• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN PERSENAN TANAH PERSILAN OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN PERSENAN TANAH PERSILAN OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang “Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Penarikan Persenan Tanah Persilan Oleh Polisi Hutan Di Desa

Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang “Bagaimana praktik penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan”.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pola pikir induktif yaitu pola pikir yang berpijak pada fakta-fakta yang bersifat khusus, yakni fakta-fakta yang berkaitan dengan penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan kemudian diteliti dan dikaitkan dengan teori muza>ra’ah dalam hukum Islam dan akhirnya dikemukakan pemecahan persoalan yang bersifat umum.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2004 Pasal 36 dijelaskan mengenai wewenang dari polisi hutan bukan untuk memiliki atau menguasai tanah perhutani melainkan hanya melakukan pengawasan/ patroli serta pencatatan hasil hutan, akan tetapi polisi hutan memiliki kewenangan khusus yang diberikan oleh pihak perhutani untuk mengadakan aktivitas berladang di kawasan tertentu yang telah ditentukan pihak perhutani. Oleh karena itu, dari segi syarat pihak yang melakukan muza>ra’ah polisi hutan memenuhi syarat tersebut. Adapun mengenai ketentuan bagian hasil panen yang diberikan penggarap tanah persilan kepada polisi hutan yang baru akan ditentukan pada waktu penggarap panen ini boleh hukumnya karena pada dasarnya ketentuan ini berdasarkan asas musyawarah atau negosiasi diantara kedua belah pihak serta tidak ada paksaan yang mengikat mengenai berapa jumlah yang harus diberikan pihak penggarap tanah persilan kepada pihak polisi hutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa akad muza>ra’ah antara petani dan polisi hutan atas tanah persilan yang ada di Desa Tenggiring Sambeng Lamongan adalah sah hukumnya, dan jika akad muza>ra’ah terbilang sah maka penarikan persenan panen tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggirng Sambeng Lamongan juga terbilang boleh hukumnya.

Bagi masyarakat Desa Tenggiring Sambeng Lamongan, hendaknya lebih memperhatikan nilai-nilai dan aturan dalam hukum Islam khususnya dalam akad

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9

G. Definisi Operasional ... 10

H. Metode Penelitian ... 11

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II MUZA>RA’AH DALAM HUKUM ISLAM DAN PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN ... 19

A. Muza>ra’ah dalam Hukum Islam ... 1. Pengertian Muza>ra’ah ... 19

2. Landasan Hukum Muza>ra’ah ... 21

3. Rukun dan Syarat Muza>ra’ah ... 23

(3)

5. Bentuk-bentuk Muza>ra’ah ... 31

6. Sifat Akad Muza>ra’ah dan berakhirnya Muza>ra’ah ... 33

B. Pedoman Pinjam Kawasan Hutan ... 35

1. Pengertian Hutan, Kawasan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan ... 35

2. Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penggunaan Kawasan Hutan ... 36

BAB III PELAKSANAAAN PENARIKAN PERSENAN TANAH PERSILAN OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN ... 39

A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 39

1. Batas wilayah Desa Tenggiring ... 39

2. Keadaan sosial agama ... 41

3. Keadaan sosial pendidikan ... 41

4. Keadaan sosial ekonomi ... 42

B. Pelaksanaan Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh Polisi Hutan di Desa Tenggiring ... 44

1. Tanah persilan dan polisi hutan ... 45

2. Latar belakang penarikan persenan ... 46

3. Peralatan dan bibit tanaman ... 49

4. Mekanisme penarikan persenan ... 49

5. Jenis tanaman dan besar penarikan persenan tanah persilan ... 50

6. Alokasi uang penarikan persenan tanah persilan ... 51

7. Batas akhir waktu bagi hasil tanah persilan ... 52

8. Dampak yang ditimbulkan ... 53

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN PERSENAN TANAH PERSILAN OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN ... 54

(4)

B. Analisis tentang Pedoman Pakai Tanah Persilan ... 57

C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Penarikan Persenan Persenan oleh Polisi Hutan di Desa Tenggiring ... 59

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menempati peranannya sebagai makhluk sosial, manusia merupakan

makhluk yang selalu membutuhkan makhluk lain dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, baik menyangkut kebutuhan yang bersifat primer

maupun kebutuhan yang bersifat sekunder. Oleh karena itu, banyak

interaksi yang muncul antara satu sama lainnya dikarenakan manusia ingin

memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Misalnya saja interaksi yang

muncul dalam bidang perdagangan, pertanian, peternakan, dan kegiatan

muamalah lainnya.

Allah Swt telah memberikan petunjuk dan tuntunan lewat perantara

Nabi Muhammad Saw agar umat Islam dapat berperilaku sesuai dengan

syariat agama Islam. Dalam hidup bersosial, Nabi Muhammad Saw telah

mengajarkan kepada kita semua tentang etika bermuamalah agar tetap

terjalin keharmonisan dalam berhubungan antara manusia dengan manusia

yang sama-sama mempunyai kepentingan untuk mendapatkan keperluan

jasmaninya dengan cara yang paling baik dan tidak adanya praktik

kecurangan yang menimbulkan adanya salah satu pihak yang dirugikan.1

(6)

2

Muzara>’ah merupakan salah satu contoh kegiatan muamalah yang

sering dilakukan oleh manusia atau para petani pada umumnya, yaitu

sebuah akad pengolahan dan penanaman dengan upah sebagai hasilnya.2

Secara etimologis, muza>ra’ah berarti kerja sama dalam penggarapan

tanah dengan imbalan sebagian dari apa yang dihasilkan. Dan maknanya

disini adalah pemberian tanah kepada orang yang akan menanaminya

dengan catatan bahwa dia akan mendapatkan porsi tertentu dari apa yang

dihasilkannya, seperti setengah, sepertiga, lebih banyak ataupun lebih

sedikit sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.3

Muza>ra’ah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dan juga para sahabat,

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mempekerjakan

penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari apa yang dihasilkan bumi,

baik biji-bijian maupun buah-buahan. Rasulullah Saw bersabda:

ْ ن ث د ح

ْ ن عْ) نا ط ق لاْ و و(ْ َ َْا ن ث د حْ لا قْ)ٍ ْ ُ لْ ظ ف للا و(ْ ٍب ر حْ ن بْ ر ي ز وٍْل ب ن حْ ن بْ د ْ أْا

ْ

ْ ي خْ ل اْ ل َا عْ م ل س وْ ه ي ل عْ هْى ل صْ هْ ل و س رْ ن أْ, ر م عْ ن باْ ن عٌْع ف انْ ن ر ب خ أْ هْ د ي ب ع

ْ ر بْ

.ٍع ر زْ و أٍْر َْ ن َْا ه ن َْ ج ر يا َْ ط ر ش ب

4

Artinya: telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hambal dan Zuhair bin Harbi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepadaku

Yahya dari Ubaidillah, telah bercerita kepadaku Nafi’ ibnu

umar, sesungguhnya Rasulullah Saw telah mempekerjakan penduduk khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagaian dari pengahasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman. (HR. Muslim).

(7)

3

Diterapkannya muza>ra’ah sendiri memiliki dampak yang begitu

besar pada pertumbuhan sosial ekonomi dalam masyarakat dan khususnya

pada pertanian masyarakat, serperti saling tolong-menolong dapat

meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang berkerjasama, dan dapat

meningkatkan produksi dalam negeri sehingga dapat mendorong

pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara

keseluruhan. Selain itu, muza>ra’ah sendiri muncul untuk membantu satu

orang dengan yang lainnya dalam bekerja sama, kadang pekerja memilik

kepandaian dalam bidang pertanian tetapi tidak memiliki tanah, kadang

juga pemilik tanah tidak bisa bertani. Oleh karena itu, Islam

mensyari’atkan muza>ra’ah sebagai bentuk kasih sayang bagi keduanya

serta memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak yakni si pemilik lahan

yang tidak memumpuni dalam bidang penggarapan sawah dan si penggarap

yang tidak memiliki lahan agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga

keuntungannyapun bisa dirasakan oleh kedua pihak.

Seperti transaksi bagi hasil mu’a>malah pada umumnya, dalam

praktik muza>ra’ah juga diatur ketentuan yang mengatur tentang batasan

tanah yang akan digarap, bagian keuntungan yang akan didapatkan oleh

kedua pihak, serta batasan waktu lama muza>ra’ah akan belangsung.5

Tidak terkecuali masyarakat Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan yang sebagian besar mata pencahariannya adalah

bergerak dalam sektor pertanian ini juga sering melakukan transaksi

(8)

4

mua’a>malah seperti di atas, yaitu transaksi muza>ra’ah. Sebagian dari

mereka ada yang mengolah dan menanami persawahan mereka sendiri dan

ada pula sebagian yang sekedar menggarap persawahan orang lain dan

mendapatkan keuntungan dari bagi hasil di antara keduanya.

Muza>ra’ah yang ada di tanah persilan Desa Tenggiring ini adalah

muza>ra’ah atas tanah perhutani dimana petani sebagai penggarap dan

polisi hutan sebagai pemilik lahan garapan. Jadi, yang dimaksud dengan

tanah persilan dalam penelitian ini adalah tanah perhutani yang dijadikan

ladang pertanian oleh penduduk setempat. Sedangkan penarikan persenan

panen yang dimaksud adalah bagi hasil panen yang diminta oleh mandor

(polisi hutan) setiap pengguna sawah persilan panen.

Sesuai dengan jabatannya, polisi hutan adalah nama sebuah jabatan

fungsional Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan pegawai instansi

kehutanan pusat maupun daerah yang bertugas untuk menyiapkan,

melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta

melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta

pengawasan peredaran hasil hutan.6 Jadi, kewenangan polisi hutan adalah

bukan untuk memiliki lahan perhutani tersebut akan tetapi lebih kepada

perawatan dan pengawasannya.

Selain itu, tidak ada ketentuan pasti yang mengatur waktu

berlangsungnya muza>ra’ah serta besar keuntungan yang akan diperoleh

kedua belah pihak dalam penarikan persenan panen atau bagi hasil ini, baik

(9)

5

keuntungan yang akan diperoleh petani selaku penggarap tanah persilan

serta keuntungan polisi hutan selaku pemberi lahan garapan.

Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan muza>ra’ah yang ada

dalam hukum Islam, karena tidak ada ketentuan yang pasti mengenai

berapa bagian yang akan diperoleh kedua pihak, yakni bagian yang akan

diperoleh petani selaku penggarap dan bagian yang diperoleh mandor

(polisi hutan) selaku pemberi lahan garapan. Selain itu, lahan yang

dijadikan tempat untuk bertanam adalah bukan milik polisi hutan

melainkan milik perhutani, selain itu jangka waktu penggarap boleh

menggunakan lahan persilan tidak pernah diketahui serta tidak ada batasan

luas untuk penggarap boleh mengunakan lahan persilan selama lahan

tersebut belum ada yang mengelolahnya.

Dari gambaran di atas, perlu kiranya untuk dikaji mengenai hukum

dan kemashlahatan satu sama lainnya antara warga Desa Tenggiring dalam

melakukan muza>ra’ah atas tanah persilan dan penarikan persenan panen

yang dilakukan oleh mandor (polisi hutan) tersebut sehingga penulis

tertarik untuk menelitinya dan mengangkat judul “Tinjauan Hukum Islam

terhadap Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh Polisi Hutan di Desa

Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan” dalam

(10)

6

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas terdapat beberapa masalah dalam

penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi

sebagai berikut:

1. Latar belakang terjadinya penarikan persenan tanah persilan.

2. Akad yang digunakan dalam penarikan persenan tanah persilan.

3. Pembagian keuntungan yang akan diperoleh kedua pihak.

4. Batas waktu dalam penggunaan tanah persilan.

5. Hak kepemilikan atas tanah persilan.

6. Hak penggunaan atas tanah persilan.

7. Tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan tanah persilan.

Agar pembahasan masalah tidak melebar dan lebih terfokus, maka

diperlukan batasan masalah dalam penelitian. Penelitian ini terbatas pada:

1. Praktik penarikan persenan tanah persilan.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik penarikan persenan tanah

persilan.

C. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pusat perhatian dalam sebuah

penelitian. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakang masalah

sebagaimana dijabarkan di atas, maka masalah penelitian ini berusaha

(11)

7

1. Bagaimana praktik penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan

di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan tanah

persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian/ penelitian yang telaha ada.7 Pada

dasarnya, kajian pustaka pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan

gambaran hubungan topik yang akan diteliti yakni penarikan persenan

tanah persilan di Desa Tenggiring dengan penelitian-penelitian

sebelumnya.Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya antara lain:

Pertama, skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual

beli Tanah Perhutani”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan tentang status

kepemilikan tanah perhutani dan kebolehan penggunaan tanah perhutani

(12)

8

dengan syarat perjanjian tertulis atau lisan serta penggunaannya hanya

sebatas pemanfaatan tanah bukan untuk dimiliki ataupun dijual.8

Kedua, skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap

Implementasi Bagi Hasil atas Tanah (Percanton/ canton) di Desa Lombang

Lao’ Kecamatan Blega Kabupaten Bankalan Madura. Dalam penelitian ini

dijelaskan mengenai mekanisme bagi hasil atas tanah (Percanton/ canton)

yang mana hasilnya dianggap batal karena merugikan salah satu pihak,

yakni penggarap dirugikan karena dalam mekanis pembagiannya ia juga

menanggung modal, ongkos buruh tani, dan penjualan hasil pertaniannya.9

Dari pemaparan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa skripsi

yang pertama adalah membahas tentang kepemilikan tanah perhutani serta

penggunaannya yang hanya sebatas pemanfaatan bukan untuk dimiliki atau

dijual belikan. Sedangkan skripsi yang kedua adalah membahas tentang

mekanisme pembagian keuntungan dalam bagi hasil atas tanah (Percanton/

canton) yang dinilai merugikan salah satu pihak.

Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yang berjudul

“Tinjauan Hukum Islam terhadap Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh

Polisi Hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan” ini memfokuskan pembahasan pada penarikan persenan atas

8Mudhofar, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Tanah Perhutani” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 63.

(13)

9

tanah persilan yang dilakukan oleh polisi hutan atau yang lebih sering

dikenal dengan istilah mandor oleh penduduk setempat.

E. Tujuan Penelitian

Setelah mengetahui rumusan masalah di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana penarikan persenan tanah persilan oleh

polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan

tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penulis berharap agar hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat

serta kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun praktis, diantaranya ialah:

a. Kegunaan secara teoritis

Dari segi keilmuan (teori) hasil penelitian ini diharapkan bisa

menambah khazanah keilmuan Islam, serta untuk menambah wawasan

dan pengetahuan tentang praktik bagi hasil yang diperbolehkan dalam

Islam pada umumnya, dan menambah wawasan tentang Muza>ra’ah pada

(14)

10

b. Kegunaan secara praktis

1. Untuk memberikan informasi kepada peneliti berikutnya dalam

membuat karya ilmiah yang lebih baik.

2. Sebagai bahan pertimbangan atau pedoman dalam bermuamalah

pada umumnya dan dalam jual beli pada khususnya.

G. Definisi Operasional

Untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan arah dari

judul penelitian ini, maka perlu kiranya penulis menjelaskan beberapa unsur

istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, diantaranya:

Hukum Islam : Peraturan perundang-perundangan Islam

yang mencakup hukum shari’ah dan hukum

fikih.10 Dalam penelitian ini hukum Islam

yang dimaksud adalah seperangkat aturan

muzara>’ah yang berlandaskan al-Qur’an,

hadith, dan pendapat ulama (ijma’) yang

digunakan sebagai acuan hukum dalam

penarikan persenan atau bagi hasil petani dari

tanah persilan.

Persenan Tanah Persilan : Bagian yang harus dibayarkan oleh

pengguna tanah persilan (tanah milik

(15)

11

perhutani yang dikelola penduduk setempat)

kepada polisi hutan setiap kali panen.

Polisi Hutan : Sebuah jabatan fungsional pegawai sipil

dalam lingkungan pegawai instansi kehutanan

pusat maupun daerah.11 Dan dalam penelitian

ini polisi hutan lebih dikenal dengan sebutan

mandor bagi penduduk setempat.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni

penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya12 terhadap

penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka data yang akan dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan

mekanisme penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa

Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

2. Sumber data

Sumber data ialah sumber dari mana data akan digali, sumber

tersebut bisa berupa orang, dokumen, pustaka, barang, keadaan, atau

(16)

12

lainnya.13 Dilihat dari segi sumber pengambilannya, penelitian ini

menggunakan dua macam bentuk sumber data, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh

secara langsung dari objek penelitian.14 Dan dalam penelitian ini

peneliti sumber data primer yang dimaksud ialah Bapak Supirin,

Bapak Katimin, Ibu Suyatin selaku para petani pengguna tanah

persilan, Bapak Marji selaku polisi hutan atau mandor setempat,

serta Bapak Mustaqim selaku pihak yang bertugas menarik

persenan dari pengguna tanah persilan di Desa Tenggiring

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder ialah sumber data yang diperoleh

peneliti dari sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan

atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.15

Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini ialah

sebagai berikut:

1. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah juz 5

2. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu

3. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah

4. Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah

13 Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2014), 9.

(17)

13

5. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah

6. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

P.16/ Menhut-II/ 2014 Tentang Pedoman Pinjam Kawasan

Hutan.

7. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 45

Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengmpulan data merupakan langkah yang paling

strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka

penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data

yang ditetapkan.16

Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam menyelesaikan

peneletian ini penulis, menggunakan metode pengumpulan data antara

lain:

a. Metode Dokumentasi

Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak

langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui

dokumen.17 Jadi dalam penelitian ini penulis akan menulusuri

buku-buku yang relevan dengan permasalahan terhadap penarikan

16 Sugiono, Metodologi Peneltian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013), 224.

(18)

14

persenan tanah persilan oleh polisi hutan yang ada di Desa

Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

b. Metode Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data esensial

dalam penelitan terlebih dalam penelitian kualitatif. Istilah

observasi sendiri diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara

akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan

hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.18 Jadi observasi

ialah penngamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap

fenomena yang diteliti.

Dalam hal ini penulis akan mengobservasi penarikan

persenan tanah persilan serta pelaksanaannya di Desa Tenggiring

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

c. Metode Wawancara (interview)

Metode wawancara dalam pengumpulan data ialah suatu

kegiatan tanya jawab dengan tatap muka (face to face) antara

pewawancara (interviewer) dengan yang diwawancarai

(interviewee) tentang masalah yang diteliti, dimana pewawancara

bermaksud meperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang

diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti.19

Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan wawancara

dengan sebagian petani di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng

(19)

15

Kabupaten Lamongan untuk mengetahui bagaimana praktik atau

mekanisme penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan

serta alasan-alasan mereka melakukannya.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul maka perlu adanya

pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing

Yakni pengolahan data dengan cara memeriksa kembali semua

data-data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data

tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian dan

keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta

relevansinya dengan permasalahan.20 Disini penulis akan

memeriksa kembali data tentang penarikan persenan tanah

persilan oleh polisi hutan di desa Tenggiring kecamatan

Sambeng kabupaten Lamongan.

b. Pengorganisasian (organizing)

Yakni pengolahan data dengan cara menyusun data sumber

dokumentasi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh

gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah, serta

mengelompokan data yang diperoleh. Disini penulis akan

mensistematika data tentang penarikan persenan tanah persilan

(20)

16

oleh polisi hutan di desa Tenggiring kecamatan Sambeng

kabupaten Lamongan.

c. Analisis (analyzing)

Yakni pengolahan data dengan cara memberikan analisis lanjutan

terhadap hasil editing dan organizing data yang telah diperoleh

dari sumber-sumber penelitian, dengan menggunakan teori dan

dalil-dalil lainnya, sehingga diperoleh kesimpulan.21 Disini

penulis akan menganalisa perumusan tentang penarikan persenan

tanah persilan oleh polisi hutan di desa Tenggiring kecamatan

Sambeng kabupaten Lamongan.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data ialah mengorganisasikan data yang terkumpul

yang meliputi catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto,

dokumen (laporan, biografi, artikel). Karena itu, analisis itu

mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan

mengorganisir data.22

Setelah pengumpulan data selesai, selanjutnya akan dibahas

dan dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

21 Ibid., 195.

(21)

17

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan metode yang

telah ditentukan.23

a. Analisis Deskriptif

Yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan

bukan angka-angka, serta semua yang dikumpulkan

berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah

diteliti.24

b. Pola Pikir Induktif

Yakni proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indra

(pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan

pengertian.25 Jadi, pola pikir induktif disini adalah penalaran

yang digunakan untuk mengemukakan kenyataan dari hasil

penelitian tentang penarikan persenan tanah persilan oleh polisi

hutan yang terjadi di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan.

I. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini disusun dengan sistematika perbab yang

masing-masing bab memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, serta

merupakan satu kesatuan yang utuh. Bab-bab tersebut merupakan

kebulatan penjelasan dari penelitian ini yang sistematikanya terbagi

23 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 143.

(22)

18

menjadi lima bab pembahasan untuk memudahkan pembahasan dan

pemahaman itu sendiri, yakni meliputi:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan, yang menguraikan latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,

kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang kajian teori muza>ra’ah, yang menguraikan

tentang pengertian muza>ra’ah, landasan hukum muza>ra’ah, rukun dan

syarat muza>ra’ah, hukum muza>ra’ah, bentuk-bentuk muza>ra’ah,

berakhirnya akad muza>ra’ah, serta pedoman pinjam kawasan hutan.

Bab ketiga merupakan hasil penelitian tentang tinjauan hukum

Islam terhadap penarikan persenan tanah persilan oleh perhutani di Desa

Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Serta gambaran

umum desa, yang meliputi : Letak Geografis, Keadaan Sosial Ekonomi,

Keadaan Sosial Pendidikan, Keadaan Sosial Keagamaan. Dan pelaksanaan

penarikan persenan tanah persilan yang memuat : Latar belakang terjadinya

penarikan persenan tanah persilan, pengertian tanah persilan dan polisi

hutan, peralatan yang digunakan, mekanisme penarikannya, batas akhir

waktu bagi hasil tanah persilan, dan dampak yang ditimbulkan.

Bab keempat berisi analisis tentang tinjauan hukum Islam terhadap

penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di desa Tenggiring

kecamatan Sambeng kabupaten Lamongan.

(23)

BAB II

MUZA>RA’AH

DALAM HUKUM ISLAM DAN PEDOMAN

PINJAM KAWASAN TANAH PERHUTANI

A. Muza>ra’ah dalam Hukum Islam

1. Pengertian Muza>ra’ah

Kata al-muza>ra’ah secara etimologi adalah bentuk mas}dar dari

asal kata al-zur’u yang artinya adalah al-inba>t (menanam,

menumbuhkan). Sedangkan secara terminologi al-muza>ra’ah adalah

sebuah akad pengolahan dan penanaman dengan upah sebagai hasilnya.26

Ulama Malikiyah mendefinisikan al-muza>ra’ah sebagai berikut:

ْ ِشلا

ْ رْ ك

ْ ةْ

ْ ف

ْ ُلاْ

ْ رْ ع

“Perserikatan dalam pertanian”.

Ulama Hanabilah mendefinisikan al-muza>ra’ah sebagai berikut:

ْ دْ ف

ْ عْ

ْ لا

ْ ر

ْ ض

ْْ ا

ْ ل

ْ َْ

ْ نْ

ْ يْ ُْ ر

ْ عْ ه

ْ أْا

ْ وْْ ي

ْ عْ م

ْ لْ

ْ عْ لْ ي

ْ ه

ْ وْا

ْ ُلاْ

رْ ع

ْْ بْ ي

ْ نْ ه

ْ ما

“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan

hasilnya dibagi dua”.

Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indnesia disebut dengan

paruhan sawah. Penduduk Irak menyebutnya dengan istilah

al-mukha>barah, tetapi dalam hal ini bibit disediakan oleh penggarap.

Seperti yang didefinisikan oleh Imam Syafi’i:

(24)

20

ْ عْ م

ْ لْ

ْ لا

ْ ر

ْ ض

ْْ بْ ب

ْ ع

ْ ض

ْْ َ

ْ يْا

ْ رْ ج

ْْ َ

ْ نْ ه

ْ وْا

ْ لاْ ب

ْ ذْ ر

ْْ َ

ْ نْ

ْ لاْ ع

ْ مْ ل

“Pengelolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian,

sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.27

Sedangkan Abd al-Rahman al-Jaziri mengemukakan definisi

muza>ra’ah menurut Ulama Hanafiyah yaitu:

ْ ض ر لاْ ن َْ ج رْا خاْ ض ع ب بْ ع ر ُلاْي ل عْ د ق ع

ْ

“Akad untuk bercocok tanam dngan sebagian yang keluar dari bumi”.28

Selain itu, menurut Ulama Hanafiyah akad muza>ra’ah pada

mulanya adalah berbentuk akad ija>rah, akan tetapi pada akhirya akad

muza>ra’ah berupa sha>rikah (kerjasama, patungan, joinan). Apabila

benihnya dari pihak penggarap maka yang menjadi objek muza>ra’ah

adalah manfaat lahan, dan jika benihnya dari pemilik lahan maka yang

menjadi objek akad muza>ra’ah adalah kemanfaatan (pekerjaan) si

penggarap.29

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan al-muza>ra’ah adalah akad pemanfaatan dan

penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan pihak yang

menggarap dengan hasil dibagi dua sesuai prosentase yang mereka

(25)

21

sepakati, sedangkan yang dimaksud al-mukha>barah ialah al-muza>ra’ah

yang benihnya berasal dari penggarap.30

2. Landasan Hukum Muza>ra’ah.

Muza>ra’ah atau zira>’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama

antara pekerja (buruh) dan pemilik tanah. Dalam banyah kasus, pihak

buruh memiliki keahlian mengelola tanah namun tidak memiliki tanah,

dan ada pemilik tanah namun tidak mempunyai keahlian dalam

mengelola tanah tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyari’atkan zira>’ah

sebagai upaya mempertemukan kepentingan dua belah pihak.31

Adapun dasar-dasar hukum Muza>ra’ah antara lain:

1. Al-Qur’an Surat al-Muzammil : 20.

 ...                                                                                 .

Artinya: ... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan

30 Ibid., 563.

(26)

22

kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.32

2. Al-Qur’an Surat az-Zuhruf : 32.

  ْ   ْ   ْ   ْ  ْ   ْ  ْ  ْ   ْ  ْ   ْ  ْ  ْ  ْ   ْ   ْ   ْ   ْ   ْ  ْ  ْ  ْ  ْ   ْ   ْ   ْ  ْ   ْ . ْ

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (az-Zuhruf : 32).33

3. Hadith yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar.

ْ لا قْ)ٍ ْ ُ لْ ظ ف للا و(ْ ٍب ر حْ ن بْ ر ي ز وْ ٍل ب ن حْ ن بْ د ْ أْا ن ث د ح

ْ و و(ْ َ َْا ن ث د حْ

ْ ه ي ل عْ هْى ل صْ هْ ل و س رْ ن أْ, ر م عْ ن باْ ن عٌْع ف انْ ن ر ب خ أْ هْ د ي ب عْ ن عْ) نا ط ق لا

.ٍع ر زْ و أٍْر َْ ن َْا ه ن َْ ج ر يا َْ ط ر ش بْ ر ب ي خْ ل اْ ل َا عْ م ل س و

34

Artinya: telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hambal dan Zuhair bin Harbi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepadaku Yahya dari Ubaidillah, telah

bercerita kepadaku Nafi’ ibnu umar, sesungguhnya

Rasulullah Saw telah mempekerjakan penduduk khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagaian dari pengahasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman. (HR. Muslim).

4. Ijma’ ulama.

Ijma’ merupakan produk kesepakatan ulama yang sudah menjadi

dalil dalam pelaksanaan hukum Islam.35 Abu Yusuf dan Muhammad

32 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Rilis Grafika, 2009), 575 33 Ibid., 491.

(27)

23

(sahabat Imam Abu Hanifah), Imam Malik, Ahmad, dan Abu

Dawud azh-Zhahiri berpendapat bahwa muza>ra’ah adalah boleh

hukumnya.36

5. Kaidah fiqih:

ْ ل ص ل ا

ْ ف

ْ ل َا ع م لا

ْ ت

ْ ة حا ب لا

ْ ل إ

ْ ن أ

ْ د ي

ْ ل

ٌْل ي ل د

ى ل ع

ا ه ْ ر َ

ْ

Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.37

3. Rukun dan Syarat Muza>ra’ah

Jumhur ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah

mengemukakan rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga

akad dianggap sah. Berikut rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam

akad muza>ra’ah:

a. Rukun muza>ra’ah

Rukun muza>ra’ah menurut Ulama Hanafiyah adalah ija>b dan

qabu>l, yaitu pemilik lahan berkata kepada penggarap “aku serahkan

lahan ini kepadamu sebagai al-muza>ra’ah dengan upah sekian” lalu

penggarap berkata “aku terima” atau “aku setuju”, atau dengan

perkataan lain yang menunjukkan ia menerima dan menyutujui

muza>ra’ah tersebut.38

35 Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 222. 36Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), 207.

(28)

24

Menurut Ulama Hanafiyah akad muza>ra’ah pada awalnya

adalah bentuk akad ija>rah, sedangkan pada akhirnya berbentuk

shirkah. Apabila benih dari pihak penggarap maka objek akadnya

berarti kemanfaatan lahan, apabila benihnya dari pemilik lahan

maka objek akadnya adalah kemanfaatan si penggarap.

Sementara itu, Ulama Hanabilah mengatakan bahwa akad

muza>ra’ah tidak perlu kepada qabu>l secara lisan, akan tetapi qabu>l

cukup dengan si penggarap memulai mengerjakan dan mengolah

lahan atau merawat dan menyirami tanaman.

Adapun elemen akad muza>ra’ah ada tiga, yaitu pemilik lahan,

penggarap, dan objek akad yang memiliki dua kemunkinan sebagai

kemanfaatan lahan atau kemanfaatan si penggarap.

Dari pemaparan di atas Jumhur Ulama membolehkan akad

muza>ra’ah dengan rukun yang harus dipenuhi antara lain:

1) Pemilik tanah.

2) Petani penggarap.

3) Objek muza>ra’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja

petani.

4) Ija>b dan qabu>l.39

(29)

25

b. Syarat-syarat muza>ra’ah

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muza>ra’ah

meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak yang berakad,

syarat-syarat yang berkaitan dengan objek muza>ra’ah, dan

syarat-syarat yang berkaitan dengan ija>b dan qabu>l, antara lain seagai

berikut:

1) Syarat yang berkaitan dengan pihak pelaku akad

Syarat-syarat pihak yang melakukan akad adalah

sudah baligh dan berakal.40 Oleh karena itu, tidak sah akad

muza>ra’ah yang dilakukan oleh orang gila atau anak yang

belum ba>ligh.

Adapun ba>ligh menurut Ulama Hanafiyah bukan

termasuk syarat sah muza>ra’ah , maka anak belum ba>ligh

yang diberi ijin boleh melakukan akad muza>ra’ah sama

halnya dengan akad ija>rah, karena muza>ra’ah adalah sama

dengan mempekerjakan atau mengupah seseorang dengan

upah sebagian dari hasil panen. Sementara itu, Ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan ba>ligh sebagai syarat

sahnya muza>ra’ah sama seperti akad-akad yang lain.41

40 Ibid., 116.

(30)

26

2) Syarat yang berkaitan dengan objek muza>ra’ah

Untuk objek akad Jumhur Ulama yang membolehkan

muza>ra’ah harus jelas baik berupa jasa petani atau berupa

kemanfaatan tanah.42

a) Syarat penanaman

Syarat penanaman dalam muza>ra’ah harus diketahui

secara pasti, dalam artian harus jelas apa benih yang akan

ditanam, karena kondisi sesuatu yang ditanam

berbeda-beda sesuai dengan penanaman yang dilakukan. Namun

hal yang sesuai dengan al-istih}san adalah bahwa

menjelaskan apa yang akan ditanam tidak menjadi syarat

di sini, jika yang disebutkan adalah akad muza>ra’ah maka

masalah apa yang akan ditanam dipasrahkan kepada pihak

penggarap.

b) Syarat lahan yang akan ditanami

Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan tanah

pertanian atau lahan yang akan ditamani meliputi

syarat-syarat sebagai berikut:

- Menurut adat di kalangan petani tanah itu boleh

digarap dan menghasilkan, jika tanah itu tanah kering

dan tandus sehingga tidak memungkinkan dijadikan

(31)

27

lahan pertanian maka muza>ra’ah tersebut menjadi

tidak sah.

- Batas-batas tanah itu jelas.

- Tanah itu sepenuhnya diserahkan kepada petani

untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik

tanah iku mengolah tanah tersebut maka muza>ra’ah

menjadi tidak sah.43

c) Syarat yang berkaitan dengan ija>b dan qabu>l

- Syarat-syarat hasil tanaman

Syarat-syarat yang menyangkut hasil tanaman

(panen) sebagai berikut:

1. Pembagian hasil panen bagi masing-masing

pihak harus jelas.

2. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang

berakad tanpa boleh ada pengkhususan.

3. Pembagian hasil panen itu ditentukan, yakni

setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari

awal akad sehingga tidak timbul perselisihan

dikemudian hari, serta penentuannya tidak boleh

berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak

seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu

karung, karena jumlah keseluruhan hasil panen

(32)

28

berkemungkinan di atas jumlah tersebut atau di

bawahnya.44

- Syarat jangka waktu berlangsungnya muza>ra’ah.

Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus

dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad

muza>ra’ah mengandung makna al-ija>rah

(sewa-menyewa) dengan imbalan hasil panen. Oleh karena

itu, jangka waktu dalam muza>ra’ah harus jelas, serta

penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan

dengan adat setempat.

Secara garis besar akad muza>ra’ah sah menurut Muhammad dan

Abu Yusuf dengan delapan syarat, yaitu:

1. Kedua belah pihak memenuhi syarat-syarat kelayakan dan

kepatutan melakukan akad.

2. Masanya harus ditentukan jelas.

3. Tanahnya cocok dan layak untuk dijadikan lahan pertanian.

4. Lahannya dipasrahkan penuh kepada pihak penggarap.

5. Hasil panen statusnya harus mushtarak dan musha’ yang artinya

tidak boleh ada bagian tertentu dari hasil panen yang diperuntukkan

bagi salah satu pihak dan pembagiannya harus berbentuk sepertiga,

atau seperempat dan tidak boleh dengan akaran satu kwintal atau

lainnya.

(33)

29

6. Menjelaskan dari siapa benihnya serta memberitahukan objek akad

berupa kemanfaatan lahan atau kemanfaatan pekerja yang dilakukan

oleh pihak penggarap.

7. Menjelaskan bagian masing-masing dari kedua belah pihak.

8. Menjelaskan jenis benih yang akan ditanam supaya upahnya bisa

diketahui, akan tetapi prinsip istih}san menghendaki syarat

menjelaskan benih yang akan ditanam tidaklah menjadi syarat

muza>ra’ah.45

4. Muza>ra’ah Menurut Ulama

Dasar hukum yang digunakan oleh ulama dalam menetapkan

hukum muza>ra’ah atau mukhaba>rah adalah sebuah hadith yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar:

ْ د حْ لا قْ)ٍ ْ ُ لْ ظ ف للا و(ْ ٍب ر حْ ن بْ ر ي ز وْ ٍل ب ن حْ ن بْ د ْ أْا ن ث د ح

ْ و و(ْ َ َْا ن ث

ْ ه ي ل عْ هْى ل صْ هْ ل و س رْ ن أْ, ر م عْ ن باْ ن عٌْع ف انْ ن ر ب خ أْ هْ د ي ب عْ ن عْ) نا ط ق لا

.ٍع ر زْ و أٍْر َْ ن َْا ه ن َْ ج ر يا َْ ط ر ش بْ ر ب ي خْ ل اْ ل َا عْ م ل س و

46

Artinya: telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hambal dan Zuhair bin Harbi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepadaku Yahya dari Ubaidillah, telah

bercerita kepadaku Nafi’ ibnu umar, sesungguhnya

Rasulullah Saw telah mempekerjakan penduduk khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagaian dari pengahasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman. (HR. Muslim).

Muza>ra’ah diperbolehkan oleh sebagian besar sahabat, tabi’in,

dan para imam, namun tidak diperbolehkan oleh sebagian yang lain.

Dalil-dalil orang yang membolehkan muza>ra’ah adalah muamalah

45 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu..., 566

(34)

30

Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar yang mendapatkan setengah

dari hasil tanah Khaibar. Imam al-Bukha>ri meriwayatkan dari Abdullah

bin Umar r.a bahwa Rasulullah mempekerjakan orang-orang Khaibar di

tanah Khaibar dan mereka mendapat separuh dari tanaman atau

buah-buahan yang dihasilkannya.47

Diriwayatkan pula oleh Bukha>ri dari Ja>bir yang mengatakan

bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muza>ra’ah

dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, ¼:¾, ½:½, maka Rasulullah Saw

bersabda “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap.

Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya tahanlah

tanahnya”.48

Ulama Hanafiyah berpendapat muza>ra’ah itu sah apabila:

1. Setiap hal yang dibutuhkan dalam penggarapan lahan menjadi beban

si penggarap karena dalam muza>ra’ah secara otomatis mencakup

ketentuan tersebut.

2. Setiap hal yang menjadi kebutuhan taman seperti pupuk,

pemanenan, penebahan, adalah menjadi tanggung jawab kedua belah

pihak sesuai bagian yang akan didapatkan masing-masing dari hasil

tanaman.

3. Hasil tanaman yang didapatkan dibagi sesuai dengan kesepakatan

yang telah ditentukan.49

47 Ibid., 163.

(35)

31

Menurut Ulama Syafi’iyah hukum muza>ra’ah adalah tidak

diperbolehkan kecuali statusnya mengikuti al-musa>qah. Oleh karena itu,

jika seandainya terjadi muza>ra’ah atas suatu lahan secara tersendiri

(tidak mengikuti al-musa>qah) maka hasil tanamannya adalah untuk

pemilik lahan, karena hasil itu adalah perkembangan dan pertambahan

yang terjadi pada sesuatu miliknya, namun ia berkewajiban memberi

pihak penggarap upah untuk pekerjaan yang telah dilakukannya serta

binatang dan peralatan yang digunakan dalam penggarapan atau

pengolahan lahan tersebut.50

Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Imam Abu Hanifah), Imam

Malik, Ahmad, dan Abu Dawud azh-Zahiri berpendapat bahwa

muza>ra’ah diperbolehkan. Hal itu didasarkan pada hadith yang

diriwayatkan oleh Jama’ah dari Ibnu Umar bahwa Nabi Saw

bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang

dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan.

Selain itu, muza>ra’ah dapat dianggap sebagai perkongsian antara harta

dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja bisa saling

terpenuhi.51

5. Bentuk-bentuk Muza>ra’ah

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,

ada empat bentuk muza>ra’ah yang mana tiga bentuk muza>ra’ah itu sah

dan yang satu lainnya tidak sah, yaitu:

50 Ibid., 574.

(36)

32

1. Modal berupa tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja

dan alat dari petani, sehingga yang menjadi obyek muza>ra’ah adalah

jasa petani, maka hukum muza>ra’ah ini adalah sah.

2. Pemilik tanah hanya menyediakan lahan pertanian, sedangkan

petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi

obyek muza>ra’ah adalah manfaat tanah, maka akad muza>ra’ah ini

adalah sah.

3. Modal berupa lahan pertanian, alat, dan bibit semuanya dari pemilik

tanah dan kerja dari petani, maka akad muza>ra’ah ini adalah sah.

4. Tanah pertanian dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit serta

kerja dari petani, maka akad muza>ra’ah ini adalah tidak sah.

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,

menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi

rusak, karena alat pertanian boleh mengikut pada tanah. Menurut

mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah,

karena tanah adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah,

sedangkan manfaat alat hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian

menurut mereka, harus mengikut kepada petani penggarap, bukan pada

pemilik tanah.52

(37)

33

6. Sifat Akad Muza>ra’ah dan Berakhirnya Muza>ra’ah

a) Sifat akad muza>ra’ah

Adapun sifat akad muza>ra’ah para ulama berbeda pendapat

mengenai hal itu. Menurut Ulama Hanafiyah sifat akad muza>ra’ah

adalah sama seperti akad-akad shirkah lainnya, yaitu statusnya

adalah ghoiru la>zim (tidak mengikat). Sementara itu, Ulama

Malikiyah mengatakan bahwa akad muza>ra’ah bersifat la>zim

(berlaku mengikat) jika benih telah ditaburkan atau ditanam,

pendapat yang mu’tamad menurut Ulama Malikiyah adalah

bentuk-bentuk kerjasama (shirkah) dalam harta statusnya adalah menjadi

la>zim jika telah melakukan ija>b dan qabu>l. Sedangkan menurut

Ulama Hanabilah, baik akad muza>ra’ah maupun akad musa>qah

keduanya adalah bersifat ghoiru la>zim (tidak mengikat), sehingga

salah satu pihak bisa membatalkan akad tersebut serta akad bisa

menjadi batal jika salah satu dari orang yang bekerja sama tersebut

meninggal dunia.53

b) Berakhirnya akad muza>ra’ah

Muza>ra’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya

akad atau maksud dari tujuan kedua belah pihak, seperti telah panen

atau semacamnya. Aakan tetapi, adapula akad muza>ra’ah yang

terkadang berakhir sebelum terwujudnya maksud dari akad dan

(38)

34

tujuan kerjasama tersebut54, beberapa hal yang menyebabkan

muza>ra’ah berakhir, antara lain ialah:

1) Habis masa muza>ra’ah.

2) Salah satu orang yang berakad muza>ra’ah meninggal dunia.

3) Adanya uzur. Menurut Ulama Hanafiyah diantara uzur yang

menyebabkan batalnya muza>ra’ah antara lain:

- Tanah garapan terpaksa dijual untuk membayar utang,

seperti pemilik lahan terbelit hutang sehingga lahan

pertanian tersebut harus dijual demi melunasi hutang

tersebut, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi

hutang tersebut, serta pembatalan ini harus dilaksanakan

melalui campur tangan hakim.

- Penggarap tidak dapat mengelolah tanah, misalnya

dikarenakan penggarap sakit yang menyebabkannya harus

melakukan suatu perjalanan ke luar kota sehingga tidak

mampu melaksanakan pekerjaannya, jihad di jalah Allah

Swt dan lain-lain.55

(39)

35

B. Pedoman Pinjam Tanah Kawasan Hutan

Sebelum membahas tentang bagaimana pedoman pinjam atau

perizinan penggunaan tanah kawasan hutan, seyogyanya perlu dipahami

terlebih dahulu mengenai pengertian dari hutan, kawasan hutan, serta

penggunaan kawasan hutan.

1. Pengertian Hutan, Kawasan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 16/ Menhut-II/ 2014 tentang

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pasal 1 menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

lainnya tidak dapat dipisahkan.56

Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah

wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Jadi,

penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan

hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan

tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.57

56 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 16/

MENHUT-II/ 2014 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN, 4.

(40)

36

2. Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penggunaan Kawasan Hutan

Adapun ketentuan mengenai tata cara permohonan atau

perizinan penggunaan kawasan hutan ini diatur secara detail dalam

Bab II Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 16/

Menhut-II/ 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang

meliputi tata cara permohonannya, syarat, serta izin pinjam pakai

kawasan hutan sebagaimana yang dikutip langsung sebagai berikut:

Tata Cara Permohonan58

Pasal 14

(1) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diajukan oleh:

a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur;

c. bupati/walikota;

d. pimpinan badan usaha; atau e. ketua yayasan.

(2) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri.

Pasal 15

(1) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), harus dilengkapi persyaratan: a. administrasi; dan

b. teknis.

(2) Dokumen persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen asli atau salinan dokumen yang dilegalisasi oleh instansi penerbit atau notaris.

Pasal 16

(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi:

a. surat permohonan;

b. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi) atau perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh pejabat sesuai kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki perizinan/perjanjian;

c. rekomendasi:

(41)

37

1. gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan Pemerintah; atau

2. bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau

3. bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya;

d. pernyataan dalam bentuk akta notariil yang menyatakan: 1. kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan

kesanggupan menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan;

2. semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan

3. tidak melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada izin dari Menteri;

e. dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau yayasan, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d ditambah persyaratan:

1. akta pendirian dan perubahannya; 2. profile badan usaha/yayasan; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

4. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

f. ketentuan sebagaimana huruf e dikecualikan untuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan permohonan untuk minyak dan gas bumi serta panas bumi.

(2) Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon, berdasarkan pertimbangan teknis Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan setempat.

(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat:

a. letak, luas dan batas areal yang dimohon sesuai fungsi kawasan hutan yang dilukiskan dalam peta;

b. kondisi kawasan hutan yang dimohon antara lain memuat informasi:

1. fungsi kawasan hutan; 2. tutupan vegetasi;

3. perizinan pemanfataan, penggunaan dan/atau pengelolaan; 4. kuota izin pinjam pakai di dalam areal izin pemanfaatan

(42)

38

5. areal izin pemanfaatan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung;

6. areal Sistem Silvikultur Intensif;

7. kawasan hutan produksi yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga; dan

8. kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku selama proses pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan. (5) Dalam hal permohonan dilakukan oleh Instansi Pemerintah,

pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d cukup dalam bentuk Surat Pernyataan yang ditandatangani Pemohon atau Pejabat yang ditunjuk oleh Pemohon.

Pasal 17

(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b meliputi:

a. rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi skala 1:50.000 atau skala terbesar pada lokasi tersebut dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;

b. citra satelit terbaru paling lama liputan 2 (dua) tahun terakhir dengan resolusi minimal 15 (lima belas) meter dan hasil penafsiran citra satelit oleh pihak yang mempunyai kompetensi di bidang penafsiran citra satelit dalam bentuk digital dan hard copy serta pernyataan bahwa citra satelit dan hasil penafsirannya benar;

c. izin lingkungan dan dokumen AMDAL atau UKL-UPL yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, untuk kegiatan yang wajib menyusun AMDAL atau UKL-UPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari WPN dan pola pertambangan;

e. untuk perizinan kegiatan pertambangan komoditas mineral jenis batuan dengan luasan paling banyak 10 (sepuluh) hektar, pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada huruf d, diberikan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi pertambangan;

f. surat pernyataan Pimpinan Badan Usaha bermaterai memiliki tenaga teknis kehutanan untuk permohonan kegiatan pertambangan operasi produksi;

(43)

39

(2) Kelengkapan persyaratan teknis penyediaan citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikecualikan bagi permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan: a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata

rohani;

b. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;

c. jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;

d. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;

e. fasilitas umum;

f. pertahanan dan keamanan, antara lain sarana dan prasarana latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai;

g. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika;

h. penampungan sementara korban bencana alam; i. survei atau eksplorasi; dan

j. pertambangan yang luasnya dibawah 5 (lima) hektar; Pasal 18

Kelengkapan persyaratan administrasi dan teknis permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 hanya berupa surat permohonan dan rencana kerja penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan:

a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;

b. pertahanan dan keamanan, antara lain pusat latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai;

c. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat, sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; atau

(44)

BAB III

PELAKSANAAN PENARIKAN PERSENAN

TANAH PERSILAN

OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN

SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah di Desa Tenggiring Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan. Dalam hal ini akan dibahas mengenai

beberapa hal antara lain ialah batas wilayah antara Desa Tenggiring dan desa

lainnya, luas wilayah Desa Tenggiring, keadaan penduduk Desa Tenggiring,

keadaan sosial agama warga Desa Tenggiring, keadaan sosial pendidikan

warga Desa Tenggiring, keadaan sosial ekonomi warga Desa Tenggiring.

1. Batas wilayah Desa Tenggiring

Sebagai lembaga pemerintahan yang terkecil dalam struktur

pemerintahan, Desa Tenggiring adalah sebuah desa kecil yang terletak

di tengah-tengah dari beberapa desa lainnya, antara lain yaitu:

Sebelah utara : Desa Ardirejo

Sebelah selatan : Desa Wateswinangun

Sebelah timur : Desa Kedungwangi

Sebelah barat : Desa Semampirejo.

Meskipun memiliki letak yang bersebelahan, desa-desa tersebut

(45)

41

Kabupaten Lamongan.59

2. Keadaan sosial agama

Dari keseluruhan penduduk yang ada di Desa Tenggiring,

semuanya menganut agama Islam, hal ini didukung dengan adanya 1

masjid dan 8 mushola/langgar untuk tempat beribadah atau menunjang

kegiatan agama penduduknya.

Selain itu, masyarakat Tenggiring juga memiliki kegiatan

keagamaan antara lain jama’ah tahlil perempuan dari golongan orang tua

atau nenek-nenek yang biasa disebut dengan jam’iyah muslimat dan

jama’ah tahlil laki-laki dari golongan bapak-bapak dan kakek-kakek,

jam’iyah yasin (fatayat) dari golongan ibu-ibu, IPNU-IPPNU yang

beranggotakan kawula muda-mudi Desa Tenggiring, dan beberapa

kegiatan lainnya seperti dhiba’an yang diadakan di mushola

masing-masing dusun secara bergiliran.

3. Keadaan sosial pendidikan

Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencerdaskan bangsa,

pemerintah senantiasa memperhatikan lembaga pendidikan, bahkan

sampai pendidikan yang ada di pelosok desa sehingga masyarakat

mempunyai kesempatan untuk belajar baik melalui pendidikan formal

maupun pendidikan non formal.

Begitu juga yang ada di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan, masyarakat disini begitu memperhatikan

(46)

42

pendidikan bagi anak-anak mereka, terlebih dalam pendidikan ilmu

agama, hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak didik yang sudah lulus

Sekolah Dasar atau setingkat langsung disaftarkan ke Pondok Pesantren

oleh orang tua mereka, baik itu Pondok Pesantren yang murni salaf

ataupun Pondok Pesantren yang telah membuka pendidikan formal.

Adapun sarana pendidikan yang ada di Desa Tenggiring Kecamatan

Sambeng Kabpaten Lamongan terdiri dari 2 PAUD, 2 TK, 2 MI, 2 SD,

dan 1 TPQ.

4. Keadaan sosial ekonomi

Perekonomian masyarakat Desa Tenggirng sebagian besar adalah

ditunjang dari hasil pertanian, karena Desa Tenggiring sendiri tergolong

sebagai daerah yang dikelilingi oleh area persawahan di sekitar desanya.

Bagi mereka yang memiliki atau yang tidak memiliki sawah tetap

bekerja sebagai petani dan buruh tani. Bagi mereka yang memiliki

pekerjaan lain tetap saja pekerjaan yang kebanyakan dilakukan warga

Desa Tenggiring adalah sebagai petani, oleh karena itu meskipun

mereka memiliki pekerjaan sampingan tetap saja mereka tidak

meninggalkan pekerjaannya sebagai petani. Hasil pertanian yang mereka

tanam antara lain seperti padi, jagung, kacang tanah, dan juga tembakau.

Mengenai pendapatan untuk setiap perkapita dari sektor

pertanian untuk setiap rumah tangga pertanian adalah sekitar Rp 50.000.

pendapatan tersebut tidak selalu sama karena dilihat dari pekerjaan,

(47)

43

upah buruh tani perempuan berkisar antara 20.000-25.000 untuk setiap

orang dan waktu pekerjaannya adalah muali pagi sampai siang. Jika

untuk buruh tani laki-laki disesuaikan dengan waktu dan apa yang

dikerjakan, misalnya untuk buruh tani laki-laki yang bekerja untuk

mencangkul atau pekerjaan yang sejenisnya itu upahnya berkisar sekitar

60.000 dan waktunya adalah pagi sampai siang dan dilanjutkan lagi

setelah istirahat siang sampai sore sekitar pukul 15.30-16.00, atau upah

tersebut biasanya tergantung dari pemberi upah dan disesuaikan upah

pada umumnya yang dianut oleh warga desa tenggiring.60

Selain itu, ada juga pekerjaan atau profesi lain yang dijadikan

tumpuan hidup bagi masyarakat Tenggiring meskipun hanya sebagian

kecil saja dari mereka yang melakukannya, antara lain seperti tukang

kayu, peternak, guru, PNS, penjahit, dan lai-lain. Meskipun demikian,

dari semuanya tetap lebih mengandalkan dari hasil pertanian mereka,

keterangan lebih lanjut mengenai pekerjaan-pekerjaan dan pendapatan

[image:47.595.134.519.206.716.2]

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:61

Tabel 4.1

Pekerjaan/ Profesi Penduduk Desa Tenggiring

Pekerjaan/ Profesi Jumlah

Petani 237 orang

Buruh tani 964 orang

Pemilik usaha pertanian 5 orang

Tukang kayu 5 orang

60 Asir, Wawancara, 16 Mei 2015.

(48)

44

Tukang batu 8 orang

Tukang sumur 5 orang

Penjahit 4 orang

Guru swasta 17 orang

PNS 8 orang

Guru swasta 17 orang

Pedagang keliling 57 orang

Buruh migrant 48 orang

Karyawan perusahaan swasta 14 orang

B. Pelaksanaan Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh Polisi Hutan di Desa

Tenggiring

Praktik penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan disini

adalah proses bagaimana

Gambar

 Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Pada transmisi arah uplink (UL), adanya efek interferensi inter sel (inter cell interference) dan interferensi intra sel (intra cell interference) serta pengaruh

Pengaruh ekstrak metanol terhadap permeabilitas sel lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak etilasetat pada dosis MIC yang sama baik pada fase eksponensial maupun fase

Hasil analisis ragam dan uji lanjut DNMRT menunjukkan bahwa persilangan genotipe IPB C-111xC- 120, IPB C-111xC-159 dan resiprokalnya memiliki karakter yang tidak

Bersadarkan distribusinya, Kridalaksana membagi afiks dalam beberapa jenis, yaitu (1) prefiks, adalah afiks yang ditambahkan di awal kata dasar, dalam proses

1423203004 yang berjudul : IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM EKONOMI PONDOK PESANTREN MELALUI KOMUNITAS PONDOK PENA (Studi Kasus di Pesma An Najah

Terpadu SDIT Mutiara Hati Purwareja Klampok hendaknya menambah intensitas waktu untuk duduk bersama atau lebih sering membina dan mengarahkan Guru-guru Sekolah

Nasabah pemenang adalah nasabah yang benar melakukan transaksi belanja di Hypermart menggunakan Mandiri Debit di mesin Mandiri EDC mulai hari Kamis, 14 Mei 2015 sampai dengan hari

Dengan adanya integrasi antara Grid Engine Portal sebagai antarmuka dari aplikasi Bio-Cluster Grid dan Sun Grid Engine sebagai pusat dari pengaturan sumber daya