PENGORGANISASIAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN KONSERVASI SUB DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) DI DESA SAWAHAN KECAMATAN WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos)
Oleh: Dyah Ayu Pitaloka
B72213057
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN KONSERVASI SUB DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) DI DESA SAWAHAN KECAMATAN WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
(S.Sos)
Oleh:
Dyah Ayu Pitaloka B72213057
Dosen Pengampu:
Achmad Murtafi Haris, Lc, M.Fil. I 197003042007011056
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
ABSTRAK
Dyah Ayu Pitaloka, B72213057, (2017): PENGORGANISASIAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN KONSERVASI SUB DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) DI DESA SAWAHAN KECAMATAN WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
Penelitian pendampingan ini menggambarkan realitas kehidupan masyarakat yang bertempat tinggal di tepi sub daerah aliran sungai, khususnya di Desa Sawahan Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Latar belakang permasalahan yang ada adalah terus meningkatnya kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai yang meresahkan masyarakat di Desa Sawahan. Tujuan pendampingan ini adalah untuk mengetahui tingkat kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan, mengetahui strategi pengorganisasian masyarakat yang dapat dilakukan untuk melakukan konservasi ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan, dan mengetahui perubahan pasca pengorganisasian masyarakat dalam melakukan konservasi sub daerah aliran sungai Sawahan. Penelitian pendampingan ini dilakukan dengan metode PAR (Participatory Action Research). Metodologi ini mengutamakan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam setiap prosesnya.
Tingkat kerusakan ekosistem dapat dilihat dari banyaknya perilaku membuang sampah ke sungai yang dilakukan masyarakat Desa Sawahan. Upaya yang dilakukan untuk pendampingan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar sub daerah aliran sungai Sawahan adalah dengan melakukan kampanye untuk anak-anak di TPQ Masjid Maryam, memberikan pendidikan konservasi terhadap ibu-ibu jamaah yasin Kelompok Wanita Tani Al-Hidayah, pembentukan organisasi peduli lingkungan, dan melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah desa. Adanya kegiatan tersebut membawa perubahan di masyarakat, terbukti dengan semakin aktifnya diskusi-diskusi mengenai isu lingkungan dalam kelompok masyarakat, realisasi pembuatan lubang-lubang sampah, dan pembuatan papan bertuliskan himbauan pelarangan membuang sampah di sungai yang dibuat berdasarkan gagasan dan inisiatif masyarakat Desa Sawahan. Dalam proses pendampingan ini respon yang positif diberikan oleh masyarakat Desa Sawahan.
DAFTAR ISI
COVER DALAM ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR BAGAN ... xix
DAFTAR DIAGRAM ... xx
DAFTAR SINGKATAN ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
D. Manfaat Penelitian Untuk Pemberdayaan ... 9
E. Strategi Pemberdayaan ... 10
F. Sistematika Penelitian ... 18
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERKAIT ... 22
A. Kajian Teori ... 22
1. Ekologi, Manusia, Sungai, dan Konservasi ... 22
2. Memahami Konsep Pengorganisasian ... 40
3. Konservasi dalam Perspektif Islam ... 46
B. Penelitian Terkait ... 55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 59
A. Metode Penelitian untuk Pendampingan ... 59
1. Pendekatan Penelitian ... 59
2. Subjek Pendampingan ... 63
3. Prosedur Penelitian untuk Pendampingan ... 64
4. Teknik Pengumpulan Data ... 72
5. Teknik Validasi Data ... 75
6. Teknik Analisa Data ... 76
B. Analisa Stakeholders ... 79
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA SAWAHAN DAN EKOLOGI ... 83
A. Gambaran Umum Desa Sawahan ... 83
2. Kondisi Demografis ... 86
3. Kondisi Ekonomi ... 89
4. Keadaan Pendidikan ... 92
5. Kondisi Kesehatan ... 95
B. Profil KWT Al-Hidayah ... 97
BAB V MENELUSURI PROBLEM KERUSAKAN LINGKUNGAN SUB DAS DESA SAWAHAN ... 99
A. Rendahnya Kesadaran Masyarakat mengenai Konservasi Lingkungan ... 99
B. Tingginya Tingkat Kontribusi Sampah yang Mencemari Sungai ... .115
C. Tidak Adanya Advokasi Kebijakan Konservasi ... 124
BAB VI DINAMIKA PENGORGANISASIAN MASYARAKAT ... 127
A. Proses Pengorganisasian Jamaah Yasin KWT Al-Hidayah ... 127
1. Membangun Komunikasi dan Kepercayaan dengan Masyarakat ... 127
2. Membangun Tim Riset dan Riset Bersama Masyarakat ... 137
3. Merumuskan Fokus Masalah ... 139
4. Mendiskusikan Rencana Pemecahan Fokus Masalah ... 147
B. Menggerakkan Local Leader ... 150
2. Membangun Pusat-Pusat Belajar Masyarakat ... 152
BAB VII AKSI KONSERVASI MENGATASI KERUSAKAN LINGKUNGAN SUB DAS SAWAHAN ... 154
A. Proses Belajar Mengenai Konservasi ... 154
1. Belajar Mencintai Lingkungan Bersama Santri TPQ ... 154
a. Kampanye Konservasi Tahap 1 ... 156
b. Kampanye Konservasi Tahap 2 ... 159
c. Kampanye Konservasi Tahap 3 ... 161
d. Kampanye Konservasi Tahap 4 ... 164
2. Belajar Bersama Ibu-ibu Jamaah Yasin KWT Al-Hidayah ... 167
a. Pendidikan Konservasi Tahap 1 ... 168
b. Pendidikan Konservasi Tahap 2 ... 170
c. Pendidikan Konsevasi Tahap 3 ... 178
B. Pembentukan Organisasi Peduli Lingkungan ... 181
C. Advokasi Kebijakan Pada Pemerintah Desa ... 183
D. Evaluasi Program ... 184
BAB VIII SEBUAH CATATAN REFLEKSI ... 190
A. Refleksi Pengorganisasian ... 190
B. Nilai-Nilai Islam dalam Konservasi Lingkungan di Sub Daerah Aliran Sungai Sawahan ... 194
A. Simpulan ... 197
B. Rekomendasi ... 198
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Luas Lahan Kritis Kabupaten Trenggalek 2015 ... 7
Tabel 1.2 Strategi Pemecahan Problem ... 18
Tabel 2.1 Pengelolaan DAS sebagai Suatu Sistem Perencanaan ... 34
Tabel 2.2 Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Penelitian yang dilakukan ... 53
Tabel 3.1 Analisa Stakeholders ... 80
Tabel 4.1 Uraian Usia Penduduk ... 83
Tabel 5.1 Penyebab dan Besaran Deforestasi di Indonesia menurut Laporan Bank Dunia ... 100
Tabel 5.2 Ttrend and Change Lingkungan Desa Sawahan ... 108
Tabel 6.1 Hasil Transek Wilayah ... 140
Tabel 7.1 Transek Vegetasi ... 172
Tabel 7.2 Tanaman yang Terkumpul ... 180
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Erosi yang Terjadi pada Tebing Sungai Sawahan... 5
Gambar 4.1 Peta Desa Sawahan ... 83
Gambar 5.1 Peta Kontur Desa Sawahan ... 106
Gambar 5.2 Kondisi Sub Daerah Aliran Sungai Sawahan... 117
Gambar 5.3 Penimbangan Sampah Rumah Tangga... 119
Gambar 5.4 Aktivitas Mencuci Baju di Sungai ... 123
Gambar 6.1 Pemetaan Bersama Ketua RT... 128
Gambar 6.2 Pemetaan Wilayah Bersama Pemerintah Desa ... 133
Gambar 6.3 Sosok Mbah Kendi ... 135
Gambar 6.4 Berangkat Kegiatan Yasinan Bersama Ibu-Ibu KWT Al-Hidayah ... 136
Gambar 6.5 Suasana FGD Bersama Jamaah Yasin KWT Al-Hidayah ... 140
Gambar 6.6 Transek Wilayah Bersama Ibu-Ibu Jamaah Yasin Al-Hidayah ... 144
Gambar 7.1 Suasana Kampanye Konservasi Tahap 1 ... 157
Gambar 7.2 Suasana Kmpanye Konservasi Tahap 2 ... 159
Gambar 7.3 Upaya Fasilitator Membangun Kepercayaan Diri Peserta Kampanye 162 Gambar 7.4 Kegiatan Praktik Menanam ... 165
Gambar 7.5 Pemberian Identitas dan Kondisi Tanaman Pangan Santri ... 166
Gambar 7.6 Pendidikan Konservasi Bersama Jamaah Yasin KWT Al-Hidayah ... 168
Gambar 7.7 Pengumpulan Bibit Tanaman Konservasi ... 179
Gambar 7.9 Peneliti Melakukan Advokasi Informal dengang Kepala Dusun ... 183
Gambar 7.10 Suasana Kegiatan Musrenbangdes di Balai Desa ... 184
Gambar 7.11 Peneliti Mencoba Mengajak dan Menjemput Peserta Pendidikan
Konservasi ... 187
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Analisis Pohon Masalah Rusaknya Ekosisitem Sub DAS Sawahan ... 11
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 4.1 Perbandingan Usia Produktif dan Non Produktif ... 88
Diagram 4.2 Jenis Pekerjaan Warga Desa Sawahan ... 91
Diagram 4.3 Data Warga Desa Sawahan dalam Prosentase Pendidikan Usia Sekolah ... 93
Diagram 4.4 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sawahan ... 94
Diagram 4.5 Penyakit yang Sering Diderita Masyarakat Tepi Sungai ... 96
Diagram 5.1 Kepemilikan Tanaman Tepi Sungai ... 104
Diagram 5.2 Pengaruh dan Peran Pihak-Pihak di Desa Sawahan ... 113
DAFTAR SINGKATAN
IRBM : Integrated River Basin Management
FGD : Focus Group Discussion
KKP : Kantor Ketahanan Pangan
KWT : Kelompok Wanita Tani
PAR : Participatory Action Research
PRA : Partisipatory Rural Apprial
Sub DAS : Sub Daerah Aliran Sungai
TPA : Tempat Pembuangan Akhir
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Desa Sawahan, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek merupakan
sebuah desa yang terkenal sebagai kawasan wisata hutan durian. Luas hutan durian di
Kecamatan Watulimo mencapai 650 ha, yang mana sebagian besar wilayah hutan
durian berada di Desa Sawahan sehingga membuat desa ini ditetapkan sebagai
kawasan International Durio Forestry oleh Andi Amran Sulaiman, selaku Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tanggal 13 Mei 2016 lalu.1
Menindaklanjuti penetapan tersebut, POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata)
melakukan diskusi bersama BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah)
Provinsi Jawa Timur yang mana merupakan institusi pembentuk POKDARWIS,
maka disepakati untuk mengusung sungai sebagai destinasi andalan alternatif.
POKDARWIS mencoba menggunakan sungai yang mengalir dan melewati hutan
durian Desa Sawahan untuk memperkenalkan konsep wisata edukasi “back to nature”. Wisatawan yang berkunjung diharapkan dapat menikmati edukasi berkaitan
dengan proses penanaman, perawatan, dan pemanenan durian sambil menikmati
wisata air yang berupa petualangan arung jeram dengan sungai yang bersih dan
jernih.2
Pada kenyataannya wilayah sungai yang hendak disuguhkan sebagai destinasi
1 Informasi ini didapatkan dari hasil wawancara penulis dengan narasumber Unik winarsih (Ketua
POKDARWIS) pada Hari Senin, 31 Oktober 2016
2
wisata alternatif di Desa Sawahan belum dipersiapkan secara maksimal. Hal ini dapat
dilihat dari masih banyak ditemukannya sampah di sepanjang aliran Sungai
Sawahan.3 Sampah-sampah ini berasal dari limbah rumah tangga yang dibuang oleh
masyarakat ke sungai. Tidak hanya warga di sekitar daerah aliran sungai, namun
warga yang rumahnya jauh dari sungai pun ikut membuang sampah di daerah sekitar
aliran sungai. Warga yang membuang sampahnya langsung ke sungai sebagian besar
adalah masyarakat yang tidak memiliki pekarangan untuk membakar maupun
mengubur sampah mereka. Meskipun demikian, beberapa warga mengaku membuang
sampah di sungai karena dinilai lebih praktis, tidak memakan biaya, dan tempat.4 Masyarakat yang bertempat tinggal berdekatan dengan daerah aliran sungai
seringkali mengeluhkan bau yang ditimbulkan karena tidak semua sampah langsung
hanyut terbawa arus, beberapa masih tersangkut di daerah tepi sungai lalu lama
kelamaan menumpuk dengan jumlah lebih besar.5 Sampah yang seringkali ditemukan
di sepanjang aliran sungai berupa popok bayi dan bungkus-bungkus makanan instan,
serta limbah organik dari rumah tangga seperti sisa sayur, nasi, ikan, dan lain-lain.
Hal ini dibuktikan berdasarkan pengakuan POKDARWIS dan masyarakat yang
pernah melakukan kerja bakti di sepanjang aliran sungai pada Bulan Juli 2016 lalu.
3 Masyarakat Desa Sawahan biasa menyebut sungai ini sesuai dengan nama desa, namun beberapa
penduduk menyebut sungai sesuai dengan nama dusun yang dilewati
4 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Martinah (62 tahun) pada Hari Jumat, 02 Desember 2016
5 Berdasarkan hasil FGD bersama ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Al-Hidayah Desa Sawahan
3
Bahkan, hampir 3 karung popok dapat dikumpulkan di setiap 2 km aliran sungai.6 Sebelum bermuara ke laut, sampah-sampah tersebut melewati Desa Prigi dan
Desa Tasikmadu sebagai daerah hilir, biasanya setiap musim penghujan daerah ini
mendapatkan kiriman sampah dari hulu maupun tengah. Desa Prigi maupun Desa
Tasikmadu harus merasakan imbasnya. Seringkali mereka harus berjibaku dengan
banjir dan membersihkan sampah-sampah yang menyangkut di halaman rumah
mereka pasca banjir.
Melihat fenomena ini, sungai mulai dianggap tidak lagi memiliki peran penting
dalam kehidupan. Masyarakat seolah-olah telah lupa dengan kegiatan-kegiatan sosial,
ekonomi, maupun budaya yang dulu pernah muncul, lahir dan berkembang bersama
kelestarian sungai. Sungai hanya dijenguk ketika masyarakat membutuhkan ruang
untuk membuang limbah rumah tangga yang dihasilkan.
Permasalahan lain yang muncul adalah terjadinya erosi pada tebing-tebing
sungai di sepanjang aliran sungai RT 07,08,09,10,11, dan 12. Erosi adalah proses
penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang
berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan/perbuatan manusia.7 Akibatnya beberapa kawasan pemukiman di Desa Sawahan, khususnya yang terletak
di RT 07 dan RT 11 merupakan yang paling parah terkena dampak dari erosi sungai
tersebut. Sebanyak 27 rumah kini berstatus siaga sebab jarak antara rumah dan sungai
4
hanya berkisar antara 1-15 meter.8
Tidak hanya pemukiman yang terancam rusak dan hanyut, sektor ekonomi
masyarakat berupa pasar tradisional terletak pula di daerah tepi sungai. Jaraknya yang
hanya berkisar 3 meter dari sungai sangat beresiko terkena dampak penggerusan
tanah. Meskipun dilindungi benteng bronjong (benteng batu), namun benteng batu tersebut hanya menutupi area pasar yang memiliki luas 2 ha dengan 10 kios yang
berdiri secara semi permanen, sisi lain setelah pasar tidak terlindung sehingga tidak
dapat menjamin sektor ekonomi berupa pasar di Dusun Singgahan dapat bebas dari
bahaya erosi sungai.
Disamping itu, sektor keagamaan lebih khususnya prasarana keagamaan
masyarakat pun ikut terkena dampak erosi tebing sungai. Pasalnya, pada tahun 2015
erosi tebing sungai terbukti telah menghanyutkan masjid yang dibangun dengan
swadaya masyarakat. Setelah terjadinya peristiwa tersebut, masyarakat beramai-ramai
memindahkan masjid ke tempat yang sedikit lebih jauh dari tebing sungai. Meskipun
demikian, jarak sungai kian mendekat dan kini hanya berkisar 5 meter dari tempat
masjid didirikan.9
Penggunaan lahan untuk pemukiman yang melewati garis sempadan sungai
merupakan faktor yang memperparah terjadinya erosi tebing sungai. Minimnya
tanaman pengikat tanah atau vegetasi penutup lahan juga merupakan faktor
pendukung penyebab erosi tebing sungai, apalagi ketika musim hujan debit air sungai
8 Berdasarkan hasil wawancara dan angket yang dilakukan peneliti dengan penduduk tepi sungai
9 Informasi ini didapatkan dari hasil wawancara penulis dengan narasumber Yani (59 tahun) pada Hari
5
kian meningkat. Banjir bandang sering terjadi saat hujan deras. Banjir tidak berupa
air menggenang yang masuk ke rumah-rumah hingga lutut kaki orang dewasa
selayakya di perkotaan. Banjir bandang di Desa Sawahan berupa peningkatan deras
arus air sungai yang dapat menggerus tanah terutama tebing sub daerah aliran sungai
dengan cepat.
Gambar 1.1
Erosi yang Terjadi Pada Tebing Sungai Sawahan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Hal tersebut membuat masyarakat dirugikan, terutama apabila tanah tersebut
merupakan tanah pemajakan. Tanah yang tergerus dan hilang bersama derasnya aliran
sungai tetap dikenai kewajiban membayar pajak meskipun masyarakat tidak pernah
merasa menggunakan bidang tanah yang tergerus banjir dan erosi. Disamping itu,
erosi dan banjir membuat warga resah hingga bergiliran melakukan ronda malam
untuk mengantisipasi bahaya erosi atau banjir yang dapat sewaktu-waktu
menghanyutkan rumah warga yang posisinya sangat kritis, yakni terletak di tepi
6
Selain mengangkut materi yang kasar dan sampah, air banjir juga mengangkut
lumpur. Endapan lumpur ini dapat menutupi lahan pertanian, pemukiman, jalan-jalan,
dan bangunan irigasi. Dampak dari pengendapan lumpur ialah saluran menjadi
dangkal dan drainase menjadi buntu sehingga daerah banjir mempunyai
kecenderungan untuk meluas.10 Proses tersebut disebut dengan sedimentasi.
Masyarakat sendiri sebenarnya sudah menyadari akan pentingnya tanaman
pengikat tanah maupun vegetasi penutup lahan, namun karena tanaman pengikat
tanah yang diketahui adalah bambu yang mana sangat tidak praktis dan memakan
banyak tempat maka masyarakat mengabaikan fungsi penting vegetasi penutup lahan
dan pengikat tanah. Masyarakat memilih menanam tanaman produktif dengan akar
yang kurang kuat seperti pisang, salak, sawo, dan aneka jenis tanaman buah lainnya.11 Selain itu, karena sering terjadi erosi sungai hingga menghanyutkan banyak
pohon yang ditanam di sepanjang sub daerah aliran sungai menyebabkan masyarakat
pesimis mengenai kekuatan akar bambu untuk mengikat tanah.12 Erosi yang terjadi
menimbulkan kerusakan infrastruktur berupa jembatan yang putus karena
batang-batang pohon yang tersangkut tidak dapat melewati jembatan, didorong pula dengan
deras aliran air sungai. Jembatan yang rusak ikut hanyut dan terbawa arus sungai
pada tahun 1986 dan 1991.13
10 Hasil wawancara penulis dengan narasumber Yani (59 tahun) pada Hari Rabu, 16 November 2016.
11 Hasil wawancara penulis dengan narasumber Samijan (75 tahun) pada Hari Minggu, 06 November
2016 pukul 09.15 wib.
12 Hasil wawancara penulis dengan narasumber Suyati ( 57 tahun) pada Hari Jumat, 02 Desember 2016
pukul 11.02 wib.
13
7
Disamping menimbulkan kecemasan akan terjadinya tanah longsor dan banjir,
erosi juga menjadi permasalahan tersendiri apabila aliran sungai melewati
daerah-daerah dengan lahan kritis. Pembiaran tanpa tindakan lebih lanjut dalam
menanggulangi lahan kritis dapat memperparah terjadinya penggerusan tanah oleh
air. Area lahan kritis ini akan lebih mudah tererosi dan membawa endapan berupa
butiran-butiran tanah yang mempercepat pendangkalan sungai. Berikut disajikan luas
lahan kritis beberapa kecamatan di Kabupaten Trenggalek.
Tabel 1.1
Luas Lahan Kritis Kabupaten Trenggalek Tahun 2015
No. Kecamatan
Tahun 2015
Luas Wilayah
(ha)
Luas Lahan Kritis
Ha %
1 Bendungan 9.352 2.363 25,27
2 Dongko 12.733 5.921 46,50
3 Panggul 13.258 3.341 25,20
4 Pule 11.366 6.647 58,48
5 Suruh 4.597 2.514 54,69
6 Tugu 6.992 2.393 34,22
7 Watulimo 14.777 2.288 15,48
Jumlah 118.932 32.906 27,67
Sumber: Buku Pertanian Dalam Angka Kabupaten Trenggalek 2015
Dari data diatas dapat diketahui bahwa Kecamatan Watulimo memiliki luas
lahan kritis sebanyak15,48% dari keseluruhan luas wilayahnya. Pada tahun 2011, luas
8
mengalami kenaikan pada 2015, yakni sebesar 2.543 ha. Dari luasan tersebut sebesar
± 5678 ha termasuk kawasan dengan tingkat kerawanan longsor yang tinggi.14 Oleh
karena itu diperlukan upaya perbaikan lingkungan yang rusak dan sosialisasi kepada
masyarakat akan bahaya kerusakan lingkungan untuk meminimalisir dampak yang
ditimbulkan.
Masyarakat Desa Sawahan sangat bergantung pada hutan sebagai sumber mata
pencaharian utama. Buah durian sebagai komoditas utama, bambu sebagai bahan
pembuat reyeng (tempat ikan yang terbuat dari anyaman bambu), kayu, dan lain-lain berasal dari hutan. Kerusakan lingkungan berupa ditemukannya lahan kritis pada
beberapa titik dan erosi pada lahan hutan sekitar sub daerah aliran sungai apabila
tidak segera dilakukan pembenahan dapat meluas dan berdampak lebih hebat.
Maka perlu dilakukan rencana tindak lanjut dengan melakukan konservasi
lahan, terutama konservasi di sub daerah aliran sungai yang mana sudah sangat kritis
karena berkaitan dengan hilang dan tidak dapat diaksesnya sektor-sektor milik
masyarakat baik sektor ekonomi, sosial, maupun agama. Konservasi dilakukan
sebagai upaya penyadaran terhadap masyarakat dan penyelamatan ruang hidup
masyarakat dari ancaman kerusakan lingkungan. Konservasi dapat berarti
pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan
menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keragamannya.
14
9
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka muncul rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan di Desa
Sawahan?
2. Bagaimana strategi pengorganisasian masyarakat untuk melakukan konservasi
ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan di Desa Sawahan?
3. Bagaimana perubahan yang terjadi pasca pengorganisasian masyarakat untuk
melakukan konservasi sub daerah aliran sungai Sawahan di Desa Sawahan?
C.Tujuan Penelitian untuk Pemberdayaan
Sedangkan tujuan penelitian untuk pemberdayaan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan
di Desa Sawahan.
2. Untuk menemukan strategi pengorganisasian masyarakat dalam melakukan
konservasi ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan di Desa Sawahan.
3. Untuk mengetahui perubahan pasca pengorganisasian masyarakat dalam
melakukan konservasi sub daerah aliran sungai Sawahan di Desa Sawahan.
D.Manfaat Penelitian untuk Pemberdayaan
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dalam beberapa hal sebagai
berikut:
10
a. Sebagai tambahan referensi tentang pengetahuan yang berkaitan dengan
program studi Pengembangan Masyarakat Islam
b. Sebagai tugas akhir perkuliahan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi program
studi Pengembangan Masyarakat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya
2. Secara Praktis
a. Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi
sejenis
b. Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi
mengenai upaya pengorganisiran masyarakat dalam usaha konservasi melalui
komunitas lokal.
E.Strategi Pemberdayaan
Dalam usaha perbaikan ekosistem sub darah aliran sungai Sawahan di Desa
Sawahan, masyarakat merupakan subjek utama dengan memunculkan kesadaran
mengenai pentingnya penjagaan lingkungan. Pelibatan dan pendekatan masyarakat
secara partisipatif penting untuk membongakar budaya bisu di masyarakat mengenai
perubahan-perubahan yang terjadi diluar kehendak masyarakat.
Masyarakat yang berdaya harus mampu mengetahui dan menganalisis relasi
kuasa serta menemukan strategi-strategi alternatif untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya secara mandiri. Berikut ini adalah fokus penelitian dan pendampingan
yang digambarkan dalam analisis pohon masalah mengenai rusaknya ekositem sub
11
Bagan 1.1
Analisis Pohon Masalah Rusaknya Ekosistem Sub DAS Sawahan
Sumber: Diolah dari hasil FGD bersama jamaah yasin KWT Al-Hidayah Rusaknya Ekosistem Sub Daerah Aliran Sungai Sawahan
12
Dari hasil paparan pohon masalah diatas dapat diketahui bahwa inti masalah
yang sedang dihadapi oleh masyarakat Desa Sawahan adalah rusaknya ekosistem
lingkungan sub daerah aliran sungai sawahan. Permasalahan tersebut mempengaruhi
banyak sektor dalam kehidupan masyarakat. Dampak yang ditimbulkan karena
kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan adalah sebagai berikut:
1) Tingginya tingkat kejadian bencana alam.
Kerusakan ekosistem lingkungan sub daerah aliran sungai Sawahan dapat
memicu muncul dan meningkatnya kejadian bencana alam, hal tersebut disebabkan
karena pemanfaaatan sumber daya alam yang melebihi batas dan tidak terencana
dalam konsep keterpaduan. Kerusakan yang telah terjadi mengakibatkan kuantitas
(debit) air sungai menjadi fluktuatif apabila musim penghujan dan kemarau datang.
Fluktuasi yang terjadi bila musim penghujan tiba dapat menyebabkan bencana banjir
dan erosi tebing sungai yang tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan logsor
pula akibat gerusan air pada tanah tebing sungai. Sedangkan pada saat musim
kemarau dapat mengakibatkan kekeringan.
2) Terganggunya sektor sosial ekonomi masyarakat.
Kerentanan sektor sosial ekonomi masyarakat merupakan dampak yang
ditimbulkan dari rusaknya ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan. Ancaman
bencana alam yang ditimbulkan akan berpengaruh pada perekonomian masyarakat
yang menggantungkan diri pada lahan-lahan hutan. Erosi, banjir, dan kekeringan
menjadi hal yang tidak hanya merusak ekosistem namun juga merusak tatanan hidup
13
aliran sungai Sawahan terbukti membuat salah satu pusat perekonomian masyarakat
yakni pasar berada pada ambang kritis dengan perlindungan seadanya.
3) Perubahan tata ruang dan lingkungan.
Kerusakan ekosistem yang memiliki dampak saling berkaitan satu sama lain
membuat banyak perubahan terjadi di masyarakat. Pada kasus erosi tebing sungai
yang terjadi di Desa Sawahan, perubahan tata ruang dan lingkungan yakni
pemindahan sektor keagamaan yang berupa masjid dan hilangnya lahan menjadi hal
yang harus diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari kerusakan ekosistem
lingkungan sub daerah aliran sungai.
Penyebab dari kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai Sawahan adalah
sebagai berikut:
1) Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat tentang pentinnya pelestarian
lingkungan.
Dalam melakukan pelestarian lingkungan dibutuhkan kesadaran kolektif dari
masing-masing individu di masyarakat. Kebiasaan masyarakat menganggap bahwa
perbuatan-perbuatan perusakan lingkungan adalah hal yang wajar dan tidak
berdampak besar membuat semakin berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat.
Persepsi bahwa perubahan merupakan sebuah keniscayaan dan bukan sesuatu yang
harus dikhawatirkan adalah salah satu faktor penyebab mengapa ekosistem sub
14
2) Tingginya tingkat kontribusi sampah yang mengotori sungai
Belum adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah di tempat yang
tepat membuat kontribusi sampah yang mencemari sungai semakin meningkat. Hal
ini didukung dengan belum adanya pendidikan mengenai pengelolaan sampah yang
baik dan benar sehingga antara sampah anorganik yang tidak mudah terurai dengan
sampah organik yang mudah terurai masih bercampur. Hasil dari penguraian
sampah-sampah ini tidak serta merta dapat digunakan sebagai pupuk karena bahan-bahan
anorganik yang memiliki residu kimia tdak baik dampaknya bagi kesuburan tanah.
Belum adanya keberadaan institusi atau lembaga yang diharapkan dapat
menjadi wadah untuk terwujudnya aspirasi masyarakat mengenai lingkungan bebas
sampah juga belum tersedia. Hal ini menyebabkan masyarakat tetap melakukan
tindakan-tindakan yang berakibat pada perusakan lingkungan. Selain karena
rendahnya kesadaran masyarakat, kepemilikan lahan sebagai tempat pengelolaan
limbah rumah tangga menjadi salah satu hal yang mendorong tingginya tingkat
pengrusakan ekosistem sub daerah aliran sungai. Bagi masyarakat yang tidak
memiliki lahan pekarangan, membuang sampah di sungai merupakan pilihan yang
praktis, efisien, dan ekonomis.
3) Belum adanya kebijakan konservasi lingkungan.
Perusakan ekosistem menyebabkan penurunan kualitas lingkungan maupun
15
pemerintah mengenai konservasi lingkungan sangat penting sebagai pengontrol dan
pengawas atas upaya-upaya perusakan lingkungan yang dilakukan.
Usaha melakukan advokasi pembuatan kebijakan perlu dilakukan dan
diupayakan. Baik melalui seseorang yang memiliki pengaruh dalam pengambilan
keputusan dan pembuatan kebijakan ataupun melalui kelompok-kelompok
masyarakat yang sudah ada. Proses advokasi dan pembuatan kebijakan dalam setiap
prosesnya hendaknya melibatkan masyarakat sehingga benar-benar terbentuk dari
kesadaran masyarakat lantas praktik penegakan kebijakan dapat
dipertanggungjawabkan dan disepakati bersama.
Setelah mengetahui penyebab kerusakan ekosistem sub daerah aliran sungai
Sawahan, maka fasilitaor bersama masyarakat mencoba merumuskan pohon harapan
16
Bagan 1.2
Analisa Pohon Harapan Konservasi Ekosistem Sub DAS Sawahan
Sumber: Diolah dari hasil FGD bersama jamaah yasin KWT AL-Hidayah Tidak adanya
17
Berdasarkan inti masalah dan penyebab yang ada, maka diuraikanlah
harapan-harapan masyarakat yang hendak diwujudkan. Tujuan inti yang ingin dicapai dari
upaya pengorganisasian dan pendampingan ini adalah terlaksananya konservasi sub
daerah aliran sungai Sawahan. Usaha menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai
urgensi melakukan konservasi di sub daerah aliran sungai diharapkan dapat
merangsang masyarakat untuk peduli dan menjaga lingkungannya. Masyarakat tidak
hanya dipahamkan untuk secara individual menjaga dan merawat lingkungannya tapi
secara terorganisir bahu-membahu bersama masyarakat yang lain.
Adanya lembaga pengelola sampah maupun lembaga peduli lingkungan
diharapkan dapat mengorganisir masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya
penjagaan lingkungan, utamanya lingkungan sub daerah aliran sungai Sawahan.
Dalam kapasitas lembaga sebagai pengorganisir, diharapkan lembaga mampu
menjadi wadah diskusi dan pencetus solusi untuk kelestarian ekosistem sub daerah
aliran sungai Sawahan sehingga usaha pelestarian tidak hanya berkutat pada
teknik-teknik yang manfaatnya tidak dapat segera dirasakan langsung oleh masyarakat.
Lembaga diharapkan menjadi ruang publik untuk sama-sama berpikir dan
menyejahterakan anggota.
Adanya kebijakan konservasi sebagai pranata formal yang disepakati bersama
diharapkan membuat pengawasan dapat dilakukan bersama sehingga mengurangi
tingkat kerusakan ekosistem, khusunya di sub daerah aliran sungai Sawahan.
Pemberian sanksi sebagai akibat melanggar kebijakan yang nantinya dibuat adalah
18
dan analisa bersama masyarakat mengenai strategi program dari permasalahan diatas
dijabarkan secara lebih jelas dalam tabel dibawah ini:
Tabel 1.2
Strategi Pemecahan Problem
No. Problem Tujuan Strategi Pemecahan
Problem
kontribusi sampah yang mengotori sungai
Berkurangnya tingkat kontribusi sampah yang mengotori sungai
Melihat tabel diatas dapat diketahui mengenai problem yang dihadapi dan
tujuan pemecahan problem serta bagaimana strategi yang hendak dilakukan oleh
fasilitator dan masyarakat.
F. Sistematika Penelitian
BAB I :PENDAHULUAN
Pada bab ini peneliti menyajikan hasil analisis awal mengenai
permasalahan yang diangkat. Peneliti memaparkan fakta dan realita
yang terjadi di masyarakat secara deskriptif berdasarkan data yang
19
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, strategi
pemberdayaan, dan sistematika penelitian yang akan mempermudah
pembaca memahami isi bab secara ringkas.
BAB II :KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERKAIT
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai teori yang relevan
dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat/komunitas
dampingan terutama masalah yang berkenaan dengan konservasi sub
daerah aliran sungai, pengorganisasian masyarakat sekitar daerah
aliran sungai, serta konservasi dalam perspektif Islam. Selain itu
peneliti juga menjelaskan mengenai penelitian terkait.
BAB III :METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab metodologi penelitian ini membahas mengenai metode
yang digunakan dalam pengorganisasian masyarakat/komunitas.
Peneliti menyajikan konsep PAR sebagai metode yang dipilih dalam
penelitian. Peneliti menyajikan prinsip-prinsip pendekatan PAR,
langkah-langkah pengorganisasian menggunakan teknik PAR, serta
pihak-pihak yang terlibat dalam proses penelitian untuk
pemberdayaan.
BAB IV :PROFIL DESA SAWAHAN DAN EKOLOGINYA
Pada bab ini peneliti menjabarkan mengenai analisis situasi sekaligus
20
ekologi, geografi, demografi, ekonomi, pendidikan, kesehatan serta
profil subjek dampingan
BAB V :MENELUSURI PROBLEM KERUSAKAN EKOSITEM SUB DAS
DESA SAWAHAN
Pada bab ini peneliti akan menjabarkan fakta dan realita yang lebih
mendalam sebagai lanjutan dari latar belakang yang telah dipaparkan
dalam BAB I.
BAB VI :DINAMIKA PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Pada bab ini peneliti menjelaskan langkah yang dilakukan dalam
pengorganisasian, mulai dari tahap awal/pendekatan hingga tahap
akhir/evaluasi. Dalam tahap ini, peneliti juga menjabarkan mengenai
temuan-temuan bersama masyarakat sebagai hasil analisis problem
secara partisipatif.
BAB VII :AKSI KONSERVASI MENGATASI KERUSAKAN
LINGKUNGAN SUB DAS SAWAHAN
Pada bab ini peneliti menjelaskan usaha yang dilakukan bersama
masyarakat untuk mengatasi degradasi lingkungan sub daerah aliran
sungai Sawahan, mulai dari kampanye konservasi, pendidikan
konservasi, hingga aksi menanam pohon sebagai upaya praktik
21
BAB VIII :SEBUAH CATATAN REFLEKSI
Pada bab ini peneliti menjelaskan refleksi dari pengalaman lapangan
serta perpaduan antara konsep dengan temuan dalam penelitian di
lapangan. Konsep yang relevan digunakan untuk menganalisis dan
merumuskan pemecahan masalah adalah konsep tentang ekologi,
manusia, sungai, dan konservasi. Selain itu ada pula konsep
pengorganisasian dan konsep konservasi dalam perspektif Islam.
BAB IX :PENUTUP
Pada bab ini berisi simpulan dan rekomendasi terhadap pihak-pihak
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERKAIT A.Kajian Teori
1. Ekologi, Manusia, Sungai, dan Konservasi
Hidup dan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung
juga bergantung pada sungai sebagai bagian dari ekologi dan ekosistem. Air
mempunyai nilai dari kemanfaatan air sesuai dengan keberadaannya untuk
memenuhi kebutuhan yang ditentukan oleh pemanfaat. Air merupakan
sumberdaya yang sangat esensial bagi makhluk hidup. Persentasi air yang dapat
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan makhluk hidup adalah sebesar 0,73%,
yaitu berupa air tawar yang terdistribusi sebagai air sungai, air danau, air tanah,
dan sebagainya.15
Ekologi secara etimologi berasal dari oikos (rumah tangga) dan logos (ilmu) diperkenalkan pertama kali dalam biologi oleh seorang biolog Jerman Ernst
Haeckel pada 1866.16 Menurut Otto Sumarwoto, ekologi atau lingkungan merupakan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.17 Sedangkan menurut Charles W. Howe lingkungan adalah
kombinasi antara kondisi fisik dan kelembagaan. Kondisi fisik mencakup keadaan
sumber daya alam, sedangkan bagian kelembagaan dari lingkungan adalah ciptaan
15
Slamet Suprayogi, Setyawan Purnama, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2015), hal.1
16
Weka Widayati, Ekologi Manusia: Konsep, Implementasi, dan Pengembangannya, (Kendari: Unhalu Press, 2011), hal.6
17
23
manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.18 Definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain dan dapat mempengaruhi hidupnya.19 Apabila melihat
definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kaitan
erat yang tidak dapat terpisahkan dari ekologi atau lingkungan tempat dimana
manusia hidup dan berkembang. Hidup dan kehidupan manusia tergantung pada
lingkungan hidupnya.20
Sedangkan ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas
komponen-komponen yang saling berinteraksi sehingga membentuk satu
kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan
jenis komponen yang menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung
pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Selama
hubungan timbal balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang,
selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil.21
Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi
membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, tidak ada satu
komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan
komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil.22
18
M.Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, (Yogyakarta: BPFE, 1997), hal.4
19
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta; Erlangga 2004), hal.4
20
N. Daldjoeni dan A. Suyitno, Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan, hal.106
21
Chay Asdak, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hal.10
22
24
Sama halnya dengan ekosistem hutan dan sungai yang saling berkaitan
erat satu sama lain, tersusun dari air, tanaman, bebatuan, dan lain sebagainya.
Ekosistem hutan dan sungai sebagai pengatur hidrologis sudah lama diketahui.
Peranan ini akan semain menonjol di daerah pegunungan yang mempunyai
topografi berbukit dan bergunung. Kualitas dan kuantitas serta distribusi yang
berasal dari air hujan sangat dipengaruhi oleh vegetasi yang ada di sekitar wilayah
ekosistem tersebut. Daerah dengan potensi sumber daya alam hayati yang masih
utuh mudah diindikasikan dengan produksi air yang berlimpah, berkualitas tinggi,
bersih, serta berkesinambungan tidak terganggu dengan adanya musim kemarau.23
Bila tidak ada aliran air lewat sungai, banyak tempat di dunia akan selalu
atau sering tergenang air karena air hujan yang jatuh ke daratan tidak dapat cepat
menguap. Aliran air hujan di permukaan tanah yang sering disebut dengan air
larian (run off) mengalir ke bagian yang berelevasi lebih rendah sesuai dengan hukum gravitasi.24 Bila terjadi pengrusakan hutan sebagai pengatur air utama
maka dapat memicu terjadinya banjir.
Dalam UU no.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memuat beberapa
definisi dengan pengertian berbeda mengenai sungai, sebagai berikut:
a. Wilayah sungai adalah kesatuan pengelolaan sumber daya air dalam satu
atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2000 km2.
23
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal.189
24
25
b. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.25
DAS terbagi lagi
menjadi beberapa cabang yang disebut dengan Sub-DAS. Sub-DAS
adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang terbentuk secara alamiah,
air hujan, meresap atau mengalir melalui ranting aliran sungai yang
membentuk bagian dari Sub-DAS.26
Beberapa fungsi sungai pada intinya adalah sebagai wilayah:
a. Pengaliran massa air yang secara umum bergerak dari arah darat ke laut
meskipun pada sungai, bagian sungai, atau kondisi tertentu arahnya dapat
sebaliknya.
b. Erosi atau degradasi, khususnya terjadi di bagian atas, baik erosi secara
vertikal dengan penggerusan dasarsungai, atau lateral (kanan-kiri sungai).
c. Transportasi atau lalu lintas pengiriman material dalam air, khusunya
yang berada di bagian tengah atau wilayah peralihan hulu-hilir dari DAS.
d. Pengendapan yang dilihat dari elevasi (ketinggian suatu tempat terhadap
daerah sekitarnya) disebut agradasi, yang umumnya terjadi di wilayah
sungai atau DAS bagian bawah dengan secara langsung membentuk delta
25
Otto S.R. Ongkosongo, Kuala, Muara Sungai, dan Delta, hal.3
26
26
dan dataran pesisir, serta permukaan tanah di bagian tengah sistem sungai
dapat memperoleh tambahan sedimen sewaktu banjir.
e. Sumber air tawar.
f.Kehidupan aneka biota, terutama biota perairan.
g. Penawar kadar cemaran
h. Bagian dari daur hidrologi, meskipun secara persentase dibandingkan
dengan sumbangan laut dalam daur hidrologi sangat kecil.27
Melihat fungsi sungai dan kaitannya dengan lingkungan hidup manusia
yang sangat urgen bagi kelangsungan kehidupan, maka perlu dilakukan
upaya-upaya pencegahan penurunan kualitas lingkungan hidup, khususnya hutan dan
sungai yang saling berkaitan erat. Chay Asdak menyebutkan bahwa DAS adalah
bagian dari ekosistem yang mana berintegrasi dengan komponen-komponen
disekitarnya sehingga membentuk suatu kesatuan. Kerangka pemikiran
pengelolaan DAS melibatkan tiga dimensi pendekatan analisis untuk pengelolaan
DAS seperti dikemukakan oleh Hufschmidt. Dengan kombinasi ketiga unsur
utama tersebut diharapkan diperoleh gambaran menyeluruh tentang proses dan
mekanisme pengelolaan DAS. Ketiga dimensi pendekatan analisis pengelolaan
DAS tersebut adalah:28
a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah
perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi terkait.
27
Otto S.R. Ongkosongo, Kuala, Muara Sungai, dan Delta, hal.9
28
27
b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai
alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang
relevan dan terkait.
c. Pengelolaan DAS sebagai aktivitas berjenjang dan bersifat sekuensial
yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan
yang spesifik
Kegiatan pengelolaan DAS seringkali terkekang oleh batas-batas yang
bersifat politis/administratif (negara, provinsi, kabupaten) yang ikut serta pula
didalamnya ego-sektoral dan ego-kedaerahan, sedangkan hal-hal yang berkaitan
dengan kekutan alam seringkali tidak memandang batas-batas administratif dan
ego tersebut. Kejadian-kejadian diluar kendali manusia biasanya berlangsung
menurut batas ekologis. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan DAS secara
berkelanjutan dan terpadu. Konsep tersebut berlaku pula pada pendampingan yang
diupayakan oleh peneliti. Kawasan administratif sungai yang mana masyarakat
sekitarnya hendak didampingi terletak di Dusun Singgahan, Desa Sawahan,
Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Sedangkan sungai mengalir dari
hulu yakni Desa Watulimo hingga Desa Tasikmadu yang terletak di hilir.
Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan
28
pengaturan, pengembangan, dan pemanfaatan sumber-sumber air secara terpadu
dan menyeluruh.29
Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) secara terpadu merupakan sebuah
pendekatan holistik yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat
dalam mengelola sumber daya alam secara berkesinambungan. Tujuan
pengelolaan DAS terpadu adalah mewujudkan pembangunan berkelanjutan,
meningkatkan produktivitas lahan atau meningkatkan daya dukung lahan,
terwujudnya kondisi hidrologis yang optimal, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan menjaga ekosistem yang berkelanjutan.30
Maksud pengelolaan DAS terpadu adalah suatu pendekatan yang melibatkan
teknologi tepat guna dan strategi sosial untuk memaksimalkan pengembangan
lahan, hutan, air, dan sumber daya manusia dalam suatu daerah aliran sungai yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkesinambungan.31
Sasarannya adalah pengelolaan lahan, pengelolaan air, pengelolaan
ekosistem (flora dan fauna), pengelolaan manusia/penduduk (jumlah dan
kualitas), penataan dan pengembangan kelembagaan atau organisasi, pengelolaan
infrastruktur.32
Pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu (IRBM: Integrated River Basin Management) pada dasarnya merupakan sebuah konsep kerja yang bertujuan untuk memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam dalam
kerangka pelestarian DAS melalui pengintegrasian kebutuhan dan ketrampilan
29
Otto S.R. Ongkosongo,Kuala, Muara Sungai, dan Delta, hal.3
30
Slamet Suprayogi, Setyawan Purnama, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.66
31
Slamet Suprayogi, Setyawan Purnama, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.15
32
29
berbagai stakeholder seperti departemen pemerintahan, akademisi, petani, dan swasta. 33
IRBM semakin diterima dan secara formal menjadi bagian perencanaan
pemerintah. Sayangnya, semakin jelas bahwa IRBM tidak diterapkan dalam
semangatnya yang benar sebagaimana pertama kali dibayangkan. Pengelolaan air
tetap menjadi kegiatan yang dikontrol secara ketat dan sentralistis. Sebagaimana
banyak dilihat, pendekatan dari atas ke bawah (top-down) lebih banyak mendatangkan masalah daripada manfaat.34
Pendekatan negosiasi yang kini diusahakan dalam pengelolaan-pengelolaan
DAS merupakan bentuk lain dari IRBM konvensional. Pendekatan ini
berdasarkan pandangan bahwa: ‘Sumber daya air yang lestari dan adil dapat
ditingkatkan melalui pendekatan negosiasi yang mengakui sungai sebagai suatu
unit dan mencakup inisiatif tingkat lokal, dengan menggunakan pendekatan
ekosistem terpadu dalam mengelola DAS’. Tambahan kata negosiasi secara
eksplisit menunjukkan bahwa pendekatan ini dimaksudkan untuk menciptakan
ruang bagi proses negosiasi dalam pengelolaan DAS, termasuk para stakeholder
dan masyarakat yang tinggal di sekitar DAS.35
Pendekatan ini dibangun dengan landasan bahwa kebijakan pengelolaan air
harus didasarkan pada praktik lokal yang ada dalam hal penggunaan air dan tanah
secara terpadu. Pendekatan ini tidak menyarankan desentralisasi atau penerapan
33
Dodi Yuniar H, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sebuah Pendekatan Negosiasi diterjemahkan dari River Basin Management: A Negotiated Approach, (Yogyakarta: INSISTPress, 2006), hal.8
34
Dodi Yuniar H, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sebuah Pendekatan Negosiasi diterjemahkan dari River Basin Management: A Negotiated Approach, hal.9
35
30
prinsip subsidiaritas (daerah sebagai cabang dari pusat). Karena desentralisasi
sesungguhnya pola top-down yang membuat stakeholder lokal hanya dapat mengambil keputusan yang langsung berkaitan dengan wilayah atau masalah
mereka. Sedangkan pendekatan negosiasi justru menyarankan sebaliknya, yaitu
mengizinkan para aktor lokal untuk mengembangkan strategi pengelolaan DAS
yang khas dan sesuai dengan konteks lokal mereka, dan kemudian dimasukkan ke
dalam rencana pengelolaan DAS yang lebih besar. Hal itu membuka kemungkinan
pengetahuan masyarakat dapat mempengaruhi keputusan regional dan nasional,
dan menghasilkan proses pengembangan dan pengelolaan kebijakan yang
berangkat dari bawah (bottom-up)36
Konsep pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang
dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS seharusnya mendorong dilaksanakannya praktik-praktik
pengelolaan lahan yang kondusif terhadap pencegahan degradasi tanah dan air.
Harus selalu disadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi DAS jauh
lebih mahal daripada biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan
perlindungan DAS. Sasaran dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan DAS
memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan
dalam skala DAS yang melibatkan sumber daya lahan dan air. Kerangka kerja
tersebut berupa kegiatan pengelolaan lahan dan konservasi tanah serta air
sehingga diharapkan dapat mencapai sasaran dan tujuan pengelolaan DAS.37
Oleh
karena itu, pengorganisiran masyarakat diimbangi pula dengan advokasi kebijakan
36
Dodi Yuniar H, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sebuah Pendekatan Negosiasi diterjemahkan dari River Basin Management: A Negotiated Approach, hal.10
37
31
kepada pemerintah Desa Sawahan berkenaan dengan usaha-usaha konservasi area
sub-DAS Sawahan.
Pengelolaan DAS dapat berlanjut apabila kebijakan-kebijakan yang
melandasi tercapainya pengelolaan DAS berkelanjutan tersebut dapat dirumuskan
sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan DAS sebagai berikut:
a. Mengenali hal-hal yang menjadi tuntutan mendasar untuk tercapainya
usaha-usaha penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam.
b. Memasukkan atau mempertimbangkan dalam kebijakan yang tidak
diperhitungkan secara komersial.
c. Menyelaraskan atau rekonsiliasi atas konflik-konflik kepentingan yang
bersumber dari penentuan batas-batas alamiah dan batas-batas
politis/administratif.
d. Menciptakan investasi (sektor swasta), peraturan-peraturan, insentif, dan
perpajakan yang mengaitkan adanya interaksi antara aktivitas tata guna
lahan di daerah hulu dan kemungkinan dampak yang ditimbulkannya di
daerah hilir. Dengan kata lain, keuntungan yang diperoleh oleh kelompok
masyarakat (petani, industri) di daerah hilir karena berkurangnya
sedimentasi, tidak boleh menjadi beban bagi masyarakat yang tinggal di
daerah hulu karena mereka harus mengorbankan sebagian tanah atau
modal untuk melaksanakan kegiatan konservasi tanah dan air.38
38
32
Kebijakan dan peraturan harus mampu meratakan pembagian keuntungan
dan biaya antara penduduk yang tinggal di daerah hulu dan mereka yang hidup di
daerah hilir, antara lain, melalui mekanisme kompensasi atau subsidi silang.39 Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu megasistem dimana
kompleksitas ekosistem DAS mensyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang
bersifat multisektor, lintas daerah, termasuk kelembagaan dengan kepentingan
masing-masing serta mempertimbangkan prinsip-prinsip saling ketergantungan.
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS adalah:
a. Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumber
daya alam dan pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumber
daya alam.
b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang
tidak saling mendukung.
c. Meliputi daerah hulu, tengah, hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik
dalam bentuk daur hidrologi untuk ekosistem DAS.40 Secara garis besar dibagi menjadi daerah hulu, daerah tengah, dan daerah hilir dengan
ciri-ciri berikut:
1. Daerah Hulu. Merupakan daerah dengan fungsi konservasi, memiliki
kerapatan drainase lebih tinggi, memiliki kelerengan yang besar (15%)
bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase, jenis vegetasi pada umumnya adalah hutan.
39
Chay Asdak , Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.540-541
40
33
2. Daerah Hilir. Merupakan daerah pemanfaatan dengan kerapatan drainase
lebih kecil, merupakan daerah dengan kelerengan kecil sampai dengan
sangat kecil (kurang dari 8%), beberapa tempat merupakan daerah
banjir/genangan, pengaturan air ditentukan oleh bangunan irigasi dan
jenis vegetasi didominasi oleh jenis tanaman pertanian kecuali darah
estuaria lebih didominasi oleh tanaman gambut/bakau.
3. Daerah Tengah. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi antara
daerah hulu dan hilir, dapat berwujud bendungan/waduk yang berfungsi
mengatur air ke daerah hilir.41
Di daerah ini kemiringan memanjang dasar
sungai berangsur-angsur menjadi landai ((mild). Seiring berkurangnya debit aliran walaupun erosi masih terjadi, namun proses sedimentasi
meningkat yang menyebabkan endapan sedimen mulai timbul, akibat
pengendapan ini berpengaruh terhadap mengecilnya kapasitas sungai
(pengurangan tampang lintang sungai). Proses penggerusan dan
penumpukan sedimen terjadi yang mengakibatkan banjir dapat terjadi
dengan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan daerah
hulu.42 Pada pendampingan ini, sungai yang mengalir di Dusun
Singgahan, Desa Sawahan, Kecamatan Watulimo termasuk dalam daerah
tengah sungai. Selain karena letaknya, di wilayah ini terdapat waduk
kecil yang biasa disebut dengan embung yaitu Embung Winong.
41
Chay Asdak, Hidrologi dan Pengelolaan Aliran Sungai, hal.11
42
34
Dalam mengelola suatu DAS, harus memahami karakteristik DAS tersebut.
Kegiatan identifikasi DAS sangat penting, hasilnya dipetakan sehingga aspek
keruangan nampak jelas. Karakteristik fisik DAS meliputi kondisi topografi,
tanah, batuan, iklim, pola alur sungai, air (hujan, sungai, air tanah, mata air),
tutupan vegetasi, penggunaan lahan, kependudukan, kelembagaan, dan benturan
kepentingan.
Berdasarkan karakteristik DAS, kemudian diidentifikasi masalah-masalah
dari berbagai aspek yaitu: hidrologi, lahan, sosial-sektoral, dan kelembagaan.
Identifikasi masalah dari aspek aspek seperti:
a.Ketimpangan penggunaan lahan (ketidaksesuaian penggunaan lahan saat
ini dengan penggunaan lahan anjuran/kemampuan lahan)
b.Kerusakan lahan (erosi, produktivitas lahan, tutupan vegetasi). Kerusakan
lahan yang diakibatkan adanya erosi marak terjadi pada wilayah
dampingan yang mencakup RT 07,08,09,10, dan 11.
c.Bencana alam (longsor, banjir, dan kekeringan)
d.Tata air dan cadangan air (fluktuasi debit aliran, penurunan muka air tanah
dan air danau)
e.Pencemaran air (sungai, danau, dan air tanah) dan pencemaran lahan oleh
limbah. Pencemaran sungai dilakukan oleh masyarakat di wilayah
dampingan dalam bentuk membuang sampah ke sungai tanpa melakukan
pengolahan terlebih dahulu.
f. Tekanan penduduk terhadap lahan dan air.
35
h.Keanekaragaman hayati (flora dan fauna)
i.Kelembagaan daftar seluruh pihak yang terkait, tugas dan wewenang pihak
terkait dan benturan kepentingan. 43
Secara konseptual, pengelolaan DAS dipandang sebagai suatu sistem
perencanaan terhadap: (1) aktivitas pengelolaan sumber daya termasuk tata guna
lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya setempat, dan praktek
pengelolaan sumber daya diluar daerah kegiatan kegiatan program atau proyek,
(2) alat implementasi untuk menempatkan usaha-usaha pengelolaan DAS seefektif
mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan perseorangan, (3) pengaturan
organisasi dan kelembagaan di wilayah proyek dilaksanakan.44
Tabel 2.1
Pengelolaan DAS sebagai Suatu Sistem Perencanaan
Aktivitas Pengelolaan
Untuk setiap kategori usaha pengelolaan:
Sumber: Chay Asdak, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.541
43
Slamet Suprayogi, Setyawan Purnama, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.66-67
44
36
Dapat ditarik kesimpulan dari tabel diatas. Pertama, terdapat perbedaan
yang jelas antara aktivitas pengelolaan sumber daya (hal-hal yang akan dilakukan)
dan alat implementasi (bagaimana cara melakukan pengelolaan). Para perencana
pengelolaan DAS seringkali terfokus pada penyusunan formulasi alternatif
kegiatan pengelolaan tanpa diiringi dengan penyusunan alat implementasi
alternatif yang efektif. Secara teknik, pengelolaan sumber daya berkutat pada
aspek alam tanpa melibatkan aspek yang lain, sedangkan secara praktik
pengelolaan sumber daya melibatkan aspek pendidikan, sosial, ekonomi, maupun
politik.45 Kedua, pada bagian pengaturan organisasi dan kelembagaan
menekankan mengenai pentingnya kelembagaan dan organisasi dalam proses
implementasi program pengelolaan DAS.46
Apabila berbicara mengenai perubahan tata guna lahan dan praktek
pengelolaan daerah aliran sungai, maka tidak akan lepas dari terjadinya erosi.
Pada penjabaran fungsi sungai diatas telah dijelaskan bahwa fungsi wilayah
sungai juga mencakup sebagai wilayah erosi atau degradasi, khususnya terjadi di
bagian atas, baik erosi secara vertikal dengan penggerusan dasar sungai, atau
lateral (kanan-kiri) sungai.47
Proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan, yaitu pengelupasan
(detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Dalam hal ini, erosi yang terjadi di sub daerah aliran Sungai Sawahan di Desa
Sawahan adalah erosi tebing sungai (streambank erosion) yakni pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai oleh aliran sungai. Proses berlangsungnya erosi tebing
45
Chay Asdak, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.541
46
Slamet Suprayogi, Setyawan Purnama, dkk, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.119
47
37
sungai adalah oleh adanya gerusan aliran sungai, proses tersebut berkolerasi
dengan kecepatan aliran sungai sungai. Semakin cepat laju aliran sungai (debit
puncak atau banjir) semakin besar kemungkinan terjadinya erosi tebing. Erosi
tebing sungai dalam bentuk gerusan dapat berubah menjadi tanah longsor ketika
permukaan sungai surut sementara pada saat bersamaan tanah pada tebing sungai
telah jenuh. Dengan demikian , longsoran tebing sungai terjadi setelah debit aliran
besar berakhir atau surut.48
Menurut Hooke, ada 3 faktor yang menjadi penyebab terjadinya erosi tebing
sungai berdasarkan karakteristik fisik tebing sungai, sebagai berikut.
a. Erosi tebing sungai yang sebagian besar disebabkan oleh adanya gerusan aliran
sungai, dalam hal ini pengaruh debit puncak terhadap terjadinya erosi adalah
besar.
b. Tebing sungai dengan karakteristik tanah terdiri dari bahan berpasir dengan
kelembaban tinggi. Erosi yang terjadi pada umumnya dalam bentuk longsor.
c. Tebing sungai dengan karakteristik tanah solid (mempunyai resistensi tinggi
terhadap pengelupasan partikel tanah). Erosi, dalam skala lebih kecil, umumnya
terjadi oleh adanya penambangan tebing sungai atau ketika berlangsung debit
aliran air besar (banjir)49
Erosi tebing sungai dipengaruhi antara lain oleh kecepatan aliran, kondisi
vegetasi di sepanjang tebing sungai, kegiatan bercocok tanam di pinggir sungai,
kedalaman dan lebar sungai, bentuk alur sungai, dan tekstur tanah. Alur sungai
yang tidak teratur dengan banyak rintangan, seperti tanggul pencegah tanah
48
Chay Asdak, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.339-343
49
38
longsor, dapat mempertajam kelokan sungai dan dapat menjadi penyebab utama
terjadinya erosi sepanjang tebing sungai. Bagian tebing sungai yang memiliki
potensi besar untuk terjadinya erosi sungai adalah pada tikungan-tikungan sungai
karena gaya benturan aliran sungai di tempat tersebut adalah besar. Erosi tebing
sungai dapat dikurangi dengan cara penanaman vegetasi sepanjang tepi sungai.
Vegetasi ini, melalui sistem perakaran, tidak saja menurunkan laju erosi, tetapi
juga mencegah tanah longsor di daerah tersebut karena mengurangi kelembaban
tanah oleh adanya proses transpirasi.50
Tumbuh-tumbuhan di atas permukaan tanah dapat memperbaiki
kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir
hujan yang jatuh, daya dispersi, dan daya angkut aliran air di atas permukaan
tanah. Perlakuan atau tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan
tumbuh-tumbuhan pada diatasnya akan menentukan apakah tanah akan menjadi
baik dan produktif atau menjadi rusak.51
Uraian diatas mengemukakan mengenai kaitan erat antara bahaya yang
ditimbulkan apabila terjadi penyimpangan penggunaan lahan maupun pengelolaan
daerah aliran sungai. Berbicara mengenai pengelolaan daerah aliran sungai maka
berarti sedang berbicara pula mengenai hal yang kompleks. Oleh karena itu,
penjagaan lingkungan tidak hanya berkutat pada sungai, namun junga
menyangkut ekosistem sekitar sungai yang berkaitan.
Pada pendampingan ini usaha melakukan harmonisasi dengan sungai
dilakukan dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat mengenai
50
Chay Asdak , Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, hal.344
51
39
pentingnya pengelolaan lahan, penumbuhan kesadaran dan pembentukan pola
pikir manusia/penduduk, serta penataan dan pengembangan kelembagaan atau
organisasi, dan advokasi kebijakan kepada pemerintah desa.
Hal ini dilakukan dengan melakukan pengorganisiran masyarakat untuk
bersama-sama melakukan penanaman tanaman konservasi di lahan-lahan milik
Perhutani yang disewa oleh masyarakat dengan sistem bagi hasil maupun pada
lahan pribadi milik masyarakat. Sedangkan harmonisasi aspek manusia dilakukan
dengan melakukan pendidikan dialogis mengenai pentingnya hidup harmonis
dengan sungai dan lingkungan yang dilanjutkan dengan membentuk komitmen
bersama dalam melestarikan sungai dan lingkungan.
Upaya konservasi penting dilakukan untuk menanggulangi maupun
mengurangi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan. Menurut UU 5 tahun1990
konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi harus dilakukan dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip
40
generasi mendatang minimal memiliki akses yang sama dengan generasi sekarang
atas kekayaan alam yang diciptakan dan disediakan Tuhan.52
2. Memahami Konsep Pengorganisasian
Pengertian pengorganisasian rakyat atau yang lebih dikenal dengan
‘Pengorganisasian Masyarakat’ mengandung pengertian yang luas dari kedua akar
katanya. Istilah rakyat tidak hanya sekadar mengacu pada perkauman (community)
yang khas dalam konteks yang lebih luas, juga pada masyarakat (society) pada umumnya. Istilah pengorganisasian lebih dimaknai sebagai suatu kerangka
menyeluruh dalam rangka memecahkan masalah ketidakadilan sekaligus
membangun tatanan yang lebih adil. Mengorganisir masyarakat sebenarnya
merupakan akibat logis dari analisis tentang apa yang terjadi, yakni ketidakadilan
dan penindasan di sekitar kita. Pengorganisasian sama sekali tidak netral.
Melakukan pengorganisiran berarti berani melakukan proses melibatkan diri dan
memihak kepada rakyat yang tertindas.53
Pengorganisasian rakyat juga berarti membangun suatu organisasi, sebagai
wadah atau wahana pelaksanaan berbagai prosesnya.54 Pengorganisasian seringkali mengalami pendangkalan makna, baik disadari atau tidak, pemaknaan
bahwa pengorganisasian sudah terjadi jika sudah terbentuk organisasi rakyat
dengan susunan kepengurusan, anggota, program kerja, dan aturan-aturan
organisasi. Padahal sebenarnya tidak demikian. Pengorganisasian rakyat haruslah
52
Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2014), hal.1
53
Agus Affandi, dkk, Modul Participatory Action Research, (Suarabaya: LPPM UIN Sunan Ampel, 2016), hal.197-198
54