ISLAM DAN ORTODOKSI
Oleh Andri Rosadialam perkembangannya, pengetahuan selalu melihat ke depan. Namun, khusus pengetahuan keagamaan dalam Islam, terlihat adanya kecenderungan kuat untuk mencari legitimasi pengetahuan dari masa lalu. Terkadang bukan sekedar menghadirkan masa lalu pada masa kini, tapi lebih dari itu, membawa masa kini ke masa lalu. Wahyu dipahami secara literal dan kaku. Bersifat tsabit dalam tataran teks dan makna; shâlih li kulli zamân wa makân. Karena itu, tak memerlukan reinterpretasi.
D
Kebenaran dan relevansi makna wahyu (dan maknanya yang benar adalah yang terdapat dalam sunnah, atsar dan pendapat ulama salaf) terlepas dari konteks ruang dan waktu. Menurut perspektif waktu, tak punya masa lalu, selalu relevan, up to date, dan present. Sementara menurut perspektif ruang, ia bersifat universal, rahmatan li al ‘alamin. Pemaknaan wahyu seperti ini akan menghasilkan pengetahuan yang berada di luar sejarah; pengetahuan yang menjadikan Teks sebagai tujuan akhir, bukan pada apa yang ditunjuk Teks. Sehingga pengetahuan keagamaan tidak berkembang.
Ada dua penyebab utama yang melandasi perkembangan pengetahuan model ini: pertama, cara pembacaan terhadap Teks. Kedua, dominasi sistem patriarchy dalam kehidupan yang menyentuh tataran terdalam—ambang bawah sadar.
Model Pembacaan terhadap Teks.
bisa bermanfaat dan bisa juga tidak, tergantung pada kemampuan kita untuk menangkap maknanya. Al-Quran, kata Sayyidina ‘Ali, membawa banyak makna (hammâl awjuh). Kemampuan menangkap makna tergantung pada model pembacaan.
Salah satu fungsi bahasa adalah untuk menjadikan pengalaman manusia yang bersifat personal bermakna. Dan makna bahasa akan dipahami secara lebih komprehensif dengan merujuk ke realitas. Realitas adalah primer, dan Teks adalah sekunder. Al-Quran adalah sekunder, dan realitas yang ditunjuk oleh teks al-Quran, dan berada di luarnya, adalah primer. Maka, dalam hal ini, al-Quran sebenarnya hanyalah perantara menuju dan mencapai kebenaran realitas [yang ditunjuknya]. Karena itu, penting bagi kaum muslimin untuk memahami realitas dan sejarah. Orang yang tidak memahami sejarah dan realitas tak mungkin mampu memahami Kitab Suci dengan benar. Sebaliknya, memahami realitas dan sejarah tanpa tuntunan Teks akan timpang.
Al-Quran diturunkan dan ditulis dalam bahasa Arab. Kondisi bahasa Arab di mata pemakainya, akan mempengaruhi perspektif dan pemahaman kita pada al-Quran. Berkenaan dengan kondisi bahasa Arab fushâ’ dewasa ini, Halim Barakat menulis, “sesungguhnya bahasa Arab lebih mengutamakan karya sastra daripada karya ilmiah, orasi daripada teks tertulis, dan bicara daripada tulisan.” Ditambah warisan pemahaman klasik yang bertumpu pada kekuatan mu’jizat bahasa Arab, menjadikan pemahaman kita sulit keluar dari dimensi sastra dan mu’jizat bayani al-Quran. Sebuah model pembacaan yang mempercayai dan membatasi diri pada aspek literal bahasanya saja, bukan pada apa yang ditunjuk bahasa tersebut. Sehingga memalingkan kita dari nuansa keilmuan yang dikandungnya. Ujung-ujungnya, ketika ada perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan, kita hanya bisa berkata, “oh, itu sudah ada dalam al-Quran.”
oral, menjadikan kita sulit keluar dari realitas kejumudan. Karena itu, harus ada usaha serius untuk keluar dari lingkaran paradigma itu. Perubahan sosial mensyaratkan adanya perubahan pemikiran dan kesadaran, dan perubahan pemikiran mensyaratkan adanya perubahan bahasa (dalam struktur, terminologi dan pemahaman). Selanjutnya, pembacaan dengan paradigma bahasa yang baru, akan menghasilkan pemahaman baru pula. Model interaksi dan pembacaan pada Teks sama pentingnya dengan Teks itu sendiri.
Berkaca dari sejarah kebangkitan Eropa, tampak ada perbedaan dengan yang kita lalui. Ketika alat cetak ditemukan oleh Guttenberg, gereja mencetak Kitab Suci secara massif. Dengan tersebarnya Kitab Suci tersebut di masyarakat, timbul kesadaran baru: mengapa otoritas tafsir hanya dipegang oleh pastor dan gereja, tidak oleh orang awam? Terlihat bahwa, penyebaran Kitab Suci diiringi dengan timbulnya kesadaran baru: kesadaran dalam memposisikan, menilai, dan dalam menggunakan model pembacaan terhadap Kitab Suci tersebut. Inilah yang melahirkan Protestantisme. Simbol dari perubahan tradisi: dari pola oral, kaku, taklid dan sempit menjadi lebih liberal, terbuka dan progresif.
Tapi, hal ini tidak terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Penyebaran Kitab Suci secara luas tidak membawa perubahan pada jalannya sejarah. Bahkan negara yang paling banyak mencetak Kitab Suci—Saudi Arabia— justru yang paling tertutup dan konservatif. Hal ini disebabkan belum runtuhnya hegemoni pemahaman ulama klasik dalam menafsirkan al-Quran. Ada ketakutan kalau-kalau tafsir modern keluar dari agama dan dianggap kafir. Al-Quran masih dipandang begitu primer, sehingga berhenti pada aspek bahasa, bukan pada apa yang ditunjuk, atau dikandung oleh bahasa itu. Dan model pembacaan pun berhenti pada hapalan dan keindahan lagu! (tajwid).
tataran Teks, sementara maknanya bersifat mutaghayyir, mutaharrik (dinamis).
Dominasi Sistem Patriarchy
Sistem patriarchy telah bekerja secara otomatis dalam pikiran secara pribadi dan kolektif, dan terejawantah dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan keagamaan. Gambaran sekilas mengenai peranan tunggal yang terjadi sebagai berikut: hegemoni dalam keluarga berada di tangan bapak; di ruang kelas berada di tangan guru; di institusi keagamaan berada di tangan ulama (kyai); dan dalam konteks publik adalah pemerintah. Struktur relasi dalam kaca mata ini mengandaikan adanya dominasi peranan tunggal yang memegang otoritas kebenaran dan keputusan; ada center dan pheriphery. Dalam konteks kehidupan keagamaan, otoritas kebenaran penafsiran bisa diurut sebagai berikut: wahyu, Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya berdasar urutan kedekatan zaman dengan Nabi. Sejarah dipahami berjalan mundur: zaman Nabi adalah terbaik, kemudian sesudahnya dan sesudahnya…
Ada pengakuan bahwa, pemahaman semakin otoritatif dan murni, jika semakin dekat dengan Nabi. Maka, terbentuklah lapisan geologis otoritas keagamaan. Kedekatan dengan Nabi dijadikan standar kebenaran secara mutlak, tanpa mempertimbangkan konteks sosio-historis. Pemahaman model ini tidak bersandar pada sejarah, pada realitas. Pemahaman yang menjadikan Teks sebagai yang primer, bukan sekunder. Sehingga kontekstualisasi makna Teks luput dari pertimbangan. Peranan sahabat, tâbi’in dan tâbi’i al-tâbi’in dalam kehidupan keagamaan menyerupai peranan bapak dalam keluarga: dominan, bahkan hegemonik. Karena itu, perkembangan pemikiran Islam dewasa ini lebih banyak bersifat repetisi, memperkuat dan menghadirkan kembali pendapat lama, daripada perkembangan hasil dialektika antara akal dan realitas terkini.
senior; seperti santri pada kyai; atau seperti bawahan pada atasan. Inilah yang melahirkan ortodoksi dalam beragama.
Pemahaman ortodok yang melihat kesempurnaan Kitab secara rigid melahirkan paradigma keterputusan dalam menafsirkan perubahan dan perjalanan sejarah kemanusiaan. Keterputusan ini ditandai dengan dominannya pola pikir dikotomis: umat Islam adalah terbaik, yang lain lebih rendah; peradaban Islam dan peradaban kafir; negara Islam dan negara non Islam; era pra turunnya wahyu dan era pasca turunnya wahyu; kategorisasi manusia menjadi muslim, kafir, ahli kitab, dan seterusnya. Karena itu segala bentuk adopsi, akulturasi dan interaksi yang telah terjadi dalam perkembangan Islam tidak diakui. Akhirnya, kita menutup mata dari kemajuan zaman, karena yakin dengan kelengkapan Islam yang kita miliki dan pahami, walau ternyata keyakinan itu tak membawa pada kemajuan. Wallahu a’lam.
---Penulis adalah alumnus Fakultas Bahasa Arab, jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Universitas al-Azhar, Kairo. Mantan Pemimpin Redaksi Jurnal “al-‘Umrân”, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir. Kini tinggal di Yogya.