KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
DI LOKASI COREMAP II
Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat
Kabupaten Bintan
HASIL BME
Oleh:
HANING ROMDIATI
ENIARTI DJOHAN
CRITC-LIPI
2009
COREMAP-LIPIKATA PENGANTAR
elaksanaan COREMAP fase II bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, dilindungi dan dikelola secara berkesinambungan yang sekaligus juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan peningkatan tutupan karang merupakan indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Sementara indikator dari aspek sosial ekonomi adalah peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun dan peningkatan kesejahteraan bagi sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.
P
Untuk melihat keberhasilan tersebut perlu dilakukan penelitian benefit monitoring evaluation (BME) baik aspek ekologi maupun sosial-ekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk memonitor kesehatan karang, sedangkan BME sosial-ekonomi dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosial-ekonomi bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan, untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Hasil BME sosial-ekonomi ini dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun tingkat lokasi.
Buku ini merupakan hasil dari kajian BME sosial-ekonomi (T1) yang dilakukan pada tahun 2009 di lokasi-lokasi COREMAP di Indonesia Bagian Barat. BME sosial-ekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI
bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari Puslit lain di lingkungan kedeputian IPSK - LIPI.
Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku ini melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan — LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti untuk melakukan studi ini. Kepada para informan yang terdiri atas masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang di Kecamatan Gunung Kijang, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, CRITC Kabupaten Bintan, dan berbagai pihak yang telah membantu memberikan data dan informasi.
Jakarta, Desember 2009
Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI
RANGKUMAN
esa Gunung Kijang dan Malang Rapat mempunyai potensi sumber daya laut yang cukup besar. Selain ikan bilis dan kepiting (ketam), beragam jenis ikan karang maupun pelagis terdapat di perairan desa ini. Tingginya potensi SDL tersebut dimanfaatkan oleh kebanyakan penduduk, terutama yang tinggal di wilayah pesisir sebagai sumber mata pencaharian utama. Pada umumnya nelayan menggunakan teknologi penangkapan yang masih sederhana, seperti pompong dengan ukuran mesin kecil berkisar antara 12-17 PK, sebagian di antaranya memiliki perahu motor dengan mesin 21 PK. Dalam dua tahun terakhir terjadi perubahan pemilikan dan penguasaan armada tangkap, misalnya yang sebelumnya hanya meminjam pada tauke pada saat ini sudah memiliki perahu motor sendiri. Pada umumnya nelayan juga menggunakan alat-alat tangkap sederhana dan cenderung tidak merusak terumbu karang, seperti pancing, jaring apung, kelong, dan bagan apung.
D
Selama pelaksaan COREMAP II yang dilatarbelakangi oleh nuansa otonomi daerah dan pengalihan tanggung jawab pelaksana program nasional tersebut, sejumlah kendala/persoalan dihadapi, disamping juga telah menunjukkan keberhasilan. Persoalan koordinasi dan keterbatasan sumberdaya manusia menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan kegiatan COREMAP. Masalah koordinasi nampak dari tidak hadirnya koordinator komponen pada pertemuan antar komponen yang hanya dilakukan dua kali selama tahun 2009. Kehadiran dalam pertemuan yang hanya diwakilkan pada anggota yang tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan. Persoalan koordinasi juga terlihat dari jarangnya pertemuan antara anggota dalam satu komponen sehingga berdampak terhadap rendahnya pemahaman anggota komponen terkait dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) dalam melakukan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui
COREMAP II. Sementara itu, persoalan keterbatasan sumber daya manusia tampak dari adanya jabatan rangkap yang dimiliki oleh semua koordinator komponen maupun Ketua PIU, bahkan beberapa di antaranya memiliki lebih dari dua jabatan, baik jabatan struktural maupun proyek. Keadaan ini berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan COREMAP yang tidak optimal, terlebih konflik kepentingan hampir dipastikan terjadi, yaitu dalam memilih untuk mendahulukan kegiatan COREMAP atau pekerjaan lain yang menjadi tanggung jawabnya, namun pada umumnya kegiatan COREMAP yang cenderung dikesampingkan.
Selama melakukan kegiatannya lebih dari dua tahun, COREMAP Kabupaten Bintan telah menunjukkan berbagai capaian positif dalam upaya meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dan tingkat kesadaran akan pentingnya pengelolaan terumbu karang. CBM dengan fokus kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif mendapat respon positif dari masyarakat dan tampaknya telah menunjukkan keberhasilan pada beberapa pokmas. Oleh karena itu, mudah dimengerti jika capaian program ini lebih dari 80 persen. Disamping telah dapat memberikan manfaat ekonomi, kegiatan dari komponen CBM telah dapat memberikan pelajaran bagi masyarakat tentang berbisnis dan bekerja secara berkelompok. Sementara itu, kegiatan komponen penyadaran masyarakat (PA) dan CRITC nampaknya telah berdampak terhadap meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. Selain memberikan pengetahuan pada anak-anak sekolah, upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan dan terumbu karang juga dilakukan dengan penyediaan MCK, sarana air bersih, dan tong sampah di lingkungan permukiman penduduk di lokasi program. Untuk menjaga keberlanjutan kegiatan yang telah diimplementasikan, maka program penyadaran pengelolaan sumber daya laut untuk anak-anak telah diusulkan kepada Dinas Pendidikan untuk memasukkannya dalam kurikulum sekolah (Mulok). Seperti kegiatan komponen PA, kegiatan komponen CRITC berjalan cukup baik dan telah berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat terkait dengan upaya pelestarian
dan pengelolaan terumbu karang. Selain melakukan pemantauan kesehatan karang yang dilakukan oleh anggota komponen CRITC, komponen ini juga mengajak masyarakat untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Selain itu, CRITC juga melakukan berbagai jenis pelatihan dan kajian evaluasi program yang telah dilakukan sebagai dasar untuk menyusun program ke depan.
Di tingkat lokasi program, yaitu di Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat, pelaksanaan kegiatan COREMAP nampak adanya berbagai indikasi keberhasilan, meskipun juga dijumpai beberapa kendala. Kegiatan COREMAP II yang telah dilakukan di Desa Gunung Kijang hanya terkonsentrasi di satu dusun. LPSTK dan tiga pokmas (jender, produksi dan pengawasan) telah melakukan kegiatan, walaupun pokmas jender baru ada satu kelompok. Terkonsentrasinya kegiatan COREMAP hanya dalam satu kampung telah menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat dari kampung lain. Kegiatan COREMAP yang terlihat sangat menonjol di lokasi program adalah pengembangan MPA dengan melibatkan sejumlah dana bantuan yang dikelola pokmas di kampung tersebut. Kegiatan dan bantuan dana ini merupakan penyebab utama kecemburuan sosial karena mungkin mereka belum mengetahui bahwa kegiatan COREMAP memang hanya dilakukan di wilayah yang sebagian besar penduduknya menggantungkan kehidupannya pada laut. Kurangnya sosialisai tentang COREMAP terkait dengan tujuan dan sasaran program di kampung lain yang masyarakatnya tidak menggantungkan pada kehidupan di laut tampaknya perlu dilakukan, terlebih jika mereka masih tinggal dalam satu wilayah administrasi desa.
Berkaitan dengan kegiatan pokmas, beberapa perempuan/ jender dan produksi (seperti KJT ikan kerapu hitam dan ketam bakau) yang baru menjalankan usaha kurang dari satu tahun telah mendapat penghasilan dari hasil usahanya, walaupun tidak besar. Disamping mendapat tambahan pendapatan, anggota pokmas juga mendapat tambahan ketrampilan usaha tentang pengelolaan usaha bersama. Pokmas KJT ikan kerapu maupun ketam bakau mendapat tambahan
ketrampilan tentang usaha budidaya/pembesaran SDL. Sementara itu, pokmas perempuan, khususnya di Desa Malang Rapat yang sudah terbiasa bekerja berkelompok juga merasa mendapat tambahan ketrampilan untuk jenis usaha lain yang baru diperoleh pada saat pelatihan, misalnya pembuatan dodol rumput laut. Namun demikian, pokmas-pokmas tersebut juga menghadapi kendala. Pokmas jender/perempuan pada umumnya menghadapi kendala pemasaran, mungkin karena produksi masih terbatas dalam jumlah dan kualitas. Persoalan pemasaran seperti itu tidak dihadapi oleh pokmas produksi dengan jenis usaha KJT ikan kerapu dan ketam bakau karena ’pasar’ untuk dua jenis SDL ini sudah jelas (sudah ada yang menampung), tetapi pokmas ini menghadapi kendala dalam perawatan karamba yang memerlukan modal tidak sedikit, padahal tidak ada lagi bantuan dari COREMAP. Kendala perawatan peralatan juga dihadapi olek Pokmaswas karena kelompok ini belum mengelola sarana yang dimiliki untuk usaha yang dapat mendatangkan uang, sementara pihak COREMAP tidak menyediakan biaya perawatan. Namun kendala tersebut tampaknya tidak menganggu kegiatan pengawasan DPL, antara lain karena adanya bantuan masyarakat dalam kegiatan pengawasan secara sukarela.
Pelaksanaan COREMAP II di lokasi kajian bukan hanya mendatangkan manfaat ekonomi bagi sebagian anggota masyarakat, tetapi juga telah meningkatkan pengetahuan dan partisipasi mereka dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Sebagian besar masyarakat telah mengetahu manfaat COREMAP untuk penyelamatan, perlindungan dan pelestarian SDL. Mereka juga mengetahui kegiatan-kegiatan UEP COREMAP, tetapi keterlibatan masih rendah. Faktor penyebabnya antara lain karena pokmas yang mendapat bantuan modal usaha masih dalam jumlah sedikit. Namun demikian, keterlibatan sebagian kecil anggota masyarakat tersebut tampaknya dapat menambah pendapatan rumah tangga, walaupun pendapatan terbesar mungkin masih berasal dari hasil usaha/pekerjaan utamanya.
Besar pendapatan rata-rata rumah tangga pada tahun 2009 sebesar Rp 1.822.908,- per bulan, meningkat sebesar 56,5 persen.
Kenaikan pendapatan ini menggambarkan meningkatnya kondisi kesejahteraan rumah tangga. Apalagi peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga juga diikuti dengan kenaikan pendapatan per kapita sebesar 53,0 persen. Perubahan pendapatan rumah tangga tersebut juga terjadi pada rumah tangga yang mendapat sumber penghasilan dari kegiatan kenelayanan. Kenaikan pendapatan dari kegiatan kenelayanan meningkat 59,7 persen, sedangkan kenaikan pendapatan per kapita mencapai 128,4 persen selama periode 2007-2009. Pesatnya kenaikan pendapatan per kapita menggambarkan bahwa anggota rumah tangga responden termasuk pada kategori penduduk tidak miskin, karena angka ini jauh melampuai angka kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 2006 yang hanya sebesar Rp 184.904, maupun di Kota Tanjung Pinang (Rp 295.409).
Kenaikan pendapatan tertinggi terjadi pada musim ombak lemah, yaitu sebesar 68,1 persen, sedangkan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan pada musim ombak kuat hanya 20,8 persen. Pada musim pancaroba, kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan sekitar 59,6 persen. Perbedaan perubahan pendapatan menurut musim tersebut berkaitan dengan kegiatan kenelayanan pada musim teduh yang dapat dilakukan dengan maksimal karena semua alat tangkap yang dipakai/dikuasai dapat digunakan secara maksimal dan keiatan melaut dapat dilakukan sepanjang hari/malam. Sementara pada musim ombak kuat, kegiatan melaut hanya dapat dilakukan sebentar dengan alat-alat tangkap yang terbatas pula.
Perubahan pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian, yaitu di Desa Gunung KIjang dan Malang Rapat dipengaruhi oleh faktor internal, eksternal dan struktural, yang saling terkait satu dengan yang lain. Dari tiga faktor tersebut, sulit diketahui dengan pasti faktor yang dominan dalam mempengaruhi perubahan pendapatan rumah tangga. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan pendapatan antara lain karena adanya peningkatan kapasitas penangkapan. Bertambahnya jumlah kelong bilis, perubahan status pemilikan perahu motor dari menguasai ke memiliki pada sebagian nelayan, dan peningkatan
pengetahuan tentang budidaya merupakan faktor internal yang diperkirakan memengaruhi perubahan pendapatan. Sementara itu, faktor kemudahan dalam pemasaran SDL merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga nelayan. Faktor struktural yang memperlihatkan kontribusi nyata terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga adalah kegiatan-kegiatan COREMAP, baik yang berkaitan dengan program pemberdayaan ekonomi maupun perlindungan dan pelestarian terumbu karang. Bantuan modal usaha untuk pokmas jender/perempuan dan produksi (UEP) telah dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga peserta program. Hasil survei menunjukkan, pendapatan rata-rata rumah tangga pokmas lebih besar (Rp1.390.350) dibanding dengan rumah tangga bukan pokmas (1.743.750). Namun demikian, jumlah peserta pokmas masih sangat terbatas, sehingga keberhasilan ini diharapkan juga disertai dengan upaya anggota pokmas untuk menggulirkan dana pada kelompok baru.
Implementasi COREMAP selama kira-kira dua tahun telah dapat memberikan manfaat ekonomi maupun memperkuat modal sosial, walaupun masih dalam kalangan yang terbatas. Namun demikian, konsistensi kegiatan program dan dukungan pengelolaan usaha pemberdayaan ekonomi perlu dilakukan, terutama terkait dengan peningkatan kualitas produksi dan pemasaran. Dukungan tenaga pendamping dalam pengelolaan usaha perlu ditingkatkan sehingga kegiatan UEP tidak hanya memberikan manfaat ekonomi pada kelompok tetapi juga dapat menggulirkan bantuan modal usaha kepada kelompok lain. Disamping itu, pengembangan mata pencaharian alternatif yang menekankan pada usaha budidaya dan pengolahan SDL di Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang tampaknya sesuai dengan potensi wilayah dan kemampuan sumberdaya manusia sehingga perlu dikembangkan pada kelompok nelayan yang lain.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
RANGKUMAN v
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan dan Metodologi 5
1.3. Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat: Kondisi
umum wilayah 7
BAB II PENGELOLAAN COREMAP 11 2.1. Pelaksanaan COREMAP: Permasalahan dan
Kendala 12 2.1.1. Program dan Kegiatan Tingkat
Kabupaten 12 2.1.2. Pelaksanaan COREMAP Tingkat Desa:
Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat 17 2.2. Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat Tentang
Kegiatan COREMAP 27
2.2.1. Pengetahuan Masyarakat 27 2.2.2. Partisipasi Masyarakat Pada Program
COREMAP 34
BAB III PERUBAHAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA 41 3.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan Per
3.2. Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan
Kenelayanan 46 3.3. Pendapatan Rumah Tangga Pokmas 55
3.4. Faktor Pengaruh Pendapatan Rumah Tangga 60 3.4.1. Perubahan Pendapatan Karena Faktor
Struktural: COREMAP dan Program
Lainnya 60 3.4.2. Perubahan Pendapatan Karena Faktor
Eksternal 65 3.4.3. Perubahan Pendapatan Karena Faktor
Internal 69
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 75
4.1. Kesimpulan 75
4.2. Rekomendasi 82
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Kegiatan COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan,
Tahun 2009 (%) 27
Tabel 2.2. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Pokmas COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan,
Tahun 2009 (%) 30
Tabel 2.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kegiatan Ekonomi COREMAP dan Sumber Informasi, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009
(%) 31 Tabel 2.4. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan
Tentang Jenis Usaha Ekonomi COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten
Bintan, Tahun 2009 (%) 34
Tabel 2.5. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Dalam Kegiatan COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 35 Tabel 2.6. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Dalam
Kelompok Masyarakat (Pokmas) COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten
Bintan, Tahun 2009 (%) 37
Tabel 2.7. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan dalam Kegiatan Ekonomi COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun
Tabel 2.8. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Pada Jenis Usaha Ekonomi Produktif COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten
Bintan, Tahun 2009 (%) 40
Tabel 3.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009
(Rupiah), N=99 42
Tabel 3.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009
(Rupiah) 48 Tabel 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan
Kenelayanan Menurut Musim, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Distribusi Responden Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007
dan 2009 (Rupiah), N = 99 44
Gambar 3.2a. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan, Musim Ombak Kuat, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 (N=64) dan 2009 (N=61) 52 Gambar 3.2b. Distribusi Persentase Rumah Tangga, Menurut
Kelompok Pendapatan Musim Pancaroba, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, 2007 (N=79)
dan 2009 (N=74) 52
Gambar 3.2c. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Musim Ombak Lemah, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Th 2007
(N=79) dan 2009 (N=71) 53
Gambar 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Pokmas dan Bukan Pokmas, Desa Malang Rapat dan Gunung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. L
ATARB
ELAKANGira-kira sebesar 14 persen dari terumbu karang dunia terdapat di Indonesia, namun sebagian telah mengalami kerusakan. Menurut data dari Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia atau Coral Reef Rehabilitation Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (COREMAP LIPI, 2006), hanya 6,83 persen dari 85.707 km2 terumbu karang yang ada di Indonesia berpredikat sangat baik (excellent).
Ekosistem terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan perusakan, baik karena proses alam1 maupun manusia.
Namun demikian, kerusakan akibat kegiatan manusia jauh lebih besar dibanding proses alam. Beberapa aktivitas manusia yang berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang antara lain kegiatan perikanan yang merusak (misalnya penggunaan bahan peledak, bahan peracun, bubu dan jaring dasar), polusi dari transportasi laut, pengembangan pariwisata pantai dan penggalian batu karang untuk bahan bangunan, penggalian pasir laut, lemahnya penegakkan hukum tentang penggunaan sumber daya alam, serta rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ekosistem terumbu karang.
Kehidupan penduduk di wilayah pesisir dan kepulauan pada umumnya memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya laut (SDL). Kondisi ini telah berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang. Di Indonesia, kerusakan terumbu karang karena
1
Bleaching coral, blooming predator bintang laut dan mahkota berduri, bencana alam (seperti tsunami), merupakan beberapa faktor alam yang dapat menyebabkan
penangkapan ikan secara berlebihan diperkirakan mencapai 64 persen dari luas keseluruhan (Sutanta, 2008). Dari kerusakan sebesar itu, kira-kira sebanyak 53 persen disumbang oleh kegiatan penangkapan ikan dengan metode merusak.
Kabupaten Bintan dengan tipologi wilayah kepulauan yang terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat, merupakan daerah yang kaya akan ekosistem terumbu karang. Kabupaten yang luas wilayah perairannya mencapai 98,49 persen memiliki kawasan terumbu karang kira-kira seluas 7.521,8 km² (data interpretasi citra Landsat ETM, April 2000, seperti disetir oleh CRITC-COREMAP, 2005). Menurut hasil penelitian tim studi ekologi-LIPI tahun 2007, kondisi terumbu karang di Kabupaten Bintan berada dalam kondisi “buruk” hingga “baik”, yaitu terlihat dari perentase tutupan karang hidup yang berkisar antara 11,73 persen — 58,1 persen. Kondisi terumbu karang di wilayah ini sedikit mengalami perbaikan, diindikasikan oleh meningkatnya persentase tutupan karang hidup. Data tahun 2008 menunjukkan, persentase tutupan karang-hidup pada umumnya berkisar antara 34 persen dan 73 persen, yang berarti bahwa kondisi terumbu karang di wilayah ini dapat dikategorikan dalam kondisi ”sedang” hingga ”baik”. Kondisi terumbu karang dengan tren yang membaik kemungkinan juga terjadi di perairan Kecamatan Gunung Kijang, salah satu kecamatan di Kabupaten Bintan, yang juga menjadi lokasi COREMAP II.
Program nasional tentang rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP) telah dilakukan di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau sejak tahun 2006. Proyek COREMAP yang telah memasuki fase II secara umum bertujuan melindungi, merehabilitasi, dan melestarikan terumbu karang, yang sekaligus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Rincian tujuan COREMAP adalah (i) meningkatkan kapasitas nasional dan lokal untuk mengelola sumber daya terumbu karang; dan (ii) merehabilitasi dan mengelola secara efektif ekosistem terumbu karang yang diprioritaskan, sehingga menaikkan tingkat pendapatan dan memperbaiki standar hidup
masyarakat pesisir yang miskin. COREMAP terdiri dari 2 komponen utama, (i) penguatan kelembagaan dan pengelolaan proyek, dan (ii) pengelolaan dan pengembangan sumberdaya berbasis masyarakat2.
Komponen COREMAP yang berupa pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat dilakukan dengan menggabungkan aspek tehnis pengelolaan dan aspek-aspek sosial, ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Melalui pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) dalam Proyek COREMAP, maka masyarakat pesisir, termasuk perempuan, diharapkan mempunyai akses yang lebih luas terhadap sumberdaya yang kemudian didorong untuk mandiri dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya (Indar, 2007). Selama ini dapat ditengarai bahwa kerusakan terumbu karang antara lain karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kegunaan/fungsi terumbu karang, disamping karena faktor kemiskinan. Penyebab lain adalah akibat ketamakan dari sebagian orang yang melakukan eksploitasi terumbu karang yang berlebihan. Selain itu, kebijakan dan strategi pengelolaan yang tidak jelas serta kelemahan kerangka perundang-undangan dan penegakan hukum bagi perusak terumbu karang juga memperparah kerusakan terumbu karang. Dengan demikian, pengelolaan PBM melalui COREMAP II diharapkan dapat mengatasi meluasnya kerusakan terumbu karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Empat desa di Kecamatan Gunung Kijang dipilih sebagai lokasi Proyek COREMAP II, dua diantaranya menjadi lokasi studi data dasar aspek sosial ekonomi terumbu karang (T0) tahun 2007 dan kajian BME (T1) tahun 2009, yaitu Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat.
2
Komponen COREMAP yang pertama terdiri dari (a) penguatan lembaga-lembaga pusat dan daerah dalam hal kebijakan, strategi dan rumusan panduan, dan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat; (b) pembentukan dan penguatan jaringan Pusat-Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang (CRITC = Coral Reef Information and Training Centers); (c) pengembangan dan peningkatan sumberdaya manusia (HRD); dan (d) bantuan pengelolaan Proyek. Komponen kedua termasuk (a) pemberdayaan masyarakat, (b) pengelolaan sumberdaya masyarakat, (c) layanan sosial kemasyarakatan dan pengembangan prasarana, serta (d) peningkatan mata pencarian dan pendapatan masyarakat.
Ditetapkannya dua desa tersebut sebagai lokasi COREMAP II, yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB), antara lain karena ekosistem terumbu karangnya telah mengalami kerusakan, sedangkan kebanyakan penduduknya menggantungkan kehidupannya pada SDL. Dengan demikian, kegiatan COREMAP diharapkan dapat berkonstribusi dalam upaya menghindarkan adanya kegiatan-kegiatan pengrusakan lingkungan yang dapat mengganggu kehidupan ekonomi nelayan di kawasan tersebut pada masa datang.
Berbagai kegiatan terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat pesisir yang secara langsung dan tidak langsung bergantung pada pengelolaan ekosistem terumbu karang sudah dan sedang dilaksanakan di Desa Gunung Kijang maupun Desa Malang Rapat. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: (1) peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian terumbu karang, (2) perlindungan dan pengawasan daerah pesisir dan laut, (3) usaha ekonomi masyarakat, (4) pelatihan dan pendampingan, (5) pembuatan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang.
Kegiatan-kegiatan yang belum genap satu tahun berjalan tersebut perlu dimonitor dan dievaluasi guna melihat pencapaian program. Beberapa indikator keberhasilan telah ditentukan oleh lembaga donor (yaitu Asian Development Bank-ADB) guna memudahkan dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Dalam jangka panjang, kegiatan evaluasi juga dimaksudkan untuk menilai apakah program yang dilaksanakan telah sesuai dengan yang direncanakan. Dengan demikian, kegiatan studi BME dapat memberikan masukan kepada pengelola program agar dapat dengan segera mengambil tindakan untuk merespon permasalahan yang dihadapi, sehingga program dapat berjalan sesuai dengan arah dan tujuan semula.
1.2.
T
UJUAN DANM
ETODOLOGITujuan survei “Benefit Monitoring Evaluation” Aspek Sosial-Ekonomi” COREMAP adalah untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi, khususnya tingkat pendapatan dan faktor-faktor yang berpengaruh, yang merupakan indikator untuk memantau dampak COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Tujuan rinci dari studi BME adalah:
1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah
2. Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai COREMAP
3. Menggambarkan perubahan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.
Lokasi studi BME adalah dua desa di Kecamatan Gunung Kijang, yang juga menjadi lokasi kajian Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang pada tahun 2007, yaitu Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sejak tahun 2006, dua desa ini ditetapkan menjadi lokasi kegiatan COREMAP.
Seperti halnya dengan pemilihan lokasi kajian, rumah tangga sampel juga dipilih pada rumah tangga yang menjadi target survei pada tahun 20063. Namun demikian, beberapa rumah tangga sampel harus
diganti dengan alasan tidak dapat ditemui selama kegiatan survei berlangsung. Pemilihan rumah tangga pengganti diupayakan mempunyai kemiripan karakteristik sosial-ekonomi dengan rumah tangga yang digantikan.
Pengumpulan data BME aspek sosial-ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data primer melalui kegiatan
3
survei, sedangkan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai isu terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, serta pelaksanaan kegiatan COREMAP.
Pendekatan kuantitatif ditujukan untuk memperoleh data di tingkat rumah tangga dengan melakukan survei terhadap rumah tangga terpilih. Pelaksanaan survei dibantu oleh tujuh (7) orang pewawancara4. Data yang diperoleh dari survei adalah data rumah tangga dan individu. Data rumah tangga ditanyakan kepada kepala rumah tangga (KRT) atau ART dewasa yang mengetahui tentang kehidupan rumah tangga bersangkutan. Data individu diperoleh dari ART berusia > 15 tahun yang dipilih dengan cara acak insidental/kebetulan (pada saat dilakukan survei ada di tempat). Data rumah tangga mencakup pendapatan dan pemilikan aset rumah tangga. Data/informasi pada tingkat individu yang dikumpulkan meliputi pengetahuan dan partisipasi ART terpilih (responden) dalam kegiatan COREMAP, pengetahuan dan keterlibatan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi dalam COREMAP, serta dampak COREMAP terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Data yang dikumpulkan melalui pendekatan kualitatif adalah data/informasi yang tidak diperoleh dari kegiatan survei, sehingga dapat saling melengkapi dengan data kuantitatif. Informasi yang dikumpulkan dengan pendekatan kualitatif meliputi berbagai aspek terkait dengan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang dan sumber daya laut, produksi dan pemasaran SDL, lokasi dan wilayah penangkapan, kondisi daerah, dan degradasi lingkungan. Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam, diskusi terfokus (FGD) dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan di tingkat lokasi/desa dan kabupaten. Informan di tingkat desa adalah
4
Sebelum melakukan survey, pewawancara dilatih terlebih dahulu agar memiliki pemahaman tentang maksud dan tujuan pengumpulan data, serta materi pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Selanjutnya, kuesioner yang telah diisi oleh pewawancara diperiksa oleh tim peneliti untuk melihat kelengkapan data dan konsistensi jawaban.
nelayan, ketua dan anggota Pokmas, tenaga pendamping, dan pemuka masyarakat (formal maupun informal), anggota masyarakat lain yang diperkirakan mengetahui tentang pengelolaan terumbu karang. Informan di tingkat kabupaten melibatkan koordinator/anggota komponen COREMAP Kabupaten Bintan ADB wilayah Bintan dan Batam. FGD dilakukan di tingkat kabupaten pada pengelola COREMAP. Observasi lapangan hanya dilakukan di tingkat desa, yaitu untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman tentang keadaan lokasi penelitian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang.
1.3. D
ESAG
UNUNGK
IJANG DANM
ALANGR
APAT:
K
ONDISI UMUM WILAYAHDesa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Sebagian besar bentuk wilayah Desa Gunung Kijang merupakan daratan dengan sebagian wilayahnya berupa pesisir. Wilayah pesisir terletak cukup jauh dari jalan utama desa dengan kondisi jalan masih berupa jalan tanah yang baru sebagian diperkeras. Belum tersedia pelayanan transportasi umum. Ini berbeda dengan Desa Malang Rapat yang sebagian wilayahnya terletak memanjang di jalur jalan utama dan sudah ada pelayanan transportasi umum satu kali per hari, tetapi sebagian besar rumah tangga memiliki motor. Kondisi aksesibilitas geografis dan jaringan jalan yang berbeda di dua lokasi penelitian tersebut dapat berpengaruh terhadap capaian kegiatan COREMAP, khususnya kegiatan yang berhubungan dengan upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Masyarakat di dua desa tersebut mengenal empat musim angin, yaitu musim utara (Desember-Maret), Timur (April-Juli), Selatan (Agustus-Oktober), dan Barat (November-Desember). Namun demikian, musim angin pada akhir-akhir ini terjadi tidak teratur lagi. Misalnya, pada musim angin teduh (musim timur) terkadang muncul angin ribut yang mestinya terjadi pada musim pancaroba (musim barat). Namun
demikian, ”perubahan” musim angin tersebut belum mengganggu kegiatan kenelayanan.
Potensi sumber daya alam yang terdapat di Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat meliputi sumber daya darat dan laut. Potensi sumber daya alam darat berupa bahan galian pasir, sedang batu granit hanya terdapat di Desa Gunung Kijang yang dikelola oleh perusahaan swasta. Pemanfaatan bahan galian batu granit oleh masyarakat hanya dalam volume sangat sedikit dan berkualitas rendah, itupun diperoleh dengan cara membeli kepada perusahaan yang kemudian diolah menjadi pecahan-pecahan batu granit berukuran kecil. Kegiatan penambangan pasir dalam volume besar yang kemudian diekspor ke Singapura sudah berakhir kira-kira lebih dari setahun yang lalu, tetapi penggalian secara tradisional masih berlangsung. Di bidang pertanian, potensi perkebunan kelapa cenderung semakin menurun, akibat tidak adanya peremajaan tanaman kelapa, demikian pula areal lahan perkebunannya juga semakin sempit. Kondisi ini terutama terjadi di Desa Gunung Kijang, sedangkan usaha perkebunan kelapa di kawasan pesisir Desa Malang Rapat tampaknya masih potensial untuk dikembangkan, terlebih usaha kerajinan lidi dari pohon kelapa yang dilakukan oleh sebagian kaum ibu tampaknya memiliki prospek yang cukup baik. Selain pertambangan dan pertanian, sektor pariwisata bahari juga sangat potensial untuk dikembangkan, karena wilayah pesisir di Desa Malang Rapat cukup indah panoramanya. Di wilayah Desa Gunung Kijang juga dijumpai beberapa cottage/resort yang sebagian di antaranya dikelola oleh pengusaha asing (antara lain dari Singapore). Potensi sumber daya laut di wilayah perairan Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat meliputi hutan mangrove, terumbu karang dan berbagai sumber daya ikan. Meskipun demikian, luas hutan mangrove terus berkurang. Demikian pula, luas kawasan terumbu karang hidup makin sempit akibat kerusakan yang terus terjadi, terutama akibat aktivitas manusia, antara lain karena penggunaan bom dan jaring dasar. Hal ini antara lain terlihat dari ditemukannya patahan karang di daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat (CRITCS COREMAP Kabupaten Bintan, 2006).
Sarana-prasarana ekonomi di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang masih sangat terbatas, yaitu beberapa warung sederhana dan pedagang keliling pada waktu tertentu. Demikian pula sarana untuk kegiatan jual beli hasil kegiatan kenelayanan, seperti tempat pelelangan ikan (TPI), belum tersedia, bahkan juga di tingkat kecamatan. Hasil tangkapan ikan pada umumnya dijual pada pedagang pengumpul (tauke) atau penampung, atau langsung dijual ke Kawal, Kijang dan Tanjung Pinang. Sarana penunjang kegiatan kenelayanan yang tersedia di lokasi kajian adalah dermaga-dermaga kecil yang dipergunakan untuk menambat perahu nelayan dan mendaratkan ikan.
Jumlah penduduk Desa Gunung Kijang kira-kira 1.694 jiwa, atau 431 KK, yang terdiri dari 925 laki-laki dan 769 perempuan (RPTK Desa Gunung Kijang, 2008). Jumlah penduduk Desa Malang Rapat adalah 1.652 jiwa atau 476 KK yang meliputi laki-laki 899 jiwa dan perempuan 753 jiwa. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli merupakan proporsi terbesar (52,36 persen), selebihnya adalah etnis Jawa, Bugis, Flores, Buton, Minang, Batak, dan Tionghoa/Cina (RPTK Desa Malang Rapat, 2008).
Penduduk terbanyak adalah pendatang yang berasal dari berbagai daerah seperti Jawa, Flores dan Sulawesi. Persentase penduduk asli hanya sebesar 21,6 persen. Tiga jenis pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa Gunung Kijang adalah pekerja kasar atau buruh (23,9 persen), nelayan (20 persen) dan petani (19,5 persen) (RPTK Gunung Kijang 2005). Selebihnya bekerja di berbagai jenis pekerjaan, seperti pedagang, tenaga produksi pada industri rumah tangga, pegawai negeri sipil (PNS) dan lain-lain. Walaupun tidak tersedia data statistik, berdasarkan wawancara mendalam dengan perangkat desa dan masyarakat, serta observasi di lokasi kajian, kebanyakan penduduk Desa Malang Rapat bekerja pada lapangan pekerjaan kenelayanan dan pertanian. Sebagian lainnya bekerja di sektor-sektor perdagangan, jasa, industri pengolahan, dan penggalian (pasir). Lapangan pekerjaan penduduk di Desa Malang Rapat tampaknya lebih beragam dibandingkan dengan yang tersedia di Desa Gunung Kijang. Hal ini
karena Desa Malang Rapat terletak pada jalur jalan raya Kabupaten Bintan dan merupakan zona pengembangan pariwisata bahari di beberapa bagian wilayah pesisir desa ini. Hal ini membawa dampak positif terhadap perluasan kesempatan kerja bagi penduduk setempat.
BAB II
PENGELOLAAN COREMAP
alah satu tujuan program COREMAP II adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan, yaitu dengan memperhatikan kelestarian terumbu karang yang ada di kawasan perairan tempat tinggalnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kawasan Kabupaten Bintan yang merupakan salah satu daerah binaan COREMAP II telah mengimplementasikan berbagai program di beberapa lokasi terpilih, baik daerah pesisir maupun kepulauan. Implementasi COREMAP II ditujukan untuk masyarakat nelayan dan keluarganya yang diperkirakan mempunyai hubungan kuat dengan kehidupan sumber daya laut, khususnya ekosistem terumbu karang. Di Kawasan Kabupaten Bintan program ini dimulai tahun 2005, namun di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dimulai tahun 2006. Kegiatan yang telah dilaksanakan di Kawasan Gunung Kijang, antara lain adalah pembentukan LPSTK, pembentukan Pokmas, pengawasan terhadap daerah konservasi terumbu karang, pelatihan-pelatihan berkaitan dengan kegiatan Pokmas, dan beberapa kegiatan sesuai dengan RPTK desa di mana program COREMAP dilaksanakan.
S
Bagian ini terdiri dari dua sub-bab, yaitu: 1) pelaksanaan COREMAP di Kawasan Kabupaten Bintan; dan 2) pengetahuan dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan COREMAP. Pelaksanaan COREMAP di Kawasan Bintan tersebut dimulai dengan berbagai program COREMAP pada tingkat kabupaten dan dilanjutkan dengan program-program di tingkat desa. Sedangkan sub-bab keuda diawali dengan pembahasan mengenai pengetahuan masyarakat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan program COREMAP, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan partisipasi mereka terhadap program tersebut.
2.1. P
ELAKSANAANCOREMAP:
P
ERMASALAHAN DANK
ENDALA2.1.1. Program dan Kegiatan Tingkat Kabupaten
Program COREMAP di Kabupaten Bintan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Komponen COREMAP II yang berhubungan langsung untuk mengimplementasikan program ke masyarakat adalah CRITC (Coral Reef Information and Training Center), PBM/CBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat/Community Basic Management), MCS
(Monitoring, Controlling, and Surveillance) dan PA (Public Awarenees/penyadaran masyarakat). Semua komponen tersebut
dikoordinir PIU (Project Implementation Units) yang mengimplementasikan setiap program dengan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat, baik pada tingkat kabupaten sebagai pengelola maupun desa sebagai pelaksana program.
Pada awal program (tahun 2006) komponen-komponen tersebut di atas dibentuk ke dalam lingkup Komite Pengarah Daerah (KPD) yang membawahi Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Adanya pemekaran kecamatan dan mutasi dalam lingkup pemerintah Kabupaten Bintan, tahun 2009 terjadi perubahan dalam keanggotaan KPD. Pembentukan KPD dan Unit Pelaksana Proyek COREMAP II Kabupaten Bintan tahun anggaran 2009 berdasar SK Bupati Bintan No. 46/II/2009 yang diikuti dengan Renstra Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Bintan selama periode 2009-2014. Dalam SK tersebut tercantum bahwa Ketua KPD adalah Kepala BAPPEDA Kabupaten Bintan yang anggotanya terdiri dari tiga sekretaris daerah Kabupaten Bintan. Sementara itu, Unit Pelaksana Proyek/Project Implementation Units (UPP/PIU) dipimpin staf DKP Bintan yang dibantu oleh staf dari berbagai instansi dan camat terkait. Tugas KPD adalah memberi arah koordinasi antarlembaga terkait kepada UPP/PIU, Komite Pengarah Nasional (NSC), dan PMO di tingkat nasional.
Sejak tahun 2006, COREMAP II di Kabupaten Bintan diimplementasikan di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tambelan,
Kecamatan Bintan Pesisir dan Kecamatan Gunung Kijang. Program COREMAP di Bintan Timur, khususnya Desa Mapur, mulai disosialisasikan tahun 2004 dan seharusnya selesai tahun 2006. Namun beberapa program tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana dan pelaksanaannya tertunda karena adanya hambatan struktural. Perubahan pengelola COREMAP yang awalnya adalah BAPPEDA Kabupaten Kepulauan Riau, sejak tahun 2006 dikelola Dinas Kelautan dan Perikanan (Mujiani dkk. 2007:37-38). Khusus Kecamatan Gunung Kijang yang menjadi fokus kajian ini, perencanaan dan sosialisasi program dimulai tahun 2006, tetapi diimplementasikan pada tahun 2008.
Struktur pengelola COREMAP II Tingkat Kabupaten Bintan adalah Project Implementation Units (PIU)5 terdiri dari: 1) Tim Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia; 2) Tim Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat (CBM); 3) Tim Penyadaran Masyarakat (PA); 4) Tim Penegakan Hukum (MCS); dan 5) Tim Pelatihan dan Informasi Terumbu Karang (CRITC). Struktur organisasi setiap komponen terdiri dari koordinator yang membawahi anggota antara lima (5) hingga enam (6) orang yang didominasi oleh staf DKP. Instansi lain yang terlibat dalam struktur PIU, antara lain adalah Bappeda, Dinas Pertanian & Kehutanan, Dinas sosial, Dinas Pariwisata & Kebudayaan, camat terkait, dan LSM. Dalam pelaksanaan kegiatan, PIU secara khusus dibantu oleh tim konsultan agar program dapat berjalan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.
Dalam pengelolaan COREMAP, PIU bertindak sebagai penggerak pelaksanaan program agar dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip, kebijakan, prosedur, dan mekanisme COREMAP di lokasi program. Oleh karena itu, PIU mempunyai peran pokok dalam memfasilitasi proses perencanaan dan pelaksanaan program agar pelestarian SDL, khususnya terumbu karang dapat terlaksana sebagai salah satu tujuan proyek COREMAP di Indonesia. Dalam menjalankan
5
Untuk selanjutnya tulisan ini akan menggunakan singkatan Project Implementation Units (PIU) yang umum digunakan untuk proyek COREMAP
tugas dan fungsi tersebut di atas, PIU bertanggungjawab kepada Bupati Bintan. Tugas PIU tersebut adalah:
1. Melakukan implementasi aspek perencanaan dalam rangka memadukan perencanaan pembangunan kegiatan program COREMAP II Kabupaten Bintan dengan pembangunan daerah serta melakukan pemantapan perencanaan pembangunan yang ramah lingkungan secara berkesinambungan.
2. Melaksanakan survei (penelitian/kajian) dan pelatihan dalam rangka pembangunan program COREMAP II.
3. Melaksanakan pengendalian, pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan program COREMAP II.
4. Membuat laporan perkembangan secara berkala sesuai dengan tahapan perencanaan dan tahapan pengendalian, juga analisa terhadap program yang terkait dalam program COREMAP II Kabupaten Bintan.
Dalam jangka waktu sekitar lima tahun (2005- 2009) tim PIU Kabupaten Bintan telah beberapa kali mengalami perubahan, baik pada tingkat koordinator PIU maupun anggota, pada setiap komponen COREMAP. Perubahan ini terjadi umumnya karena anggota PIU mengalami mutasi dari satu instansi ke instansi lain atau daerah lain dan pemekaran wilayah. Dampak dari mutasi ini, apabila anggota pengganti belum atau tidak pernah terlibat dengan program COREMAP akan memulai dan menyesuaikan dari awal. Artinya, pengurus baru bisa saja membuat program baru namun fokusnya tidak atau kurang sesuai dengan tujuan COREMAP.
Selama pelaksanaan COREMAP II di Kabupaten Bintan, PIU telah melaksanakan semua kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi belum sesuai dengan harapan. Misalnya pertemuan rutin anggota pada tahun 2008 hanya dapat dilaksanakan dua kali sehingga perencanaan kegiatan, evaluasi dan monitoring sulit berjalan. Menurut seorang staf PIU, pertemuan rutin sebaiknya dilakukan satu kali dalam satu bulan dengan agenda presentasi kegiatan dan permasalahan
masing-masing komponen sehingga semua kegiatan pada arah yang sesuai dengan yang telah ditentukan. Tidak berjalannya pertemuan ini, antara lain disebabkan anggota PIU pada umumnya mempunyai jabatan rangkap. Mereka lebih mengutamakan tugas dan kegiatan di dinas/instansi masing-masing, sehingga COREMAP II cenderung dikesampingkan. Temuan ini menggambarkan, kesulitan dalam koordinasi antarsektor yang selanjutnya menghambat program dan kegiatan COREMAP. Pada umumnya, kehadiran dalam pertemuan antarkomponen diwakili oleh staf yang tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan. Di samping itu, bila pertemuan dilakukan lebih dari dua kali per tahun, dana yang dibutuhkan juga semakin besar karena biaya transportasi untuk peserta pertemuan yang bertambah. Kondisi ini sangat berdampak terhadap fungsi koordinasi PIU bersama keempat komponen COREMAP, yaitu Monitoring, Controlling and
Surveilance (MCS), Community Based Management (CBM), Public Awareness (PA), dan Coral Reef Information Training Center (CRITC),
yang akhirnya juga berdampak terhadap kurang efektifnya COREMAP di tingkat lokasi program.
Pemilihan koordinator setiap komponen disyaratkan oleh pengelola COREMAP agar dipilih pejabat eselon III dan sesuai dengan jenis kegiatan yang akan ditangai supaya kegiatan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Misalnya koordinator komponen penegakan hukum (MCS) dipilih dari Angkatan Laut karena diharapkan lebih mudah untuk memonitor, mengawasi, dan menjaga ekosistem sumber daya laut, termasuk terumbu karang, dari perilaku orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Namun pada kenyaannya, koordinator biasanya sangat sibuk dan lebih mendahulukan proyek/kegiatan yang ada di dinas mereka, sehingga perencanaan dan kegiatan COREMAP lebih banyak dilakukan oleh anggota yang pada umumnya staf dari DKP Kabupaten Bintan.
Koordinasi yang baik menghasilkan pelaksanaan program yang cukup baik pula. Hal ini terlihat dari kegiatan pada komponen CBM yang dapat terlaksana hingga 80 persen, dimana salah satu faktor
pendukungnya adalah koordinasi antara anggota komponen ini yang teratur. Di Kawasan Bintan, program CBM dimulai tahun 2007 yang diimplementasikan pada tahun 2008. Walaupun ada kegiatan yang tidak dapat dilakukan karena keterlambatan dana dan persoalan sengketa tanah, semua anggota komponen yang berasal dari satu instansi dan dibawah naungan koordinator yang berasal dari instansi sama, memudahkan komponen ini untuk segera mencari jalan keluar persoalan yang dihadapi. Keberhasilan komponen CBM dalam mengimplementasikan kegiatannya mendapat tanggapan positif baik dari penyandang dana maupun project manajement office (PMO) COREMAP Pusat, yaitu dengan dijadikannya Bintan sebagai pilot project budidaya kepiting bakau untuk wilayah Indonesia Barat. Penilain yang baik tersebut terkait dengan prinsip yang dipakai dalam pengembangan budidaya, yaitu memperhatikan kelestarian dan rehabilitasi lingkungan (CRITC COREMAP, 2009). Dari observasi peneliti di lokasi proyek diketahui bahwa pembuatan kandang dilakukan tanpa menebang pohon bakau yang jumlahnya sebanyak 5 buah dengan ukuran 5x12 meter.
Selain CBM, implementasi program komponen Public
Awareness (PA) juga cukup berhasil. Tujuan komponen ini adalah untuk
menyadarkan masyarakat akan adanya perubahan kebijakan dan keputusan yang lebih baik tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut. Keterlibatan masyarakat pada program ini diharapkan akan terjadi perubahan pengetahuan dan perilaku masyarakat, yaitu mereka yang tadinya merusak sumber daya laut menjadi berpartisipasi dalam mengelola dan melindungi terumbu karang dan biota lainnya. Program yang dilaksanakan antara lain adalah pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui perlombaan cerdas cermat di sekolah, pemilihan duta karang pada anak-anak, membangun MCK, membangun sarana air bersih, dan penyediaan tong sampah di lingkungan permukiman agar masyarakat tidak membuang sampat di laut. Pada tahun 2009, program pendidikan untuk anak-anak mulai dikurangi karena program lebih berfokus untuk komponen MPA. Untuk menjaga keberlanjutan kegiatan yang telah diimplementasikan, maka program penyadaran pengelolaan
sumber daya laut untuk anak-anak diusulkan masuk dalam bagian program pendidikan di Dinas Pendidikan (Mulok).
Program dan kegiatan dari komponen Coral Reef Information
Training Center (CRITC) ditujukan untuk memberi informasi dan
pelatihan berkaitan dengan ekositem SDL, termasuk terumbu karang. Kegiatan komponen ini berjalan cukup baik dan tidak banyak menghadapi permasalahan. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini pada umumnya sudah terprogram dari pengelola CORREMAP pusat, baik berkaitan dengan tempat maupun materi pelatihan. Jenis pelatihan pada umumnya dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan oleh masyarakat. Program pelatihan tersebut antara lain adalah pelatihan standarisasi pembukuan dari pusat, pelatihan pengembangan UKM untuk kelompok jender; pelatihan management keuangan, pelatihan pengawasan laut, dan pelatihan budidaya kepiting bakau dan ikan kerapu. Selain itu, komponen CRITC juga melakukan kajian evaluasi program yang telah dilakukan sebagai dasar untuk menyusun program ke depan.
2.1.2. Pelaksanaan COREMAP
Tingkat Desa: Desa Gunung
Kijang dan Malang Rapat
Keberhasilan COREMAP tidak hanya dipahami dari pengelolaan di tingkat pengelola kabupaten, tetapi juga implementasi di tingkat desa sebagai lokasi pelaksanaan program. Dalam waktu sekitar tiga tahun, implementasi program COREMAP di kawasan Kecamatan Gunung Kijang beberapa kegiatan telah terlaksana, baik kegiatan pokok yang berkaitan dengan komponen COREMAP maupun pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi sebagai pendukung kegiatan COREMAP. Pada saat kajian BME ini dilakukan, di Desa Gunung Kijang belum ada bangunan fisik COREMAP, sedangkan dermaga yang ada dibangun tahun 2007 oleh perusahaan tambang pasir yang ada di desa tersebut dengan dana kepedulian masyarakat (DKPM). Menurut rencana, pada tahun 2009 pengelola COREMAP Kabupaten Bintan akan mengucurkan dana untuk membangun pondok informasi di Desa Gunung Kijang. Sementara itu, pembangun fisik dari COREMAP telah dimulai sejak
tahun 2006, yaitu pembangunan dermaga di Kampung Kampe (tahun 2006), sarana promosi di Kampung Tanjung Keling (2008), demplot kepiting di Kampung Masiran (2008), dan sarana kebersihan di empat kampung lainnya (2008). Tahun ini (2009) sedang dibangun sarana memancing ikan sebagai salah satu program COREMAP untuk mendukung program daerah dalam pengembangan kawasan ini sebagai daerah wisata.
Pelaksanaan COREMAP di Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat dilakukan melalui berbagai tahap, yaitu dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan. Dalam implementasi program, strategi yang digunakan adalah melalui kelembagaan yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat setempat sesuai dengan komponen COREMAP. Ada dua kelembagaan pokok yang mendukung kegiatan COREMAP, yaitu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan Kelompok Masyarakat (Pokmas). Berikut ini akan dideskripsikan dan dikaji pelaksanaan berbagai kegiatan COREMAP di Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat, termasuk permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh lembaga-lembaga tersebut.
A. Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK)
Kegiatan COREMAP di Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat diawali dengan pembentukan Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK) yang dibentuk pada tahun 2007. Namun dana operasional untuk implementasi program baru diterima satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 2008. Pada saat lembaga ini dibentuk, baik di Desa Gunung Kijang maupun Desa Malang Rapat, kegiatan diawali dengan sosialisasi oleh pengelola COREMAP kabupaten kepada masyarakat yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat desa, fasilitator lapangan (FF), dan perangkat desa, dan nelayan.
Pengurus LPSTK dipilih dari masyarakat desa, khususnya yang memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan kenelayanan, karena lembaga ini diharapkan dapat memahami berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan dan mensukseskan program COREMAP dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketua LPSTK terpilih di Desa Gunung Kijang berasal dari Kampung Masiran yang bertipologi wialayh pesisir dan ada cukup banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Sementara itu, ketua LPSTK Desa Malang Rapat juga sebagai ketua nelayan di desa ini. Pemilihan ketua LPSTK tersebut dilakukan secara terbuka dan diketahui masyarakat desa yang digambarkan dari tingginya persentase responden (75 persen) yang mengetahui adanya pembentukan LPSTK. Meskipun demikian, mereka yang terlibat dalam pembentukan kepengurusan hanya sebanyak 33 persen (lihat Tabel 3.1 dan Tabel 3.5) karena pembentukan kelembagaan hanya mengundang perwakilan masyarakat per kampung, perangkat desa, dan fasilitator lapangan. Keanggotaan LPSTK yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara di Desa Malang Rapat berasal dari dusun yang berbeda-beda. Sementara itu, pengurus LPSTK di Desa Gunung Kijang berasal dari kampung yang sama karena COREMAP hanya diimplementasikan di kampung tersebut, yaitu Kampung Masiran. Kampung ini merupakan kampung di Desa Gunung Kijang yang memiliki wilayah pesisir dengan jumlah nelayan cukup banyak.
Kegiatan pengurus LPSTK diawali dengan pelatihan administrasi pembukuan keuangan dan managemen kelembagaan. Pengurus yang terlibat dalam pelatihan hanya dua orang, yaitu ketua dan bendahara. Kegiatan LPSTK lain adalah membentuk Pokmas yang akan mengimplementasikan program. Kelompok ini juga diikuti oleh pengurus LPSTK, karena yang terpenting terlibat adalah mereka yang dapat mengembangkan program untuk peningkatan kehidupan keluarga mereka. Pokmas-pokmas tersebut adalah pokmas perempuan atau
jender, pokmas UKM (produksi), dan pokmas konservasi yang akan
digambarkan pada bagian selanjutnya. Untuk mendukung program COREMAP tersebut, LPSTK menyusun beberapa agenda kerja. Misalnya, pengurus LPSTK Desa Gunung Kijang menyusun sejumlah agenda sebagai berikut:
≈ Menjadwalkan pertemuan antarkelompok secara rutin untuk membahas permasalahan kelompok. Pertemuan ini, selain
dihadiri pengurus dan anggota pokmas juga diundang perangkat desa dan fasilitator lapangan (FF).
≈ Pada saat pertemuan, LPSTK menerima laporan kelompok tentang kegiatan yang dilakukan.
≈ Mengatasi masalah kelompok.
≈ Melatih anggota pokmas setelah mereka menerima pelatihan dari COREMAP tingkat kabupaten sesuai dengan program yang dilaksanakan anggota tersebut.
≈ Membeli kebutuhan kelompok bersama ketua pokmas yang akan melaksanakan program.
≈ Menyerahkan laporan kegiatan tiga bulan sekali kepada COREMAP kabupaten.
Kepengurusan LPSTK telah berjalan sekitar tiga tahun. Selain menghadapi kendala, pengurus LPSTK juga menunjukkan capaian positif dalam melaksanakan kegiatan COREMAP. Hal ini sangat berkaitan dengan pengelola dan perhatian dari anggota LPSTK dalam mengelola program tersebut. Ada beberapa permasalahan yang harus disikapi oleh LPSTK dalam menjalankan program COREMAP di wilayahnya, antara lain berkaitan dengan aspek kecemburuan sosial dan rendahnya kepercayaan terhadap pelaksana/pengelola COREMAP di lokasi program (tingkat desa).
Tidak terlibatnya anggota masyarakat dari kampung lain yang bukan nelayan telah menimbulkan kecemburuan sosial di antara mereka. Pemahaman bahwa ada proyek yang masuk desa berupa ”bantuan dana” membuat mereka merasa juga harus dilibatkan dalam program. Mereka masih belum memahami bahwa COREMAP merupakan upaya untuk memelihara ekosistem laut, termasuk terumbu karang, yang salah satu kegiatannya adalah dengan memberi bantuan modal untuk kegiatan MPA yang tidak merusak terumbu karang. Dengan demikian, implementasi program/kegiatan difokuskan pada nelayan yang hanya terkonsentrasi di salah satu kampung (yaitu Kampung Masiran) di Desa Gunung Kijang. Sementara itu, penduduk di kampung lain yang
umumnya bekerja di sektor bukan perikanan tangkap tidak menjadi sasaran program, sehingga memunculkan kecemburuan sosial tersebut.
Rendahnya kepercayaan terhadap pengelola COREMAP di tingkat desa terjadi di Desa Malang Rapat. Permasalahan tersebut muncul karena faktor transparansi dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan, termasuk pendanaan. Persoalan tersebut bukan hanya dikemukakan oleh anggota masyarakat, tetapi juga oleh perangkat desa, bahkan juga anggota LPSTK maupun pokmas. Di tingkat internal pengurus LPSTK, kendala implementasi COREMAP adalah karena besar dana bantuan COREMAP yang tidak diinformasikan kepada semua pengurus. Akibatnya, muncul rasa curiga di antara pengurus LPSTK yang berdampak pada terhambatnya pelaksanaan kegiatan. Permasalahan ini terjadi di Desa Malang Rapat. Sementara itu, permasalahan antara pokmas dan anggota masyarakat lain dengan pengelola COREMAP di lokasi program dipicu oleh kurangnya sosialisasi tentang kegiatan COREMAP.
Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui bahwa implementasi COREMAP di desa mereka memberikan bantuan modal usaha kepada mereka dengan cara berkelompok. Terlebih ketua LPSTK, khususnya di Desa Malang Rapat, memberitahukan bahwa siapapun dapat mendapatkan bantuan dengan syarat membentuk kelopok dan mengajukan proposal kepada pengelola COREMAP. Tidak diinformasikan kepada masyarakat tentang proses dan mekanisme pengajuan proposal dan pemilihan proposal oleh COREMAP kabupaten. Akibatnya, cukup banyak proposal yang diajukan oleh kelompok masyarakat yang tidak diketahui oleh mereka tentang ”status” dari proposal tersebut. Hal ini berdampak pada rasa tidak percaya sebagian masyarakat kepada pengelola COREMAP di tingkat desa, bahkan juga kabupaten. Persoalan transparansi kegiatan dan pendanaan COREMAP juga dikemukakan oleh perangkat desa. Berdasar informasi dari beberapa perangkat desa diketahui, bahwa mereka tidak mengetahui dengan jelas tentang proses dan mekanisme pengelolaan kegiatan COREMAP. Hal ini terjadi karena pengelola COREMAP kabupaten
biasanya langsung berhubungan dengan pengurus LPSTK, sedangkan pengurus LPSTK pada umumnya tidak menginformasikan kegiatan COREMAP pada perangkat desa.
Permasalahan tersebut dapat mengakibatkan berkembangnya rasa kurang perduli terhadap LPSTK yang akhirnya akan memengaruhi kinerja kegiatan dan mengganggu kelancaran pelaksanaan COREMAP di Kawasan Gunung Kijang. Hal lain yang harus menjadi pemikiran pengurus adalah masuknya program-program lain yang juga bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat seperti PNPM dan BLT, namun prosedurnya lebih mudah sehingga masyarakat akan membanding-bandingkan antara program tersebut dengan program COREMAP.
B. Kelompok Masyarakat (Pokmas)
Dalam implementasi program COREMAP di tingkat desa, selain pembentukan LPSTK juga dibentuk beberapa kelompok masyarakat (Pokmas) yang melakukan kegiatan MPA seabagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyelamatan ekosistem sumber daya laut. Keberadaan Pokmas ini terutama untuk mendukung implementasi komponen PBM/CBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat/Community
Basic Management). Di dua desa kajian, telah terbentuk tiga Pokmas
yaitu Pokmas Jender, Pokmas Usaha Ekonomi Produktif (UEP), dan Pokmas Konservasi. Namun jumlah kegiatan dari masing-masing desa tidak sama. Misalnya, di Desa Gunung Kijang jumlah Pokmas lebih sedikit dibanding Desa Malang Rapat, karena kegiatan COREMAP di desa tersebut hanya diimplementasikan di satu kampung. Sementara itu, jumlah pokmas di Desa Malang Rapat lebih banyak karena pokmas telah terbentuk di semua kampung.
Pokmas jender di Desa Malang Rapat dibentuk pada tahun 2007 dengan nama Pokmas Kerang. Pada dasarnya, pembentukan Pokmas Jender bertujuan untuk meningkatkan peran ibu rumah tangga dalam kegiatan ekonomi yang dapat berkontribusi dalam menambah penghasilan rumah tangga. Di desa ini, anggota pokmas jender pada umumnya telah terbiasa berusaha dengan kelompok atau berorganisasi,
misalnya usaha pembuatan kue, keterlibatan di PKK desa atau kecamatan. Sejalan dengan berjalannya waktu, jumlah pokmas jender semakin bertambah dengan jumlah anggota yang berkisar antara 8-10 orang per kelompok. Kegiatan usaha pokmas jender di Desa Malang Rapat bervariasi. Pada saat ini, masih ada beberapa kelompok yang telah mengajukan proposal dan sedang menunggu untuk memperoleh modal usaha dari COREMAP. Menurut LPSTK, dana yang belum turun ke pokmas-pokmas antara lain karena belum ada keputusan dari pengelola COREMAP di tingkat kabupaten. Berbeda dengan pokmas jender di Desa Malang Rapat, di Desa Gunung Kijang hanya ada satu pokmas jender yang sudah menjalankan kegiatannya, sedang satu pokmas lainnya sedang dalam menunggu keputusan dari COREMAP Kabupaten Bintan. Jenis usaha yang akan dikembangkan sama dengan pokmas yang sudah berjalan, yaitu kerupuk ikan.
Struktur organisi kelompok terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota. Pada umumnya, ketua kelompok adalah penggagas berdirinya kelompok dan telah memulai usaha secara individu atau keluarga. Jadi pendirian kelompok dapat juga diartikan untuk lebih mengenalkan dan mengembangkan produksi, di samping dapat memperoleh dana dan bantuan lainnya. Salah satu tujuan utama yang diharapkan kelompok adalah peningkatan produksi dan pemasaran yang lebih luas, sehingga dengan terlibat dalam pokmas COREMAP harapan tersebut bisa terwujud. Hal ini karena COREMAP Kabupaten Bintan juga membantu dalam pemasaran produk, yang antara lain dilakukan dengan membantu mendaftarkan produk pokmas kepada Badan POM-Dinkes Kabupaten Bintan untuk mendapatkan lisensi. Pada saat kajian ini dilaksanakan baru ada satu pokmas yang sudah terdaftar pada badan tersebut.
Dalam menjalankan usahanya, pengurus pokmas jender juga diharuskan memahami permasalahan administrasi, khususnya keuangan. Hal ini karena pengurus diharuskan membuat laporan bulanan, menyusun RAB (Rencana Anggaran Belanja) dan mencatat pembelian kebutuhan kelompok. Laporan bulanan harus diserahkan ke COREMAP
kabupaten melalui LPSTK, termasuk foto copy pembelian barang. Untuk itu, pengurus diberi bekal dengan pelatihan berkaitan dengan keuangan dan managemen kelompok yang diselenggarakan di Tanjung Pinang. Selain pelatihan administrasi/pembukuan, pengurus dan anggota juga mengikuti pelatihan ketrampilan berkaitan dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan kelompok, misalnya pembuatan kerupuk, kue, dan dodol.
Pokmas UEP (biasa disebut dengan pokmas produksi) di Kawasan Gunung Kijang dibentuk satu tahun setelah LPSTK, yaitu tahun 2007, dan pada saat ini ada tiga kelompok. Sementara itu, pembentukan Pokmas UEP di Desa Malang Rapat baru dilakukan pada tahun 2009 sejumlah sembilan kelompok, tetapi baru tiga kelompok yang mendapatkan sebagian dana bantuan. Tiga pokmas tersebut sedang dalam proses mengembangkan usaha keramba jaring tancap (KJT), keramba jaring apung (KJA), dan wisata bahari. Sisanya (enam kelompok) sudah mengajukan proposal, namun beberapa di antaranya mengundurkan diri karena tidak sabar dan merasa dipersulit dalam proses pengesahan kelompok mereka. Persoalan ini mungkin karena kurangnya sosialisasi tentang tata cara dan mekanisme untuk mendapatkan dana bantuan COREMAP, sehingga kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa setelah kelompok terbentuk dan mengajukan proposal, maka dalam waktu yang tidak lama mereka akan mendapat bantuan dana. Padahal ada tahap-tahap yang harus dilalui hingga dana turun dan memerlukan waktu yang cukup lama. Di antara tiga pokmas ini, tampaknya Pokmas Wisata Bahari di Kampung Pulau Pucung merupakan andalan dari kegiatan UEP Desa Malang Rapat yang diharapkan tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Harapan ini muncul karena lokasi yang dipilih merupakan tempat memancing yang banyak dikunjungi pemancing/wisatawan pada hari minggu dan hari libur.
Pokmas UEP Desa Gunung Kijang telah melakukan kegiatan lebih dari satu tahun dan telah menunjukkan keberhasilan usaha. Jumlah pokmas UEP ada 3 kelompok yang kesemuanya mengusahakan KJT yang terdiri dari dua KJT ikan kerapu hitam, satu KJT ketam bakau.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran ketua LPSTK yang selalu menekankan, bahwa pokmas harus bisa mengelola KJT karena ke depan COREMAP akan menghentikan bantuan dan pokmas yang harus meneruskan pengelolaan KJT tersebut. Disamping itu, ketua LPSTK juga memperhatikan perkembangan usaha pokmas-pokmas dan memberikan arahan tentang pengelolaan usaha kepada anggota pokmas. Salah satu hal yang dilakukan adalah memberikan masukan tentang pembagian hasil pokmas KJT ikan kerapu hitam. Hasil panen KJT ikan kerapu dibagikan kepada anggota kira-kira sebesar 45 persen, sedangkan 55 persen untuk kebutuhan pengembangan usaha berikutnya. Rincian dari dana sebesar 55 persen tersebut digunakan untuk pembelian bibit, perawatan alat, kas kelompok, dan honor LPSTK yang besarnya 5 persen dari hasil panen. Rincian pembagian hasil tersebut telah dimusyawarahkan dalam pokmas.
Keberhasilan salah satu pokmas KJT tersebut juga tidak terlepas dari tingginya rasa tanggung jawab semua anggota pokmas untuk mengelola usaha dengan sunguh-sungguh. Dikemukakan oleh pengurus LPSTK dan anggota pokmas bahwa kegiatan usaha KJT telah mengurangi waktu untuk melaut. Mereka berkeyakinan, bahwa mengembangkan usaha KJT lebih jelas hasilnya dibanding yang wilayah tangkapnya semakin jauh dengan hasil yang tidak menentu. Motivasi mereka untuk melakukan usaha dengan sungguh-sungguh tampaknya semakin didorong oleh keberhasilan usaha KJT kerapu hitam yang telah memberikan manfaat ekonomi, walaupun dalam jumlah yang belum besar.
Selain pokmas (perempuan dan UEP/produksi), di dua lokasi survei BME juga telah dibentuk pokmas pengawasan (Pokmaswas). Pokmaswas dibentuk pada tahun 2007, masing-masing desa satu kelompok yang beranggotakan enam orang di Desa Malang Rapat dan lima orang di Desa Gunung Kijang. Kegiatan Pokmaswas adalah melakukan pengawasan daerah perlindungan laut (DPL) dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya laut dari berbagai ancaman, baik dari masyarakat luar maupun dalam desa. Sesuai dengan peran dan
fungsinya, anggota pokmaswas bertugas melakukan patroli dan pengawasan laut, menjaga kebersihan lingkungan laut dan pantai, serta melakukan penanaman pohon bakau. Kegiatan yang harus dilakukan Pokmaswas tersebut cukup berat, sehingga mereka dibekali dengan ketrampilan cara menegur dan menangani pelanggar, berkomunikasi dengan anggota MCS, menyelam dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, pelatihan belum belum diberikan pada semua anggota, tetapi hanya ketua Pokmaswas, LPSTK, dan motivator desa.
Untuk dapat melakukan kegiatan pengawasan laut, Pokmaswas dilengkapi dengan sarana-prasarana yang terdiri dari pompong atau boat 1 unit, mesin tempel 15 PK, HT, teropong, GPS atau mesin satelit, dan peta. Selain itu, Pokmaswas Desa Malang Rapat, pada tahun 2007/2008 juga mendapat bantuan dana operasional sebesar Rp 750.000 per tahun. Sementara itu, bantuan dana operasional untuk Desa Gunung Kijang tidak diterima Pokmaswas dalam bentuk uang tunai, tetapi berupa bensin 105 liter dan oli 5 liter. Tidak ada bantuan untuk pemeliharaan
boat (kapal patroli) sehingga jika ada kerusakan perahu, anggota
pokmaswas harus mengusahakan biaya sendiri. Setelah berjalan hampir dua tahun, kapal patroli sering tidak bisa dipakai karena telah mengalami beberapa kerusakan dan Pokmaswas maupun LPSTK mengalami kendala dana perawatan. Meskipun demikian, patroli laut masih dilakukan dengan frekuensi yang sangat terbatas, padahal sesuai aturan COREMAP harus dilakukan dua kali dalam seminggu. Menghadapi kendala ini, pengelola COREMAP desa minta kepada nelayan yang sebagian juga anggota pokmas untuk ikut mengawasi DPL.
Selama melakukan pengawasan, Pokmaswas pernah melakukan penangkapan satu kali pukat dari luas desa. Pelanggar kemudian dilaporkan kepada Angkatan Laut tetapi tidak tahu tindak lanjutnya. Namun setelah penangkapan tersebut sampai saat ini tidak pernah ada nelayan yang menganggu DPL. Sebelum ada COREMAP, pelanggar dari luar desa maupun dalam desa sering terjadi, tetapi tidak saling menegur karena tidak ada dasar dan tidak tahu harus lapor kemana.
2.2. P
ENGETAHUAN DANP
ARTISIPASIM
ASYARAKATT
ENTANGK
EGIATANCOREMAP
2.2.1. Pengetahuan Masyarakat
Survei Data Dasar Sosial Ekonomi yang dilakukan tahun 2007 (T0) (Nagib dkk., 2008:41-42) dan survei BME tahun 2009 (T1) menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang COREMAP, khususnya pengetahuan terkait dengan penyelamatan SDL. Pada tahun 2007, hanya ada sebanyak 49 persen responden yang mengetahui bahwa program COREMAP untuk penyelamatan SDL, sedangkan pada tahun 2009 tersebut sudah diketahui oleh sebanyak 81,8 persen. Peningkatan persentase responden yang mengetahui implementasi COREMAP untuk upaya penyelamatan SDL, khususnya terumbu karang, juga terlihat tingginya persentase responden yang mengetahui tentang berbagai manfaat dari kegiatan COREMAP di kawasan tersebut (lihat Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Kegiatan COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009, (%)
Kegiatan COREMAP Tahu Tidak
tahu
Jumlah (N=99)
Kegiatan penyelamatan terumbu karang 81,8 18,2 100,0 Peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya pelestarian terumbu karang
85,0 14,1 100,0 Kegiatan perlindungan/pengawasan pesisir dan
laut
80,8 19,2 100,0
Pembentukan LPSTK 74,7 25,3 100,0
Pelatihan dan atau pendampingan untuk UEP yang dilakukan oleh pengelola COREMAP
56,6 43,4 100,0
Pendampingan UEP 56,6 43,4 100,0
Penyusunan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang (RPTK)
67,0 33,0 100,0 Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang