PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Ade Mauryn
NIM : 089114073
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
You hold my every moment
You calm my raging seas
You walk with me through fire
Heal all my disease
and I trust in You
I trust in You
I believe
You’re my Healer
I believe
You are all I need
I believe
You’re my Portion
I believe
You more than enough for me
Jesus, You’re all I need
Nothing is Impossible for You
Nothing is Impossible
Nothing is Impossible for You
You hold my world in Your Hands.
Persembahan
Karya ini kupersembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus yang teramat baik.
Orang tuaku yang luar biasa, Alm Petrus Marpaung & Ruth Sani.
Saudari-saudariku Etny Oktovien Marpaung dan Elsa Novauli marpaung, how I really love you sisters.
Untuk keluarga besar Marpaung dalam setiap doa dan nasehatnya
dan keluarga besar Daniel Tangsi yang selalu mendukung dan mengingatkanku.
Keluargaku Lansia Sariayuers yang selalu menyemangati dan menjadi teman bersuka sekaligus berduka.
Anak-anak kost Sariayu Opung, Inang, Novie, Sasa, Cece Marjan, Nia, Ote, Metta, Niken, Vina, Jolina, dan Leza.
Cell Group Depend on God untuk setiap berkat lewat sharing dan doanya.
Teman-teman seperjuangan yang sering bersama-sama mengerjakan skripsi diperpus, jalan-jalan, nonton bareng, kuliner bareng, shoping bareng, dan
yang saling menyemangati dan mendoakan.
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah saya
sebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yoyakarta, 7 Agustus 2013
Penulis,
PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN
Ade Mauryn
ABSTRAK
Memaafkan adalah salah satu prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, memaafkan juga merupakan suatu prinsip pilihan. Hal ini dikarenakan ada beberapa masalah yang dianggap sebagai peristiwa yang tidak bisa dimaafkan. Namun, bagaimana jika memaafkan adalah suatu kewajiban atau nilai sentral dalam pribadi orang Kristen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) apa saja yang dialami dalam proses memaafkan orang Kristen , dan 2) dampak memaafkan bagi orang Kristen tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif fenomenologi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa walaupun ada tantangan yang menghambat seseorang untuk memaafkan, orang Kristen tetap memutuskan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya, bahkan melakukan perdamaian. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah menggunakan peran agama dengan berdoa, patuh akan perintah Tuhan, dan mendapati peran Tuhan sebagai pengampun, hakim, pemberi pikiran positif, pemberi kekuatan, dan pengontrol kemarahan. Proses memaafkan ini lebih berorientasi kepada diri sendiri, karena orang Kristen termotivasi untuk seperti Tuhan, untuk mempratekkan firman Tuhan, dan tidak ingin menyimpan emosi negatif didalam diri. Namun pada orang Kristen ini juga dikatakan tulus dalam memaafkan karena orang Kristen bisa mendoakan kebahagiaan pelaku dan mengatakan bahwa ia mengasihi orang yang telah menyakitinya.
FORGIVENESS EXPERIENCE OF CHRISTIAN
Ade Mauryn ABSTRACT
Forgiveness is one of the principles for conflict resolution. However, forgiveness is also the matter of choice. It is because there are some conflicts can be an unforgivable offense. But, what if the principle of forgiveness is a obligation for Christian. This research aimed to investigate 1) Forgiveness process of Christian in unforgiving situation, and 2) effect of forgiveness. This research used a descriptive phenomenology. The result shown that although there are challenges
in forgiveness’s process, Christian still decided to forgiving who have hurt them, even making a reconciliation. Relating to that issue, Christian have to deal with praying, obeying God’s commands, and believing God as forgiver, judge, giver of positive thoughts, giver of strengths, and controlling anger. This process is self oriented dimension, because Christian’s motivated to be like
God, practice their bible’s words, and won’t to keep negative emotions. However, Christian’s forgiveness is a genuine, because Christian will pray offender’s happiness, and said that he loves who had pain him.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Ade Mauryn
Nomor mahasiswa : 08 9114 073
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk
menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam
bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di
internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin dari
saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 7 Agustus 2013
Yang menyatakan,
KATA PENGANTAR
Penelitian tentang pengalaman memaafkan pada orang kristen ini
berangkat dari ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih dalam lagi usaha
orang Kristen yang selalu memaafkan pada kondisi yang tersulit sekalipun.
Dengan selesainya karya ini, peneliti sungguh menyadari bahwa memang Tuhan
Yesus Kristus yang selalu memampukan peneliti dari hikmat dan kekuatannya.
Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pribadi yang telah membantu dengan caranya sendiri dalam proses
pengerjaan tulisan ini. Terima kasih kepada:
1. Pak V. Didik Suryo Hartoko sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih
untuk kesabarannya dan juga untuk tuntutannya. Terima kasih juga karena
menginspirasi saya untuk menambahkan hobi baru saya yaitu membaca,
Terima kasih banyak .
2. Kepada Dosen penguji Bu A. Tanti Arini, S.Psi., Msi. Dan Pak C. Wijoyo
Adinugroho, S.Psi., M.Si. yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya
kepada penelitian ini.
3. Pak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi dan Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si.,Psi.
selaku Dekan dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing
saya selama menjadi mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
5. Seluruh staff sekretariat dan Laboratorium fakultas Psikologi USD (Mbak
Nanik, Mas Gandung, Pak Gie, Mas Doni, dan mas Muji) yang sudah banyak
membantu dalam pengurusan administrasi.
6. Anak kost Sari Ayu, para lansia. Lusia Sari Tambunan, Novie Imoliana, Lina
Mariana, Devi Yenni Sinaga, Sasa Dermawan, Rotua Winata Silitonga, Jolina,
Yoestenia, Metta, Niken, Vina. Thank you so much. Thanks for 2008 till now,
you’re the best that I ever had.
7. Depend on God Cell Group, untuk menyertakanku dalam doa kalian.
8. Teman-temanku yang di Kalimantan. Terima kasih untuk segala
dukungannya.
9. Kelompok 2 KKN untuk segala bantuannya. Terima kasih banyak.
10.Secara khusus kepada 5 partisipan yang telah bersedia meluangkan waktu dan
berbagi pengalamannya, saya mengucapkan terima kasih banyak.
Penulis memohon maaf jika tidak bisa menyebutkan satu-persatu. Hanya bisa
mengatakan terima kasih atas segala bantuannya. Semoga penelitian ini berguna
bagi pembaca.
Yogyakarta, 7 Agustus 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO ...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………...vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT ...viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ...xii
BAB I. PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...8
C. Tujuan Penelitian ...8
D. Manfaat Penelitian ...9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...10
A. Kajian Pustaka tentang Memaafkan ...10
1. Definisi Memaafkan ………..…...10
3. Proses Memaafkan ………..15
4. Dampak Memaafkan………...………....19
B. Memaafkan menurut Agama Kristen………...20
C. Kerangka Berpikir ………...24
D. Pertanyaan Teoritis ………...25
BAB III. METODE PENELITIAN………...26
A.Strategi Penelitian………26
B. Fokus Penelitian………...27
C.Latar Belakang Peneliti ………...27
D.Metode Pengumpulan Data………...28
1. Partisipan………...…………...……...28
2. Setting Penelitian ………..…...29
3. Jenis Data ………...29
E. Prosedur Analisis Data ………...29
F. Kredibilitas………...30
G.Pertanyaan Wawancara………31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….32
A.Deskipsi Tekstural dan Struktural P1…….……….32
1. Latar Belakang….…..……….32
2. Latar Belakang Pengalaman ………...32
3. Deskripsi Tekstural ………...….33
B.Deskipsi Tekstural dan Struktural P2 ………..……37
1. Latar Belakang ………36
2. Latar Belakang Pengalaman ………...37
3. Deskripsi Tekstural ………38
4. Deskripsi Struktural ………...41
C.Deskipsi Tekstural dan Struktural P3 ………..….…..42
1. Latar Belakang ………...42
2. Latar Belakang Pengalaman ………...42
3. Deskripsi Tekstural ………....43
4. Deskripsi Struktural ………...44
D.Deskipsi Tekstural dan Struktural P4 ………...45
1. Latar Belakang ………...45
2. Latar Belakang Pengalaman ………...45
3. Deskripsi Tekstural ………...46
4. Deskripsi Struktural ………...49
E. Deskripsi Tekstural Semua Partisipan ………...50
F. Deskripsi Struktural Semua Partisipan ……….….57
G.Esensi Pengalaman ………...58
H.Pembahasan ………...60
1. Memaafkan adalah Nilai Sentral dan Keharusan dalam Kehidupan Kristen………...60
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………...………65
A.Kesimpulan………..65
B. Saran………66
DAFTAR PUSTAKA………...68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memaafkan adalah sebuah prinsip dalam merespon pelanggaran,
penghianatan, dan kejadian meyakitkan lainnya. Dengan memaafkan, rasa
sakit dan luka hati yang disebabkan oleh kesalahan pelanggar dapat
terlepaskan (Egan & Todorov, 2009). Konsep memafkan ini merupakan suatu
prinsip positif yang memiliki asosiasi dengan kesehatan dan kesejahteraan
individu bahkan dalam suatu hubungan (Worthington, Witvliet, Pietrini,
Miller, 2007).
Namun, Kita perlu sedikit melihat tentang sifat dasar manusia yang
dapat dipahami lewat sudut pandang dari biologi evolusioner, filosofi moral,
dan teologi. Didalam diri manusia berisi kapasitas untuk menjadi manusia
yang jahat dan baik, untuk merugikan dan menolong, untuk menyerang atau
membalas dendam, dan untuk memaafkan atau rekonsiliasi (McCullough,
2007). Ketika ada konflik atau kejahatan yang menimpa seseorang, ego
mengajak untuk tidak memaafkan orang yang bersalah. Dalam keadaan ini
korban diliputi oleh rasa marah, ketakutan, kepahitan dan bahkan berakibat
stress pada diri korban (Worthington et al, 2007).
Penelitian mengenai psikofisiologi manusia yang dilakukan oleh
McCulluogh (2006) menunjukkan bahwa pikiran dan perasaan yang kita
gangguan emosional. Gangguan emosional ini seperti kecemasan, depresi,
dan rendahnya harga diri. Lalu gejala fisik yang timbul yaitu sakit kepala,
sakit punggung, sakit perut, dan menurunnya kekebalan yang bisa membuat
kita rentan terhadap infeksi dan alergi. Selain itu, dalam emosi negatif
ditunjukkan bertambah tingginya tegangan otot mata, denyut jantung yang
lebih tinggi, dan tegangan alis mata yang juga meninggi.
Selain perasaan, juga terdapat keinginan untuk mendapatkan keadilan
dengan menghukum, menghujat, dan memusuhi, dianggap sebagai solusi
pemecahan suatu konflik (Worthington et al, 2007). Perilaku ini sering kita
saksikan dalam berita tentang tawuran, terjadinya perang suku yang hanya
dikarenakan ada perselisihan antar individu yang dibesar-besarkan, bahkan
kasus tuntutan akan pemukulan yang dilakukan secara hukum legal.
Dalam beberapa kasus, masalah yang diselesaikan lewat keadilan
kadang-kadang malah memperbesar sebuah konflik. Dengan mengetahui
dampak yang menguntungkan, kita perlu menggunakan prinsip lain untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang sulit. Salah satu cara yang baik untuk
mengatasi kejadian menyakitkan tersebut adalah dengan memaafkan
(Ken-ichi & Naomi, 2001).
Bagaimanakah arti memaafkan itu sendiri? Apakah dampak dari
memaafkan tersebut? Peneliti berusaha menguraikan beberapa penelitian
sebelumnya tentang memaafkan. Kebanyakan orang sering mendefinisikan
konsep memaafkan dengan makna yang berbeda. Konsep Memaafkan
Memaafkan tidak membutuhkan adanya melupakan atau memindahkan
kejadian terluka dari kesadaran (APA, 2006). Memaafkan justru mengingat
dan mengganggap serius pada perilaku salah dan merugikan yang telah
dilakukan (The Encyclopedia of positive Psychology). Condoning adalah
perilaku yang menggagalkan untuk melihat tindakan sebagai sesuatu yang
salah. Pardoning berarti pengampunan yang biasa dilakukan dalam dunia
hukum. Reconciliation adalah adanya perdamaian suatu hubungan yang
sebelumnya pecah antara orang yang menyakiti dan yang tersakiti (APA,
2006). Memaafkan lebih sebagai suatu perubahan dari motivasi menjauhi atau
mencari cara membalas dendam terhadap orang yang menyakiti hati menuju
kearah yang netral atau lebih positif. (McCullough, 2005).
Telah ada beberapa penelitian mengenai perbedaan dampak
memaafkan dan tidak memaafkan secara intrapersonal. Dalam survei
cross-sectional yang dilakukan pada wanita yang mengalami perceraian dan
dipisahkan dengan anaknya, biasanya akan melakukan tindakan permusuhan,
marah, dan cemas. Aschleman (dalam Bono & McCullogh, 2006)
menemukan bahwa istri yang telah memaafkan sang suami memiliki
penerimaan diri dan tujuan hidup yang lebih baik daripada seorang istri yang
memutuskan untuk tidak memaafkan pasangannya. Penelitian lain
menemukan bahwa orang yang memaafkan orang yang telah menyakitinya
memiliki kepuasan hidup yang tinggi, sementara yang masih tidak
memaafkan menunjukkan gejala-gejala stress psikologis (Freedman &
Kemudian, ada beberapa penelitian yang memfokuskan konsep dari
memaafkan, salah satunya dengan membagi topik memaafkan berdasarkan
orientasinya oleh Lawler-Row, Scott, Raines, Edlis-Matityahou, & Moore
(2007). Penelitian ini terbagi menjadi memaafkan interpersonal (focus on
other) dan memaafkan intrapersonal (focus on self). Contoh respon dalam
memaafkan intrapersonal adalah melepaskan sesuatu yang salah dalam diri,
menyadari bahwa orang lain bisa melakukan kesalahan; dan jika tidak
memaafkan dan masih menyimpan kebencian dalam hati, maka akan
berdampak untuk kehidupan seterusnya. Lalu, contoh memaafkan
interpersonal adalah memahami bahwa pelaku menyesal atas perbuatannya,
membiarkan pelaku mengetahui bahwa kesalahannya dapat dimaklumi
menerima apa yang sudah mereka lakukan, dan tetap menjadi teman.
Penelitian Lawler-Row dan koleganya ini dilakukan pada 270 siswa
kejuruan yang diambil dari usia 18-33 tahun. Hasil penelitian menunjukkan
45, 6% hanya memaafkan intrapersonal atau berfokus pada diri sendiri, 31,
1% memaafkan interpersonal atau berfokus pada pelaku, dan 20, 4%
keduanya yaitu memaafkan intrapersonal dan interpersonal.
Lowler-Row et al (2007) juga melakukan penelitian yang
membedakan gender berdasarkan respon dalam memaafkan. Hasilnya adalah
sebanyak 46, 3% pada laki-laki mengatakan bahwa memaafkan sebagai
respon pasif yaitu menurunkan reaksi negatif dengan melepaskan, sedangkan
respon aktif yang positif seperti memberi kesempatan kedua, menerima
permintaan maaf, dan membangun hubungan kembali.
Walaupun melihat dampak yang menguntungkan, memaafkan adalah
satu prinsip yang memang tidak mudah untuk dilakukan (dalam Cohen,
Malka, Rozin, & Cherfas, 2006). Dorongan manusia sangat ingin melihat
orang yang melukai juga ikut merasakan penderitaan korban. Sekalipun
korban memutuskan untuk memaafkan, dalam prosesnya kebanyakan orang
melakukan hal tersebut lebih berorientasi pada diri sendiri tanpa melihat ke
sisi pelaku, kecuali pelaku terlibat dalam proses ini seperti pengajuan
permintaan maaf (Younger, Piferi, Jobe, & Lawler, 2004).
Berdasarkan penelitian yang mengukur alasan seseorang untuk
memaafkan oleh Younger et al (2004), ditemukan bahwa 72,7% seseorang
yang menerima permintaan maaf, maka ia akan lebih memaafkan orang yang
menyakitinya, dan sisanya memaafkan walaupun tidak menerima permintaan
maaf. Lalu, 73,2% mengindikasikan seseorang tidak memaafkan karena ia
tidak mendapatkan permintaan maaf, dan sisanya tidak memaafkan walaupun
menerima permintaan maaf. Salah satu alasan korban yang tidak memaafkan
adalah karena pelaku sudah merusak kepercayaan yang diberikan.
Disini memaafkan bisa dikatakan adalah sebuah pilihan yang bisa
dilakukan oleh korban. Namun, bagaimana jika memaafkan adalah suatu
kewajiban atau nilai sentral dalam pribadi seseorang? Konsep memaafkan
tercakup dalam semua agama didunia, namun dianggap menjadi nilai inti dari
penganut Protestan, katolik, dan Nonrelijius oleh Toussaint & Williams
(2008) menemukan bahwa kelompok protestan dan katolik menunjukkan
tingkatan skor sikap yang tinggi dalam memaafkan orang lain daripada
kelompok yang tidak beragama. Selain itu, orang Kristen diajarkan bahwa
memaafkan harus bersifat unconditional. Memaafkan tidak bergantung
dengan adanya penyesalan, keadilan, dan restitusi antara pelaku dan korban
(Cohen, 2005).
Bagi orang Kristen, pengampunan manusia dianggap sebagai sebuah
hadiah. Yesus selalu bersedia untuk memaafkan semua orang berdosa yang
siap untuk menerima karunia surgawi. Namun, orang Kristen diharapkan
tidak cukup dengan menyesal dan menerima pengampunan dari Tuhan, tapi ia
juga harus memaafkan orang lain. Selain itu, Tuhan juga memperingatkan
untuk mengasihi musuh. Pengikut Kristus dilarang untuk melakukan
pembalasan dan menyerang siapapun. Mereka harus memaafkan, walaupun
orang yang bersalah tidak menunjukkan adanya penyesalan. Hal ini
dikarenakan permusuhan kepada manusia berarti juga melakukan permusuhan
kepada Tuhan. (Zablowinski, 2009).
Pernyataan Zablowinski diperkuat dengan penelitan oleh Nathan R.
Frise & Mark R. Mcminn (2010) yang melihat hubungan memaafkan dengan
rekonsiliasi. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa teologi sangat setuju
bahwa dalam memaafkan juga memperbaiki hubungan dengan orang yang
telah menyakiti korban, sementara partisipan psikologi beragama dan seorang
dijadikan satu kesatuan. Respon-respon ini memiliki relasi yang konsisten
dengan literatur psikologi dan literatur teologi-kristen yang akan dijelaskan
pada bab selanjutnya.
Pada penelitian memaafkan sebelumnya, dapat dilihat gambaran
proses memaafkan pada orang umumnya lebih melibatkan peran dari pelaku
seperti adanya penyesalan dan pengajuan permintaan maaf dari orang yang
menyikiti hati. Dapat dibandingkan juga bahwa bagi orang Kristen
memaafkan bersifat unconditional, yang berarti memaafkan adalah suatu
tindakan yang dilakukan tidak bersyarat dan suatu keharusan. Selain itu,
memaafkan dan rekonsiliasi memiliki satu kesatuan. Memaafkan tidak hanya
terjadinya perubahan intrapersonal yang membaik, tetapi juga kembalinya
hubungan interpersonal. Kemudian juga belum ada kejelasan bagaimana
keadaan hubungan interpersonal seseorang yang sudah memaafkan.
Lalu, bagaimana dengan konflik yang tak termaafkan? Orang Kristen
harus memaafkan karena jika tidak dilakukan, maka orang Kristen akan
berdosa dan tidak diampuni oleh Tuhan. Dengan keharusan ini,
bagaimanakah usaha memaafkan pada orang Kristen untuk mempertahankan
nilai memaafkan pada dirinya?
Dengan beberapa penelitian yang ditemukan tentang memaafkan,
peneliti banyak menemukan penelitian yang hanya mengukur value
memaafkan dan menggambarkan perbedaan pandangan konsep memaafkan
yang melekat dalam diri orang lain pada berbagai agama. Oleh karena itu,
usaha penerapan nilai yang melekat pada seseorang, khususnya nilai
memaafkan lewat pengalaman orang kristen. Peneliti ingin melihat lebih
dalam lagi bagaimana pengalaman memaafkan yang dialami oleh orang
Kristen dalam mempertahankan nilai memaafkan yang dianggap sebagai
sentral dalam agama Kristen.
Untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian tersebut,
maka peneliti menggunakan penelitian kualititaf. Hal ini, dikarenakan desain
penelitian kualitatif bersifat alamiah, tidak berusaha untuk memanipulasi
setting penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam
situasi fenomena tersebut ada (Poerwandari, 1998). Pendekatan yang
digunakan adalah fenomologi deskripstif. Pendekatan ini dirasa lebih tepat
digunakan agar mendapatkan pemahaman deskripsi pengalaman yang original
dan secara keseluruhan dari suatu fenomena memaafkan pada orang Kristen
(Moustakas, 1994).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah proses
memaafkan pada orang Kristen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melihat proses dan kondisi memaafkan
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan menambahkan pengetahuan untuk bidang
psikologi, khusunya psikologi klinis dan Psikologi sosial bagaimana
perasaaan dan pikiran, serta proses memaafkan yang berfokus pada
ajaran agama Kristen.
b. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber acuan bagi peneliti yang
ingin meneliti masalah yang berkaitan dengan topik memaafkan,
seperti: Pengalaman memaafkan yang berfokus pada agama lain.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi partisipan penelitian, penelitian ini diharapkan menambahkan
pengetahuan tentang adanya perbedaan konsep memaafkan bagi
orang awam atau non-kristen dengan Kristen sendiri.
b. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan untuk mengetahui cara
mengatasi emosi negatif dalam menghadapi rasa sakit hati dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka tentang Memaafkan
1. Definisi Memaafkan
APA Dictionary of Psychology (2007)mengatakan:
“Forgiveness n. Willfully putting aside feelings of resentment toward an
individual who committed a wrong, been unfair or hurtful, or otherwise harm one in some way. Forgiveness is not equated with reconciliation or excusing another, and it is not merely a ccepting what happened or easing
to be angry. Rather, it involves a voluntary transformation of one’s
feelings, attitudes, and behavior toward the individual, so that one is no longer dominated by resentment and can express compassion, generosity,, or the like toward the individual. Forgiveness is often considered an
important process in psychotherapy and counseling.”
Memaafkan adalah tindakan yang dengan sengaja
mengesampingkan perasaan negatif seperti sakti hati, marah, benci, dan
dendam pada seseorang yang melakukan kesalahan, tidak adil atau
menyakiti hati terhadap korban. Memaafkan melibatkan sebuah
kesukarelaan untuk merubah perasaan, sikap, perilaku terhadap seseorang,
sehingga perasaan dendam tidak lagi dominan dan dapat mengekspresikan
belas kasihan, keramahan, atau kesukaan terhadap seseorang.
Selain itu, menurut Luskin (dalam Lawler-Row et al, 2007)
Memaafkan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk
kepentingan orang lain. Seseorang dapat memaafkan dan menjalin kembali
hubungan baik atau seseorang memaafkan dan tidak pernah berkomunikasi
Frise R.N & Mcminn R. M, 2010) bahwa Memaafkan berbeda
dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi melibatkan dua orang yang kembali
membangun hubungan bersama. Memaafkan adalah proses dalam diri
manusia, sedangkan rekonsiliasi adalah proses eksternal yaitu proses
dalam berelasi. Hal ini dikarenakan rekonsiliasi sendiri melibatkan usaha
bersama untuk membangun sebuah hubungan antara orang yang menyakiti
hati dan yang disakiti (McCullough & Witvliet, 2002).
Sebagai tambahan, Enright (2010) mengatakan memafkan lebih
dari menerima atau mentoleransi ketidakadilan. Memaafkan tidak hanya
meletakkan peristiwa lampau dibelakang kita, tetapi kita juga harus
membuka ruang dalam hati untuk orang yang menyakiti kita. Memaafkan
juga tidak sama dengan melupakan. Ketika seseorang memaafkan, ia pasti
akan mengingat, namun dengan cara yang berbeda saat sebelum ia
memaafkan.
Worthington & Scherer (2004) membagi memaafkan menjadi dua
aspek, yaitu memaafkan secara emosional (Emotional aspect) dan
mengambil keputusan untuk memaafkan (Decisional aspect). Memaafkan
secara emosional adalah menggantikan aspek negatif, dari emosi tidak
memaafkan dengan yang positif, dan emosi lain yang konstruktif.
Sementara itu, keputusan untuk memaafkan adalah sebuah perubahan
perilaku yang baik terhadap orang yang bersalah atau perubahan dalam
McCullough dan koleganya (1998) mengidentifikasikan dua
motivasi yang mendasari adanya keputusan untuk memaafkan adalah
menjauhi dan balas dendam. Ketika seseorang merasa tersakiti, biasanya ia
akan menjaga jarak atau menjauh secara fisik dan psikologis atau mencari
ganti rugi atas perbuatan tersebut dengan berharap adanya pembalasan
terhadap orang yang menyakitinya. Lalu ketika memutuskan untuk
memaafkan, tidak akan ada lagi kebutuhan untuk menjauhi atau mencari
pembalasan atas perlakukan jahat yang dialami korban. Pembagian aspek
ini juga turut dinyatakan oleh penulis yang menemukan bahwa memaafkan
sebagai suatu set perubahan motivasi dari seseorang yang menjadi: a)
Menurunnya motivasi membalas perlawanan dengan menyerang partner
dalam hubungan tersebut, b) Menurunnya motivasi untuk menghindari
pelanggar, dan c) Meningkatnya motivasi akan penerimaan, dan ada
keinginan untuk rekonsiliasi walaupun perilaku pelanggar membahayakan.
2. Alasan atau Motivasi untuk Tidak Memaafkan dan Memaafkan
Dalam kondisi tersakiti atau terluka, akan muncul motivasi untuk
mengembalikan rasa sakit tersebut ke pelanggar. Donnelly (1979)
mengemukakan ada 6 alasan seseorang tidak memaafkan, yaitu 1)
seseorang memilih untuk tidak memaafkan karena kejadian yang
menyakitkan baru dialami dan peristiwa tersebut terlalu mendalam, 2)
Seseorang tidak memaafkan karena masih menyimpan kemarahan,
atau berencana untuk membalas dendam, 4) Seseorang tidak memaafkan
karena lingkungan sosial tidak melakukan perilaku memaafkan saat
mengalami hal yang menyakitkan juga, 5) Seseorang tidak memaafkan
karena ada cara lain yang lebih mudah, dan 6) Seseorang tidak
memaafkan karena ada kaitannya dengan harga diri.
Disisi lain, McCullough (2007) menjelaskan adanya motivasi untuk
memaafkan oleh korban biasanya didasari oleh sifat yang peduli.
Seseorang lebih siap untuk memaafkan seseorang yang kepada siapa ia
merasa dekat dan ia mengetahui untuk siapa ia memberikan rasa empati.
Lalu, adanya nilai yang diharapkan terhadap suatu hubungan bisa menjadi
motivasi seseorang untuk memaafkan. Ketika seseorang memiliki harapan
yang positif untuk sebuah interaksi sosial yang akan datang, maka otak
memberi sinyal akan adanya imbalan atau keuntungan yang akan datang.
Motivasi ketiga yaitu perasaan aman. Seseorang lebih siap memaafkan
orang lain yang mereka percaya, dan kurang bisa memaafkan orang yang
menyakitinya secara mendalam karena lebih berbahaya.
Memaafkan juga memiliki hubungan dengan tipe kepribadian. Ada
empat kepribadian yang digunakan untuk memprediksi perilaku
memaafkan, yaitu neurosis, ramah, narsistik, dan relijius. Kepribadian
yang neurosis, membuat serangan-serangan kepada dirinya menjadi lebih
parah. Kepribadian yang ramah lebih mudah untuk merasakan empati dan
percaya pada orang yang menyakitinya. Narsistik adalah variabel
Setelah ada pelanggaran, individu ini lebih meminta adanya hukuman dan
pergantian untuk memaafkan (Exline, Baumeister, Campbell, & Finkel,
2004). Memaafkan lebih memiliki relasi konsisten dengan skala yang
tinggi pada pribadi yang relijius. Pribadi yang relijius lebih memiliki
motivasi untuk memaafkan.
Ohbuci & Takada (2001) mengatakan bahwa didalam diri manusia,
ada dua motivasi yang mendorong seseorang untuk memaafkan, yaitu
motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi Intrinsik meliputi
personal belief, Self-ideal, rasa bersalah, dan empati. Personal belief ini
adalah seseorang yang memiliki kepercayaan untuk menentang
pembalasan dendam dan hukuman, contohnya ia akan mengatakan “Kita
seharusnya tidak menyakiti orang lain walau apapun alasannya”. Self-ideal
adalah sebuah harapan untuk menjadi orang yang murah hati. Rasa
bersalah disebabkan oleh persepsi seseorang yang mengambil bagian
untuk bertanggung jawab dengan suatu konflik. Terakhir, empati adalah
perspektif dan rasa kasihan dalam memahami keadaan yang dialaminya.
Motivasi intrinsik ini tidak mengharapkan adanya eksternal rewards, tapi
hanya mendapatkan internal rewards seperti perasaan akan kepuasaan atau
harga diri. Setelah memaafkan, korban tidak memiliki kemarahan yang
besar atau penyerangan pada orang yang menyakitinya.
Kedua, motivasi ekstrinsik adalah memaafkan seseorang dengan
adanya harapan eksternal rewards. Motivasi Ekstrinsik ini meliputi
grup. Ketakutan akan penyerangan ini maksudnya seorang korban
menahan diri untuk membalas penyerang karena ia takut menerima
pembalasan lagi oleh lawannya tersebut. Pada motivasi ini, reward yang
diharapkan adalah agar konflik tidak semakin membesar. Menjaga suatu
hubungan adalah menahan diri dari pembalasan dendam karena takut
mendapatkan hukuman berupa rasa tertolak dan tidak disukai oleh orang
lain, dan harapannya adalah tetap menjaga hubungan baik.
Kemudian, motivasi dengan koherensi grup adalah memaafkan
seseorang yang telah menyakitinya dikarenakan ia mempedulikan akan
reaksi dari orang lain daripada reaksinya sendiri. Jika korban dan pelaku
tergabung dalam 1 kelompok, korban akan mengaitkan konflik dengan
orang lain dalam kelompok tersebut dan hal itu justru akan mengancam
ikatan dalam kelompok. Dalam perilaku memaafkan ini, reward yang
diharapkan adalah menjaga keharmonisan sosial. Dalam motivasi
ekstrinsik ini, korban tidak benar-benar rela untuk memaafkan, dan ia
masih memiliki rasa marah dengan menunjukkan permusuhan terhadap
orang yang menyakitinya.
3. Proses Memaafkan
Menurut North (dalam Enright & North, 2010), ada beberapa
tahap-tahap yang dilakukan seseorang dalam memaafkan yaitu:
Mengalami atau mengetahui adanya perasaaan negatif yaitu kemarahan,
atau tidak penuh diakui untuk beberapa alasan. Akan tetapi, dengan
pengakuan dan kesadaran terhadap perasaan dan kebenaran tersebut
merupakan suatu proses esensial untuk diproses. Kedua, adanya tuntutan
akan keadilan, hukuman, dan ganti rugi yang dilakukan untuk mengurangi
emosi negatif korban.
Ketiga, Korban masih menunjukkan rasa permusuhan terhadap
pelanggar. Namun, disini korban mulai terbuka untuk memaafkan dengan
membebaskan perasaan negative tersebut sebagai cara untuk memulihkan
dirinya. Untuk memaafkan, korban melihat diluar dirinya terhadap pelaku.
Lalu, korban mungkin memegang moral atau kewajiban agama untuk
memaafkan pelaku manusia bermoral atau sebagai seorang yang
diciptakan Tuhan. Hal ini bisa menjadi jenis tuntutan impersonal
(Impersonal claim) yang mendukung korban untuk memaafkan, contohnya
adalah saya harus memaafkan pelaku karena sebagai seorang yang
bermoral, pelaku juga memerlukan rasa hormat dan pertimbangan dari
saya”. Disisi lain, korban menggunakan tuntutan akan hubungan personal
(personal claim) dalam pengampunannya. Maksudnya korban mungkin
memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku, misalnya pelaku dan
korban memliki hubungan darah atau perkawinan, dan hubungan tersebut
bisa menjadi alasan untuk memaafkan yang harus diusahakan.
Dari motivasi tersebut, akan muncul hasrat untuk memaafkan.
Disini korban mengakui bukan adanya keharusan ia memaafkan tapi ia
positif terhadap pelaku, seperti belas kasihan, memahami, atau mengasihi
pelaku. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pelaku juga merasakan
adanya penyesalan dan hasrat untuk mendapatkan pengampunan. Tahap
selanjutnya, korban mengambil keputusan untuk memaafkan. Korban
berusaha memahami keadaan, latar belakang, dan perasaan pelaku.
Dengan kata lain, korban memisahkan antara pelaku dari pelanggaran
yang telah dilakukannya.
Kemudian, adanya ekspresi dari memaafkan korban untuk pelaku.
Seringnya terjadi hubungan baik kembali antara pelaku dan korban,
misalnya dengan bersalaman cukup menjadi indikasi seseorang telah
memaafkan. Bisa juga, korban mengatakan ke orang lain bahwa ia telah
memaafkan pelaku. Terakhir, perasaaan negatif menghilang dan terganti
menjadi emosi yang positif terhadap pelaku. Memaafkan adalah secara
prinsipan adanya perubahan internal dari hati dan pikiran, bahkan secara
langsung ke orang lain. Proses yang dikemukakan North ini adalah proses
memaafkan yang ideal. Ia juga mengatakan bahwa setiap tahap ini tidak
selalu dialami oleh korban secara nyata (dalam Enright & North, 2010).
Model proses memaafkan yang lain dikemukakan oleh
Fitzgibbons’s (dalam Enright & North, 2010) menjelaskan proses-proses
ini harus terjadi agar seseorang sampai dapat memaafkan. Model empat
tahap ini meliputi (1) fase pembukaan (uncovering) yaitu seseorang
benar-benar merasakan seberapa besar rasa sakit emosional atau marah atas
(decision), ketika korban cukup menderita atas konsekuensi dari kejadian
marah, mereka akan termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk
mengurangi penderitaan yang dialami. Motivasi untuk memaafkan ini
dapat dinpengaruhi oleh kondisi kultur, dukungan dari keluarga, teman,
dan kelompok sosial, serta ajaran agama atau filosofi. (3) fase tindakan
(working on forgiveness), di mana ada ada usaha pembentukan perpektif
yang baru, bertambahnya pemahaman, dan membangun perasaan, pikiran,
dan perilaku yang positif terhadap pelaku, dan (4) fase hasil (outcome or
deepening phase), di mana korban memperoleh pembebasan emosi,
kelegaan, menemukan sebuah tujuan baru dalam hidup.
Dari kedua model proses memafkan ini, tampak bahwa kunci dari
memaafkan adalah proses yang disimpulkan menurut Wade, Johnson, and
Meyer (2008) yang terdiri dari 2 proses. Pertama, seseorang menurunkan
tingkat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif pada diri sendiri. Kemudian
yang kedua adalah seseorang meningkatkan pikiran, perasaan, dan
perilaku positif. Meskipun Wade dll (2008) memasukkan perubahan
perilaku dalam suatu kriteria dalam memafkan, pengarang terdahulu
mengatakan bahwa memafkan hanya perubahan kognisi dan emosi.
Pendapat ini juga mengatakan bahwa memperbaiki hubungan yang rusak
4. Dampak Memaafkan
Memaafkan sering digunakan sebagai proses penting dalam
psikoterapi dan konseling (VandenBos, 2007). Memaafkan memiliki
hubungan dengan kesehatan fisik manusia. Dalam studi McCullough, ia
memfokuskan penelitiannya pada efek cardiovascular. Dalam
penelitiannya, kondisi ketika orang memaafkan yaitu partisipan
mengalami penurunan stres psikologis, level pada emosi negatif menurun,
level emosi positif meningkat, dan memiliki kontrol diri yang baik.
Memaafkan juga memiliki asosiasi dengan psychological well-being yang
baik, tingginya kepuasan dalam hidup, dan gejala riwayat hidup akan
kesehatan fisik rendah. Kemudian, Memaafkan dapat berfungsi sebagai
alternatif lain untuk perilaku seperti merokok, dan penggunaan alkohol
atau narkoba yang biasanya dilakukan untuk mengatasi emosi negatif dan
pengalaman sosial yang dihadapi.
Beberapa penelitian tentang dampak memaafkan oleh McIntosh, et
al. (dalam APA, 2006) melibatkan 488 siswa kejuruan dan 154 remaja
dari 3 sampai 6 minggu setelah kejadian penembakan di Sekolah Colorado
tanggal 11 september 2001. Hasilnya menunjukkan siswa yang sudah
memaafkan pelaku dilaporkan lebih memiliki primer coping (usaha yang
secara langsung mengubah reaksi emosional atau langsung menyelesaikan
masalah) dan secondary control coping (mengubah cara berpikir tentang
daripada orang yang tidak yakin untuk memaafkan, dan tidak
mempercayai pelaku untuk dimaafkan.
Studi memaafkan pada hubungan berpasangan suami-isteri,
Worthington & Berry (2001) mengukur kesehatan fisik dan fungsi
psikologis partisipan. Hasilnya, yaitu orang yang memaafkan variabel
personalitinya menunjukkan adanya karakter memaafkan yang tinggi dan
rendahnya karakter marah, serta variabel interpersonalnya ditunjukkan
bahwa adanya kualitas hubungan yang lebih baik dengan ditunjukkan
tingginya perasaan suka dan kebahagiaan terhadap pasangan. Selain itu
orang yang memaafkan juga memiliki kesehatan yang membaik.
B. Memaafkan menurut Agama Kristen
Penganut Kristen diajarkan untuk memaafkan tujuh puluh tujuh kali
tujuh kali, mendoakan, dan mengasihi musuh. Injil menjelaskan bahwa
keinginan Tuhan untuk memaafkan dan melakukannya dengan sikap altruistik.
Tuhan tidak meninggalkan orang sendiri yang mencoba memaafkan tanpa
bantuan-Nya. Tuhan sangat penting dan tetap ada untuk bekerja dalam diri
orang (Worthington, 2006). Dalam Kristen memiliki kepercayaan bahwa
Seorang Penebus telah menebus dosa manusia dan mereka diampuni, seperti
pada injil Mat 6: 14-15 berbunyi: “Karena jikalau kamu mengampuni
kesalahan orang, Bapamu yang disorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi
jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu”. Oleh karena itu, Orang Kristen diajarkan untuk memaknai
Selain itu, Memaafkan dalam ajaran Kristen adalah bersifat suatu kewajiban
dan kemuliaan. Pernyataan ini diberikan oleh McCullough dan Wothington
(1999) yang melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara relijius dan
komitmen.
Penganut agama Kristen untuk memaafkan orang lain murni dengan
motivasi akan kasih. Akan tetapi, ditemukan juga bahwa memaafkan
merupakan suatu perintah yang sulit untuk dipatuhi karena hal tersebut
berlawan dengan adanya perasaan dalam diri untuk menjatuhkan hukuman
sebagai wujud keadilan. Terdapat penelitian survei pada Protestan, Katolik,
and Nonrelijiusoleh Loren L toussaint & David R. Williams (2008). Hasilnya
menunjukkan orang Kristen memiliki nilai memaafkan yang paling tinggi,
diikuti oleh katolik, dan terakhir yang tidak beragama. Penelitian ini hanya
melihat seberapa besar nilai memaafkan dalam sikap, akan tetapi tidak
berdasarkan perilaku.
Terdapat juga penelitian memfokuskan pada tipe memaafkan yang
terbagi dari memaafkan situasi, memaafkan diri sendiri, dan memaafkan orang
lain.Penelitian ini melihat perbedaaan pengalaman memaafkan pada tokoh
agama katolik (pendeta dan suster), orang awam beragama Kristen dan tidak
memiliki kelekatan pada agama (NRA). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Macaskill. A (2007) menghasilkan kelompok tokoh agama secara signifikan
lebih memaafkan orang lain dan situasi daripada kelompok agama kristen dan
Pada tokoh agama, tingkat memaafkan orang lain lebih tinggi daripada
memaafkan situasi dan dirinya sendiri. Kemudian, diikuti oleh kelompok
kristen dengan tingkat memaafkan yang menunjukkan bahwa kelompok ini
lebih bisa memaafkan keadaan daripada memaafkan dirinya dan orang lain.
Terakhir, kelompok NRA juga menunjukkan bahwa kelompok lebih bisa
memaafkan keadaan daripada diri sendiri dan orang lain. Selain itu, tokoh
agama lebih bisa mempercayai orang kembali, yang terlihat dari sikapnya ke
orang lain dan rendahnya sinisme daripada orang Kristen dan yang tidak
memiliki kelekatan agama. Hal ini menunjukkan bahwa orang Kristen juga
mengalami kesulitan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya.
Exline et al. (2003); Worthington, 2003; Worthington & Scherer,
2004) mengidentifikasikan tipe dalam memaafkan, mengatakan bahwa ketika
seorang memutuskan untuk memaafkan adalah sebuah pernyataan yang
bermaksud baik terhadap pelanggar yaitu menolak untuk membalas dendam
atau menjauhi. Keputusan memaafkan ini adalah berakar dari injil kitab yang
merupakan mandat atau perintah dalam memaafkan. Ketika melaksankan
perintah tersebut, alasan yang menyebabkan orang Kristen lebih terbuka
dalam memafkan adalah pengajaran radikal dan contoh dari Yesus yang
memerintahkan untuk memaafkan semua musuh.
Dalam Christian Reflection A Series in Faith and Ethics (2001),
berikut ini 3 alasan kewajiban orang Kristen dalam memaafkan, yaitu: 1) Kita
harus memaafkan untuk kepentingan Kristus, 2) Kita harus memaafkan untuk
memaafkan demi Kristus, ia akan mulai menemukan pemulihan, pengakhiran,
kedamaian, dan penghiburan. (Fr. Callistus Isara, MSP). Kedua, penyaliban
mengajarkan kita bahwa rekonsiliasi adalah tugas dari korban. Model
penyaliban menggambarkan bahwa yang disakiti yang berinisiatif untu
memperbaiki suatu hubungan. Perlakuan menyakitkan bisa menjadi sebuah
kesempatan untuk menunjukkan perubuhan hidup yang merupakan karunia
dari Tuhan. Disini Yesus mengumpakan, bahwa siapapun yang menolak untuk
memaafkan orang yang berhutang, maka ia akan mendapatkan hukuman.
Hanya dengan Memaafkan, kita membebaskan kita dari rasa sakit yang sudah
lampau dan menuju kemasa depan yang baru (Christian Reflection A Series in
Faith and Ethics, 2001).
Dalam studi Frise. R. Nathan & McMinn R. Mark (2010) menyatakan
memaafkan memiliki arti yang mendalam untuk penganut Kristen yang
dimana memafkan dan rekonsiliasi terlihat seperti satu proses kesatuan. Hal
ini turut dinyatakan oleh Fr Joseph Diele (dalam Christian Reflection A Series
in Faith and Ethics, 2001) yang mengidentifikasikan 4 proses dalam
memaafkan: 1) Mengakui adanya kemarahan yang dirasakan terhadap orang
yang bersalah, 2) meminta Tuhan untuk memperhatikan kebutuhan musuh, 3)
berdoa untuk diri sendiri dan situasi yang menyakiti perasan atas apa yang
telah dilakukan pada kita, dan 4) melakukan rekonsiliasi, dengan bertemu
secara bertatap muka dan bisa dari jarak jauh. Ia mengatakan rekosiliasi
berarti saya tidak terbebankan lagi oleh rasa sakit hati, dan oleh karena itu
Dapat disimpulkan bahwa penganut Kristen diharapkan untuk
memaafkan orang lain atas dasar perintah sebagai wujud menaati ajaran
tersebut. Penganut Kristen juga diharapkan untuk memaafkan orang lain
secara murni dengan motivasi akan kasih. Dapat disimpulkan bahwa
penganut Kristen melakukan proses memaafkan dan perdamaian. Hal ini
dilakukan untuk membuktikan ketaatan pada ajaran Tuhan.
C. Kerangka Berpikir
Konsep memaafkan sangat terkait dengan aspek spiritual dan
religiusitas seseorang. Namun, konsep memaafkan didefinisikan dengan
makna yang berbeda. Banyak peneliti setuju bahwa definisi memaafkan
memiliki perbedaan makna dengan istilah forgetting, pardoning, dan
rekonsiliasi. Ketika memaafkan, seseorang menurunkan tingkat pikiran,
perasaan, dan perilaku negatif pada diri sendiri. Kemudian yang kedua adalah
seseorang meningkatkan pikiran, perasaan, dan perilaku positif pada oran lain.
Ketika seseorang memutuskan untuk memaafkan, dapat dilihat
oreintasi memaafkan yang dilakukan oleh orang tersebut. Orientasi ini dibagi
menjadi intrapersonal (focus on self) yaitu keputusan memaafkan yang
didasari atas kepentingan diri sendiri dan interpersonal (focus on other) yaitu
memaafkan yang berfokus untuk orang yang bersalah, atau keduanya yaitu
tidak hanya untuk memulihkan diri sendiri, tetapi juga tergantinya perasaan,
pikiran, dan tidakan negatif menjadi emosi yang positif terhadap pelaku.
Selain itu, kita juga dapat melihat faktor apa saja yang mempengaruhi seorang
dikatakan bahwa selain tipe kepribadian, faktor yang mempengaruhinya
adalah motivasi. Motivasi ini bisa berupa empati, untuk mendaptkan rasa
aman, adanya harapan sosial, dll.
Menurut ajaran Kristen, prinsip memaafkan ditanamkan dalam diri
penganutnya sebagai cara menyelesaikan suatu konflik. Motivasi dalam
menaati ajaran agama untuk seperti Tuhan dan mengasihi sesama seperti
mengasihi diri sendiri. Selain ada perubahan dalam intrapersonal, orang
Kristen juga diharapkan untuk melakukan perdamaian dengan orang yang
bersalah. Dengan ajaran tersebut orang Kristen mungkin sudah terbiasa untuk
memaafkan orang yang bersalah. Namun, kadang ada beberapa masalah yang
dirasa cukup sulit untuk dimaafkan.
Oleh karena itu, dengan melihat proses yang dilakukan oleh orang
Kristen dalam memaafkan, kita dapat mengetahui perasaan, pikiran, dan
perilaku yang dialami oleh mereka, motivasi apa saja yang terdapat dalam
proses ini, strategi apa yang dilakukan, perubahan apa sajakah yang terjadi,
dan kemanakah orientasi memaafkan pada orang Kristen ini.
D. Pertanyaan Teoritis
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Strategi Penelitian
Peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif mulai
dengan asumsi, pandangan dunia, kemungkinan menggunakan pandangan
teori, dan studi dari masalah penelitian. Peneliti menggunakan metode
kualitatif karena peneliti membutuhkan dan ingin memahami secara detail
tentang pengalaman memaafkan yang dialami orang kristen. Pemahaman
detail ini hanya bisa dibangun dengan berbicara secara langsung dengan
orang, mengunjungi langsung ketempat subyek, dan memperbolehkan subyek
untuk bercerita tanpa dibebani oleh apa yang kita ingin teliti. (Creswell,
2007). Dengan cara seperti ini, maka penelitian ini memiliki kekayaan data
yang tidak hanya didapatkan dari dari data mentah wawancara, tapi juga
emosi partisipan ketika bercerita.
Lalu target utama dalam penelitian ini adalah pengalaman dalam
konteks pada situasi atau kondisi khusus (Moustakas, 1994). Untuk itu,
peneliti memilih situasi memaafkan pada orang Kristen. Pendekatan yang
digunakan adalah fenomenologi deskriptif yang menggambarkan suatu
kejadian yang disadari dan bertujuan untuk mendeskripsikan atau menangkap
sedekat mungkin bagaimana fenomena tersebut dialami dalam konteks
terjadinya fenomena tersebut. (Smith, 2006). Dengan demikian, pendekatan
ini dirasa cocok dengan tujuan peneliti dalam mengungkapkan pengalaman
memaafkan pada orang Kristen dari data yang sesuai dengan tujuan
B. Fokus Penelitian.
Penelitian ini menggambarkan sebuah kejadian yang berada dalam
kesadaran dan ingatan partisipan. Penelitian ini berfokus pada pengalaman
orang Kristen yang berada pada kondisi sulit memaafkan dan bagaimana
proses memaafkan yang terjadi pada orang Kristen dalam mempratekkan nilai
agamanya tersebut.
C. Latar Belakang Peneliti
Penelitian ini tidak luput dari ketertarikan peneliti untuk memahami
topik memaafkan. Peneliti adalah pemeluk Kristen Karismatik. Sebelum
menekuni tentang kitab suci dan ajaran agama Kristen lebih dalam, peneliti
cepat menanggapi serangan orang dengan membalas perlakuan tersebut
sehingga berdampak lebih benci dan terhadap pelaku. Sekarang, peneliti
mendapatkan banyak perubahan dalam berpikir dan merasakan bagaimana
mendapat serangan tersebut. Peneliti sering kali mendapatkan pengajaran
untuk selalu memaafkan orang bahkan yang telah sangat menyakiti kita
sekalipun. Untuk diampuni oleh Tuhan, maka seseorang harus memaafkan.
Jika kita mengasihi Tuhan, maka kasihilah sesama juga dengan memaafkan.
Pengajaran tersebut kadang dirasa sangat mudah dilakukan, tetapi kadang
juga dirasa sangat sulit. Hal ini dikarenakan peneliti sering menghadapi
peristiwa-peristiwa yang membuat marah dan ingin membalas kejahatan
orang. Peneliti merasa dengan peraturan untuk terus memaafkan, justru
menyebabkan seseorang berada dalam tekanan untuk berjuang melakukan
Dengan penelitian ini, selain dapat memahami, peneliti juga ingin belajar
cara-cara apa saja yang dilakukan berdasarkan pengalaman orang yang sudah
berhasil memaafkan dengan kepercayaan dan ajaran yang sama.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Partisipan
Peneliti memilih partisipan yang beragama Kristen dengan aliran
Karismatik. Pemilihan ini dikarenakan didapatnya beberapa penelitian
yang mengatakan bahwa Kristen memiliki nilai memaafkan yang paling
tinggi dari agama lain. Macaskill (2007) menemukan bahwa usia bukan
prediktor signifikan dalam memaafkan orang lain dan diri sendiri. Namun,
untuk menyeragamkan partisipan penelitian, peneliti memilih partisipan
dari usia 21-25 tahun yang masuk dalam usia dewasa awal. Berhubung
peneliti yang juga mahasiswa, maka peneliti memutuskan untuk
mengambil partisipan seorang mahasiswa untuk mempermudah proses
rapor. Untuk mempermudah proses wawancara, peneliti mengambil subjek
yang sudah dikenal yaitu teman peneliti sendiri. Untuk penelitian ini,
diambil 4 subyek yang terdiri dari 2 laki-laki dan 2 wanita yang aktif
dalam pelayanan digereja. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa 2
subyek mengalami pengalaman tersulit untuk memaafkan sewaktu sekolah
2. Setting Penelitian
Peneliti melakukan pengambilan data di gereja dan dikost peneliti.
Peneliti berusaha menjaga kenyamanan subyek dengan kondisi yang hanya
terdapat peneliti dan subyek dalam proses wawancara ini.
3. Jenis Data
Peneliti menggunakan wawancara semi testruktur. Lalu, Data
direkam menggunakan MP3 dan nantinya peneliti akan mengubah hasil
wawancara tersebut dalam bentuk verbatim.
E. Prosedur Analisis data
1. Peneliti membaca secara keseluruhan verbatim yang sudah ditulis oleh
peneliti. Hal ini dilakukan agar peneliti lebih memahami deskripsi
pengalaman yang ada.
2. Menentukan unit makna. Setiap mendapatkan transisi makna, peneliti akan
memberikan garis miring dalam teks tersebut. Langkah ini merupakan
langkah praktis yang akan membantu peneliti melakukan langkah
berikutnya.
3. Mentransformasi yang implisit, khususnya dalam makna psikologis. Tahap
ini mencari makna psikologis dari situasi yang dialami secara konkrit oleh
subyek. Hal ini berarti peneliti sungguh mengartikulasikan dan
menampakkan makna-makna psikologis yang berperan dalam pengalaman
tersebut.
4. Membuat pengalaman deksripsi tekstural individual dan gabungan. Dalam
menyertakan verbatim yang menguatkan pernyataan. Verbatim ini dibuat
dengan huruf miring dan diberi tanda kutip.Setiap dimensi atau tahap yang
berkaitan dengan pengalaman diterima dan dimasukkan.
5. Membuat deskripsi struktural individu dan gabungan. Dalam deskripsi
struktural ini menunjukkan bagaimana pikiran dan perasaan yang ada
dalam pengalaman memaafkan. Deskripsi struktural ini adalah suatu cara
bagaimana cara peneliti memahami pengalaman memaafkan ini. Peneliti
secara sadar mengimajinasikan, merefleksi, dan menganalisis verbatim
diluar dari yang terlihat dan menjadi esensi dari deskripsi struktural
pengalaman memaafkan.
6. Mengintregasikan tekstur dan struktur menjadi esensi dari suatu fenomena
secara keseluruhan.
F. Kredibilitas
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan validitas argumentative.
Validitas argumentative tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat
diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat
kembali ke data mentah (dalam Poerwandari. 1998: 117). Proses ini dapat
dibaca dalam bagian pembahasan dan lampiran.
Untuk meningkatkan dependality penelitian kualitatif, maka peneliti
melakukan metode yang dianggap penting, antara lain.
1. Koherensi, yaitu metode yang dipilih dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Peneliti memilih pendekatan fenomenologi deskriptif yang
2. Keterbukaan, sejauhmana peneliti membuka diri dengan memaanfaatkan
metode-metode yang berbeda untuk mencapat tujuan.
Peneliti sudah membaca beberapa pendekatan yang digunakan dalam
penelitian kualitatif, dan pendekatan fenomonologi deskriptif lebih bisa
menggambarkan pengalaman yang diteliti.
3. Diskursus, sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan
dan analisisnya dengan orang-orang lain (Poerwandari. 1998). Pada
metode ini, peneliti tidak sendiri dalam menyelesaikan penelitian ini.
Peneliti mendiskusikan proses-proses dan hasil penelitian dengan
pembimbing penelitian.
G. Pertanyaan Wawancara
1. Tolong ceritakan pengalamanmu dimana kamu berada dalam kondisi sulit
memaafkan?
2. Kapan peristiwa itu terjadi?
3. Ceritakan proses memaafkannya.
4. Proses kamu mengampuni itu berapa lama?
5. Kenapa kamu memaafkannya?
6. Keadaan kamu saat mengampuni itu apa yang kamu pikirkan dan rasakan?
7. Bagaimana keadaanmu setelah memaafkan dari perasaan, pikiran, dan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tekstural dan Struktural P1
1. Latar Belakang
P1 adalah mahasiswi jurusan Farmasi berusia 22 tahun. Selain
berkuliah, kegiatan P1 adalah aktif dalam pelayanan di gereja. P1
bertugas sebagai penari tambourine dan pengajar tambourin untuk
anak-anak. P1 juga seorang pemimpin persekutuan doa yang memiliki
6 anggota. Pertemuan ini rutin yang dilakukan rutin 1 kali dalam
seminggu, begitu juga dengan tugas pelayanan dan tugas
mengajarnya.
2. Latar Belakang Pengalaman
Pengalaman marah dialami ketika sang ayah berbohong yaitu
kedapatan memiliki hubungan dengan wanita lain yang menyebabkan
ibu sering menangis. P1 semakin marah karena ayah yang sering
meninggalkannya selama berbulan-bulan. Pengalaman ini dialami
ketika P1 saat berusia 1 atau 2 SMP dan keputusan memaafkan terjadi
ketika subyek sudah SMA dalam kegiatan retreat. Dalam kegiatan
retreat ini, ada sesi pengampunan yang mengajak peserta untuk
memaafkan orang yang telah menyakiti dengan mengatakan bahwa ia
3. Deskripsi Tekstural
P1 akan mudah untuk marah ketika ada orang yang melukai
hati orang terdekatnya terutama ibu. Pengalaman marah yang dialami
P1 ini dipicu oleh ayah yang terbukti menyelingkuhi sang ibsehingga
ibu marah dan menangis. Peristiwa ini dapat dimasukkan dalam
kategori perusakan kepercayaan. “Karena papa ku pernah kedapatan
selingkuh, mama ku marah, dan terus mamaku nangis”, siapapun
yang nangisin mama itu rasanya memang sangat mudah untuk ku
benci”. Selain itu, P1 sering merasa diabaikan oleh ayah yang sering
pergi meninggalkannya. “Yang bikin susah dimaafkan. Natal itu tidak
pernah sama kita. Sekitar 6 7 tahun. Itu pergi kemana ga tau.
Pokoknya sekali meninggalkan rumah itu bisa sampe 1- 2 bulan ga
ada dirumah, itu ga balik-balik, Pergi tanpa kabar lagi”.
Pada peristiwa ini, perasaan marah muncul sehingga ia merasa
sangat sulit untuk memaafkan. “Rasanya kesel sama papa ku. Jadi
sulit banget untuk memaafkannya,.Bahkan meliat muka papaku aja
kesel rasanya”. Selain itu, reaksi yang muncul P1 ketika berada dalam
keadaan sakit hati adalah pikiran untuk merusak seperti menghukum
dan perilaku keengganan mengakui sang ayah. “hukuman moral utuk
dia aja. Biar dia tau rasa ga perlu punya nama baik”. bilang aja ma,
bilang aja kalo dia selingkuh. Biarin aja, bodo. Yang malu Biar aja
Ada dua proses memaafkan yang dialami oleh P1. Pertama,
proses pengalaman gagal memaafkan. Proses ini terdapat dorongan
dari luar dirinya yaitu ketika P1 melihat sosok ibu yang memaafkan,
dan ia mencoba mengidentifikasi perilaku tersebut. Namun usaha
tersebut dirasa gagal karena merasa masih marah ketika mengingat
kejadian. “belajar dari my mother. Karena termotivasi dari dia. Liat
dia itu, kok bisa itu lho mengampuni dengan sangat sangat
setulus-tulusnya, kok aku ga bisa. Jadi aku belajar. Jadi ya aku maafin papa,
padahal sebenarnya itu cuman dibibir doank.”.
Proses kedua, memaafkan yang melibatkan Tuhan ini terdapat
motivasi, tantangan, dan strategi yang digunakan oleh P1. Motivasi
dalam memaafkan pada proses ini adalah keinginan mengidentifikasi
Tuhan dan mempratekkan perintah Tuhan. “Kalo Tuhan aja bisa
maafin aku, kenapa enggak”. Namun, tantangan untuk
mempraktekkan hal tersebut, muncul konflik dalam diri P1 yaitu rasa
tidak pantas untuk memaafkan sang ayah: “perang sama diri sendiri..
Karena dari dalam lubuk hati yang paling dalam ada yang ngomong
ayo maafin. Tapi rasanya secara manusia orang itu ga layak untuk
dimaafkan. Kenapa saya harus maafkan. aku merasa harus dipaksa
untuk mengucapkan itu, Aku ngomong mengasihi dia, tapi hatiku gak
mengasihi dia. Jadi nangis. kalau ingat luka hati nya, itu
sangat-sangat menggalaukan. Antara haduh mengampuni tapi Kesalahannya
berdoa mendapat kemudahan untuk memafkan. P1 merasa akan
Tuhan yang lebih dulu memaafkan dan bukan ia yang berhak
menghukum. Hal ini terlihat bahwa P1 melakukan perbandingan
bahwa ia mengecilkan dirinya dan membesarkan Tuhan “waktu doa
baru ngambil keputusan untuk mengampuni. Aku aja sudah diampuni
Tuhan Yesus, masa aku gak ngampuni.. Tuhan yang lebih berhak,
hakim atas segala hakim, gitu lho, isa mengampuni dia, masa kita
gak, siapakah kita”.
Setelah memaafkan, maka dampak yang muncul adalah
perasaan yaitu rasa kepuasan “Nangis lega karena aku sudah
mengampuninya dengan setulus-tulusnya. pas ending-endingnya
tangisan sukacita. Rasanya itu lebih sehat. Ga tau kenapa lebih sehat.
Lega, sukacita, senang, Jauh lebih baik. sampai sekarang, semakin
hari semakin membaik”. Selain perasaaan maka perilaku yang
menghukum berubah menjadi kasih dan ada rekonsiliasi.
Tema-tema inti yang ada dalam pengalaman marah ini adalah
1) kehilangan kepercayaan terhadap pelaku, 2) merasa diabaikan, 3)
reaksi berupa perasaan seperti membenci dan marah; pikiran seperti
keinginan untuk menghukum, dan perilaku yang dan tidak mengakui
menjadi penghambat keputusan untuk memaafkan. Tema inti yang
muncul dalam proses memaafkan adalah 1) Pengalaman gagal
memaafkan dengan mengidentifikasi ibu, 2) pengalaman berhasil
tantangan karena merasa benar dan sulit menerima rasa menyakitkan,
dan strategi yang dilakukan dengan berdoa dan mengecilkan diri
bahwa ia sudah dimaafkan Tuhan. Terakhir adalah dampak
memaafkan kesehatan berupa kesehatan fisik, dan kesehatan
psikologis seperti sukacita, lega, serta hubungan dengan pelaku
berjalan baik.
4. Deskripsi Struktural
Struktur pengalaman memaafkan P1 memperlihatkan adanya
hubungan P1 dengan orang lain, hubungannya dengan Tuhan, dan
tanggung jawabnya sebagai anak terhadap orang tua. Mengenai
hubungannya dengan orang lain, P1 akan marah dan benci ketika ada
seseorang yang melukai hati orang terdekatnya, merasa diabaikan, dan
ada yang merusak kepercayaannya. Untuk memaafkan, P1
mencari-cari tokoh teladan yang layak untuk mengidentifikasi perilakunya. P1
meletakkan otoritas Tuhan paling tinggi darinya yaitu yang
mempunyai hak untuk memberi maaf dan menghukum. Oleh karena
itu, ia juga merasa seorang anak harus memaafkan tokoh otoritas yaitu
B. Deskripsi Tekstural dan Struktural P2
1. Latar Belakang
Saat wawancara P2 masih berkuliah dan berusia 24 tahun P2
adalah seorang mahasisiwi lulusan UKDW jurusan Teknik
Informatika. yang aktif dalam pelayanan gereja. Setiap minggu ia
menjadi pengajar kelas tambourine untuk kalangan dewasa.
Sebelumnya ia setiap minggu bertugas melayani dipanggung sebagai
penari tambourin dan harus mengkuti latihan rutin setiap minggunya.
Selain itu, perannya di dalam gereja ialah pernah menjadi koodinator
bagian kostum panggung. P2 juga seorang pemimpin persekutuan doa
yang bertugas memimpin doa, membagikan renungan firman dari
kitab, dan menjadi penasehat untuk anggotanya. Dalam kehidupan
sehari-hari, P2 dan keluarganya membaca kitab dan melakukan
perjamuan kudus.
2. Latar Belakang Pengalaman
Kejadian ini terjadi saat P2 duduk dikelas 2 SMA. Peristiwa
yang menyebabkan P2 sulit untuk memaafkan dilakukan oleh seorang
laki-laki teman sekelas yang ia sukai (H). Dalam kedekatan mereka
yang beberapa tahun, P2 sering mendapatkan teror. Teror tersebut
berupa sms ancaman dan seperti paranormal yang mengetahui segala
aktifitas P2. P2 selalu bercerita dengan H apapun yang ia alami,
mengganti nomor Handphone agar tidak mendapatkan terror lagi.
Setelah sadar, P2 mengetahui bahwa H adalah orang yang selama ini
menjadi penerornya. Hal ini menyebabkan P2 kecewa dan sangat
marah. Selain itu P2 selalu ketakutan dan terancam setiap bertemu
dengan H, padahal mereka berada pada 1 universitas dan 1 jurusan
yang memaksanya untuk sering bertemu. Oleh karena itu, ia ingin
melepaskan perasaan yang tidak nyaman tersebut. Pada akhirnya P2
memutuskan untuk memaafkan H pada waktu saat teduh.
3. Deskripsi Tekstural
Dibohongi merupakan suatu penyebab P2 sakit hati. “saya
merasa diperdaya, dan diperalat”. Selain itu, adanya ancaman
terhadap keselamatan orang tua P2 merasa cemas dan putus asa “yang
benar-benar membuat saya tergoncang, saat itu mami mo ke
Manado,. dia itu mendoakan ketidakselamatan untuk orang tua saya.
Saya waktu itu benar-benar tertekan. Sampe saya ga tau ngomong ma
siapa lagi”. Dari perlakuan H, timbul pikiran menyalahkan perasaaan
yang bercampur aduk antara benci, dan ketakutan, sehingga memilih
untuk menghindari H. “saya sakit hati, ga bisa dipungkiri, Saya
kepahitan saat itu. Dan,..ada rasa takut bercampur rasa benci,
kenapa dia itu Setega itu pada saya. Saya ga mau dekat-dekat sama