• Tidak ada hasil yang ditemukan

00_PERDA IRIGASI (5)BAG. HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "00_PERDA IRIGASI (5)BAG. HUKUM"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 2 TAHUN 2008

TENTANG IRIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani agar pengelolaan lahan pertanian lebih berdaya guna dan berhasil guna perlu peningkatan pengelolaan jaringan irigasi di Kabupaten Jember ;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Jember tentang Irigasi ;

Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan

Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1950) ;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) ;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) ;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1347) ;

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 97 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) ;

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) ; 7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) ; 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377) ;

9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) ;

(2)

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) ; 12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999

tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4095);

14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4106);

15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161) ; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006

tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ;

20. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air ;

21. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah ; 22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang

Jenis dan Bentuk Produk Hukum;

23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ;

24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah ;

25. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi ;

26. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi ;

27. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi ;

28. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A ;

29. Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 5 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Jember Tahun 2005 – 2010 ( Lembaran daerah Kabupaten Jember Tahun 2005 Nomor 5 ) ;

(3)

31. Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 14 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Kabupaten Jember.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBER Dan

BUPATI JEMBER

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG IRIGASI.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

2. Bupati adalah Bupati Jember.

3. Kabupaten adalah Kabupaten Jember.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Sekretaris adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Jember.

6. Dinas Pengairan yang selanjutnya disebut Dinas adalah Dinas Pengairan Kabupaten Jember.

7. Kepala Dinas Pengairan yang selanjutnya disebut Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Jember.

8. Lembaga Pengelola Irigasi adalah Instansi Pemerintah Daerah atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan langsung dengan Pengelolaan irigasi.

9. Masyarakat petani adalah kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian, baik yang telah tergabung dalam organisasi perkumpulan Petani pemakai air maupun petani lainnya yang belum tergabung dalam organisasi perkumpulan petani pemakai air.

10. Petani pemakai air adalah semua petani yang mendapat manfaat secara langsung dari pengelolaan air dan jaringan irigasi, termasuk irigasi pompa yang meliputi pemilik sawah, penggarap sawah, penyakap sawah, pemilik kolam ikan yang mendapat air irigasi, dan badan usaha di bidang pertanian yang memanfaatkan air irigasi.

11. Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut HIPPA, adalah kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan irigasi/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air.

12. Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air, yang selanjutnya disebut GHIPPA adalah wadah kelembagaan dari sejumlah HIPPA yang bersepakat bekerjasama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.

(4)

14. Komisi Irigasi Kabupaten adalah Lembaga Koordinasi dan Komunikasi antara Pemerintah Kabupaten, HIPPA/GHIPPA/IHIPPA tingkat daerah irigasi, dan Pengguna Jaringan Irigasi untuk keperluan lainnya pada Kabupaten yang bersangkutan.

15. Forum Koordinasi Daerah Irigasi adalah sarana konsultasi dan komunikasi antara HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, petugas pemerintah kabupaten, dan Pengguna jaringan irigasi untuk keperluan lainnya dalam rangka pengelolaan irigasi yang jaringan berfungsi multiguna pada satu daerah irigasi.

16. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat.

17. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas ataupun dibawah permukaan tanah.

18. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi ; irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak.

19. Sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumber daya manusia.

20. Penyediaan air irigasi adalah penentuan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air untuk suatu daerah irigasi yang didasarkan waktu, jumlah, dan mutu sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya.

21. Pengaturan air irigasi adalah kegiatan yang meliputi pembagian, pemberian dan penggunaan air irigasi.

22. Pembagian air irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder.

23. Pemberian air irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier.

24. Penggunaan air irigasi adalah Kegiatan memanfaatkan air dari Petak tersier untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan.

25. Pembuangan air irigasi, yang selanjutnya disebut drainase adalah pengaliran kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu.

26. Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

27. Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi.

28. Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.

29. Jaringan Irigasi Sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.

(5)

31. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah berlangsung.

32. Jaringan irigasi air tanah adalah jaringan irigasi yang airnya berasal dari air tanah, mulai dari sumur dan intalasi pompa sampai dengan saluran irigasi air tanah termasuk bangunan di dalamnya.

33. Saluran irigasi air tanah adalah bagian dari jaringan irigasi air tanah yang dimulai setelah bangunan pompa sampai lahan yang diairi.

34. Jaringan irigasi desa adalah jaringan irigasi yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat desa atau Pemerintah Desa.

35. Hak guna air untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air dari sumber air untuk kepentingan pertanian.

36. Hak guna pakai air untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai air dari sumber air untuk kepentingan pertanian.

37. Hak guna usaha air untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air dari sumber air untuk kepentingan pengusahaan pertanian.

38. Pengembangan jaringan irigasi adalah pembangunan jaringan irigasi baru dan/atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada.

39. Pembangunan Jaringan irigasi adalah seluruh kegiatan penyediaan jaringan irigasi di wilayah tertentu yang belum ada jaringan irigasinya.

40. Peningkatan jaringan irigasi adalah kegiatan meningkatkan fungsi dan kondisi jaringan irigasi yang sudah ada atau kegiatan menambah luas areal pelayanan pada jaringan irigasi yang sudah ada dengan mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah irigasi.

41. Pengelolaan jaringan irigasi adalah kegiatan yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.

42. Operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.

43. Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya.

44. Rehabilitasi jaringan irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula.

45. Pengamanan jaringan irigasi adalah upaya menjaga kondisi dan fungsi jaringan irigasi serta mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan terhadap jaringan dan fasilitas jaringan, baik yang diakibatkan oleh ulah manusia, hewan, maupun proses alami.

46. Inventarisasi jaringan irigasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data jumlah, dimensi, jenis, kondisi, dan fungsi seluruh aset irigasi serta data ketersediaan air, nilai aset jaringan irigasi, dan areal pelayanan pada setiap daerah irigasi.

(6)

48. Penelusuran jaringan adalah kegiatan pemeriksaan bersama dengan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dari hulu sampai ke hilir untuk mengamati kondisi dan fungsi jaringan irigasi dengan periode tertentu pada saat pengeringan dan awal musim hujan atau sesuai dengan kebutuhan.

49. Pengelolaan aset irigasi adalah proses manajemen yang terstruktur untuk perencanaan pemeliharaan dan pendanaan sistem irigasi guna mencapai tingkat pelayanran yang ditetapkan dan berkelanjutan bagi pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi dengan pembiayaan pengelolaan aset irigasi seefisien mungkin.

50. Kemandirian adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berdasarkan potensi yang dimiiiki tanpa ketergantungan kepada pihak lain.

51. Pemahaman partisipatif kondisi perdesaan adalah salah satu metode untuk memudahkan masyarakat/petani agar dapat menggali kebutuhan, permasalahan, dan dapat mengatasi permasalahan sesuai dengan potensi yang tersedia.

52. Profil sosioekonomi, teknik, dan kelembagaan yang selanjutnya disebut PSETK adalah analisis dan gambaran keadaan sosial-ekonomi, teknis, dan kelembagaan yang terdapat pada satu atau sebagian daerah irigasi dalam kurun waktu tertentu.

53. Kelompok pemandu lapangan yang selanjutnya disebut KPL adalah tenaga dari Pemerintah atau pemerintah daerah yang bertugas di lapangan yang terdiri atas unsur pertanian, unsur pengairan, kecamatan dan unsur desa yang mempunyai tugas pokok memfasilitasi program pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air.

54. Tenaga pendamping petani yang selanjutnya disebut TPP adalah tenaga untuk mendampingi petani dan pengurus P3A/GP3A/IP3A yang mempunyai tugas pokok mendorong pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air.

55. Pertanian rakyat adalah budidaya pertanian yang meliputi berbagai komoditi yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kebutuhannya tidak lebih dari 2 liter per detik perkepala keluarga.

56. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah APBD Kabupaten Jember.

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 2

(1) Irigasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan

kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani.

(2) Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi dengan dilakukan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif.

(7)

BAB III

PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF

Pasal 3

(1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif bertujuan mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian (2) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif

diselenggarakan secara terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan yang dilaksanakan di seluruh daerah irigasi.

Pasal 4

(1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan mengutamakan kepentingan dan peran serta masyarakat petani.

(2) Peran serta masyarakat petani dilakukan melalui

HIPPA/GHIPPA/IHIPPA sesuai dengan kemampuannya dan ditingkatkan secara bertahap.

(3) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh badan usaha, badan sosial atau perseorangan diselenggarakan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya dan mendorong peran serta masyarakat petani.

(4) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif dilakukan dengan pemberdayaan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dan Instansi/ dinas terkait di bidang irigasi secara berkesinambungan dan berkelanjutan yang meliputi aspek kelembagaan, teknis dan pembiayaan.

(5) Tata cara pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif diatur lebih lanjut dengan peraturan Bupati.

Pasal 5

(1) Untuk mewujudkan pengembangan dan atau pengelolaan sistem irigasi partisipatif yang efisien dan efektif serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada petani, pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif dilaksanakan dengan pendayagunaan sumberdaya air yang didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan dan air tanah secara terpadu dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.

(2) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan dengan memperhatikan kepentingan pengguna di bagian hulu, tengah dan hilir secara selaras.

(3) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan agar dapat dicapai kemanfaatan sistem irigasi secara optimal.

Pasal 6

(1) Untuk mendukung efisiensi dan keandalan air irigasi dilaksanakan dengan :

a. membangun waduk dan atau waduk lapangan, bendung, bendungan dan pompa;

b. mengendalikan kualitas dan kuantitas air; c. mengupayakan jaringan drainase yang layak;

(8)

(2) Untuk menjamin keandalan prasarana irigasi, dilakukan kegiatan peningkatan dan pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.

(3) Untuk meningkatkan pendapatan petani dari usaha tani yang dilakukan melalui kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif yang terpadu dengan kegiatan diversifikasi dan modernisasi usaha tani yang didukung oleh pola usahatani berkelanjutan.

(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, pedoman dan manual yang berlaku.

BAB IV

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI Pasal 7

(1) Untuk mewujudkan tertib pengelolaan jaringan irigasi diupayakan keterpaduan dan keserasian hubungan dan tindakan di antara lembaga pengelola irigasi.

(2) Lembaga Pengelola Irigasi meliputi instansi pemerintah kabupaten, HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, komisi irigasi kabupaten dengan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif.

(3) Dalam sistem irigasi yang multiguna, dapat diselenggarakan Forum Koordinasi Daerah Irigasi.

Pasal 8

(1) HIPPA wajib dibentuk oleh dan untuk petani pemakai air secara demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa.

(2) HIPPA dapat membentuk GHIPPA pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.

(3) GHIPPA dapat membentuk IHIPPA pada daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer atau satu daerah irigasi.

Pasal 9

(1) Untuk mewujudkan keterpaduan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, bupati membentuk komisi irigasi kabupaten.

(2) Keanggotaan komisi irigasi kabupaten terdiri dari instansi terkait dibidang irigasi sebagai wakil pemerintah kabupaten dan wakil non pemerintah yang meliputi wakil HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dan/atau wakil kelompok pengguna jaringan irigasi dengan prinsip keanggotaan proporsional dan keterwakilan.

(3) Komisi irigasi kabupaten membantu bupati dengan tugas:

a. merumuskan kebijakan untuk mempertahankan dan

meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi;

b. merumuskan pola dan rencana tata tanam pada daerah irigasi dalam kabupaten;

c. merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi;

d. merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan lainnya;

e. merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi; dan

(9)

(4) Susunan organisasi, tata kerja, dan keanggotaan komisi irigasi kabupaten ditetapkan dengan keputusan bupati.

BAB V

WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 10

(1) Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif meliputi :

a. menetapkan kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat petani;

b. melaksanakan pengembangan sistem irigasi primer dan

sekunder pada satu daerah irigasi dalam kabupaten;

c. melaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya kurang atau sama dengan 1.000 ha ;

d. memberi rekomendasi teknis kepada instansi terkait atas penggunaan dan pengusahaan air tanah untuk irigasi yang diambil dari cekungan air tanah dalam satu kabupaten untuk irigasi ;

e. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar daerah irigasi dalam satu kabupaten dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif;

f. menjaga efektivitas, efisiensi dan ketertiban pelaksanaan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi;

g. menjaga efektifitas, efisiensi dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sistem irigasi pada daerah irigasi yang luasnya sampai dengan 1.000 ha ;

h. memberikan bantuan teknis dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif kepada HIPPA/GHIPPA/IHIPPA;

i. memberikan bantuan teknis kepada masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif yang menjadi tanggung jawab masyarakat petani atas permintaan berdasarkan prinsip kemandirian;

j. membentuk Komisi Irigasi Kabupaten;

k. melaksanakan pemberdayaan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA ; dan

l. memberikan ijin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer/sekunder dalam daerah irigasi dalam Kabupaten.

(2) Wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa meliputi:

a. melaksanakan peningkatan dan pengelolaan sistem irigasi yang dibangun oleh pemerintah desa;

b. menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan peningkatan sistem irigasi pada daerah irigasi yang dibangun oleh pemerintah desa; dan

(10)

(3) Hak dan tanggung jawab HIPPA dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi meliputi:

a. melaksanakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier;

b. menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier yang menjadi tanggung jawabnya; dan

c. memberikan persetujuan pembangunan, pemanfaatan,

pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi tersier berdasarkan pendekatan partisipatif.

Pasal 11

Pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah dapat bekerja sama dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder atas dasar kesepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VI

PRINSIP PARTISIPASI MASYARAKAT PETANI

DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI Pasal 12

(1) Partisipasi masyarakat petani dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. sukarela dengan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat;

b. kebutuhan, kemampuan, dan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat petani di daerah irigasi yang bersangkutan; dan

c. bukan bertujuan untuk mencari keuntungan.

(2) Partisipasi masyarakat petani, dilaksanakan untuk meningkatkan rasa memiliki, rasa tanggung-jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat petani dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan sistem irigasi.

(3) Partisipasi masyarakat petani dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder berupa pemikiran awal, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi.

(4) Partisipasi masyarakat petani, dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran, gagasan, waktu, tenaga, material, dan dana.

(5) Partisipasi masyarakat petani dilakukan secara perseorangan atau melalui HIPPA/GHIPPA/IHIPPA yang didasarkan atas kemauan dan kemampuan masyarakat petani serta semangat kemitraan dan kemandirian.

Pasal 13

(11)

BAB VII PEMBERDAYAAN

Pasal 14

(1) Pemerintah kabupaten melakukan pemberdayaan

HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dengan menetapkan strategi dan program pemberdayaan berdasarkan kebijakan kabupaten dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dengan kegiatan :

a. Memberi bantuan teknis kepada HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dalam melaksanakan pemberdayaan.

b. melakukan penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat petani;

c. mendorong masyarakat petani untuk menerapkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan, sumber daya, dan kearifan lokal;

(2) Pemberdayaan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dilakukan secara

berkelanjutan sesuai dengan tingkat perkembangan dinamika masyarakat dan mengacu pada proses pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara terkoordinasi oleh instansi terkait di kabupaten.

(3) Pemberdayaan diarahkan untuk memandirikan organisasi sehingga dapat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi.

(4) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui penguatan yang meliputi:

a. pembentukan organisasi sampai berstatus badan hukum, hak dan kewajiban anggota, manajemen organisasi, pengakuan keberadaannya, dan tanggung jawab pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya;

b. kemampuan teknis pengelolaan irigasi dan teknis usaha tani; dan

c. kemampuan pengelolaan keuangan dalam upaya mengurangi ketergantungan dari pihak lain.

(5) Sasaran pemberdayaan diarahkan pada terbentuknya

HIPPA/GHIPPA/IHIPPA yang mandiri dalam aspek kelembagaan, teknis, dan pembiayaan agar mampu berpartisipasi dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di wilayah kerjanya.

BAB VIII

PENGELOLAAN AIR IRIGASI Bagian Kesatu

Pengakuan atas Hak Adat Pasal 15

Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumberdaya air mengakui hak hukum adat dan hak yang serupa berkaitan penggunaan air dan sumber air untuk irigasi sebatas kebutuhan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Hak Guna Air untuk Irigasi

Pasal 16

(12)

(2) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat.

(3) Hak guna usaha untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan di bidang pertanian.

Pasal 17

(1) Pengembang yang akan melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru, atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada, wajib mengajukan permohonan ijin prinsip alokasi air kepada bupati.

(2) Bupati dapat menyetujui atau menolak permohonan ijin alokasi air kepada pengembang berdasarkan hasil kajian dengan memperhatikan ketersediaan air, kebutuhan air irigasi, aspek lingkungan, dan kepentingan lainnya.

(3) Dalam rangka keberlanjutan irigasi/ijin alokasi air untuk pengembangan irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten yang mempunyai luasan sampai 1.000 ha harus mendapatkan rekomendasi Bupati.

(4) Dalam hal permohonan ijin alokasi air disetujui, pengembang dapat melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada.

(5) Ijin alokasi air ditetapkan menjadi hak guna air untuk irigasi oleh bupati sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan ketersediaan air, kebutuhan air irigasi, aspek lingkungan, dan kepentingan lainnya berdasarkan permintaan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, badan usaha, badan sosial, atau perseorangan, untuk jaringan irigasi yang telah selesai dibangun.

(6) Ketentuan mengenai ijin alokasi air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hak guna air untuk irigasi akan diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 18

(1) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan tanpa ijin kepada masyarakat petani melalui HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dan bagi pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi yang sudah ada.

(2) Hak guna pakai air untuk irigasi bagi pertanian rakyat pada sistem irigasi baru dan sistem irigasi yang ditingkatkan diberikan ijin kepada masyarakat petani melalui HIPPA/GHIPPA/IHIPPA berdasarkan permohonan ijin pemakai air irigasi.

(3) Hak guna pakai air untuk irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diperoleh HIPPA/GHIPPA/IHIPPA pada pintu pengambilan di bangunan utama dan diwujudkan dalam bentuk Keputusan Bupati dilengkapi jumlah air yang dapat disediakan dan rincian daftar petak sawah yang mendapatkan air dari saluran primer, sekunder dan tersier.

(4) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan pada suatu sistem irigasi sesuai dengan luas daerah irigasi yang dimanfaatkan.

(5) Hak guna pakai air untuk irigasi dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh bupati sesuai kewenangannya atau pejabat yang ditunjuk untuk mengkaji ulang kesesuaian antara hak guna pakai air untuk irigasi dengan penggunaan air dan ketersediaan air pada sumbernya.

Pasal 19

(1) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan kepada badan usaha/badan sosial atau perseorangan berdasarkan ijin bupati berdasarkan permohonan atas pengusahaan air untuk air irigasi.

(13)

(3) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk daerah pelayanan tertentu pada pintu pengambilan pada bangunan utama.

(4) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk daerah pelayanan tertentu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.

(5) Hak guna usaha air untuk irigasi dievaluasi setiap 5 (lima) tahun sekali yang ditetapkan oleh bupati sesuai dengan kewenangannya atau pejabat yang ditunjuk untuk mengkaji ulang kesesuaian antara hak guna usaha air untuk irigasi dengan penggunaan air dan ketersediaan air pada sumbernya.

(6) Hasil evaluasi dipergunakan sebagai dasar untuk

keberlanjutan/penyesuaian atau pencabutan hak guna usaha air untuk irigasi.

Pasal 20

Hak guna pakai air atau hak guna usaha air untuk irigasi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan yang dijadikan dasar penetapan hak guna air untuk irigasi mengalami perubahan yang mendasar.

Pasal 21

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian ijin untuk memperoleh hak guna air untuk irigasi diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati.

Bagian Ketiga Penyediaan air irigasi

Pasal 22

(1) Penyediaan air irigasi ditujukan untuk mendukung produktivitas lahan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian yang maksimal.

(2) Dalam hal tertentu, penyediaan air irigasi dapat diberikan dalam batas tertentu untuk pemenuhan kebutuhan lainnya.

Pasal 23

(1) Penyediaan air irigasi direncanakan berdasarkan pada prakiraan ketersediaan air pada sumbernya dan digunakan sebagai dasar penyusunan rencana tata tanam.

(2) Dalam penyediaan air irigasi, pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya mengupayakan:

a.Optimalisasi pemanfaatan air irigasi pada daerah irigasi atau antar daerah irigasi.

b.Keandalan ketersediaan air irigasi serta pengendalian dan perbaikan mutu air irigasi dalam rangka penyediaan air irigasi.

(3) Penyusunan rencana tata tanam dilaksanakan oleh dinas kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan HIPPA yang dikoordinasi oleh GHIPPA/IHIPPA.

(4) Rencana tata tanam di seluruh daerah irigasi yang terletak dalam suatu kabupaten, dibahas dan disepakati dalam komisi irigasi kabupaten serta ditetapkan oleh bupati.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan air irigasi untuk penyusunan rencana tata tanam diatur dengan peraturan Bupati.

Pasal 24

(14)

(2) Rencana tata tanam di seluruh daerah irigasi disusun oleh dinas kabupaten dibahas dan disepakati dalam komisi irigasi kabupaten serta ditetapkan oleh bupati.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan air irigasi untuk penyusunan rencana tata tanam diatur dengan peraturan bupati.

Pasal 25

(1) Penyediaan air irigasi disusun dalam rencana tahunan penyediaan air irigasi pada setiap daerah irigasi.

(2) Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi disusun oleh dinas kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA yang didasarkan pada rancangan rencana tata tanam dan dibahas serta disepakati dalam komisi irigasi kabupaten sesuai dengan daerah irigasinya.

(3) Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh komisi irigasi kabupaten dalam rapat dewan sumber daya air yang bersangkutan guna mendapatkan alokasi air untuk irigasi.

(4) Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi ditetapkan oleh bupati sesuai dengan kewenangannya.

(5) Dalam hal ketersediaan air dari sumber air tidak mencukupi sehingga menyebabkan perubahan rencana penyediaan air yang mengakibatkan perubahan alokasi air untuk irigasi, HIPPA/GHIPPA/IHIPPA menyesuaikan kembali rancangan rencana tata tanam di daerah irigasi yang bersangkutan.

Pasal 26

(1) Dewan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) merupakan suatu wadah koordinasi yang mempunyai tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air untuk kepentingan irigasi dan non-irigasi.

(2) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.

(3) Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan bupati.

Pasal 27

Dalam hal terjadi kekeringan pada sumber air yang mengakibatkan terjadinya kekurangan air irigasi sehingga diperlukan substitusi air irigasi, pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya dapat mengupayakan tambahan pasokan air irigasi dari sumber air lainnya atau melakukan penyesuaian penyediaan dan pengaturan air irigasi setelah memperhatikan masukan dari komisi irigasi kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat Pengaturan air irigasi

Pasal 28

(15)

(2) Rancangan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi disusun oleh dinas kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan rencana tahunan penyediaan air irigasi dan usulan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA mengenai kebutuhan air dan rencana tata tanam.

(3) Rancangan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi dibahas dan disepakati oleh komisi irigasi kabupaten sesuai dengan daerah irigasinya dengan memperhatikan kebutuhan air untuk irigasi yang disepakati GHIPPA/IHIPPA di setiap daerah irigasi.

(4) Rancangan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi, yang telah disepakati oleh komisi irigasi ditetapkan oleh bupati sesuai dengan kewenangan dan/atau wewenang yang ditugaskan kepada pemerintah kabupaten.

Pasal 29

(1) Pembagian dan pemberian air irigasi berdasarkan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi, dimulai dari petak primer, sekunder sampai dengan tersier dilakukan oleh pelaksana pengelolaan irigasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

(2) Pembagian air irigasi dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder dilakukan melalui bangunan bagi atau bangunan bagi-sadap. (3) Pemberian air irigasi ke petak tersier harus dilakukan melalui

bangunan sadap atau bangunan bagi-sadap.

(4) Dalam hal penyediaan air irigasi tidak mencukupi, pengaturan air irigasi dilakukan secara bergilir yang ditetapkan oleh bupati sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 30

(1) Penggunaan air irigasi di tingkat tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.

(2) Penggunaan air irigasi dilakukan dari saluran tersier atau saluran kuarter pada tempat pengambilan yang telah ditetapkan oleh HIPPA.

Bagian Kelima Drainase Pasal 31

(1) Setiap pembangunan jaringan dilengkapi dengan pembangunan

jaringan drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan.

(2) Jaringan drainase berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air agar tidak mengganggu produktivitas lahan.

(3) Kelebihan air irigasi yang dialirkan melalui jaringan drainase harus dijaga kualitasnya dengan upaya pencegahan pencemaran agar memenuhi persayaratan kualitas berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Pemerintah Kabupaten, HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, dan masyarakat

berkewajiban menjaga kelangsungan fungsi drainase.

Bagian Keenam

Penggunaan Air Untuk Irigasi Langsung dari Sumber Air

Pasal 32

(1) Penggunaan air untuk irigasi yang diambil langsung dari sumber air permukaan harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan kewenangannya.

(16)

BAB IX

PENGEMBANGAN JARINGAN IRIGASI

Bagian Kesatu

Pembangunan Jaringan Irigasi Pasal 33

(1) Pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumberdaya air di wilayah sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian sesuai dengan norma, standar, pedoman dan manual.

(2) Pembangunan jaringan irigasi harus mendapat ijin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pengawasan pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 34

(1) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder.

(2) Pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh GHIPPA/IHIPPA sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan izin dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pembangunan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.

(4) Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan pembangunan jaringan irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, pemerintah kabupaten dapat membantu pembangunan jaringan irigasi tersier berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

(5) Badan usaha, badan sosial, atau perseorangan yang memanfaatkan air dari sumber air melalui jaringan irigasi yang dibangun pemerintah dapat membangun jaringannya sendiri setelah memperoleh izin dan persetujuan desain dari pemerintahan sesuai dengan kewenangannya. (6) Pedoman mengenai tata cara pemberian izin pembangunan jaringan

irigasi ditetapkan dengan peraturan bupati.

Bagian Kedua

Peningkatan Jaringan Irigasi Pasal 35

(1) Peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian dan sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang berlaku.

(2) Peningkatan jaringan irigasi harus mendapat izin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya. (3) Pengawasan peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

(4) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder.

(5) Peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh GHIPPA/IHIPPA sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan izin dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

(17)

(7) Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan peningkatan jaringan irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, Pemerintah kabupaten dapat membantu peningkatan jaringan irigasi berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian. (8) Badan usaha, badan sosial, atau perseorangan yang memanfaatkan

air dari sumber air melalui jaringan irigasi yang dibangun pemerintah dapat meningkatkan jaringannya sendiri setelah memperoleh izin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 36

(1) Pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder yang mengakibatkan perubahan bentuk dan fungsi jaringan irigasi primer dan sekunder harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier harus mendapat persetujuan dari HIPPA.

Pasal 37

(1) Pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengembangan lahan pertanian beririgasi sesuai dengan rencana dan program pengembangan pertanian dengan mempertimbangkan kesiapan petani setempat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan lahan pertanian beririgasi diatur dengan peraturan Bupati.

BAB X

PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI

Bagian Kesatu

Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Pasal 38

(1) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang berlaku.

(2) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

(3) GHIPPA/IHIPPA dapat berperan serta dalam operasi dan

pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

(4) GHIPPA/IHIPPA dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder.

(5) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder dilaksanakan atas dasar rencana tahunan operasi dan pemeliharaan yang disepakati bersama secara tertulis antara Pemerintah kabupaten, GHIPPA/IHIPPA, dan pengguna jaringan irigasi di setiap daerah irigasi.

(6) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi milik badan usaha, badan sosial, atau perseorangan menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan.

Pasal 39

(1) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.

(2) Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan operasi dan

(18)

(3) Bantuan dan dukungan fasilitas diberikan berdasarkan permintaan HIPPA setelah dievaluasi oleh Komisi Irigasi Kabupaten dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

Pasal 40

(1) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya menetapkan waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan setelah berkonsultasi dengan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA.

(2) Pengeringan dilaksanakan untuk keperluan pemeriksaan atau

pemeliharaan jaringan irigasi.

(3) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehablitasi dan peningkatan jaringan irigasi dijadwalkan dalam rencana tata tanam.

(4) Waktu pengeringan bagian jaringan irigasi dilakukan paling lama 2 (dua) minggu dan diberitahukan kepada pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi paling lama satu bulan sebelum pelaksanaan pengeringan.

Pasal 41

(1) Dalam rangka operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilakukan pengamanan jaringan irigasi yang bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan irigasi.

(2) Pengamanan jaringan irigasi dilakukan oleh pemerintah kabupaten, HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, dan pihak lain sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.

(3) Sebagai usaha pengamanan jaringan irigasi beserta bangunan-bangunannya ditetapkan garis sempadan pada jaringan irigasi untuk pendirian bangunan dan/atau untuk pembuatan pagar.

(4) Garis sempadan pada jaringan irigasi yang bertanggul, diukur dari bagian terluar kaki tanggul/bangunan/jalaninspeksi, dengan ketentuan :

a. Untuk mendirikan bangunan :

- 5 (lima) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik atau lebih ;

- 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) sampai 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik ;

- 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) m3 (meter kubik) per detik ;

b. Untuk membuat pagar :

- 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik atau lebih ;

- 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) sampai 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik ;

- 1 (satu) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) m3 (meter kubik) per detik ;

(5) Garis sempadan pada jaringan irigasi yang tidak bertanggul, diukur dari tepi saluran, dengan ketentuan :

a. Untuk mendirikan bangunan :

- 5 (lima) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik atau lebih ;

(19)

- 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) m3 (meter kubik) per detik ;

b. Untuk membuat pagar :

- 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik atau lebih ;

- 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) sampai 4 (empat) m3 (meter kubik) per detik ;

- 1 (satu) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) m3 (meter kubik) per detik ;

Pasal 42

(1) Untuk mencegah hilangnya air irigasi dan rusaknya jaringan irigasi, pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya menetapkan larangan membuat galian pada jarak tertentu di luar garis sempadan.

(2) Untuk keperluan pengamanan jaringan irigasi, dilarang mengubah dan/atau membongkar bangunan irigasi serta bangunan lain yang ada, mendirikan bangunan lain di dalam, di atas, atau yang melintasi saluran irigasi, kecuali atas izin Bupati.

(3) Pedoman mengenai operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, penetapan garis sempadan jaringan irigasi, dan pengamanan jaringan irigasi diatur dengan peraturan Bupati.

Bagian Kedua

Rehabilitasi Jaringan Irigasi Pasal 43

(1) Rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya setelah memperhatikan pertimbangan komisi irigasi, dan sesuai dengan dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Rehabilitasi jaringan irigasi harus mendapat izin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya. (3) Pengawasan rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan oleh pemerintah

kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

(4) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder.

(5) GHIPPA/IHIPPA dapat berperan serta dalam rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan persetujuan dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air. (6) Rehabilitasi jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab

HIPPA.

(7) Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, pemerintah kabupaten dapat membantu rehabilitasi jaringan irigasi tersier berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

(8) Badan usaha, badan sosial, perseorangan, atau perkumpulan petani pemakai air bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi yang dibangunnya.

Pasal 44

(1) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder harus mendapatkan izin dari Bupati sesuai dengan kewenangannya.

(20)

(3) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi harus dijadwalkan dalam rencana tata tanam.

(4) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi yang direncanakan, rehabilitasi akibat keadaan darurat, atau peningkatan jaringan irigasi dapat dilakukan paling lama 6 (enam) bulan.

(5) Pengeringan yang memerlukan waktu lebih lama dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya.

BAB XI

PENGELOLAAN ASET IRIGASI

Bagian Kesatu Inventarisasi Aset Irigasi

Pasal 45

(1) Aset irigasi terdiri dari jaringan irigasi dan pendukung pengelolaan irigasi.

(2) Inventarisasi jaringan irigasi bertujuan untuk mendapatkan data jumlah, dimensi, jenis, kondisi, dan fungsi seluruh aset irigasi serta data ketersediaan air, nilai aset, dan areal pelayanan pada setiap daerah irigasi dalam rangka keberlanjutan sistem irigasi.

(3) Inventarisasi pendukung pengelolaan irigasi bertujuan untuk mendapatkan data jumlah, spesifikasi, kondisi, dan fungsi pendukung pengelolaan irigasi.

Pasal 46

(1) Pemerintah kabupaten melaksanakan inventarisasi aset irigasi dan melakukan kompilasi atas hasil inventarisasi aset sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sistem irigasi.

(2) Badan usaha, badan sosial, perseorangan, perkumpulan petani pemakai air, dan pemerintah desa melakukan inventarisasi aset irigasi yang menjadi tanggung jawabnya secara berkelanjutan untuk membantu pemerintah kabupaten melakukan kompilasi atas hasil inventarisasi.

(3) Inventarisasi jaringan irigasi dilaksanakan setahun sekali sedangkan Inventarisasi pendukung pengelolaan irigasi dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali pada setiap daerah irigasi.

Bagian Kedua

Perencanaan Pengelolaan Aset Irigasi Pasal 47

(1) Perencanaan pengelolaan aset irigasi meliputi kegiatan analisis data hasil inventarisasi dan perumusan rencana tindak lanjut untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset irigasi dalam setiap daerah irigasi.

(2) Pemerintah Kabupaten sesuai kewenangannya menyusun dan

menetapkan rencana pengelolaan aset irigasi 5 (lima) tahun sekali. (3) Penyusunan rencana pengelolaan aset irigasi dilaksanakan secara

terpadu, transparan dan akuntabel dengan melibatkan semua pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi.

(4) Badan usaha, badan sosial, perseorangan, atau

(21)

Bagian Ketiga

Pelaksanaan Pengelolaan Aset Irigasi Pasal 48

(1) Pemerintah kabupaten sesuai dengan tanggung jawabnya

melaksanakan pengelolaan aset irigasi secara berkelanjutan berdasarkan rencana pengelolaan aset irigasi yang telah ditetapkan.

(2) Badan usaha, badan sosial, perseorangan, atau GHIPPA/IHIPPA melaksanakan pengelolaan aset irigasi yang menjadi tanggung jawabnya secara berkelanjutan.

Bagian Keempat

Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Aset Irigasi Pasal 49

(1) Pemerintah Kabupaten melakukan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan pengelolaan aset irigasi setiap tahun.

(2) Badan usaha, badan sosial, perseorangan, atau

HIPPA/GHIPPA/IHIPPA membantu Pemerintah Kabupaten dalam melakukan monitoring dan evaluasi aset irigasi secara berkelanjutan.

(3) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan aset irigasi dilakukan untuk mengkaji ulang kesesuaian antara rencana dan pelaksanaan pengelolaan aset irigasi.

Bagian Kelima

Pemutakhiran Hasil Inventarisasi Aset Irigasi Pasal 50

Pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Keenam

Tata Cara Pengelolaan Aset Irigasi Pasal 51

(1) Tata cara pengelolaan aset irigasi meliputi inventarisasi/ perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan pengelolaan dan evaluasi pengelolaan aset irigasi, serta pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigas.

(2) Tata cara pengelolaan aset irigasisebagaimana tersebut pada ayat (1) lebih lanjut diatur dengan peraturan bupati.

BAB XII

PEMBIAYAAN

Bagian Kesatu

Pembiayaan Pengembangan Jaringan Irigasi Pasal 52

(1) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten.

(2) Pembiayaan pengembangan bangunan sadap, saluran, boks tersier, dan bangunan pelengkap tersier lainnya yang terdapat didalam saluran sepanjang 50 (lima puluh) meter dari bangunan sadap menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten.

(3) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier menjadi tangggung jawab HIPPA.

(22)

(5) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi yang dibangun oleh badan usaha/ badan sosial/ perseorangan, menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan.

Pasal 53

Dalam hal terdapat kepentingan mendesak oleh pemerintah kabupaten untuk pengembangan jaringan irigasi pada daerah irigasi lintas kabupaten tetapi belum menjadi prioritas pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi dapat saling bekerja sama dalam pembiayaan.

Bagian Kedua

Pembiayaan Pengelolaan Jaringan Irigasi Pasal 54

(1) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten.

(2) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada setiap daerah irigasi.

(3) Perhitungan angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada setiap daerah irgasi dilakukan Pemerintah Kabupaten bersama GHIPPA/IHIPPA berdasarkan penelusuran jaringan dengan memperhatikan kontribusi GHIPPA/IHIPPA.

(4) Prioritas penggunaan biaya pengelolaan jaringan irigasi pada setiap daerah irigasi disepakati Pemerintah Kabupaten bersama GHIPPA/IHIPPA.

Pasal 55

(1) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder merupakan dana pengelolaan irigasi yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten sesuai kewenangannya.

(2) Penggunaan dana pengelolaan irigasi dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai dana pengelolaan irigasi akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 56

(1) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi tersier menjadi tangggung jawab HIPPA.

(2) Dalam hal HIPPA tidak mampu membiayai pengelolaan jaringan irigasi tersier yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dapat membantu pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

(3) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun oleh badan usaha, badan sosial/ perseorangan/ menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan.

(4) Pengguna jaringan irigasi wajib ikut serta dalam pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten.

Pasal 57

(23)

Bagian Ketiga

Keterpaduan Pembiayaan Pengelolaan Irigasi Pasal 58

(1) Komisi irigasi kabupaten mengkoordinasikan dan memadukan

perencanaan pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten.

(2) Koordinasi dan keterpaduan perencanaan pembiayaan mengacu pada usulan prioritas alokasi pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang disampaikan oleh komisi irigasi kabupaten.

Pasal 59

(1) HIPPA/GHIPPA/IHIPPA mempunyai hak, kewajiban, dan tanggung jawab mengumpulkan, mengelola, dan memanfaatkan iuran pengelolaan irigasi dari para anggota.

(2) Besaran dan bentuk iuran ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama para anggota HIPPA/GHIPPA/IHIPPA.

(3) Iuran pengelolaan irigasi dimanfaatkan untuk pembiayaan :

a. Operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan jaringan lainnya; dan

b. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi janngan irigasi primer dan sekunder sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan irigasi.

BAB XIII

ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI Pasal 60

(1) Untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat jaringan irigasi, pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya mengupayakan ketersediaan lahan beririgasi dan/atau mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi.

(2) Dinas/instansi terkait berperan mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan beririgasi untuk keperluan nonpertanian.

(3) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya secara terpadu menetapkan wilayah potensial irigasi dalam rencana tata ruang wilayah untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Pasal 61

(1) Alih fungsi lahan beririgasi tidak dapat dilakukan kecuali terdapat: a. perubahan rencana tata ruang wilayah; atau

b. bencana alam yang mengakibatkan hilangnya fungsi lahan dan jaringan irigasi ;

(2) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya mengupayakan penggantian lahan beririgasi beserta jaringannya yang diakibatkan oleh perubahan rencana tata ruang wilayah.

(3) Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan penataan ulang sistem irigasi dalam hal:

a. sebagian jaringan irigasi beralih fungsi; atau b. sebagian lahan beririgasi beralih fungsi.

(4) Badan usaha, badan sosial, atau instansi yang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan alih fungsi lahan beririgasi yang melanggar rencana tata ruang wilayah wajib mengganti lahan beririgasi beserta jaringannya.

BAB XIV

KOORDINASI PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI Pasal 62

(24)

(2) Dalam melaksanakan koordinasi pengelolaan sistem irigasi, komisi irigasi dapat mengundang pihak lain yang berkepentingan guna menghadiri sidang-sidang komisi untuk memperoleh informasi yang diperlukan.

(3) Koordinasi pengelolaan sistem irigasi yang jaringannya berfungsi multiguna pada satu daerah irigasi dapat dilaksanakan melalui forum koordinasi daerah irigasi.

BAB XV

PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN Pasal 63

(1) Dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada setiap daerah irigasi dilaksanakan pengendalian dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat.

(2) Pengendalian dan pengawasan meliputi kegiatan:

a. pemantauan dan evaluasi agar sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual;

b. pelaporan;

c. pemberian rekomendasi; dan d. penertiban.

(3) Peran HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dalam pengawasan dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.

(4) HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, badan usaha, badan sosial, dan

perseorangan menyampaikan laporan mengenai informasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya kepada pemerintah kabupaten.

(5) Dalam rangka pengendalian dan pengawasan pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya menyediakan informasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara terbuka untuk umum.

Pasal 64

(1) Untuk mewujudkan terselenggaranya pengendalian dan pengawasan, Pemerintah Kabupaten menyediakan informasi tentang proses dan hasil pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif.

(2) HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, badan usaha, badan sosial, perseorangan, dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menyampaikan laporan hasil kegiatan kepada Pemerintah Kabupaten dalam menyediakan informasi pengelolaan sistem irigasi.

(3)

Pemerintah kabupaten menyediakan prasarana informasi

pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diwujudkan dalam bentuk sistem informasi irigasi yang diakses oleh masyarakat, termasuk hasil inventarisasi aset jaringan irigasi pada setiap daerah irigasi sebagai wujud keterbukaan informasi keberfungsian dan potensi aset irigasi.

BAB XVI

LARANGAN - LARANGAN Pasal 65

(25)

a. Menyadap air dari sungai dan saluran pembawa, selain pada tempat yang sudah ditentukan;

b. Membuang benda-benda padat dengan atau tanpa alat-alat mekanis yang dapat berakibat menghambat aliran, mengubah sifat air serta merusak jaringan irigasi;

a. Membuat galian atau membuat selokan sepanjang saluran dan bangunan pada jarak tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran dan dapat mengganggu stabilitas saluran dan bangunan;

b. Menggembalakan, menambatkan atau menahan hewan atau ternak di dalam daerah sempadan saluran;

e. Merusak dan atau mencabut rumput atau tanaman yang ditanam pada tangkis saluran dan bangunan yang berguna untuk konservasi;

f. Membudidayakan tanaman pada tangkis saluran, berem dan alur saluran;

g. Menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air dengan cara apapun;

h. Mendirikan bangunan di dalam daerah sempadan saluran kecuali bangungan yang mendukung peningkatan irigasi;

i. Membuang benda cair, padat dan lainnya pada saluran secara langsung atau tidak langsung yang dapat menurunkan jumlah air baku/kualitas air;

j. Menambah, merubah fungsi pada bangunan fasilitas sumur pompa.

Pasal 66

Tanpa ijin Bupati, dilarang :

a. Mengadakan perubahan dan atau pembongkaran bangunan dalam jaringan irigasi maupun bangunan pelengkapnya;

b. Mendirikan, mengubah ataupun membongkar bangunan lain

sebagaimana yang tersebut pada huruf a, yang berada didalam, diatas maupun melintasi saluran irigasi;

c. Mendirikan jaring, keramba ikan di dalam saluran irigasi, waduk yang dapat menghambat aliran air dan merusak lingkungan dan bangunan irigasi;

d. Mendirikan, membangun bendung pada saluran drainase yang mengganggu fungsi drainase;

e. Membuang limbah/benda-benda cair yang dapat mengubah kwalitas air dijaringan irigasi;

f. Mengambil bahan galian golongan C berupa pasir, kerikil, batu atau hasil alam yang serupa dari jaringan irigasi.

BAB XVII

SANKSI ADMINISTRASI Pasal 67

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin dan/atau berupa pembongkaran bangunan.

BAB XVIII

KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 68

(26)

Pasal 69

(1) Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;

c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;

d. melakukan penyitaan benda dan atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan tersangka;

h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai dengan Peraturan Perundang - undangan.

BAB XIX KETENTUAN PIDANA

Pasal 70

(1) Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini

dikenakan sanksi pidana hukum paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah).

(2) Apabila pelanggaran mengakibatkan kerusakan saluran irigasi beserta bangunannya dan atau jaringan irigasi dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3) Perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran.

BAB XX

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 71

(1) Dengan berlakunya Perda ini maka peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan perijinan yang berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif di Kabupaten Jember sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku.

(2) Perijinan yang berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif yang diperoleh sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini diberlakukan harus menyesuaikan.

BAB XXI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 72

(27)

Pasal 73

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jember.

Ditetapkan di jember

pada tanggal 28 Agustus 2008

BUPATI JEMBER,

TTD

MZA DJALAL

Diundangkan di Jember

Pada tanggal 22 Oktober 2008

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JEMBER, ttd

Drs. H. DJOEWITO, MM Pembina Utama Muda

NIP. 510 074 249

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBER TAHUN 2008 NOMOR 2

(28)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 2 TAHUN 2008

TENTANG IRIGASI

I. UMUM

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengatur berbagai hal mengenai pengelolaan sumber daya air yang antara lain mengenai pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 41. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, Peraturan Daerah ini memuat berbagai ketentuan mengenai irigasi secara terperinci dan kompherensif berdasarkan pertimbangan dan pemikiran dibawah ini.

2. Peran sektor pertanian sangat strategis dalam perekonomian nasional dan kegiatan pertanian tidak dapat terlepas dari air. Oleh sebab itu, irigasi sebagai salah satu komponen pendiking keberhasilan pembangunan pertanian mempunyai peran yang sangat penting. Adanya perubahan tujuan pembangunan pertanian dari meningkatkan produksi untuk swasembada beras menjadi melestarikan ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan dan perbaikan gizi keluarga, serta sejalan dengan semangat demokrasi, desentralisasi dan keterbukaan dalam tanaman kehidupan bermasyarakat perlu menetapkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi.

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengamanatkan bahwa penguasaan sumber daya air oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air, Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab menyediakan air untuk semua kebutuhan dengan memberikan prioritas utama kepada kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada diatas semua kebutuhan.

4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan penyelenggaraan Pemerintah Daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam pelaksanaan desentralisasi diberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan prinsip pendekatan pelayanan kepada masyarakat diberbagai bidang termasuk bidang irigasi. Pemerintah Kabupaten, sesuai dengan kewenangan mempunyai tujuan antara lain untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerahnya. Oleh karena itu, pelaksanaan pembiayaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dan masyarakat sesuai kewenangan.

(29)

Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersebut dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan dengan memperhatikan kepentingan pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi di bagian hulu, tengah dan hilir secara selaras. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan oleh kelembagaan pengelolaan irigasi yang meliputi instansi Pemerintah Kabupaten, HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dan Komisi Irigasi atau Pihak lain yang kegiatannya terkait.

6. Dalam rangka menetapkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan, pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan secara partisipatif yang didukung dengan pengaturan kembali tugas, wewenang dan tanggung jawab kelembagaan pengelolaan irigasi, pemberdayaan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA, penyempurnaan sistem pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi untuk mewujudkan keberlanjutan sistem irigasi. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara partisipatif dilaksanakan dalam keseluruhan proses pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dimulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan, pada tahap perencanaan, pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi. Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi dan memberikan bantuan sesuai dengan permintaan HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

7. Kebijaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang efisien dan efektif diperlukan untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi dan hak guna air untuk irigasi. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan :

- adanya pergeseran nilai air dari sumber daya air milik bersama yang melimpah dan dapat dimanfaatkan tanpa biaya menjadi Sumber Daya yang bernilai ekonomi dan fungsi sosial;

- terjadinya kerawanan ketersediaan air

- meningkatnya persaingan pemanfaatan air antara irigasi dengan penggunaan oleh sektor-sektor lain;

- makin meluasnya alih fungsi lahan irigasi untuk kepentingan lainnya.

Sesuai dengan kenyataan tersebut diatas, Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya menyediakan pembiayaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder, sedangkan GHIPPA/IHIPPA dapat berperan serta.

HIPPA menyediakan pembiayaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya dapat membantu sesuai dengan permintaan P3A dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

8. Pengaturan hak guna air diwujudkan melalui hak guna air untuk irigasi yang terdiri atas hak guna pakai air dan hak guna usaha untuk irigasi.

Hak guna pakai air untuk irigasi bagi pertanian rakyat yang berada didalam sistem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin pemakaian air untuk irigasi.

Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan dibidang pertanian dan diperoleh berdasarkan permohonan izin pengusahaan air untuk irigasi. Dalam hal terjadi kekeringan pada sumber air yang mengakibatkan terjadinya kekurangan air irigasi sehingga diperlukan substitusi air irigasi, Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya dapat mengupayakan tambahan pasokan air irigasi dari sumber air lainnya atau melakukan penyesuaian penyediaan dan pengaturan air irigasi agar pemanfaatan air dapat mencapai hasil yang maksimal, Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya mengatur penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan air irigasi dan drainase di wilayahnya.

9. Pengembangan jaringan irigasi meliputi kegiatan pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi, dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumber daya air. Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab dalam pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder, sedangkan GHIPPA/IHIPPA dapat berperan serta, HIPPA bertanggung jawab dalam pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi tersier.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaturan pemanfaatan sumber daya air untuk irigasi tidak menjamin kepastian hukum karena ketidakjelasan pengertian hak guna usaha air dan belum adanya peraturan

Untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat, Organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan petani diharapkan bersama-sama membangun dan melakukan pengelolaan

Hal ini disebabkan perubahan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengelola air irigasi, yaitu untuk DI dengan luasan lebih dari 3000 ha menjadi kewenangan