mengurangi pangan sumber protein dengan harga mahal. Selanjutnya mengurangi frekuensi makan dan mencari bahan konvensional yang dalam situasi normal jarang dimakan, menerjunkan anggota keluarga yang selama ini tidak bekerja (anak-anak, orang tua, dan kaum perempuan) untuk bekerja mencari upah tunai. Jika hal ini belum berhasil, maka keluarga akan menjual aset yang dimiliki. Langkah terakhir yang dilakukan adalah sebagain anggota keluarga akan melakukan migrasi mencari nafkah ke luar daerah.

Secara tradisional, tanggung jawab ekonomi atau pencari nafkah utama dalam keluarga dilakukan oleh suami. Akan tetapi, saat ini tidak hanya suami saja yang berperan dalam ekonomi keluarga. Banyak wanita yang memiliki peran ganda, yaitu di sektor domestik (ibu rumah tangga) dan sektor umum (wanita bekerja). Menurut Hayghe (1984) diacu dalam Voydanoff (1987) Amerika

(5)

mengalami kenaikan jumlah istri yang bekerja di sektor umum yaitu sebanyak 40 persen pada tahun 1970 meningkat menjadi 59 persen pada tahun 1984. Semua itu dilakukan istri agar pendapatan keluarga mampu mencukupi semua kebutuhan anggotanya sehingga tercipta kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga. Suryocondro (1987) dalam Suryawati (2002) menyatakan bahwa setiap wanita bekerja di luar rumah dapat membawa dampat positif terhadap pendapatan keluarga, yaitu dengan membantu atau menambah biaya hidup keluarga dan rata-rata wanita yang bekerja menyumbang 49% dari pendapatan keluarga. Selain itu, jumlah anak yang banyak bukan dijadikan sebagai aset (investasi) akan tetapi sebagai sumber tenaga kerja untuk menambah pendapatan (Rusastra & Napitupulu 2008).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping

Hasil peneltian Firdaus dan Sunarti (2009) terhadap buruh pemetik teh menunjukkan bahwa usia suami istri memiliki hubungan negatif dengan strategi koping. Semakin tinggi usia istri dan suami memungkinkan jumlah tanggungan yang semakin besar dan atau memungkinkan keluarga memiliki tabungan dan aset, dan atau semakin mapannya pendapatan dan pengeluaran keluarga, sehingga koping yang dilakukan tidak dinamis. Selain itu, strategi koping tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. Lebih lanjut Firdaus (2008) menyatakan bahwa strategi yang paling efektif dipilih keluarga dalam menyikapi dampak krisis adalah mengurangi pengeluaran untuk makanan dan non makanan serta meningkatkan produktivitas usaha. Koping pendidikan kurang karena biaya pendidikan sudah ada standarnya.

Penelitian Rachmawati (2010) menunjukkan bahwa besar anggota keluarga dan umur istri memiliki pengaruh positif terhadap strategi koping. Besarnya anggota keluarga akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan anggota keluarga baik kebutuhan pangan maupun non pangan. Hukum Engel mengatakan bahwa semakin besar persentase pengeluaran pangan diasumsikan dengan semakin tidak sejahtera suatu keluarga. Sementara itu, hasil penelitian Simanjuntak (2010), strategi koping fungsi ekonomi terhadap keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) berhubungan signifikan dengan besar keluarga, jumlah utang, rasio utang dan aset, tekanan ekonomi, dan lama pendidikan ibu.

(6)

Investasi Sumber Daya Manusia

Menurut Deacon dan Firebaugh (1988), modal manusia/sumberdaya manusia adalah jumlah total dari kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh manusia dan cara penggunaan sumberdaya manusia yang berpengaruh terhadap sumberdaya di masa yang akan datang. Agar manusia dapat menggunakan sumberdaya yang dimilikinya, diperlukan suatu upaya berupa investasi sumberdaya manusia. Investasi sumber daya manusia merupakan perbaikan dalam pertumbuhan ekonomi (Steuerle & Reynolds 2007).

Investasi untuk anggota keluarga dapat berarti sebagai investasi sumberdaya manusia yang dapat dilakukan melaui pendidikan, pengalaman, dan kesehatan. Investasi sumberdaya manusia diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut Bryant dan Zick (2006), investasi pada anak terdiri dari dua komponen yaitu nilai uang dari jasa (seperti makanan, pakaian, rumah, transportasi, pendidikan, dan perawatan kesehatan) dan nilai waktu (merupakan waktu yang dihabiskan orang tua, khususnya ibu untuk membesarkan anak baik melalui perawatan maupun pemeliharaan).

Anak merupakan sumberdaya untuk investasi. Salah satu investasi orang tua untuk membentuk SDM yang berkualitas adalah waktu dan pendapatan atau uang (Hartoyo 1998). Melalui investasi ini diharapkan anak dapat memiliki masa depan yang lebih baik. Orang tua menginginkan peningkatan kesejahteraan bagi anak-anaknya sehingga orang tua akan melakukan apa saja yang mereka butuhkan untuk memaksimalkan pendapatan mereka dengan harapan pengeluaran orang tua dalam investasi anak akan sama dengan biaya tambahan yang mereka keluarkan (Becker 1993).

Investasi Pendidikan

Termasuk dalam investasi pendidikan anak antara lain pembayaran Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP), transportasi, buku pelajaran, les/kursus, seragam sekolah, uang saku, tas sekolah, sepatu, dan buku pendamping belajar (Suryawati 2002). Alasan seseorang menginvestasikan pendidikan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan di masa yang akan datang dan semakin lama pendidikan maka akan semakin meningkat kesempatan seseorang dalam mengganti biaya pendidikannya (Bryant & Zick 2006).

(7)

Pendidikan merupakan jalan menuju produktivitas yang tinggi bagi masyarakat, sehingga diharapkan melalui pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Akan tetapi, Mulatsih et al (2002) mengatakan bahwa masyarakat lapisan bawah menganggap pendidikan sebagi suatu pilihan dan bukan keharusan. Hal ini dikarenakan besarnya pengeluaran untuk biaya pendidikan. Selain itu, biaya pendidikan yang tinggi tidak diimbangi dengan adanya pemanfaatan kelulusan dalam dunia kerja. Menurut Barro dan Lee (2000), pada negara berkembang masih terdapat sebanyak 37 persen masyarakat dengan umur 25 ke atas yang tidak memiliki pendidikan formal, dan hanya sekitar 27 persen yang mencapai Sekolah Menengah Atas (SMA).

Beberapa golongan masyarakat masih memiliki persepsi gender yang berbeda dalam investasi anak. Hasil penelitian Mulatsih et al (2003) di Kabupaten dan Kota Bogor menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap pendidikan anak laki-laki lebih diutamakan dibandingkan dengan anak perempuan. Perempuan memiliki peluang yang lebih kecil (hanya 50%) dibandingkan laki-laki untuk mendapatkan tingkat pendidikan yang sama. Hal ini diperkuat dengan nilai kesediaan orang tua untuk membayar (willingness to pay) waktu perjalanan pergi dan pulang dari sekolah untuk anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Artinya, orang tua menginginkan kualitas pendidikan yang lebih baik bagi anak laki-laki.

Selain faktor jenis kelamin, perbedaan investasi sekolah juga disebabkan oleh jumlah anggota keluarga. Penambahan jumlah anggota keluarga akan mengurangi dukungan keluarga terhadap anak dalam penentuan sekolah karena adanya kesulitan keuangan dan hal ini mengindikasikan tingkatan yang rendah dalam investasi keluarga, tetapi tingkat akhir pendidikan tidak tergantung pada jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga (Leibowitz 1982).

Investasi Kesehatan

Cara lain yang dapat digunakan untuk investasi sumber daya manusia adalah melalui pengeluaran waktu dan uang dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Kelas aerobik, joging, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gigi secara rutin dan pemberian nutrisi yang baik merupakan cara-cara yang dapat digunakan sebagai investasi dalam kesehatan. Investasi dalam bidang kesehatan tentunya berbeda dengan investasi dalam bidang pendidikan yang memiliki tujuan agar manusia memiliki produktivitas dan pendapatan yang tinggi dikemudian hari. Melalui investasi kesehatan, akan dapat memperpanjang umur

(8)

harapan hidup dan terhindar dari penyakit sehingga akan menghasilkan waktu produktif yang lebih tinggi. Akan tetapi, investasi kesehatan memiliki biaya tambahan yang lebih rumit dibandingkan dengan investasi pendidikan (Bryant & Zick 2006).

Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat. Hasil penemuan BPS (2009) menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan masih tergolong rendah. Sampai tahun 2009, masih terdapat sebesar 33,68 persen penduduk Indonesia yang mengalami keluhan kesehatan. Pendidikan secara positif berhubungan dengan investasi kesehatan. Selain itu, hasil penelitian Edwards dan Grossman (1979) diacu dalam Bryant dan Zick (2006) menunjukkan bahwa kesehatan juga berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan dan kesehatan saling berkaitan.

Alokasi Pendapatan (uang)

Investasi dalam bentuk uang merupakan pendapatan keluarga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak. Sumber pendapatan berupa uang dapat berasal dari pekerjaan dan diluar pekerjaan. Pendapatan yang akan digunakan untuk investasi anak akan tergantung kepada empat sumber utama yaitu aset keluarga, kemampuan atau ketrampilan yang dimilik oleh keluarga, tingkat pendidikan akhir orang tua, dan investasi paska sekolah (Leibowitz 1982).

Latar belakang sosial ekonomi keluarga akan mempengaruhi sumber daya orang tua yang diberikan terhadap anak dan kualitas anak (Woodhouse 1999). Jumlah anak akan mempengaruhi pembagian pendapatan orang tua untuk anak. Menurut Behrman, Pollak, dan Taubman (1988) diacu dalam Taubman (1996), peningkatan jumlah anak akan cenderung menurunkan pendapatan orang tua dan biasanya anak dihadapkan pada perbedaan alokasi uang. Pengeluaran orang tua dengan satu anak memiliki persentase yang lebih besar yaitu sekitar 25 persen, sedangkan untuk orang tua yang memiliki tiga anak atau lebih memberikan alokasi pengeluaran yang lebih sedikit yaitu sekitar 22 persen untuk masing-masing anak. Selain itu, biaya tahunan yang dikeluarkan untuk anak secara umum meningkat sesuai dengan bertambahnya umur anak (Lino 2009). Status sekolah anak juga berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Anak yang bersekolah di sekolah swasta memiliki

(9)

alokasi pengeluaran pendidikan yang lebih besar dari pada anak yang sekolah di sekolah negeri (Suryawati 2002).

Hasil penelitian Hartoyo (1998) di Agam (Sumatera Utara) dan Wonogiri (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga, jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah dan kelompok suku memiliki hubungan yang signifikan dengan pengeluaran perkapita untuk pendidikan. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih besar akan memiliki alokasi pengeluaran perkapita pendidikan yang lebih kecil. Jumlah anggota keluarga memiliki hubungan positif dengan alokasi pengeluaran perkapita pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan telah dirasa penting oleh sebagian keluarga. Keluarga mungkin mengorbankan biaya lain seperti biaya pangan untuk menutupi biaya pendidikan

Jumlah pekerja dalam keluarga akan memberikan kontribusi berbeda terhadap alokasi pengeluaran. Menurut Lino (2009), di Amerika, keluarga dengan orang tua ganda (suami dan istri) memiliki alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak sebesar 31 persen untuk keluarga dengan pendapatan rendah dan sebanyak 45 persen dan 56 persen untuk keluarga dengan pendapatan sedang dan tinggi. Orang tua tunggal memiliki pengeluaran untuk pendidikan anak adalah sebesar 34 persen dan 44 persen untuk keluarga dengan pendapatan rendah dan tinggi. Pengeluaran untuk perawatan kesehatan berada pada rentang 16-25 persen untuk keluarga dengan dua anak pada keluarga pada orang tua ganda dan sebesar 24-33 persen untuk keluarga dengan dua anak pada keluarga orang tua tunggal. Secara umum, pengeluaran untuk perawatan kesehatan akan meningkat sesuai dengan umur anak dan tidak terlalu berbeda untuk setiap tingkat pendapatan.

Pendapatan juga mempengaruhi investasi dan kesejahteraan psikologi ibu. Kesejahteraan psikologi ibu akan mempengaruhi perilaku ibu terhadap anak dan berhubungan dengan perilaku bermasalah anak. Menurut hasil penelitian Yeung, Linver, dan Brooks-Gunn (2002), tingkat dan stabilitas pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang jelas terhadap fungsi keluarga dan kesejahteraan anak. Selain pendapatan, keluarga dapat memanfaatkan aset yang dimiliki untuk membantu pemenuhan kebutuhan anggotanya. Aset merupakan segala sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga dan dapat diturunkan kepada anak. Aset dapat berupa uang tunai, tabungan, mobil, perhiasan, dll. Menurut Becker dan Tomes (2006), keluarga miskin akan lebih sulit memberikan

(10)

invetasi berupa uang untuk anak karena pinjaman yang digunakan untuk menambah kekurangan sumber daya tidak selalu tersedia.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sumber Daya Manusia

Kualitas sumber daya manusia yang baik merupakan output dari investasi sumber daya manusia yang dilakukan orang tua sejak dini terhadap anak. Berbagai penelitian mengenai kualitas sumber daya manusia telah dilakukan sebelumnya. Penelitian Muflikhati (2010) yang dilakukan di wilayah pesisir menunjukkan bahwa wilayah, mata pencaharian, besar keluarga, dan pendidikan istri berpengaruh terhadap kualitas sumber daya keluarga. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan dipengaruhi oleh strata, kondisi, jumlah anggota keluarga yang bekerja, jumlah anak bersekolah, dan jenjang pendidikan anak yang sekolah (Zuraidah 1999).

Hasil penelitian Hartoyo (1998) di Agam (Sumatera Utara) dan Wonogiri (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga, pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah, dan kelompok suku berpengaruh terhadap pengeluaran uang untuk anak (pangan, pendidikan, dan kesehatan

).

Pendapatan dan pendidikan ayah berpengaruh terhadap besarnya alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak (Permatasari 2010). Sementara itu, hasil penelitian Suryawati (2002) mengenai alokasi pengeluaran uang untuk anak pada keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (pendidikan istri, pendidikan suami, besar keluarga, jumlah anak usia sekolah, pendapatan keluarga, struktur keluarga, etnik dan status bekerja istri) akan mempengaruhi pengeluaran pendidikan untuk anak.

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta merujuk Jalan Kyai Tapa dengan NJOP pada tahun pembelian 2014 sebesar Rp 20,7 juta per meter persegi.. Lokasi RS Sumber Waras berada di Jalan

yang budiman terhadap anak-anak didik mereka , sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangi anak- anak mereka sendiri , kurniakanlah kepada mereka kesabaran , ketabahan ,

Sebaliknya, pada semua kasus kematian maternal, kecuali murni disebabkan oleh PPS, cenderung tidak terjadi keterlambatan sampai di tempat rujukan terakhir.. Hal ini

"M!! bertu'uan untuk mengetahui peningkatan pembela'aran matematika dan sains yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. "M!! dilakukan dalam rangka

Jenis penelitian desain didefinisikan sebagai analisis sistematis, desentralisasi dan evaluasi intervensi pendidikan dengan tujuan ganda untuk menghasilkan solusi

Program Penanggulangan Kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, dunia usaha, serta masyarakat untuk

Hal ini bertujuan menunjukan latar, objek, serta berbagai tindakan, ekspresi maupun kegiatan yang menggambarkan tindakan penolakan dan penerimaan terhadap penyandang

Yayasan Penggerak Linux Indonesia (YPLI) bekerja sama dengan UNESCO dan komunitas Linux lainnya telah mengembangkan BlankOn Linux 1.0 ini menjadi sistem operasi yang lengkap