• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS FIGUR SEMAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS FIGUR SEMAR."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS

FIGUR SEMAR

Skripsi:

Disusun untuk Mengetahui Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

Suciyati

(E81212063)

JURUSAN FILSAFAT AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Suciyati, 2016,“Relevansi Humanisme Gus Dur dengan MoralitasFigurSemar” Pembimbing: Drs. Loekisno Choiril Warsito. M. Ag

Kata Kunci: Relevansi, Humanisme Gus Dur, Moralitas Semar

Ajaran moralitas dan humanisme yang difigurkan oleh Sunan Kalijaga dalam tokoh punakawan terutama Semar, juga dapat dilihat proyeksinya dalam pikiran dan ajaran moralitas humanisme Gus Dur. Dalam segala sepak terjangnya, beliau selalu mengedepankan moral. Beliau juga tokoh yang melestarikan kearifan lokal berdampingan dengan nilai-nilai ajaran tasawuf dan pesan moral yang terkandung dalam agama Islam tanpa menghilangkan salah satu dari keduanya. Beliau menjelaskannya dengan istilah yang telah dikenal para pemikir dengan gerakan

“pribumisasi Islam”.Penelitian ini mencoba merumuskan konsep humanusme Gus

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL DALAM ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

ABSTRAK ...v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Kajian Pustaka... 6

F. Metodologi Penelitian ... 6

1. Jenis Penelitian ... 6

2. Sumber Data ... 7

3. Metode Penelitian ... 7

a. Tahap Pengumpulan Data ... 8

b. Tahap Analisis Data ... 9

c. Teknik Analisis Data ... 10

(8)

BAB II : HUMANISME GUS DUR

A. Humanisme ... 13

1. Pengertian Humanisme ... 13

2. Macam-Macam Humanisme ... 15

a. Humanisme Sekuler ... 15

b. Humanisme Religius ... 15

B. Humanisme Gus Dur ... 18

1. Keislaman dan Kemanusiaan ... 18

2. Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam ... 23

3. Kemanusiaan dan Keadilan ... 26

C. Humanisme dalam 9 Nilai Utama Gus Dur ... 28

1. Ketauhidan... 29

BAB III : NILAI MORALITAS FIGUR SEMAR A. Pengertian Moralitas ... 42

B. Internalisasi Nilai Islam dalam Moralitas Figur Semar ... 43

1. Wayang... 44

2. Semar dalam Dakwah Islam ... 45

C. Moralitas dalam Figur Semar... 50

1. Pesan Moral dalam Nama dan Julukan Semar ... 50

a) Bathara Semar ... 50

b) Ki Lurah Nayataka ... 51

c) Hyang Maya ... 51

(9)

e) Ismaya... 53

f) Janggan Semarasanta... 53

2. Pesan Moral dalam Karakter Semar ... 54

a) Punakawan Simbol Kesederhanaan... 55

b) Ciri Fisik Semar... 55

c) Karakter Semar ... 57

BAB IV : ANALISIS RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS FIGUR SEMAR A. Bathara Semar (Sosok penerang hati & pemersatu bangsa) ... 59

1. Merespon Konflik Internasional... 60

2. Mendamaikan Kekerasan antar etnik dan keagamaan... 63

a) Pembakaran Gereja Situbondo... 63

b) Pembunuhan Masal Banyuwangi... 63

c) Pembunuhan Masal Sampit ... 64

d) Rekonsiliasi Aceh, Maluku dan Kalimantan Barat... 65

e) Melindungi Kaum Minoritas ... 66

B. Ki Lurah Nayataka (Zuhud) ... 66

C. Hyang Maya (Kontrol Sosial) ... 68

D. Semar Badranaya (Mensejahterakan Manusia)... 69

E. Punakawan (Simbol Kesederhanaan)... 72

F. Ismaya (Manufer, Sulit ditebak) ... 74

G. Janggan Semarasanta (Penyambung Aspirasi Rakyat) ... 76

H. Ciri Fisik Semar (Teguh dalam Prinsip) ... 79

I. Karakter Semar (Humoris, kontroversial)... 82

BAB V : PENUTUP A. Kesimpuan ... 85

B. Saran... 86

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar belakang

Pagelaran wayang merupakan lambang dari drama kehidupan manusia,

menyajikan banyak kata mutiara, ajaran pendidikan serta imajinasi dalam

petuah-petuah yang ditunjukkan oleh perilaku punakawan, namun penyampaiannya secara

simbolik. Dalam peranangoro-goroperanan punakawan sangat jelas dipertunjukan sebagai tokoh penting. Semar merupakan tokoh inti dan semuanya tergantung pada

pribadinya. Goro-goro merupakan pertanda munculnya punakawan yang tidak ketinggalan pada setiap lakon wayang Jawa, sebab nilai-nilai filosofis orang Jawa

sering terlihat pada perilaku punakawan.

Sebagian besar mahasiswa di Indonesia ketika mendengar kata wayang, maka

yang tergambar dipikiran mereka adalah tentang budaya tradisional, cerita rakyat,

sinden dan lain-lain. Ada aspek yang terlupakan dari pagelaran wayang pada

pandangan mereka, khususnya lakon punakawan. Yaitu pesan moral dan filosofi

dari karakter punakawan tersebut. Pesan moral yang dititipkan oleh penciptanya,

Sunan Kalijaga kepada karakter punakawan tersebut. Yang menggambarkan sikap,

etika dan moral manusia pada umumnya.

Deskripsi etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,

menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Yang

juga menerangkan tujuan hidup manusia yang tercermin dalam perbuatan dan

(11)

2

diperbuat. Semua itu adalah ajaran tasawuf Sunan Kalijaga yang disampaikan

melalui karekter punakawan.

Ketika membicarakan punakawan jelas tidak bisa dilepaskan dari figur

Semar. Dalam mitologi Jawa, Semar dianggap merupakan tokoh dari tanah Jawa

yang disucikan. Begitu pula ajaran-ajaran Semar juga memberikan kontribusi

dalam hal membina mental spiritual manusia, membentuk para ksatria agarberbudi bawa leksana,membelawong cilik,dan memberantasma lima.1

Yang menarik pula, para figur Punakawan ada pada sela-sela kehidupan

Pandawa lima adalah buah karya Sunan kalijaga. Beliau membuat figur-figur

tersebut dalam pewayangan sebagai media dakwah yang efektif bagi penduduk

Jawa Tengah. Tentu jika dilihat dari alur cerita, kisah, nasehat-nasehat serta para

tokoh dan karakter yang ada, itu semua menggambarkan kehidupan keseharian

manusia. Dengan memunculkan figur Punakawan, Sunan Kalijaga juga menitipkan

pesan moral yang dalam kepada para penontonnya.

Ajaran moralitas dan humanisme yang di figurkan oleh Sunan Kalijaga dalam

tokoh punakawan terutama Semar, juga dapat dilihat proyeksinya dalam pikiran

dan ajaran moralitas humanisme Gus Dur. Dalam segala sepak terjangnya, beliau

selalu mengedepankan moral. Beliau juga tokoh yang melestarikan kearifan lokal

berdampingan dengan nilai-nilai ajaran tasawuf dan pesan moral yang terkandung

dalam agama Islam tanpa menghilangkan salah satu dari keduanya. Beliau

1 Muhammad Zaairul Haq,Tasawuf Semar Hingga Bagong, Simbol, Makna, dan Ajaran

(12)

3

menjelaskannya dengan istilah yang telah dikenal para pemikir dengan gerakan

“pribumisasi Islam”.

Penggalian humanisme di dalam pemikiran Gus Dur menjadi penting untuk

melihat prinsip dasar dari segenap pemikiran dan gerakannya, sejak gerakan sosial

hinggal politik praktis. Hanya saja Gus Dur memang bukan seorang pemikir

humanisme dalam artian formal. Sebab ia tidak secara khusus menulis tentang

humanisme. Tulisan yang secara eksplisit memuat pemikiran berjudul humanisme

hanya ada dua; (1)Imam Khalil al-Farahidi dan Humanisme dalan Islamserta (2) Mencari Perspektif Baru Hak Asasi Manusia.2

Di tulisan pertama, Gus Dur lebih banyak mengeksplorasi sumbangan

AL-Farahidi, seorang ahli bahasa abad ke-2 Hijriyah yang menyumbangkan tradisi

humanistik di dalam Islam. Dalam hal ini, humanisme Gus Dur dimaknai secara

longgar, yakni perluasan wawasan keislaman, dari tradisi Islam klasik kepada

tradisi filsafat Yunani. Maka dalam kasus humanisme Islam, Gus Dur memaknai

humanisme sebagai rasionalisasi dan modernisasi Islam sebab melaluinya, Islam

bisa diikutsertakan dalam pengembangan kemanusiaan secara umum. Pada titik ini,

humanisme telahinherendi dalam modernitas sehingga keterlibatan Islam di dalam modernisasi secara otomatis menggerakkan humanisasi berbasis Islam.

Sementara itu dalam tulisan kedua, Gus Dur banyak mengelaborasi barbagai

perspektif tentang HAM. Dalam kaitan ini, ia mengapresiasi pendekatan liberal

yang berupaya memenuhi hal-hak sipil dan politik dari warga negara modern.

2 Lihat di Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan

(13)

4

Namun pada saat bersamaan, ia mengusulkan penyempurnaan melalui apa yang

disebut sebagai pendekatan struktural atas HAM. Pendekatan structural ini merupakan upaya pemenukan hak sosial-ekonomi yang harus disediakan negara

sehingga HAM belum benar terwujud ketika warga negara hanya diberi“kebebasan

politik”, tetapi belum terpenuhi hak-hak dasar hidupnya sebagai manusia yang

butuh hidup secara layak.3

Sedangkan ketika ditelusuri bacaan-bacaan berita tentang tindak-tanduk Gus

Dur yang mempunyai nilai membela humanisme maka setiap orang dapat mudah

sekali menemukannya. Karena memang Gus Dur mengamalkan konsep humanisme

kepada sekian banyak bangsa Indonesia, baik di Aceh maupun Papua. Dan beliau

juga mengupayakan rekonsiliasi atas setiap sengketa dan pertikaian, baik antar

suku, agama ataupun ras.

Humanisme Gus Dur menarik karena menyediakan diskursus humanisme

dalam perspektif Islam. Letak urgensi dari humanisme ini adalah posisinya yang

tidak bertentangan dengan agama, tidak seperti humanisme modern yang lahir dari

sekulerisasi Eropa.4Bahkan acap kali Gus Dur menarik pemikiran humanismenya

kepada akar kaidah-kaidahfiqhiyahdan konsephifd al-nafsyang telah berkembang matang ditangan para pemikir-pemikir Islam.

Dari dua point ini, akan dibahas dan diteliti titik temu dan relevansi antara

pandangan Sunan Kalijaga dalam lakon Punakawannya, khususnya lakon semar,

dengan ajaran Humanisme Gus Dur. Inilah yang menarik untuk dikaji dan diteliti

3Ibid, 55-56.

(14)

5

lebih lanjut, sebagai upaya dalam mendalami kearifan lokal dan khazanah keilmuan

yang telah ada di Indonesia.

B.

Rumusan Masalah

Dari ulasan singkat mengenai latar belakang masalah yang telah dipaparkan

di atas antara lain:

1. Apa humanisme Gus Dur?

2. Apa moralitas dalam figur Semar?

3. Bagaimana relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian

ini memiliki tujuan:

1. Mengetahui humanisme Gus Dur

2. Mengetahui moralitas dalam figur Semar

3. Mengetahui relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar

D.

Kegunaan Penelitian

1. Secara teori dapat memberikan motivasi diri untuk memperluas ilmu

pengetahuan dengan memperkaya wawasan melalui membaca, serta di

harapkan hasil karya ini dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan

dalam mengadakan suatu penelitian serta berguna bagi masyarakaat. Pada

umumnya untuk mengkaji relevansi antara nilai-nilai moral dalam karakter

(15)

6

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan bagi

peminat filsafat dalam dunia kesenian, khususnya nilai moral dan humanisme

dalam karakter lakon Semar

E.

Kajian Pustaka

Banyak penulis yang memcoba meneliti dan menguraikan pemikiran

Humanisme Gus Dur dalam bentuk skripsi sebagai syarat sarjana. Salah satunya;

Pada tahun 2010, Mibtadin, mahasiswa Filsafat program pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, menulis “Humanisme Dalam Pemikiran Abdurrahman

Wahid”.

Pada tahun 2011, M. Mahbub Risad, mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis “Perilaku TasawufGusDur”.

Pada tahun 2015, Wahyu Suminar, mahasiswa Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah STAIN Ponorogo, menulis “ konsep Pendidikan Humanisme

(Telaah Atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)”. Dalam skripsi ini dia mencoba

menelaah secara mendalam konsep pendidikan Humanisme Gus Dur.

Jadi skripsi yang membahas relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas

figur Semar di Indonesia masih belum ada. Maka saya memutuskan mengambil

tema tersebut, karena sejatinya kedua konsep kemanusiaan tersebut, baik

humanisme Gus Dur atau pun nilai moral dari lakon Semar adalah bersumber pada

akar yang sama, ajaran Islam yang luhur.

(16)

7

Skripsi dengan judul “Relevansi Humanisme Gus Dur dengan Moralitas

Figur Semar” akan menggunakan metode studi pustaka. Kegiatan penelitian

dengan studi pustaka dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai

literature yang ada di perpustakaan atau tempat-tempat lain. Literature yang

digunakan berupa buku. Bisa juga jurnal, majalah, koran, dan lain sebagainya

berkaitan dengan kepustakaan.5 Melalui telaah studi pustaka, peneliti akan

melakukan penelaahan secara mendalam terhadap humanisme Gus Dur dan

relevansinya dengan moralitas figur Semar.

2. Sumber Data

Penelitian studi pustaka mensyaratkan sumber-sumber data yang akurat

untuk mendukung hasil penelitian yang maksimal. Sebagai upaya telaah kritis

dan mendalam terhadap pemikiran Gus Dur tentang Humanisme, baik secara

konsep maupun tingkah laku. Maka penulis mengelompokkan sumber-sumber

data yang diperlukan sesuai dengan metodologi penelitian menjadi dua, yakni:

a. Sumber Data Primer

b. Sumber Data Sekunder

3. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang

dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk

mencapai suatu tujuan. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menitik

beratkan pada studi kepustakaan dan menggunakan pendekatan filosofis, yaitu

(17)

8

untuk mencari informasi yang terkandung dalam teks atau sering disebut

dengan muatan teks. Untuk itu akan dilaksanaka urutan-urutan sebagai berikut:

a. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini penulis mengumpulkan data-data yang berhubungan

dengan wayang maupun data-data yang menyangkut tentang masyarakat,

terbagi dalam dua data. Yaitu:

1) Data Primer, buku-buku yang berhubungan dengan konsep

humanisme Gus Dur, yaitu Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013. Serta buku yang berhubungan dengan wayang dan

kebudayaan Jawa yang memungkinkan berkaitan dengan figure

semar, yaitu: Muhammad Zaairul Haq. Tasawuf Semar hingga Bagong, Simbol, Makna, dan Ajaran Ma’rifat dalam Punakawan. Bantul: Kreasi Wacana, 2013.

2) Data Sekunder

a) Harun Nasution.Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.

b) Abbudin Nata.Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali press. 1996. c) Jejak langkah Guru Bangsa. Semarang: Ein Institute. 2010.

(18)

9

e) Tabayun Gus Dur,Pribubisasi Islam. Hakminoritas Reformasi Kultural.Yogyakarta: Lkis. 1998.

f) Husain Muhammad.Sang Zahid. Yogyakarta: Lkis. Cet 1. 2012.

g) Abdurrahman Wahid.Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: Lkis. 2000.

h) Abdurrahman Wahid. Islam Kosmopolitan, nilai-nilai Indonesia dan Tranformasi Kebudayaan. The Wahid Institut. 2007.

i) Anton Bakker dan Achmad Charris Zubir.Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

j) Noeng Muhadjir.Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998

k) Dan lain-lain.

b. Tahap Analisis Data

Analisis merupakan proses akhir dari penelitian setelah masalah

penelitian dirumuskan, dikumpulkan dan diklarifikasi. Maka langkah

selanjutnya adalah menganalisa dan menginterpretasikan dalam bentuk

yang mudah dibaca dan dipahami. Analisis data adalah upaya untuk

mencari dan menata secara sistematis dari hasil pengumpulan data untuk

(19)

10

orang lain.6Dalam tahap analisis ini data-data yang terkumpul di analisis

satu persatu, baik dengan analisis intern ataupun ekstern. Data-data yang

diperoleh dari berbagai macam sumber akan dianalisis melalui metode:

1) Metode Induktif (dari khusus ke umum), buku yang bersangkutan di

pelajari, dengan menganalisis semua bagian dan semua konsep

pokok satu persatu dan dalam hubunganya satu sama lain.7Jadi buku

Humanisme Gus Dur (Pergumalan Islam dan Kemanusiaan) dan

Tasawuf Semar Hingga Bagong tersebut dipelajari tentang Figur

Semar. Baik karakter, kepribadian, tugas, peran Semar, Dan

lain-lain.

2) Metode Deduktif (dari umum ke khusus), dari pengertian umum di

buat eksplisitasi dan penerapan lebih khusus.8 Buku-buku yang

berhubungan dengan punakawan dipelajari kemudian dihubungkan

dan diterapkan ke dalam nilai moral yang pada figur Semar dalam

ajaran humanisme Gus Dur.

c. Teknik Analisis Data

Setelah melakukan proses pengolahan data, langkah berikutnya

yang harus dilakukan adalah langkah analisa data. Berikut langkah yang

akan dilakukan dalam rangka menganalisa hasil penelitian.

1) Analisis Historis

6Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III(Yogyakarta: Rake Sarasin,

1998), 104.

7Anton Bakker dan Achmad Charris Zubir,Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1990), 69.

(20)

11

Analisis Historis merupakan pendekatan penelitian dengan

melakukan penelaahan terhadap sejarah tokoh yang diteliti, berkaitan

dengan segala hal dalam hidup tokoh bersangkutan, seperti lingkungan,

sejarah pendidikan, dan pemikirannya dalam merespon berbagai

kejadian yang terjadi dalam perjalanan hidupnya.9

Metode ini digunakan untuk melihat catatan perjalanan hidup Gus

Dur, serta latar belakang lahirnya pemikiran rekam jejak perjuangan

kemanusiaan yang dimiliki oleh Gus Dur.

2) Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan langkah yang dilakukan oleh seorang

peneliti dalam upaya memahami suatu objek penelitian hubungannya

dengan hal yang hendak dicapai atau disarankan dalam penelitian,

sehingga tujuan akhirnya untuk menemukan teori baru terkait dengan

objek yang diteliti.

Proses interprestasi merupakan upaya menafsirkan ulang pemikiran

Gus Dur, guna menemukan relevansinya dengan nilai-nilai moralitas yang

terkandung dalam peran Semar dalam Pewayangan Mahabarata.

3) Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan uraian deskriptif secara teratur

tentang konsep tokoh yang diteliti.10

9 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2003), 109.

10 Anton Baker dan Ahmad Choriz Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta:

(21)

12

G.

Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dan alur pemikiran sehingga mudah

dipahami, sistematika dalam karya tulis ini, dirumuskan dengan pembagian bab,

sub bab dan anak sub bab. Skripsi ini dibagi menjadi ima bab, yang masing-masing

bab diturunkan menjadi sub bab dan anak sub bab.

Bab pertamaadalah Pendahuluan yang terdiri dari enam sub bab, yaitu Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Masalah, Kegunaan Penelitian,

Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang humanisme Gus Dur, yang terdiri dari tiga sub yaitu, humanism, pengertian dan macam-macamnya, humanisme Gus Dur, dan

humanisme dalam sembilan nilai utama Gus Dur.

Bab ketiga,berisi tentang moralitas dalam Figur Semar yang terdiri dari tiga sub yaitu, pengertian moralitas, internalisasi nilai Islam dalam moralitas figur

Semar, dan moralitas figur Semar.

Bab keempat,Analisis relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar.

(22)

BAB II

HUMANISME GUS DUR

A. Humanisme

1. Pengertian Humanisme

Humanisme juga berasal dari katahumanitasyang kemudian diberi akhiranismemenjadi humanisme yang menunjukkan istilah aliran atau paham.1Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, humanisme adalah

paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan

bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih

baik.2Humanisme bisa diartikan sebagai paham di dalam aliran-aliran filsafat

yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan

manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian, dan gejala di atas

muka bumi ini.

Istilah humanisme memiliki keterkaitan dengan istilah yang berakar dari

kata yang sama, yaknihumaniora, humanities, (latin:humanior), yaitu ilmu-ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam

artian membuat manusia lebih berbudaya.

Humanisme juga berasal dari studihumanitatisyang mengandung arti kesenian liberal atau studi kemanusiaan dari Cicero. Inti kesenian liberal adalah

1Zainal Abidin,Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat,cet.I (Bandung:

Rosda Karya, 2000), 41.

2 Peter Salim dan Yenny Salim,Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer,Edisi

(23)

14

membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui

pengembangan intelektual yang meliputi tata bahasa, retorika (berbicara),

syair, sejarah, dan filsafat moral. Dalamstudia humanitatis, ilmu-ilmu ini dianggap paling mampu mengembangkan potensi manusia untuk berfikir dan

bertindak secara bebas dan mandiri.3Kesenian liberal bukan berarti kesenian

yang tidak mengenal etika, pemberian nama liberal karena pembelajaran ini

bebas untuk semua golongan, tidak mengenal kasta.

Senada dengan Siswanto Masruri, Zainal Abidin juga memaknai

humanisme dengan arti yang lebih dekat dengan seni liberal yang mendorong

kebebasan berekspresi yang akan menjadikan manusia bisa sederajat antara

satu dengan lainnya, ia mengatakan:

“Istilah “humanisme” ini berasal dari kata “humanitas” yaitu pendidikan menusia dan dalam bahasa Yunani disebut Paideia: pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi dan sarana utamanya. Mereka yakin dengan seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi manusia bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Humanisme pada waktu itu dengan tema pokoknya kebebasan menentang dogma gereja, namun kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan absolut atau sebagai anti tesis dari determinatisme abad pertengahan. Sebab kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan berkarakter manusiawi dan mereka juga tidak mengkhayal adanya kekuatan-kekuatan metafisik atau ilahiyah. Pada pokoknya, menurut mereka kebabasan itu ada, dan perlu dipertahankan dan diekspresikan”.4

3 Siswanto Masruri,Humanitarianisme Soedjatmoko: Visi Kemanusiaan(Yogyakarta:

Pilar Media, 2005), 98.

(24)

15

2. Macam-Macam Humanisme

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa humanisme modern

berkembang menjadi dua kubu, yaitu humanisme Sekuler dan humanisme

Religius.

a. Humanisme Sekuler

Sekuler berasal dari bahasa latinsaeculumyang mengandung makna ganda yaitu abad dan dunia. Dalam kenyataan sehari-hari kata sekuler

diartikan sebagai jauh dari hidup keagamaan, bukan wilayah ruhani dan

suci, melainkan urusan keduniawiaan dan kebendaan.5Tidak heran ketika

muncul istilah humanisme sekuler maka orang mengenalnya dengan

humanisme atheis.

Humanisme sekuler meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur

dengan urusan manusia yang ada di dunia, keyakinan ini membuat mereka

mengabaikan kehadiran Tuhan. Tuhan bagi mereka hanyalah imajinasi

yang tak sampai oleh akal manusia.

b. Humanisme Religius

Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak

teosentris (Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa dari

pihak Islam dan Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini

berkembang untuk mengimbangi humanisme sekuler yang berkembang di

(25)

16

dunia, karena apabila humanisme sekuler tidak diimbangi maka peran

agama akan hilang secara perlahan.

Marcel A Boisard berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar

ideologi, karena Islam merupakan humanisme transendental yang

diciptakan masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang

sukar untuk ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat.

Humanisme tidak mengesampingkan monoteisme mutlak yang sebenarnya

dan memungkinkan untuk memperkembangkan kebajikan.6

Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu

konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal ini

mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia

itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an

memandang manusia sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan

ke-khalifah-annya Allah telah melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia memliliki kapasitas kemampuan dan pengetahuan untuk

memilih, karena itu kebebasan merupakan pemberian Allah yang paling

penting dalam upaya mewujudkan fungsi kekhalifahannya.7

Kisah dan kejadian Adam a.s dalam Al-Qur’an adalah pernyataan

humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh manusia

6Marcel A Boisard,Humanisme Dalam Islam,terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang,

1982), 151.

7 Hassan Hanafi dkk,Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme di Tengah Krisis

(26)

17

di Bumi, ia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis

dan bukan dalam pengertian biologis.8

Menurut Nurcholis Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat wawasan

kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia dilahirkan

dalam keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia memiliki sifat

kesucian, yang kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik

kepada sesamanya. Dan hakikat dasar kemanusiannya itu merupakan

sunnatullah karena adanya fitrah manusia dari Allah dan perjanjian

primordial antara manusia dengan Allah.9

Selama ini humanisme religius hanya dipahami dengan humanisme

Islam, padahal sebenarnya religius juga berarti theis, bertuhan, meyakini

adanya kekuatan supranatural. Dalam sub bab ini penulis hanya mengutip

pemikiran humanisme Islam dan Kristen, karena humanisme yang banyak

digaungkan adalah humanisme model Barat yang diwakili oleh agama

Kristen, dan humanisme model Timur yang diwakili oleh Islam.

Bagi humanisme religius keberadaan Tuhan sangat dominan,

pemikiran mereka berangkat dari paham agama mereka. Mereka percaya

bahwa Tuhan mempunyai konsep yang luar biasa tentang manusia, tetapi

terkadang karena manusia terlalu berpikir jauh dan dalam sehingga mereka

lupa bahwa essensi semuanya ada pada Tuhan. Humanisme dan agama

tidak dapat dipisahkan, karena agama sendiri itulah humanisme, dan

8Ali Syari’ati,Tentang Sosiologi Islam,terj. Saifullah Wahyuddin (Yogyakarta: Ananda,

1982), 111.

(27)

18

humanisme itu juga agama. Agama mengajarkan banyak tentang

kemanusiaan, dan humanisme dalam ajarannya juga mengandung

nilai-nilai agama.

B. Humanisme Gus Dur

1. Keislaman dan Kemanusiaan

Maksud dari humanisme di sini adalah pemuliaan Gus Dur atas martabat

manusia yang tinggi, khususnya di hadapan Tuhan, dan oleh karena itu manusia

harus dimulyakan. Dengan demikian, manusia akhirnya menjadi “terminal

akhir” dari segenap pemikiran dan gerakan Gus Dur, melampaui nilai-nilai

apapun bahkan formalisme Islam yang sering ia kritisi.10

Secara umum, dari beberapa pandangan dan komentar Gus Dur, bisa

disimpulkan bahwa pribadi Gus Dur adalah seorang yang menjunjung tinggi

nilai kemanusiaan. Contoh kecil bisa diambil dari obituari beberapa kerabat

dan sahabat Gus Dur. Paling tidak ada tiga orang yang diberi wasiat oleh Gus

Dur untuk menuliskan di atas nisan makam ketika Gus Dur sudah wafat.

Mereka adalah Khofifah Indarparawansa, Mahfudz MD dan Djohan Efendy.

Ketika Haul Gus Dur yang ke-5 di Pesantren Tebuireng di akhir tahun 2015,

Khofifah Indarparawansa menyampaikan amanat tersebut di depan seluruh

hadirin. Dalam kesempatan lain, Mahfudz MD juga menyampaikan hal yang

sama. Dalam beberapa pandangan dan komentar Gus Dur juga sering kali

banyak memuat nilai-nilai kemanusiaan dan berpendapat bahwa keislaman dan

(28)

19

kemanusiaan adalah satu kesatuan. Syaiful Arif dalam bukunya juga

menjelaskan :

Dalam kaitan ini terdapat beberapa sinyal yang menunjukkan humanisme itu. Pertama,pesan Gus Dur kepada sahabatnya, Djohan Efendy, agar setelah beliau meninggal, beliau ingin dimakamnya tertulis, “Di sini dimakamkan seorang humanis”. Meskipun wasiat ini belum terlaksana, iabisa menjadi sinyal akan “relung kedalaman nilai” yang ingin Gus Dur jaga dan sematkan atas dirinya. Kedua, pernyataan Gus Dur di Pesantren Ciganjur yang menyatakan, “Agama harus disandingkan dengan kemanusiaan. Jika tidak, ia akan menjadi senjata fundamentalistik yang memberangus kemanusiaan”. Pernyataan ini menyiratkan kesadaran Gus Dur akan perlunya kemanusiaan sebagai nilai sandingan yang harus berdampingan dengan agama sehingga agama tidak terbalik arah, menyerang manusia atas nama Tuhan.Ketiga.,pemegang teguhan Gus Dur atas Surah Al-Maidah (5) ayat 32, Waman ahyaaha fakaannama ahyannaasa jamii’a. Barang siapa yang membantu kehidupan seoarang manusia, sama dengan membantu kehidupan semua umat manusia. Ayat ini merupakan ayat utama Gus Dur, dan menjadi dasar bagi pengabdian hidupnya.11

Pendasaran kemanusiaan dari ajaran Islam, atau penemuan ajaran

kemanusiaan di dalam Islam menjadi titik tolak keyakinan intelektual Gus Dur.

Hal ini terpatri dalam pemahamannya atas “yang paling universal” di dalam

Islam. Gus Dur memaparkan:

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi

penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang

meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqih ), keimanan (tauhid), etika (akhlaq), dan sikap hidup, menampilkan sikap kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.

Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan

warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan

(29)

20

hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas

wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan

kepedulian di atas.

Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam

adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini

kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima

jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, jaminan dasar akan:

1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.

2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.

3. Keselamatan keluarga dan keturunan.

4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; 5. Dan keselamatan profesi.12

Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme

Islam di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi

tauhid, fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib kemanusiaan. Hal ini menarik, karena Gus Dur mengaitkan tauhid dengan kemanusiaan, demikian dengan fiqih dan akhlaq. Bahkan di dalam fiqih,Gus Dur kemudian menemukan praksis dari kepedulian kemanusiaan itu di dalam jaminan atas lima hak dasar (kulliyat al-khams) manusia di dalam maqashid al-syari’ahyang meliputi:hifdz al-nafs(hak hidup),hifdz al-din(hak beragama),hifdz al-nasl(hak berkeluarga),hifdz al-maal(hak berharta),hifdz

12 Abdurrahman Wahid, “Universitas Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”

(30)

21

al-‘irdl (hak profesi). Dengan demikian, apa yang Gus Dur sebut sebagai kemanusiaan terwujud di dalam jaminan atas lima hak dasar manusia

tersebut.13

Menarik memang, ketika Gus Dur menerapkantauhid, fiqih,danakhlaq ke dalam kepedulian kemanusiaan. Hal ini tentu bertentangan dengan kalangan

formalis yang menempatkan ajaran tauhid dan fiqih di atas kemanusiaan. Namun hal ini menjadi wajar ketika sejak awal, Gus Dur telah menanamkan

keyakinan atas keesaan Allah di dalam perintah-Nya untuk memuliakan

manusia sebagaai khalifatullah pembawa kesejahteraan di muka bumi. Jadi, tidak ada benturan antara manusia dan Tuhan sebab manusia adalah makhluk

yang dimuliakan Tuhan karena Dia menunjukkan anak Adam ini sebagai

wakil-Nya di muka bumi. Pada titik ini, humanisme Gus Dur bukan humanisme

sekuler, yang bisa eksis ketika Tuhan ditiadakan. Humanisme Gus Dur bahkan

merupakan “humanisme tauhid”, sebab kemuliaan manusia lahir dari

keyakinan mendalam atas perintah ketuhanan.14

Hal serupa dengan pengaitanfiqihdan kemanusiaan.Fiqihsebagai “ratu pengetahuan” kaum Muslimin yang memadahi hukum-hukum syariat, ternyata

menyediakan perlindungan atas hak-hak dasar manusia. Tidak murni di dalam

produk hukumnya, tetapi di dalam tujuan utama perumusan hukum tersebut.

Tujuan utama inilah yang disebut sebagai tujuan utama syariat (maqashid al-syari’ah) yang menetapkan lima hak dasar manusia sebagai argumentasi

(31)

22

perumusan hukum Islam. Maka, kemanusiaan akhirnya tidak berbenturan

dengan hukum Islam. Justru sebaliknya, tujuan utama dari hukum Islam dan

seluruh syariat Nabi Muhammad adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar

manusia.15

Hal senada dengan kaitan akhlaq dan kemanusiaan, yang di dalam

pemikiran Gus Dur memang menjadi “ruang formal” kemanusiaan. Mengapa?

Karena Gus Dur senantiasa memahamiakhlaqdalam kerangka sosial sehingga menjadi etika sosial. Etika sosial Islam inilah yang menunjukkan kepedulian

mendalam atas kemanusiaan yang terjaga di dalam rukun Islam yang bersifat

sosial. Berbagai perintah akan pengucapan syahadat di hadapan publik, shalat

jamaah, zakat, puasa dan haji merupakan amal keagamaan yang memiliki

dampak kemanusiaan.16

Pada titik ini, hal yang menarik adalah penempatan kemanusiaan sebagai

universalisme Islam itu sendiri. Hal tersebut menarik karena Gus Dur tidak

menempatkan Allah misalnya, atau tauhid sebagai universalisme Islam. Hal ini

tentu controversial dan membuahkan caci kafir atasnya. Namun, ia bisa

dipahami dalam kerangka pemahaman Gus Dur atas kemanusiaan sebagai

perintah utama dari Tuhan. Sebagai manifestasi atas penunjuk-Nya kepada

manusia sebagaikhalifatullah fi al-ard.Runutan logika yang lahir dari asumsi dasar manusia perspektif Islam inilah yang perlu dipahami, untuk memahami

kemanusiaan sebagai universalisme Islam.17

(32)

23

2. Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam merupakan gagasan Gus Dur yang paling populer. Hal

tersebut bahkan menjaditrade markdarinya, yang menandai keprihatinan Gus Dur atas kebudayaan Islam di Indonesia di tengah ancaman Arabisasi. Sesuatu

yang menarik, pribumisasi Islam ternyata tidak melulu proses indigenisasi

Islam ke dalam budaya lokal dalam artian antropologis. Akan tetapi pula,

kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan dalam kerangka proses

kebudayaan secara filosofis.

Di dalam bukunya, Gus Dur menjelaskan definisi Pribumisasi Islam

sebagai batasan pengertian term tersebut sebelum melangkah pada pembahasan

selanjutnya. Gus Dur menyatakan:

Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi memahami nash, dengan tetap memberikan peranan kepadaushl fiqhdanqidah fiqh.

Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cadangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahka pada tahap berikutnya, aliran air sungai ini terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.

(33)

24

dengan pribumisasi Islam, yaitu pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.18

Dari sini dapat dipahami bahwa pribumisasi Islam adalah upaya dalam

menerapkan hukum syara’ yang terdapat dalam nash terhadap kondisi yang ada di Indonesia, dengan berbagai kondisi sosial dan ragam budayanya. Bukan

berarti dominasi budaya Jawa atas Islam sehingga Islam hanya sekedar menjadi

‘bungkus’. Akan tetapi Islam tetap menjadi substansi yang bernuansa Jawa atau

Nusantara.

Artinya, ia merupakan kesadaran akan penghargaan akomodasi atas

kebutuhan lokal di dalam perumusan hukum Islam. Oleh karena itu,

pribumisasi Islam akhirnya bukan upaya meinggalkan norma demi budaya,

melainkan akomodasi kebutuhan budaya melalui metode pengembangan

penafsiran atas nash yang sesuai dengan kebutuhan realitas. Upaya mengakomodasi realitas lokal ini merupakan bagian dari kesejarahan Islam di

dunia manapun, termasuk di dunia Arab. Sebab, ia merupakan proses

penerapan aturan Islam terhadap realitas.

Pengakomodasian atas kebutuhan lokal ini tidak terhenti pada wilayah

hukum, tetapi juga pada wilayah budaya. Maka, meskipun atap ‘Meru’

merupakan atap warisan arsitektur hindu, ia bisa dipinjam untuk arsitektur

masjid melalui proses pengislaman. Terbentuklah masjid Demak beratap

‘Meru’ yang telah diislamkan. Dari sembilan susun perspektif hindu, mejadi

tiga susun perspektif Islam yang melambangkan tiga tahapan keislaman; Iman,

18 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam: dalam Pergulatan Negara, Agama, dan

(34)

25

Islam, dan Ihsan. Iman adalah keyakinan akan Allah, yang disempurnakan

melalui pengamalan syari’at Islam sehingga mencapai puncak sufistik

bernama Ihsan.19

Selain dari kesimpulan negasi tersebut, Gus Dur juga menjelaskan definisi negatif atas pribumisasi Islam. Ia

menjelaskan:

Dalam proses ini (pribumisasi Islam), pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat

asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini

telah menjadi norma.

Akan tetapi harus disadari bahwa penyesuasian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi

budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma

agama, bukan kebiasaan.

Karena adanya prinsip-prinsip yang keras dalam hukum Islam, maka adat tidak bisa mengubahnashitu sendiri melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja dan memang aplikasi tersebut akan berubah dengan sendirinya. Misalnya,

Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama mendefinisikan gandum sebagai

qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.20

Syaiful Arif dalam definisi pribumisasi Islam sebagai pengembangan

aplikasinashdalam kerangka kontekstualisasi Islam, membuat analogi bahwa

budaya menjadi “bumi” bagi proses pribumisasi bukan budaya antropologis

(identitas kultural), melainkan filosofis, yakni upaya manusia

memanusiawikan kehidupan sosialnya.21

Dalam kerangka pemahaman hubungan nash dengan realitas, Gus Dur

memberikan contoh humanisme dalam tradisi Intelektual Islam, yang terdapat

dalam karya Imam Khalil al-Farahidy dan Imam Syafi’i yang di dalamnya

mempertemukan ketaatan normatif atas teks Islam dengan upaya pembumian

(35)

26

teks tersebut ke dalam realitas kehidupan.22 Bahkan Gus Dur menyatakan bahwaQamus

al-‘Ainbuah karya ImamKhalil al-Farahidy dan al-Risalah karya Imam Syafi’i adalah

titik tolak humanisme dalam Islam. Gus Dur mengatakan:

Tradisi tidak terputus-putus untuk memelihara kemurnian bahasa Arab yang dikembangkan kaum luqhawiyyun, menemukan penyalurannya yang alami pada diri Imam Khalil al-Farahidy, yang dengan kamusnya berhasil ‘menghadapkan’ kemurnian bahasa Arab kepada cakrawala pengetahuan demikian luas, yang dikenal dunia luar Islam pada saat itu. Apa yang dilakukannya itu tidak menilainya dari apa yang dilakukan Imam Syafi’i yang mempertalikan kaharusan bersikap normatif dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di satu pihak, dengan kebutuhan mempertalikan dengan realitas. Jika pada Imam Syafi’i upaya ‘kontekstualisasi’ hukum agama itu menghasilkan ilmu Ushul Fiqh melalui karya agungnya,al-Risalah, maka pada Imam Khalil upaya integratif itu melahirkan Qamus al-‘Ain yang merupakan titik tolak bagi pengembangan humanisme dalam Islam.23

3. Kemanusiaan dan Keadilan

Dalam memahami keadilan dan memperjuangkannya di masa hidupnya,

Gus Dur berangkat dari tradisimaqashid as-syari'ah(tujuan utama syariat) yang menetapkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemuliaan

kemanusiaan dalam bentuk perlindungan terhadap HAM inilah yang Gus Dur

sebut sebagai nilai-nilai universal lslam. Demi penegakan nilai-nilai universal

tersebut, Gus Dur mensyaratkan sikap kosmopolitan, yakni keterbukaan

pandangan lslam kepada peradaban lain. Artinya, untuk menegakkan

universalisme lslam, dibutuhkan keberislaman yang modern. Sebab, persoalan

kemanusiaan kontemporer hanya bisa ditangani oleh sarana dan sistem

sosial-politik modern.

22Ibid., 294.

23Abdurrahman Wahid, “Imam Khalil al-Farahidy dan Humanisme dalam Islam”, sumber

(36)

27

Menurut Syaiful Arif, humanisme yang diimani Gus Dur tidak hanya

sekedar menjadi konsep pemikiran yang hanya berhenti pada makalah atau

buku. Akan tetapi humanisme tersebut dibentuk melalui struktur masyarakat

yang dibentuk dan dilestarikan oleh semua pihak yang berada di dalam lingkup

sosial kemasyarakatan. Ia berpendapat :

Tujuan utama dari semua pemikiran Gus Dur, yakni humanisme lslam. Jika ditelusuri lebih mendalam, humanisme Islam Gus Dur merujuk pada humanisme komunitarian yang mengarah pada pembentukan struktur masyarakat yang adil. Setidaknya ada tiga pilar yang membentuk struktur tersebut: 1) demokrasi (syura); 2) keadilan (‘adalah); dan 3) persamaan di depan hukum (musawah). Gus Dur menyebut ini sebagaiWeltanschauung(pandangan-dunia) Islam.24

Dalam sub bab ini, paling tidak ada tiga dari sembilan poin nilai

pemikiran Gus Dur yang dirumuskan oleh Gusdurian. Yaitu; Keadilan,

Kesetaraan, dan Pembebasan. Ketiga nilai ini memuat pertalian antara HAM

antara individu dengan struktur sosial dan politik. Keadilan harus

diperjuangkan bersama-sama sebagai manusia. Jika manusia yang lain

mendapat perlakuan tidak adil, maka manusia lainnya juga harus turut

membela dan memperjuangkan haknya. Sehingga terciptalah keadilan di

tengah-tengah masyarakat. Tidak ada satu pun dari anggota masyarakatnya

yang merasa termarjinalkan, ataupun terdiskriminasi. Rumusan ketiga nilai

pemikiran Gus Dur tersebut berbunyi:

1. Keadilan

Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realita kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan

(37)

28

pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupknya, Gus Dur rela dan mengambil tanggung jawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

2. Kesetaraan

Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan. Termasuk di dalamnya adalah kolompok minoritas dan kaum marjinal.

3. Pembebasan

Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keserataan dan keadilan untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.25

C. Humanisme dalam 9 Nilai Utama Gus Dur

Dalam bab Humanisme Gus Dur dalam beragama, bermasyarakat dan

bernegara, yang menjadi pokok pembahasan adalah sembilan nilai Gus Dur yang

dirumuskan oleh Gusdurian. Sebuah komunitas pecinta Gus Dur yang senantiasa

merawat dan melestarikan pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang keagamaan dan

keindonesiaan. Sembilan nilai Gus Dur tersebut adalah; Ketauhidan, Kemanusiaan,

Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Keksatriaan,

Kearifan Lokal.

Dari sembilan nilai Gus Dur tersebut akan dijelaskan pokok aksi humanis Gus

Dur melalui pendekatan dalam aspek beragama, bermasyarakat dan bernegara.

25 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(38)

29

Antara ketiga aspek tersebut tidak bisa dijadikan pembahasan masing-masing

aspek, karena antara ketiganya memang saling berkaitan, sbb:

1. Ketauhidan

Ketauhidan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha

Ada, satu-satunya Dzat Hakiki yang Maha Cinta Kasih, yang disebut dengan

berbagai nama. Ketauhidan didapatkan lebih dari sekedar diucapkan dan

dihafalkan. Tetapi juga disaksikan dan disingkapkan. Ketauhidan

menghujamkan kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari segala

sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya. Pandangan ketauhidan menjadi

poros nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan

dan birokrasi agama. ketauhidan yang bersifat ilahi itu diwujudkan dalam

perilaku dan perjuangan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam

menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.26

Atas landasan ketauhidan itulah pemikiran Gur Dur dalam soal sosial,

politik, ekonomi, dan kebudayaan dibangun, serta kesemuanya aspek tersebut

diisi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih jauh lagi, pada nilai kedua dari

sembilan nilai pemikiran Gus Dur tersebut, secara jelas dirumuskan bahwa

kemanusiaan itu bersumber pada ketauhidan. Nilai ketauhidan tersebut tampak

dalam pemikiran Gus Dur. Menurut Gus Dur:

Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana saja; bertauhid, melaksnakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal itu di nyatakan dalam Al-Quran:

26 Ibid, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin,

(39)

30

laqad kaana lakum fi rasulillah uswatun hasanah(telah ada pada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah). Keteladanan itu tentunya paling utama terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil’alamin).27

2. Kemanusiaan

Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia

adalah makhluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan

memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan.

Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling

menghargai dan menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan

penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan Tuhan Sang

Pencipta. Dengan pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa

syarat.28

Nilai ini tampak saat Gus Dur mengutuk terjadinya Bom Bali I,

menurutnya membunuh orang kafir di saat masa damai, bukan saat perang

adalah salah menurut Islam. Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, hal

ini tampak ketika perang, Islam juga mempunyai rambu-rambu yang harus

ditaati, seperti tidak boleh membunuh anak kecil, wanita, dalam keadaan

marah, dan lain-lain.

Dalam menyelesaikan konflik suku dan agama yang terjadi di Aceh,

Sampit, Situbondo, Maluku dan lain-lain, Gus Dur mengedepankan jalan

27Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Islam bagi Pengembangan Budaya Indonesia:

dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan” dalam Arif, Humanisme Gus Dur, 279-280

28 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(40)

31

musyawarah dan dialog. Karena Gus Dur sangat memahami bahwa pelaku dan

korban adalah sama-sama korban masa lalu. Yang mana mereka belum bisa

menerima kematian sanak saudaranya. Rekonsiliasi dan saling memahami

antar satu sama lain serta sikap menahan diri adalah solusi yang tepat dalam

menyelesaikan konflik tersebut. Pemikiran ini lantas beliau sebar dalam forum

kemanusiaan tingkat internasional. Sebagaimana respon beliau terhadap

kekerasan dan konflik yang terjadi di negara lain, seperti Filipina, Pakistan,

Afganistan dan lain-lain.

3. Keadilan

Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya

bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam

kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realita

kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan

pembelaan pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil

merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupnya, Gus Dur

rela dan mengambil tanggung jawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk

menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.29

Keadilan adalah nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu

keadilan, persamaan dan demokrasi. Ketika ketidak adilan yang dialami oleh

penganut Ahmadiyah, Gus Dur melindungi Ahmadiyah, dan pedangdut Inul

Daratista yang merasa kehilangan pekerjaan dan status sosial. Gus Dur secara

29 Ibid, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin,

(41)

32

konsisten membela HAK mereka yang hilang karena keyakinan pada ajaran

Ahmadiyah dan profesi penyanyi dangdut dengan goyang ngebornya. Dalam

kasus lain, Gus Dur juga tampil melindungan HAM dan menegakkan Keadilan,

sebagaimana disampaian oleh Taufik Kiemas30:

Gus Dur juga mengusulkan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 soal pembubaran Partai Komunitas Indonesia (PKI) dan pelanggaran penyebaran ajaran Marxisme. Komunisme dan Leninisme. Begitu juga, Gus Dur mengakhiri perlakuan diskrimainasi terhadap etnis Tionghoa, melaluin Inpres No. 6/2000 dan mencabut Inpres 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. Intinya, Gus Dur membuka paradigma baru agar setiap orang mendapatkan perlakuan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama, ataupun ideologinya. Ini bagian dari cita-cita Gus Dur yang ingin membangun Indonesia yang damai tanpa prasangka dan bebas dari segala kebencian.31

4. Kesetaraan

Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki

martabat yang sama di hadapan tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya

perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan

subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat. Nilai kesetaraan ini,

sepanjang kehidupan Gus Dur tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan

pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan. Termasuk di dalamnya

adalah kolompok minoritas dan kaum marjinal.32

Gus Dur melihat fakta keberagaman warga Indonesia haruslah tidak

didominasi oleh golongan tertentu, atau agama tertentu. Keadilan, baginya,

30Mantan Ketua MPR RI/ Dewan Pembina DPP PDI-P

31 Aryanto Nugroho. Jejak Langkah Guru Bangsa (Footprints Of The Guru, Keep Gus Dur’s Spirit.(Semarang: EIN INSTITUTE. 2010), 23.

32 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(42)

33

adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama. Maka

ketika terdapat warga Indonesia tidak bisa menikah karena agamanya tidak

diakui oleh negara, Gus Dur turun tangan untuk membela. Sebagaimana yang

terjadi pada tahun 1999 ketika warga Indonesia keturunan Tionghoa yang

beragama Konghuchu, Gus Dur memberikan dukungan moral dengan

mendatangi sidang di PN Surabaya. Sebagaimana disampaikan oleh Yusuf

Alsastrou, salah seorang jubir Gus Dur ketika menjabat Presiden RI:

Demikian juga ketika menghadapi tekanan-tekanan terhadap hak-hak minoritas digerus oleh arogansi mayoritas, Gus Dur juga mampu menjadikan dirinya sebagai jembatan untuk mencerdaskan umatnya menghadapi semuanya ini. Hal ini bisa kita lihat ketika kasus perkawinan Konghuchu pada tahun 90-an awal. Ketika hak-hak Tionghoa dilanggar oleh negara, Gus Dur secara konsisten memperjuangkan ini.33

Bahkan dalam rumitnya peraturan protokoler istana negara, Gus Dur

menyederhanakan aturan tersebut agar semua orang dari golongan yang

berbeda, atau orang yang tak berada bisa memasuki istana dan bertemu

presidennya. Sri Sulistiyawati34 mengungkapkan pengalaman sahabatnya

ketika bertemu Gus Dur di Istana, ia mengujarkan:

Pada suatu ketika, teman saya yang bernama Hamid ke istana diundang beliau. Dengan penglihatannya samar-samar, beliau dengan meraba-raba tahu, “Mid, jasmu nyeleh sopo? Jas wes mbladus ngene kok dinggo”. Hamid bilang, “Nyileh tanggane”.Gus Dur menjawab, “Nek rene kui sandalan jepit, rak sah jas-jasan tak tompoMid”. Kemudian bertanya, “Mbakyu ku sitok wae durung ketemu lho Mid, mati opo urip”.‘Mbakyu Sri?” “Yo Sri Katno, aku durung ketemu. Wes rak sah nganggo pakaian sing hebat-hebat, nganggo sandal jepit kowe tak tompo neng istana. Wong de’e yo sering neng istana ora harus pakai pakaian yang serba mahal.35

33Nugroho.Jejak Langkah, 102-103.

34 Mantan Wartawan Harian Ekonomi Nasional Jakarta, Istri Sukatno, Ketua Pemuda Rakyat

(43)

34

Begitu juga ketika para kiai dari pesantren salaf yang lekat dengan

kesederhanaan masuk ke istana, mereka bisa memasuki istana meski dengan

mengenakan sarung dan sandal jepit. Gus menganggap semua orang di dalam

hal bermu’amalah (hubungan sosial kemasyarakatan) berada pada kedudukan

yang sama. Status dan kepangkatan seseorang tidak lantas menjadikan

perlakuan Gus Dur berbeda. Sebagaimana kesaksian Suleman, seorang asisten

pribadi Gus Dur, ia berkata: “Saya merasakan beliau sangat perhatian kepada

orang-orang disekitarnya, tidak membedakan kedudukan dan kekayaan, selalu

disapa dan diterima dengan baik.”36

5. Pembebasan

Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki

tanggung jawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan untuk melepaskan

diri dari berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh

jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan niai pembebasan

ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa

merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.37

Yang sangat merasakan kontribusi dalam aspek pembebasan ini adalah

keluarga korban G 30 S/PKI. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan,

dan sebagian yang diduga terlibat akhirnya dipenjara tanpa bisa melakukan

pembelaan. Sejak semula tidak ada satu orang pun yang mempunyai inisiatif

menuntaskan pelanggaran HAM berat ini. Justru akibat buruk yang diterima

36Ibid., 88.

37 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(44)

35

oleh keluarga yang tidak tahu apa-apa berlangsung beberapa puluh tahun. Gus

Dur dengan berani membuka luka lama bangsa Indonesia ini dan mengawali

proses rekonsiliasi keluarga korban ’65. Manfaat dari tindakan Gus Dur ini

sangat dirasakan oleh Ribka Tjiptaning38, salah seorang keluarga korban ’65.

Ia menuturkan;

Dalam beberapa kisah politik Pasca reformasi 98, ia hadir sebagai sosok manusia besar yang tetap bersahaja, yang menyadari betapa sejarah tak selalu seperti yang diinginkan. Untuk itu, ia pun meminta maaf kepada keluarga korban 65, sebuah tindakan langka yang didapatkan oleh para keluarga korban. Betapa tidak, selama puluhan tahun, tak ada seorang pun elit politik yang berani membela, apalagi meminta maaf, ini adalah hadiah terbesar yang Gus Dur berikan kepada aku dan keluarga korban 65 lainnya.39

Pada era kepemimpinan Gus Dur, pers juga mendapatkan kebebasan

berekspresi, yang tidak didapatkan semasa orde baru. Imbasnya, kerap kali

pemerintah mendapatkan kritikan pedas, baik melalui media massa dan media

elektronik. Gerakan demo juga diperbolehkan. Maka jadilah pemerintahan Gus

Dur membuka keterbukaan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, tanpa

takut lagi untuk ditangkap dan dipenjara.

6. Kesederhanaan

Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran subtansial, sikap dan

perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep

kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati diri.

Kesederhanaan menjadi buadaya perlawanan atas sikap berlebihan,

(45)

36

materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek

kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.40

Kesederhanaan Gus Dur tampak ketika sebelum, ketika dan setelah

menjadi presiden. Dari gaya berpakaian, meskipun Gus Dur cucu kiai besar

dan keilmuan keagamaannya tidak diragukan, Gus Dur lebih nyaman

berpakaian batik dan tidak memakai surban. Kepada kiai sepuh dan para

habaib, Gus Dur lebih ta’dhim dan merendah diri. Misalnya kepada KH.

Sonhaji Kebumen, KH. Abdullah Salam Pati, KH. Hamim Jazuli, Syaikh Yasin

Al-Fadani, dan lain-lain. Gus Dur lebih memposisikan dirinya sebagai santri.

Begitu juga ketika kunjungan kerja presiden, ketika berkunjung ke suatu

daerah, beliau bertanya tentang waktu dan agenda kunjungannya. Setelah tahu

bahwa kunjungannya akan dimulai 2 jam lagi, dan stafnya telah memesankan

hotel untuk beristirahan sebentar, beliau berkomentar, ya kalo sebentar ya mending kita istirahat di masjid saja, tidak perlu bayar, hehe. Sama halnya ketika akan melakukan kunjungan kenegaraan bersama BJ. Habibie, ketika di

dalam pesawat, Habibie terheran-heran kenapa di dalam pesawat kepresidenan

terdapat kardus besar yang diletakkan sembarangan. Ketika beliau tanya ke

salah seorang paspampres, kok ada kardus di dalam pesawat, paspampres

dengan enteng menjawab, oh itu pakaian presiden Gus Dur. Habibie pun sangat

terkejut ketika mengetahui pakaian presiden hanya dikemas di dalam kardus.

40 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(46)

37

Yang paling lekat di ingatan bangsa Indonesia adalah ketika Gus Dur

dilengserkan dari jabatan presiden. Kala itu di hadapan para pembelanya,

pasukan berani mati yang berkumpul di depan istana negara, dengan legowo

Gus Dur menyapa pembelanya. Gus Dur melepas baju kebesaran presiden,

sambil mengenakan kaos oblong dan celana pendek, Gus Dur melambaikan

tangannya, menandakan ia telah menerima pelengseran dirinya dari kursi

presiden. Betapa Gus Dur tidak menghiraukan martabatnya sebagai seorang

presiden. Beliau juga tidak ambil pusing komentar apa yang akan diberikan

oleh masyarakat luas, karena Gus Dur merasa nyaman dengan

kesederhanaannya.

7. Persaudaraan

Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas

kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan.

Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidupnya

Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tingggi

persaudaraan dan masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan

pemikiran.41

Suleman, Asisten Pribadi Gus Dur yang dalam beberapa kesempatan

selalu menemani Gus Dur sangat mengetahui nilai persaudaraan yang sangat

diperjuangkan. Gus Dur tidak hanya bergaul dengan kaum sarungan saja, akan

41 Ibid, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin,

(47)

38

tetapi tokoh agama bukan Islam juga sangat akrab dengan Gus Dur. Dalam

obituarinya ia menjelaskan:

Saya merasa pelajaran yang paling indah mendampingi Gus Dur adalah kesetiaannya kepada sahabat dan kepeduliannya kepada sesama, terutama orang-orang yang terdzalimi. Beliau tidak segan-segan menerima rakyat kecil sama seperti menerima pejabat atau tamu asing dengan perlakuan yang sama. Beliau adalah Bapak yang luar biasa yang bagi saya pribadi telah mengubah makna hidup menjadi satu kebanggaan. Beliau orang yang pantas dihargai dan memang menghormati oleh kawan maupun lawan politiknya. Semoga beliau mendapat tempat terhormat di sisi Allah SWT.42

Franz Magnis Suseno SJ. Mengakui peran Gus Dur dalam

“mempersaudarakan” kelompok-kelompok yang terkotak-kotak oleh suku, ras, daerah, dan agama. Ia menjelaskan:

Sesudah 40 tahun pemerintahan dari atas dan lebih dari 30 tahun penindasan, bangsa mengalami keretakan. Kemampuan untuk menghayati solitaritas tidak hanya dengan kelompok sempit: kelompok suku, kelompok antar agama, kelompok daerah, semakin menyusut. Primordialisme dan komunalisme-katerikatan emosional eksklusif pada komunitasnya sendiri mengancam keutuhan bangsa. Gus Dur dan Mbak Megawati merupakansolidarity makers yang ideal. Kalau ada yang dapat mempersatukan, maka merekalah.43

Semangat persaudaraan inilah yang menjamin keutuhan NKRI. Maka

semangat Bhineka Tunggal Ika yang dalam istilah populer Gus Dur disebut

“pluralisme” mulai ditanamkan Gus Dur. Gus Dur juga berusaha untuk

menghilangkan sekat-sekat antar umat beragama. Tak jarang Gus Dur

berkomentar bahwa semua agama adalah sama. Hal ini haruslah dipahami

bahwa yang dimaksud Gus Dur dalam kalimat itu adalah semua agama sama

dalam mengajarkan kebaikan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk saling

bermusuhan karena agama yang berbeda.

42Nugroho.Jejak Langkah, 89-90.

(48)

39

8. Keksatriaan

Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan

menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang di

ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas

pribadi, penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan

konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan

yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam

menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang

dicapainya.44

Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur sering kali membuat

kebijakan yang tidak menguntungkan posisinya. Gus Dur hanya melaksanakan

apa yang ia yakini benar untuk kemaslahatan bangsa. Meski hal itu

membuatnya berada dalam masalah. Seperti dijelaskan oleh Taufiq Kiemas45:

“Gus Dur pun konsisten, ketika menjabat sebagai presiden, tanpa banyak

berhitung untung rugi, ia mengoperasionlakan gagasan demokrasi dan

pluralismenya. Kong Hu Chu diakui sebagai agama, komunitas Tionghoa

44 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(49)

40

mendapat pengakuan dan kebebasan mengekpresikan budayanya. Kelompok

minoritas seperti memperoleh jaminan kebebasan”.46

Misalnya ketika Gus Dur melakukan Reshufle beberapa menterinya,

yang mengakibatkan semua partai politik menyudutkannya. Juga ketika Gus

Dur membela kaum minoritas dan gagasannya tetang pluralisme yang tidak

dipahami oleh banyak kalangan. Yusuf Alsastrou menekankan akan jiwa

kesatriaan Gus Dur, menurut ia Gus Dur adalah pejuang sejati, ia mengatakan:

Dia adalah seorang yang berani mengambil resiko apapun di dalam kehidupan untuk memperjuangkan apa yang dia yakini. Misalnya, untuk pembelaan terhadap minoritas, dalam memperjuangkan pluralisme, meskipun orang tetap salah paham terhadap pluralisme, tetapi Gus Dur tetap mencoba melakukan itu secara konsisten dengan segala risiko yang dihadapinya. Ini dibuktikan ketika kasus Arswendo Atmowiloto, ketika semua orang menghujat Atrwendo justru Gus Dur dengan kepala dingin mendudukkan masalah dengan sebenarnya.47

9. Kearifan Lokal

Kearifan Lokal bersumber dari nilai-nilai sosial budaya yang berpijak

pada tradisi dan terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan Lokal

Indonesia di antaranya berwujud dasar negara Pancasila, konstitusi UUD 1945,

prinsip Bhineka Tunggal Ika, dan seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang

beradab. Gus Dur menggerakkan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai

sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik alam membumikan

keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka dan

progresif terhadap perkembangan peradaban.48

46Nugroho,Jejak Langkah,23. 47Ibid.,102-103.

48 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”,

(50)

41

Di kebanyakan kesempatan, Gus Dur seringkali terlihat mengenakan

baju batik dan peci rotannya yang khas. Gus Dur lah yang mempopulerkan peci

rotan Gorontalo. Sebagaimana obituari yang disampaikan Hakim Setyohadi49,

pengawal pribadi Gus Dur:“Kemudian kulturalnya, beliau sangat menghargai

budaya dan tidak membeda-bedakan asal usul ras, golongan, agama dan

sebagainya. Beliau sangat erat dengan segala ragam budaya di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil implementasi dan pengujian yang telah dilakukan pada aplikasi chatbot dengan pendekatan Natural Language Processingini maka dapat diambil

Pada kenyataannya (kebiasaannya), kebanyakan neural system harus diajari (training) terlebih dahulu. Mereka akan mempelajari asosiasi, patterns , dan fungsi yang

peak season adalah dengan memanfaatkan akumulasi pendapatan dan menambah stok makanan dan minuman; sedangkan strategi penghidupan pedagang kaki lima angkringan adalah

Dari ketiga variabel tersebut yang paling dominan pengaruhnya adalah variabel kompensasi dan hubungan dengan sesama karyawan, sedangkan variabel pengembangan karier

Infeksi oleh parasit ini kemungkinan terjadi dalam interval yang sering sehingga sebagian orang melihat Giardia lamblia sebagai flora normal pada individu yang tinggal

Perubahan sampah sayuran menjadi bioetanol yang dilakukan pada penelitian ini melalui dua tahapan yaitu: perubahan sampah sayuran (polisakarida / selulosa) menjadi

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa latihan senam gizi seimbang meningkatkan kebugaran dibandingkan dengan kelompok kontrol pada anak sekolah di SD Negeri Kebon

Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung biji nimba terhadap: 1) populasi hama putih palsu, 2) intensitas serangan hama putih palsu,