ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Penarikan Persenan Tanah Persilan Oleh Polisi Hutan Di Desa
Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang “Bagaimana praktik penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng
Kabupaten Lamongan”.
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pola pikir induktif yaitu pola pikir yang berpijak pada fakta-fakta yang bersifat khusus, yakni fakta-fakta yang berkaitan dengan penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan kemudian diteliti dan dikaitkan dengan teori muza>ra’ah dalam hukum Islam dan akhirnya dikemukakan pemecahan persoalan yang bersifat umum.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2004 Pasal 36 dijelaskan mengenai wewenang dari polisi hutan bukan untuk memiliki atau menguasai tanah perhutani melainkan hanya melakukan pengawasan/ patroli serta pencatatan hasil hutan, akan tetapi polisi hutan memiliki kewenangan khusus yang diberikan oleh pihak perhutani untuk mengadakan aktivitas berladang di kawasan tertentu yang telah ditentukan pihak perhutani. Oleh karena itu, dari segi syarat pihak yang melakukan muza>ra’ah polisi hutan memenuhi syarat tersebut. Adapun mengenai ketentuan bagian hasil panen yang diberikan penggarap tanah persilan kepada polisi hutan yang baru akan ditentukan pada waktu penggarap panen ini boleh hukumnya karena pada dasarnya ketentuan ini berdasarkan asas musyawarah atau negosiasi diantara kedua belah pihak serta tidak ada paksaan yang mengikat mengenai berapa jumlah yang harus diberikan pihak penggarap tanah persilan kepada pihak polisi hutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa akad muza>ra’ah antara petani dan polisi hutan atas tanah persilan yang ada di Desa Tenggiring Sambeng Lamongan adalah sah hukumnya, dan jika akad muza>ra’ah terbilang sah maka penarikan persenan panen tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggirng Sambeng Lamongan juga terbilang boleh hukumnya.
Bagi masyarakat Desa Tenggiring Sambeng Lamongan, hendaknya lebih memperhatikan nilai-nilai dan aturan dalam hukum Islam khususnya dalam akad
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9
G. Definisi Operasional ... 10
H. Metode Penelitian ... 11
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II MUZA>RA’AH DALAM HUKUM ISLAM DAN PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN ... 19
A. Muza>ra’ah dalam Hukum Islam ... 1. Pengertian Muza>ra’ah ... 19
2. Landasan Hukum Muza>ra’ah ... 21
3. Rukun dan Syarat Muza>ra’ah ... 23
5. Bentuk-bentuk Muza>ra’ah ... 31
6. Sifat Akad Muza>ra’ah dan berakhirnya Muza>ra’ah ... 33
B. Pedoman Pinjam Kawasan Hutan ... 35
1. Pengertian Hutan, Kawasan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan ... 35
2. Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penggunaan Kawasan Hutan ... 36
BAB III PELAKSANAAAN PENARIKAN PERSENAN TANAH PERSILAN OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN ... 39
A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 39
1. Batas wilayah Desa Tenggiring ... 39
2. Keadaan sosial agama ... 41
3. Keadaan sosial pendidikan ... 41
4. Keadaan sosial ekonomi ... 42
B. Pelaksanaan Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh Polisi Hutan di Desa Tenggiring ... 44
1. Tanah persilan dan polisi hutan ... 45
2. Latar belakang penarikan persenan ... 46
3. Peralatan dan bibit tanaman ... 49
4. Mekanisme penarikan persenan ... 49
5. Jenis tanaman dan besar penarikan persenan tanah persilan ... 50
6. Alokasi uang penarikan persenan tanah persilan ... 51
7. Batas akhir waktu bagi hasil tanah persilan ... 52
8. Dampak yang ditimbulkan ... 53
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN PERSENAN TANAH PERSILAN OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN ... 54
B. Analisis tentang Pedoman Pakai Tanah Persilan ... 57
C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Penarikan Persenan Persenan oleh Polisi Hutan di Desa Tenggiring ... 59
BAB V PENUTUP ... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menempati peranannya sebagai makhluk sosial, manusia merupakan
makhluk yang selalu membutuhkan makhluk lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik menyangkut kebutuhan yang bersifat primer
maupun kebutuhan yang bersifat sekunder. Oleh karena itu, banyak
interaksi yang muncul antara satu sama lainnya dikarenakan manusia ingin
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Misalnya saja interaksi yang
muncul dalam bidang perdagangan, pertanian, peternakan, dan kegiatan
muamalah lainnya.
Allah Swt telah memberikan petunjuk dan tuntunan lewat perantara
Nabi Muhammad Saw agar umat Islam dapat berperilaku sesuai dengan
syariat agama Islam. Dalam hidup bersosial, Nabi Muhammad Saw telah
mengajarkan kepada kita semua tentang etika bermuamalah agar tetap
terjalin keharmonisan dalam berhubungan antara manusia dengan manusia
yang sama-sama mempunyai kepentingan untuk mendapatkan keperluan
jasmaninya dengan cara yang paling baik dan tidak adanya praktik
kecurangan yang menimbulkan adanya salah satu pihak yang dirugikan.1
2
Muzara>’ah merupakan salah satu contoh kegiatan muamalah yang
sering dilakukan oleh manusia atau para petani pada umumnya, yaitu
sebuah akad pengolahan dan penanaman dengan upah sebagai hasilnya.2
Secara etimologis, muza>ra’ah berarti kerja sama dalam penggarapan
tanah dengan imbalan sebagian dari apa yang dihasilkan. Dan maknanya
disini adalah pemberian tanah kepada orang yang akan menanaminya
dengan catatan bahwa dia akan mendapatkan porsi tertentu dari apa yang
dihasilkannya, seperti setengah, sepertiga, lebih banyak ataupun lebih
sedikit sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.3
Muza>ra’ah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dan juga para sahabat,
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mempekerjakan
penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari apa yang dihasilkan bumi,
baik biji-bijian maupun buah-buahan. Rasulullah Saw bersabda:
ْ ن ث د ح
ْ ن عْ) نا ط ق لاْ و و(ْ َ َْا ن ث د حْ لا قْ)ٍ ْ ُ لْ ظ ف للا و(ْ ٍب ر حْ ن بْ ر ي ز وٍْل ب ن حْ ن بْ د ْ أْا
ْ
ْ ي خْ ل اْ ل َا عْ م ل س وْ ه ي ل عْ هْى ل صْ هْ ل و س رْ ن أْ, ر م عْ ن باْ ن عٌْع ف انْ ن ر ب خ أْ هْ د ي ب ع
ْ ر بْ
.ٍع ر زْ و أٍْر َْ ن َْا ه ن َْ ج ر يا َْ ط ر ش ب
4
Artinya: telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hambal dan Zuhair bin Harbi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepadaku
Yahya dari Ubaidillah, telah bercerita kepadaku Nafi’ ibnu
umar, sesungguhnya Rasulullah Saw telah mempekerjakan penduduk khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagaian dari pengahasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman. (HR. Muslim).
3
Diterapkannya muza>ra’ah sendiri memiliki dampak yang begitu
besar pada pertumbuhan sosial ekonomi dalam masyarakat dan khususnya
pada pertanian masyarakat, serperti saling tolong-menolong dapat
meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang berkerjasama, dan dapat
meningkatkan produksi dalam negeri sehingga dapat mendorong
pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan. Selain itu, muza>ra’ah sendiri muncul untuk membantu satu
orang dengan yang lainnya dalam bekerja sama, kadang pekerja memilik
kepandaian dalam bidang pertanian tetapi tidak memiliki tanah, kadang
juga pemilik tanah tidak bisa bertani. Oleh karena itu, Islam
mensyari’atkan muza>ra’ah sebagai bentuk kasih sayang bagi keduanya
serta memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak yakni si pemilik lahan
yang tidak memumpuni dalam bidang penggarapan sawah dan si penggarap
yang tidak memiliki lahan agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga
keuntungannyapun bisa dirasakan oleh kedua pihak.
Seperti transaksi bagi hasil mu’a>malah pada umumnya, dalam
praktik muza>ra’ah juga diatur ketentuan yang mengatur tentang batasan
tanah yang akan digarap, bagian keuntungan yang akan didapatkan oleh
kedua pihak, serta batasan waktu lama muza>ra’ah akan belangsung.5
Tidak terkecuali masyarakat Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng
Kabupaten Lamongan yang sebagian besar mata pencahariannya adalah
bergerak dalam sektor pertanian ini juga sering melakukan transaksi
4
mua’a>malah seperti di atas, yaitu transaksi muza>ra’ah. Sebagian dari
mereka ada yang mengolah dan menanami persawahan mereka sendiri dan
ada pula sebagian yang sekedar menggarap persawahan orang lain dan
mendapatkan keuntungan dari bagi hasil di antara keduanya.
Muza>ra’ah yang ada di tanah persilan Desa Tenggiring ini adalah
muza>ra’ah atas tanah perhutani dimana petani sebagai penggarap dan
polisi hutan sebagai pemilik lahan garapan. Jadi, yang dimaksud dengan
tanah persilan dalam penelitian ini adalah tanah perhutani yang dijadikan
ladang pertanian oleh penduduk setempat. Sedangkan penarikan persenan
panen yang dimaksud adalah bagi hasil panen yang diminta oleh mandor
(polisi hutan) setiap pengguna sawah persilan panen.
Sesuai dengan jabatannya, polisi hutan adalah nama sebuah jabatan
fungsional Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan pegawai instansi
kehutanan pusat maupun daerah yang bertugas untuk menyiapkan,
melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta
melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta
pengawasan peredaran hasil hutan.6 Jadi, kewenangan polisi hutan adalah
bukan untuk memiliki lahan perhutani tersebut akan tetapi lebih kepada
perawatan dan pengawasannya.
Selain itu, tidak ada ketentuan pasti yang mengatur waktu
berlangsungnya muza>ra’ah serta besar keuntungan yang akan diperoleh
kedua belah pihak dalam penarikan persenan panen atau bagi hasil ini, baik
5
keuntungan yang akan diperoleh petani selaku penggarap tanah persilan
serta keuntungan polisi hutan selaku pemberi lahan garapan.
Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan muza>ra’ah yang ada
dalam hukum Islam, karena tidak ada ketentuan yang pasti mengenai
berapa bagian yang akan diperoleh kedua pihak, yakni bagian yang akan
diperoleh petani selaku penggarap dan bagian yang diperoleh mandor
(polisi hutan) selaku pemberi lahan garapan. Selain itu, lahan yang
dijadikan tempat untuk bertanam adalah bukan milik polisi hutan
melainkan milik perhutani, selain itu jangka waktu penggarap boleh
menggunakan lahan persilan tidak pernah diketahui serta tidak ada batasan
luas untuk penggarap boleh mengunakan lahan persilan selama lahan
tersebut belum ada yang mengelolahnya.
Dari gambaran di atas, perlu kiranya untuk dikaji mengenai hukum
dan kemashlahatan satu sama lainnya antara warga Desa Tenggiring dalam
melakukan muza>ra’ah atas tanah persilan dan penarikan persenan panen
yang dilakukan oleh mandor (polisi hutan) tersebut sehingga penulis
tertarik untuk menelitinya dan mengangkat judul “Tinjauan Hukum Islam
terhadap Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh Polisi Hutan di Desa
Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan” dalam
6
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Latar belakang terjadinya penarikan persenan tanah persilan.
2. Akad yang digunakan dalam penarikan persenan tanah persilan.
3. Pembagian keuntungan yang akan diperoleh kedua pihak.
4. Batas waktu dalam penggunaan tanah persilan.
5. Hak kepemilikan atas tanah persilan.
6. Hak penggunaan atas tanah persilan.
7. Tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan tanah persilan.
Agar pembahasan masalah tidak melebar dan lebih terfokus, maka
diperlukan batasan masalah dalam penelitian. Penelitian ini terbatas pada:
1. Praktik penarikan persenan tanah persilan.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik penarikan persenan tanah
persilan.
C. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pusat perhatian dalam sebuah
penelitian. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakang masalah
sebagaimana dijabarkan di atas, maka masalah penelitian ini berusaha
7
1. Bagaimana praktik penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan
di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan tanah
persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng
Kabupaten Lamongan?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/ penelitian yang telaha ada.7 Pada
dasarnya, kajian pustaka pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan
gambaran hubungan topik yang akan diteliti yakni penarikan persenan
tanah persilan di Desa Tenggiring dengan penelitian-penelitian
sebelumnya.Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya antara lain:
Pertama, skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual
beli Tanah Perhutani”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan tentang status
kepemilikan tanah perhutani dan kebolehan penggunaan tanah perhutani
8
dengan syarat perjanjian tertulis atau lisan serta penggunaannya hanya
sebatas pemanfaatan tanah bukan untuk dimiliki ataupun dijual.8
Kedua, skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap
Implementasi Bagi Hasil atas Tanah (Percanton/ canton) di Desa Lombang
Lao’ Kecamatan Blega Kabupaten Bankalan Madura. Dalam penelitian ini
dijelaskan mengenai mekanisme bagi hasil atas tanah (Percanton/ canton)
yang mana hasilnya dianggap batal karena merugikan salah satu pihak,
yakni penggarap dirugikan karena dalam mekanis pembagiannya ia juga
menanggung modal, ongkos buruh tani, dan penjualan hasil pertaniannya.9
Dari pemaparan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa skripsi
yang pertama adalah membahas tentang kepemilikan tanah perhutani serta
penggunaannya yang hanya sebatas pemanfaatan bukan untuk dimiliki atau
dijual belikan. Sedangkan skripsi yang kedua adalah membahas tentang
mekanisme pembagian keuntungan dalam bagi hasil atas tanah (Percanton/
canton) yang dinilai merugikan salah satu pihak.
Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam terhadap Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh
Polisi Hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten
Lamongan” ini memfokuskan pembahasan pada penarikan persenan atas
8Mudhofar, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Tanah Perhutani” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 63.
9
tanah persilan yang dilakukan oleh polisi hutan atau yang lebih sering
dikenal dengan istilah mandor oleh penduduk setempat.
E. Tujuan Penelitian
Setelah mengetahui rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana penarikan persenan tanah persilan oleh
polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten
Lamongan.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penarikan persenan
tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring Kecamatan
Sambeng Kabupaten Lamongan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penulis berharap agar hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat
serta kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun praktis, diantaranya ialah:
a. Kegunaan secara teoritis
Dari segi keilmuan (teori) hasil penelitian ini diharapkan bisa
menambah khazanah keilmuan Islam, serta untuk menambah wawasan
dan pengetahuan tentang praktik bagi hasil yang diperbolehkan dalam
Islam pada umumnya, dan menambah wawasan tentang Muza>ra’ah pada
10
b. Kegunaan secara praktis
1. Untuk memberikan informasi kepada peneliti berikutnya dalam
membuat karya ilmiah yang lebih baik.
2. Sebagai bahan pertimbangan atau pedoman dalam bermuamalah
pada umumnya dan dalam jual beli pada khususnya.
G. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan arah dari
judul penelitian ini, maka perlu kiranya penulis menjelaskan beberapa unsur
istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, diantaranya:
Hukum Islam : Peraturan perundang-perundangan Islam
yang mencakup hukum shari’ah dan hukum
fikih.10 Dalam penelitian ini hukum Islam
yang dimaksud adalah seperangkat aturan
muzara>’ah yang berlandaskan al-Qur’an,
hadith, dan pendapat ulama (ijma’) yang
digunakan sebagai acuan hukum dalam
penarikan persenan atau bagi hasil petani dari
tanah persilan.
Persenan Tanah Persilan : Bagian yang harus dibayarkan oleh
pengguna tanah persilan (tanah milik
11
perhutani yang dikelola penduduk setempat)
kepada polisi hutan setiap kali panen.
Polisi Hutan : Sebuah jabatan fungsional pegawai sipil
dalam lingkungan pegawai instansi kehutanan
pusat maupun daerah.11 Dan dalam penelitian
ini polisi hutan lebih dikenal dengan sebutan
mandor bagi penduduk setempat.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni
penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya12 terhadap
penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa Tenggiring
Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka data yang akan dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan
mekanisme penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di Desa
Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.
2. Sumber data
Sumber data ialah sumber dari mana data akan digali, sumber
tersebut bisa berupa orang, dokumen, pustaka, barang, keadaan, atau
12
lainnya.13 Dilihat dari segi sumber pengambilannya, penelitian ini
menggunakan dua macam bentuk sumber data, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh
secara langsung dari objek penelitian.14 Dan dalam penelitian ini
peneliti sumber data primer yang dimaksud ialah Bapak Supirin,
Bapak Katimin, Ibu Suyatin selaku para petani pengguna tanah
persilan, Bapak Marji selaku polisi hutan atau mandor setempat,
serta Bapak Mustaqim selaku pihak yang bertugas menarik
persenan dari pengguna tanah persilan di Desa Tenggiring
Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder ialah sumber data yang diperoleh
peneliti dari sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan
atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.15
Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini ialah
sebagai berikut:
1. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah juz 5
2. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu
3. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah
4. Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah
13 Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2014), 9.
13
5. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah
6. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.16/ Menhut-II/ 2014 Tentang Pedoman Pinjam Kawasan
Hutan.
7. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengmpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data
yang ditetapkan.16
Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam menyelesaikan
peneletian ini penulis, menggunakan metode pengumpulan data antara
lain:
a. Metode Dokumentasi
Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui
dokumen.17 Jadi dalam penelitian ini penulis akan menulusuri
buku-buku yang relevan dengan permasalahan terhadap penarikan
16 Sugiono, Metodologi Peneltian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013), 224.
14
persenan tanah persilan oleh polisi hutan yang ada di Desa
Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.
b. Metode Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data esensial
dalam penelitan terlebih dalam penelitian kualitatif. Istilah
observasi sendiri diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.18 Jadi observasi
ialah penngamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap
fenomena yang diteliti.
Dalam hal ini penulis akan mengobservasi penarikan
persenan tanah persilan serta pelaksanaannya di Desa Tenggiring
Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.
c. Metode Wawancara (interview)
Metode wawancara dalam pengumpulan data ialah suatu
kegiatan tanya jawab dengan tatap muka (face to face) antara
pewawancara (interviewer) dengan yang diwawancarai
(interviewee) tentang masalah yang diteliti, dimana pewawancara
bermaksud meperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang
diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti.19
Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan wawancara
dengan sebagian petani di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng
15
Kabupaten Lamongan untuk mengetahui bagaimana praktik atau
mekanisme penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan
serta alasan-alasan mereka melakukannya.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul maka perlu adanya
pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing
Yakni pengolahan data dengan cara memeriksa kembali semua
data-data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data
tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian dan
keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta
relevansinya dengan permasalahan.20 Disini penulis akan
memeriksa kembali data tentang penarikan persenan tanah
persilan oleh polisi hutan di desa Tenggiring kecamatan
Sambeng kabupaten Lamongan.
b. Pengorganisasian (organizing)
Yakni pengolahan data dengan cara menyusun data sumber
dokumentasi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh
gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah, serta
mengelompokan data yang diperoleh. Disini penulis akan
mensistematika data tentang penarikan persenan tanah persilan
16
oleh polisi hutan di desa Tenggiring kecamatan Sambeng
kabupaten Lamongan.
c. Analisis (analyzing)
Yakni pengolahan data dengan cara memberikan analisis lanjutan
terhadap hasil editing dan organizing data yang telah diperoleh
dari sumber-sumber penelitian, dengan menggunakan teori dan
dalil-dalil lainnya, sehingga diperoleh kesimpulan.21 Disini
penulis akan menganalisa perumusan tentang penarikan persenan
tanah persilan oleh polisi hutan di desa Tenggiring kecamatan
Sambeng kabupaten Lamongan.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data ialah mengorganisasikan data yang terkumpul
yang meliputi catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto,
dokumen (laporan, biografi, artikel). Karena itu, analisis itu
mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan
mengorganisir data.22
Setelah pengumpulan data selesai, selanjutnya akan dibahas
dan dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
21 Ibid., 195.
17
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan metode yang
telah ditentukan.23
a. Analisis Deskriptif
Yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan
bukan angka-angka, serta semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah
diteliti.24
b. Pola Pikir Induktif
Yakni proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indra
(pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan
pengertian.25 Jadi, pola pikir induktif disini adalah penalaran
yang digunakan untuk mengemukakan kenyataan dari hasil
penelitian tentang penarikan persenan tanah persilan oleh polisi
hutan yang terjadi di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng
Kabupaten Lamongan.
I. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini disusun dengan sistematika perbab yang
masing-masing bab memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, serta
merupakan satu kesatuan yang utuh. Bab-bab tersebut merupakan
kebulatan penjelasan dari penelitian ini yang sistematikanya terbagi
23 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 143.
18
menjadi lima bab pembahasan untuk memudahkan pembahasan dan
pemahaman itu sendiri, yakni meliputi:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan, yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang kajian teori muza>ra’ah, yang menguraikan
tentang pengertian muza>ra’ah, landasan hukum muza>ra’ah, rukun dan
syarat muza>ra’ah, hukum muza>ra’ah, bentuk-bentuk muza>ra’ah,
berakhirnya akad muza>ra’ah, serta pedoman pinjam kawasan hutan.
Bab ketiga merupakan hasil penelitian tentang tinjauan hukum
Islam terhadap penarikan persenan tanah persilan oleh perhutani di Desa
Tenggiring Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Serta gambaran
umum desa, yang meliputi : Letak Geografis, Keadaan Sosial Ekonomi,
Keadaan Sosial Pendidikan, Keadaan Sosial Keagamaan. Dan pelaksanaan
penarikan persenan tanah persilan yang memuat : Latar belakang terjadinya
penarikan persenan tanah persilan, pengertian tanah persilan dan polisi
hutan, peralatan yang digunakan, mekanisme penarikannya, batas akhir
waktu bagi hasil tanah persilan, dan dampak yang ditimbulkan.
Bab keempat berisi analisis tentang tinjauan hukum Islam terhadap
penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan di desa Tenggiring
kecamatan Sambeng kabupaten Lamongan.
BAB II
MUZA>RA’AH
DALAM HUKUM ISLAM DAN PEDOMAN
PINJAM KAWASAN TANAH PERHUTANI
A. Muza>ra’ah dalam Hukum Islam
1. Pengertian Muza>ra’ah
Kata al-muza>ra’ah secara etimologi adalah bentuk mas}dar dari
asal kata al-zur’u yang artinya adalah al-inba>t (menanam,
menumbuhkan). Sedangkan secara terminologi al-muza>ra’ah adalah
sebuah akad pengolahan dan penanaman dengan upah sebagai hasilnya.26
Ulama Malikiyah mendefinisikan al-muza>ra’ah sebagai berikut:
ْ ِشلا
ْ رْ ك
ْ ةْ
ْ ف
ْ ُلاْ
ْ رْ ع
“Perserikatan dalam pertanian”.
Ulama Hanabilah mendefinisikan al-muza>ra’ah sebagai berikut:
ْ دْ ف
ْ عْ
ْ لا
ْ ر
ْ ض
ْْ ا
ْ ل
ْ َْ
ْ نْ
ْ يْ ُْ ر
ْ عْ ه
ْ أْا
ْ وْْ ي
ْ عْ م
ْ لْ
ْ عْ لْ ي
ْ ه
ْ وْا
ْ ُلاْ
رْ ع
ْْ بْ ي
ْ نْ ه
ْ ما
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan
hasilnya dibagi dua”.
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indnesia disebut dengan
paruhan sawah. Penduduk Irak menyebutnya dengan istilah
al-mukha>barah, tetapi dalam hal ini bibit disediakan oleh penggarap.
Seperti yang didefinisikan oleh Imam Syafi’i:
20
ْ عْ م
ْ لْ
ْ لا
ْ ر
ْ ض
ْْ بْ ب
ْ ع
ْ ض
ْْ َ
ْ يْا
ْ رْ ج
ْْ َ
ْ نْ ه
ْ وْا
ْ لاْ ب
ْ ذْ ر
ْْ َ
ْ نْ
ْ لاْ ع
ْ مْ ل
“Pengelolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian,
sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.27
Sedangkan Abd al-Rahman al-Jaziri mengemukakan definisi
muza>ra’ah menurut Ulama Hanafiyah yaitu:
ْ ض ر لاْ ن َْ ج رْا خاْ ض ع ب بْ ع ر ُلاْي ل عْ د ق ع
ْ
“Akad untuk bercocok tanam dngan sebagian yang keluar dari bumi”.28
Selain itu, menurut Ulama Hanafiyah akad muza>ra’ah pada
mulanya adalah berbentuk akad ija>rah, akan tetapi pada akhirya akad
muza>ra’ah berupa sha>rikah (kerjasama, patungan, joinan). Apabila
benihnya dari pihak penggarap maka yang menjadi objek muza>ra’ah
adalah manfaat lahan, dan jika benihnya dari pemilik lahan maka yang
menjadi objek akad muza>ra’ah adalah kemanfaatan (pekerjaan) si
penggarap.29
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan al-muza>ra’ah adalah akad pemanfaatan dan
penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan pihak yang
menggarap dengan hasil dibagi dua sesuai prosentase yang mereka
21
sepakati, sedangkan yang dimaksud al-mukha>barah ialah al-muza>ra’ah
yang benihnya berasal dari penggarap.30
2. Landasan Hukum Muza>ra’ah.
Muza>ra’ah atau zira>’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama
antara pekerja (buruh) dan pemilik tanah. Dalam banyah kasus, pihak
buruh memiliki keahlian mengelola tanah namun tidak memiliki tanah,
dan ada pemilik tanah namun tidak mempunyai keahlian dalam
mengelola tanah tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyari’atkan zira>’ah
sebagai upaya mempertemukan kepentingan dua belah pihak.31
Adapun dasar-dasar hukum Muza>ra’ah antara lain:
1. Al-Qur’an Surat al-Muzammil : 20.
... .
Artinya: ... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan
30 Ibid., 563.
22
kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.32
2. Al-Qur’an Surat az-Zuhruf : 32.
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ . ْ
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (az-Zuhruf : 32).33
3. Hadith yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar.
ْ لا قْ)ٍ ْ ُ لْ ظ ف للا و(ْ ٍب ر حْ ن بْ ر ي ز وْ ٍل ب ن حْ ن بْ د ْ أْا ن ث د ح
ْ و و(ْ َ َْا ن ث د حْ
ْ ه ي ل عْ هْى ل صْ هْ ل و س رْ ن أْ, ر م عْ ن باْ ن عٌْع ف انْ ن ر ب خ أْ هْ د ي ب عْ ن عْ) نا ط ق لا
.ٍع ر زْ و أٍْر َْ ن َْا ه ن َْ ج ر يا َْ ط ر ش بْ ر ب ي خْ ل اْ ل َا عْ م ل س و
34
Artinya: telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hambal dan Zuhair bin Harbi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepadaku Yahya dari Ubaidillah, telah
bercerita kepadaku Nafi’ ibnu umar, sesungguhnya
Rasulullah Saw telah mempekerjakan penduduk khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagaian dari pengahasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman. (HR. Muslim).
4. Ijma’ ulama.
Ijma’ merupakan produk kesepakatan ulama yang sudah menjadi
dalil dalam pelaksanaan hukum Islam.35 Abu Yusuf dan Muhammad
32 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Rilis Grafika, 2009), 575 33 Ibid., 491.
23
(sahabat Imam Abu Hanifah), Imam Malik, Ahmad, dan Abu
Dawud azh-Zhahiri berpendapat bahwa muza>ra’ah adalah boleh
hukumnya.36
5. Kaidah fiqih:
ْ ل ص ل ا
ْ ف
ْ ل َا ع م لا
ْ ت
ْ ة حا ب لا
ْ ل إ
ْ ن أ
ْ د ي
ْ ل
ٌْل ي ل د
ى ل ع
ا ه ْ ر َ
ْ
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.37
3. Rukun dan Syarat Muza>ra’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah
mengemukakan rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga
akad dianggap sah. Berikut rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam
akad muza>ra’ah:
a. Rukun muza>ra’ah
Rukun muza>ra’ah menurut Ulama Hanafiyah adalah ija>b dan
qabu>l, yaitu pemilik lahan berkata kepada penggarap “aku serahkan
lahan ini kepadamu sebagai al-muza>ra’ah dengan upah sekian” lalu
penggarap berkata “aku terima” atau “aku setuju”, atau dengan
perkataan lain yang menunjukkan ia menerima dan menyutujui
muza>ra’ah tersebut.38
35 Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 222. 36Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), 207.
24
Menurut Ulama Hanafiyah akad muza>ra’ah pada awalnya
adalah bentuk akad ija>rah, sedangkan pada akhirnya berbentuk
shirkah. Apabila benih dari pihak penggarap maka objek akadnya
berarti kemanfaatan lahan, apabila benihnya dari pemilik lahan
maka objek akadnya adalah kemanfaatan si penggarap.
Sementara itu, Ulama Hanabilah mengatakan bahwa akad
muza>ra’ah tidak perlu kepada qabu>l secara lisan, akan tetapi qabu>l
cukup dengan si penggarap memulai mengerjakan dan mengolah
lahan atau merawat dan menyirami tanaman.
Adapun elemen akad muza>ra’ah ada tiga, yaitu pemilik lahan,
penggarap, dan objek akad yang memiliki dua kemunkinan sebagai
kemanfaatan lahan atau kemanfaatan si penggarap.
Dari pemaparan di atas Jumhur Ulama membolehkan akad
muza>ra’ah dengan rukun yang harus dipenuhi antara lain:
1) Pemilik tanah.
2) Petani penggarap.
3) Objek muza>ra’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja
petani.
4) Ija>b dan qabu>l.39
25
b. Syarat-syarat muza>ra’ah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muza>ra’ah
meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak yang berakad,
syarat-syarat yang berkaitan dengan objek muza>ra’ah, dan
syarat-syarat yang berkaitan dengan ija>b dan qabu>l, antara lain seagai
berikut:
1) Syarat yang berkaitan dengan pihak pelaku akad
Syarat-syarat pihak yang melakukan akad adalah
sudah baligh dan berakal.40 Oleh karena itu, tidak sah akad
muza>ra’ah yang dilakukan oleh orang gila atau anak yang
belum ba>ligh.
Adapun ba>ligh menurut Ulama Hanafiyah bukan
termasuk syarat sah muza>ra’ah , maka anak belum ba>ligh
yang diberi ijin boleh melakukan akad muza>ra’ah sama
halnya dengan akad ija>rah, karena muza>ra’ah adalah sama
dengan mempekerjakan atau mengupah seseorang dengan
upah sebagian dari hasil panen. Sementara itu, Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan ba>ligh sebagai syarat
sahnya muza>ra’ah sama seperti akad-akad yang lain.41
40 Ibid., 116.
26
2) Syarat yang berkaitan dengan objek muza>ra’ah
Untuk objek akad Jumhur Ulama yang membolehkan
muza>ra’ah harus jelas baik berupa jasa petani atau berupa
kemanfaatan tanah.42
a) Syarat penanaman
Syarat penanaman dalam muza>ra’ah harus diketahui
secara pasti, dalam artian harus jelas apa benih yang akan
ditanam, karena kondisi sesuatu yang ditanam
berbeda-beda sesuai dengan penanaman yang dilakukan. Namun
hal yang sesuai dengan al-istih}san adalah bahwa
menjelaskan apa yang akan ditanam tidak menjadi syarat
di sini, jika yang disebutkan adalah akad muza>ra’ah maka
masalah apa yang akan ditanam dipasrahkan kepada pihak
penggarap.
b) Syarat lahan yang akan ditanami
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan tanah
pertanian atau lahan yang akan ditamani meliputi
syarat-syarat sebagai berikut:
- Menurut adat di kalangan petani tanah itu boleh
digarap dan menghasilkan, jika tanah itu tanah kering
dan tandus sehingga tidak memungkinkan dijadikan
27
lahan pertanian maka muza>ra’ah tersebut menjadi
tidak sah.
- Batas-batas tanah itu jelas.
- Tanah itu sepenuhnya diserahkan kepada petani
untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik
tanah iku mengolah tanah tersebut maka muza>ra’ah
menjadi tidak sah.43
c) Syarat yang berkaitan dengan ija>b dan qabu>l
- Syarat-syarat hasil tanaman
Syarat-syarat yang menyangkut hasil tanaman
(panen) sebagai berikut:
1. Pembagian hasil panen bagi masing-masing
pihak harus jelas.
2. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang
berakad tanpa boleh ada pengkhususan.
3. Pembagian hasil panen itu ditentukan, yakni
setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari
awal akad sehingga tidak timbul perselisihan
dikemudian hari, serta penentuannya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak
seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu
karung, karena jumlah keseluruhan hasil panen
28
berkemungkinan di atas jumlah tersebut atau di
bawahnya.44
- Syarat jangka waktu berlangsungnya muza>ra’ah.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus
dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad
muza>ra’ah mengandung makna al-ija>rah
(sewa-menyewa) dengan imbalan hasil panen. Oleh karena
itu, jangka waktu dalam muza>ra’ah harus jelas, serta
penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan
dengan adat setempat.
Secara garis besar akad muza>ra’ah sah menurut Muhammad dan
Abu Yusuf dengan delapan syarat, yaitu:
1. Kedua belah pihak memenuhi syarat-syarat kelayakan dan
kepatutan melakukan akad.
2. Masanya harus ditentukan jelas.
3. Tanahnya cocok dan layak untuk dijadikan lahan pertanian.
4. Lahannya dipasrahkan penuh kepada pihak penggarap.
5. Hasil panen statusnya harus mushtarak dan musha’ yang artinya
tidak boleh ada bagian tertentu dari hasil panen yang diperuntukkan
bagi salah satu pihak dan pembagiannya harus berbentuk sepertiga,
atau seperempat dan tidak boleh dengan akaran satu kwintal atau
lainnya.
29
6. Menjelaskan dari siapa benihnya serta memberitahukan objek akad
berupa kemanfaatan lahan atau kemanfaatan pekerja yang dilakukan
oleh pihak penggarap.
7. Menjelaskan bagian masing-masing dari kedua belah pihak.
8. Menjelaskan jenis benih yang akan ditanam supaya upahnya bisa
diketahui, akan tetapi prinsip istih}san menghendaki syarat
menjelaskan benih yang akan ditanam tidaklah menjadi syarat
muza>ra’ah.45
4. Muza>ra’ah Menurut Ulama
Dasar hukum yang digunakan oleh ulama dalam menetapkan
hukum muza>ra’ah atau mukhaba>rah adalah sebuah hadith yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar:
ْ د حْ لا قْ)ٍ ْ ُ لْ ظ ف للا و(ْ ٍب ر حْ ن بْ ر ي ز وْ ٍل ب ن حْ ن بْ د ْ أْا ن ث د ح
ْ و و(ْ َ َْا ن ث
ْ ه ي ل عْ هْى ل صْ هْ ل و س رْ ن أْ, ر م عْ ن باْ ن عٌْع ف انْ ن ر ب خ أْ هْ د ي ب عْ ن عْ) نا ط ق لا
.ٍع ر زْ و أٍْر َْ ن َْا ه ن َْ ج ر يا َْ ط ر ش بْ ر ب ي خْ ل اْ ل َا عْ م ل س و
46
Artinya: telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hambal dan Zuhair bin Harbi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepadaku Yahya dari Ubaidillah, telah
bercerita kepadaku Nafi’ ibnu umar, sesungguhnya
Rasulullah Saw telah mempekerjakan penduduk khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagaian dari pengahasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman. (HR. Muslim).
Muza>ra’ah diperbolehkan oleh sebagian besar sahabat, tabi’in,
dan para imam, namun tidak diperbolehkan oleh sebagian yang lain.
Dalil-dalil orang yang membolehkan muza>ra’ah adalah muamalah
45 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu..., 566
30
Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar yang mendapatkan setengah
dari hasil tanah Khaibar. Imam al-Bukha>ri meriwayatkan dari Abdullah
bin Umar r.a bahwa Rasulullah mempekerjakan orang-orang Khaibar di
tanah Khaibar dan mereka mendapat separuh dari tanaman atau
buah-buahan yang dihasilkannya.47
Diriwayatkan pula oleh Bukha>ri dari Ja>bir yang mengatakan
bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muza>ra’ah
dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, ¼:¾, ½:½, maka Rasulullah Saw
bersabda “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap.
Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya tahanlah
tanahnya”.48
Ulama Hanafiyah berpendapat muza>ra’ah itu sah apabila:
1. Setiap hal yang dibutuhkan dalam penggarapan lahan menjadi beban
si penggarap karena dalam muza>ra’ah secara otomatis mencakup
ketentuan tersebut.
2. Setiap hal yang menjadi kebutuhan taman seperti pupuk,
pemanenan, penebahan, adalah menjadi tanggung jawab kedua belah
pihak sesuai bagian yang akan didapatkan masing-masing dari hasil
tanaman.
3. Hasil tanaman yang didapatkan dibagi sesuai dengan kesepakatan
yang telah ditentukan.49
47 Ibid., 163.
31
Menurut Ulama Syafi’iyah hukum muza>ra’ah adalah tidak
diperbolehkan kecuali statusnya mengikuti al-musa>qah. Oleh karena itu,
jika seandainya terjadi muza>ra’ah atas suatu lahan secara tersendiri
(tidak mengikuti al-musa>qah) maka hasil tanamannya adalah untuk
pemilik lahan, karena hasil itu adalah perkembangan dan pertambahan
yang terjadi pada sesuatu miliknya, namun ia berkewajiban memberi
pihak penggarap upah untuk pekerjaan yang telah dilakukannya serta
binatang dan peralatan yang digunakan dalam penggarapan atau
pengolahan lahan tersebut.50
Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Imam Abu Hanifah), Imam
Malik, Ahmad, dan Abu Dawud azh-Zahiri berpendapat bahwa
muza>ra’ah diperbolehkan. Hal itu didasarkan pada hadith yang
diriwayatkan oleh Jama’ah dari Ibnu Umar bahwa Nabi Saw
bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang
dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan.
Selain itu, muza>ra’ah dapat dianggap sebagai perkongsian antara harta
dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja bisa saling
terpenuhi.51
5. Bentuk-bentuk Muza>ra’ah
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,
ada empat bentuk muza>ra’ah yang mana tiga bentuk muza>ra’ah itu sah
dan yang satu lainnya tidak sah, yaitu:
50 Ibid., 574.
32
1. Modal berupa tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja
dan alat dari petani, sehingga yang menjadi obyek muza>ra’ah adalah
jasa petani, maka hukum muza>ra’ah ini adalah sah.
2. Pemilik tanah hanya menyediakan lahan pertanian, sedangkan
petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi
obyek muza>ra’ah adalah manfaat tanah, maka akad muza>ra’ah ini
adalah sah.
3. Modal berupa lahan pertanian, alat, dan bibit semuanya dari pemilik
tanah dan kerja dari petani, maka akad muza>ra’ah ini adalah sah.
4. Tanah pertanian dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit serta
kerja dari petani, maka akad muza>ra’ah ini adalah tidak sah.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,
menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi
rusak, karena alat pertanian boleh mengikut pada tanah. Menurut
mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah,
karena tanah adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah,
sedangkan manfaat alat hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian
menurut mereka, harus mengikut kepada petani penggarap, bukan pada
pemilik tanah.52
33
6. Sifat Akad Muza>ra’ah dan Berakhirnya Muza>ra’ah
a) Sifat akad muza>ra’ah
Adapun sifat akad muza>ra’ah para ulama berbeda pendapat
mengenai hal itu. Menurut Ulama Hanafiyah sifat akad muza>ra’ah
adalah sama seperti akad-akad shirkah lainnya, yaitu statusnya
adalah ghoiru la>zim (tidak mengikat). Sementara itu, Ulama
Malikiyah mengatakan bahwa akad muza>ra’ah bersifat la>zim
(berlaku mengikat) jika benih telah ditaburkan atau ditanam,
pendapat yang mu’tamad menurut Ulama Malikiyah adalah
bentuk-bentuk kerjasama (shirkah) dalam harta statusnya adalah menjadi
la>zim jika telah melakukan ija>b dan qabu>l. Sedangkan menurut
Ulama Hanabilah, baik akad muza>ra’ah maupun akad musa>qah
keduanya adalah bersifat ghoiru la>zim (tidak mengikat), sehingga
salah satu pihak bisa membatalkan akad tersebut serta akad bisa
menjadi batal jika salah satu dari orang yang bekerja sama tersebut
meninggal dunia.53
b) Berakhirnya akad muza>ra’ah
Muza>ra’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya
akad atau maksud dari tujuan kedua belah pihak, seperti telah panen
atau semacamnya. Aakan tetapi, adapula akad muza>ra’ah yang
terkadang berakhir sebelum terwujudnya maksud dari akad dan
34
tujuan kerjasama tersebut54, beberapa hal yang menyebabkan
muza>ra’ah berakhir, antara lain ialah:
1) Habis masa muza>ra’ah.
2) Salah satu orang yang berakad muza>ra’ah meninggal dunia.
3) Adanya uzur. Menurut Ulama Hanafiyah diantara uzur yang
menyebabkan batalnya muza>ra’ah antara lain:
- Tanah garapan terpaksa dijual untuk membayar utang,
seperti pemilik lahan terbelit hutang sehingga lahan
pertanian tersebut harus dijual demi melunasi hutang
tersebut, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi
hutang tersebut, serta pembatalan ini harus dilaksanakan
melalui campur tangan hakim.
- Penggarap tidak dapat mengelolah tanah, misalnya
dikarenakan penggarap sakit yang menyebabkannya harus
melakukan suatu perjalanan ke luar kota sehingga tidak
mampu melaksanakan pekerjaannya, jihad di jalah Allah
Swt dan lain-lain.55
35
B. Pedoman Pinjam Tanah Kawasan Hutan
Sebelum membahas tentang bagaimana pedoman pinjam atau
perizinan penggunaan tanah kawasan hutan, seyogyanya perlu dipahami
terlebih dahulu mengenai pengertian dari hutan, kawasan hutan, serta
penggunaan kawasan hutan.
1. Pengertian Hutan, Kawasan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 16/ Menhut-II/ 2014 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pasal 1 menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.56
Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Jadi,
penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.57
56 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 16/
MENHUT-II/ 2014 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN, 4.
36
2. Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penggunaan Kawasan Hutan
Adapun ketentuan mengenai tata cara permohonan atau
perizinan penggunaan kawasan hutan ini diatur secara detail dalam
Bab II Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 16/
Menhut-II/ 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang
meliputi tata cara permohonannya, syarat, serta izin pinjam pakai
kawasan hutan sebagaimana yang dikutip langsung sebagai berikut:
Tata Cara Permohonan58
Pasal 14
(1) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diajukan oleh:
a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur;
c. bupati/walikota;
d. pimpinan badan usaha; atau e. ketua yayasan.
(2) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri.
Pasal 15
(1) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), harus dilengkapi persyaratan: a. administrasi; dan
b. teknis.
(2) Dokumen persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen asli atau salinan dokumen yang dilegalisasi oleh instansi penerbit atau notaris.
Pasal 16
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. surat permohonan;
b. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi) atau perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh pejabat sesuai kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki perizinan/perjanjian;
c. rekomendasi:
37
1. gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan Pemerintah; atau
2. bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau
3. bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya;
d. pernyataan dalam bentuk akta notariil yang menyatakan: 1. kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan
kesanggupan menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan;
2. semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan
3. tidak melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada izin dari Menteri;
e. dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau yayasan, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d ditambah persyaratan:
1. akta pendirian dan perubahannya; 2. profile badan usaha/yayasan; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
4. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
f. ketentuan sebagaimana huruf e dikecualikan untuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan permohonan untuk minyak dan gas bumi serta panas bumi.
(2) Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon, berdasarkan pertimbangan teknis Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan setempat.
(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat:
a. letak, luas dan batas areal yang dimohon sesuai fungsi kawasan hutan yang dilukiskan dalam peta;
b. kondisi kawasan hutan yang dimohon antara lain memuat informasi:
1. fungsi kawasan hutan; 2. tutupan vegetasi;
3. perizinan pemanfataan, penggunaan dan/atau pengelolaan; 4. kuota izin pinjam pakai di dalam areal izin pemanfaatan
38
5. areal izin pemanfaatan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung;
6. areal Sistem Silvikultur Intensif;
7. kawasan hutan produksi yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga; dan
8. kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku selama proses pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan. (5) Dalam hal permohonan dilakukan oleh Instansi Pemerintah,
pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d cukup dalam bentuk Surat Pernyataan yang ditandatangani Pemohon atau Pejabat yang ditunjuk oleh Pemohon.
Pasal 17
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b meliputi:
a. rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi skala 1:50.000 atau skala terbesar pada lokasi tersebut dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;
b. citra satelit terbaru paling lama liputan 2 (dua) tahun terakhir dengan resolusi minimal 15 (lima belas) meter dan hasil penafsiran citra satelit oleh pihak yang mempunyai kompetensi di bidang penafsiran citra satelit dalam bentuk digital dan hard copy serta pernyataan bahwa citra satelit dan hasil penafsirannya benar;
c. izin lingkungan dan dokumen AMDAL atau UKL-UPL yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, untuk kegiatan yang wajib menyusun AMDAL atau UKL-UPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari WPN dan pola pertambangan;
e. untuk perizinan kegiatan pertambangan komoditas mineral jenis batuan dengan luasan paling banyak 10 (sepuluh) hektar, pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada huruf d, diberikan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi pertambangan;
f. surat pernyataan Pimpinan Badan Usaha bermaterai memiliki tenaga teknis kehutanan untuk permohonan kegiatan pertambangan operasi produksi;
39
(2) Kelengkapan persyaratan teknis penyediaan citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikecualikan bagi permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan: a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata
rohani;
b. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;
c. jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;
d. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
e. fasilitas umum;
f. pertahanan dan keamanan, antara lain sarana dan prasarana latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai;
g. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika;
h. penampungan sementara korban bencana alam; i. survei atau eksplorasi; dan
j. pertambangan yang luasnya dibawah 5 (lima) hektar; Pasal 18
Kelengkapan persyaratan administrasi dan teknis permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 hanya berupa surat permohonan dan rencana kerja penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan:
a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;
b. pertahanan dan keamanan, antara lain pusat latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai;
c. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat, sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; atau
BAB III
PELAKSANAAN PENARIKAN PERSENAN
TANAH PERSILAN
OLEH POLISI HUTAN DI DESA TENGGIRING KECAMATAN
SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis adalah di Desa Tenggiring Kecamatan
Sambeng Kabupaten Lamongan. Dalam hal ini akan dibahas mengenai
beberapa hal antara lain ialah batas wilayah antara Desa Tenggiring dan desa
lainnya, luas wilayah Desa Tenggiring, keadaan penduduk Desa Tenggiring,
keadaan sosial agama warga Desa Tenggiring, keadaan sosial pendidikan
warga Desa Tenggiring, keadaan sosial ekonomi warga Desa Tenggiring.
1. Batas wilayah Desa Tenggiring
Sebagai lembaga pemerintahan yang terkecil dalam struktur
pemerintahan, Desa Tenggiring adalah sebuah desa kecil yang terletak
di tengah-tengah dari beberapa desa lainnya, antara lain yaitu:
Sebelah utara : Desa Ardirejo
Sebelah selatan : Desa Wateswinangun
Sebelah timur : Desa Kedungwangi
Sebelah barat : Desa Semampirejo.
Meskipun memiliki letak yang bersebelahan, desa-desa tersebut
41
Kabupaten Lamongan.59
2. Keadaan sosial agama
Dari keseluruhan penduduk yang ada di Desa Tenggiring,
semuanya menganut agama Islam, hal ini didukung dengan adanya 1
masjid dan 8 mushola/langgar untuk tempat beribadah atau menunjang
kegiatan agama penduduknya.
Selain itu, masyarakat Tenggiring juga memiliki kegiatan
keagamaan antara lain jama’ah tahlil perempuan dari golongan orang tua
atau nenek-nenek yang biasa disebut dengan jam’iyah muslimat dan
jama’ah tahlil laki-laki dari golongan bapak-bapak dan kakek-kakek,
jam’iyah yasin (fatayat) dari golongan ibu-ibu, IPNU-IPPNU yang
beranggotakan kawula muda-mudi Desa Tenggiring, dan beberapa
kegiatan lainnya seperti dhiba’an yang diadakan di mushola
masing-masing dusun secara bergiliran.
3. Keadaan sosial pendidikan
Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencerdaskan bangsa,
pemerintah senantiasa memperhatikan lembaga pendidikan, bahkan
sampai pendidikan yang ada di pelosok desa sehingga masyarakat
mempunyai kesempatan untuk belajar baik melalui pendidikan formal
maupun pendidikan non formal.
Begitu juga yang ada di Desa Tenggiring Kecamatan Sambeng
Kabupaten Lamongan, masyarakat disini begitu memperhatikan
42
pendidikan bagi anak-anak mereka, terlebih dalam pendidikan ilmu
agama, hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak didik yang sudah lulus
Sekolah Dasar atau setingkat langsung disaftarkan ke Pondok Pesantren
oleh orang tua mereka, baik itu Pondok Pesantren yang murni salaf
ataupun Pondok Pesantren yang telah membuka pendidikan formal.
Adapun sarana pendidikan yang ada di Desa Tenggiring Kecamatan
Sambeng Kabpaten Lamongan terdiri dari 2 PAUD, 2 TK, 2 MI, 2 SD,
dan 1 TPQ.
4. Keadaan sosial ekonomi
Perekonomian masyarakat Desa Tenggirng sebagian besar adalah
ditunjang dari hasil pertanian, karena Desa Tenggiring sendiri tergolong
sebagai daerah yang dikelilingi oleh area persawahan di sekitar desanya.
Bagi mereka yang memiliki atau yang tidak memiliki sawah tetap
bekerja sebagai petani dan buruh tani. Bagi mereka yang memiliki
pekerjaan lain tetap saja pekerjaan yang kebanyakan dilakukan warga
Desa Tenggiring adalah sebagai petani, oleh karena itu meskipun
mereka memiliki pekerjaan sampingan tetap saja mereka tidak
meninggalkan pekerjaannya sebagai petani. Hasil pertanian yang mereka
tanam antara lain seperti padi, jagung, kacang tanah, dan juga tembakau.
Mengenai pendapatan untuk setiap perkapita dari sektor
pertanian untuk setiap rumah tangga pertanian adalah sekitar Rp 50.000.
pendapatan tersebut tidak selalu sama karena dilihat dari pekerjaan,
43
upah buruh tani perempuan berkisar antara 20.000-25.000 untuk setiap
orang dan waktu pekerjaannya adalah muali pagi sampai siang. Jika
untuk buruh tani laki-laki disesuaikan dengan waktu dan apa yang
dikerjakan, misalnya untuk buruh tani laki-laki yang bekerja untuk
mencangkul atau pekerjaan yang sejenisnya itu upahnya berkisar sekitar
60.000 dan waktunya adalah pagi sampai siang dan dilanjutkan lagi
setelah istirahat siang sampai sore sekitar pukul 15.30-16.00, atau upah
tersebut biasanya tergantung dari pemberi upah dan disesuaikan upah
pada umumnya yang dianut oleh warga desa tenggiring.60
Selain itu, ada juga pekerjaan atau profesi lain yang dijadikan
tumpuan hidup bagi masyarakat Tenggiring meskipun hanya sebagian
kecil saja dari mereka yang melakukannya, antara lain seperti tukang
kayu, peternak, guru, PNS, penjahit, dan lai-lain. Meskipun demikian,
dari semuanya tetap lebih mengandalkan dari hasil pertanian mereka,
keterangan lebih lanjut mengenai pekerjaan-pekerjaan dan pendapatan
[image:47.595.134.519.206.716.2]tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:61
Tabel 4.1
Pekerjaan/ Profesi Penduduk Desa Tenggiring
Pekerjaan/ Profesi Jumlah
Petani 237 orang
Buruh tani 964 orang
Pemilik usaha pertanian 5 orang
Tukang kayu 5 orang
60 Asir, Wawancara, 16 Mei 2015.
44
Tukang batu 8 orang
Tukang sumur 5 orang
Penjahit 4 orang
Guru swasta 17 orang
PNS 8 orang
Guru swasta 17 orang
Pedagang keliling 57 orang
Buruh migrant 48 orang
Karyawan perusahaan swasta 14 orang
B. Pelaksanaan Penarikan Persenan Tanah Persilan oleh Polisi Hutan di Desa
Tenggiring
Praktik penarikan persenan tanah persilan oleh polisi hutan disini
adalah proses bagaimana