• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATANPOLANHARJO KABUPATEN KLATEN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATANPOLANHARJO KABUPATEN KLATEN."

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

i

STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PADA MASA PENSIUN YANG

BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATAN POLANHARJO KABUPATEN KLATEN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Diyah Kurniasih NIM 07104244050

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

(Terjemah dari QS. Al-Insyirah : 5-6)

Kalau usaha kita gagal lalu kita tetap berusaha, tidak berarti kegagalan di sini artinya nol tanpa balasan tetapi biasanya kegagalan itulah yang menjadi alasan Tuhan untuk mendatangkan

balasan lain yang baik atau yang lebih baik (petuah bijak). (AN. Ubaedy, 2009: 52)

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

1. Ibu, ibu, ibu,bapak dan adikku terimakasih atas do’a, kasih sayang dan dukungan yang diberikan selama ini.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Fakultas Ilmu pendidikan, khususnya Bimbingan dan Konseling. Agama, Nusa dan Bangsa.

(7)

vii

STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATANPOLANHARJO

Penelitian ini bertujua untuk mengidentifikasi: a) tingkat stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, b) sumber stress lansia pensiunan pegaawai negeri sipil (PNS) di Kecamaatan Polanharjo Kabupaten Klaten, c) strategi coping lansia pensiunan pegaawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah menggunakan simple random sampling yamg ditentukan dengan menggunakan Nomogram Harry King, dengan kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan 5%, maka diketahui sampel dalam penelitian ini sebanyak 243 orangdari 700 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah skala dan tes kepribadian, sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data statistik kuantitatif deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 4 orang tidak mengalami stres. Stres lansia pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo mayoritas berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 180 orang (75,31,0%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada diri-sendiri sebanyak 61 orang (25,10%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada keluarga sebanyak 102 orang (41,98%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada masyakarat/lingkungan sebanyak 54 orang (22,22%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada diri sendiri dan masyakarat/lingkungan sebanyak 9 orang (3,70%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada keluarga dan masyakarat/lingkungan sebanyak 10 orang (4,12%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada diri sendiri, keluarga dan masyakarat/lingkungan sebanyak 3 orang (1,23%). Kecenderungan strategi coping pada pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo paling dominan berorientasi pada tugas sebesar 50,20%, sedangkan sisanya berorientasi pada ego sebesar49,8% .

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Allhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kemudahan atas segala hal, sehingga skripsi yang berjudul “Stres Dan Strategi Koping Lansia Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten” telah dapat penulis selesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dukungan moril maupun materiil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang telah memberikan izin dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan izin dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Suwarjo, M.Si. dan Ibu Kartika Nur Fathiyah, M.Si. Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan wawasan, ilmu dan pengalamannya.

(9)

ix

Terima kasih untuk adikku Hafizan Kurniawan yang telah memberikan semangat.

6. Bapak Agus Salim kepala Camat Polanharjo yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kecamatan Polanharjo .

7. Teman-teman yang selalu ada selama ini dari semester awal sampai akhir Nope,Vina, Rian, Wahyu, Widi, Mia,Agis, Edys terima kasih telah membantu dalam penyelesaian skripsi dan selalu disamping saya memberikan semangat. 8. Teman-teman mahasiswa BK angkatan 2007 kelas NR/B, yang telah

memberikan motivasi dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung maupun tidak langsung ikut memberikan bantuan tenaga dan pikiran sehingga terselesainya skripsi ini.

Terima kasih atas bantuan yang diberikan semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan menjadi amal baik dan imbalan pahala dari Allah SWT, Semoga skripsi ini dapat berguna bagi peneliti selanjutnya dan menjadi inspirasi bagi pembaca. Amin.

Yogyakarta, Januari 2012 Penyusun

(10)

x

4. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping ……….……… 26

C. Lanjut Usia ………….………... 28

1. Pengertian Lansia ...……… 28

2. Klasifikasi Lansia ...……… 29

(11)

xi

4. Perubahan pada Lansia ……… ………….……….. 35

5. Tugas Perkembangan Lansia …….. ………... 38

D. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ………...……….. 40

1. Pengertian Pensiun PNS…. …..………... 40

2. Batas Pensiun PNS .. ………... 40

3. Fase Penyesuaian Diri pada Saat Pensiun ………... 42

4. Dampak Pensiun ……….. ……...…….…………... 44

2. Karakteristik Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten ……… 64 3. Deskripsi Big Five Personality Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo….………….………... 69 4.Deskripsi Stres Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ………... 70

a.Tingkat Stres Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……….. 70

b.Sumber Stres Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……….. 73

5.Strategi Coping Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……….. 77

B. Pembahasan ………... 80

1. Stres Lansia Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo …………. 80

2. Strategi Coping Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……… 84

(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kelompok Penduduk Lansia di Kecamatan Polanharjo …… 7

Tabel 2. Kisi-kisi Skala Stres dan Sumber Stres ………... 55

Tabel 3. Kisi-kisi Skala Strategi Coping ……....……… 56

Tabel 4. Kisi-kisi Tes The Big Five Personality ……… 57

Tabel 5. Tingkat Keterandalan Instrument Penelitian ……….. 60

Tabel 6. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Umur ………. 65

Tabel 7. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Golongan ……….... 65

Tabel 8. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 66

Tabel 9. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Status Perkawinan ……… 67

Tabel 10. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Pensiunan ……… 67

Tabel 11. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Gaji ……… 68

Tabel 12. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 69

Tabel 13. Distribusi Kecenderungan big five personality ……….. 70

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Data Stres ……… 71

Tabel 15. Distribusi Data Kecenderungan Stres ………. 72

Tabel 16. Sumber Stres Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo … 74 Tabel 17. Stres Bersumber pada Diri-Sendiri Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ……… 74

Tabel 18. Stres Bersumber pada Keluarga Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ……… 75

Tabel 9. Stres Bersumber pada Masyarakat/ Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 75

Tabel 20. Stres Bersumber pada Diri-Sendiri dan Masyarakat/Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 76

Tabel 21. Stres Bersumber pada Keluarga dan Masyarakat/Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 76

Tabel 22. Stres Bersumber pada Diri-Sendiri, Keluarga dan Masyarakat/Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 77

Tabel 23. Distribusi Frekuensi Data Strategi coping ……… 78

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Permohonan Menjadi Responden ………. 92

Lampiran 2. Kuesioner Stres dan Strategi Coping Lansia …………. 93

Lampiran 3. Kepribadian Lansia (Big Five Personality) ………. 95

Lampiran 4. Skala Stres ………... 97

Lampiran 5. Skala Strategi Coping ……...……….. 98

Lampiran 6. Hasil uji coba instrumen ……….. 99

Lampiran 7. Data Karakteristik Responden ………... 103

Lampiran 8. Hasil SPSS karakteristik responden ……… 113

Lampiran 9. Rumus Kategorisasi Big Five Personality …….…….. 116

Lampiran 10. Data Big Five Personality …. ……….…… 124

Lampiran 11. Hasil kategori Big Five Personality ………... 127

Lampiran 12. Hasil SPSS Big Five Personality ……….... 131

Lampiran 13. Hasil Uji Deskriptif …...…………..……… 132

Lampiran 14. Perhitungan Kelas Interval Lampiran 15. 1. Stres Pensiunan PNS ………... 133

Lampiran 16. 2. Strategi Coping Pensiunan PNS ……….. 134

Lampiran 17. Rumus Kategorisasi Stres ……….. ………. 135

Lampiran 18. Data Stres…...……….. 137

Lampiran 19. Hasil Kategori Stres ……… 142

Lampiran 20. Data Sumber Stres ………... 147

Lampiran 21. Hasil SPSS Stres dan Sumber Stres ……… 154

Lampiran 22. Hasi Kategorisasi Stres ……… 156

Lampiran 23. Hasil SPSS Strategi Coping 166 Lampiran 24. Surat Ijin Penelitian Fakultas Ilmu Pendidikan ………... 167

Lampiran 25. Surat Ijin Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ……….. 168 Lampiran 26. Surat Ijin Pemerintah Kabupaten Klaten ………. 170 Lampiran 27. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian Di Kecamatan

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Lanjut usia (lansia) merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan bagi setiap orang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang membatasi lanjut usia sebagai penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa batasan lanjut usia adalah penduduk laki-laki dan wanita yang berusia 60 tahun ke atas (Sri Iswanti Mahmudi, 2000: 47).

Menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) proporsi lanjut usia di Indonesia mencapai 6,9% atau sekitar 11,5 juta jiwa dari total populasi. Selanjutnya, pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut usia di Indonesia akan meningkat tiga kali lipat yaitu 30,1 juta jiwa dari total populasi yang mencapai kurang lebih 262 juta jiwa (Astuti Yuni Nursasi dan Poppy Fitriyani, 2002: 60). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa setiap tahun penduduk di Indonesia yang memasuki masa lansia semakin banyak.

(16)

2

terjadi walaupun tidak selalu sama pada semua orang seperti mudah lupa. Dengan semakin bertambahnya usia menyebabkan lansia semakin berkurang aktivitas sosialnya, selain itu semakin berkurangnya penghasilan. Selanjutnya perubahan fisik pada lansia meliputi perubahan pada kerangka tulang dan berkurangnya sensitivitas semua organ pengindraan.

Dengan berubahnya berbagai aspek pada lansia mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap lansia. Selama ini ada masyarakat yang berpandangan negatif tentang masa lansia. mereka berpandangan bahwa semua orang tua akan menjadi pikun, keberadaan lansia menjadi beban dalam keluarga, lemah kemampuan fisiknya dan lansia merupakan sosok manusia yang tidak produktif (dalam Sri Iswanti Mahmudi, 2000: 49). Padahal sebetulnya bila dibina dan diwadahi merupakan kelompok yang produktif. Namun kebijakan dari berbagai instansi mengharuskan seseorang yang memasuki lansia untuk berhenti bekerja yang dikenal dengan istilah pensiun. Pensiun adalah suatu keadaan seseorang sudah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai (Departemen Pendidikan Nasional, 2002: 71). Dengan kata lain, masa pensiun dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dari situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan.

(17)

3

sudah terbina dengan rekan kerja serta yang paling vital adalah menghilangkan identitias seseorang yang sudah melekat begitu lama (Dwi Agustianto, 2011: 2). Miftah Thoha (2010: 93) juga mengemukakan bahwa banyak pegawai pensiunan (PNS) yang sesungguhnya merasa masih mampu bekerja, tetapi harus pensiun karena peraturan menetapkan demikian. Tidak heran masa pensiun ini menimbulkan masalah psikologis baru bagi individu yang menjalaninya, karena banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi masa pensiun.

Masa pensiun sering kali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa stres karena tidak tahu kehidupan macam apa yang dihadapi. Sebagaimana yang yang diungkapkan oleh Patmonowedo (dalam Lisda Asmida, 2011: 4) bahwa salah satu gangguan emosional yang dialami lansia akibat tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialami yaitu stres. Menurut Sunaryo (dalam Dwi Agustianto, 2011: 12) stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, dan ketegangan emosi. Sementara menurut Santdock (2003: 36) stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa stres dapat bersumber dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan.

(18)

4

stres. Pendapat tersebut juga tidak berbeda jauh dengan pendapat Dwi Agustianto (2011: 7) bahwa coping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.

Menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 9) ada dua jenis strategi coping dalam aspek psikososial yaitu reaksi yang berorientasi pada ego (ego oriented) dan reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented). Ego oriented meliputi: a) denial (menyangkal), b) projeksi (melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain), c) regresi (menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku), d) displacement (mengalihkan emosi pada orang atau benda), e) mencari dukungan sosial, f) reframing (mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menangani dan menerimanya), g) mencari dukungan spiritual, h) menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan. Sementara task oriented

(19)

5

Pada penelitian terdahulu Dwi Agustianto (2011: 1) melihat “Hubungan Stres dengan Coping Lansia pada Masa Pensiun Di RW 11 Komplek Mabad Rempoa Ciputat Timur Tangerang Selatan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan coping lansia pada masa pensiun. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik responden dengan coping lansia pada masa pensiun yaitu umur dan lamanya pensiun.

Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Erwinsyah Putra Surbakti (2008: 1) tentang “Stres dan Coping Lansia pada Masa Pensiun Di Kelurahan Pardomuan Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar” menunjukkan bahwa lansia tidak mengalami stres yang bersumber dari diri sendiri, keluarga, masyarakat lingkungan. Untuk coping yang digunakan lansia saat menghadapi pensiun yang berorientasi pada ego yaitu dengan menghilangkan kejenuhan pada masa pensiun dengan mencari kegiatan sesuai hobinya (61,5%). Keseluruhan respoden jika mempunyai masalah akan berdoa pada Tuhan dan tidak menyalahkan keluarga apabila terjadi masalah (100%). Kemudian yang berorientasi pada tugas yaitu apabila menghadapi masalah responden akan mengalihkannya dengan merokok (58,9%). Jika responden berselisih paham dengan orang lain maka akan mengalah atau pergi meninggalkannya (94,8%). Jika responden marah maka tidak akan berteriak-teriak serta menghancurkan barang-barang sekitarnya (97,4%). Sementara responden akan menyendiri jika menghadapi masalah banyak (87,1%).

(20)

6

sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Agustianto (2011:55) menggunakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini hanya berfokus pada pensiunan yang berstatus PNS, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Erwinsyah Putra Surbakti (2008:3) pensiunan yang berstatus PNS maupun pegawai swasta (non PNS). Dan dalam penelitian peneliti mengungkap sumber stress lansia sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Erwinsyah Putra Surbakti tidak mengungkap sumber-sumber stres. Peneliti memilih berfokus pada pensiunan PNS dikarenakan beberapa hal yaitu: batas usia pensiun PNS pada umur 56 tahun, sedangkan batas usia pensiun pegawai swasta tergantung peraturan perusahaan. Hal ini membuat pegawai swasta lebih bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi masa pensiun. Selanjutnya potret pegawai swasta memiliki etos kerja dan profesionalitas di atas PNS, sehingga pensiun pegawai swasta lebih bisa menyesuaikan diri dalam menghadapi masa pensiun dengan bekerja atau berbisnis. Sementara pensiunan PNS lebih mengandalkan uang pensiun bulanan, sehingga kurang memiliki keinginan untuk mencari penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh (Akhyar Effendi dkk, 2011: 36) bahwa:

(21)

7

Demikian pula dengan pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo. Bapak Agus Salim selaku kepala Camat Polanharjo pada wawancara pada tanggal 8 Maret 2012 mengungkapkan bahwa “setahu saya rata-rata PNS disini jarang yang bekerja lagi mbak, apalagi berbisnis. Kebanyakan sih menikmati masa tua di rumah dan kegiatan-kegiatan sosial atau masjid, kalaupun berbisnis bisa dihitung pakai jari mbak, paling juga buka warung kecil-kecilan untuk mengisi waktu luang saja”. Berdasarkan pendapat tersebut, hal ini berarti pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo sebagian hanya mengandalkan uang pensiunan bulanan. Mengenai kelompok penduduk lanjut usia di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten adalah sebagai beriku :

Tabel 1. Kelompok Penduduk Lansia Di Kecamatan Polanharjo

No Kelompok Umur Lansia

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-laki Perempuan

1 60-64 985 1.151 2.136

2 65 + 2.263 2.671 4.934

Total 3.248 3.822 7.070

(Sumber: Data BPS Klaten, 2011)

Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok penduduk lansia di Kecamatan Polanharjo sebanyak 7.070 jiwa yang terdiri dari 3.248 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 3.822 jiwa berjenis kelamin perempuan. Hal ini berarti jumlah kelompok penduduk lansia di Kecamatan Polanharjo cukup signifikan.

(22)

8

Republik Indonesia). Kegiatannya meliputi arisan dan baksos, kemudian untuk perkumpulannya dilaksanakan setiap tanggal 4.

Selain itu peneliti melakukan wawancara terhadap 4 orang pensiunan PNS pada tanggal 6 Maret 2012 di Kecamatan Polanharjo kabupaten Klaten yang terdiri dari pensiunan guru, dosen dan pegawai negeri sipil dari dinas PU. Berdasarkan hasil wawancara tersebut ternyata 3 orang diantaranya mengaku belum menerima keadaan pensiun karena merasa kehilangan peran dan identitas yang dimiliki semasa pra pensiun. Dari 3 orang tersebut ada juga yang mengatakan tidak memiliki pekerjaan lain setelah pensiun padahal masih memiliki tanggungan anak yang masih sekolah atau kuliah sehingga muncul perasaan tidak berguna lagi bagi keluarga bahkan sering mengalami stres. Sementara 1 orang dari 4 orang yang diwawancara mengaku sudah menerima bahwa dirinya sudah pensiun karena anak-anaknya sudah menikah sehingga sudah tidak memiliki tanggungan lagi. Selain itu sudah memiliki kegiatan lain seperti bertani dan bercocok tanam di sawah, sehingga dapat mengisi waktu luangnya.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masa pensiun adalah situasi yang menjadi stressor bagi lansia dan seringkali dianggap hal yang tidak menyenangkan. Apabila stressor tersebut tidak dapat teratasi, maka lansia akan mengalami hal yang lebih buruk seperti depresi.

(23)

9 B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dapat didentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Sebagian masyarakat berpandangan negatif tentang masa lansia karena lansia dianggap manusia yang tidak produktif.

2. Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah bagi individu jika tidak siap menghadapinya.

3. Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo sebagian hanya mengandalkan uang pensiunan bulanan, padahal masih memiliki tanggungan keluarga.

4. Sebagian lansia pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo merasa stres saat memasuki masa pensiun.

C.Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini dibatasi pada stres dan strategi coping pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

D.Rumusan Masalah

Dari batasan yang ada dapat diambil rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana tingkat stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polangarjo Kabupaten Klaten ?

(24)

10

3. Bagaimanakah strategi coping yang digunakan lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten?

E.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

2. Untuk mengetahui sumber stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

3. Untuk mengetahui strategi coping yang digunakan lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan khususnya pada ruang lingkup psikologi pendidikan dan bimbingan tentang kesehatan mental berkaitan dengan stres dan coping lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS).

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan pada penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi lansia

(25)

11

Hal ini dikarenakan kondisi stres yang tidak tertangani dengan baik dapat memicu berbagai penyakit pada lansia seperti tekanan darah tinggi, asma, pusing/sakit kepala, insomnia, depresi bahkan bunuh diri.

b. Bagi peneliti, sebagai pengalaman lapangan dalam menerapkan ilmu Bimbingan dan Konseling.

G.Batasan Istilah

1. Stres adalah reaksi lansia terhadap keadaan atau kejadian yang menimbulkan tekanan, perubahaan dan ketegangan emosi sebagai bentuk respon terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten. 2. Strategi coping adalah mekanisme yang dilakukan lansia di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten untuk mengatasi perubahan atau beban dan tekanan yang dialami, baik yang berorientasi pada upaya-upaya penyelesaian masalah (tugas) maupun yang berorientasi pada aspek emosional (ego ).

3. Lansia adalah kelompok penduduk laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 60 tahun di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

(26)

12 BAB II KAJIAN TEORI

A.Stres

1. Pengertian Stres

Menurut Sunaryo (dalam Dwi Agustianto, 2011: 12) stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, dan ketegangan emosi. Sementara menurut Dadang Hawari (2001: 25) stres adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Selanjutnya Sandrock (2003: 39) mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah reaksi individu terhadap keadaan atau kejadian yang menimbulkan tekanan, perubahaan dan ketegangan emosi.

2. Sumber Stres

Sumber stres dapat berubah-ubah, sejalan dengan perkembangan manusia tetapi kondisi stres juga dapat terjadi di setiap saat sepanjang kehidupan. Menurut Bart Smet (dalam Yeniar Indriana,dkk, 2010: 89) sumber-sumber stres adalah sebagai berikut:

a. Dari dalam diri

(27)

13 b. Di dalam keluarga

Stres dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga. Ada beberapa stresor dalam keluarga yaitu perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam menentukan tujuan, kebisingan karena suara radio, televisi atau tape yang dinyalakan dengan suara keras sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak dan kehadiran adik baru. Stresor lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.

c. Di dalam komunitas/lingkungan

Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres, misalnya pengalaman stres anak di sekolah. Sedangkan beberapa pengalaman stres orang tua bersumber dari lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan yang lain adalah lingkungan fisik seperti kebisingan dan suhu. Selanjutnya menurut Siswanto (2007: 51) stressor (sesuatu yang menyebabkan stres) dapat berasal dari berbagai hal yaitu:

a. Lingkungan Fisik

(28)

14

cenderung lebih mudah meledak dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diarea yang kurang padat.

b. Kelompok

Stressor yang lain berasal dari kelompok seperti: berhubungan dengan teman, hubungan dengan atasan dan hubungan dengan bawahan.

c. Keorganisasian

Stresor yang bersumber dari keorganisasian seperti kebijakan yang diambil perusahaan, struktur organisasi yang tidak sesuai dan partisipasi anggota yang rendah.

d. Individu Sendiri

Konflik yang berhubungan dengan peran dan tuntutan tanggung jawab yang dirasakan berat bisa membuat seseorang menjadi tegang. Stressor yang sama bisa berakibat berbeda pada individu yang berbeda karena adanya perbedaan tanggapan antar individu (individual differences) yang meliputi tingkat usia, jenis kelamin, pendidikan, kesehatan fisik, kepribadian, harga diri dan lain-lain.

1) Tingkat Usia

Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa biasanya lebih mampu mengontrol sres dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut. Dengan kata lain, orang dewasa biasanya mempunyai toleransi terhadap stressor yang lebih baik.

2) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan juga mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, toleransi dan pengontrolan terhadap stresor biasanya lebih baik.

3) Tingkat Kesehatan

(29)

15 4) Faktor Kepribadian

Faktor kepribadian mempengaruhi mudah tidaknya seseorang terkena stres. Orang tipe A cenderung akan lebih mudah terkena penyakit jantung dari pada berkepribadian tipe B. Harga diri yang rendah juga cenderung membuat efek stres lebih tinggi dibanding orang yang mempunyai harga diri yang tinggi.

Kemudian menurut Hidayat (2004: 45) sumber stres terdiri dari tiga aspek yaitu sebagai berikut:

a. Diri Sendiri

Sumber stres dari dalam diri sendiri umumnya konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan yang berbeda, dalam hal ini adalah berbagai masalah yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu di atasi, maka akan dapat menimbulkan stres.

b. Keluarga

Stres bersumber dari masalah keluarga ditandai dengan adanya perselisihan antara keluarga, masalah keuangan serta adanya tujuan yang berbeda di antara keluarga.

c. Masyarakat dan Lingkungan

Sumber stres ini dapat terjadi di masyarakat dan lingkungan seperti lingkungan pekerjaan, kurangnya hubungan interpersonal serta kurang adanya pengakuan di masyarakat, sehingga tidak berkembang.

(30)

16 3. Faktor Yang Mempengaruhi Stres

Suliswati (2005: 56) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi stres yaitu pengaruh genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini. Pengaruh genetik merupakan keadaan kehidupan seseorang yang diperoleh dari keturunan, seperti riwaya kondisi psikologis, fisik keluarga dan temperamen. Pengalaman masa lalu adalah kejadian-kejadian yang menghasilkan suatu pola pembelajaran yang dapat mempengaruhi respon penyesuaian individu, termasuk pengalaman sebelumnya terhadap tekanan stres tersebut atau tekanan lainnya. Selanjutnya untuk kondisi saat ini meliputi faktor kerentanan yang mempengaruhi kesiapan fisik, psikologis dan sumber-sumber sosial individu untuk menghadapi tuntutan penyesuain diri.

Selanjutnya menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 14) faktor yang mempengaruhi stres yaitu faktor biologi, psikologis dan sosiokultural. untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

a. Faktor biologi, misalnya latar belakang genetik yang merupakan keadaan kehidupan yang diperoleh dari keturunan, hal ini berarti apabila ada salah satu anggota keluarga yang mengalami kondisi stres maka ada kemungkinan keturunannya juga mengalami stres.

b. Faktor psikologis, misalnya: kepribadian, seseorang yang memiliki kepribadian yang labil maka akan cenderung mudah stres.

(31)

17

Pendapat tersebut juga senada dengan yang dikemukakan oleh Yeniar Indriana , dkk 2010: 90) bahwa faktor yang mempengaruhi stres meliputi 3 hal yaitu biologis, psikologis, dan sosial. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

a. Faktor biologis

Misalnya kekurangan makan dapat menimbulkan stres karena makan merupakan kebutuhan pokok manusia, biasanya orang yang kelaparan menjadi lebih sensitif dan mudah stres.

b. Faktor psikologis

Misalnyakehilangan sesuatu yang berharga seperti kehilangan anak, suami/istri atau orang tua dapat menimbulkan stres.

c. Faktor sosial

Misalnya perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik, maka dapat menimbulkan stres.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi stres meliputi: a) faktor biologis, b) faktor psikologis, c) faktor sosial.

4. Tanda dan Gejala Stres

Menurut Cox (dalam Siswanto, 2007: 56) tanda dan gejala stres terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:

a. Gejala subjektif (dirasakan secara pribadi) meliputi: kegelisahan, agresi, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan, kekecewaaan, kehilangan kesabaran, harga diri rendah, perasaan terpencil.

b. Gejala perilaku (yang mudah dilihat karena berbentuk perilaku-perilaku tertentu), meliputi mudah terkena kecelakaan, penyalahgunaan obat, peledakan emosi, berperilaku implisif, tertawa gelisah.

(32)

18

d. Gejala fisiologis ( yang berhubungan dengan fungsi atau kerja alat-alat tubuh), yaitu tingkat gula darah meningkat, denyut jantung/tekanan darah naik, mulut menjadi kering, berkeringat, pupil mata membesar, sebentar-sebentar panas dan dingin.

e. Gejala keorganisasian (tampak dalam tempat kerja), meliputi absen, produktifitas rendah, mengsingkan diri dari teman sekerja, ketidak puasan kerja, menurunnya keterikatan dan loyalitas terhadap organisasi.

(33)

19

Tanda dan gejala stres menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 14) diantaranya sebagai berikut:

a. Gejala Perilaku, seperti mondar-mandir, gelisah, mengigit kuku, mengerak-gerakkan anggota badan atau jari-jari, perubahan pola makan, merokok, minum minuman keras, menangis, berteriak, mengumpat, bahkan melempar barang atau memukul.

b. Gelaja mental, seperti berkurangnya konsentrasi dan daya ingat, ragu-ragu, bingung, pikiran penuh atau kosong, kehilangan rasa humor. c. Gejala emosi, seperti cemas (pada berbagai situasi), depresi, putus asa,

mudah marah, ketakutan, frustasi, tiba-tiba menangis, fobia, rendah diri, merasa tak berdaya, menarik diri dari pergaulan dan menghindari kegiatan yang sebelumnya disenangi.

d. Gelaja fisik, seperti merasa lelah, insomnia, nyeri kepala, otot kaku dan tegang, gemetar, wajah terasa panas, berkeringat dan sebagainya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tanda dan gejala stres meliputi gejala fisik, mental (kognitif), emosi (subjektif), perilaku dan keorganisasian.

5. Tingkatan Stres

Tingkatan stres sebagaimana yang dikemukakan oleh Potter (dalam Dwi Agustianto, 2011: 15) terbagi menjadi tiga yaitu:

a. Stres ringan, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, situasi ini biasanya berlangsung berapa menit atau jam dan belum berpengaruh kepada fisik dan mental hanya saja mulai sedikit tegang dan was-was. b. Stres sedang, apabila berlangsung lebih lama seperti mulai kesulitasn tidur,

sering menyendiri dan tegang.

c. Stres berat, apabila situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun. pada keadaan stres ini individu mulai ada gangguan fisik dan mental.

(34)

20 a. Stres ringan

Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

b. Stres sedang

Pada stres tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya. c. Stres berat

Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan.

Tingkat stres menurut Stuart Laraia (dalam Dwi Agustianto,2011:19) ada tiga macam tingkatan stres yaitu :

a. Stres ringan berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.

b. Stres sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal-hal yang penting.

(35)

21

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkatan stres terbagi menjadi tiga yaitu stres ringan, stres sedang dan stres berat.

B.Coping

1. Pengertian Coping

Coping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah pengatasan/penanggulangan (to cope with berarti mengatasi atau menanggulangi). Coping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan atau luka atau kehilangan atau ancaman. Dengan kata lain coping adalah bagaimana reaksi orang ketika mengalami tekanan/stres (Siswanto, 2007: 60).

Menurut Mu’tadin (2002: 41) coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Sementara Dwi Agustianto (2011: 7) mengemukakan bahwa coping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.

(36)

22 2. Sumber Coping

Menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 9) sumber coping sangat banyak, meliputi:

a. Aset ekonomi, artinya semakin rendah aset ekonomi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi tingkat stres yang dialami seseorang. b. Kemampuan dan ketrampilan, artinya seseorang yang tidak memiliki

kemampuan dan ketrampilan yang memadai lebih cenderung mudah stres karena merasa tidak mampu melakukan pekerjaan.

c. Teknik defensif (teknik pertahanan), artinya seseorang yang memiliki teknik defensif cenderung lebih bisa menghadapi masalah dengan baik, sehingga tidak mudah stres.

d. Dukungan sosial, artinya jika seseorang menghadapi masalah yang berat kemudian mendapatkan dukungan sosial seperti keluarga, kerabat atau teman cenderung mampu menghadapi stres dengan lebih baik.

e. Kesehatan, artinya dalam menghadapi permasalahan dibutuhkan kesehatan yang baik.

f. Dukungan spritual, artinya seseorang yang mendekatkan diri dengan Tuhan, cenderung lebih tenang dalam menghadapi masalah, sehingga dapat menekan rasa stres.

g. Keyakinan positif, artinya seseorang yang memiliki keyakinan yang positif cenderung dapat berpikir lebih jernih, sehingga tidak mudah stres.

(37)

23

i. Motivasi, artinya seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi cenderung memiliki keinginan untuk menyelesaikan permasalahan sehingga dapat menekan stres.

Selanjutnya Hidayat (2004: 48) mengemukakan bahwa individu dapat mengatasi stres dengan menggerakkan sumber coping di lingkungan yaitu: aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan individu, teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial dan dorongan motivasi. Pendapat tersebut juga tidak berbeda dengan pendapat Rasmun (2001: 38) yang mengidentifikasikan lima sumber coping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu, ekonomi, keterampilan dan kemampuan, tehnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber coping adalah aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan individu, teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial, dukungan spritual, kesehatan dan dorongan motivasi.

3. Strategi Coping

(38)

24

konflik dan memenuhi kebutuhan, sedangkan reaksi yang berorientasi pada ego sering kali digunakan untuk melindungi diri sendiri.

Selanjutnya menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 9) ada dua jenis strategi coping dalam aspek psikososial yaitu reaksi yang berorientasi pada ego (ego oriented) dan reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented). Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

a. Reaksi yang berorientasi pada ego (ego oriented), hal ini mencakup:

1) Denial (menyangkal), menghindari realitas ketidaksetujuan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengenalinya. Contohnya lansia yang merasa tidak pantas untuk pensiun.

2) Projeksi, mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri para orang lain. Contohnya ketika menghadapi masalah cenderung menyalahkan keluarga atau orang lain.

3) Regresi, menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan yang lebih awal. Contohnya mengisi waktu luang dengan kegiatan yang sesuai dengan hobi.

4) Displacement, mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak membahayakan. Contohnya berteriak-teriak atau menghancurkan barang yang ada disekitarnya tanpa melukai orang lain.

(39)

25

6) Reframing, mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menanganinya dan menerimanya. Contohnya intropeksi diri atau meminta nasehat. 7) Mencari dukungan spiritual, mencari dan berusaha secara spritual.

Contohnya berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah.

8) Menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan. Contohnya keluarga berusaha mencari seumber-sumber komunitas dan menerima bantuan orang lain seperti meminta bantuan tetangga atau saudara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

b. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented)

1) Perilaku agresif, dimana reaksi yang ditampilkan oleh individu dalam menghadapi masalah dapat konstruktif atau destruktif. Tindakan konstruktif yaitu tindakan yang dilakukan secara terus terang tentang ketidaksukaan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan baginya, contohnya marah secara lansung atau berdebat.Sementara tindakan destruktif yaitu individu melakukan tindakan penyerangan terhadap stressor dapat juga merugikan dirinya sendiri, orang lain atau lingkungannya, contohnya menghadapi masalah dengan merokok atau mabuk.

(40)

26

Sedangkan reaksi psikologis contohnya perilaku apatis, isolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan berlebihan.

3) Perilaku kompromi, yaitu cara yang konstruktif yang digunakan oleh individu dimana menyelesaikan masalahnya individu tersebut melakukan pendekatan negosiasi atau bermusyawarah. Contohnya bermusyawarah saat menghadapi permasalahan dengan orang lain.

Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Kozier (2004: 62) bahwa strategi coping dibedakan menjadi dua tipe menurut yaitu:

a. Strategi coping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Misalnya negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat.

b. Strategi coping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distres emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa strategi coping terbagi menjadi dua yaitu berorientasi pada aspek emosional (ego) dan berorientasi pada upaya-upaya penyelesaian masalah (tugas).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Coping

Menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi agustianto, 2011: 11) bahwa faktor yang mempengaruhi strategi coping yaitu sebagai berikut:

(41)

27

Saat lansia memasuki masa pensiun, maka akan berdampak pada berkurangnya penghasilan, hal ini dapat menimbulkan stres sehingga aset materi dapat meningkatkan strategi coping dalam menghadapi stres tersebut karena dengan aset materi, seseorang dapat memenuhi kebutuhan dengan lebih baik.

b. Kesehatan fisik, merupakan hal yang penting karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk dapat mengerahkan tenaga yang cukup besar.

c. Ketrampilan sosial, meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat mendukung strategi coping dalam menghadapi stres. d. Keyakinan atau pandangan positif, keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib yang mengarahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan menurunkan kemampuan strategi coping.

e. Ketrampilan memecahkan masalah, meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. Dengan ketrampilan memecahkan masalah ini, maka stres dapat teratasi dengan baik.

(42)

28

keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dengan dukungan sosial ini dapat mengurangi stres pada lansia.

Mu’tadin (2002: 43) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi strategi coping meliputi kesehatan fisik/energi, ketrampilan memecahkan masalah, ketrampilan sosial, dukungan sosial dan materi. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Rasmun (2001: 45) yang mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi strategi coping meliputi: ekonomi, keterampilan dan kemampuan, dukungan sosial dan motivasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi strategi coping meliputi: a) kesehatan fisik/energi, b) ketrampilan memecahkan masalah, c) ketrampilan sosial, d) dukungan sosial, e) materi, f) keyakinan atau pandangan positif.

C.Lanjut Usia (Lansia) 1. Pengertian Lansia

Masa lanjut usia sering juga disebut masa dewasa akhir atau masa tua atau masa kematangan akhir. Penuaan adalah normal dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai keseluruhan sistem (Mickey, 2006: 68).

(43)

29

usia adalah penduduk laki-laki dan wanita yang berusia 60 tahun ke atas (Sri Iswanti Mahmudi, 2000: 47). Dengan demikian lansia adalah kelompok penduduk laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 60 tahun.

2. Klasifikasi Lansia

Menurut Departemen Kesehatan (dalam Maryam, 2008: 6) klasifikasi lansia meliputi:

a. Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. b. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Sementara menurut WHO klasifikasi lansia menjadi 4 yaitu sebagai berikut:

a. Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok 45-59 tahun. b. Usia lanjut (elderly age) yaitu kelompok usia 60-74 tahun. c. Usia lanjut usia (old) yaitu kelompok usia 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.

Selanjutnya menurut Azis (dalam Erwinsyah Putra Surbakti, 2008: 26) lansia dibagi menjadi tiga kelompok yakni kelompok lansia dini (55-64 tahun) yang merupakan kelompok baru memasuki lansia, kelompok lansia (65 tahun ke atas) dan kelompok lansia resiko tinggi (lansia yang berusia lebih dari 70 tahun).

(44)

30 3. Tipe Lansia

Menurut Nugroho (2000: 108) tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental sosial dan sosial ekonominya, tipe tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman.

c. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan, sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkriti dan banyak menuntut.

d. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib, mengikuti agama dan melakukan pekerjaan apa saja.

e. Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.

Kemudian Humam Syaharuddin (2012: 15) mengemukakan bahwa tipe kepribadian lansia sebagai berikut:

a. Kepribadian Integrated

(45)

31

hidup yang tinggi. Kepribadian integrated ini digolongkan menjadi 3 berdasarkan pada tingkat aktifitasnya, yakni :

1) Pola Reorganizer ( Tipe A) yaitulansia integrated yg memiliki aktifitas tinggi, sering disebut optimum agers. Bila lansia terputus dengan aktifitas lama, maka lansia akan mencari aktifitas baru yang menyebabkan lansia merasa lebih bermakna misalnya dalam aktifitas sosial.

2) Pola Focused (Tipe B)yaitu lansia integrated yang memiliki kepuasan hidup tinggi, tetapi beberapa peran saja, misalnya sebagai orang tua, sebagainenek/kakek, berkebun, memelihara ayam, dll.

3) Pola Disangaged (tipe C) yaitu lansia integrated yang memiliki kepuasan hidup tinggi, namun aktifitas rendah. Lansia dengan suka rela melepaskan diri dari tanggung jawabnya. Lansia tetap merupakan golongan yang luas perhatiannya, terbuka menerima pendapat baru, namun mereka memilih sikap hidup santai dalam menjalani usia lanjut. b. Kepribadian Armored atau Defended.

Tipe ini dengan ambisi tinggi, motif berprestasi tinggi, masih menginginkan prestasi dan kedudukan dalam masyarakat, namun tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai, sehingga penuh defens terhadap kecemasan dan penuh kontrol terhadap kehidupan emosionalnya. Kepribadian Armored dibedakan menjadi 2 tipe, yakni :

(46)

32

atau sedang. Lansia berkeyakinan bahwa tetap beraktifitas adalah cara untuk melawan proses menjadi tua.

2) Pola Constricted (Tipe E), lansia ini sangat sibuk mempertahankan diri terhadap ketuaan dengan cara menghemat energi dan sangat membatasi hubungan sosial melalui penarikan diri dari keterlibatan dalam dunia sosial. Tipe ini memiliki aktivitas rendah dengan kepuasan sedang. Dengan demikian, kepribadian armored atau defended termasuk termasuk dalam strategi koping yang berorientasi pada tugas (masalah).

c. Kepribadian Pasive-Dependent. Kepribadian ini dibedakan menjadi

1) Pola Succorance-Seeking (Tipe F), tipe ini memiliki kebutuhan ketergantungan yang tinggi (High Dependensy Needs) dan mengalihkan tanggung jawab pada orang lain. Tipe ini memiliki aktifitas sedang dan kepuasan hidup sedang. Tipe ini ada dalam keadaan senang selama lansia dapat menggantungkan diri pada orang lain.

2) Pola Apathetic (Tipe G), tipe ini dicirikan dengan sikap pasif, aktifitas rendah dan kepuasan hidup rendah pula yang sering disebut dengan lansia Rocking Chair. Tipe ini mempunyai sikap pasif dan apatis, misalnyadalam sebuah wawancara seorang laki-laki menyuruh istrinya untuk menjawab semua pertanyaan yg ditujukan padanya.

d. Kepribadian Unintegrated.

(47)

33

Selanjutnya Boedhi dan Darmojo (2009: 7) ada 5 tipe lansia yaitu sebagai berikut:

a. Tipe konstruktif

Tipe ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humoristik, fleksibel (luwes) dan tahu diri. Biasanya sifat-sifat ini dibawanya sejak muda. Tipe ini dapat menerima fakta-fakta proses menua, mengalami masa pensiun dengan tenang juga dalam menghadapi masa akhir.

b. Tipe ketergantungan (dependent)

Tipe lansia ini masih dapat diterima di tengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai inisiatif dan bertindak tidak praktis. Biasanya tipe lansia seperti ini dikuasai istrinya. Tipe ini senang mengalami pensiun, bahkan biasanya banyak makan dan minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur.

c. Tipe defensif

Tipe ini dahulu biasanya mempunyai pekerjaan/jabatan tapi tak stabil, tidak tetap, bersifat selalu menolak bantuan, seringkali emosinya tak dapat dikontrol, memegang teguh pada kebiasaannya.

d. Tipe bermusuhan (hostility)

(48)

34

e. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri (selfhaters)

Tipe ini bersifat kritis terhadap diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri, tak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi. Biasanya mempunyai perkawinan yang tak bahagia, mempunyai sedikit “hobi”, merasa menjadi korban dari keadaan, namun tipe ini menerima fakta pada proses menua, tidak iri hati pada yang berusia muda, merasa sudah cukup mempunyai apa yang ada. Tipe ini menganggap kematian sebagai suatu kejadian yang membebaskannya dari penderitaan.

Menurut John, Costa dan Mc Crae (dalam Hasma Nurhayati, 2010: 33) untuk mengidentifikasi kepribadian individu dapat dilakukan dengan menggunakan tes big five personality. Ada 5 tipe kepribadian menurut dalam

big five personality, yaitu:

1) Extroversion, yaitu orang dengan tipe cenderung semangat, antusias, dominan, ramah, dan komunikatif. Orang sebaliknya akan cenderung pemalu, tidak percaya diri, dan pendiam.

2) Agreeableness, yaitu orang dengan tipe cenderung ramah, kooperatif, mudah percaya dan hangat. Orang sebaliknya akan cenderung dingin, konfrontatif, dan kejam.

3) Conscientiousness, yaitu orang dengan tipe cenderung berhati-hati, dapat diandalkan, teratur, dan bertanggung jawab. Orang sebaliknya akan cenderung ceroboh, berantakan, dan tidak dapat diandalkan.

4) Neuroticism, yaitu orang dengan tipe cenderung gugup, sensitif, tegang, dan mudah cemas. Orang sebaliknya akan cenderung tenang dan santai. 5) Openness, yaitu orang dengan tipe cenderung terlihat imajinatif,

menyenangkan, kreatif, dan artistik. Orang sebaliknya akan cenderung dangkal, membosankan, dan sederhana.

(49)

35 4. Perubahan Pada Lansia

Menurut Sri Iswanti Mahmudi (2000: 54) perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:

a. Kondisi fisik

Perubahan fisik ini terdiri dari perubahan anatomik yang menyebabkan kemunduran fisiologik (fungsi) alat yang bersangkutan, meliputi:

1) Perubahan pada kerangka tubuh, sehingga tulang menjadi keras dan mudah patah.

2) Sistem syaraf pusat berkurang yang mengakibatkan menurunnya kecepatan belajar dan menginggat, sehingga lanjut usia mudah lupa. 3) Organ-organ bagian dalam seperti jantung, hati, ginjal, paru-paru,

limpa akan berkurang fungsinya.

4) Kulit akan kehilangan elastisitasnya, sehingga menjadi kering dan keriput, menyebabkan lanjut usia tidak tahan panas dan dingin.

5) Penurunan alat-alat indra, karena semua organ penginderaan akan kehilangan sensitivitas dan efisiensinya.

b. Kondisi Kognitif

Penurunan intelegensi pada lanjut usia tetap terjadi walaupun tidak selalu sama pada setiap orang. Penurunan intelegensi ini akan menyebabkan lanjut usia mudah lupa terutama pada kejadian-kejadian yang baru, namun untuk peristiwa-peristiwa masa lalu terutama yang berkesan akan tetap teringat. c. Kondisi emosi

Secara umum terdapat hubungan antara penurunan kondisi dalam aspek fisik, kognitif dan aspek lain pada aspek emosi, antara lain :

1) Depresi dan disorganisasi.

2) Perasaan rendah diri dan kecil hati.

(50)

36 d. Kondisi Minat

Pada lanjut usia minat lebih tertuju pada diri sendiri, sehingga lanjut usia cenderung menjadi lebih egosentris, dan senang membesar-besarkan penyakit yang dideritannya untuk menarik perhatian.

e. Kondisi sosial

Semakin bertambah usia menyebabkan lanjut usia semakin berkurang aktifitas sosialnnya, hal ini lazim diistilahkan sebagai lepas dari kegiatan kemasyarakatan atau social disagegement.

f. Kondisi ekonomi

Di lihat dari kemunduran fisik, lanjut usia sudah berkurang kemampuannya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang banyak melibatkan kekuatan fisik. Seiring dengan datangnya masa tersebut, maka penghasilan juga akan mengalami penurunan.

g. Kondisi keagamaan

Lanjut usia menaruh minat pada masalah kematian. Ketertarikan akan agama pada lanjut usia sering dipusatkan pada masalah kematian pada usia tersebut. Oleh karena itu, agar lanjut usia memiliki kesiapan untuk menghadapi kematian, maka lanjut usia perlu diberi kesempatan mempersiapakan diri untuk mencapai tujuan atau makna hidup.

Sementara Mubarak (2006: 15) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi:

a. Perubahan-perubahan fisik

(51)

37 b. Perubahan-perubahan psikososial

Meliputi: pensiun, merasakan atau sadat akan kematian, ekonomi melemah atau menurun akibat pemberhentian dari jabatan, meningkatnya biaya hidup, bertambahnya biaya pengobatan.

c. Perubahan kondisi mental

Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi.

d. Perubahan kognitif

Perubahan pada fungsi kognitif diantaranya adalah kemunduran terutama pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas memerlukan memori jangka pendek atau seketika (0-10 menit).

e. Perubahan spritual

Pada lansia agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.

(52)

38

bahkan bisa jadi nihil yang menyebabkan lansia menjadi tergantung atau mengantungkan diri pada orang lain seperti anak atau keluarga yang lain. Kemunduran dari segi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan atau posisi tertentu dalam sebuah organisasi atau masyarakat, yang telah menempatkan dirinya sebagi individu dengan status terhormat, dihargai, memiliki pengaruh, dan didengarkan pendapatnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi: aspek kondisi fisik, kognitif, emosi, minat, sosial, ekonomi dan keagamaan.

5. Tugas Perkembangan Lansia

Pada masa lanjut usia mempunyai tugas pengembangan yang harus di lakukan oleh para lanjut usia. Menurut Melly (dalam Sri Iswanti Mahmudi, 2000: 69) tugas pengembangan tersebut sebagai berikut :

a. Menyesuaikan diri pada keadaan menurunnya kemampuan atau kekuatan fisik dan kesehatan.

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan. c. Menyesuaikan diri dengan meninggalnya pasangan hidup.

d. Membangun hubungan aktif dengan salah satu kelompok sosial yang sesuai dengan umurnya.

e. Berusaha menemukan dan memberikan bantuan sosial sebagai warga negara.

(53)

39

Selanjutnya Erickson (dalam Maryam, 2008: 14) menjelaskan tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut:

a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun. b. Mempersiapkan diri untuk pensiun.

c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya. d. Mempersiapkan kehidupan baru.

e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai.

f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.

Kemudian Humam Syaharuddin (2012: 18) mengemukakan bahwa tugas perkembangan lansia meliputi:

a. Ego Differentiation

Pada umumnya masa ini individu telah memasuki masa pensiun, maka tugas yang penting pada masa ini adalah individu mampu membuat penilaian dan mendefinisikan kembali harga dirinya dari sudut yang lebih luas daripada hanya penilaian berdasarkan peran kerja.

b. Body Trancendence

Pada masa lansia, banyak sekali terjadi penurunan fisik sehingga rentan terhadap penyakit, oleh karena itu lansia harus menemukan sistem nilai baru dibalik penurunan fisik dengan meningkatkan hubungan sosial, misalnya dengan keluarga.

c. Ego Trancendence

(54)

40

bersikap pasif, tetapi diharapkan tetap aktif melibatkan diri dalam hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan setelah kematian, misal hidup dengan bermurah hati, tidak mementingkan diri sendiri, tekun beribadah dan beramal.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa lansia mempunyai tugas pengembangan yang harus dilakukan agar dapat melewati masa lansia dengan baik.

D.Pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Pengertian Pensiun PNS

Pensiun adalah suatu keadaan seseorang sudah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai (Departemen Pendidikan Nasional, 2002: 70). Menurut Simamora (2004: 64) pensiun (retirement) adalah pemisahan diri oleh karyawan tua dari organisasi. Sementara Erwinsyah Putra Surbakti (2008: 37) mengemukakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana individu tersebut telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian PNS pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa pegawai negeri sipil yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pensiun PNS adalah suatu keadaan/kondisi dimana individu telah berhenti bekerja karena mencapai batas usia pensiun dan masa tugasnya telah selesai. 2. Batas Pensiun PNS

(55)

41

eselon II ke atas ada pengecualian, yaitu dapat diperpanjang 2 kali 2 tahun apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PP No. 32 Tahun 1979 . PP No. 13 Tahun 2002.

Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian PNS pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa batas usia pensiun adalah 56 tahun. Kemudian pada pasal 4 dijelaskan lebih lanjut batas usia pensiun PNS dapat diperpanjang dengan perincian sebagai berikut:

a. 65 tahun bagi PNS yang memangku jabatan:

1) Ahli Peneliti dan Peneliti yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian;

2) Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;

3) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden; b. 60 tahun bagi PNSyang memangku jabatan :

1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung;

2) Jaksa Agung;

3) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 4) Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;

5) Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen;

6) Eselon I dalam jabatan strukturil yang tidak termasuk dalam angka 2, 3 dan 4.

(56)

42

8) Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya;

9) Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

10) Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

11) Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama;

12) Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Dasar; 13. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;

c. 58 tahun bagi PNS yang memangku jabatan : 1) Hakim pada Mahkamah Pelayaran; 2) Hakim pada Pengadilan Tinggi; 3) Hakim pada Pengadilan Negeri;

4) Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding; 5) Hakim Agama pada Pengadilan Agama;

6) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden

Berdasarkan uraian peraturan Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian PNS dapat disimpulkan bahwa batas usia pensiun adalah 56 tahun.

3. Fase Penyesuaian Diri Pada Saat Pensiun

Menurut Agustina (2008: 2) penyesuaian diri pada saat pensiun merupakan saat yang sulit, dan terdapat tiga fase proses pensiun yaitu a)

(57)

43

end of retirement (fase pasca masa pensiun). Pendapat tersebut juga sama dengan pendapat Rika Eliana (dalam Dwi Agustianto, 2011: 22) yang mengemukakan bahwa terdapat tiga fase proses pensiun sebagai berikut:

a. Fase pra pensiun (pretirement phase)

Fase ini dibagi 2 bagian yaitu remote dan near. Pada remote phase

biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapatkan pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang tersebut mulai mendekati masa pensiun, sedangkan near phase biasanya orang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik.

b. Fase Pensiun (Retirement phase)

Pada fase ini terbagi menjadi 4 yaitu honeymoon phase, disenchatment phase, reorientation phase, dan stability phase. Honeymoon (bulan madu) adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas, biasanya muai mencari kegiatan pengganti seperti mengembangkan hobi. Kegiatan ini tergantung pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan situasi keluarga. Orang yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya hidupnya tidak bertumpu pada pekerjaan biasanya akan mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan kegiatan lain yang juga menyenangkan. Fase selanjutnya

disenchatment phase, pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk beberapa orang pada fase in ada rasa kehilangan baik kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan tertentu. Selanjutnya setelah fase ini pensiunan akan memasuki

(58)

44

pandangan yang lebih realistik mengenai alternatif hidup. Setelah mencapai fase ini, para pensiunan akan masuk pada stability phase yaitu fase dimana mereka mula mengembangkan suatu set kriteria mengenai pemilihan aktivitas, dimana mereka merasa dapat hidup tentram dengan pilihannya. c. Fase pasca masa pensiun (end of retirement)

Fase ini ditandai dengan adanya penyakit yang mulai menggeroti seseorang, ketidakmampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa fase penyesuaian pada masa pensiun meliputi: a) fase pra pensiun (pretirement phase) yang terbagi remote dan near phase, b) fase pensiun (Retirement phase) yang terbagi honeymoon phase, disenchatment phase, reorientation phase, dan

stability phase, c) fase pasca masa pensiun (end of retirement).

4. Dampak Pensiun

Menurut Simamora (2004: 68)Pekerjaan seseorang tentunya akan memberikan perasaan identitas pribadi, tempat ditengah masyarakat, peluang untuk meraih kekuasaan, prestise dan pemenuhan pengakuan diri serta ego lainnya. Dengan perencanaan dan sumber daya keuangan yang memadai, tentunya pensiun menjadi pengalaman positif bagi orang-orang yang mengalaminnya.

(59)

45

dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (purna tugas), maka akan lansia akan mengalami kehilangan-kehilangan antara lain:

a. Kehilangan finansial (income berkurang) b. Kehilangan status

c. Kehilangan teman/kenalan atau relasi d. Kehilangan pekerjaan atau kegiatan

Sementara menurut Turner dan Helms (dalam Dwi Agustianto, 2011: 23) dampak pensiun meliputi:

a. Masalah keuangan

Pendapatan keluarga akan menurun drastis, hal ini akan mempengaruhi kegiatan rumah tangga. Masa ini akan lebih sulit jika masih ada anak-anak yang harus dibiayai. Hal ini menimbulkan stres tersendiri bagi seorang suami karena merasa bahwa perannya sebagai kepala keluarga tertantang. b. Berkurangnya harga diri (self esteem)

Harga diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya dari pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, pensiunan harus ada aktivitas pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh feeling of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan mampu) dan feeling of worthwhile (perasaan berharga).

c. Berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan

Gambar

Tabel 1. Kelompok Penduduk Lansia Di Kecamatan Polanharjo
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 2. Kisi-kisi Skala Stres dan Sumber Stres
Tabel 3. Kisi-Kisi Skala Strategi Coping
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan dari pengertian-pengertian yang telah dijelaskan di atas bahwa organizational citizenship behavior adalah perilaku yang ditampilkan oleh pegawai yang tidak

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan suatu tekanan yang dirasakan oleh seseorang yang berasal dari interaksi antara individu

Autis adalah suatu gangguan perkembangan neuropsychistri dimana anak mengalami kesulitan berkomunikasi. Pada anak autis sering ditemukan masalah tindakan agresif yang

Dengan berdasar latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “PENGARUH MOTIVASI KERJA, KEPEMIMPINAN, DAN BUDAYA ORGANISASI

Bapak Susatyo Yuwono, S.Psi, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, sekaligus selaku penguji penulis yang telah berkenan memberi

tindakan dari Aparatur Sipil N~gara, dimana sebagai Pegawai Negeri Sipil memang harns memperlihatkan sebuah prestasi kerja lebih menonjolkan kepada prestasi kerja bukan hanya

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang sifatnya memberikan gambaran yang jelas berkenaan dengan masalah yang

Alat ukur yang digunakan berupa skala semangat kerja yang disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Carlaw, Deming dan Friedman (2003) melalui ciri individu