• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat karena istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami: analisis Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat karena istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami: analisis Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM

PERKARA CERAI GUGAT KARENA ISTRI TIDAK MAU TINGGAL

BERSAMA SUAMI DI RUMAH ORANG TUA SUAMI

(Analisis Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk)

SKRIPSI

Oleh

Wardatul Baidho’

NIM. C01213092

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

3. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan ... 29

(8)

5. Alasan Perceraian ... 36

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS PERKARA CERAI GUGAT KARENA ISTRI TIDAK MAU TINGGAL BERSAMA SUAMI DI RUMAH ORANG TUA SUAMI (Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk)

A. Deskripsi Pengadilan Agama Pamekasan ... 39 B. Kronologi Perkara Cerai Gugat Karena Istri Tidak Mau

Ikut Tinggal Bersama Suami di Rumah Orang Tua Suami .. 41 C. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama

Pamekasan Nomor 1001/ Pdt.G/2015/PA.Pmk Tentang Cerai Gugat Karena Istri Tidak Mau Ikut Tinggal Bersama Suami di Rumah Orang Tua Suami ... 46

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM CERAI GUGAT KARENA ISTRI TIDAK MAU TINGGAL BERSAMA SUAMI DI RUMAH ORANG TUA SUAMI (Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk)

A. Perselisihan dan Pertengkaran Sebagai Alasan Perceraian ... 52 B. Analisis Pertimbangan Yuridis Hakim dalam Putusan

Nomor 1001/pdt.G/2015/PA.Pmk ... 56 BAB V PENUTUP

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ru>m Ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”1

Hidup bersama suami istri dalam sebuah perkawinan tidak semata-mata untuk kebutuhan seks saja, akan tetapi bermaksud agar mereka dapat membentuk rumah tangga yang bahagia. Rumah tangga yang rukun antara suami istri, hidup aman dan harmonis serta saling mengerti dan menjalankan tugas sesuai perannya masing-masing.2

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mempunyai berbagai asas pokok yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk yang ada kaitannya dengan tujuan

1

(10)

2

yang akan dicapai, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut bisa terwujud jika tidak ada faktor-faktor pemicu yang mempengaruhi tidak terwujudnya suatu tujuan perkawinan itu sendiri. Misalnya dikarenakan adanya kecemburuan yang berlebihan, tidak adanya keseimbangan dalam mengurus kehidupan rumah tangga, bertolak belakang dalam berfikir dan bertindak sebagai suami istri karena tidak setaraf dan bahkan mungkin perselisihan tersebut dikarenakan ada kaitannya dengan adat kekerabatan, seperti kedudukan martabat, harta pusaka, harta perkawinan atau berkenaan dengan kehormatan pribadi.3 Sehingga dari permasalah-permasalahan tersebut akan menimbulkan sebab-sebab putusnya sebuah perkawinan.

Pada dasarnya di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah dijelaskan dalam Pasal 38 mengenai suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan “kematian” atau “perceraian”, namun tidak semua perselisihan di

dalam sebuah perkawinan itu akan menimbulkan putusnya suatu hubungan perkawinan. Hal ini tergantung bagaimana masalah dan cara penyelesaian yang suami istri tersebut lakukan. Terkadang seringkali permasalahan tersebut tidak datang dari pihak suami maupun istri, namun sedikit banyak masalah tersebut terkadang timbul karena adanya campur tangan orang tua yang berlebihan, hingga pada akhirnya mengarah kepada perceraian. Padahal seyogianya di dalam sebuah perkawinan di antara suami dan istri diharapkan timbul hubungan kasih sayang yang baik, sehingga tujuan perkawinan itu benar-benar dapat terwujud.

(11)

3

Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian baik menurut adat maupun menurut hukum agama adalah perbuatan tercela, meskipun halal namun merupakan perbuatan yang sangat dibenci, sebagaimana Rasulullah S.A.W, bersabda: halal di sisi Allah ialah t}alaq”.4

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 dikatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai

suami istri”.5

Sehingga dalam hal ini suami atau istri tidak dengan mudah melakukan atau mengambil suatu keputusan dalam sebuah perceraian. Namun pada kenyataan di masyarakat, banyak yang melakukan perceraian dengan alasan sepele. Misalnya seperti cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Pamekasan yang termuat dalam putusan Nomor 1001/Pdt. 6/2015/PA. Pmk. bahwa telah terjadi perceraian dengan alasan karena istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami. Alasan semacam ini merupakan alasan yang bisa dikatakan sepele, bahkan di dalam Undang-Undang pun tidak termuat secara jelas tentang alasan istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami.

Dengan demikian, masalah tempat tinggal seharusnya tidak dapat dijadikan dasar alasan sebuah perceraian, akan tetapi realitanya yang terjadi di Pengadilan Agama Pamekasan masalah tempat tinggal dijadikan dasar alasan akibat adanya perselisihan dan pertengkaran. Oleh karena itu, hakim terkesan seolah-olah menggampangkan suatu perceraian, yang pada hakikatnya hal ini

4 Muh}ammad bin Yazi>d al-Qazwiniy, Sunan Ibn Ma>jah, Jilid I, (Kairo: Da>r al-Ih}ya>’ al-Kutub al-Arabiyah, tt), 650. Lihat juga Sulaima>n bin al-Ash’ath, Sunan Abi> Da>wud, Jilid III, (Beirut: Da>r Risa>lah al-Alamiah, 2009), 505.

(12)

4

bertolak belakang dengan asas hukum perkawinan itu sendiri yaitu “untuk mempersukar suatu perceraian” dan apabila asas ini tidak terpenuhi maka tujuan dari perkawinan itupun juga tidak dapat terwujud. Oleh sebab itu penulis merasa perlu mengangkat permasalahan ini menjadi sebuah penelitian tentang pertimbangan hakim terhadap perkara cerai gugat dengan alasan istri tidak mau ikut tinggal bersama suami di rumah orang tua suami (putusan No. 1001/Pdt.G/PA. Pmk).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi sebanyak mungkin untuk mencari masalah-masalah yang diduga akan muncul dalam penelitian ini.

Dari deskripsi latar belakang penelitian di atas, dapat ditemukan arah pembahasan dan batasan permasalahan yang hendak diangkat di antaranya:

1. Intervensi keluarga yang melatarbelakangi adanya suatu perceraian

2. Proses terjadinya Putusan Pengadilan Agama Pamekasan Nomor 1001/ Pdt.G/2015/PA. Pmk

3. Faktor-faktor yang melatar belakangi permasalahan cerai gugat dalam Putusan Pengadilan Pamekasan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk

4. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian dari keterangan-keterangan saksi

(13)

5

6. Prosedur penjatuhan gugatan cerai dalam Putusan Pengadilan Pamekasan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk Tentang Cerai Gugat karena Istri tidak Mau Tinggal Bersama Suami di Rumah Orang Tua Suami.

Agar permasalahan dari skripsi ini lebih fokus, maka penulis membatasi permasalahan untuk dibahas sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah oarang tua suami 2. Pertimbangan yuridis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Pamekasan

Nomor: 1001/ Pdt.G/2015/ PA. Pmk.

C. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami?

2. Bagaimana Analisis Yuridis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Pamekasan Nomor: 1001/Pdt.G/2015/ PA Pmk?

D. Kajian Pustaka

Perselisihan masalah tempat tinggal sebelumnya sudah pernah dibahas dibeberapa literatur di antaranya yaitu:

(14)

6

Agama Sampang”. Skripsi ini menjelaskan tentang ketidakharmonisan rumah tangga dikarenakan antara suami istri sudah tidak ada kecocokan lagi dan kedua-duanya sama-sama tidak mau tinggal di rumah mertuanya (tidak ada faktor eksternal). Selain itu skripsi ini dalam pembahasannya lebih fokus terhadap peran Pengadilan Agama Sampang dalam menekan angka perceraian dikarenakan perselisihan tempat tinggal, dan skripsi ini bukanlah analisis putusan.6

M. Saifuddin Zuhri dengan judul “Perselisihan Tempat Tinggal Sebagai

Alasan Perceraian (Studi Terhadap Putusan di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2009)”. Skripsi ini lebih fokus menjelaskan tentang faktor yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan karena tempat tinggal, di mana dalam hal ini timbul dari pihak suami maupun pihak istri yang tidak berkenan diajak tinggal bersama dan tidak ada campur tangan dari pihak ketiga. Selain itu skripsi ini juga membahas tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara perselisihan tempat tinggal dari segi tinjauan hukum Islam.7

Afifatus Sakdiyah dengan judul skripsi “Perselisihan Suami Istri Akibat Perbedaan Tempat Tinggal dan Cara Penyelesaian di Pengadilan Agama Lamongan”. Skripsi ini lebih fokus terhadap aspek penyelesaian perkara suami

istri karena perselisihan tempat tinggal di Pengadilan Agama Lamongan, di mana

6ST Fatihah, “Ketidakharmonisan Akibat Perselisihan Tempat Tinggal Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Sumenep” (Skripsi—IAIN, Surabaya, 2006).

(15)

7

perselisihan itu murni timbul dari kedua belah pihak (suami istri), dimana dalam penelitian ini menggunakan putusan lebih dari satu.8

M. Sulaiman dengan judul skripsi “Penentuan Tempat Tinggal Bersama

Oleh Orang Tua Sebagai Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Sumenep No. 1208/ Pdt.G/2008/ PA.Smp”. Skripsi ini menjelaskan tentang alasan-alasan penentuan Tempat Tinggal bersama oleh Orang Tua sebagai penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Sumenep, dan selanjutnya penelitian ini menganalisis permasalahan tersebut dengan menggunakan tinjauan hukum islam.9

Humaidatul Faiqoh dengan judul skripsi “Ketidakharmonisan Dalam Rumah Tangga Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun”. Skripsi ini lebih menikberatkan pada faktor perceraian yang lebih dominan di Pengadilan Agama Madiun, selain itu dalam skripsi ini yang menjadi dasar analisis yaitu menggunakan Hukum Islam terhadap perkara-perkara yang berhubungan dengan perkara ketidakharmonisan dalam rumah tangga.10

Sedangkan dalam penelitian ini penulis membahas tentang “Analisis

Yuridis terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Cerai Gugat Karena Istri Tidak Mau Tinggal Bersama Suami Di rumah Orang Tua Suami (Putusan No. 1001/ Pdt.G/2015/ PA. Pmk)”. Meskipun ada keterkaitan dari skripsi-skripsi di

8Afifatus Sakdiyah, “Perselisihan Suami Istri Akibat Perbedaan Tempat Tinggal dan Cara Penyelesaian di Pengadilan Agama Lamongan” (Skripsi—IAIN, Surabaya, 2006).

9Moh. Sulaiman, “Penentuan Tempat Tinggal Bersama Oleh Orang Tua Sebagai Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Sumenep No. 1208/Pdt.G/2008/PA.Smp” (Skripsi—IAIN, Surabaya, 2009).

(16)

8

atas, namun penelitian ini mempunyai perbedaan dari masing-masing skripsi di atas. Penentuan tempat tinggal dalam penelitian ini juga menjadi alasan terjadinya perceraian, akan tetapi penentuan tempat tinggal dalam penelitian ini terdapat unsur intervensi yang disebabkan oleh keluarga masing-masing. Selain itu penelitian ini difokuskan pada analisis yang ditinjau dari segi yuridis tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara gugat cerai dengan No. 1001/ Pdt.G/ 2015/ PA. Pmk dengan menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Sehingga dalam hal ini menjadi suatu perbedaan yang mendasar dari penelitian-penelitian di atas. Dengan demikian maka penelitian ini, belum pernah diteliti dalam skripsi sebelumnya.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang peneliti lakukan, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami.

(17)

9

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih keilmuan dalam bidang perkawinan, sehingga benar-benar bisa berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dari segi Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian hukum perkawinan yang terkait dengan analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat karena istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami putusan Nomor 1001/ Pdt.G/2005/ PA. Pmk dan penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai literatur dan referensi, baik oleh penelitian selanjutnya maupun pemerhati hukum positif dalam memahami praktek cerai gugat. 2. Dari segi Praktis,

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi para penegak hukum sehingga dapat memberi solusi terhadap masyarakat umum yang ingin melakukan perceraian terutama perkara cerat gugat karena istri tidak mau ikut tinggal bersama suami dirumah orang tua suami.

G. Definisi Operasional

(18)

10

variabel tersebut melalui penelitian.11 Beberapa istilah tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Yuridis

Menurut Kamus Hukum yurudis berasal dari kata yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.12 Sehingga yuridis dapat diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974.

2. Cerai Gugat

Suatu perceraian yang diajukan oleh pihak istri kepada suami di Pengadilan Agama Pamekasan dalam Putusan Nomor 1001/ Pdt.G/ 2005/PA. Pmk.

H. Metode Penelitian

1. Data-data yang dikumpulkan

Merupakan data yang perlu dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Adapun data yang peneliti kumpulkan sebagai berikut: a. Data tentang pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara cerai

gugat karena istri tidak mau tinggal bersama suami di rumah orang tua suami, sumber datanya yaitu arsip putusan nomor 1001/Pdt.G/2005/PA. Pmk serta hakim dan panitera Pengadilan Agama Pamekasan.

11 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknik Penulisan Skripsi Edisi Revisi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016), 9.

(19)

11

b. Data tentang pertimbangan yuridis, yang bersumber pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sumber data primer

Merupakan data yang bersifat utama dan penting yang dapat diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat berupa interview, observasi maupun penggunaan intrumen khusus yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian,13 yaitu dokumen putusan perkara No. 1001/ Pdt.G/2015/PA.Pmk.

b. Sumber data sekunder

Merupakan data yang bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi serta menjelaskan sumber data primer, antara lain:

1) UU No. 1 Tahun 1974 2) Undang-Undang Perdata

3) Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam 4) PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 5) Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, Taufiqurrohman Syahuri

(20)

12

6) Hukum Perkawinan Adat, Hilman Hadikusuma 7) Hukum Orang dan Keluarga, Soetojo

8) Segi-segi Hukum, Gatot Supramono 9) Pokok-pokok Hukum Perdata, R. Subekti

10)Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Amir Syarifuddin 3. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi, adapun teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi yaitu cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang ada kaitannya dengan masalah penelitian.14

Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian adalah tentang pertimbangan hukum hakim yang bersumber pada arsip Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Pamekasan dengan No. Perkara 1001/ Pdt.G/2015/ PA.Pmk

b. Wawancara

Wawancara atau kuesioner lisan adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui percakapan dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan.15

Dalam penelitian ini adalah tentang perkara cerai gugat karena istri tidak mau tinggal bersama suami dirumah orang tua suami, sumber

14 Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 181.

(21)

13

datanya yaitu wawancara dan tanya jawab dengan istri (penggugat), bapak penggugat (saksi I), suami (tergugat), paman tergugat yang telah terlibat langsung dalam sidang perkara cerai gugat Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk, serta hakim dan panitera Pengadilan Agama Pamekasan.

4. Teknik Pengolahan Data

Tahapan dalam pengelohan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Organizing yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.16Dalam hal ini berupa teks keputusan, dan keterangan-keterangan hasil wawancara terhadap istri yang menjadi penggugat, bapak penggugat sebagai saksi I, suami (tergugat) dalam Putusan Nomor 1001/ Pdt.G/2015/PA.Pmk dan paman tergugat serta hakim dan panitera Pengadilan Agama Pamekasan. b. Editing yaitu kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan data

tersebut,17serta memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.18 Teknik ini digunakan untuk memeriksa kelengkapan data yang sudah diperoleh yang berupa teks putusan, dan wawancara dengan istri yang menjadi penggugat, bapak

16 Sony Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia,(Yogyakarta:Graha Ilmu, 2004), 89 17 Ibid., 97

(22)

14

penggugat sebagai saksi I, suami (tergugat) dalam perkara cerai gugat Putusan Nomor 1001/ Pdt.G/2015/PA.Pmk, dan paman tergugat serta Hakim dan panitera Pengadilan Agama Pamekasan.

c. Analizing yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil editing dan Organizing data yang diperoleh dari sumber-sumber penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga diperoleh kesimpulan.19

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengoraganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sentesa, menyusun pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.20

Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan selanjutnya akan dibahas dan kemudian akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari pihak-pihak yang dapat diamati menggunakan metode ini.

Untuk mempermudah penulis dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis dengan menggunakan pola deduktif, yaitu menggambarkan hasil penelitian secara sistematis dengan melihat masalah khusus yang berupa teks putusan Nomor 1001/ Pdt.G/2015/PA.Pmk

19 Ibid., 95.

(23)

15

tentang cerai gugat karena istri tidak mau tinggal bersama suami dirumah orang tua suami, melalui teori atau dalil yang bersifat umum tentang perkawinan.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam penulisan ini, penulis membagi menjadi lima bab, dimana antara bab satu dengan bab lainnya saling berkaitan, sehingga penulisan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan kerangka teoritis tentang perceraian yang berisi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, sebab-sebab putusnya perkawinan, pengertian perceraian, asas-asas hukum perceraian, alasan perceraian, akibat putusnya perceraian dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan literatur yang terkait.

(24)

16

dasar pertimbangan hakim dalam putusan perkara cerai gugat dengan alasan istri tidak mau ikut tinggal bersama suami di rumah orang tua suami .

Bab keempat, merupakan analisis data tentang faktor pemicu yang menjadi alasan istri tidak mau ikut tinggal bersama suami di rumah orang tua suami, analisis terhadap dasar hukum yang digunakan hakim sebagai pertimbangan dalam memutus perkara serta analisis yuridis terhadap putusan hakim nomer 1001/Pdt.G/2015/ PA. Pmk.

(25)

BAB II

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DALAM HUKUM POSITIF

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan berlaku secara efektif, hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai aturan hukum yang berlaku untuk berbagai golongan warga negara dan daerah di antaranya yaitu hukum adat yang berlaku bagi orang Indonesia asli, hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam, Kitab Undang-Undang Perdata (Borgerlijk Wetboek atau BW) yang berlaku bagi orang keturunan Eropa dan Cina dengan beberapa pengecualian, dan Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonnantie Christen Indonesia atau HOCI) yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen.1

a. Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat, perkawinan adalah ikatan yang tidak hanya dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga adanya ikatan antara keluarga besar dan masyarakat dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Sehingga dalam

1

(26)

18

hal ini yang dilibatkan dalam perkawinan tidak hanya suami dan istri namun segenap keluarga dan masyarakat juga mempunyai kepentingan.2 b. Perkawinan Menurut Hukum Islam

Perkawinan menurut ilmu fikih, disebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua arti yaitu menurut bahasa dan menurut istilah. Menurut bahasa nikah berarti “berkumpul” atau “bersetubuh”, sedangkan menurut

istilah, nikah adalah akad atau perjanjian (suci) dengan lafal tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami istri.3

Adapun Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4

c. Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Perdata (Borgerlijk Wetboek atau BW)

Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, di mana dalam hal ini Undang-Undang hanya memandang perkawinan dari hubungan keperdataan saja (Pasal 26 BW). Dalam hal ini, BW melarang melakukan

2

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Mat, Cet. 12, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), 55 3

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 104 4

(27)

19

upacara perkawinan menurut hukum agama, sebelum diadakan perkawinan menurut Undang-Undang.5

d. Perkawinan Menurut Para Ahli

Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H.6 dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan-Hukum Adat-Hukum Agama, mengemukakan:

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai “perikatan perdata” tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.” Sedangkan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga berjalan dengan baik sesuai dengan anjaran agama masing-masing.

Menurut Sayuti Tahalib, S.H.7 dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia memberikan pengertian pendek mengenai perkawinan yaitu: “Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan.”

e. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

5

Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:Pro-kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi Edisi Pertama, (Jakarta: Kenacan, 2013), 72.

6

Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan-Hukum Adat-Hukum Agama, Cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 8 dan 10

7

(28)

20

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rumusan perkawinan di atas merupakan rumusan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1, dalam penjelasannya disebutkan:

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/ kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi unsur batin/ rohani juga mempunyai peranan yang penting... Rumusan perkawinan di atas pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang mempunyai kesamaan dengan rumusan perkawinan yang dikemukakan oleh para ahli/ para sarjana.8

2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan mempunyai beberapa tujuan yang harus dicapai diantaranya yaitu:

a. Tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya.9

b. Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan

8

H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2006), 61 9

(29)

21

perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan rasul-Nya yang disimpulkan dalam al-Qur’an sebagi berikut:

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. 51:49)

“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30:21).

Selain yang disebutkan di atas, tujuan perkawinan dalam Islam menurut Soemijati, S.H adalah sebagai berikut:

1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan;

2) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih; 3) Memperoleh keturunan yang sah.

(30)

22

perkawinan dilangsungkan bukan hanya sementara atau dalam jangka waktu tertentu yang telah direncanakan, akan tetapi berlangsung seumur hidup atau selama-lamanya dan tidak boleh diputus dengan begitu mudahnya.10 Oleh karena itu, pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan sangat terpaksa.

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

a. Istilah dan Pengertian Perceraian Menurut Undang-Undang

Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v

(kata kerja) 1. Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak.

Kemudian kata “perceraian” mengandung arti: n (kata benda), 1.

Perpisahan; 2. Perihal bercerai (antara suami istri); perpecahan. Adapun kata “berceraian” berarti: v (kata kerja), 1. Tidak bercampur

(berhubungan, bersatu) lagi; 2. Berhenti berlaki-bini (suami istri).11 Jadi, istilah “perceraian” secara yurudis berarti putusnya

perkawinan yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia diatas.

10

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), 14-15 11

(31)

23

Perceraian menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “Putusnya Perkawinan”. Jadi, perceraian adalah putusnya

ikatan lahir batin antara suami istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga).

Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum sebagai berikut.

1) Perceraian menurut hukum Islam yang dimuat dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain:

a) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonannya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama.

b) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatannya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama.

2) Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri.12

12

(32)

24

b. Istilah dan Pengertian Perceraian Menurut Doktrin Hukum

Arti dari istilah perceraian adalah suatu istilah yang digunakan untuk menegaskan terjadinya suatu peristiwa hukum berupa putusnya perkawinan antara suami dan istri, dengan alasan-lasan hukum, proses hukum tertentu dan akibat-akibat hukum tertentu.13

Perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan, baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau istri.14

2. Asas-asas Hukum Perceraian

Dalam pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 secara jelas diperuntukkan bagi warga negara Indonesia untuk menjadi keluarga tentram dan bahagia, dengan tujuan mengubah tatanan yang telah ada dengan suatu aturan baru yang akan menjamin cita-cita dari perkawinan melalui asas/prinsip yang dominan, yaitu sebagai berikut:

a. Asas sukarela. Tujuan pekawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Maka dari itu, perlu adanya saling membantu dan melengkapi sehingga dapat membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Asas partisipasi keluarga dan dicatat. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting, maka partisipasi dari kedua orang tua diperlukan

13

Ibid., 18. 14

(33)

25

terutama dalam hal pemberian izin . sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang bahwa perkawinan sah menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Asas monogami. Kecuali dikehendaki oleh yang bersangkutan ketika hukum dan agama mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Dengan kata lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung asas mempersulit poligami. Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.

d. Asas perceraian dipersulit. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka mempersulit terjadinya perceraian dikedepannya. Perceraian merupakan perbuatan halal yang dibenci Allah. Karena adanya imbas negatif yang begitu banyak selain pada anak juga secara umum berdampak pada masyarakat.

(34)

26

f. Asas memperbaiki derajat kaum wanita. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.15 Memperhatikan asas-asas hukum perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 tersebut, dapat ditemukan dan dikembangkan beberapa asas hukum perceraian, sebagi berikut.

a. Asas mempersulit proses hukum perceraian

Menurut Abdul Kadir Muhammad, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya mempersukar terjadinya perceraian, dengan alasan karena:

1) Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan.

2) Untuk membatasi kesewenangan-wenangan suami terhadap istri. 3) Untuk mengangkat derajat dan martabat istri, sehingga setaraf

dengan derajat dan martabat suami.16

Asas mempersukar proses hukum perceraian terkandung dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengharuskan hakim di depan sidang pengadilan untuk mendamaikan suami dan istri. Asas mempersukar perceraian juga terkandung dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang memuat

15

Muhammad Syaifuddin, Hukum..., 35-36. 16

(35)

27

ketentuan imperatif bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

Sifat mempersukar proses hukum perceraian dalam alasan-alasan hukum perceraian juga diperkuat dengan keharusan hakim di depan sidang pengadilan untuk memeriksa kebenaran dari alasan-alasan hukum perceraian tersebut, sehingga tidak cukup hanya bersandar pada adanya pengakuan belaka dari pihak yang dituduh melakukan kesalahan.17

b. Asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian

Asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian mengandung arti asas hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang meletakkan peraturan perungang-undangan sebagai pranata hukum dan pengadilan sebagai lembaga hukum yang dilibatkan dalam proses hukum perceraian.

Tujuan paling hakiki dari keberadaan peraturan perundang-undangan, yang menurut Titon Slamet Kurnia adalah untuk menciptakan peraturan perundangan-undangan, yang menurut Titon Slamet Kurnia adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Namun bukan berarti hukum tidak pasti tanpa adanya peraturan

17

(36)

28

undangan. Peraturan perundang-undangan penting untuk menciptakan kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan dapat dibaca, dapat dimengerti dengan cara lebih mudah, sehingga sekurang-kurangnya, dapat menghindarkan spekulasi di antara subjek hukum tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan tentang apa yang merupakan hak dan kewajiban.18

c. Asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan setelah proses hukum perceraian.

Asas perlindungan hukum yang seimbangan selama dan setelah proses hukum perceraian diciptakan sehubungan dengan tujuan hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk melindungi istri dari kesewenang-wenangan suami dan mengangkat marwah (harkat dan martabat kemanusiaan) istri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga sederajat dengan suami, begitupun sebaliknya. Jadi, yang dilindungi secara seimbang oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah pihak yang lemah baik istri maupun suami yang menderita akibat kesewenang-wenangan sebagai wujud kekerasan dalam rumah tangga.

18

(37)

29

Secara filosofis perlindungan hukum bermuara pada suatu bentuk kepastian hukum yang adil, yang mencakup: pertama, aspek tujuan hukum, yang dalam pandangan aliran ilmu hukum positif bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum; dan kedua, aspek perlindungan dalam penegakan hukum, dalam hal ini hukum berfungsi sebagai perlndungan kepentingan manusia, sehingga penegakan hukum dapat mewujudkan hukum menjadi kenyataan.19

3. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan20

Sebab- sebab putusnya perkawinan disebutkan dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 113, yaitu:21

a. Kematian

Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau istri). Dengan adanya peristiwa kematian ini, maka dengan sendirinya mengakibatkan putusnya perkawinan tersebut. Namun kematian yang disebabkan karena hal-hal di luar suatu kewajaran yang biasa dialami masayarakat, membutuhkan suatu penetapan hukum yang

19

Muhammad Syaifuddin, Hukum..., 46. 20

Putusnya perkawinan berarti berahirnya hubungan suami istri yang disebaban oleh beberapa hal dan salah satunya adalah perceraian. Lihat Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 17.

21

(38)

30

menyatakan bahwa orang tersebut dinyatakan benar-benar meninggal, misalnya mati tidaknya penumpang-penumpang kapal yang hilang atau tenggelam. Dalam keadaan demikian surat keterangan matinya seseorang harus dibuatkan dan diberikan atau disahkan oleh instansi yang berwenang menanganinya.

Bagi orang yang berada di bawah lingkungan kuasa hukum perdata Barat, instansi yang berwenang adalah Pengadilan Negeri (Buku I titel XVIII Pasal 463 s.d 495 BW). Sedangkan bagi orang-orang Indonesia asli yang tidak tunduk pada BW masih belum jelas, baik instansi yang berwenang maupun peraturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam menetapkan atau menentukan mati atau tidaknya seseorang.22 b. Perceraian

Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena “dinyatakan talak” oleh seorang suami terhadap

istrinya di mana perkawinan itu dilakukan menurut agama islam. putusnya perkawinan karena perceraian ini dapat juga disebut cerai talak.

Lembaga cerai talak ini hanya diperuntukkan bagi suami yang beragama Islam dimana perkawinannya dilakukan menurut agama

22

(39)

31

Islam yang ingin mencerai istrinya (Penjelasan Pasal 14 PP No. 9/ 1975).23

Dalam Pasal 76 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa:24

(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan shiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.

(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.

c. Keputusan Pengadilan

Putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan adalah putusnya perkawinan karena gugatan perceraian isteri terhadap suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam atau karena gugatan perceraian suami atau istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan bukan Islam, gugatan perceraian yang dikabulkan Pengadilan dengan suatu keputusan.

23

Ibid., 99 24

(40)

32

Put\usnya perkawinan karena keputusan Pengadilan ini disebut juga dengan istilah cerai gugat.25

4. Jenis-Jenis Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata26 a. Putusan Declaratoir (Pernyataan)

Ialah putusan yang hanya menegaskan atau menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya putusan tentang ahli waris yang sah, keabsahan anak angkat menurut hukum.

b. Putusan Constitutief (Pengaturan)

Ialah putusan yang dapat meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya putusan tentang perceraian.

c. Putusan Condemnatoir (Menghukum)

Ialah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi.

d. Putusan Preparatoir

Ialah putusan sela yang dipergunakan untuk mempersiapkan putusan akhir.

e. Putusan Interlocutoir

Ialah putusan sela yang berisi tentang perintah untuk mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti yang

25

Ibid., 26

(41)

33

ada pada para pihak yang sedang berperkara dan para saksi yang dipergunakan untuk menentukan putusan akhir.

f. Putusan Insidentil

Ialah putusan sela yang berhubungan dengan insident atau yang dapat menghentikan proses peradilan biasa untuk sementara. g. Putusan Provisionil

Ialah putusan sela yang dijatuhkan sebelum putusan akhir sehubungan dengan pokok perkara, agar untuk sementara sambil menunggu putusan akhir dilaksanakan terlebih dahulu dengan alasan sangat mendesak demi kepentingan salah satu pihak.

h. Putusan Contradictoir

Ialah putusan yang menyatakan bahwa tergugat atau para tergugat pernah hadir dalam persidangan, tetapi dalam persidangan selanjutnya tergugat atau salah satu tergugat tidak pernah hadir walaupun telah dipanggil dengan patut.

i. Putusan Verstek atau In Absensia 1) Pengertian

(42)

34

hukumnya untuk menghadiri dalam persidangan.27 Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 77 Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (Pasal 73 Rv).

2) Tujuan Verstek

Ialah untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan.

3) Syarat Acara Verstek

Penerapan acara verstek kepada tergugat merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:

a) Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut. b) Tidak hadir tanpa alasan yang sah

Apabila tergugat atau wakilnya tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, kepada tergugat dapat dikenakan hukuman berupa penjatuhan putusan verstek. c) Tergugat tidak mengajukan Eksepsi Kompetensi

Berdasarkan Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 121 HIR, hukum acara memberi hak kepada tergugat mengajukan

27

(43)

35

eksepsi kompetensi, baik absolut berdasarkan Pasal 134 HIR atau relatif berdasarkan Pasal 133 HIR. Apabila tergugat tidak mengajukan eksepsi, kemudian tergugat tidak menghadiri panggilan sidang berdasarkan alasan yang sah, hakim dapat langsung menyelesaikan perkara berdasarkan acara verstek.28 d) Penerapan Acara Verstek Tidak Imperatif

Undang-undang mendudukkan kehadiran tergugat di sidang sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya.29 Undang-undang tidak memaksakan penerapan acara verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memnuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif, dengan artian hakim bebas menerapkan ataupun tidak tentang ketentuan tersebut.

Sifat penerapan yang fakultatif tersebut diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai berikut: pertama, ketidakhadiran Tergugat pada sidang pertama, langsung memberi wewenang

28

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Garafika,2012), 383-388. 29

(44)

36

kepada hakim menjatuhkan putusan verstek. Kedua, mengundurkan sidang dan memanggil Tergugat sekali lagi dengan ketentuan pemanggilan minimal dua kali dan maksimal tiga kali.30

g. Putusan Akhir 5. Alasan Perceraian

Perceraian di mata hukum tidak dapat terjadi begitu saja. Artinya harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan suatu perceraian. Dalam Pasla 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

30

(45)

37

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkarang dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.31

Adapun alasan perceraian dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dijelaslan dalam Pasal 209, yaitu: (1) Zinah; (2) meninggalkan tempat kediaman bersama secara itikad buruk; (3) dijatuhi pidana penjara 5 tahun atau lebih, sesudah perkawinan; (4) pelukaan atau penganiayaan berat oleh yang satu terhadap yang lain, atau sebaliknya, yang bisa membahayakan jiwa atau mengakibatkan luka-luka yang berbahaya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, Perceraian dapat terjadi karena alasan:32

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemaddat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

31

Muhammad Syaifuddin, Hukum..., 181. 32

(46)

38

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sbagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

(47)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS PERKARA CERAI GUGAT KARENA ISTRI TIDAK MAU TINGGAL BERSAMA SUAMI DI RUMAH ORANG TUA

SUAMI

(Putusan Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk)

A. Deskripsi Pengadilan Agama Pamekasan

1. Tupoksi Pengadilan Agama

Pengadilan agama merupakan Pengadilan Tingaka Pertama yang

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan

hibah serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi syariah

sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, pengadilan Agama mempunyai

fungsi sebagai berikut:

a. Memberikan pelayanan Tekhnis Yustisial dan Administrasi Kepaniteraan

bagi perkara Tingkat Pertama serta Penyitaan dan Eksekusi.

b. Memberikan pelayanan dibidang Administrasi Perkara banding, kasasi,

dan peninjauan kembali serta Administrasi Peradilan lainnya.

c. Memberikan pelayanan administrasi umum pada semua unsur di

Lingkungan Pengadilan Agama

d. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang Hukum Islam

(48)

40

e. Memberikan pelayanan permohonan pertolongan pembagian harta

peninggalan di luar sengketa antar orang-orang yang beragama Islam.

f. Waarmerking Akta keahliwarisan dibawah tangan untuk pengambilan

deposito/tabungan dan sebagainya

g. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum,

memberikan pertimbangan hukum agama, pelayanan riset/penelitian,

pengawasan terhadap advokat/penasehat hukum dan sebagainya

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Pamekasan

Visi:

Terwujudnya Kesatuan Hukum dan Aparatur Pengadilan Agama yang

Profesional, Efektif, Efesien, dan Akuntabel Menuju Badan Peradilan

Indonesia yang Agung.

Misi:

a. Menjaga kemandirian Aparatur Pengadilan Agama

b. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum yang berkeadilan, kredibel, dan

transparan

c. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan

d. Mewujudkan kesatuan hukum sehingga diperoleh kepastian hukum bagi

masyarakat.1

(49)

41

B. Kronologi Perkara Cerai Gugat Karena Istri Tidak Mau Ikut Tinggal Bersama Suami di Rumah Orang Tua Suami

Menurut pemaparan dari seorang Hakim Pengadilan Agama Pamekasan

mengatakan bahwa perceraian dengan alasan tempat tinggal di sini sangat sering

terjadi, bahkan sudah biasa. Meskipun pada perjanjian sebelum menikah tempat

tinggal sudah di tentukan, tidak menutup kemungkinan setelah menikah

masalah tempat tinggal menjadi bahan percekcokan atau pertengkaran. Seperti

halnya dalam penelitian ini, pe

?rceraian dengan alasan tempat tinggal yang disebabkan oleh adanya

intervensi atau adanya pihak ketiga juga sudah biasa terjadi, tapi permasalahan

yang sudah masuk keranah pengadilan menandakan bahwa permasalahannya

sudah mencapai puncaknya sehingga memang perkawinannya benar-benar tidak

dapat dipertahankan kembali.2

Pernyataan ini hampir mirip dengan pemaparan seorang Panitera di

Pengadilan Agama Pamekasan yang mengatakan bahwa perceraian karena

alasan tempat tinggal merupakan sesuatu yang sangat sepele untuk dijadikan

sebuah pertimbangan dalam alasan perceraian, namun tidak bisa di pungkiri

bahwa pada kenyataannya alasan seperti ini memang sudah biasa terjadi, hal ini

disebabkan oleh banyak hal, seperti karena masing-masing adalah anak tunggal,

sehingga masing-masing orang tua bersikukuh menginginkan anaknya untuk

tetap tinggal bersama mereka yang pada akhirnya tidak bisa di temukan jalan

(50)

42

keluarnya yang berujung sebuah perceraian. Dalam hal ini keluarga tidak

sepenuhnya bisa di salahkan, terkadang kematangan dan kedewasan dalam pola

pikir pasangan sangat dibutuhkan sehingga mampu menghadapi hal-hal sepele

seperti ini dan mampu mempertahankan rumah tangganya.3

Dengan adanya realita semacam ini, penggugat kemudian megajukan surat

gugatan tertanggal 07 Oktober 2015 dengan nomor perkara

1001/Pdt.G/2015/PA Pmk. Alasan-alasan yang tercantum dalam surat gugatan

tersebut sebagai berikut: 1. Bahwa pada tanggal 15 Desember 2015, Penggugat

(Istri) dengan Tergugat (Suami) melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kabupaten Pamekasan dalam

Duplikasi Kutipan Akta Nikah Nomor 623/15/XII/2014 tanggal 15 Desember

2014.4

Setelah pernikahan tersebut berlangsung Penggugat (Istri) dan Tergugat

(Suami) bertempat tinggal di rumah Orang Tua Penggugat (Istri) selama 8 bulan

dan telah berhubungan layaknya suami isteri dan belum dikaruniai anak, pada

awalnya rumah tangga Penggugat (Istri) dan Tergugat (Suami) hidup rukun dan

harmonis, namun sejak bulan Oktober rumah tangga Penggugat (Istri) dan

Tergugat (Suami) mulai goyah dan mengalami keretakan karena terjadi

perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan masalah tempat tinggal di mana

Tergugat (Suami) tidak kerasan di rumah Penggugat (Istri) tanpa alasan yang

3 Syafiuddin, Wawancara, Pamekasan pada tanggal 10 November 2016.

(51)

43

jelas, sedangkan Penggugat (Istri) tidak kerasan di rumah Tergugat (Suami)

karena orang tua Penggugat (Istri) keberatan karena setatus anak tunggal.5

Akibat perselisihan dan pertengkarangan tersebut, Penggugat (Istri) dan

Tergugat (Suami) telah pisah rumah selama 2 bulan, Tergugat (Suami) pulang

kerumah orangtua Tergugat (Suami). Keadaan demikian itu, menyebabkan

Penggugat (Istri) merasa tidak sanggup lagi melanjutkan hubungan rumah

tangganya dengan Tergugat (Suami) dan bermaksud mengakhiri dengan

perceraian.6

Dimana dalam perselisihan ini sebenarnya terdapat unsur intervensi dari

orang tua Tergugat yang menginginkan tergugat tinggal bersama orang tuanya.

Yang mana perselisihan ini berawal dari datangnya mertua Penggugat dari

Malaysia. Hal ini sebagaimana pemaparan Penggugat sebagai berikut:

“sebenarnya dalam rumah tangga kami tidak ada masalah apapun sebelumnya, namun hal ini terjadi ketika mertua saya datang dari Malaysia

dan meminta suami saya untuk tinggal bersamanya di rumah mertua saya.”7

Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari bapak Penggugat

Sebenarnya pernikahan mereka baik-baik saja, bahkan tidak pernah ada percekcokan. Tetangga-tetangga disini kaget, ternyata yang mau cerai itu anak saya, anggapan mereka yang ingin bercerai itu adalah sepupunya, melihat percekcokan yang sering terjadi dalam rumah tangga sepupunya itu. Tapi mau gimana lagi, suaminya tidak mau tinggal disini karena disuruh tinggal dirumah orang tuanya oleh ibunya, sedangkan anakku juga tidak mau tinggal disana. Kalau emang kayak gini yasudah cerai saja. Tapi

5 Nur, Wawancara, Pamekasan pada tanggal 10 November 2016.

6 Ibid.

7Istri (Penggugat dalam putusan No. 101/Pdt.G/2015/PA Pmk.), Wawancara, Pamekasan pada

(52)

44

meskipun mereka sudah cerai, suami anak saya masih sering telepon dan kadang main-main kerumah, ya memang pada dasarnya percerain mereka sebenarnya tidak ada masalah secara langsung dari anak saya dan suaminya, ya cuman karena ibu mertuanya itu. Sebelum ibu mertua datang kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja, suaminya setelah menikah tinggal disini.8

Penggugat (Istri) sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat

perkara ini. Dimana dalam perkara sebenarnya semua biaya yang disanggupi

oleh Penggugat dalam pembayaran persidangan perkara ini berasal dari

Tergugata yaitu suami Penggugat. Hal ini sebagimana pernyataan berikut:

Ketika masalah itu sudah tidak bisa kita persatukan kembali karena mertua saya bersikukuh menginginkan kita bercerai, atas perintah ibunya suami saya membeli surat cerai dan meminta saya untuk mendaftarkan ke Pengadilan agama Pamekasan, dengan biaya sepenuhnya berasal dari suami saya.9

Berdasarkan alasan-alasan di atas, Penggugat (Istri) mohon agar Ketua

Pengadilan Agama Pamekasan segera memeriksa dan mengadili perkara ini,

selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi: 1. Mengabulkan

gugatan Penggugat (Istri); 2. Menjatuhkan talak satu bain sughro Tergugat

(Suami) terhadap Penggugat (Istri); 3. Membebankan biaya perkara kepada

Penggugat (Istri) sesuai dengan peraturan atau perundang-undangan yang

berlaku. Subsidair menjatuhkan putusan seadil-adilnya.10

8 Bapak Penggugat (saksi I dalam putusan No. 101/Pdt.G/2015/PA Pmk.), Wawancara, Pamekasan

pada tanggal 3 November 2016.

9Istri (Penggugat dalam putusan No. 101/Pdt.G/2015/PA Pmk.), Wawancara...,

(53)

45

Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat

(Istri) telah hadir di persidangan, sedangkan Tergugat (Suami) tidak hadir dan

tidak pula mengutus kuasanya, meskipun Tergugat (Suami) telah dipanggil

dengan patut, dan ketidak hadirannya tersebut disebabkan oleh suatu halangan

yang sah, maka pemeriksaan berlanjut tanpa hadirnya Tergugat (Suami) yang

mana hal ini mengakibatkan adanya putusan verstek.

Ketidak hadiran Tergugat sebenarnya terdapat sebuah kesengajaan,

dimana dengan tidak hadirnya Tergugat maka proses persidangan akan berjalan

dengan cepat, hal ini disebabkan karena keinginan dari ibu Tergugat yang

benar-benar menginginkan perceraian ini terjadi, karena alasan istri tergugat tidak mau

diajak tinggal bersama tergugat di rumah orang tua Tergugat. Hal ini sesuai

dengan pernyataan sebagai berikut:

Suami saya tidak pernah menghadiri persidangan, karena mertuanya melarangnya untuk menghadiri persidangan itu, agar persidangan perkara perceraian ini bisa cepat diputus.11

Dalam persidangan, Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan akan

tetapi upaya tersebut tidak berhasil, selanjutnya Penggugat (Istri) membacakan

surat gugatannya yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat (Istri). Dalam

persidangannya Penggugat (Istri) meneguhkan dalil-dalil gugatannya dengan

menyerahkan alat bukti surat di persidangan berupa Fotokopi Kutipan Akta

Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Batumarmar kabupaten

(54)

46

Pamekasan Nomor 623/15/XII/2014 Tanggap 15 Desember 2014 yang sudah

bermaterai cukup dan sudah dicocokan dengan aslinya, diberi tanda P.12

Selain itu Penggugat (Istri) telah menghadirkan saksi-saksi atau

keluarganya untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan,

masing-masing bernama; Saksi I, umur 40 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, tempat

kediaman di Kabupaten Pamekasan, selaku bapak dari Penggugat (Istri); Saksi

II, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, tempat kediaman di Kabupaten

Pamekasan, selaku sepupu dari Tergugat (Suami). Dimana kedua saksi tersebut

telah memberikan keterangannya dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai

berikut, bahwa Tergugat (Suami) tidak kerasan tinggal di rumah Penggugat

(Istri) sedangkan Penggugat (Istri) juga tidak mau diajak tinggal dirumah Orang

Tua Tergugat (Suami) yang pada akhirnya memilih untuk hidup

sendiri-sendiri.13

C. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Pamekasan Nomor

1001/ Pdt.G/2015/PA.Pmk Tentang Cerai Gugat Karena Istri Tidak Mau Ikut

Tinggal Bersama Suami di Rumah Orang Tua Suami

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di dalam posita maka

permohonan Penggugat (Istri) dalam Putusan Pengadilan Agama Pamekasan

Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk. tentang Cerai Gugat Karena Istri Tidak Mau

12 Surat gugatan dengan nomor perkara 1001/Pdt.G/2015/PA Pmk.

(55)

47

Tinggal Bersama Tergugat (Suami) di Rumah Orang Tua Tergugat (Suami) di

pertimbangkan dan di putuskan gugatan Penggugat (Istri) dikabulkan tanpa

adanya kehadiran Tergugat (Suami) berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan

oleh Penggugat (Istri).14 Dengan kata lain, dalam perkara ini hakim memberikan

putusan verstek, karena Tergugat tidak hadir dan tidak pula mengutus kuasanya,

meskipun telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak menghiraukan dan menaati

panggilan tanpa alasan yang sah.15

Adapun pertimbangan-pertimbangan yang digunakan Hakim dalam

memutuskan perkara Nomor 1001/Pdt.G/2015/PA.Pmk. tentang Cerai Gugat

Karena Istri Tidak Mau Tinggal Bersama Tergugat (Suami) di Rumah Orang

Tua Tergugat (Suami) adalah sebagai berikut:

1. Dalil gugatan dalam surat gugatan Penggugat (Istri) yang mengatakan

bahwa sejak 2 bulan yang lalu rumah tangga Penggugat (Istri) dan Tergugat

(Suami) mulai goyah dan tidak harmonis, yang disebabkan karena

perselisihan tempat tinggal di mana Tergugat (Suami) tidak kerasan di

rumah Penggugat (Istri) tanpa alasan yang jelas, sedangkan Penggugat

(Istri) tidak kerasan di rumah Tergugat (Suami) karena orang tua Penggugat

(Istri) keberatan karena statusnya anak tunggal.16 Yang menjadi

pertimbangan hakim yaitu apakah rumah tangga tersebut memang

14 Putusan Pengadilan Agama Pamekasan Nomor: 1001/Pdt.G/2015/PA Pmk.

15 Ibid.,

(56)

48

benar tidak bisa disatukan atau tidak, terlepas dari siapa yang salah dalam

hal ini.

Dalam perkara pada penelitian ini hakim juga mempertimbangkan

dengan melihat siapa yang datang untuk mendaftarkan perkara perceraian

tersebut. Seperti halnya dalam masalah tempat tinggal itu adalah masalah

yang sangat sepele apalagi ada unsur pihak ketiga namun jika masalah ini

sudah masuk ranah hukum maka hakim sudah tidak melihat kronologis

permasalahan itu diluar persidangan, karena yang dilihat itu siapa yang

datang mendaftarkan dan mendengarkan keterangan-keterangannya di

depan persidangan, apabila didalam persidangan pihak yang bersangkutan

tidak memberikan keterangan mengenai kronologis permasalahnnya seperti

adanya intervensi dari pihak ketiga maka itu sudah bukan ranah hakim lagi,

jadi hakim hanya mendengarkan keterangan-keterangan di depan

persidangan, kecuali dalam persidangan terdapat bukti-bukti bahwa

benar-benar terjadi ikut campur pihak ketiga, maka bukan tidak mungkin hakim

akan menolak permohonan penggugat tersebut. Karena dalam hal ini, hakim

hanya bersifat pasif dan terpaku pada keterangan-keterangan pihak yang

bersangkutan di depan persidangan hal ini yang akan dijadikan bukti

pengakuan,sehingga kronologis yang terjadi dalam permasalahan tersebut

tidak bisa menjadi tolak ukur hakim dalam memutus. Misalnya seperti salah

(57)

49

persidangan dia memberikan keterangan yang mengarah bahwa dia

benar-benar ingin bercerai, namun ketika diluar persidangan dia mengatakan

bahwa sebenarnya dia masih sayang tapi ketika di persidangan tadi dia

terpaksa memberikan keterangan secara tidak benar karena takut kepada

orang tuanya maka keterangan yang disampaikan di luar persidangan, tidak

bisa di terima.”17

Dalam memutuskan suatu perkara di Pengadilan hakim melihat dari

bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, salah satunya yaitu dalil

gugatan yang diberikan oleh Penggugat. Sehingga dari dalil gugatan

tersebut sudah bisa dianggap sebagai bukti pengakuan.

2. Mempertimbangkan bukti surat (P) serta keterangan saksi di persidangan.

serta mempertimbangan dari bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat seperti keterangan saksi yang telah dihadirkan dan biasanya saksi masih ada hubungan keluarga dari kedua belah pihak. Dan sebatas pengetahuan saksi, meskipun tidak terlalu jelas apa yang menyebabkan perselisihan tersebut, saksi hanya sebatas mengetahui secara dhohirnya saja. Saksi mengetahui adanya pisah rumah itu sudah bisa menunjukkan adanya perselisihan meskipun saksi tersebut tidak terlalu banyak tau tentang perselisihan tersebut, hal itu sudah bisa dianggap sebagai bukti dari keterangan saksi.

3. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116

huruf f Kompilasi Hukum Islam, dengan alasan tidak ada ketentuan atau

batasan pertengkaran yang dimuat dalam dalam Undang-Undang ini,

sehingga 70% kasus perceraian yang terjadi pasti merujuk pada Pasal ini,

(58)

50

hal ini sebagaimana yang telah dipaparkan oleh hakim Pengadilan Agama

yang mengatakan:

Tidak ada batasan pertengakaran dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, setiap permasalahan yang mengakibatkan pertengkaran itu bisa dijadikan alasan karena itu tergantung, terkadang permasalahan sepele dibesar-besarkan yang berujung perceraian. Karena segala permasalahan pasti larinya kepada Pasal itu, mengingat Pasal tersebut masih bersifat universal dan tidak ada ketentuan pertengkaran seperti apa yang bisa dijadikan rujukan untuk Pasal ini. Bahkan kasus kekerasan dalam rumah tangga, juga bisa menggunakan Pasal ini juga. Karena memang kan, Pasal ini pasti di jadikan rujukan karena alasan lain yang tercantum pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam sangat jarang terjadi.18

Hal ini juga ditambahkan oleh pernyataan bapak panitera Pengadilan

Agama Pamekasan yang mengatakan:

Hakim tidak terpaku pada teks Undang-Undang, semua alasan yang menimbulkan perselisihan itu bisa dijadikan alasan perceraian. Karena pada logikanya tidak ada seseorang yang bertengkar secara terus-menerus itu, tidak mungkin pasti ada baikannya. Dalam hal ini, hakim juga melihat kepada situasi yang ada, yang memang terjadi dalam kalangan masyarakat madura dimana penentuan tempat tinggal sangatlah lumrah terjadi sebagai sebuah alasan suatu perceraian. Alasan lain yang ada dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam sangat jarang di temui.19

4. Dalil al-Quran surat ar-rum ayat 21 dan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yakni “membina rumah tangga yang penuh rasa kasih

18 Ibid,.

(59)

51

sayang serta membentuk rumah tangga (keluarga) yang kekal dan bahagia”,

yang tidak terwujud lagi.

5. Kemaslahatannya yang didasarkan kepada kaidah fiqhiyah yang berbunyi

“monolak kerusakan harus lebih didahulukan dari pada menarik

kemaslahatan”.

Hal ini, sejalan dengan apa yang telah disampaikan salah satu hakim di

Pengadilan Agama Pamekasan,

...hakim juga melihat mudhorot dan maslahatnya, mempertimbangkan lebih banyak mana mudhorot atau maslahahnya. Mana yang lebih baik disatukan atau diceraikan, meskipun masalah penyebabnya itu ada pihak ketiga, judi dan lain-lain, itu akan tetap kembali kepada kedua belah pihak, apakah rumah tangga mereka dapat disatukan atau tidak.20

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Gani (2015) yaitu: 1) Model pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar

Dari semua kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dicapai, peneliti hanya mengkajiKD 3.12 menelaah struktur dan kebahasaan teks ulasan (film,

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Intiyas (2007) dengan judul ³SHQJDUXK locus of conrol, komitmen profesi dan pengalaman auditor terhadap perilaku auditor dalam

Pada lokasi hutan mangrove di Desa Nira Nusa perlu adanya sebuah jalur pedestrian yang dimana memudahkan para wisatawan dapat menikmati keindahan alam hutan

Renstra Cipta Karya Provinsi juga terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. (RPJMD) Provinsi serta dokumen RPIJM bidang Cipta karya

Data tersebut merupakan data harian harga saham penutupan (harga saham yang diminta oleh penjual atau pembeli saat akhir hari bursa) dari lima saham sub

Formulasi  yang  lebih  sederhana  adalah:  sebuah  argumen  merupakan  serangkaian   premis  yang  mendukung  sebuah  kesimpulan...  Sebuah  proses  penalaran

Adanya evaluasi dan analisis kebijakan strategi pemasaran yang telah dijalankan oleh pihak agroindustri tentunya akan mampu mempengaruhi peningkatan volume penjualan kerupuk