• Tidak ada hasil yang ditemukan

255490214 Makalah Kesehatan Lansia Kel 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "255490214 Makalah Kesehatan Lansia Kel 1"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP SEHAT SAKIT

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Kesehatan Mental Lansia

yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri M. PH dan dr. Tisnalia Mahendra S. KM

Oleh:

Ayu Nindhi Kistianita (130612607859)

Heri Setiawan (130612607838)

Tahani Ratna Adiba (130612607854)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

(2)

Daftar Isi

BAB 1. PENDAHULUAN... 1.1 Latar belakang... 1.2 Rumusan masalah... 1.3 Tujuan...

BAB 2. PEMBAHASAN... 2.1 Pengertian sehat dan sakit... 2.1.1 Pengertian sehat... 2.1.2 Pengertian sakit...

2.2 Perilaku sehat... 2.2.1 Bentuk perilaku...

(3)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia mempunyai sebuah kesehatan dimana seseorang merasa baik dengan fisik dan mentalnya lebih tepatnya sehat yaitu suatu kondisi yang bebas dari berbagai jenis penyakit baik secara fisik, mental, maupun sosial. Konsep Sehat adalah keadaan normal yang sesuai dengan standar yang diterima berdasarkan kriteria tertentu, sesuai jenis kelamin dan komunitas masyarakat sekitarnya.

Pandangan sebagian besar individu dalam masyarakat mengenai kesehatan dan pelayanan kesehatan masih rendah. Hal ini tentunya akan mempengaruhi setiap perilaku sehat-sakit yang dimiliki oleh individu tersebut. Sebagian besar masyarakat belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat dari tenaga medis karena pelayanan kesehatan medis yang tidak merata. Hal ini banyak ditemukan pada daerah-daerah terpencil yang belum dapat dijangkau oleh tenaga kesehatan. Selain itu masalah biaya juga menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak mencari pelayanan kesehatan medis. Namun di lain pihak, bagi beberapa individu, kesehatan merupakan hal yang sangat penting.

Untuk itu, beberapa orang rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit

untuk memperoleh kesehatan dalam diri mereka.

(4)

2.1 Rumusan Masalah

2.1.1 Apakah yang dimaksud sehat dan sakit ? 2.2.2 Bagaimanakah perilaku sehat ?

2.2.3 Apa hubungan antara kesehatan fisik dengan kesehatan mental ?

2.2.4 Apa yang dimaksud dengan gangguan mental emosional pada lansia dan deviasi/penyimpangan ?

3.1 Tujuan

3.1.1 Untuk mengetahui pengertian dari sehat dan sakit. 3.1.2 Untuk mengetahui perilaku sehat.

3.1.3 Untuk mengetahui hubungan antara kesehatan fisik dengan kesehatan mental.

(5)

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sehat dan Sakit 2.1.1 Pengertian Sehat

Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual. Berikut ini beberapa definisi sehat menurut para ahli:

1. Sehat menurut WHO (1947)

Sehat adalah keadaan utuh secara fisik, jasmani, mental, dan sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit cacat dan kelemahan. Mengandung 3 karakteristik : merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia, memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal, sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif.

2. Sehat menurut UU No.23/1992 Tantang Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai salah satu yang utuh yang terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan didalam kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.

3. Sehat menurut Pepkin’s

Sehat adalah suatu keadaan keseimbangan dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh yang dapat mengadakan penyesuaian sehingga tubuh dapat mengatasi gangguan dari luar.

4. Sehat menurut Zaidin Ali (1999)

Sehat adalah suatu kondisi keseimbangan antara status kesehatan biologis (jasmani), psikologis (mental), sosial, dan spiritual yang memungkinkan orang tersebut hidup secara mandiri dan produktif.

(6)

Sehat adalah aktualisasi (perwujudan yang diperoleh individu melalui kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku yang sesuai dengan tujuan, perawatan diri yang kompeten sedangkan penyesuaian diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan integritas struktural.

6. Konsep Sehat (Travis dan Ryan, 1998)

a. Sehat merupakan pilihan, suatu pilihan dalam menentukan kesehatan. b. Sehat merupakan gaya hidup, desain gaya hidup menuju pencapaian

potensial tertinggi untuk sehat.

c. Sehat merupakan proses, perkembangan tingkat kesadaran yang tidak pernah putus, kesehatan dan kebahagiaan dapat terjadi di setiap momen, ”here and now”.

d. Sehat efisien dalam mengolah energi, energi yang diperoleh dari lingkungan, ditransfer melalui manusia, dan disalurkan untuk mempengaruhi lingkungan sekitar.

e. Sehat integrasi dari tubuh, pikiran dan jiwa, apresiasi yang manusia lakukan, pikirkan, rasakan dan percaya akan mempengaruhi status kesehatan.

f. Sehat adalah penerimaan terhadap diri. 1) Ciri-ciri sehat :

a. Secara fisik : Kulit segar, mata jernih, tidak terlalu gemuk, nafas segar, nafsu makan yang baik, tidur nyenyak, buang air besar atau kecil secara teratur, semua organ tubuh berfungsi dengan baik.

(7)

2) Lansia Sehat

Lansia adalah seseorang yang secara alami telah menurun fungsi tubunhya seiring dengan bertambahnya usia, penurunan ini bermacam-macam tingkatnya walaupun demikian lansia yang sudah turun fungsi sistemnya masih dikatakan sehat bila tidak disertai keadaan patologi (WHO, 1998 dalam Suyoko, 2012).

Lansia sehat sangat dipengaruhi pada lingkaran kehidupan keluarganya, terdapat 2 lingkaran kehidupan yang mempengaruhi kesehatan lansia yaitu lingkaran negatif dan lingkaran positif. Pada lingkaran kehidupan negatif keluarga/masyarkat dicap sebagai orang yang tak mampu atau sudah tidak efisien sehingga lansia tersebutmenjadi sakit dan akhirny mengakui dirinya sakit dan cacat. Sedangkan teori lingkaran positif, lansia tersebut ada pada keberadaan yan gnyman, ia menjalakan pemeriksaan medik dan mendapatkan diagnosa dan pengobatan yang tepat ia juga mendapatkan masukan sosial medik seperti dukungan, makanan, perumahan dan pengangkutan dengan itu semua lansia tersebut memiliki kemampuan emosi dan dukungan emosional, dirinyamengikuti peran lanjut usia untuk mempertahankan sosialnya misanya sebagai relawan.

2.1.2 Pengertian Sakit a. Menurut Pemons (1972)

Sakit merupakan gangguan dalm fungsi normal individu termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.

b. Menurut Perkins (1937)

Sakit adalah kedaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik aktivitas jasmani, rohani dan sosial.

c. Menurut WHO (1974)

Sakit adalah suatu keadaan yang tidak seimbang/sempurna seseorang dari aspek medis, fisik, mental, sosial, psikologis dan bukan hanya mengalami kesakitan tetapi juga kecacatan.

(8)

a. Individu percaya bahwa terdapat kelainan pada tubuhnya. Merasa dirinya tidak sehat atau merasa timbulnya berbagai gejala merasa adanya bahaya. Mempunyai 3 aspek : secara fisik (nyeri, panas yang tinggi ), secara kognitif (intrepretasi adanya gejala), respon emosi terhadap ketakutan atau kecemasan.

b. Asumsi terhadap peran sakit dan penerimaan rasa sakit.

2.2 Perilaku Kesehatan

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku(manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar ( Notoatmodjo, 2003).

Seorang ahli psikologis, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus/rangsangan dari luar (Skinner, 1938 dalam Notoatmodjo,2003).

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua:

a. Perilaku Tertutup (Covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert), Misalnya: Seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.

b. Perilaku Terbuka (Overt behavior)

(9)

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. (Dinas Kesehatan Polewali Mandar, 2008).

2.2.1 Bentuk Perilaku

Di lihat dari bentuknya perilaku dibedakan menjadi 2 macam yaitu: a. Bentuk Pasif

Adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung bisa dilihat orang lain, misalnya berpikir, tanggapan, sikap atau pengetahuan.

b. Bentuk Aktif

Adalah apabila perilaku ini jelas bisa dilihat.

2.2.2 Batasan Perilaku Kesehatan

Batasan perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek:

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

(10)

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Health Seeking Behavior).

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai dari mengobati sendiri (selftreatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri. 3. Perilaku Kesehatan Lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.Klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan antara lain:

a.Perilaku hidup sehat

Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini mencakup antara lain : Menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum-minuman keras dan narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan stress, perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan. b. Perilaku Sakit (illness behavior)

Mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit. Persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya.

c.Perilaku peran sakit ( the sick role behavior) 1.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

2.Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau penyembuhan penyakit yang layak.

3.Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan,pelayanan kesehatan dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter atau petugas kesehatan,tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya.

(11)

Fisik dan mental adalah dua komponen yang berbeda. Dari segi bahasa fisik sering disebut dengan raga / tubuh sedangkan mental sering disebut dengan psikis /jiwa. Kedua komponen tersebut dalam tubuh makhluk hidup sangatlah berhubungan. Seperti kata pepatah Yunani Kuno " Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula".

Istilah kesehatan mental digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan baik emosi maupun kognitif atau ketiadaan dari penyakit mental. Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap oragan hidup produktif secara sosial ekonomi.

Kesehatan mental adalah keadaan yan gmemungkinkan perkembangan fisik, menal, dan intelektual yang optimal dari seseorang serta oerkembangan tersebut berjalan selaras dengan oran glain sebagaimana adany dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Direktoral Kesehatan Jiwa, 2001 dalam Suyoko, 2012).

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan kesehatan fisik. Individu yang mengalami masalah kesehatan fisik (terkena penyakit) juga mengalami masalah kesehatan mental yakni depresi dan kecemasan. Depresi dan kecemasan akan penyakit yang diderita. Adanya masalah kesehatan mental yang ditimbulkan tersebut mempengaruhi kesehatan fisik individu tersebut. Sebaliknya individu yang mengalami masalah kesehatan mental dapat mengembangkan gejala-gejala fisik dan penyakit seperti penurunan berat badan dan ketidakseimbangan biokimia darah yang terkait dengan gangguan makan.

Keterkaitan antara kesehatan fisik dan kesehatan mental inilah mengakibatkan apabila salah satu dari komponen tersebut sakit, komponen yang lain juga mengalami dampak yang ditimbulkan / disfungsi.

2.4 Gangguan Mental pada Lansia dan Deviasi (Penyimpangan) 2.4.1 Gangguan Jiwa

(12)

Gangguan jiwa dapat terjasi kapan saja, terhadap siapa saja mulai dari yang paling ringan sampai yang paling parah. Menurut dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ bahwatidak ada seorangpun yang mengatakan dirinya tidak pernah mengalami gangguan kejiwaan (Kompas, 5 November 2007 dalam Suyoko, 2012).

Dari berbagai penelitian dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik maupun mental, keabnormalan tersebut dibagi menjadi dua golongan yakni gangguan jiwa (neurosis) dan sakit jiwa (psikosis). Keabnormalan dapat dilihat dalam berbagai gejala yang terpenting diantaranya adalah ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (consulsive), histeria, rasa lemah, tidak mampu mancapai tujuan, takut, pikiran-pikiran yang buruk dan sebagainya (Yosep, 2008 dalam Suyoko, 2012).

Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Depkes, gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang bermakna dan dapat ditemukan secara klinis dan disetai dengan penseritaan (distress) pada kebanyakan kasus dan dan berkaitan dengan terganggunya fungsi pada seseorang. Pada dasarnya ganggguan jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, karenan manifestasi dari gangguan jiwa berupa perilaku, pikiran, dan perasaan, erat sekali kaitannya dengan kondisi tubuh/jasamani.

b. Jenis Gangguan Jiwa

Klasifikasi gangguan jiwa terbagi menjadi 2 golongan besar yaitu (Maramis, 2009 dalam Suyoko, 2012):

1. Psikosis (gangguan jiwa berat/penyakit mental)

Psikosa adalah gangguan jiwa serius yang timbul karena organik atau emosional dan menunjukan gangguan berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi, menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai denga kenyataan tersebut, sehingga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat terganggu.

2. Neurosis (gangguan jiwa ringan/gangguan mental)

(13)

Bagi penderita gangguan mental/psyconeurosis masi menghayati realitas, masih hidup dalam alam pada umumnya. Ia masih mengetahui dan merasakan kesukaran-kesukaran. Sebenarnya ia tidak dapat atau kurang dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya serta belum kuat atau tidak kuat hatinya. Itulah sebabnya ia mencari jalan keluar untuk melarikan diri dari kekecewaan atau penderitaan menjadi neurosis/psiconeurosis (Sundari, 2005 dalam Suyoko, 2012)

Menurut gejalanya neurosis dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: 1. Neurosis Cemas

Pada neurosis kecemasan tidak terikat pada suatu benda atau keadaan, tetapi mengambang bebas, bila kecemasan sudah mencapai panik, orang itu akan menjadi berbahasya. Dengan sikap yan gagresif dan mengancam.

Gejala somatik berupa sesak nafas, dada tertekan, kepala enteng, lini-linu, episgatrium nyeri, lekas lelah, palpitasi, keringat dingin, gejala lain seperti keluhan sistem pencernaan, pernafasan, sistem kardiovaskuler, genitourinaria. Gejala psikologik berupa timbul rasa was-was, kuatir akan terjadi sesuaty yang tidak diinginkan.

2. Neurosa Histerik

Gejala-gejala sering timbul dan hilang secara tiba-tiba, terutama bila penderita menghadapi keadaan yang menimbulkan emosi yang hebat dan yang mempunyai arti simbolik mengenai konflik. Gejala-gejala yang sering dimodifikasi hanya dengan sugesti.

3. Neurosa Fobik

Ditandai dengan rasa takut yang hebat sekali terhadap benda atau oleh individu yang sebenarnya disadari bukan ancaman dan dapat mengakibatkan perasaan seperti akan pingsan, merasa lelah, palpitasi, berkeringat, mual, tremor, dan panik. Neurosis ini menimbulkan kompulsi atau obsesi.

4. Neurosa Obsesif Kompulsif

Obsesi suatu ide yang mendesak kedalam pikiran, sedangkan kompulsi menunjukkan dorongan atau impuls yan gtidak dapat ditahan utnuk melakukan sesuatu.

(14)

Neurosa depresif ialah ganggauan persaan dengan ciri-ciri semangat berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahan diri sendiri, gangguan tidur dan makan. Gejala psikologik berupa pendiam , rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan, lekas lupa, timbul pikiran-pikiran bunuh diri.

Gejala badaniah berupa penderita merasa tidak senang, cepat lelah tak bersemangat atau apatis, terhadap anorexia, insomnia, dan konstipasi.

6. Neurosa Nerasrtenik

Ditandai dengan keluhan yang menahun, mudah lelah dan kadang-kadang kehabisan tenaga,. Kepribadian premorbid dengan nurosa ini adalah terus-menerus tidak puas dan merasa ditolak atau tidak diterima.

7. Neurosa Depresionalisasi

Merupakan keadaan yang didominasi oleh rasa ketidakwajaran (unreality) dan keasingan (estrangement) terhadap dirinya, tubuhnya atau lingkungannya. Penderita neurosa ini terjadi kesadaran yang tidak menyenangkan terhadap dunia luar. Diri sendiri dirasakan lain, asing seperti dalam mimpi atau mungkin berada diluar tubuhnya dan melihat tubuhnya dari atas.

Kriteria untuk diagnosa depresionalisasi a. Kenyataan berubah

b. Perubahan yang tidak menyenangkan c. Perubahan persepsi suatu pemahaman d. Tidak adanya respon emosional e. Neurosa Hipokondrik

Keadaan ini ditandai dengan pikiran yang terpaku (preoccupied) pada kesehatan fisik dan mentalnya. Penderita takutakan adanya penyakit pada berbagai bagian tubuh.

(15)

lanjut usia (lansia) berhubungan fengan masalah psikososial dalam memasuki tahap lanjut usia (lansia).

Gejala gangguan mental/neurosis pada taraf awal sulit dibedakan dengan gejala psikosis, semakin berat penderitaan semakin nampak perbedaan itu (Sundari, 2005 dalam Suyoko, 2012).

2.4.2 Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional menuurut Dictionary reference dari Universitas Priceton adalah bagian dari gangguan jiwa yang bukan disebabkan oleh kelainan organik otak dan lebih didominasi oleh gangguan emosi (disturbance of emotions). Penelitian yang dilakukan oleh Harison menunjukkan bhwa klien yang

berkunjung ke rumah sakit umum ada yang mengalamu gejala somatisasi, yaitu berobat dengan gejala keluhan fisik namun tidak ada penyebab organik.

a. Pengertian

Pengertian ini mengandung arti bahwa gangguan mental emosional lebih mengarah ke aspek psikologis dari pada aspek biologis. Gangguan mental emosiona merupakan perubahan mood dan efek yang ditimbulkan kepada pikiran-pikiran spesifik atau kondisi fisik yang sesuai dengan yang sering dengan mood dan efek (Kaplan, 2005 dalam Suyoko, 2012). Gangguan mental emosional merupakan perubahan atau gangguan mood dan efek yang berpengaruh juga terhadap fisik seseorang karena aspek biologis (fisik), psikis (salah satunya emosi) dan sosial. Sehingga aspek fisik dan mental saling mempengaruhi terhadap gangguan mental emosianal seseorang.

Setiap orang pernah mengalami perubahan dalam hidupnya dimana perubahan tesebut menuntut seseorang untuk beradaptasi dalam mengatasinya. Perubahan tersebut bisa menjadi kondisi yang mengancam individu (Siswoyo, 2011 dalam Suyoko, 2012). Apabila individu tidak mampu menemukan penyelesaian terhadap situasi yang mengancamnya maka individu tersebut mengalami gangguan mental emosional (Kaplan, 2005 dalam Suyoko, 2012)

(16)

berkembang menjadi keadaaan patologis apabila berlanjut (Idaini, 2009 dalam Suyoko, 2012).

Gejala gangguan mental emosional dapt berupa gejala depresi, gangguan psikosomatik, dan ansietas. Tanda-tanda gejala depresi, psikosomatik, dan ansietas meliputi :

Menurut ICD-10 tanda-tanda gejala depredi terdiri dari : 1. Perasaan depresif

2. Hilangnya minat dan semangat 3. Mudah lelah dan tenaga hilang 4. Konsentrasi menurun

5. Harga diri menurun 6. Perasaan bersalah

7. Pesimistis terhadap masa depan

8. Gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri 9. Gangguan tidur

10.Menurunnnya libido

Gangguan psikomatis adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami keluhan gejala fisik yang berulang, yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis tetapi hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik yang menjadi dasar keluhannya. Pasien biasanya menolak adanya penyebab biologis. Gejala fisik dapat berupa keluhan berupa keluhan nyeri lambung, alergi kulit, gangguan haid, diare, sesak nafas dan lain-lain (Siswoyo, 2011 dalam Suyoko, 2012).

Ansietas merupakan respon emosi tanpa obyek yang jelas tetapi penderita merasakan perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan terjadi yang biasanya disertai gejala otonomik yang berlangsung beberapa bulan bahkan tahunan. Manifestasi secara psikis adalah: khawatir secara berlebihan, gelisah tidak menentu, takut berlebihan, dan tidak tentram. Manifestasi secara fisik dapat berupa nafas pendek, nyeri perut, tangan bergetas, diare/konstipasi, penglihatan kabur, otot terasa tegang (Sumiati, 2009 dalam Suyoko, 2012).

(17)

Gangguan mental emosional diukur dengan menggunakan Self Reporting Quistionnaire (SRQ) yang digunakan oleh WHO. SRQ pada awalanya terdiri dari 25 pertanyaan yang terdiri dari 20 pertanyaan yang berhubungan dengan gejala neurosis, 4 partanyaan berhubungan dengan psikosis dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan epilepsi (WHO, 1994 dalam Suyoko, 2012).

SRQ adalah kuisioner yang biasa digunakan untuk skrining masalah kesehatan jiwa dimasyarakat yang memiliki jawaban"ya atau tidak" dengan maksud mempermudah masyarakat untuk menjawabnya.

Pengukuran gangguan mental emosional sendiri mengggunakan SRQ-20 terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mengenai gejala yang lebih mengarah kepada gangguan nerosis. Gejala depresi terdapat pada butir nomor 6, 9, 10, 14, 15, 16, 17: gejala cemas pada butir nomor 3,4,5: gejala somatik pada butir nomor 1,2,7,19: gejala kognitif pada butir 8, 12,13: gejala penurunan energi pada butir 8,11,12,13,18,20.

Uji validasi terhadap SRQ yaitu pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Hartono. Beliau melakuan uji validasi terhadap penggunaan SRQ dengan cutt off point/nilai batas pisah 6 yang kemudian digunaikan pada Riskesdes 2007. Penggunaan SRQ pada Riskesdes 2007 bertujuaan untuk mendapatkan gambaran status kesehatan mental/gangguan mental emosional yang ada di masyarakat. Pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota rumah tangga (ART) yang berusia ≥ 15 tahun. Ke 20 pertanyaan tersebut mempunyai 3 jawaban "ya" dari pertanyaan yang diajukan maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. SRQ memiliki keterbatasaan karena hanya mengungkap status emosioanal sesaat (± 2 minggu) dan tidak dirancang untuk diagnostik gangguan jiwa yang spesifik.

Daftar pertanyaan SRQ yang ditanyakan ke responden yaitu : 1) Apakah anda sering menderita sakit kepala ?

2) Apakah anda tidak nafsu makan ? 3) Apakah anda sulit tidur ?

4) Apakah anda mudah takut ?

(18)

7) Apakah pencernaan anda terganggu/buruk ? 8) Apakah anda sulit untuk berpikir jernih ? 9) Apakah anda merasa tidak bahagia ? 10) Akah anda lebih sering menangis ?

11) Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari ? 12) Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan ?

13) Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu ?

14) Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup ?

15) Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal ? 16) Apakah anda merasa tidak berharga ?

17) Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakiri hidup ? 18) Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu ?

19) Apakah anda mengalami rasa tidak enak di perut ? 20) Apakah anda mudah lelah ?

2.4.3 Faktor Risiko yang Berhungan dengan Gangguan Mental Emoasional pada Lansia

a. Faktor sosial demografi 1. Umur

Resiko gangguan mental emosional pada pasien sesudah berusia 50 tahun lebih disebabkan faktor bilogis yan gmungkin disebabkan perubahan pada sistem syarat pusat. Hal ini yang memungkinkan menyebabkan terjadinya depresi (Koenig dan Blazer, 2003 dalam Suyoko, 2012 ). Menurut penelitian umur lansia yang berusia diatas 70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental emosional (Marini, 2008 dalam Suyoko, 2012).

2. Jenis kelamin

(19)

suatu masalah wanita cenderung menggunakan perasaan (Marini, 2008 dalam Suyoko, 2012).

3. Status perkawinan

Gangguan mental emosional lebih banyak terjadi pada lanjut usia yang hidup sendiri baik karena bercerai atau memang tidak menikah. Riset yang dilakukan Andrianne Frech, (2002) ahli sesiologi dari Universitas Ohio, AS. Orang yang bercerai, pisah, janda/duda atau belum kawin cenderung beresiko tinggi melakukan bunuh diri dibanding yang sudah kawin (Suyoko, 2012).

4. Tingkat pendidikan

Pendidikan yang semakin tinggi dapat menghasilkan keadaan sosial ekonomi yang makin baik dan kemandirian yang semakin mantap. Dari penelitian Boedhi Darmojo tahun 1992 di Semarang didapatkan bahwa tingkat pendidikan seorang lanjut usia berbanding positif langsung dengan tingkat kesehatan (Darmojo, 2004 dalam Suyoko, 2012)

Pendidikan rendah dihubungkan dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya demensia adan terjadinya depresi pada penelitian-penelitian sebelumya didapatkan bahwa depresi lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia dengan pendidikan rendah yakni < 9tahun sekolah.

5. Status pekerjaan

Pada umumnya setelah memasuki lansia, ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotor meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, seperti gerakan, tindakan, dan koordinasi, yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto, 2009 dalam Suyoko, 2012).

Pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara orang0orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher, 2009 dalam Suyoko, 2012).

(20)

dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari yang panjang. Bbebrapa lansia tidak termotivasi untuk mempertahankan penampilan mereka ketika mereka tidak atau hanya sedikit melakukan kontak dengan orang lain dirumahnya (Stanley, 2006 dalam Suyoko, 2012).

Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang yang telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja, sehingga individu harus membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga kehilangan struktur pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi sosial dan interpersonal yan gterjadi pada lingkungan kerja juga telah hilang. Sebagai penyesuaian, lansia harus menyusun jadwal yang bermakna dxan jaringan sosial pendukung (Potter, 2009 dalam Suyoko, 2012).

6. Status sosial ekonomi

Ketika seseorang sakit maka tidak akan berdampak buruk pada seseorang yang berpenghasilan tetapi bagi yan gtidak berpenghasilan dapat menimbulkan goncangan ekonomi sehingga menimbulkan stress atau gangguan mental (Depkes, 2004 dalam Suyoko, 2012)

Menurut beberapa penelitian tingkat sosial ekonomi juga berperan dalam menentukan gangguan emosional, semakin tinggi tingkat sumber ekonomi keluarga semakin tinggi stabilitas dan kebahagiaan keluarga. Apabila status ekonomi pada tahap yang rendah dan kebutuhan dasar saja tidak dapat terpenuhi maka hal ini akan menimbulkan konflik didalam keluarga yang menyebabkan gangguan mental emosional (Murti, 2004 dalam Suyoko, 2012).

b. Menderita penyakit kronis

(21)

Satu faktor risiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit (kronis), hal ini juga sesuai model medis menurut Meyeret.all yang dijelaskan bahwa perubahan perilaku dalam gangguan mental emosional disebabkan oleh penyakit biologis perilaku yang menyimpang berhubungan denga toleransi responden terhadap stress (Struat, 2000 dalam Suyoko, 2012)

Penykit kronik adalah penyakit tidak menular dan menular yang diderita berlangsung lama, beberapa penykit tisak menular beresiko menyebabkan gangguan mental adalah hipertensi, gangguan sendi dan diabetes mellitus (DM).

Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan ya berbeda. Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia. Namun secara umum seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada untuk sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Hipertensi pada usia lanjut mempunyi komplikasi yang lebih besar daripada hipertensi pada kelompok lain. Penurunan fungsi kognitif dan demensia serta stroke banyak dijumpa pada hipertensi kronik (Parsudi, 2009 dalam Suyoko, 2012).

Diabetes melitus termasuk gangguan metabolik (metabolik syndrome) dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita DM tidak mampu memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakannya secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula di dalam tubuh (Anies, 2006 dalam Suyoko, 2012).

Menurut American Diabetes Association/WHO DM diklasifikasikan 4 macam : a) DM Tipe I

Disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi auto imun. Pada tipe ini hormon insulin tidak diproduksi. Kerusakan sel beta tersebut terjadi sejak anak-anak maupun dewasa. Penderita harus mendapat suntikan insulin setiap hari selama hidupnya sehingga dikenal dengan istilah Insulin Dependen Diabetees Melitus (IDDM). DM Tipe I cenderung diderita orang yang berusia kurang dari 20 tahun.

b) DM Tipe II

(22)

ini menyebabkan glukosa tidak dapat masuk kedalam sel insulin, walaupun telah tersedia. Kondisi ini disebakan oleh obesitas, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang olahraga, faktor keturunan. DM Tipe II ini biasanya terjadi pada mereka yang telah berusia 40 tahun meskipun saat ini prevalensinya pada remaja dan anak-anak semakin tinggi.

c) DM Tipe III

Disebabkan kelainan genetik spesifik, penyakit pankreas, gangguan endokrin lain, efek obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus dan lain-lain. d) DM Kehamilan

DM yang terjadi pada saat hamil

Patofifiologid Diabetes Melitus pada lansia sampai saat ini belum jelas atau dapat dikatakan belum seluruhnya diketahui. Selain faktor intrinsik, ekstrinsik seperti menurunnya ukuran massa tubuh dan naiknya lemaktubuh mengakibatkan kecenderungan timbulnya penurunan aksi insulin pada jaringna sasaran sehingga akan berdampak juga pada sistem kesehatan hormonal (Rochmah, 2006).

Berdasarkan penelitian Roserhermianti (2008) penderita penyakit kronis DM 2, 295 kali lebih banyak mengalami gangguan mental emosional dibandingkan tidak mengalami penyakit kronis DM.

Wanita dengan DM akan lebih mengalami depresi dbandingkan dengan laki-laki. Keika seseorang didiagnosis DM orang tersebut akan shock sehingga perasaan seperti penyangkalan, rasa bersalah, kesedihan dan kecemasan bahkan untuk beberapa orang yang tidak bisa menerima akan timbul depresi atau gangguan kecemasan.

Gangguan sendi adalah penyakit radang kronis yang menyerang persendian dan mengganggu fungsi persendian. Diagnosa sakit persendian ditegakkan berdasarkan kumpulan gejala-gejala sebagai berikut:

1) Sakit nyeri, kaku-kaku/pembengkakan yang timbul disekitar persendian lengan, tangan, tungkai dan kaki serta berlangsung selama sebulan atau lebih.

(23)

3) Kaku-kaku berlangsung lebih dari 30 menit

4) Kaku-kaku tidak hilang jika sendi tidak dihilangkan

Gangguan sendi pada lanjut usia menurut Susenas 2004 prevalen sakit persendian pada perempuanlebih tinggi daripada laki-laki.

Dua pertiga orang dengan gangguan sendi arthritis mengatakan bahwa kondisi mempengaruhi secara emosional. Bnayak orang dengan radang sendi takut oleh dampak arthritis pada kehidupan mereka sehari-hari dan kehidupan masa depan. Orang dengan nyeri persisten lebih mungkin akan mengalami depresi atau kecemasan 2x dari pada yang hidup tanpa rasa nyeri.

Memiliki arthritis dapa tberakibat pada bilangnya kemerdakan harga diri, kemampuan untuk bekerja dan melanjutkan kegiatan sosial atau rekreasi.

c. Penggunaan obat/pengguna obat dan alkohol

Berdasarkan penelitian Hawari (1990) menunjukkan bahwa responden dengan penyalahgunaan obat memiliki risiko gangguan mental (kecemasan) sebesar 13,8 kali dan depresi sebesar 18,8 kali. Etiologi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol adalah genetika dan psikososial yang meliputi : status sosial ekonomi dan riwayat kesulitan sekolah (Suyoko, 2012).

d. Kemandirian fisik

Kemandirian pada lanjut usia dinilai dari kemampuannya untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Activities of Daily Life=ADL). Apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi , dan lain sebagainya. Sehingga jika terdapat faktor kehilangan fisik yang mengakibatkan hilangnya kemandirian akhirnya akan meningkatkan keretanan terhadap depresi (Soejono, 2006 dalam Suyoko, 2012).

e. Religi

Tingkat spiritualitas/religiusitas terbukti besar berpengaruh terhadap kesehatan jiwa. Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap lanjut usia menyimpulkan antara lain (Larson, 2000 dalam Suyoko, 2012) :

(24)

2) Lanjut usia yang non religius kurang tabah dan kurang mampu mengatasi stress dibandingkan usia yan greligius sehingga lebih sering mengalami gangguan jiwa.

f. Dukungan Sosial

Adanya dukungan sosial yang tinggi dilaporkan dapat melindungi diri dari kejadian depresi pada lajut usi. Dukungan pekerjaan kurang penting dibandingkan persamaan (usia, hobi), tingkat kepercayaan diri, mempunyai pasangan hidup dan tingkat keakraban, kejadian kehidupan yang menyedihkan mungkin mempercepat depresi/gangguan mental (Goldberg, 2007 dalam Suyoko, 2012).

g. Status Gizi

Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan memepengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi pada lansia. Beberapa penelitian yan gdilaksanakan menunjukkan bahwa masalah gizi berlebih dan kegemukan yan gmemicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, DM, batu empedu, rematik, ginjal dan kanker (Maryam, 2008 dalam Suyoko, 2012).

Status gizi adalah keadaan dimana yang dapat memberikan petunjuk apakah seseorang menderita kurang gizi, baik atau lebih. Status gizi seseorang dapat diketahui salah satunya dengan cara antropometri. Ukuran antropometri untuk usia dewasa digunaakan indeks massa tubuh (IMT) atau Body Mass Index (Depkes, 1990 dalam Suyoko, 2012).

Klasifikasi IMT menurut WHO (2004): 1) Kurus : <18,5

2) Normal : 18,5-24,9 3) Gemuk : ≥ 25-29,9 4) Sangat gemuk : ≥30

(25)

responden masuk dalam kategori obesitas, sekitar 22% dari mereka mengalami gangguan mood (seperti depresi dan rasa cemas berlebihan) dibandingkan 18% responden yang tidak mengalami obesitas.

h. Riwayat Gangguan Jiwa (skozoprenia)

Faktor keturunan yang mempengaruhi kesehatan seseorang dimana kasusu tertentu seperti retardasi mental. Berdasarkan teori neurologi keseluruhan ataupun yang diperolehnya kemudian disebutkan dapat berperan dalam kemungkinan terjadinya gangguan depresi (Maramis, 2009 dalam Suyoko, 2012).

2.4.4 Contoh Kasus Gangguan Mental Emosional pada Lansia

a. Distribusi Lansia yang mengalami gangguan mentala emosional di DKI Jakarta Gangguan mental emosional pada lansia disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor sosial demografi, status gizi, adanya penyakit kronis, kemandirian fisik. Dari hasil penelitian Riskesdas tahun 2007 di provinsi DKI Jakarta didapatkan responden lansia sebanyak 1080 orang. Distribusi lansia yang mengalami gangguan mental emosional dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Gangguan Mental Emosional Jumlah (Orang) Presentase (%)

Tidak 858 78,9

Ya 230 21,1

[image:25.595.122.492.438.499.2]

Total 1088 100

Tabel 1.1 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan data Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari 1088 reponden yang diteliti, yang mengalami gangguan mental emosional sebanyak 230 responden (21,1%) dan yang tidak mengalami gangguan mental emosional sebanyak 858 responden (78,9%) (Suyoko, 2012).

b. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan faktor sosial demografi

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan faktor sosial demografi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

(26)

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan umur dapt dilihat pada tabel dibawah ini :

Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Presentase (%)

60-69 119 51,7

≥ 70 111 48,3

[image:26.595.128.486.147.205.2]

Total 230 100

Tabel 1.2 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Umur Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.2 responden gangguan mental emosional yang berumur 60-69 tahun sebanyak 119 responden (51,7%) dan yang berumur ≥70 tahun sebanyak 111 responden (48,3%) (Suyoko, 2012).

2) Jenis Kelamin

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Presentase (%)

Perempuan 146 63,5

Laki-laki 84 36,5

[image:26.595.123.494.412.477.2]

Total 230 100

Tabel 1.3 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan Tabel 1.3 responden gangguan mental emosional yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 146 responden (63,5%) dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 84 responden (36,5%) (Suyoko, 2012).

3) Tingkat pendidikan

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tingkat pendidikan Jumlah (Orang) Presentase (%)

Rendah 174 75,7

Sedang 50 21,7

Tinggi 6 2,6

(27)
[image:27.595.131.480.312.371.2]

Tabel 1.4 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Tingkat Pendidikan Data Riskades Tahun 2007 di DKI

Jakarta

Berdasarkan tabel 1.4 responden gangguan mental emosional yang berpendidikan rendah sebanyak 174 responden (75,7%), yang berpendiikan sedang sebanyak 50 responden (21,7%) dan yang bependidikan tinggi sebanyak 6 responden (2,6%) (Suyoko, 2012).

4) Pekerjaan

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Pekerjaan Jumlah (Orang) Presentase (%)

Tidak bekerja 161 70

Bekerja 69 30

Total 230 100

Tabel 1.4 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Pekerjaan Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.4 responden gangguan mental emosional yang tidak bekerja sebanyak 161 responden (70%) dan yang bekerja sebanyak 69 responden (30%) (Suyoko, 2012).

5) Status Ekonomi

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status ekonomi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Status Ekonomi Jumlah (Orang) Presentase (%)

Rendah 140 60,9

Tinggi 90 31,1

[image:27.595.138.478.577.637.2]

Total 230 100

Tabel 1.5 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Status Ekonomi Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

(28)

mempunyai status ekonomi tinggi sebanyak 90 responden (39,1%) (Suyoko, 2012).

6) Status dalam keluarga

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status dalam keluarga dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Status dalam keluarga Jumlah (Orang) Presentase (%)

Anggota keluarga 101 43,9

Kepala keluarga 129 56,1

Total 230 100

Tabel 1.6 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan status dalam keluarga Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.6 responden gangguan mental emosional yang baerstatus anggota keluarga sebanyak 101 responden (43,9%) dan yang baerstatus kepala keluarga sebanyak 129 responden (56,1%) (Suyoko, 2012).

7) Status perkawinan

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status perkawinan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Status perkawinan Jumlah (Orang) Presentase (%)

Cerai 109 47,4

Tidak Kawin 0

Kawin 121 52,6

[image:28.595.129.511.210.302.2]

Total 230 100

Tabel 1.7 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Status perkawinan Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

[image:28.595.132.481.496.576.2]
(29)

c. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan faktor menderita penyakit kronis

1) Diabetes Mellitus (DM)

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan menderita DM dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Menderita DM Jumlah (Orang) Presentase (%)

Ya 31 13,5

Tidak 199 86,5

[image:29.595.136.484.209.271.2]

Total 230 100

Tabel 1.9 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan menderita DM data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.9 responden gangguan mental emosional yang menderita DM sebanyak 31 responden (13,5%) dan yang tidak menderita sebanyak 199 responden (86,5%) (Suyoko, 2012).

2) Hipertensi

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan menderita DM dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Menderita Hipertensi Jumlah (Orang) Presentase (%)

Ya 97 42,2

Tidak 133 56,8

Total 230 100

Tabel 1.10 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan menderita Hipertensi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.10 responden gangguan mental emosional yang menderita Hipertensi sebanyak 97 responden (42,2%) dan yang tidak menderita sebanyak 133 responden (56,8%) (Suyoko, 2012).

3) Gangguan sendi

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan menderita DM dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

[image:29.595.129.487.475.537.2]
(30)

Ya 103 44,8

Tidak 127 55,2

[image:30.595.127.494.85.136.2]

Total 230 100

Tabel 1.11 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan menderita Gangguan Sendi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.11 responden gangguan mental emosional yang menderita Gangguan Sendi sebanyak 103 responden (44,8%) dan yang tidak menderita sebanyak 127 responden (55,2%) (Suyoko, 2012).

d. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan status gizi

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Status Gizi Jumlah (Orang) Presentase (%)

Gemuk 68 12,6

Kurus 40 17,4

Normal 122 44,8

[image:30.595.130.487.336.414.2]

Total 230 100

Tabel 1.12 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan status gizi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.12 responden gangguan mental emosionial yang mempunyai status gizi gemuk sebanyak 68 responden (12,6%) yang berstatus gizi kurus sebanyak 40 responden (17,4%) dan yang berstatus gizi normal sebanyak 122 responden (44,8%) (Suyoko, 2012).

e. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan kemandirian fisik Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan kemandirian fisik dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Kemandirian fisik Jumlah (Orang) Presentase (%)

Tidak mandiri 67 29,1

mandiri 163 70,9

Total 230 100

[image:30.595.137.482.636.693.2]
(31)

Berdasarkan tabel 1.13 responden gangguan mental emosional yang tidak mandiri sebanyak 67 responden (29,1%) dan yang mandiri sebanyak 163 responden (70,9%) (Suyoko, 2012).

2.4.2 Deviasi a. Pengertian

Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat (Ika, 2011).

Definisi-definisi penyimpangan sosial: a. James W. Van Der Zanden:

Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.

b. Robert M. Z. Lawang:

Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.

c. Lemert (1951):

Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk: 1). Penyimpangan Primer (Primary Deviation)

Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: Menunggak iuran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu lintas dan ngebut di jalanan.

(32)

Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat.

Contohnya: Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.

Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.

c. Jenis Deviasi

1. Penyimpangan Individual (Individual Deviation)

Penyimpangan individual merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang yang berupa pelanggaran terhadap norma-norma suatu kebudayaan yang telah mapan. Penyimpangan ini disebabkan oleh kelainan jiwa seseorang atau karena perilaku yang jahat/tindak kriminalitas. Penyimpangan yang bersifat individual sesuai dengan kadar penyimpangannyadapat dibagi menjadi beberapa hal, antara lain (Ika, 2011):

1) Tidak patuh nasihat orang tua agar mengubah pendirian yang kurang baik, penyimpangannya disebut pembandel.

2) Tidak taat kepada peringatan orang-orang yang berwenang di lingkungannya, penyimpangannya disebut pembangkang.

3) Melanggar norma-norma umum yang berlaku, penyimpangannya disebut pelanggar.

(33)

Kategori Penyimpangan Individual

Kategori tindak penyimpangan individual antara lain sebagai berikut : 1) Penyalahgunaan narkoba

Merupakan bentuk penyelewengan terhadap nilai, norma sosial dan agama. Contoh pemakaian obat terlarang/narkoba antara lain:

a) Narkotika (candu, ganja, putau)

b) Psikotropika (ectassy, magadon, amphetamin) c) Alkoholisme.

2) Proses sosialisasi yang tidak sempurna.

Apabila seseorang dalam kehidupannya mengalami sosialisasi yang tidak sempurna, maka akan muncul penyimpangan pada perilakunya. Contohnya: seseorang menjadi pencuri karena terbentuk oleh lingkungannya yang banyak melakukan tidak ketidakjujuran, pelanggaran, pencurian dan sebagainya.

3) Pelacuran

Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan menyerahkan diri kepada umum untuk dapat melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Pelacuran lebih disebabkan oleh tidak masaknya jiwa seseorang atau pola kepribadiannya yang tidak seimbang. Contoh: seseorang menjadi pelacur karena mengalami masalah (ekonomi, dan keluarga.)

4) Penyimpangan seksual

Adalah perilaku seksual yang tidak lazim dilakukan seseorang. Beberapa jenis penyimpangan seksual:

a) Lesbianisme dan Homosexual b) Sodomi

c) Transvestitisme d) Sadisme

(34)

Tindakan yang bertentangan dengan norma hukum, sosial dan agama. Yang termasuk ke dalam tindak kriminal antara lain: pencurian, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan.

6) Gaya hidup

Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup yang lain dari perilaku umum atau biasanya. Penyimpangan ini antara lain:

a) Sikap arogansi

Kesombongan terhadap sesuatu yang dimilikinya seperti kepandaian, kekuasaan, kekayaan dsb.

b) Sikap eksentrik

Perbuatan yang menyimpang dari biasanya, sehingga dianggap aneh, misalnya laki-laki beranting di telinga, rambut gondrong dsb.

b. Penyimpangan Kolektif (Group Deviation)

Penyimpangan kolektif yaitu: penyimpangan yang dilakukan secara bersama- sama atau secara berkelompok. Penyimpangan ini dilakukan oleh sekelompok orang yang beraksi secara bersama-sama (kolektif). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan/teman. Kesatuan dan persatuan dalam kelompok dapat memaksa seseorang ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya.

Penyimpangan yang dilakukan secara kelompok/kolektif antara lain: 1. Kenakalan remaja

Remaja memiliki keinginan membuktikan keberanian dalam melakukan hal-hal yang dianggap bergengsi, sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan menyerempet bahaya, misalnya kebut-kebutan dan membentuk geng-geng yang membuat onar.

2. Tawuran/perkelahian pelajar

(35)

nilai yang positif, melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer kekuatan/unjuk kemampuan.

3. Penyimpangan kebudayaan

Ketidakmampuan menyerap norma-norma kebudayaan kedalam kepribadian masing-masing individu dalam kelompok maka dapat terjadi pelanggaran terhadap norma-norma budayanya. Contoh: tradisi yang mewajibkan mas kawin yang tinggi dalam masyarakat tradisional banyak ditentang karena tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman.

d. Dampak Deviasi

a) Dampak Penyimpangan Sosial Terhadap Diri Sendiri/ Individu

Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang (devian). Sebagai tolok ukur menyimpang atau tidaknya suatu perilaku ditentukan oleh norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat akan dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak. Akibat tidak diterimanya/ditolak perilaku individu yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, maka berdampaklah bagi si individu tersebut hal-hal sebagai berikut (Ika, 2011):

1) Terkucil

Umumnya dialami oleh pelaku penyimpangan individual, antara lain pelaku penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, tindak kejahatan/kriminal. Pengucilan kepada pelaku penyimpangan dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan supaya pelaku penyimpangan menyadari kesalahannya dan tindak penyimpangannya tidak menulari anggota masyarakat yang lain. Pengucilan dalam berbagai bidang, antara lain: hukum, adat/budaya dan agama. Pengucilan secara hukum, melalui penjara, kurungan, dsb. Pengucilan melalui agama, pada agama tertentu (contohnya: Katolik) ada hak-hak tertentu yang tidak boleh diterima oleh si pelaku penyimpangan, misalnya tidak boleh menerima sakramen tertentu bilamana seseorang melakukan tindakan penyimpangan (berdosa).

2) Terganggunya perkembangan jiwa

(36)

penyimpangan berat akan berdampak pada terganggunya perkembangan mental atau jiwanya, terlebih-lebih pada penyimpangan yang memang diakibatkan dan yang mempunyai sasaran pada jaringan otaknya, misalnya pada pelaku penyalahgunaan narkoba dan kelainan seksual.

3) Rasa bersalah

Sebagai manusia yang merupakan mahluk yang berakal budi, mustahil seorang pelaku tindak penyimpangan tidak pernah merasa malu, merasa bersalah bahkan merasa menyesal telah melanggar nilai-nilai dan norma masyarakatnya. Sekecil apapun rasa bersalah itu pasti akan muncul karena tindak penyimpangan tersebut telah merugikan orang lain, hilangnya harta benda bahkan nyawa.

b) Dampak Penyimpangan Sosial Terhadap Masyarakat/kelompok

Seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan supaya mendapatkan „teman . Lama-‟ kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan menjadi penyimpangan kelompok, akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan selain terhadap individu juga terhadap kelompok/masyarakat (Ika, 2011).

1) Kriminalitas

Tindak kejahatan, tindak kekerasan seorang kadangkala hasil penularan seorang individu lain, sehingga tindak kejahatan akan muncul berkelompok dalam masyarakat. Contoh: seorang residivis dalam penjara akan mendapatkan kawan sesama penjahat, sehingga sekeluarnya dari penjara akan membentuk kelompok penjahat, sehingga dalam masyarakat muncullah kriminalitas-kriminalitas baru.

2) Terganggunya keseimbangan sosial

Robert K. Merton mengemukakan teori yang menjelaskan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Karena masyarakat merupakan struktur sosial, maka tindak penyimpangan pasti akan berdampak terhadap masyarakat yang akan mengganggu keseimbangan sosialnya. Contoh: pemberontakan, pecandu obat bius, gelandangan, dan pemabuk.

3) Pudarnya nilai dan norma

(37)

masyarakat. Sehingga nilai dan norma menjadi pudar kewibawaannya untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat. Juga karena pengaruh globalisasi di bidang informasi dan hiburan memudahkan masuknya pengaruh asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia mampu memudarkan nilai dan norma, karena tindak penyimpangan sebagai aksesnya. Contoh; pengaruh film-film luar yang mempertontonkan tindak penyimpangan yang dianggap hal yang wajar di sana, akan mampu menimbulkan orang yang tidak percaya lagi pada nilai dan norma di Indonesia.

e. Upaya-upaya Mengantisipasi Deviasi/Penyimpangan

Antisipasi adalah usaha sadar yang berupa sikap, perilaku atau tindakan yang dilakukan seseorang melaui langkah-langkah tertentu untuk menghadapi peristiwa yang kemungkinan terjadi. Jadi sebelum tindak penyimpangan terjadi atau akan terjadi seseorang telah siap dengan berbagai perisai untuk menghadapinya (Ika, 2011).

Upaya mengantisipasi tersebut melalui: 1) Penanaman nilai dan norma yang kuat

Penanaman nilai dan norma pada seseorang individu melalui proses sosialisasi. Adapun tujuan proses sosialisasi antara lain sebagai berikut:

a) Pembentukan konsep diri b) Pengembangan keterampilan c) Pengendalian diri

d) Pelatihan komunikasi e) Pembiasaan aturan.

Melihat tujuan sosialisasi tersebut jelas ada penanaman nilai dan norma. Apabila tujuan sosialisasi tersebut terpenuhi pada seseorang individu dengan ideal, niscaya tindak penyimpangan tidak akan dilakukan oleh si individu tersebut. 2) Pelaksanaan Peraturan Yang Konsisten

(38)

Apa yang dimaksud dengan konsisten? Konsisten adalah: satu dan lainnya saling berhubungan dan tidak bertentangan atau apa yang disebut dengan ajeg.

3) Berkepribadian Kuat dan Teguh

Menurut Theodore M. Newcomb kepribadian adalah kebiasaan, sikap-sikap dan lain-lain, sifat yang khas yang dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain. Seseorang disebut berkepribadian, apabila seseorang tersebut siap memberi jawaban dan tanggapan (positif) atas suatu keadaan. Apabila seseorang berkepribadian teguh ia akan mempunyai sikap yang melatarbelakangi semua tindakannya. Dengan demikian ia akan mempunyai pola pikir, pola perilaku, pola interaksi yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakatnya.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

3.1.1 3.1.2

3.1.3 Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan kesehatan fisik. Keterkaitan antara kesehatan fisik dan kesehatan mental inilah mengakibatkan apabila salah satu dari komponen tersebut sakit, komponen yang lain juga mengalami dampak yang ditimbulkan / disfungsi.

(39)

Daftar pustaka:

Husain, Fida’.2011.Konsep Sehat-Sakit (Laporan Diskusi) (Online) (http://Konsep-sehatsakit-fida’husain-undip.html), diakses pada 10 Januari 2015.

Ika, 2011. Perilaku Menyimpang. (Online)

(http://ikaribajuwanita.files.wordpress.com/2011/05/perilaku-menyimpang.pdf ), diakses tanggal 11 Januari 2015.

Notoatmodjo, Soekidjo.2003.Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan.Jakarta.Rineka Cipta

Rahim Ali, Arsyad.2008.Staff Dinas Kesehatan Polewali Mandar (online) (http://www.Arali.wordpress.html), diakses pada 10 Januari 2015.

Suyoko. 2012. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan Mental Emosional pada Lansia di DKI Jakarta. (Online ), (http://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&url=

(40)

Gambar

Tabel 1.1 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Data
Tabel 1.2 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Umur
Tabel 1.4 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Tabel  1.6  Distribusi  Gangguan  Mental  Emosional  pada  Lansia
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengawali belajar Aljabar Linear dan Matriks perlu diingat kembali pengertian dari vektor serta matriks, macam-macam vektor serta matriks kemudian melakukan

Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan (eskternalisasi, objektivasi, dan internalisasi) serta masalah

Dari segi perbandingan gred A dan gred C bagi kursus bahasa Mandarin Asas l sebelum dan selepas menggunakan e-Kosa Kata di empat buah fakulti yang dikaji, terdapat

karena jaringan tulang sekunder terdiri dari ikatan paralel kolagen yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. • Ciri khasnya :

This research was aimed to investigate the effect of perceived service quality on patients’ satisfaction and loyalty, a s well as the important aspect of service quality

Sebanyak kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari gangguan katup, gagal jantung, perikarditis (radang

This study aimed to identify the characteristics of termites, termite morphometry, the spatial distribution of nests and soil physico-chemical conditions of the rubber

PT. Dayana Cipta Manado merupakan perusahaan konstruksi yang memiliki masalah dalam mengolah data, khususnya pada bagian penerimaan pelaporan, dimana barang yang diambil