Jan-Feb 2015 | www.indonesianchoral.net | 11 10 | www.indonesianchoral.net | Jan-Feb 2015
Mengenal Komponis Muda Indonesia: Ken Steven
Ditulis oleh Agastya Rama ListyaKEN STEVEN
Introduksi
Artikel ini ditulis berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Agastya Rama Listya selaku penulis terhadap Ken Steven. Figur Ken Steven dipilih mengingat usianya yang relatif belia namun telah mengibarkan namanya bukan hanya di panggung paduan suara Indonesia, namun juga Singapura dan Filipina. Diharapkan dengan mengenal Ken Steven terutama melalui kegigihan, kerja keras dan prestasi yang telah dicapainya dalam bermusik, dapat menginspirasi dan memotivasi para generasi muda Indonesia lainnya yang ingin terjun ke dunia paduan suara.
Perkenalan dengan Musik
Ken Steven (21 tahun) lahir di Binjai, Sumatera Utara. Belajar vokal dan komposisi musik di bawah bimbingan Daud Kosasih. Ketertarikannya terhadap dunia paduan suara mulai bersemi
semenjak bergabung di Methodist-2 Chamber Choir yang diasuh oleh Daud Kosasih. Ken sebenarnya telah mulai belajar musik sejak usia tigabelas tahun. Drum merupakan instrumen musik yang pertamakali ditekuninya. Ia memilih drum karena tidak mendapat dukungan dari keluarga untuk mempelajari piano. Setelah satu tahun menekuni drum dan gagal mengikuti ujian kenaikan tingkat, sang penguji menasehatinya untuk berhenti berlatih karena dianggap tidak berbakat. Ken
kemudian beralih ke instrumen biola karena termotivasi oleh kakak dan adiknya yang mempelajari instrumen tersebut. Di kelas satu SMP ia
mempelajari instrumen saksofon dan luit dan sempat menikmati pengalaman bermain di acara-acara pernikahan.
Ken bukanlah berasal dari keluarga pemusik. Menjadi seorang musisi sebenarnya tidak pernah terlintas dalam benaknya. Sewaktu duduk di bangku SMA, Ken yang pernah menjuarai Olimpiade Sains tingkat kota dan propinsi, bercita-cita menjadi seorang sarjana teknik perminyakan. Namun perkenalannya dengan paduan suara telah
mengubah total jalan hidupnya. Musik baginya ibarat candu yang semakin dinikmati dan diresapi akan membuat seseorang ketagihan. Ken menyadari bahwa menjadi musisi merupakan sebuah profesi yang menyenangkan karena musisi melakukan dan menikmati apa yang disukainya. Keputusan Ken menjadi musisi hanyalah didukung oleh ibunda tercinta. Namun itu sudah cukup baginya.
Ken yang menyadari bahwa bakat bermusiknya perlu dikembangkan dan dipupuk lebih lanjut melalui pendidikan formal, kemudian memutuskan untuk menempuh studi musik di Asian Institute for Liturgy and Music (AILM) Filipina. Setelah lolos ujian seleksi masuk, Ken ditawari beasiswa dari sekolah tersebut dengan persyaratan harus mampu mempertahankan prestasi akademik dan meningkatkan
performanya selama menekuni studi di sekolah tersebut.
Saat ini Ken tengah menyelesaikan studi musik dalam bidang direksi
paduan suara dan komposisi. Beberapa guru yang mengasah pengetahuannya dalam bidang komposisi diantaranya adalah alm. Fransisco Feliciano, Ralph Hoffman, dan Eudenice Palaruan. Sementara dalam bidang direksi paduan suara Ken berguru pada Arwin Tan, Sharon Abesamis, Joel Aquino, dan Christopher Borela.
Berbeda dengan sekolah/
konservatori musik pada umumnya yang besar dan mewah, sebaliknya AILM merupakan institusi musik yang sangat sederhana dengan fasilitas yang minim. Namun di balik kesederhanaan fasilitas isik tersebut, AILM bergelimang para pengajar yang memiliki reputasi yang besar dan mengagumkan baik di Filipina maupun kancah musik dunia.
Figur Musisi yang Berpengaruh
Figur musisi yang sangat mempengaruhi keputusan Ken dalam bermusik adalah Daud Kosasih. Kontribusi Daud Kosasih sangatlah signiikan karena beliaulah yang mengenali bakat bermusik Ken Steven. Bagi Ken, Daud adalah seorang guru yang sejati karena beliau bukan hanya membimbing dan memberikan banyak
kesempatan bermusik, namun Daud adalah seorang musisi yang inspiratif.
Selain banyak belajar dari Daud Kosasih, pengetahuan dan pengalaman bermusik Ken terbentuk dari para gurunya di AILM. Dari dalam negeri Ken menimba ilmu dengan mempelajari karya musik para komponis lokal seperti:
Agastya Rama Listya, Agustinus Bambang Jusana, Avip Priatna, Budi Susanto Yohanes, Budi Utomo Prabowo, Christian Isaac Tamaela, Indra Listiyanto, Ivan Yohan, Poedji Soesila, dan Wahyu Purnomo. Sumber inspirasi untuk karya musiknya juga datang dari karya komponis mancanegara seperti: Eric Whitacre, Gyorgy Orban, Javier Busto, John Rutter, Krysztof Penderecki, Ola Gjeilo, Paul Mealor, dan Stephen Leek.
Karya Musik Koral Ken Steven
Karya-karya musik koral Ken Steven merepresentasikan kepribadian sang komponis yang bersifat emosional, sensitif, liar, jenaka, ramai, dan terkadang susah untuk ditebak. Ken menganggap bahwa semua karyanya unik karena merupakan buah karya yang digubahnya sendiri. Ia mengakui bahwa sejauh ini belum ada seorangpun yang mengulas dan membahas karya-karyanya.
Salah satu karya Ken Steven yang berjudul “Kawayan” (Bambu) terpilih pada tahun 2013 untuk ditampilkan oleh The Philippine Madrigal Singers dalam konser bertajuk “Premier”. Konser yang bertempat di Cultural Centre of the Philippine (CCP) ini menyajikan karya-karya terbaru para komponis dari seluruh penjuru dunia. Pada tahun 2014 karya Ken lainnya berjudul “Mutu Manikam Indonesia” (sebuah medley lagu-lagu daerah Indonesia yang diaransemen untuk tiga paduan suara campuran) ditampilkan secara perdana dalam acara Gala Concert 3rd Bali International Choir Festival 2014. Karya yang diabah oleh Andre de Quadros ini melibatkan lebih dari duaratus orang penyanyi serta tenor Indonesia, Christopher Abimanyu
Pesan Singkat Bagi Para Musisi Koral Indonesia
Kejujuran menjadi kunci dalam bermusik. Kejujuran yang dimaksud adalah keberanian untuk mengakui bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui dan pahami. Kejujuran menuntun kita untuk mencari jawaban terhadap ketidaktahuan melalui bertanya dan belajar.
Ken juga menambahkan bahwa selain kejujuran, seorang musisi dituntut untuk mau berbagi pengetahuan dengan musisi lainnya. Di dalam berbagi kita akan menemukan sesuatu yang baru.
Kebanggaan Ken sebagai seorang komponis terletak pada bagaimana seorang pengabah berhasil dalam menginterpretasikan karya musiknya. Ia justru sangat menghargai
seorang pengabah yang berhasil menginterpretasikan pesan yang terselip dalam karyanya walaupun terkadang jauh menyimpang dari instruksi yang dituliskannya. Momen seperti inilah yang seringkali
dinantikannya dan menjadi saat-saat yang membanggakan dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang komponis.
Menutup tulisan ini, Ken berharap bahwa paduan suara di Indonesia dapat saling menghargai, melengkapi, mendukung, dan membangun untuk mewujudkan kemajuan dan perkembangan paduan suara Indonesia yang lebih baik, sehat dan berkualitas. Viva la musica!