• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KINERJA SIMPANG ENAM TEUKU UMAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KINERJA SIMPANG ENAM TEUKU UMAR."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KINE

NERJA SIMPANG ENAM TEUKU

TUGAS AKHIR

Oleh :

I Nyoman Alit Mertha Yasa

1104105059

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA

2015

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan manusia akan transportasi di Indonesia semakin meningkat terutama

di kota-kota besar, khususnya di Kota Denpasar. Kota Denpasar merupakan salah satu

tempat yang skala aktivitasnya tinggi, karena banyaknya aktivitas perkantoran,

pertokoan, pusat distribusi kebutuhan barang, dan pusat pemerintahan di Provinsi

Bali. Hal ini akan berdampak pada tingkat kenyamanan penggunaan transportasi,

dimana dengan berkembangnya aktivitas di Kota Denpasar yang besar maka semakin

tinggi kebutuhan masyarakat terhadap transportasi. Jumlah penduduk di Kota

Denpasar tahun 2012 mencapai 846.200 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2013). Jumlah

kendaraan bermotor di Kota Denpasar berdasarkan data 2012 mencapai 775.282

kend/tahun. Sedangkan panjang jalan di Kota Denpasar tahun 2012 adalah 656.52 km.

Kepemilikan kendaraan yang tinggi dengan kondisi jalan yang terbatas telah

menyebabkan kian meningkatnya kepadatan lalu lintas terutama pada masing-masing

jalan utama di Kota Denpasar, seperti misalnya Jalan Teuku Umar. Jalan Teuku Umar

merupakan jalan kolektor primer dimana tata guna lahannya sebagai pusat kuliner,

perkantoran, perdagangan dan jasa sehingga menimbulkan bangkitan perjalanan yang

tinggi. Kurangnya lahan parkir untuk para pengunjung di setiap pertokoan di

sepanjang Jalan Teuku Umar menyebabkan banyaknya para pengguna kendaraan

pribadi memarkir kendaraannya di badan jalan sehingga mengurangi kapasitas jalan.

Jalan Teuku Umar memiliki tiga simpang bersinyal, dua simpang tidak bersinyal, dan

satu simpang dengan bundaran yang memiliki enam kaki yaitu Jalan Teuku Umar

Utara, Jalan Teuku Umar Selatan, Jalan Pulau Tarakan, Jalan Pulau Kawe, Jalan Pulau

Misol, dan Jalan Nusa Kambangan.

Tingginya arus lalu lintas dari kaki-kaki simpang tersebut mengakibatkan

(3)

seperti penurunan kinerja simpang dan kemacetan yang mengganggu aktivitas

simpang, sudah selayaknya dilakukan upaya perbaikan kinerja simpang. Sehubungan

dengan hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisis kinerja Simpang Enam

Teuku Umar dan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan

untuk mengatasi masalah transportasi pada Simpang Enam Teuku Umar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah kinerja simpang enam di jalan Teuku Umar Denpasar saat

ini?

2. Bagaimanakah kinerja simpang enam di jalan Teuku Umar Denpasar apabila

dilakukan pengelolaan lalu lintas sistem satu arah pada kaki simpang yaitu

Jalan Pulau Tarakan dan Jalan Pulau Kawe?

3. Bagaimanakah perbandingan kinerja simpang enam di jalan Teuku Umar

Denpasar untuk kedua kondisi tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Ada pun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis kinerja Simpang Enam Teuku Umar saat ini.

2. Untuk menganalisis kinerja simpang enam di jalan Teuku Umar Denpasar

apabila dilakukan pengelolaan lalu lintas sistem satu arah pada kaki simpang

yaitu Jalan Pulau Tarakan dan Jalan Pulau Kawe.

3. Untuk menegetahui kinerja simpang enam di jalan Teuku Umar Denpasar

untuk kedua kondisi tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :

1. Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan di bidang lalu lintas

(4)

2. Penelitian di harapkan mampu memperkaya pengetahuan dan sebagai salah

satu referensi untuk mencari suatu solusi, apabila ada kasus yang sama pada

penelitian ini ditempat lain.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

perbandingan kinerja simpang saat ini dan setelah dilakukan sistem

penegelolaan lalu lintas satu arah sehingga dapat menjadi solusi untuk

mengatasi kemacetan.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variasi arus lalu lintas harian, bulanan dan tahunan dianggap tetap.

2. Tidak dilakukan survei hambatan samping, hambatan samping dperkirakan

berdasarkan kondisi tataguna lahan dan kondisi visual hambatan samping di

lapangan.

3. Penentuan volume lalu lintas jam puncak di simpang enam di jalan Teuku

Umar Denpasar berdasarkan volume jam puncak di ruas jalan Teuku Umar.

4. Perhitungan sirkulasi arus lalu lintas yang ditinjau yaitu dengan mengatur

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Persimpangan

Persimpangan adalah pertemuan antara dua jalan atau lebih, baik yang sebidang

maupun yang tidak sebidang atau titik jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan

lintasan kendaraan saling berpotongan. Persimpangan merupakan faktor yang penting

didalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan.

Persimpangan dapat dibagi atas dua jenis yaitu (Morlok, 1991):

1. Persimpangan sebidang (At Grade Intersection).

Yaitu pertemuan antara dua atau lebih jalan dalam satu bidang yang

mempunyai elevasi yang sama. Desain persimpangan sebidang ini berbentuk

huruf T, huruf Y, persimpangan empat kaki, serta persimpangan berkaki

banyak.

2. Persimpangan tak sebidang (Interchange).

Yaitu suatu persimpangan dimana jalan yang satu dengan yang lainya tidak

saling bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara

keduanya.

Pengaturan persimpangan dilihat dari segi kontrol kendaraannya dapat dibedakan

menjadi dua (Alamsyah, 2005) yaitu :

2.1.1 Pengaturan Simpang Dengan Sinyal Lalu Lintas

Pada persimpangan jenis ini kendaraan yang memasuki persimpanga sudah

diatur menggunakn lampu lalu lintas. Kriteria suatu persimpangan harus dipasang alat

pemberi sinyal lalu lintas adalah (Ditjen Perhubungan Darat, 1999):

a. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata-rata diatas

750 kendaraan /jam selama 8 jam sehari.

b. Waktu tunggu atau hambatan rata-rata kendaraan di persimpangan telah

(6)

c. Persimpangan

selama 8 jam s

d. Sering terjadi ke

e. Atau merupak

2.1.2 Pengaturan Simp

Pada persimpanga

untuk mengatur arus lalu

terletak pada penempata

rambuyield), sedangkan

1. Rambuyield

Pengaturan ini

ruas jalan pada

sama sekali.

dibandingkan d

Yield Sign jug

yang digunaka

terutama bila l

ngan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 perjala

m sehari.

di kecelakaan pada persimpangan yang bersangkut

upakan kombinasi dari sebab-sebab tersebut diatas.

pang Tanpa Sinyal Lampu Lalu Lintas

ngan-persimpangan tak bersinyal ditempatkan ram

alu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan

tannya di lapangan, rambu terpancang pada sisi

n marka terdapat pada perkerasan (misal:zebracros

d

n ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas da

pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa

li. Sehingga pengendara tidak terlalu ter

kan dengan pengaturanStop Sign.

juga digunakan pada simpang yang diatur deng

akan unuk mengatur kendaraan belok kiri pada lajur

la lajur percepatan tersebut kurang panjang.

Gambar 2.1 RambuYield(https://www.google.c

alanan kaki/jam

s dari salah satu

npa arus berhenti

terhambat bila

ngan kanalisasi

lajur percepatan,

(7)

2. Rambu Berh

n simpang dengan menggunakan stop sign di

pada kaki simpang harus berhenti secara pe

impang. Pengaturan ini digunakan pada pertemua

ngan jalan mayor.

Gambar 2.2 Rambu berhenti (https://www.goog

ang mempunyai maksud utama sebagai berikut

han arus lalu lintas berdasarkan arah, gerakan d

oknya.

han tempat tunggu pejalan kaki terhadap arus lalu

akan “batu loncatan” memotong arus kendaraan.

rolan sudut pendekatan dan kecepatan kenda

hkan arus sehingga memudahkan pengemudi dan

han dalam pengoprasian kendaraan.

han waktu dan jarak pergerakan, terutama pada

ks membutuhkan penyederhanaan dan gerakan seca

han gerakan terlarang dengan menempatkan pul

ur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sejum

digunakan bila

pulau lalu lintas

(8)

Gambar 2.3 Menunjukan sketsa pulau lalu lintas pada sebuah

persimpangan.

Gambar 2.3 Pulau lalu lintas (Warpani, 2002)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengatur lalu lintas dengan

pulau lalu lintas adalah sebagai berkut (Underwood, 1990):

a. Beberapa pulau yang besar lebih dianjurkan daripada pulau yang kecil

dalam jumlah yang besar.

b. Sebuah pulau lalu lintas yang berupa monumen setidaknya memiliki luas

daerah sebesar 8 m2.

c. Apabila suatu pulau lalu lintas hendak hendak dipasang sinyal lalu lintas,

zebracross ataupun garis stop, paling tidak pulau tersebut memiliki

panjang = 6 m, lebar = 1,2 m atau 1,8 m.

d. Pulau lalu lintas sebaiknya ditempatkan dan dirancang agar marka jalan

dapat terlihat dengan jelas, sehingga perubahan arah pergerakan lalu

(9)

e. Pendekat dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diber jarak dari pinggir arus

lalu lintas berada. Atau dapat juga dilengkapi dengan adanya marka pada

bagian yang diperkeras.

f. Bagian ujung dari seluruh pulau yang berada pada suatu persimpangan

hendaknya dapat terlihat jelas oleh pengendara yang bergerak mendekati

pulau lalu lintas yang bersangkutan.

4. Bundaran

Bundaran (roundabout) dapat dianggap sebagai kasus istimewa dari

kanalisasi yang pulau ditengahnya dapat bertindak sebagai pengontrol pembagi

dan pengarah bagi sistem lalu lintas berputar satu arah. Pada cara ini gerakan

menyilang hilang dan diganti dengan gerakan menyiap berpindah-pindah jalur.

Bundaran bisa diterapkan pada banyak kendaraan yang sangat berguna untuk

pertemuan cabang banyak (tiga atau lebih) serta memerlukan suatu areal yang

luas dan datar. Makin besar volume lalu lintas yang dilayani, semakin besar pula

diameter bundarannya akan tetapi disesuaikan dengan keadaan topografi yang

ada. Jari-jari minimum sebuah bundaran ditentukan sebesar 10 m.

Bundaran paling efektif jika digunakan untuk persimpangan antara jalan

dengan ukuran dan tingkat arus yang sama. Karena itu bundaran sangat sesuai

untuk persimpangan antara jalan dua-lajur atau empat-lajur. Untuk

persimpangan antar jalan yang lebih besar, penutupan daerah jalinan mudah

terjadi dan keselamatan bundaran menurun. Meskipun dampak lalu lintas

bundaran berupa tundaan selalu lebih baik dari tipe simpang yang lain misalnya

simpang bersinyal, pemasangan sinyal masih disukai untuk menjamin kapasitas

tertentu dapat dipertahankan, bahkan dalam keadaan arus jam puncak.

Bundaran yang besar dapat mengatasi kekurangan, seperti situasi

berhenti-bergerak (stop/start) pada pertemuan jalan yang berkanalisasi. Tujuan utama

bundaran adalah melayani gerakan yang menerus, namun hal ini tergantung dari

(10)

terdapat banyak gerakan pejala kaki, yang harus dilayani melalui jalur bawah

tanah (sub way), jika pertemuan jalan ingin dioprasikan secara efektif.

Gambar 2.4 Contoh bundaran (Alamsyah, 2005)

Dalam pembahasan mengenai bundaran, beberapa hal yang perlu dketahui adalah:

a. Bentuk Bundaran

Ada beberapa bentuk bundaran yang biasa digunakan dalam pengendalaian lalu

lintas dipersimpangan, yaitu (Bangkit, 2013) :

1. Bundaran Kapasitas Kecil

Merupakan bundaran dengan ukuran diameter yang lebih kecil atau sama

dengan 4 meter. Bundaran yang demikian ini bermanfaat bila tingkat disiplin

(11)

Merupakan bunda

prinsip bundaran

dengan menggunka

arah mengeliling

Ga

b. Definisi Tipe Bundar

bundaran lalu lintas dengan ukuran diameter 4 s

demikian paling banyak di gunakan di Indonesia

onvensional

bundaran dengan ukuran diameter lebih dari 25 me

ini biasanya oleh Pemerintah Daerah dikombina

ung/air mancur tertentu untuk memberi nilai

ini dilakukan selama objek tidak menggangu j

lui bundaran.

atory

an tertentu yang dikelilingi oleh jalan, yang dapat

an untuk mengendalikan lalu lintas disekitar kaw

unkan prinsip giratory, dimana arus lalu lintas d

ngi kawasan tersebut.

Gambar 2.5 Kawasan giratory (Bangkit, 2013)

(12)

Adapun jenis-jenis bundaran menurut Departemen Pekerjaan Umum, (1997),

ditunjukan pada Gambar 2.6 dan tabel 2.1 memperlihatkan definisi tipe bundaran.

(13)

Tipe

Sumber : (Departemen PU, 1997)

Berdassarkan Gambar 2.5 dan Tabel 2.1 Definisi Tipe Bundaran dapat dijelaskan

bahwa :

a. Untuk tipe bundaran R10-11 artinya jari-jari bundaran adalah 10 meter,

jumlah lajur masuk satu, lebar lajur masuk 3,5 meter panjang jalinan 23 meter

dan lebar jalinannya adalah 7 meter.

b. Untuk tipe bundaran R10-22 artinya jari-jari bundaran adalah 10 meter,

jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 meter, panjang jalinan 27 meter

dan lebar jalinannya adalah 9 meter.

c. Untuk tipe bundaran R14-22 artinya jari-jari bundaran adalah 14 meter,

jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 meter, panjang jalinan 31 meter

dan lebar jalinannya adalah 9 meter.

d. Untuk tipe bundaran R20-22 artinya jari-jari bundaran adalah 20 meter ,

jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 meter, panjang jalinan 43 meter

dan lebar jalinannya adalah 9 meter.

c. Pemilihan tipe bundaran

Pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia pemakai dipermudah untuk memilih

dimensi/tipe bundaran berdasarkan volume arus lalu lintas yang dihubungkan dengan

kondisi ukuran kota (juta), rasio arus lalu lintas pada pendekat mayor dengan

pendekatan minor (QMA/QMB), presentase belok kiri dengan belok kanan. Tujuanya

adalah untuk memilih tipe simpang yang paling ekonomis, dapat dilihat pada Tabel

(14)

kondisi Ambang arus lalu lintas

R10-11 R10-12 R14-12 R10-22 R14-22 R20-22 1/1

Sumber : (Departemen PU, 1997)

d. Karakteristik Bundaran

Bundaran sangat tepat ditempatkan pada persimpangan dengan karakteristik

seperti dibawah ini (underwood, 1990):

1. Pendekat-pendekat persimpangan tersebut seluruhnya merupakan jalan

kolektor maupun jalan local.

2. Pada jalan arteri dan sub-arteri dimana terjadi pergerakan memutar yang

tinggi, dan persimpangan yang bersangkutan tidak terkait dengan ATCS

(Area Traffic Controlled System).

3. Terdapat empat atau lebih pendekat simpang.

e . Perencanaan Bundaran

Sebagai prinsip umum, bundaran mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan

panjang jalinan sebesar mungkin. Beberapa saran umum lainnya tentang perencanaan

(15)

1. Bagian jalinan bundaran mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan

panjang jalinan sebesar mungkin.

2. Bundaran dengan hanya satu tempat masuk adalah lebih aman daripada

bundaran berlajur banyak.

3. Bundaran harus direncanakan untuk memberikan kecepatan terendah pada

lintasan di pendekat, sehingga memaksa kendaraan menyelesaikan

perlambatanya sebelum masuk bundaran.

4. Radius pulau bundaran ditentukan oleh kendaraan rencana yang dipilih untuk

membelok didalam jalur lalu lintas dan jumlah lajur masuk yang diperlukan.

Radius yang lebih kecil biasanya mengurangi kecepatan pada bagian luar

yang menguntungkan bagi keselamatan pejalan kaki yang menyebrang.

Radius yang lebih kecil juga memaksa kendaraan masuk memperlambat

kendaraannya sebelum masuk daerah konflik, yang mungkin menyebabkan

tabrakan dari belakang dibandingkan dengan bundaran yang lebih besar.

Radius lebih besar dari 30-40 m sebaiknya dihindari.

5. Bundaran dengan satu lajur sirkulasi (direncanakan semi trailer) sebaiknya

dengan radius minimum 10 m, untuk dua lajur siklus radius minimum 14m.

6. Daerah masuk masing-masing jalinan harus lebih kecil dari lebar bagian

jalan.

7. Pulau lalu lintas tengah pada bundaran sebaiknya ditanami dengan pohon

atau objek lain yang tidak berbahaya terhadap tabrakan yang membuat

simpang mudah dilihat oleh kendaraan yang datang pada radius kecil

mungkin dapat dilewati.

8. Lajur terdekat dengan kereb sebaiknya lebih lebar dari biasanya untuk

memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor dan memudahkan kendaraan

belok kiri lewat tanpa menjalani didalam bundaran.

9. Pulau lalu lintas sebaiknya dipasang dimasing-masing lengan untuk

mengarahkan kendaraan yang masuk sehingga sudut menjalin antara

(16)

2.2 Pergerakan dan Konflik Pada Persimpangan

Tujuan utama perencanaan persimpangan adalah untuk mengurangi konflik

antara kendaraan bermotor serta kendaraan tidak bermotor dan menyediakan fasilitas

yang memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan terhadap pemakai jalan

yang melalui persimpangan. Alih gerak kendaraan yang berbahaya dibedakan menjadi

4 jenis. Gambar 2.7 menunjukan jenis-jenis pergerakan.

Gambar 2.7 jenis-jenis pergerakan

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 1999

2.3 Tujuan Pengaturan Simpang

Tujuan utama dari pengaturan lalu lintas umumnya adalah untuk menjaga

(17)

dengan menggunakan sinyal lalu lintas, marka dan rambu-rambu yang mengatur,

mengarahkan dan memperingati serta pulau-pulau lalu lintas.

Selanjutnya dari pengaturan simpang dapat ditentukan tujuan yang ingin dicapai,

antara lain:

1. Mengurangi maupun menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang

berasal dari berbagai kondisi titik konflik.

2. Menjaga kapasitas dari simpang agar dalam operasinya dapat dicapai

pemanfaatan simpang yang sesuai dengan rencana.

3. Dalam operasinya dari pengaturan simpang harus memberikan petunjuk yang

jelas dan pasti sederhana, mengarahkan arus lalu lintas pada tempatnya yang

sesuai.

4. Untuk mengurangi konflik antara kendaraan bermotor dan kendaraan tidak

bermotor, serta menyediakan fasilitas yang memberikan kemudahan,

kenyamanan, dan keamanan terhadap pemakai jalan yang melalui

pesimpangan.

2.4 Prosedur Analisiis Kinerja Persimpangan

Prosedur perhitungan yang digunakan adalah Manual Kapasitas Jalan Indonesia

(Departemen PU, 1997). Urutan perhitungan analisis kinerja persimpangan dengan

bundaran yang digunakan adalah :

1. Data masukan

2. Perhitungan kapasitas

3. Derajat kejenuhan

4. Tingkat kinerja persimpangan

Formulir-formulir yang digunakan untuk mengetahui kinerja persimpangan

adalah sebagai berikut :

1. Formulir RWEAV-I, mengenai geometri dan arus lalu lintas ( lampiran B ).

2. Formulir RWEAV-II, analisis mengenai parameter geometrik bagian jalinan,

(18)

2.4.1 Data masukan

Masukan data yang dimaksud adalah hasil survei dilapangan yang berupa :

a. Kondisi Geometrik

Sketsa geometrik lokasi digambarkan ke dalam formulir RWEAV-I. sketsa

sebaiknya memberikan ringkasan yang baik dari bagian jalinan dengan

informasi tentang lebar pendekat, lebar jalinan, panjang jalinan dan lebar

masuk rata-rata. Untuk orientasi sketsa juga sebaiknya memuat simbul

penunjuk arah. kondisi geometrik bundaran yang perlu diperhitungkan dalam

analisis adalah :

1. Wx = Lebar masuk atau lebar jalur lalu lintas dari pendekat (diukur pada

bagian tersempit) yang digunakan oleh lalu lintas yang bergerak. X

menyatakan nama pendekat.

2. We = Lebar masuk rata-rata atau lebar rata-rata pendekat ke bagian jalinan.

3. Ww = Lebar jalinan atau lebar efektif bagian jalinan (pada bagian yang

tersempit).

4. Lw = Panjang jalinan atau panjang jalinan efektif untuk bagian jalinan.

Pada Gambar 2.8 akan dijelaskan mengenai geometrik bundaran

disertai dengan keterangan tentang lebar masuk, lebar masuk rata-rata, lebar

(19)

Gambar 2.8 Geometrik bundaran (Departemen PU, 1997)

b. Kondisi lalu lintas

Kondisi lalu lintas yang dianalisa, perhitungan dilakukan atas dasar periode

15 menit dan dinyatakan ke dalam smp/jam dengan mengalikan arus dalam

kend/jam dengan nilai ekivalensi mobil penumpang. Adapun nilai ekivalensi

mobil penumpang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Nilai ekivalensi mobil penumpang

Jenis kendaraan Emp untuk tipe kendaraan

Kendaraan Berat/Heavy Vehicle (HV) 1.3

Kendaraan Ringan/Light Vehicle (LV) 1.0

Sepeda Motor/Motorcycle (MC) 0.5

(20)

2.4.2 Perhitungan Kapasitas

Hal-hal yang diperlukan dalam perhitungan kapasitas jalan pada persimpangan dengan bundaran adalah sebagai berikut :

A. Kapasitas Dasar (Co)

Rumus umum untuk menghitung kapasitas dasar adalah :

Co = 135xWw1,3x (1+We/Ww)1,5x (1-Pw/3)0.5x (1+Ww/Lw)-1,8 (2.1)

Dimana :

Ww = Lebar jalinan

We = Lebar masuk

Lw = Panjang jalinan

Pw = Weaving = Arus menjalin (Qw)/ Arus total (Qt)

1. Lebar Rata-rata Pendekat :

We = (W1+W2)/2 (2.2)

W1 = Lebar pendekat masuk ke 1 (M)

(21)

2. Rasio Menjalin

a. Arus Masuk Bundaran

Tabel 2.4 menjelaskan arus masuk bundaran berdasarkan atas Gambar 2.8

mengenai geometrik bundaran. Pada gambar kaki persimpangan yang diberi

kode A, dimana ruas pada kaki persimpangan tersebut dilambangkan dengan

QA yang arah arusnya terdiri atas Qab (arus total dari A menuju B), Qac (arus

total dari A menuju C), Qad (arus total dari A menuju D), Qaa (arus total dari

A menuju A). Untuk penjelasan mengenai arus pada kaki persimpangan

dengan kode B, C, dan D sama seperti kaki persimpangan dengan kode A.

Tabel 2.4 Arus masuk bundaran simpang empat

Kaki Persimpangan Arus Arah

A QA Sumber : (Departemen PU, 1997)

b. Rasio Menjalin (Pw)

Berdasarkan Gambar 2.8 mengenai geometrik bundaran, selanjutnya Tabel

2.5 memperlihatkan contoh perhitungan Rasio Menjalin pada Bundaran

Simpang Empat. Untuk bagian jalinan AB, arus total masuk pada bagian

jalinan (Qt) tersebut merupakan jumlah dari arus masuk bundaran pada

(22)

dari B menuju B), Qcb (arus dari C menuju B), Qcc (arus dari C menuju C),

Qdb (arus dari D menuju B), Qdc (arus dari D menuju C), dan Qdd (arus dari

D menuju D). Untuk arus menjalin (Qw) adalah penjumlahan dari Qac (arus

jalinan (QWAB/QAB). Untuk penjelasan mengenai rasio menjalin pada bagian

jalinan BC, CD dan DA sama halnya seperti pada bagian jalinan AB.

Tabel 2.5 Rasio menjalin pada bundaran simpang empat

Bagian jalinan

Arus Total Masuk

Jalinan (Qt) Arus Menjalin (Qw)

Rasio

Sumber : (Departemen PU, 1997)

Berdasarkan Gambar 2.8 mengenai geometrik bundaran, selanjutnya Tabel 2.5

memperlihatkan contoh perhitungan rasio menjalin pada bundaran simpang empat.

Untuk bagian jalinan AB, arus total masuk pada bagian jalinan (Qt) tersebut

merupakan jumlah dari arus masuk bundaran pada pendekat A yang terdiri atas

(Qab,Qac,Qad,Qaa) ditambah dengan Qbb (arus dari B menuju B), Qcb (arus dari C

(23)

menuju D), Qaa (arus dari A menuju A), Qbb (arus dari B menuju B), Qcb (arus dari

C menuju B), dan Qdb (dan arus dari D menuju B). Setelah diperoleh nilai dari arus

total masuk jalinan (Qt) dan arus menjalin (Qw), maka nilai rasio menjalin (Pw) akan

dapat dihitung dengan membagi arus menjalin dengan arus total masuk jalinan

(QWAB/QAB). Untuk penjelasan mengenai rasio menjalin pada bagian jalinan BC, CD

dan DA sama halnya seperti pada bagian jalinan AB.

3. Kapasitas Nyata (C)

Rumus untuk menghitung Kapasitas Nyata adalah :

C= C0x FCSx FRSU(smp/jam) (2.3)

Dimana :

C = Kapasitas Nyata (Smp/jam)

C0 = Kapasitas Dasar (Smp/jam)

FCS = Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

FRSU = Faktor Penyesuaian Lingkungan Jalan, Hambatan samping

dan rasio kendaraan tak bermotor

4. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)

Ukuran Kota Penduduk (Juta) FCS

Sangat Kecil < 0,1 0,82

Kecil 0,1-0,5 0,88

Sedang >0,5-1 0,94

Besar >1-3 1

Sangat Besar >3 1,05

(24)

5. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Rasio Kendaran Tak Bermotor

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor

Kelas tipe lingkungan jalan RE

Kelas hambatan samping

Rasio kendaraan tak bermotor

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25

Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70

Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70

Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71

Permukiman Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72

Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73

Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses terbatas Tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75

Sumber : (Departemen PU, 1997)

Menurut (Departemen PU, 1997) Tabel 2.7 disusun berdasarkan anggapan bahwa

pengaruh kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan

ringan, yaitu empum = 1,0. Persamaan berikut dapat digunakan jika pemakai

mempunyai bukti bahwa empum ≠ 1,0 yang mungkin merupakan keadaan jika

kendaraan tak bermotor tersebut terutama berupa sepeda.

FRSU(pumlapangan) = FRSU(pum=0) x (1-pumx empum) (2.4)

B. Derajat Kejenuhan (DS)

Derajat kejenuhan bundaran didefinisikan sebagai derajat kejenuhan bagian

jalinan yang tertinggi atau arus total dibagi dengan kapasitas bundaran.

Dapat dirumuskan :

DS = Q/C (2.5)

Dimana :

Q = Arus total (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

2.4.3 Ukuran Kinerja Persimpangan

(25)

Untuk DS≤0,6

DT = 2+2,68982 X DS–(1-DS) x 2 (2.6)

Untuk DS > 0,6

DT = (1/(0,59186–0,52525 x DS)–(1-DS) x 2)) (2.7)

B. Tundaan Geometrik (GD) sebagai akibat dari perlambatan dan percepatan

lalu lintas, dihitung dengan rumus :

DT = (1-DS) x 4+DS x 4 (2.8)

Gambar 2.9 Tunda Lalu-Lintas Bagian Jalinan Vs Derajat Kejenuhan (Departemen PU, 1997)

2. Tundaan Lalu Lintas Bundaran (DTR)

Didefinisikan sebagai tundaan rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam bundaran. Dapat dirumuskan :

DTR=∑ (Qix Dti) / Qmax (2.9)

Dimana :

DTR = Tundaan lalu lintas bundaran (det/smp)

Qi = Total kendaraan memasuki jalinan (smp/jam)

(26)

3. Tundaan Bundaran (DR)

Definisikan sebagai tundaan lalu lintas rata-rata per kendaraan yang masuk ke

dalam bundaran ditambah dengan tundaan geometrik. Dapat dirumuskan :

DR = DTR+ DG (2.10)

Dimana :

DTR = Tundaan lalu lintas bundaran (det/smp)

DG = Tundaan geometrik pada bagian jalinan (det/smp)

4. Peluang Antrian

Peluang antrian dhitung dari hubungan empiris antara peluang antrian dan derajat

kejenuhan seperti terlihat pada Gambar 2.10, dapat juga dihitung dengan

menggunakan rumus :

Batas Atas (%P) = 26,65 DS-55,55 DS2+ 108,57 DS3 (2.11)

Batas Bawah (%P ) = 9,41 x DS + 29,967 x DS4,619 (2.12)

(27)

2.4.4 Penelitian Perilaku Lalu Lintas

Dalam MKJI cara yang paling tepat untuk menilai hasil kinerja persimpangan

adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati dan

membandingkannya dengan pertumbuhan lalu lintas dan umur fungsional yang

diinginkan dari simpang tersebut. Jika derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi,

maka perlu dilakukan perubahan asumsi yang terkait dengan penampang melintang

jalan dan sebagainya serta perlu diadakan perhitungan ulang. Jika untuk penelitian

operasional persimpangan, maka nilai derajat kejenuhan yang tinggi mengindikasikan

ketidakmampuan persimpangan dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan.

Namun tidak secara spesifik menyebutkan tingkat pelayanan. Berdasarkan TRB

(1994), tingkat pelayanan untuk simpang tak bersinyal diukur berdasarkan nilai

tundaan seperti diperlihatkan pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Hubungan tundaan dengan tingkat pelayanan pada persimpangan tidak bersinyal

Arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi dapat melewati persimpangan yang diinginkan tanpa harus berhenti.

D<5

B

Sudah mulai terdapat kendaraan yang berhenti saat melewati persimpangan, namun dalam jumlah yang sangat sedikit.

5<D<10

C

Pada kondisi ini, jumlah kendaraan yang berhenti cukup signifikan, tetapi ada juga kendaraan yang dapat melewati persimpangan ini tanpa harus berhenti.

10<D<20

D

Pada kondisi ini banyak kendaraan yang berhenti saat melewati persimpangan dan pengaruh dari kemacetan mulai terlihat.

20<D<30

E Pada kondisi ini tundaan sudah tidak dapat

diterima 30<D<45

F

Ini merupakan kondisi yang paling buruk, tundaan sudah tidak dapat diterima, arus yang melewati persimpangan sudah melebihi kapasitas persimpangan tersebut.

D>45

Gambar

Gambar 2.1 Rambu Yield (https://www.google.cle.com)
Gambar 2.2 Rambu berhenti (https://www.googoogle.com)
Gambar 2.3 Menunjukan sketsa pulau lalu lintas pada sebuah
Gambar 2.4 Contoh bundaran (Alamsyah, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemacetan, tundaan, antrian yang panjang di Jalan Ahmad Yani saat ini disebabkan karena berbagai macam masalah yang ada pada persimpangan ini yaitu lebar jalan yang menuju

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa arus lalu lintas yang melewati simpang empat Telukan adalah padat. Pengaturan sinyal di simpang empat Telukan diatur dalam

Dari hasil analisis data kondisi existing, untuk aspek lalu lintas, volume arus lalu lintas yang terjadi melebihi kapasitas simpang yaitu mempunyai Derajat Kejenuhan sebesar 0,86

Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh kinerja lalu-lintas terhadap pemasangan traffic light dengan menganalisa kapasitas, derajat kenuhan, tundaan serta

Kapasitas simpang yang ditentukan sebagai arus total simpang dimana tundaan rata-rata simpang (D) melebihi 2,033 detik/smp, dengan mengambil (D) = untuk ketiga

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kinerja simpang bersinyal sudut Polres Kota Metro mencakup kapasitas, panjang antrian, kendaraan terhenti dan

Pengaturan persimpangan dengan pengendalian lampu lalu lintas harus direncanakan sesuai dengan jumlah arus lalu lintas yang melewati simpang tersebut, agar arus lalu lintas

Menurut Ahmat Munawar 2006, pengertian kapasitas adalah jumlah maksimum kendaraan yang melewati suatu persimpangan atau ruas jalan selama waktu tertentu pada kondisi jalan dan lalu