• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ATRIBUT SUPERMARKET DAN MOTIF BELANJA HEDONIK TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN DI CARREFOUR RUNGKUT SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH ATRIBUT SUPERMARKET DAN MOTIF BELANJA HEDONIK TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN DI CARREFOUR RUNGKUT SURABAYA."

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME, atas rahmat dan

berkat-Nya yang diberikan kepada penyusun sehingga skripsi yang berjudul

“Pengaruh Atribut Super mar ket Dan Motif Belanja Hedonik Ter hadap

Loyalitas Pelanggan di Car refour Rungkut Sur abaya”.

Penyusunan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat penyelesaian

Studi Pendidikan Strata Satu, Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada

semua pihak yang telah memberi bimbingan, petunjuk serta bantuan baik spirituil

maupun materiil, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP selaku Rektor Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Dr. Dhani Ichsanudin Nur. SE, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Dr. Muhadjir Anwar,MM, MS. Selaku Ketua Program Studi Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur.

4. Heryy Arianto.L.W.SE.MM selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah

memberikan bimbingan skripsi sehingga peneliti bisa merampungkan tugas

(4)

6. Kepada kedua orang tuaku dan adik tercinta yang telah memberikan dukungan

baik moril ataupun material.

7. Berbagai pihak yang turut membantu dan menyediakan waktunya demi

terselesainya skripsi ini yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa apa yang telah disusun dalam

skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat berharap saran

dan kritik membangun dari pembaca dan pihak lain.

Akhir kata, Peneliti berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Salam hormat,

Surabaya, JUNI 2013

(5)

DAFTAR TABEL ... iii

BAB II KAJ IAN TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ... 9

2.2 Kajian Teori ... 11

2.2.1. Atribut Supermarket ... 11

2.2.1.1. Pengertian Atribut Supermarket ... 11

2.2.2. Motif Belanja ... 13

2.2.2.1. Pengertian Motif Belanja ... 13

2.2.2.2. Konsep Motif Belanja ... 14

2.2.2.3. Alasan Orang Berbelanja ... 16

2.2.3. Loyalitas Pelanggan ... 17

2.2.3.1. Pengertian Loyalitas Pelanggan ... 17

2.2.4. Pengaruh Atribut Supermarket Terhadap Loyalitas Pelanggan ... 20

(6)

3.1 Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel ... 23

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskriptif Hasil Penelitian ... 44

4.1.1. Sejarah Hypermart Carrefour ... 44

4.2. Analisis Karakteristik Responden ... 46

4.2.1. Deskripsi Variabel ... 48

4.2.1.1. Deskripsi Variabel Atribut Supermarket (X1) 48 4.2.1.2. Deskripsi Variabel Motif Belanja Hedonik (X2) 51 4.2.1.3. Deskripsi Variabel Loyalitas Pelanggan (Y) 53

4.3. Analisis Data ... 54

4.3.1. Evaluasi Outlier ... 54

4.3.2. Intrepretasi Hasil PLS ... 56

(7)

4.4.2. Pengaruh Motif Belanja Hedonik Terhadap Loyalitas

Pelanggan ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 68

5.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA

(8)

Tabel 4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 47

Tabel 4.3. Frekuensi Hasil Jawaban Responden Mengenai Atribut Supermarket ... 48

Tabel 4.4. Frekuensi Jawaban Responden Mengenai Motif Belanja Hedonik 51 Tabel 4.5. Frekuensi Jawaban Responden Mengenai Loyalitas Pelanggan 53

Tabel 4.6. Outlier Data ... 55

Tabel 4.7 Outer Loading... 57

Tabel 4.8. Average Variance Extracet (AVE ) ... 59

Tabel 4.9. Reliabilitas Data ... 60

Tabel 4.10 R Square ... 62

Tabel 4.11. Outer Weighs ... 63

(9)
(10)

Lampiran 2 : Tabulasi Rekap Jawaban Responden

Lampiran 3 : Uji Outlier

Lampiran 4 : Evaluasi Model Pengukuran (Outter Model)

(11)

Bona Christian Silaban

Abstraksi

Penelitian ini dilakukan di Carrefour, Carrefour merupakan perusahaan retail kedua terbesar di dunia setelah Wal-Mart. Pada penghujung, Carrefour dan Promodes (Induk perusahaan Continent) sepakat untuk melakukan penggabungan atas semua usahanya di seluruh dunia. Penggabungan ini membentuk suatu grup usaha ritel terbesar kedua di dunia dengan memakai nama Carrefour.Dengan terbentuknya Carrefour baru ini, maka segala sumber daya yang dimiliki kedua grouptadi menjadi difokuskan untuk lebih memenuhi dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Berdasarkan observasi pendahuluan yang di lakukan walaupun saat ini Carrefour merupakan hypermarket yang cukup mendominasi di Indonesia tetapi tetap ada masalah masalah yang terjadi di dalamnya. tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :1. Untuk mengetahui pengaruh atribut supermarket terhadap loyalitas pelanggan di Carrefour rungkut Surabaya.2.Untuk mengetahui pengaruh motif belanja hedonik terhadap loyalitas pelanggan di Carrefour rungkut Surabaya.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelanggan yang berkunjung dan berbelanja di Carrefour Rungkut Surabaya. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel sebesar 105 responden. Data yang dipergunakan adalah data primer yaitu data yang berdasarkan kuisioner hasil jawaban responden. Sedangkan analisis yang dipergunakan adalah Partial Least Square

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa 1).Atribut supermarket yang bagus dapat meningkatkan loyalitas pelanggan yang berkunjung dan berbelanja di Carrefour Rungkut Surabaya.2).Motif belanja hedonic yang bagus dapat meningkatkan loyalitas pelanggan yang berkunjung dan berbelanja di Carrefour Rungkut Surabaya

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam era yang serba modern seperti saat ini, tingkat persaingan bisnis

yang tinggi membuat perusahaan berlomba-lomba untuk mempertahankan,

memenangkan persaingan pasar serta memperluas keeksistensiannya. Industri

sejenis akan selalu berusaha memperebutkan pasar yang sama. Imbas dari

persaingan itu tentunya sangat jelas dimana konsumen kemudian menjadi semakin

kritis memilih yang terbaik bagi mereka. Maka dari itu pemasar perlu mengetahui

dan mempelajari kebutuhan dan keinginan konsumen, serta karakter yang dimiliki

konsumen.

Salah satu bidang usaha yang berkembang pesat saat ini adalah retail. Hal

ini ditandai dengan semakin banyaknya usaha retail di Indonesia karena

banyaknya permintaan masyarakat dan gaya hidup masyarakat yang semakin

modern, yakni lebih menyenangi suasana kenyamanan berbelanja, kemudahan

dalam menemukan produk, kepraktisan dengan harga terjangkau. Department

Store merupakan suatu sarana berbelanja retail yang menawarkan berbagai jenis

produk berbagai supplier untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.

Oleh karena itu, peran bauran penjualan eceran menjadi semakin penting dan

persaingannya pun semakin ketat.

Perubahan kebiasaan berbelanja sebagai bentuk mencari suatu kesenangan

(13)

yang dinamis yang terus-menerus berubah sebagai reaksi terhadap berbagai

pengalaman hidup. Kebutuhan dan sasaran terus-menerus bertumbuh dan berubah

sebagai jawaban terhadap keadaan fisik, lingkungan, pengalaman, dan interaksi

individu dengan orang lain

Di berbagai kota besar seperti Surabaya, keberadaan pusat pembelanjaan

tumbuh pesat. Terdapat beberapa pusat perbelanjaan seperti Tunjungan Plaza,

Galaxi Mal, Surabaya Plaza, Giant Carrefour, Carrefour, Pakuwon Trade Centre,

Supermal, dan masih banyak lagi pusat perbelanjaan yang lain. Bahkan di tahun

2006 sampai dengan tahun 2007 direncanakan akan dibuka 21 pusat perbelanjaan

yang baru (Properti Indonesia, Oktober 2007), yang sampai saat ini belum selesai

secara keseluruhan.

Keberadaan berbagai pusat perbelanjaan atau dikenal sebagai pasar

modern menyebabkan pasar modern sebagai salah satu alternatif konsumen untuk

berbelanja. Keunggulan pasar modern dibandingkan pasar tradisional khususnya

masalah kebersihan, ketertiban menyebabkan banyak konsumen yang lebih

memilih berbelanja di pasar modern dibandingkan pasar tradisional.

Berkembangnya jumlah pasar modern di Surabaya menunjukkan sikap

masyarakat Surabaya yang responsif terhadap pasar-pasar modern. Jumlah pasar

modern di Surabaya sampai tahun 2007 sebanyak 160 tempat, terdiri dari 70

persen minimarket dan 30 persen supermarket termasuk di dalamnya Carrefour

(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/13/jatim/54869.htm). Banyaknya

pasar modern di Surabaya menyebabkan adanya persaingan untuk mendapatkan

(14)

Salah satunya dengan melakukan desain internal retailer yang menarik

dengan sistem swalayan. Selain itu, juga terdapat banyak pasar modern yang

bergabung, misalnya Carrefour bergabung dengan pusat perbelanjaan seperti

Hypermaket di Royal Plaza Surabaya. Hal ini didasari karena kebiasaan

masyarakat metropolis yang sering menjadikan mall (pusat perbelanjaan) sebagai

salah satu tempat hiburan. Melalui penempatan Carrefour di pusat perbelanjaan ini

memungkinkan mampu menarik pengunjung, khususnya pengunjung mall.

Dapat dikatakan, loyalitas atau kesetiaan adalah sebuah komitmen

mendalam untuk membeli kembali atau menjadi pelanggan tetap dari sebuah

produk/jasa yang disukai secara konsisten di masa yang akan datang, di mana

komitmen tersebut menyebabkan pembelian yang berulang terhadap produk yang

sama, meskipun pengaruh–pengaruh situasional dan usaha–usaha pemasaran

mempunyai kesanggupan atau kemungkinan untuk mengakibatkan perubahan

perilaku. (Zeitham and Bitner, 2006). Pada pendekatan sikap (attitudinal) loyalitas

didasarkan atas komitmen psikologis, keinginan beli, dan rekomendasi dari mulut

kemulut.

Subagio,(2011) motif belanja dimulai dari munculnya kebutuhan tertentu,

yang semakin lama kebutuhan ini akan mendesak orang tersebut untuk dipenuhi.

Desakan atau dorongan kebutuhan menjadi motivasi. Motivasi pembelian dan

konsumsi diklasifikasikan dalam bentuk dua jenis yaitu motif hedonik dan

Utilitarian. Motif belanja hedonik didasarkan pada emosi, perasaan nyaman,

gembira, bersuka. Sedangkan motif belanja utilitarian didasarkan pada motif

(15)

berakibat pada kesetiaan pembelanja kepada supermarket yang menyajikan

tawaran yang mampu menyesuaikan dengan dorongan atau motif hedonik atau

motif utilitarian pembelanja. Motif belanja hedonik dikembangkan oleh Arnold

and Reynolds (2003:80-81) dengan indikator meliputi pertama adalah adventure

shopping. Belanja ada tantangan, suatu sensasi, menggembirakan, masuk

lingkungan universal yang menyenangkan, Motif Hedonik adalah dasar untuk

mengevaluasi pengalaman belanja lebih dari informasi yang mereka kumpulkan

atau produk yang dibeli. Konsumen berbelanja mencari kesenangan, Motif

Hedonik berbelanja tidak hanya untuk membeli barang tetapi juga kegiatan

sosialisasi dengan teman untuk mencari hiburan. Manfaat Hedo-nis adalah

manfaat yang bersifat perasaan yaitu perasaan senang, perasaan lega, perasaan

nikmat.

Koo,(2003) menyarankan tujuh komponen untuk atribut supermarket

seperti atmosfir toko, lokasi, fasilitas kemudahan, nilai, layanan pramuniaga,

layanan purna jual, dan barang dagangan. Pada penelitian ini atribut dengan

indikator komponen fasilitas fisik, layanan pramuniaga, layanan purna jual,

barang dagangan. Fasilitas fisik yang tersedia di pasar swalayan seperti phisik

bangunan, layout, dan display. Kategori ini juga meliputi kemudahan, seperti

lokasi yang mudah, tempat parkir. Layanan pramuniaga lebih pada kualitas yang

disediakan oleh karyawan pasar swalayan, sedangkan layanan purna jual meliputi

fasilitas penukaran barang yang tidak cocok dan kebijakan pengembalian uang,

dan barang dagangan lebih pada kualitas produk yang dijual, macam merek dan

(16)

Penelitian ini dilakukan di Carrefour, Carrefour merupakan perusahaan

retail kedua terbesar di dunia setelah Wal-Mart. Pada penghujung, Carrefour dan

Promodes (Induk perusahaan Continent) sepakat untuk melakukan penggabungan

atas semua usahanya di seluruh dunia. Penggabungan ini membentuk suatu grup

usaha ritel terbesar kedua di dunia dengan memakai nama Carrefour.Dengan

terbentuknya Carrefour baru ini, maka segala sumber daya yang dimiliki kedua

grouptadi menjadi difokuskan untuk lebih memenuhi dan memuaskan kebutuhan

pelanggan. Berdasarkan observasi pendahuluan yang di lakukan walaupun saat ini

Carrefour merupakan hypermarket yang cukup mendominasi di Indonesia tetapi

tetap ada masalah masalah yang terjadi di dalamnya. Dengan menyandang status

perusahaan retail yang mendunia tidak menutup kemungkinan bahwa masih

banyak masalah yang ada di Carrefour khususnya masalah pada persediaan barang

dagang. Masalah yang ingin dibahas adalah masalah barang-barang kadaluarsa

yang masih dijual di gerai-gerai Carrefour.

Menurut beberapa info bahwa barang-barang yang rentan tetap dijual

meskipun sudah kadaluarsa adalah makanan-makanan yang cenderung tidak tahan

lama seperti roti, ikan,daging, sayuran, dan makanan yang bersifat fresh dan alami

lainnya. Namun tidak sedikit makanan yang cenderung awet seperti mi instan,

biscuit, dan makanan ringan lainnya yang tetap dijual meskipun sudah kadaluarsa.

Hal ini terjadi bukan karena unsur kesengajaan namun disebabkan oleh unsur

ketidaksengajaan dimana barang-barang yang tidak tahan lama seperti daging,

buah-buahan, ikan, susu cair dan makanan alami lainnya lupa untuk dibuang.

(17)

kemasan lainnya cenderung lupa untuk dibuang bila sudah kadaluarsa karena

memang tahan lama sehingga lama terpajang di gerai-gerai Carrefour dan lupa

untuk dibuang. Kompas.com, 2012

Berdasakan uraian fenomena di atas menunjukkan bahwa meskipun

Carrefour adalah salah satu ritel terbesar namun masih ada juga beberapa masalah

yang dapat menimbulkan ketidak loyalitasan untuk berbelanja di ritel tersebut, hal

tersebut dengan adanya data top brand index 2010-2012:

Tabel 1.1. Top Brand Index Ritel 2010-2012

Ritel

hingga tahun 2012 ritel Carrefour mengalami penurunan dilihat dari presentase

penilaian lembaga tersebut yaitu tahun 2010 sebesar (56,3%), kemudian di tahun

2011 (57,8%), dan tahun 2012 ini menjadi (47,3%). Dengan adanya gambaran di

total brand index tiap hupermart yang ada dapat memberikan gambaran indikasi

bahwa loyalitas konsumen untuk berbelanja di Carrefour juga sedikit berkurang

meningat bahwa dengan meningkatnya bisnis-bisnis eceran di Surabaya, banyak

dari toko ini menyediakan berbagai macam produk dengan menekankan harga

murah, sedangkan peranan toko sendiri sangat penting didalam memenuhi

kebutuhan konsumen, karena di dalam toko biasanya konsumen sering melakukan

proses pencarian, pemilihan dan pengambilan keputusan atas suatu produk. Oleh

(18)

dalam pengambilan keputusan dalam memilih produk dalam toko tersebut, dengan

demikian konsumen akan merasa puas dengan pelayanan yang di berikan.

Dengan meningkatnya bisnis ritel terutama toko yang berciri hypermarket

yang berada di Surabaya ini, suatu hypermarket harus dapat memperhatikan

kualitas produk, kualitas pelayanan, lokasi, harga serta pemberian diskon kepada

pelanggan. Dengan memperhatikan atribut-atribut tersebut diharapkan citra dari

hypermarket menjadi positif sehingga mempengaruhi kesuksesan suatu

hypermarket.

Berdasarkan fenomena bahwa pembelanja akan berkunjung dan

melakukan pembelian ulang oleh karena didorong oleh motif yang bersifat

fungsional dan motif yang bersifat hedonik sehingga permasalahan yang dapat

diidentifikasikan adalah sebagai berikut diketahui ada pengaruh dari motif

hedonik dan utilitarian konsumen terhadap loyalitas pembelanja supermarket.

Menurut Kertajaya (2005), sudah terdapat bukti bahwa aktivitas untuk

mendapatkan pelanggan pada suatu perusahaan menghabiskan biaya jauh lebih

besar daripada biaya mempertahankan satu pelanggan yang baik. Hal ini

mengindikasikan bahwa loyalitas pelanggan sangat diperlukan agar perusahaan

tetap kompetitif.

Berdasarkan uraian diatas peneliti mengangkat judul penelitian “Pengaruh

Atribut Super mar ket Dan Motif Belanja Hedonik Ter hadap Loyalitas

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan judul yang akan dibahas maka ada beberapa rumusan masalah

yang dikemukakan sebagai berikut :

1. Apakah atribut supermarket berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan di

Carrefour rungkut Surabaya?

2. Apakah motif belanja hedonic berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan di

Carrefour rungkut Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah

dikemukakan tersebut, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh atribut supermarket terhadap loyalitas pelanggan

di Carrefour rungkut Surabaya.

2. Untuk mengetahui pengaruh motif belanja hedonik terhadap loyalitas

pelanggan di Carrefour rungkut Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian yang penulis lakukan nantinya

diharapkan dapat bermanfaat dan berguna antara lain :

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan ide dan

pemikiran pada jasa toko ritel seperti Carrefour untuk mengetahui faktor

penentu loyalitas pelanggan atau pelangganya.

2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan dapat memacu pihak

(20)

2.1. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dapat digunakan sebagai acuan obyek penelitian

diambil dari jurnal yang telah dilakukan oleh Hatane Samuel (2005) dengan judul

Respon lingkungan berbelanja sebagai stimulus pembelian tidak terencana pada

toko serba ada (toserba) studi kasus carrefour surabaya..

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa variabel respon lingkungan

belanja dominance berpengaruh positif terhadap pembelian tidak terencana.

Terungkap juga bahwa variabel pengalaman belanja resource expenditure

merupaka variabel mediator antara respons lingkungan belanja dan variabel

pengalaman belanja lainnya, serta berpengaruh negatif terhadap pembelian tidak

terencana..

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hatane Samuel (2006) dengan judul

Dampak respon emosi terhadap kecenderungan perilaku pembelian impulsif

konsumen online dengan sumberdaya yang dikeluarkan dan orientasi belanja

sebagai variabel mediasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan pengaruh stimulus

antara format media offline dengan media online terhadap respon emosi dan

kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Ditemukan bahwa stimulus dari

format media online memberikan dampak respon emosi dan kecenderungan

(21)

mempunyai stimulus yang tidak berbeda secara statistik dan lebih kuat

dibandingkan format animasi gambar. Hasil temuan lainya. menunjukan bahwa

respon emosi mempunyai dampak positip secara langsung terhadap

kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Selain itu sumberdaya yang

dikeluarkan dapat merupakan mediasi positip antara respon emosi dengan

orientasi belanja rekreasi, dan negatip untuk orientasi belanja kenyamanan.

Orientasi belanja kenyamanan merupakan mediasi positip antara sumberdaya

yang dikeluarkan dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif, sedangkan

orientasi belanja rekreasi merupakan mediasi negatip.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Neda dan Kambiz (2011) dengan

judul the effect of Iranian consumer buying tendencies on utilitarian and hedonic

shopping value.

Hasil penelitian diketahui bahwa variety seeking dan compulsive buying

tendecies merupakan faktor kritis dari nilai belanja bagi konsumen yang

berbelanja di manto dan shirt, sebaliknya terdapat hubungan yang negatif antara

harga dan hedonic value. Namun, tidak terdapat hubungan yang positif antara

impulsive buying tendency dan shoping value, dan tidak ada hubungan positif

antara harga dan utilitarian value. Selain itu, hasil dalam penelitian ini

menyatakan bahwa utilitarian dan hedonic value memiliki pengaruh yang positif

(22)

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian Pemasaran

Selama ini pemasaran jasa masih belum begitu diperhatikan, tapi melihat

banyak jumlah uang, yang dibelanjakan untuk membeli jasa tersebut, maka para

produsen jasa mulai memberi perhatian khusus. Hal ini ditambah pula dengan

tingkat persaingan yang mulai ketat diantara para penghasil jasa.

Pemasaran merupakan suatu proses/kegiatan untuk mempersepsikan,

memahami, menstimulasi dengan menyalurkan sumber-sumber sebuah organisasi

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut atau dengan kata lain, pemasaran

merupakan proses penyelarasan sumber-sumber sebuah organisasi terhadap

kebutuhan pasar, adapun definisi-definisi lain tentang pemasaran dikemukakan

oleh para ahli sebagai berikut :

Menurut Kotler (2002 : 8) dalam Manajemen Pemasaran I; pemasaran

adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan

kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan menciptakan,

menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Menurut beberapa ahli mengenai definisi jasa dalam buku Buchari Alma

(2003 : 243) sebagai berikut :

1. Valerie A. Zeitthaml dan Mary Jo Bitner (2000: 3) jasa adalah suatu

kegiatan ekonomi yang outputnya bukan produk dikonsumsi bersamaan

dengan waktu produksi dan memberikan nilai tambah (seperti kenikmatan,

(23)

2. Pemasaran adalah”satu fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk

menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai kepada

pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang

menguntungkan organisasi dan pemilik sahamnya” (Kotler, 2007:6)

Intinya disini ialah bahwa jasa itu tidak berwujud dan tidak memberikan

kepemilikan suatu apapun kepada pembelinya. Sedangkan proses

produksinya bisa tergantung atau tidak tergantung sama sekali kepada fisik

produk.

Manajemen pemasaran merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk

menghasilkan pertukaran yang diinginkan oleh pasar sasaran (target market).

Kegiatan pemasaran harus dijalankan berdasarkan falsafah pemasaran yang

efisien, efektif dan bertanggung jawab sosial yang telah dipikirkan secara

mendalam.

Definisi jasa menurut Rismiyati (2001: 270) adalah setiap tindakan atau

kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya

tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa

mungkin berkaitan dengan produk fisik atau tidak.

Menurut Lupiyoadi (2001: 5) jasa adalah semua aktivitas ekonomi yang

hasilnya tidak merupakan produk dalam bentuk fisik atau konstruksi, yang

biasanya dikonsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang dihasilkan dan

memberikan nilai tambah atau pemecahan masalah yang dihadapi konsumen.

Beberapa pengertian diatas dikatakan bahwa jasa merupakan suatu

(24)

dirasakan dan dapat diambil manfaatnya baik bagi individu maupun organisasi.

Selain itu jasa juga dapat diberikan secara keseluruhan/ murni ataupun dikaitkan

dengan produk barang. Jasa/ pelayanan juga merupakan suatu kinerja penampilan

dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta konsumen lebih

dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut.

2.2.2. Perilaku Konsumen

Pengertian mengenai perilaku oleh perusahaan ataupun organisasi dalam

mencapai tujuan pasar sangat penting dan berguna dalam usaha menentukan dan

melaksanakan strategi pemasaran yang tepat agar dapat mencapai tujuan dengan

efektif. Perilaku Konsumen (consumer behavior) didefinisikan sebagai studi

tentang unit pembelian (buying unit) dan proses pertukaran yang melibatkan

perolehan, konsumsi, dan pembuangan barang, jasa, pengalaman, ide-ide (John C.

Mowen dan Michael minor, 2002).

Kotler dan Amstrong (2004:199), memberikan definisi yang lain,

“Perilaku Konsumen adalah perilaku pembelian konsumen akhir, baik individu

maupun rumah tangga, yang membeli produk untuk konsumsi personal”.

Konsumen mempunyai arti yang penting bagi perusahaan karena akan membeli

output perusahaan tersebut. Dalam memahami perilaku konsumen terdapat

beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipelajari, yaitu apa yang mereka beli,

mengapa mereka membeli, bagaimana mereka membeli, kapan mereka membeli,

(25)

2.2.2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen

Faktor yang mempengaruhi konsumen adalah sebagai berikut: (Kotler dan

Amstrong, 2007: 197)

1. Pengaruh lingkungan

2. Perbedaan dan pengaruh individu

3. Proses psikologis

Dalam tujuan pemasaran pihak pemasar berusaha keras untuk memenuhi

dan melayani kebutuhan dan belanja sasaran dengan maksimal sesuai dengan

keinginan dan harapan konsumennya, Yaitu memperoleh kepuasan sehingga

perusahaan harus mampu mengembangkan bauran pemasaran untuk

mempengaruhi konsumen agar mau mengambil keputusan untuk melakukan

pembelian atas produk atau jasa yang ditawarkan.

Rangkaian dan unsur masing-masing faktor dapat digambarkan sebagai

berikut :

Sumber: Kotler and Amstrong, (2007), Dasar-Dasar Pemasaran, Penerbit: Inter media J akarta.

Gambar 2.1. : Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Konsumen

(26)

1. Faktor Budaya

Budaya, sub-budaya, dan kelas sosial merupakan hal yang sangat penting

dalam perilaku pembelian

a. Budaya

Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar.

Anak-anak mendapatkan kumpulan nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku

dari keluarganya serta lembaga-lembaga penting lain. Anak-anak yang

dibesarkan di amerika serikat mendapatkan nilai-nilai berikut: prestasi dan

keberhasilan, aktifitas, efisiensi dan kepraktisan, kemajuan, kenikmatan

materi, individualisme, kebebasan, kenikmatan eksternal, humanisme, dan

berjiwa muda.

b. Sub-Budaya

Masing-masing budaya terdiri dari sub-budaya yang lebih kecil yang

memberikan lebih banyak ciri-ciri dan sosialisasi yang khusus bagi

anggota-anggotanya. Sub-budaya terdiri dari kebangsaan, agama,

kelompok ras, dan daerah geografis. Banyak sub-budaya yang membentuk

segmen pasar penting, dan pemasar sering merancang produk dan progam

pemasaran yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

c. Kelas Sosial

Pada dasarnya semua masyarakat memiliki strata social. Stratifikasi

(27)

dengan peran tertentu dan tidak dapat mengubah keanggotaan kasta

mereka. Stratifikasi lebih sering ditemukan dalam bentuk kelas sosial.

2. Faktor Sosial

Selain faktor budaya, perilaku seorang konsumen dipengaruhi oleh

faktor-faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga serta peran dan status sosial.

a. Kelompok Acuan

Kelompok acuan seseorang terdiri dari semua kelompok yang mempunyai

pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau

perilaku seseorang. Kelompok yang memiliki pengaruh langsung terhadap

seseoarang dinamakan kelompok keanggotaan.

Beberapa kelompok keanggotaan adalah kelompok primer, seperti

keluarga, teman, tetangga,dan rekan kerja, yang berinteraksi dengan

seseorang secara terus-menerus dan informal. Orang yang menjadi

kelompok anggota sekunder, seperti kelompok keagamaan, profesional,

dan asosiasi perdagangan, yang cendrung lebih formal dan membutuhkan

interaksi yang tidak rutin.

Orang sangat dipengaruhi oleh kelompok acuan mereka sekurang-kurang

oleh tiga jalur. Kelompok acuan manghadapkan seseorang pada perilaku

dan gaya hidup baru. Kelompok acuan juga memepengarui perilaku dan

konsep pribadi seseorang. Dan kelompok acuan menciptakan tekanan

untuk mengikuti kebiasaan kelompok yang mungkin mempengarui pilihan

(28)

Orang juga dipengaruhi oleh kelompok diluar kelompok mereka.

Kelompok yang ingin dimasuki seseorang dinamakan kelompok

aprirasional. Kelompok dissosiatif adalah kelompok yang nilai atau

perilakunya ditolak oleh seseorang.

b. Keluarga

Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting

dalam masyarakat, dan ia telah menjadi obyek penelitian yang luas.

Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling

berpengaruh .Kita dapat membedakan antar dua keluarga dalam kehidupan

pembeli. Keluarga orientasi terdiri dari orang tua dan saudara kandung

seseorang. Dari orang tua seseorang mendapatkan orientasi atas agama,

politik, dan ekonomi serta ambisi pribadi, harga diri dan cinta. Bahkan jika

pembeli tidak lagi berinteraksi secara mendalam dengan keluarganya,

pengaruh keluarga terhadap perilaku pembeli dapat tetap signifikan. Di

negara-negara dimana orang tua tinggal dengan anak-anak mereka yang

sudah dewasa, pengaruh mereka dapat menjadi sangat besar. Pengaruh

yang lebih langsung terhadap perilaku pembelian sehari-hari adalah

keluarga prokreasi yaitu, pasangan dan anak-anak seseorang.

c. Peran dan Status

Seseorang berpartisipasi dalam banyak kelompok sepanjang hidupnya

keluarga, club, organisasi. Kedudukan orang itu masing-masing kelompok

dapat ditentukan berdasarkan peran dan status. Peran meliputi kegiatan

(29)

menghasilakan status. Orang-orang memilih produk yang dapat

mengkomunikasikan peran dan status mereka di masyarakat. Pemasar

menyadari potensi simbol status dari produk dan merek.

3. Faktor Pribadi

Keputusan pembeli juga dipengarui oleh karakteristik pribadi, Karakteristik

tersebut meliputi usia, dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi,

gaya hidup, serta kepribadian dan konsep didik pembeli.

a. Usia Dan Tahap siklus Hidup

Orang yang memebeli barang dan jasa yang berbeda sepanjang hidupnya.

Mereka makan makanan bayi selama tahun-tahun awal hidupnya,banyak

ragam makanan selama tahun-tahun pertumbuhan dan kedewasaan, serta

diet khusus selama tahun-tahun berikutnya. Selera orang terhadap perabot,

pakaian, dan rekreasi juga juga berhubungan dengan usia.

Konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga. Beberapa karya

terbaru telah mengidentifakasikan tahap siklus hidup psikologis. Orang

dewasa mengalami perjalanan dan perubahan situasi hidup bercerai,

menduda atau menjanda, kawin lagi dan dampak situasi itu terhadap

perilaku konsumsi.

b. Pekerjaan dan Lingkungan Ekonomi

Pekerjaan seseorang juga mempengarui pola konsumsinya. Pilihan produk

sangat dipengarui oleh keadaan ekonomi seseorang, penghasilan yang

dapat di belanjakan (level, kesetabilan, pola waktu), tabungan dan aktiva

(30)

meminjam, dan sikap terus-menerus memperlihatkan kecendrungan

penghasilan pribadi, tabungan dan tingkat suku bunga. Jika indikator

ekonomi menandakan resesi, pemasar dapat mengambil langkah-langkah

untuk merancang ulang, melakukan penempatan ulang, dan menempatkan

kembali harga produk mereka sehingga mereka dapat terus menawarkan

nilai ke pelanggan sasaran.

c. Gaya Hidup

Orang-orang yang berasal dari sub-budaya, kelas sosial, dan pekerja yang

sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda.Gaya hidup adalah pola

hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan

opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan dari seseorang yang

berinteraksi dengan lingkungannya.

d. Kepribadian dan Konsep Diri

Masing-masing orang memiliki kepribadian yang berbeda yang

mempengarui perilaku pembelianya. Yang dimaksud kepribadian adalah

karakteristik psikologis seseorang yang berbeda dengan orang lain yang

menyebabkan tanggapan yang relatif konsisten dan bertahan lama terhadap

lingkunganya.

4. Faktor Psikologis

Pilihan pembelian seseorang dipengarui oleh empat faktor psikologis utama

(31)

a. Motivasi

Seseorang mempunyai banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Beberapa

kebutuhan bersifat biogenis, kebutuhan tersebut muncul dari tekanan

biologis seperti lapar, haus, tidak nyaman. Kebutuhan yang bersifat

Psikogenis, kebutuhan itu muncul dari tekanan psikologis seperti

kebutuhan dan pengakuan, penghargaan, atau rasa keanggotaan kelompok.

Suatu kebutuhan akan menjadi motif jika ia didorong hingga ia mencapai

tingkat intensitas yang memadai. Motif adalah kebutuhan yang cukup

mendorong seseorang untuk bertindak.

b. Persepsi

Seseorang yang termotivasi siap untuk bertindak. Bagaimana seseorang

yang termotivasi bertindak akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap

situasi tertentu. Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang

individu memilih, mengorganisasi, dan mengintepretasi masukan

informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi

tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi pada rangsangan yang

behubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang

bersangkutan.

c. Keyakinan dan sikap

Melalui bertindak dan belajar, orang mendapatkan keyakinan dan sikap.

Keduanya kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka.

Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan, pendapat, atau

(32)

mempertahankan keyakinan yang mudah dilihat tentang merek atau

produk berdasarkan negara mereka.

Sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan kecendrungan tindakan

yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama dari

seseorang terhadap suatu obyek atau gagasan. Jadi perusahaan sebaiknya

menyesuaikan produknya dengan sikap yang telah ada daripada berusaha

untuk mengubah sikap orang. Tentu saja terdapat beberapa pengecuailian

dimana biaya besar untuk mengubah sikap orang-orang akan memberikan

hasil.

2.2.3. Departemen Store

2.2.3.1. Pengertian Depar temen Store

Pengertian departemen store (department store) adalah suatu organisasi

pengecer yang menjual lini produk yang sangat bervariasi, seperti: pakaian,

peralatan rumah tangga, dan furniture; setiap lini dioperasikan oleh departemen

terpisah yang dikelola oleh bagian pembelian khusus (Kotler dan Armstrong,

2007:63).

Menurut Berman dan Evans (2004) dalam www.petra.com, departemen

store adalah suatu retailer yang mengkhususkan menjual suatu cakupan luas

secara terus-menerus (dengan tak ada hentinya) dari produk dominan. Setiap

divisi dalam departemen store menawarkan produk-produk khusus di dalamnya.

Pada umumnya, departemen store menjual produk yang mencakup pakaian

(33)

perangkat keras, kosmetik, peralatan fotografi, perhiasan/aksesoris, mainan, dan

peralatan olahraga.

Harga produk dalam departemen store cenderung lebih mahal daripada

retailer lainnya. Hal ini disebabkan karena departemen store memperkerjakan

banyak orang untuk melayani konsumen. Untuk membuat belanja jadi lebih

menarik, departemen store juga menambahkan dekorasi-dekorasi tertentu sebagai

promosinya, seperti dekorasi natal pada saat menjelang natal (Levy dan Weitz,

2004, dalam www.petra.com).

2.2.3.2. Pemasaran Retail

Pasar dalam arti “sekelompok anggota masyarakat yang memiliki

kebutuhan dan daya beli”. Pengertian ini merujuk pada dua kunci “kebutuhan”

dan “daya beli”. Orang-orang dengan kebutuhan terhadap barang tertentu belum

disebut sebagai pasar jika mereka tidak dapat membeli barang yang dimaksud

meskipun harganya hanya Rp 20.000. Sebaliknya, ada orang-orang lain yang

mempunyai uang dua-tiga ratus ribu dikantongnya tetapi karena tidak ada

kabutuhan barang itu, tidak juga menjadi pasar. Jadi, pasar dalam pengertian

disini adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu barang dan ada kemampuan

membeli (Ma`ruf, 2005: 4).

Kotler (2003: 535) mendefinisikan retail sebagai suatu usaha bisnis yang

menjual produk kepada pelanggan akhir untuk dikonsumsi sendiri atau dalam

rangka penggunaan pribadi, bukan untuk bisnis. Sedangkan usaha retail dapat

dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu antara lain a) specialty store, yaitu toko yang

(34)

department store, yaitu toko yang mmenjual berbagai lini produk dimana setiap

lini dikelola sebagai departmen terpisah; c) supermarket, yaitu toko yang memiliki

ciri-ciri lokasi luas, berbiaya rendah, margin rendah, volume barang tinggi dan

pelanggan melayani dirinya sendiri; d) convenience store, yaitu toko yang

memiliki ukuran lebih sempit dan dekat dengan pemukiman penduduk, memiliki

jam buka yang panjang dan lini produk beragam; e) discount store, yaitu toko

yang menjual barang-barang standart dengan harga yang lebih murah karena

mengambil margin rendah dan menjual volume yang lebih tinggi; f) off- price

retailer, yaitu toko yang menjual dengan harga yang lebih murah daripada jenis

retail yang lain; g) superstore, yaitu toko yang luas sekitar 3.500 kaki persegi

ditujukan untuk total kebutuhan harian pelanggan untuk pembelian bahan

makanan atau bukan bahan makanan dan jasa tambahan. Usaha retail yang khas

Indonesia dapat ditemui misalnya berupa, toko, warung, kios, pasar dan

sebagainya.

Perdagangan eceran atau sekarang kerap disebut perdagangan ritel, bahkan

disingkat menjadi bisnis ritel, adalah kegiatan usaha menjual barang atau jasa

kepada perorangan untuk keperluan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga.

Peritel atau retailer adalah mata rantai terakhir dalam proses distribusi sebagai

orang yang membeli, melakukan stocking, mempromosikan, mendisplay, menjual,

mengirmkan (bila perlu), dan membayar (kepada agen/distributor), peritel tidak

(35)

Peranan eceran yaitu semua aktivitas langsung yang berhubungan dengan

penjualan produk dan jasa kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan

bukan bisnis, telah meningkatkan kualitas hidup sehari-hari kita. (Lamb, 2001;

70). Sebagai contoh pada saat kita berbelanja produk-produk bahan makanan,

penata rambut, pakaian, buku, dan produk dan jasa yang lain, saat itu kita terlibat

dalam dunia eceran. Berjuta-juta produk dan jasa yang disediakan oleh pengecer

mencerminkan kebutuhan dan gaya hidup yang masyarakat kita.

Sebuah perusahaan eceran dapat dikelompokkan menurut beberapa

klasifikasi operasi eceran, yaitu; (Lamb.et.al. 2001; 72-74).

1. Kepemilikan

Pengecer dapat secara luas menurut kepemilikan; independent toko berantai,

atau toko waralaba.

Independent adalah pengecer yang dimiliki oleh seseorang atau suatu

kemitraan dan tidak dioperasikan sebagai bagian dari lembaga eceran yang

lebih besar.

Toko berantai (chain store) dimiliki dan dioperasikan sebagai satu kelompok

oleh satu organisasi. Berdasarkan bentuk kepemilikan ini, banyak tugas

administratif ditangani oleh kantor pusat untuk keseluruhan rantai.

Waralaba (franchise) dimiliki dan dioperasikan oleh individu tetapi

memperoleh lisensi dari organisasi pendukung yang lebih besar. Waralaba

menggabungkan keuntungan-keuntungan dari kepemilikan independent

(36)

2. Tingkat pelayanan

Tingkat pelayanan yang disediakan pengecer dapat diklasifikasikan sepanjang

suatu rangkaian dari pelayanan penuh (full service) sampai self service

(pelayanan sendiri).

3. Keragaman produk

Dasar yang ketiga untuk mempromosikan atau mengklasifikasikan toko-toko

adalah berdasarkan keluasaan dan kedalaman lini produk mereka. Toko

khusus (specialty store), sebagai contoh; toko kartu hallmark, lady foot locker,

merupakan toko-toko yang paling terkonsentrasi dalam keragaman produk

mereka, biasanya menjual lini produk tunggal atau sempit tetapi dengan

tingkat kedalam yang tinggi.

4. Harga

Harga merupakan cara keempat untuk mempromosikan toko-toko eceran.

Departement store tradisional secara khusus mengenakan “harga eceran yang

disarankan”. Berbeda dengan ini, toko diskon, factory outlet, dan pengecer

obral menggunakan harga rendah sebagai penarik utama bagi yang belanja.

2.2.4. Lingkungan

2.2.4.1. Pengertian lingkungan

Lingkungan mengacu pada semua karakteristik fisik dan sosial konsumen,

termasuk objek fisik (produk dan toko), hubungan ruang (lokasi toko dan produk

dalam toko), dan perilaku sosial dari orang lain (siapa saja yang di sekitar dan apa

saja yang mereka lakukan). Menurut Paul Peter dan Jerry Olson (2002),

(37)

besar, faktor-faktor lingkungan luar seperti iklim, kondisi ekonomi, sistem politik,

dan kondisi alam (tepi laut, gunung, padang rumput luas). Faktor-faktor

lingkungan makro ini mempunyai pengaruh umum atas perilaku, seperti ketika

keadaan ekonomi mempengaruhi jumlah belanja rumah tangga, mobil dan barang.

Lingkungan mikro berhubungan dengan aspek nyata fisik dan sosial lingkungan

seseorang, seperti lantai kotor di toko, karyawan toko yang cerewet, cuaca panas

hari ini, atau anggota keluarga atau rumah tangga. Faktor skala kecil dapat

berpengaruh langsung pada perilaku spesifik konsumen, pendapat, dan perasaan.

Seperti orang lebih memilih tidak untuk berlama-lama dalam keadaan kotor, di

dalam toko yang ramai; konsumen harus menunggu sampai sore untuk belanja

selama cuaca panas,dan merasa marah dalam antrian yang panjang dan lama

ketika anda ingin pulang.

Peter dan Olson (2002), membagi lingkungan menjadi 2 (dua) aspek dan

dimensi yaitu: Aspek lingkungan sosial, termasuk semua interaksi sosial di antara

dan di sekitar orang lain secara langsung ataupun secara tidak langsung, dan aspek

lingkungan fisik termasuk semua yang bukan manusia, yang dapat dibagi menjadi

elemen yang mempunyai ruang atau tidak mempunyai ruang. Elemen yang

mempunyai ruang meliputi objek fisik dari semua jenis (termasuk produk dan

merek) seperti negara, kota, toko, dan desain interior. Elemen tidak mempunyai

ruang meliputi faktor tidak nyata seperti temperatur, kelembaban, penerangan,

(38)

2.2.5. Pengalaman Belanja

2.2.5.1. Pengertian Pengalaman Belanja

Pengalaman belanja dikelompokkan menjadi tiga dimensi, yaitu : Hedonic

Shooping Value mencerminkan instrumen yang menyajikan secara langsung

manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti:

kesenangan, hal-hal baru, Utilitarian Shooping Value adalah nilai yang

mencerminkan instrumen dari manfaat belanja, seperti contoh: memperoleh

beberapa barang tertentu dan Resources Expenditure digunakan untuk menaksir

waktu, dana pengeluaran, dan interaksi sosial yang diluangkan untuk belanja.

Resources expenditure merupakan variabel mediator respons lingkungan belanja

dan pengalaman belanja.

Babin dan Darden (1995) dalam Semuel,(2005) menggunakan istilah

resources expenditure untuk menunjukkan tingkat dari sumber daya yang

dibelanjakan dan jumlah dari nilai belanja seseorang. Menurut Babin dan Darden,

istilah resources expenditure dipilih sebab tampak lebih deskriptif dibanding

perilaku pendekatan / penghindaran (approach / avoidance). Dalam studi Babin

dan Darden, resources expenditure diperagakan sebagai suatu variabel endogen di

dalam model dan bertindak sebagai suatu variabel penengah antara emosi belanja

(pleasure, arousal, dan dominance) dengan pengalaman belanja (hedonic dan

utilitarian).

Babin dan Darden (1995) dalam Semuel,(2005) menggunakan istilah

resources expenditure untuk menunjukkan tingkat dari sumber daya yang

(39)

istilah resources expenditure dipilih sebab tampak lebih deskriptif dibanding

perilaku pendekatan / penghindaran (approach / avoidance). Dalam studi Babin

dan Darden, resources expenditure diperagakan sebagai suatu variabel endogen di

dalam model dan bertindak sebagai suatu variabel penengah antara emosi belanja

(pleasure, arousal, dan dominance) dengan pengalaman belanja (hedonic dan

utilitarian).Semuel,(2005: 152-170).

2.2.6. Impulsive Buying

2.2.6.1. Pengertian Impulsive Buying

Pembelian yang tidak direncanakan (impulsive buying) didefinisikan

sebagai tindakan membeli yang dilakukan tanpa memiliki masalah sebelumnya

atau maksud/niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko. Pembelian ini

dapat dijelaskan sebagai pilihan yang dibuat pada saat itu juga karena perasaan

positif yang kuat mengenai suatu benda (Mowen dan Minor, 2002:65).

Pernyataan tersebut didukung oleh Iyer (fadjar, 2007), impulse buying

adalah suatu fakta kehidupan dalam perilaku konsumen yang dibuktikan sebagai

suatu kegiatan pembelian yang berhubungan dengan lingkungan dan keterbatasan

waktu dalam berbelanja, dimana rute pembelian yang mereka lakukan semstinya

berbeda. Rute tersebut dapat dibedakan melalui hirarki impulse yang

memperlihatkan bahwa perilaku didasarkan pada respon afektif yang dipengaruhi

oleh perasaan yang kuat (Mown dan Minor, 2002), sehingga impulse bauying

menurut Hoch et al., terjadi ketika terdapat perasaan positif yang sangat kuat yang

(40)

Pembelian impulsif didefinisikan sebagai pembelian yang tidak terencana

yang dikarakteristikkan dengan pengambilan keputusan yang relatif cepat, dan

prasangka subyektif terhadap keinginan segera memiliki (Rock dan Gardner

dalam Wathani, 2009). Salomon dalam Wathani (2009) menyatakan bahwa

pembelian impulsif merupakan suatu aksi yang tidak terencana yang dipacu oleh

waktu dan dipengaruhi oleh produk yang dipamerkan.

Menurut Semuel (2005), sebagian orang menganggap kegiatan belanja

dapat menjadi alat untuk menghilangkan stres, atau menghabiskan uang dapat

mengubah suasana hati seseorang. Kemampuan untuk menghabiskan uang

membuat seseorang merasa berkuasa. Pembelian tidak terencana, berarti kegiatan

untuk menghabiskan uang yang tidak terkontrol, dan kebanyakan pada

barang-barang yang tidak diperlukan oleh konsumen. Barang-barang-barang yang dibeli secara

tidak terencana (produk impulsif) kebanyakan adalah produk-produk dengan

harga murah yang tidak terduga. Penjual menarik konsumen ketika indera perasa

mengirimkan pesan kepada otak konsumen yang mengatakan, “Saya ingin ini!”

atau “Saya tidak dapat hidup tanpa itu!” Beberapa macam dari barang-barang

konsumen adalah ‘pembelian tidak terencana.’

2.2.6.2. Elemen Pembelian Tidak Ter encana (Impulsive Buying)

Loudon dan Bitta dalam Wathani (2009) mengemukakan lima elemen

penting yang membedakan tingkah laku konsumen yang impulsif dan yang tidak,

(41)

a. Konsumen merasakan adanya suatu dorongan yang tiba-tiba dan spontan

untuk melakukan suatu tindakan yang berbeda dengan tingkah laku

sebelumnya.

b. Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu pembelian menempatkan

konsumen dalam keadaan ketidakseimbangan secara psikologis, dimana

untuk sementara waktu ia merasa kehilangan kendali.

c. Konsumen akan mengalami konflik psikologis dan ia berusaha untuk

menimbang antara pemuasan kebutuhan langsung dan konsekuensi jangka

panjang dari pembelian.

d. Konsumen akan mengurangi evaluasi kognitif dari produk.

e. Konsumen seringkali membeli secara impulsif tanpa memperhatikan

konsekuensi yang akan datang.

2.2.6.3. Tipe Pembelian Tidak Terencana (Impulsive Buying)

Menurut Stren, pembelian tidak terencana (impulsive buying) dapat

digolongkan sebagai berikut: David Loudon, Albert J Della Bitta dan Hawkins

Stren (Fadjar, 2007):

a. Pembelian tidak terencana murni (pure impulsive buying)

Pembelian yang murni disebabkan oleh suatu pola pembelian yang

menyimpang dari pembelian normal.

b. Pembelian tidak terencana karena pengalaman masa lalu (reminder

impulsive buying)

Pembelian ini terjadi ketika seorang pembeli “diingatkan” oleh sebuah

(42)

bahan di tempat pembelian. Hal tersebut membuat dia seolah-olah

memerlukan dan harus membeli produk itu.

c. Pembelian tidak terencana yang timbul karena sugesti (suggestion

impulsive buying)

Pembelian tidak terencana ini terjadi apabila konsumen yang bersangkutan

baru pertama sekali melihat produk tersebut dimana kualitas, fungsi, dan

kegunaan produk tersebut sesuai dengan apa yang diharapkannya.

d. Pembelian tidak terencana yang disebabkan situasi tertentu (planned

impulsive buying)

Pembelian tidak terencana ini terjadi pada saat pusat perbelanjaan

melakukan promosi, seperti pemberian potongan harga (diskon) dan

pemberian kupon berhadiah

2.2.6.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impulse Buying

Beberapa peneliti telah menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi

Pembelian Impulsif. . Thai (2003)

1. Faktor Internal

a. Emotion

Emosi diidentifikasikan sebagai faktor yang sangat mempengaruhi

pembelian impulsif. “Emosi konsumen juga dapat mempengaruhi

pembelian dimana seorang konsumen yang bahagia akan melakukan

pembelian lebih banyak daripada konsumen yang tidak bahagia”. Mood

(43)

Mehrabian dan Russell (1974), Mehrabian (1980) dan Donovan dan

Rossiter (1982) dalam Thai,(2003), yang terdiri dari 3 faktor yaitu:

- Pleasure, Mengacu pada tingkat dimana individu merasakan penuh

kegembiraan dan bahagia, atau merasa puas dalam suatu situasi.

- Arousal, Mengacu pada tingkat dimana individu merasakan tertarik

(interest) teehadap sesuatu dalam situasi tertentu.

- Dominance, Mengacu pada tingkat perasaan yang direspon konsumen

saat mengendalikan atau dikendalikan oleh lingkungan.

b. Hedonic Pleasure

Beberapa peneliti perilaku konsumen menunjukkan bahwa pembelian

impulsif lebih memuaskan keinginan hedonic.

c. Cognitive

Menurut Peter dan Olson (2005), cognitive lebih mengacu pada proses

berpikir dimana didalamnya terdapat pengetahuan (knowledge),

arti/maksud (meaning) dan kepercayaan (belief). Misalnya, sweater ini

terbuat dari benang wol (knowledge).

d. Affective

Menurut Peter dan Olson (2005), affective biasanya segera berpengaruh

dan secara otomatis terhadap aspek-aspek dari emosi (emotions) dan

perasaan (feeling states). Misalnya saat melihat warna yang kita sukai,

perasaan kita akan cenderung menjadi bahagia (feeling), toko yang penuh

dan sesak bisa membuat kita stres dan meninggalkan toko (emotion)

(44)

2. Faktor Eksternal

Bahwa konsumen lebih memilih daya tarik fisik suatu toko daripada kualitas

barang dan harga. Pemilihan konsumen atas toko dipengaruhi oleh store

environment, dimana visual merchandising sebagai faktor utama. Konsumen

akan menghindari atau meninggalkan toko jika setting toko tersebut

mengundang stress.

2.2.7. Pengaruh Utilitarian Shopping Value Ter hadap Pembelian Tidak

Ter encana

Utilitarian value atau nilai ekstrinsik merefleksikan instrumen keuntungan

dari kegiatan belanja tersebut, sedangkan Hedonic value atau nilai intrisik yang

lebih merefleksikan pengalaman keuntungan yang dinyatakan langsung sebagai

pengalaman belanja. Beberapa penelitian menemukan konsumen pleasure

berhubungan positip dengan utilitarian shoping value dan konsumen arousal

berhubungan positip dengan hedonic shoping value, yang menjadikan lingkungan

toko sebagai tempat yang menarik untuk menghabiskan waktu luang, (Babin,

et.al., 1994) dalam Semuel (2005). Hasil sebelumnya juga menyatakan bahwa

kepuasan konsumen secara positif berhubungan terhadap dorongan hati untuk

membeli atau belanja yang tidak direncanakan (impulsive buying).

Seseorang akan berbelanja jika orang tersebut merasa mendapatkan

manfaat dari suatu produk yang diinginkannya. Motivasi ini didasarkan pada

pemikiran yang benar-benar rasional dan objektif Aspek utilitarian ini dapat

dilihat ketika konsumen berbelanja hanya untuk mendapatakan manfaat dari

(45)

berbelanja. Oleh karena itu aspek hedonic berperan penting dalam pengadaan

pengalaman berbelanja. Dengan demikian motivasi belanja utilitarian adalah

motivasi konsumen untuk berbelanja karena benar-benar membutuhkan atau

mendapat manfaat dari produk yang dibeli.

2.2.7.1. Pengaruh Hedonic Terhadap Pembelian Tidak Terencana

Hedonic shopping value merupakan bagian dari instrumen pengalaman

belanja. Menurut Negara (2002) Pengalaman belanja adalah cerminan dari

instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman

dalam melakukan pembelanjaan (hedonic shopping value), nilai yang

mencerminkan instrumen manfaat belanja (utilitarian shopping value) dan tingkat

sumber daya yang dibelanjakan dan jumlah dari nilai belanja seseorang (resources

expenditure).

Hedonic shopping value menurut Semuel (2005) mencerminkan instrumen

yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam

melakukan pembelanjaan, seperti: kesenangan dan hal-hal baru. Konsumsi

hedonis meliputi aspek tingkah laku yang berhubungan dengan multi-sensory,

fantasi dan konsumsi emosional yang dikendalikan oleh manfaat seperti

kesenangan dalam menggunakan produk dan pendekatan estetis (Hirschman dan

Holbrook dalam Rachmawati, 2009)

Menurut Rachmawati (2009) konsumen lebih mungkin terlibat dalam

impulse buying ketika mereka termotivasi oleh keadaan hedonis atau alasan

ekonomi, seperti kesenangan, fantasi dan sosial atau kepuasaan emosional.

(46)

hedonis, produk yang akan dibeli ini nampak seperti terpilih tanpa perencanaan

dan mereka menghadirkan suatu peristiwa impulse buying.

2.2.7.2. Pengaruh Resources Expenditure Ter hadap Pembelian Tidak

Ter encana

Menurut Hirschman dalam Rook (1987:195) hasrat berbelanja sering

diiringi oleh intensitas keadaan. Pengalaman hedonis konsumen belum diteliti

secara meluas. Perilaku Pembelian impulsif konsumen secara individu

berhubungan dengan keinginan memenuhi kebutuhan hedonic, yaitu kesenangan,

bahagia, puas, hal-hal baru, dan kejutan.

Karakteristik hasrat ingin berbelanja bercirikan tindakan yang berlebihan

dan berhubungan dengan pencarian sensasi serta kebutuhan psikologis dalam

mengatur tingkat dorongan yang tinggi. Literatur mengenai pembelian impulsif,

kesenangan diri serta pembelian impulsif menyoroti peranan citra sosial yang ada

serta pernyataan identitas diri dalam keputusan berbelanja.

(47)

uang yang dibelanjakan di butik sehingga menggunakan waktu luangnya untuk mendapatkan produk yang terbaik (Deaton & Muellbauer, 1980 dalam Strack, et al., 2006). Konsumen semakin asyik memilih maka semakin banyak produk yang menarik perhatian. Reaksi pembelian tidak terencana sebagai sifat seseorang muncul secara konsisten karena konsumen memilih jenis produk fashion yang tersedia di butik (Jones, et al., 2006).

2.3. Kerangka Konseptual

Gambar 2.2. Pengalaman belanja terhadap perilaku pembelian Tidak Ter encana.

2.4. Hipotesis

1. Di duga bahwa utilitarian berpengaruh positif terhadap pembelian Tidak

Terencana pada Matahari Department Store di Surabaya

2. Di duga bahwa hedonic berpengaruh positif terhadap pembelian Tidak

Terencana pada Matahari Department Store di Surabaya

3. Di duga bahwa resource expenditure berpengaruh positif terhadap pembelian

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional dan pengukuran variabel berisi pernyataan tentang

pengoperasiaan atau pendefinisian konsep penelitian termasuk penetapan cara dan

satuan pengukuran variabelnya, adalah sebagai berikut:

1. Atribut Supermarket (X1) adalah unsur–unsur produk yang dipandang penting

oleh konsumen dan dijadikan dasar pengambilan keputusan pembelian.

Adapun indikator dari atribut supermarket adalah sebagai

berikut:Subagio,(2011).

1. Suhu, layout, dan display

2. Kemudahan mencapai

3. Letak strategis.

4. Kemudahan parkir

5. Pembayaran

6. Layanan pramuniaga

7. Harga

2. Motif Belanja hedonic (X2) kebutuhan tiap individu akan suasana dimana

seseorang merasa bahagia, senang. Selanjutnya kebutuhan akan suasana

senang tersebut menciptakan arousal, mengacu pada tingkat dimana seseorang

(49)

1. Adventure shopping merupakan kegiatan berbelanja dilakukan untuk

mencari stimulasi, petualangan dan perasaan berada di sebuah dunia yang

berbeda.

2. Social shopping adalah kegiatan berbelanja dilakukan untuk menikmati

berbelanja dengan teman atau kerabat, melakukan kegiatan berbelanja

sambil bersosialisasi dengan orang lain.

3. Gratification shopping yaitu kegiatan berbelanja dilakukan untuk

meredakan stress, untuk mengurangi suasana hati yang buruk dan

memperlakukan diri sendiri secara special.

4. Idea shopping adalah pengunjung melakukan kegiatan berbelanja untuk

mengikuti tren dan mode terbaru serta mencari produk yang baru dan

inovatif.

5. Role shopping merupakan kegiatan berbelanja dilakukan untuk menikmati

berbelanja bagi orang lain seperti membeli barang atau hadiah untuk orang

lain.

6. Value shopping meliputi kegiatan berbelanja untuk membeli barang,

mencari diskon dan berburu barang-barang murah

3. Loyalitas pelanggan (Y) seberapa sering orang membeli merek itu

dibandingkan dengan merek lainnya atau dengan kata lain tingkat keterikatan

konsumen dengan suatu merek. adapun indikatornya adalah :

Dharmesta,(2002:289).

1. Memiliki sikap positif terhadap sebuah merek

(50)

3. Merekomendasikan lepada orang lain

3.1.1. Pengukuran Variabel

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

interval dengan menggunakan teknik skla interval dengan teknik pembobotan

skala (semantic differential scale). Analisis ini dilakukan dengan meminta

responden untuk menyatakan pendapatnya tentang serangkaian pernyataan yang

berkaitan dengan obyek yang diteliti dalam bentuk nilai yang berada dalam

rentang dua sisi.Dalam penelitian ini, setiap pertanyaan masing-masing diukur

dalam 7 skala dan ujung-ujung ditetapkan dengan kata sifat yang tidak secara

kontras berlawanan. sebagai berikut:

Sangat Jelek Sangat Bagus

3.2.Teknik Pengambilan Sampel

a. Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pelanggan yang

berkunjung dan berbelanja di Carrefour Rungkut Surabaya

b. Sampel

Untuk penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan non probability

sampling dengan teknik purposive Sampling yaitu penarikan sampel

berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh sampel. Ciri-ciri

sampel tersebut adalah: pelanggan yang berkunjung dan berbelanja berusia

minimal 21 tahun, usia ini dipilih karena lebih mengerti dan paham terhadap 7

(51)

kebutuhan yang dibelinya, usia tersebut dapat memberikan jawaban yang

rasional tentang Carrefour yang dikunjunginya

Menurut Ferdinand (2002:48).

- Ukuran sampel yang harus terpenuhi dalam model ini adalah 100 -200

sampel untuk teknik (Maximum Likelihood Estimation).

- Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi pedomannya adalah 5-10

kali jumlah parameter yang diestimasi

- Karena terdapat 15 indikator maka jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah (15X7 = 105) maka sampel yang digunakan adalah minimal sebesar

105 responden.

3.3.Teknik Pengumpulan Data

3.3.1. J enis Data

a. Data Primer

Data primer yang diolah dalam penelitian ini diperoleh dengan menyebarkan

kuesioner kepada pelanggan berkunjung dan berbelanja di Carrefour

Rungkut Surabaya.

b. Data Sekunder

Adalah data pendukung yang diperoleh dari perusahaan yang bersangkutan

Data ini antara lain berupa data perusahaan dan gambaran umum tentang

perusahaan.

3.3.2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam analisis ini adalah data yang diambil

(52)

3.3.3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan

beberapa cara berikut:

a. Observasi

Merupakan pengamatan langsung pada perusahaan untuk mendapatkan bukti -

bukti yang berkaitan dengan obyek penelitian.

b. Kuisioner

Yaitu pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan daftar

pertanyaan kepada pelanggan berkunjung dan berbelanja di Carrefour

Rungkut Surabaya untuk diisi agar memperoleh jawaban langsung dari

pelanggan.

3.4. Uji Validitas dan Reliabilitas

Variabel atau dimensi yang diukur melalui indikator-indikator dalam

daftar pertanyaan perlu dilihat reliabilitasnya dan validitasnya, dimana hal ini

dijelaskan sebagai berikut :

a. Uji Validitas

Validitas yang digunakan disini adalah validitas konstruk (construct validity)

yang merujuk pada sejauh mana uji dapat mengukur apa yang sebenarnya

yang kita ukur.

b. Uji Reliabilitas

Uji ini ditafsirkan dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Jika nilai

(53)

relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih, dengan kata

lain instrumen tersebut dapat diandalkan (Augusty, 2002 : 193).

3.5. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis

3.5.1. Teknik Analisis

Partial Least Square (PLS) merupakan sebuah metode untuk

mengkonstruksi model-model yang dapat diramalkan ketika faktor-faktor terlalu

banyak. PLS dikembangkan pertama kali oleh Wold sebagai metode umum untuk

mengestimasi path model yang menggunakan variabel laten dengan mutiple

indikator. PLS juga merupakan factor indeterminacy metode analisis yang

powerful karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala

tertentu, jumlah sampel kecil. Awalnya Partial least Square berasal dari ilmu

sosial (khususnya ekonomi, Herman Wold, 1996). Model ini dikembangkan

sebagai alternatif untuk situasi dimana dasar teori pada perancangan model lemah

atau indikator yang tersedia tidak memenuhi model pengukuran refleksif. PLS

selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk

membangun hubungan yang belum ada landasan terorinya atau untuk pengujian

proposisi.

PLS adalah dalam penggunaan model persamaan struktural untuk menguji

teori atau pengembangan teori untuk tujuan prediksi oleh Ghozali (2008: 5). Pada

situasi dimana penelitian mempunyai dasar teori yang kuat dan pengujian teori

atau pengembangan teori sebagai tujuan utama riset, maka metode dengan

covariance based (Generalized Least Squares) lebih sesuai. Namun demikian

(54)

prediksi dari pengujian teori tersebut. Untuk tujuan prediksi, pendekatan PLS

lebih cocok. Karena pendekatan untuk mengestimasi variabel laten dianggap

sebagai kombinasi linier dari indikator maka menghindarkan masalah

indeterminacy dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skor.

PLS merupakan pendekatan yang lebih tepat untuk tujuan prediksi, hal ini

terutama pada kondisi dimana indikator bersifat formatif. Dengan variabel laten

berupa kombinasi linier dari indikatornya, maka prediksi nilai dari variabel laten

dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi terhadap variabel laten yang

dipengaruhinya juga dapat dengan mudah dilakukan (Ghozali 2008).

3.5.1.1. Cara Kerja PLS

Estimasi parameter yang didapat dengan PLS dapat dikategorikan menjadi

tiga. Kategori pertama yaitu weight estimate yang digunakan untuk menciptakan

skor atau nilai variabel laten. Kedua mencerminkan estimasi jalur (path estimate)

yang menghubungkan variabel laten dan antar variabel laten dan indikatornya

(loading), ketiga berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta

regresi) untuk indikator dan variabel laten. Untuk memperoleh ketiga estimasi ini,

PLS menggunakan proses iterasi tiga tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan

estimasi. Tahap pertama menghasilkan weight estimate, tahap kedua

menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, tahap ketiga

menghasilkan estimasi means dan lokasi(konstanta).

Selama iterasi berlangsung inner model estimate digunakan untuk

mendapatkan outside approximation weigth, sementara itu outer model estimate

Gambar

Tabel 1.1. Top Brand Index Ritel 2010-2012
Gambar 2.1. : Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Konsumen
Gambar 2.2.  Pengalaman belanja terhadap perilaku pembelian Tidak
Gambar 2  Langkah-langkah Analisis PLS
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang paling tepat: walau tidak sempurna dibanding cara ukur biokimia atau..

[r]

Bagaimana pengaruh kebiasaan berdoa dan membaca Al- Qur’an sebelum memulai perkuliahan terhadap perilaku mahasiswa PAI di IAIN Tulungagunga. Untuk mengetahui pengaruh

Pasal 19 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlingungan Konsumen, mengatur Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat

Hierarichal Value Maps à This indicates personal values of choosing subject which is leading to certain kind of job... Counseling

Perkembangan Bank syariah yang sangat pesat sudah terlihat dari data statistik Bank Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2013 yang sangat singnifikan, jika pada

Berdasarkan informasi dari ke 3 partisipan tersebut dapat dijelaskan bahwa factor penghambat implementasi metode BCCT (Beyond Center and Circles Time) dalam meningkatkan prestasi

(2) Karena berdasarkan pada penelitian ini terbukti bahwa baik secara parsial maupun simultan EPS dan tingkat suku bunga SBI berpengaruh terhadap return saham,