• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

IDA AYU KADE KARINA PUTRI NIM. 1203005099

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

NARKOTIKA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA AYU KADE KARINA PUTRI

NIM. 1203005099

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha Nyalah penulisan skripsi yang

berjudul “PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI

(BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

NARKOTIKA” dapat terselesaikan. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu

kewajiban dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan

sarjana strata satu (S1) Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat

berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran

dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi

ini. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan terimakasih yang

setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Made Arya, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum

UniversitasUdayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana SH.,MH., Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

(8)

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH, sebagai Ketua Bagian

Hukum Pidana.

6. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhyaastuti, SH.,MH sebagai Sektretaris

Bagian Hukum Pidana.

7. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH.,MH, selaku Dosen Pembimbing

Akademik bagi penulis, yang selalu memberi bimmbingan dan motivasi

bagi penulis dalam menempuh studi di Fakultas Hukum.

8. Bapak Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi,SH.,MS selaku Dosen

Pembimbing I yang telah memberiarahan, bimbingan, dukungan, saran

dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan

skrips iini.

9. Bapak A.A. Ngurah Wirasila, SH.,MH, selaku DosenPembimbing II yang

telah member arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang

sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Bapak Ida Bagus Putrayasa, SE dan Ibu I Gusti Ayu Ningsih, SE selaku

orang tua penulis yang senantiasa sabar dan tak pernah berhenti

memberikan dukungan demi rampungnya skripsi ini serta I.A Pt Kartika

Dewi, SE dan I.B Adi Sutrisna selaku saudara penulis yang senantiasa

memberikan doa restunya dalam penulisan skripsi ini.

11.Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Udayana yang telah sangat berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan

(9)

12.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

13.Norman Alfarrizsy dan sahabat-sahabat penulis yang selalu memberikan

waktunya untuk mendukung penulis dengan memberikan hiburan,

masukan dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

Akhirnya, dengan menyadari keterbatasan dan ketidak sempurnaan skripsi

ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

berbagai pihak yang sangat penulis hargai. Semoga karya tulis ini dapat

memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum

Denpasar, 28 Juni 2016

Penulis

Ida Ayu Kade Karina

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

(11)

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4Tujuan Penulisan 1.4.1 Tujuan Umum ... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ... 6

1.5Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

1.6Landasan Teoritis 1.6.1 Teori Pemidanaan ... 8

1.6.2 Teori Pencegahan... 12

1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana ... 16

1.6.4 Teori Kewenangan ... 17

1.7Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian ... 19

1.7.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.7.3 Sifat Penelitian ... 20

1.7.4 Data Dan Sumber Data ... 20

1.7.5 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.7.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NARKOTIKA

NASIONAL PROVINSI, NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN

(12)

2.1Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali ... 23

2.1.1 Sejarah BNNP Bali ... 24

2.1.2 Struktur Organisasi ... 25

2.2PengertianNarkotika ... 26

2.3Pengertian Penyalahguna Narkotika ... 27

2.3.1 Penyebab Penyalahguna Narkotika ... 29

2.3.2 Dampak Penyalahguna Narkotika ... 31

BAB III TUGAS DAN WEWENANG BADAN NARKOTIKA PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS PENYALAHGUNAAN SERTA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA 3.1Tugas BNNP ... 32

3.2Wewenang BNNP ... 47

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAK HUKUM DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN WEWENANG MENCEGAH DAN MEMBERANTAS PENYALAHGUNAAN SERTA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA 4.1Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum Dalam Menjalankan Tugas Dan Wewenang ... 53

(13)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

(14)
(15)

ABSTRACT

BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI)IN ROLE IN THE PREVENTION AND ERADICATION

The rise of cases concerning trafficking and abuse of drugs are revealed by the police and BNNP Bali, make Bali now declared in a state of emergency narcotics. The drug dealers continue to do everything possible so that the drug will be distributed on Bali, either through land, sea and air. Therefore, it is necessary to know what are the efforts that have been made by BNNP Bali, as a special institution established to eliminate drug abuse and illicit trafficking in Bali.

By using empirical legal research also approach to law and fact, the author through this paper will discuss two legal issues : What are the duties and authority BNNP Bali in preventing and combating abuse and illicit trafficking and the factors what are the support and inhibit BNNP Bali in carrying out the duties and authority to prevent and eliminate the abuse and illicit trafficking.

Through empirical research this thesis, as for the conclusions that can be drawn are as follows: 1) The task which BNNP Bali as mentioned in Article 70 of Law No. 35 in 2009. In doing BNNP Bali authorized to conduct investigations and examinations as provided for in Article 71 and Article 72. 2) Factors that affect law enforcement, there are five factors namely legislation, law enforcement apparatus itself, a factor of infrastructures, community factors and cultural factors. While ekstrernal factors that affect law enforcement in carrying out its duties and authorities is a factor of cooperation involving three parties, namely the national police and the military, government and society

(16)

ABSTRAK

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Maraknya kasus-kasus mengenai peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang terungkap oleh pihak kepolisian maupun BNNP Bali, membuat Bali kini dinyatakan mengalami kondisi darurat narkotika. Para oknum pengedar narkotika senantiasa melakukan berbagai cara agar nantinya narkotika tersebut bisa diedarkan diBali, baik melalui jalur daratan, laut maupun udara. Oleh karenanya, perlu untuk diketahui implementasi tugas dan wewenang BNNP Bali, sebagai lembaga yang dibentuk khusus guna memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Bali.

Dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris dan pendekatan perundang-undangan dan fakta, penulis melalui skripsi ini akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: tugas dan wewenang BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BNNP Bali dalam melaksanakan tugas dan wewenang mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika.

Melalui penelitian empiris skripsi ini, adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut : 1) Tugas BNNP Bali sebagai mana yang tercantum pada Pasal 70 UU No. 35 tahun 2009. Dalam menjalankan tugasnya BNNP Bali berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 dan Pasal 72. 2) Faktor–faktor yang mempengaruhi penegak hukum ada lima yaitu faktor undang-undang, faktor penegak hukum itu sendiri, faktor sarana prasarana, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sementara faktor ekstrernal yang mempengaruhi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya adalah faktor kerjasama yang melibatkan tiga pihak yaitu polri dan TNI, pemerintah dan masyarakat

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tentunya memiliki berbagai

kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan adalah segala yang diperlukan manusia

untuk menyempurnakan kehidupannya. Kebutuhan merupakan perwujudan

budaya manusia yang berdimensi cipta, rasa dan karsa. Pada dasarnya kebutuhan

manusia diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:

a. Kebutuhan Ekonomi:

Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan yang sifatnya material yang dibutuhkan untuk kesehatan, dan keselamatan jasmani seperti membeli pakaian, makanan dan rumah.

b. Kebutuhan Psikhis:

Kebutuhan Psikhis adalah kebutuhan yang sifatnya immaterial yang dibutuhkan untuk kesehatan dan keselamatan rohani seperti pendidikan, hiburan, agama dan penghargaan.

c. Kebutuhan biologis:

Kebutuhan biologis adalah kebutuhan yang sifatnya seksual yang dibutuhkan untuk membentuk keluarga demi kelangsungan hidup generasi secara turun-temurun.

d. Kebutuhan Pekerjaan:

Kebutuhan pekerjaan adalah kebutuhan yang sifatnya praktisuntuk mewujudkan ketiga kebutuhan diatas, misalnya seperti perusahaan ataupun sebuah profesi1.

Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan psikhisnya sebagai

kebutuhan dasar, senantiasa menghabiskan waktu luangnya untuk pergi berlibur

ke tempat-tempat yang menjadi tempat kunjungan wisatawan untuk berwisata

baik seorang diri, bersama teman, maupun keluarga. Dizaman sekarang ini,

1

(18)

2

dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi informasi mengakibatkan

keindahan pulau dewata Bali kian tersohor di berbagai penjuru nusantara maupun

internasional. Sarana transportasi menuju Bali pun kini sudah sangat memadai

yang mengakibatkan setiap orang bisa dengan mudahnya keluar masuk pulau Bali

dengan tujuannya masing-masing. Namun, peningkatan wisatawan asing maupun

domestik yang berkunjung ke Bali, sayangnya tidak diimbangi dengan

peningkatan sarana keamanan.

Jalur transportasi darat dan laut adalah jalur transportasi yang sangat

minim pengawasan. Belum lagi pelabuhan-pelabuhan kecil yang tersebar di pulau

Bali yang sama sekali luput dari pengawasan, sehingga sangat tidak menutup

kemungkinan bahwa setiap orang yang datang ke Bali menggunakan jalur di luar

tempat pemeriksaan imigrasi membawa dampak negatif bagi masyarakat Bali

seperti halnya Narkotika.

Oknum penjual narkotika yang meliputi warga negara asing (WNA)

maupun warga negara Indonesia (WNI) selalu mengupayakan berbagai cara agar

nantinya narkotika tersebut bisa laku diedarkan di Indonesia sehingga, dari hasil

penjualan tersebut para oknum penjual narkotika dapat memperoleh keuntungan

yang besar. Salah satu cara agar narkotika tersebut terjual habis adalah dengan

cara mengedarkan narkotika di berbagai wilayah yang menjadi destinasi

pariwisata di Indonesia salah satunya adalah Pulau Bali.

(19)

3

tersebar di berbagai provinsi Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Pelabuhan tersebut kurang mendapatkan pengawasan ketat oleh aparat penegak hukum. Dari hasil wawancara dengan seorang Bandar narkoba di peroleh informasi bahwa, Indonesia menjadi pasar narkoba yang sangat menjanjikan karena jumlah penyalahguna yang besar dan cenderung harga narkoba di Indonesia jauh lebih mahal dibanding di luar negeri2.

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan

perdagangan maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan pengembangan ilmu pengetahuan3. Namun dalam hal ini peredaran narkotika

tersebut dilakukan secara illegal atau melawan hukum tanpa melalui lembaga

yang dapat melakukakan penyaluran narkotika sehingga narkotika tersebut tidak

bermanfaat melainkan merugikan dan membahayakan bagi setiap pemakainya.

Pemerintah telah membentuk suatu lembaga yang bertugas untuk

mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

yakni lembaga tersebut disebut dengan Badan Narkotika Nasional yang

selanjutnya disingkat BNN. Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU No. 35 Tahun

2009, yang pada intinya menyatakan bahwa BNN merupakan lembaga

Pemerinatah non Kementrian yang berkedudukan dibawah Presiden dan

bertanggung jawab kepada Presiden dan mempunyai perwakilan di daerah

provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal. Dipertegas dengan terbitnya

Perpres RI No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional dimana pada

Pasal 31 disebutkan bahwa Instansi Vertikal BNN terdiri dari Badan Narkotika

Nasional Provinsi yang selanjutnya disebut BNNP dan Badan Narkotika Nasional

2

Badan Narkotika Nasional, 2014, “Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014”, Prevalansi Hasil Penelitian 2014, Jakarta,h 40.

3

(20)

4

Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BNNK/Kota dan pada Pasal 33

dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam

wilayah Provinsi.

Keberadaan BNNP merupakan amanat dari pada UU No. 35 Tahun 2009.

Sampai saat ini terdapat 33 BNNP diseluruh provinsi di Indonesia. Salah satunya

adalah BNNP Bali. Pulau Bali sebagai destinasi utama wisatawan baik wisatawan

asing maupun wisatawan domestik tentunya menjadi sasaran bagi pengedaran

narkotika. Banyak kasus-kasus besar tentang tertangkapnya para oknum pengedar

narkotika maupun temuan paket narkotika yang datang ke Bali pun dirasa sudah

sangat banyak dan menghawatirkan.

Baru-baru ini tepatnya tanggal 1 Juli 2015, dikutip dari situs resmi BNNP

Bali menyatakan bahwa, Kepolisian Daerah Bali bersama dengan beberapa

instansi terkait termasuk BNNP Bali memusnahkan sejumlah temuan barang bukti

narkotika yang dikumpulkan dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2015, dengan

nilai sebesar Rp 4.700.000.000. Pemusnahan tersebut dilaksanakan setelah

upacara HUT ke-69 Bhayangkara di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala

Renon, Denpasar dilaksanakan.

Barang bukti tersebut terdiri dari ganja sebanyak 5.194 gram yang merupakan barang kiriman pos dari New York, Amerika Serikat, Malaysia dan hasil temuan aparat kepolisian. Selain itu dimusnahkan 2.117 gram sabu yang sebagian besar merupakan paket kiriman melalui pos, hasil tangkapan pihak Ditjen Bea dan Cukai dan jasa pengiriman dari New York, Amerika Serikat, Afrika Serikat, Afrika Selatan, Malaysia, Tiongkok dan beberapa di antaranya berasal dari temuan Polda Bali. Selain itu, juga dimusnahkan kokain sebanyak 7,8 gram melalui paket pos dari New York, Amerika Serikat dan hasis 99,37 gram melalui pos dari India. Barang bukti lainnya yakni MDPV atau

(21)

5

jasa pengiriman dari Malaysia dan Tiongkok seberat 62,18 gram dan MDMA atau

“methylenedioxymethylchatinone” atau ekstasi sebanyak 306 butir4.

Bali sebagai tujuan wisata dunia, sudah sepantasnya harus dibersihkan dari

peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika yang tidak hanya dapat merusak

citra Bali sebagai tempat yang berbudaya dimata dunia, namun narkotika juga

merupakan awal dari timbulnya berbagai tindak pidana yang mengancam

masyarakat Bali dan keberlangsungan pariwisata Bali. Pencurian, kekerasan, sex

bebas dan HIV AIDS, merupakan sebagaian kecil dampak yang akan timbul

apabila narkotika tidak ditangani dengan serius. Berdasarkan latar belakang inilah

penulis sangat tertarik untuk mengambil judul “Peran Badan Narkotika Nasional

Provinsi Bali (BNNP Bali) Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika”

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik

suatu rumusan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah tugas dan wewenang BNNP Bali dalam mencegah dan

memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika di Bali?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegak hukum dalam

menjalankan tugas dan wewenang mencegah dan memberantas

penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika di Bali?

(22)

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu mencakup

uraian-uraian dari tinjauan umum tentang BNNP Bali, narkotika, penyalahguna

narkotika, tugas dan wewenang BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas

penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika, dan faktor pendukung dan

penghambat BNNP Bali dalam menjalankan tugas dan wewenang dalam

mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika.

1.4. Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas

maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum

terkait dengan paradigm ilmu sebagai proses. memberikan kontribusi keilmuan

secara ilmiah terkait penanganan terhadap pihak yang melakukan penyalahgunaan

dan pengedaran narkotika baik berupa penanggulangan maupun pencegahan yang

dilakukan oleh BNNP Bali.

1.4.2 Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk memahami dan mendeskripsikan secara lebih mendalam

tentang fungsi BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas

(23)

7

2. Untuk memahami dan mendeskripsikan secara lebih mendalam

tentang faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat

BNNP Bali dalam menjalankan fungsinya mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

1.5. Manfaat Penulisan

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam aspek teoritis atau keilmuan seiring dengan

berkembangnya pola hidup masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang

muncul di dalam hidup bermasyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi

referensi dalam mempelajari permasalahan mengenai tindak pidana narkotika

khususnya, mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan mampu memberikan

sumbangan penelitian sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, dan

penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian

dikalangan masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi keadaan Indonesia

(24)

8

1.6. Landasan Teoritis

Adapun teori-teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini meliputi

Teori Pemidanaan, Teori Pencegahan, Teori Kebijakan Hukum Pidana dan Teori

Kewenangan.

1.6.1 Teori Pemidanaan

Sebelum membahas mengenai teori pemidanaan, terlebih dahulu penulis

ingin membahas mengenai apa itu strafbaarfeit, peristiwa pidana dan tindak pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaarfeit

untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana dalam KUHP tanpa

memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan

strafbaarfeit tersebut. Strafbaarfeit berasal dari bahasa Belanda. Feit yang berarti sebagian dari suatu kenyataan dan strafbaar yang berarti dapat dihukum. Sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum dan yang dapat dihukum

adalah manusia sebagai pribadi5.

Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah terjemahan dari

istilah bahasa Belanda yaitu “strafbaarfeit” atau “delict”. Dikenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti “tindak pidana” dalam UU No. 3 Tahun 1971 jo UU

No. 26 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “pelanggaran

pidana” yang dikemukakan oleh Tirtaamidjaya dalam bukunya yang berjudul

pokok-pokok hukum pidana, dan “perbuatan pidana” yang diungkapkan

Moeljatno pada pidato Dies Natalis Universitas Gadjah Mada VI tahun 1955 di

5

(25)

9

Yogyakarta6. Moeljatno mengemukakan bahwa istilah “perbuatan pidana”

menurut wujud atau sifatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau

ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Perbuatan-perbuatan pidana ini adalah

perbuatan melawan hukum. Namun, tidak semua perbuatan melawan hukum dan

merugikan masyarakat dikenakan sanksi pidana misalnya, pelacuran7. Diantara

beberapa istilah tersebut diatas yang paling tepat untuk dipakai menurut C.S.T

Kansil dan Christine S.T Kansil adalah peristiwa pidana, karena yang diancam

dengan pidana bukan saja perbuatan tetapi juga tidak berbuat8.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembentuk

undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan

strafbaarfeit maka muncullah doktrin tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut. Menurut Simons strafbaarfeit adalah perbuatan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab9.

Pompe dalam bukunya P.A.F Lamintang yang berjudul dasar-dasar hukum

pidana Indonesia menjelaskan yang dimaksud perkataan strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma yang sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh seorang

pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadapnya perlu dilakukan demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit, peristiwa pidana, selanjutnya dibahas mengenai Teori Pemidanaan. Ada berbagai macam

6

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana Hukum Pidana Untuk Setiap Orang, cet.II, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 37

7

Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana,cet.VIII, PT.Rineka Cipta, Jakarta, h.3. 8

Ibid,h. 38. 9

(26)

10

pendapat mengenai teori pemidanaan, namun menurut Andi Hamzah dalam

bukunya asas-asas hukum pidana, ada tiga golongan utama teori untuk

membenarkan penjatuhan pidana yaitu: Pertama, Teori absolut atau teori

pembalasan (vergeldings theorien). Kedua, Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Ketiga, Teori gabungan (verenigingstheorien)10.

A. Teori Absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana memberikan pengertian

mengenai maksud dari teori pembalasan yaitu bahwa pidana tidaklah bertujuan

untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Namun, kejahatan tersebutlah

dengan sendirinya yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana.

Tidak perlu untuk memikirkan kegunaan menjatuhkan pidana itu. Selanjutnya

Andi Hamzah juga menyatakan bahwa pidana merupakan tuntutan mutlak, dan

menjadi suatu keharusan karena hakikat suatu pidana adalah pembalasan11.

Penjatuhan pidana dijatuhkan dan dibenarkan karena semata-mata untuk

memberikan penderitaan bagi penjahat atas perbuatannya yang telah membuat

orang lain menderita. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti pidana bagi

pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan

pidana itu, tidak memerhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun

masyarakat12.

10

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.157.

11

(27)

11

Menurut Adami Chazawi dalam bukunya pelajaran hukum pidana, tindakan

pembalasan dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: Pertama,

ditujukan kepada penjahatnya sebagai sudut subjektif dari teori pembalasan.

Kedua, ditujukan untuk memenuhi rasa kepuasan dalam masyarakat karena

perasaan dendam masyarakat telah terpenuhi dengan dijatuhkannya pidana

terhadap pelaku kejahatan.

B. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Adami Chazawi berpendapat bahwa maksud dari teori ini dimana pidana

adalah alat untuk menegakkan hukum atau tata tertib yang ada dalam masyarakat.

Pidana adalah alat untuk mencegah munculnya suatu kejahatan, dengan tujuan

untuk terpeliharanya tata tertib di dalam masyarakat. Jadi dasar pembenaran

adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana merupakan

suatu hal yang perlu untuk diadakan (noodzakelijk). Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana mempunyai tiga sifat yaitu:

menakut-nakuti, memperbaiki, dan membinasakan13.

C. Teori Gabungan

Teori gabungan didasarkan pada asas pembalasan dan juga asas pertahanan

tata tertib masyarakat, yang menjadi dasar sebagai penjatuhan pidananya. Teori

gabungan dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu sebagai berikut:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan

Dalam teori ini, pembalasan tersebut tidak boleh lebih dari batas-batas yang

ditentukan dari apa yang perlu dan cukup untuk mempertahankan tata tertib

13

(28)

12

dalam masyarakat. Pendukung teori ini antara lain Pompe. Dalam bukunya

Adami Chazawi ia berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan

kepada penjahat yang juga memiliki tujuan untuk mempertahankan tata tertib

hukum agar kepentingan umum senantiasa terselamatkan dan terjamin dari

kejahatan. Pidana bersifat pembalasan dibenarkan asal bermanfaat bagi tata

tertib hukum dalam mayarakat.

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat

Dalam teori ini, penjatuhan pidana berupa penderitaan terhadap pelaku

kejahatan, tidak boleh melebihi dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib hukum ini

salah satunya adalah Simons. Menurut Simons dalam bukunya Adami

Chazawi, dasar primer pidana adalah pencegahan umum yang terdapat

ancaman dalam suatu undang-undang. Apabila pencegahan umum tersebut

tidak efektif, maka barulah selanjutnya diadakan pencegahan khusus yakni

menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat penjahat tidak berdaya. Pidana

dijatuhkan berdasarkan hukum yang ada dalam masyarakat14.

1.6.2 Teori Pencegahan

Terdapat dua teori pencegahan yakni: Pertama, teori pencegahan umum

(general preventie). Kedua, teori pencegahan khusus (special preventie). A. Pencegahan Umum (general preventie)

Menurut teori ini, bahwa agar masyarakat ramai menjadi takut untuk

melakukan kejahatan, maka perlu dibuat suatu penjatuhan pidana yang

(29)

13

menyeramkan dengan eksekusi yang kejam dan dilakukan di depan umum atau

didepan orang banyak dengan tujuan agar setiap orang mengetahuinya. Penjahat

yang dijatuhkan pidana tersebut akan dijadikan tontonan masyarakat agar

masyarakat takut untuk berbuat serupa.

Jadi menurut teori pencegahan umum ini Adami Chazawi berpendapat, untuk

mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan,

pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka umum15. Dalam

perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi yang kejam ini

banyak ditentang misalnya oleh Beccaria (1738-1794) dan Von Feuerbach

(1775-1883).

Menurut Beccaria dalam bukunya Adami Chazawi, hukum pidana harus

dikodifikasikan secara rasional serta sistematis dengan tujuan agar setiap orang

mengetahui secara jelas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan

diancamkan dengan pidana. Beccaria juga menginginkan agar pidana mati dan

penyiksaan yang kejam dihapuskan serta diganti dengan pidana yang lebih

berprikemanusiaan. Dan pidana yang dijatuhkan berupa penderitaan tersebut

jangan sampai melewati penderitaan yang diakibatkan oleh penjahat yang

dipidana itu.

Von Feuerbach yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut

dengan “psychologische zwang”, dalam bukunya Adami Chazawi menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana itu,

15

(30)

14

tetapi pada ancaman pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang16. Suatu

ancaman pidana terlebih dahulu harus ditetapkan terlebih dahulu dalam

Undang-Undang sehingga dapat diketahui oleh masyarakat yang kemudian, ketentuan

umum tersebutlah yang dapat membuat masyarakat takut untuk melakukan suatu

kejahatan. Jadi dalam hal ini suatu ancaman pidana yang termuat dalam

Undang-Undang dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang

untuk menjadi takut melakukan suatu kejahatan.

Namun sayangnya, teori Feuerbach tersebut memiliki beberapa kelemahan,

yaitu sebagai berikut :

1. Seorang penjahat yang pernah atau bahkan sudah berkali-kali menjalani pidana karena kejahatan yang dilakukannya, menimbulkan perasaan takut terhadap ancaman pidana tersebut menjadi rendah bahkan hilang.

2. Suatu ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu, bisa saja tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Seperti yang diketahui bahwa ancaman pidana bersifat abstrak, sedang pidana yang dijatuhkan bersifat konkret. Sangat sulit untuk terlebih dahulu menentukan berat pidana yang diancam agar bisa sesuai dengan perbuatan yang dilarang.

3. Orang-orang maupun penjahat yang bodoh ataupun yang tidak mengetahui mengenai ancaman pidana membuat sifat menakut-nakuti dari peraturan tersebut menjadi lemah bahkan tidak ada sama sekali17.

B. Teori Pencegahan Khusus

Teori pencegahan khusus ini merupakan teori yang lebih maju dari pada teori

pencegahan umum. Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah agar pelaku

kejahatan yang telah dijatuhi pidana tidak mengulangi lagi untuk melakukan

kejahatan serta mencegah agar orang yang mau melakukan kejahatan untuk tidak

mewujudkan niatnya tersebut kedalam suatu perbuatan yang nyata. Tujuan itu

dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya tiga macam yaitu:

16

(31)

15

1. Menakut-nakutinya;

2. Memperbaikinya, dan

3. Membuatnya menjadi tidak berdaya;

Menakut-nakutinya maksudnya adalah bahwa pidana harus dapat memberikan

rasa takut kepada pelaku kejahatan agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi

perbuatannya. Namun, ada pula orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut

untuk mengulangi dalam berbuat kejahatan. Pidana yang tepat untuk dijatuhkan

kepada orang tersebut adalah pidana yang bersifat memperbaiki diri pelaku agar

menjadi orang yang lebih baik lagi. Sementara itu, terhadap orang yang tidak

takut serta tidak dapat diperbaiki lagi, pida yang dijatuhkan kepada dirinya harus

membuatnya menjadi tidak berdaya dengan cara membinasakannya18.

Menurut Van Hamel dalam bukunya Adami Chazawi, bahwa pembalasan

tidak boleh dijadikan maksud dan alasan dari penjatuhan pidana, namun

pembalasan tersebut akan timbul dengan sendirinya sebagai dampak dari pidana

dan bukan sebab dari adanya pidana. Van Hamel membuat suatu gambaran

tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini yaitu19:

1. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menaku-menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya.

2. Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering). 3. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan pidana

harus bersifat membinasakan atau membikin mereka tidak berdaya.

4. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum dimasyarakat.

18

Adami Chazawi , Op.cit, h. 165. 19

(32)

16

1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan kriminal atau politik kriminal menurut Sudarto dalam bukunya

Barda Nawawi yang berjudul Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana adalah

suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

Kebijakan atau upaya penanggulangan pada hakikatnya merupakan bagian

integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu yang pertama dengan

menggunakan jalur “penal” atau melalui hukum pidana dan kedua melalui jalur

“non penal” atau diluar hukum pidana20 .

Upaya penanggulangan melalui jalur penal lebih memfokuskan pada sifatnya

yang repressive yakni dengan cara pemberantasan, penindasan dan penumpasan yang dilakukan setelah kejahatan terjadi. Dalam penulisan ini, pemberantasan

tindak pidana narkotika dilakukan dengan mengacu pada undang-undang yang

berlaku khususnya yang utama yakni UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Dimana dalam UU ini diatur secara tegas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja

yang dilarang beserta ancaman pidananya. Upaya penanggulangan kedua yakni

dengan melalui jalur non penal yang memfokuskan pada upaya yang bersifat

preventive atau upaya pencegahan, pengendalian dan penangkalan yang dilakukan sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama tindakan pencegahan ini adalah

menangani faktor-faktor kondusif yang dapat menjadi penyebab terjadinya

kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut berpusat kepada masalah atau kondisi

20

(33)

17

sosial tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan

kejahatan. Dalam penulisan ini, BNN sangat menyadari bahwa upaya

penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal sangatlah penting. Untuk itu,

BNN senantiasa melakukan advokasi, diseminasi, dan operasi rutin ke

tempat-tempat yang dianggap rawan sebagai tempat-tempat kejahatan narkotika seperti, hotel,

bar, kafe dan tempat hiburan malam lainnya21.

1.6.4 Teori Kewenangan

Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat:

a. Atribusi

Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli dan berasal dari

peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, menurut Ridwan HR, organ

pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu

yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam atribusi, penerima

wewenang dapat memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung

jawab intern dan ekstern, pelaksanaan wewenang yang diatribusikan

sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

b. Delegasi

Dalam delegasi adanya pelimpahan wewenang dari pejabat satu kepada

pejabat yang lain. Tanggung jawab yuridis tidak lagi pada pemberi delegasi

atau delegans namun beralih kepada penerima delegasi. Suatu delegasi

terlebih dahulu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

21

(34)

18

c. Mandat

Een bertuur sorgaan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander, yang berarti mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat,

penerima mandat atau mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama

pemberi mandat. Tanggung jawab terakhir keputusan yang diambil penerima

mandat tetap berada pada pemberi mandat22.

BNNP Bali dalam menjalankan tugas dan wewenangnya khususnya dalam

bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkotika (P4GN) melaksanakan kewenangan delegasi yakni adanya pelimpahan

wewenang dari BNN pusat kepada BNNP Bali. Tanggung jawab yuridis tidak lagi

pada BNN pusat namun beralih kepada penerima delegasi yaitu BNNP Bali. Suatu

delegasi terlebih dahulu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang, yaitu

memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu yang termuat dalam

peraturan perundang-undangan. Dipertegas dengan terbitnya Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tanggal 12 April 2010 tentang BNN

dimana pada Pasal 33 dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan

wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.

(35)

19

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian

hukum empiris. Dalam penelitian hukum empiris dapat dilakukan dua jenis

penelitian yaitu, penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk

mengidentifikasikan hukum yang hidup23. Dalam penulisan ini penulis memilih

melakukan penelitian mengenai berlakunya hukum. Untuk mengetahui apakah

hukum akan bekerja efektif atau telah berjalan dengan efektif diperlukan

setidaknya empat tolak ukur yaitu, perundang-undangan yang dimaksud, aparatur

hukum terkait, sarana prasarana yang tersedia, dan masyarakat dimana hukum

tersebut berlaku24.

1.7.2. Jenis Pendekatan

Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan yakni pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan frasa (words and phrase approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach)25.

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan undang-undang

(statute approach) dan pendekatan fakta (the fact approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang-undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani26. Pendekatan Fakta

23

Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, cet.I, Universitas Trisakti, Jakarta, h.42.

24 Ibid. 25

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 80.

26

(36)

20

(The Fact Approach), yaitu pendekatan masalah yang didasarkan pada fakta-fakta apa saja yang terjadi di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

dibahas.

1.7.3. Sifat Penelitian

Buku pedoman pendidikan fakultas hukum universitas udayana

menyebutkan bahwa, penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan

menjadi empat yakni penelitian eksploratif (penjajakan atau penjelajahan),

penelitian deskriptif, penelitian eksplanatoris dan penelitian verifikatif. Sifat

penelitian dalam penulisan ini ialah penelitian yang sifatnya deskriptif. Penelitian

deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan,

gejala pada kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya suatu gejala

dengan gejala yang lain di dalam masyarakat. Teori-teori, ketentuan peraturan,

norma-norma hukum, karya tulis sudah mulai ada27.

1.7.4. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan dua jenis

yakni data primer, dan data sekunder. Data primer didapat melalui penelitian

langsung ke lapangan yaitu data yang didapatkan secara langsung dari sumber

utama baik responden maupun informan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari

penelitian kepustakaan28.

1.7.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan faktor penting dalam menentukan

keberhasilan dari penulisan skripsi ini, mengingat jenis penelitian yang digunakan

27

(37)

21

oleh penulis adalah jenis penelitian empiris. Teknik pengumpulan data dikenal

bermacam-macam, tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian

yang digunakan29. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah

1) Teknik Studi Dokumen

Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertitik tolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian30.

2) Teknik wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh

keterangan secara lisan guna mencapai tujuan untuk mengumpulkan

keterangan. Dalam wawancara terdapat dua pihak yakni pewawancara atau

interviewer dan pemberi informasi atau informan31. Wawancara penulis lakukan dengan cara mengajukan daftar pertanyaan kepada informan dimana

daftar pertanyaan yang diajukan disusun secara sistematis.

Informan tersebut dalam hal ini adalah para staf atau pegawai yang bekerja

dalam bidangnya di BNNP Bali guna memperoleh jawaban-jawaban yang

relevan terkait dengan bentuk upaya BNNP Bali dalam mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dari jawaban

yang diperoleh dari teknik wawancara maka selanjutnya penulis akan

mencatat secara sederhana dan merekam wawancara tersebut, untuk

29

Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persana, Jakarta, h. 53.

30

Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit, h. 82. 31

(38)

22

selanjutnya akan diolah dan dianalisis menjadi sebuah laporan yang beruntun

dan terperinci.

1.7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data yang dikumpulkan dari lapangan sudah lengkap maka, tahap

berikutnya adalah mengolah dan menganalisis data tersebut dengan cara

mengalami data-data tersebut melewati proses editing. Apabila data-data tersebut

sudah terkumpul maka untuk selanjutnya data tersebut akan diolah agar data-data

tersebut sudah tersusun dan dianggap cukup baik. Lazimnya editing dilakukan

terhadap kuisioner-kuisioner yang disusun terstruktur dan yang pengisiannya

melalui wawancara formal32. Dalam editing ini yang dikoreksi kembali adalah

mengenai keterbacaan tulisan, kejelasan apa yang dimaksud dari jawaban,

penyesuaian jawaban, relevansi jawaban dan keseragaman data.

(39)

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI, NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

2.1Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali

Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa, dalam rangka

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

dan prekursor narkotika maka, dibentuk suatu badan yaitu BNN. BNN merupakan

lembaga pemerintah nonkementrian yang berkedudukan dibawah dan bertanggung

jawab langsung kepada Presiden. Lembaga pemerintah nonkementrian

sebelumnya bernama Lembaga Pemerintah Nondepartemen yang disingkat

LPND. Lembaga nonkementrian adalah lembaga yang dibentuk untuk

melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Kepala Lembaga

Pemerintah Nonkementrian berada dibawah dan bertanggung jawab langsung

kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan39. Pasal 65 dan 66 UU

No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa BNN berkedudukan di ibukota Negara

dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara RI. Dengan dibentuknya

BNN diharapkan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika dapat dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya. Dalam

menjalankan tugasnya, BNN mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan

kabupaten/kota sebagai instansi vertikal.

39

(40)

24

Pasal 31 Perpres No. 23 Tahun 2010, menyebutkan bahwa instansi vertikal

BNN terdiri dari BNN Provinsi yang selanjutnya disebut BNNP dan BNN

Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BNNK/Kota. BNNP berkedudukan di

ibukota provinsi sedangkan BNNK berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, Pasal 33 menyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan

wewenang BNN dalam wilayah Provinsi. BNNP adalah lembaga non-struktural

yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur.

2.1.1 Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali

Atas dasar Keputusan Presiden RI No 116, tahun 1999 tentang Badan

Koordinasi Narkotika Nasional, maka di tingkat pusat dibentuklah Badan

Koordinasi Narkotika Nasional dan di tingkat Provinsi dibentuk Badan Koordinasi

Narkotika Daerah (BKND) Bali. BKND merupakan badan pemerintahan yang

didirikan dalam rangka usaha untuk mengatasi, mencegah, memberantas dan

menanggulangi penyalahgunaan narkotika.

Tahun 2012 kemudian, terbitlah Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun

2002 tentang BNN, dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 116 tahun 1999

tidak berlaku lagi. Selanjutnya di tingkat Provinsi diubah namanya menjadi BNP

dan BNK untuk Kabupaten/Kota. Setelah itu kembali diperbaharui dengan

terbitnya Perpres No. 83 Tahun 2007 tentang BNN, BNP dan BNK. Dengan

berlakunya Perpres ini maka Keputusan Presiden RI No. 17 tahun 2002 tentang

(41)

25

Keluarnya UU No. 35 Tahun 2009 tanggal 12 Oktober 2009 tentang

Narkotika memperkuat kelembagaan BNN serta kewenangan dibidang penyidikan

dan penyelidikan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa BNN merupakan

lembaga Pemerinatah non Kementrian yang berkedudukan dibawah Presiden dan

bertanggung jawab kepada Presiden dan mempunyai perwakilan di daerah

provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal.

Hal tersebut dipertegas dengan terbitnya Perpres RI No. 23 Tahun 2010

tentang BNN, dimana pada Pasal 31 disebutkan bahwa Instansi Vertikal BNN

terdiri dari BNN Provinsi yang selanjutnya disebut BNNP dan BNN

Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BNNK/Kota dan pada Pasal 33

dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam

wilayah Provinsi40.

2.1.2 Struktur Organisasi

Mengacu pada Pasal 34 Perpres RI No. 23 Tahun 2010, BNNP Bali

memiliki struktur organisasi sebagai berikut:

1. Kepala BNNP : Drs. I Pt. Gede Suastawan,S.H

2. Kep. Bagian Umum : Dra. Ni Nyoman Andari

a. KSBG Perencanaan : Drs. SI Ngr Md Arya Astawa,M.Si

b. KSBG Sarana Prasarana : Ni Luh Soli,SH

c. KSBG Administrasi : I Pt. Dikrit Artana,ST,M.si

(42)

26

3. Kep. Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat:

Ni Kt Adi Lisdiani,SKM,MHP,Ed

a. Kep. Seksi Pencegahan : I Gst Agung Pt Yuwana, SH,MT

b. Kep. Seksi Pemberdayaan Masyarakat: Dra. Ni Md Indrawati

4. Kep. Bidang Pemberantasan : IKt Arta,S.H

a. Kep. Seksi Intelijent : I Md Pakris,S.H,MH

b. Kep. Seksi Penyidikan : I Wayan Suardana,S.H

c. Kep. Seksi Pengawasan Tahanan Barang Bukti: IKetut Suandika,SH

5. Kepala Bidang Rehabilitasi : I Nyoman Artana,S.H

a. Kep. Seksi Penguatan Lembaga Rehabilitasi: Md Rusmartini,SE, MMA

b. Kep. Seksi Pasca Rehabilitasi: A.A Ngurah Manik,S.H

2.2Pengertian Narkotika

Narcotic is an addictive drug, example an opiate. A drug that is controlled or prohibited by law41. Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Patri Handoyo mengatakan bahwa narkotika adalah zat yang berasal dari opium

yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit, mempermudah tidur, dan dapat

mengubah suasana hati atau prilaku seseorang42. Soedjono, dalam patologi

41

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing CO,United States Amerika, 2009.

42

(43)

27

sosial,merumuskan definisi narkotika sebagai bahan-bahan yang terutama

mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran43.

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 1 menyatakan

bahwa :

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

2.3Pengertian Penyalahguna Narkotika

Pemakaian diluar pengawasan dan pengendalian dinamakan

penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan

manusia baik perorangan maupun masyarakat dan Negara44. Menurut Pasal 1

angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 Penyalah Guna adalah orang yang

menggunakanNarkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 127 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

43

Mardani, loc.cit. 44

(44)

28

Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal

penyalah guna sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau

terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan, yang dimaksud

dengan korban penyalahgunaan narkotika menurut penjelasan Pasal 54 adalah

seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya,

ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.

Tidak sengaja yang dimaksudkan dalam Pasal 54 ini, Menurut Sujono dan

Bony adalah tidak sengaja dalam arti maksud dan tujuan, dimana pelaku

benar-benar tidak memiliki maksud menggunakan narkotika, dan penggunaan narkotika

semata-mata karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam.

Pengertian dibujuk dapat mengacu pada Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-2 yang

dimana suatu perbuatan dapat dikatakan membujuk apabila dilakukan dengan

cara-cara yakni adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau

martabat, dengan paksaan, ancaman atau penipuan atau dengan memberikan

kesempatan, sarana ataupun kesempatan. Karena membujuk adalah suatu

perbuatan yang dilakukan dengan cara-cara diatas maka, dikatakan dibujuk

apabila cara yang digunakan berhasil45.

Diperdaya, berarti dibuat tidak berdaya, sehingga tidak mampu untuk

membantah atau menolak akibat suatu informasi yang menyesatkan. Ditipu

45

(45)

29

memiliki arti menggunakan cara-cara penipuan sehingga orang lain tertipu dengan

rangkaian kebohongan yang terkait satu sama lainnya. Dipaksa, dimana suatu

paksaan dapat berupa paksaan secara fisik maupun psikis. Paksaan fisik dapat

berupa sentuhan yang kasar atau genggaman yang kuat untuk melakukan atau

menerima sesuatu. Sedangkan paksaan psikis, sebagai paksaan yang dilakukan

dengan cara mengancam dengan cara menggunakan kata-kata yang mengandung

ancaman46.

2.3.1 Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Dari beberapa penelitian oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor

yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika diantaranya faktor

individu, faktor sosial budaya, faktor lingkungan dan faktor narkotika itu sendiri.

a. Faktor individu

Faktor individu terdiri dari aspek kepribadian akibat adanya kecemasan atau

depresi atau faktor diri sendiri. Aspek kepribadian termasuk didalamnya

antara lain kepribadian yang ingin mengetahui suatu hal yang tinggi, rasa

mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Kecemasan atau depresi

adalah karena tidak bisa menyelesaikan kesulitan hidup yang dialami

sehingga, melarikan diri dengan cara menggunakan narkotika.

b. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pertemanan.

Kondisi keluarga yang dimaksud adalah kondisi yang tidak harmonis

contohnya, orang tua yang bercerai, orang tua yang jarang berada dirumah dan

46

(46)

30

sibuk serta keadaan perekonomian keluarga yang lebih maupun kekurangan.

Sedangkan yang dimaksud dalam pengaruh pertemanan adalah contohnya

karena berteman dengan seorang yang ternyata penyalahguna narkotika dan

ingin diterima dalam kelompok.

c. Faktor lingkungan

Lingkungan sekitar yang tidak baik yang berhubungan dengan perkembangan

psikologis seorang anak dan kurangnya perhatian juga dapat menyebabkan

seorang anak untuk menjadi pemakai narkotika

d. Faktor narkotika

Mudahnya seseorang untuk mendapatkan narkotika dan didukung dengan

faktor-faktor yang telah disebut diatas mengakibatkan peluang seseorang

untuk menjadi penyalahguna narkotika semakin besar47.

Graham Blamie menyebutkan bahwa penyebab penyalahgunaan narkoba

antara lain:

a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti berkelahi, bergaul dengan perempuan dan lain-lain.

b. Untuk memperlihatkan tindakan menentang otoritas terhadap orang tua, guru maupun terhadap norma-norma sosial.

c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan sex.

d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin mendapatkan pengalaman sensasional dan emosional.

e. Untuk mengisi kekosongan waktu, kesepian ataupun kebosanan. f. Untuk melenyapkan kegelisahan, frustasi, dan kepenatan hidup.

g. Untuk mengikuti keinginan teman-teman dalam rangka pembinaan solidaritas. h. Untuk mencoba dengan didorong rasa ingin tahu48.

47

(47)

31

2.3.2 Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Pada dasarnya, penggunaan narkotika yang benar hanya diperuntukkan

untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Penyalahgunaan narkotika yang terus dilakukan berulang-ulang,

menyebabkan ketergantungan. Ketergantungan terhadap narkoba ini lah yang

mengakibatkan timbulnya berbagai dampak negatif dan berbahaya baik secara

fisik, psikologis maupun sosial49. Efek awal dari penggunaan narkotika

diantaranya sebagai berikut:

a. Depressant yaitu mengurangi mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk dapat tidur atau istirahat.

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang.

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak nyata atau khayalan-khayalan yang menyenangkan50.

Efek menenangkan, meningkatkan kemampuan fisik, dan timbulnya

khayalan-khayalan menyenangkan itulah yang membuat seorang penyalahguna

narkotika menjadi ketagihan dan sulit untuk tidak menginginkannya lagi. Apabila

narkotika tersebut terus menerus dikonsumsi maka akan mengakibatkan dampak

yang serius seperti, rusaknya susunan syaraf, rusaknya organ tubuh, timbulnya

penyakit kulit, dan lemahnya fisik, moral dan daya pikir.

49

Ace Syahrudin, 2007, Anakku Terjebak Narkoba, PT Bengawan Ilmu, Semarang, h. 47. 50

Referensi

Dokumen terkait

Bersama ini diharapkan kehadiran saudara pada acara Pembuktian Kualifikasi dan Verifikasi pada Hari Senin, Tanggal 23 Juni 2014, Pukul : 08.30 wib s/d 12.30 Wib

Retribusi Daerah di Bidang Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pemberian izin

[r]

Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Secon Edition, Pluto Press London, 2002; 20.. 2 tertentu ada juga yang berakhir dengan nuansa konfrontatif,

Dalam penelitian ini hasil yang didapatkan adalah pembiayaan mudarabah tidak berpengaruh terhadap profitabilitas karena pembiayaan mudarabah merupakan pembiayaan bagi

Penelitian bertujuan menganalisa penyebab munculnya persamaan nomor sertipikat pada obyek tanah yang berbeda dan mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap

Saya menyetujui bahwa SKK MIGAS ExxonMobil– Putera Sampoerna Foundation dapat menggunakan formulir pendaftaran dan seluruh dokumen yang menyertainya untuk evaluasi

"Kami berharap dengan adanya kegiatan promosi yang dilakukan, seperti sosialisasi secara langsung kepada peserta ASABRI, akan membantu proses diseminasi informasi yang