BOKS PEKDA
Mengurai Benang Kusut Rendahnya LDR Maluku :
Ekspansi Kredit vs Skala Ekonomi
Sistem perbankan Maluku dalam beberapa tahun terakhir ini selalu menuai kritik terkait dengan rendahnya LDR. Pada
akhir Triwulan I-2009 LDR perbankan Maluku tercatat sebesar 51,09% yang relatif rendah jika dibandingkan berbagai daerah lain yang stabil di atas 80%. Rendahnya LDR ini kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar
lainnya, yaitu apakah masih terdapat potensi ekonomi yang belum tergarap secara maksimal atau kah memang skala ekonomi di Maluku yang tidak mampu menyerap potensi kredit perbankan?
Jika menilik pertumbuhan kredit perbankan maluku selama tiga tahun kebelakang, terlihat bahwa kredit tumbuh rata-rata 32,47% per tahun. Pertumbuhan kredit yang di atas rata-rata pertumbuhan kredit nasional ini menunjukkan bahwa perbankan Maluku sebenarnya telah cukup ekspansif dalam menyalurkan kredit.
Sayangnya, pertumbuhan kredit yang cukup ekspansif tersebut banyak didominasi oleh kredit konsumsi yang lebih memiliki efek jangka pendek bagi pertumbuhan ekonomi. Dilain sisi, pertumbuhan kredit investasi masih didominasi oleh investasi pada proyek-proyek pemerintah. Sedangkan investasi lainnya masih berupa investasi berskala mikro kecil yang nilainya tidak cukup signifikan. Kredit modal kerja yang nilainya cukup menjanjikan pun masih terkonsentrasi pada sektor perdagangan sehingga tidak mempunyai efek jangka panjang yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi Maluku.
BOKS PEKDA
memadai. Bahkan dapat dikatakan bahwa Maluku sangat tergantung dari pasokan luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Satu-satunya sub sektor yang diharapkan mampu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Maluku adalah sub sektor perikanan. Sayangnya, produksi perikanan Maluku pun saat ini mengalami penurunan yang cukup tajam. Masalah birokrasi, regulasi
dan ketidakpastian hukum ditengarai menjadi penyebab utama turunnya produksi ikan tangkap di wilayah Maluku. Meskipun permintaan ikan dari Maluku saat ini masih relatif stabil, jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi justru berkurang secara cukup signifikan. Beberapa pengusaha perikanan mengindikasikan adanya ketakutan terkait masalah hukum yang dapat menjerat mereka.
Alternatif lain pengembangan ekonomi Maluku adalah melalui
pengembangan berbagai industri pengolahan, khususnya pengolahan komoditas hasil alam Maluku. Untuk pengembangan ini, berbagai instansi terkait bekerja sama dengan Bank Indonesia dan lembaga internasional lain telah bertindak cukup aktif. Sayangnya, upaya pengembangan sektor riil ini banyak yang terhenti ditengah jalan. Kendala utama pengembangan industri ini adalah luas pasar Maluku yang relatif kecil. Untuk dapat berkembang dengan baik, hasil industri harus mampu dijual ke luar daerah. Sayangnya, biaya produksi di Maluku relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya produk di wilayah lain di Indonesia. Ditambah biaya transportasi untuk memasarkan ke berbagai daerah, maka hasil industri di Maluku menjadi sulit bersaing dengan hasil produksi sejenis di daerah lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skala ekonomi Maluku memang masih terlalu kecil, sehingga perbankan Maluku pun menjadi harus mampu bermain di pasar yang terbatas tersebut. Konsep trade follow the bank pun rasanya masih belum mampu
diemban oleh perbankan Maluku. Di wilayah ini rupanya konsep bank follow the trade