• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri ditandai oleh rendahnya masa tulang dan rendahnya kualitas tulang sehingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sendiri ditandai oleh rendahnya masa tulang dan rendahnya kualitas tulang sehingga"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteoporosis saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan publik yang sering ditemukan. Bukti secara klinis dan epidemilogis diperlukan untuk menunjang diagnosis adanya fraktur vertebra. Meskipun fraktur vertebra sering dijumpai dan berhubungan dengan penurunan kualitas hidup, mereka sering kali tidak terdeteksi oleh klinisi dan kurang terdiagnosis oleh radiologis. Osteoporosis sendiri ditandai oleh rendahnya masa tulang dan rendahnya kualitas tulang sehingga mengakibatkan fraktur dan merupakan penayakit metabolik tulang tersering. Di Amerika sendiri sejumlah 10 juta populasi didiagnosis sebagai osteoporosis, 80%

terdiri dari wanita dan 2,2 juta fraktur osteoporosis terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Meskipun jumlah morbiditas yang signifikan berkaitan dengan kasus fraktur tersebut, osteoporosis dan osteopenia masih sering terlewatkan dalam diagnosis. Fraktur kompresi terjadi pada pasien dengan penurunan kualitas tulang yang kurang baik saat pasien melakukan aktivitas yang menopang tubuh. Kemudian 30% sampai dengan 50% wanita dan 20-30% pria mengalami fraktur vertebra.

Kejadian tersebut seringnya asimtomatik dan hanya 30% yang sampai datang ke pelayanan kesehatan. Sebagian besar kasus yang ada masih tidak terdiagnosis dan tertangani (Emohare et al., 2014; Lenchik et al., 2004; St. Jeor et al., 2020; Williams et al., 2009).

(2)

Tulang belakang berisikan tulang trabekula yang paling banyak di seluruh tubuh. Hilangnya trabekula merupakan salah satu tanda dari osteoporosis sehingga terjadi penurunan kemampuan vertebra untuk menahan beban aksial. Perubahan struktur tulang menyebabkan fraktur kompresi, dimana lokasi paling banyak berada di thorakal dan thorakolumbal. Fraktur kompresi dapat meneyebabkan nyeri dan deformitas kifotik serta memiliki risiko besar terjadinya fraktur di beberapa level (Emohare et al., 2014).

Penggunaan Computed Tomography (CT) Scan dengan nilai Hounsfield Unit untuk menilai masa densitas tulang dari tulang belakang sudah pernah dijelaskan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Seperti yang dijelaskan Pickhardt dkk, Ketika CT scan digunakan untuk indikasi klinis lain, hal tersebut juga dapat digunakan sebagai sarana penyaringan osteoporosis (Johnson et al., 2016)(Schreiber et al., 2014).

Pada penelitian ini kami ingin melihat hubungan antara nilai densitas tulang belakang pada pemeriksaan CT scan dengan fraktur kompresi thorakolumbal akibat osteoporosis. Hal ini kami harapkan dapat bermanfaat dalam pemerikaan dan penegakkan diagnosis fraktur kompresi akibat osteoporosis pada pasien lanjut usia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Adakah hubungan antara nilai densitas tulang belakang pada pemeriksaan CT scan dengan fraktur kompresi thorakolumbal akibat osteoporosis?

2. Adakah hubungan antara skala nyeri pasien dengan fraktur kompresi thorakolumbal akibat osteoporosis dengan nilai densitas tulang belakang?

(3)

3. Adakah hubungan antara tingkat keparahan disabilitas pada pasien fraktur kompresi thorakolumbal akibat osteoporosis dengan nilai densitas tulang belakang?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan nilai densitas tulang belakang dengan dengan morfologi tulang belakang yang mengalami fraktur kompresi

2. Mengetahui manfaat CT scan sebagai pengukur nilai densitas tulang 3. Mengetahui morfologi tulang belakang yang mengalami fraktur kompresi 4. Mengetahui nilai densitas tulang bekalang yang mengalami fraktur kompresi

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

1. Mengetahui fungsi Computed Tomogragphy Scan sebagai alat penunjang diagnosis Osteoporosis

2. Mengetahui morfologi dan gambaran radiologis fraktur kompresi pada pasien osteoporosis

3. Mengetahui nilai densitas tulang belakang pada pasien yang mengalami fraktur kompresi akibat osteoporosis

1.4.2 Manfaat aplikatif

Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadikan CT scan sebagai salah satu modalitas penunjang dalam pemeriksaan Osteoporosis dan fraktur vertebra akibat osteoporosis.

(4)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osteoporosis

Penyakit tidak menular memiliki nilai mordibitas, disabilitas dan fatalitas yang tinggi serta meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyakit tidak menular yang memiliki nilai morbiditas, disabilitas dan fatalitas yang tinggi adalah osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu kelainan skeletal sistemik yang ditandai oleh massa tulang yang rendah dan kemunduran mikroarsitektur jaringan tulang sehingga terjadi peningkatan kecenderungan fraktur (Nations, 2015; Ortman et al., 2014).

Osteoporosis kini menjadi salah satu penyakit yang membutuhkan perhatian serius, karena osteoporosis dapat mengakibatkan patah tulang, cacat tubuh, bahkan dapat menimbulkan komplikasi hingga kematian. Pengobatan osteoporosis akan membutuhkan biaya yang sangat besar serta membutuhkan waktu panjang sehingga menjadi penderitaan yang berkepanjangan. Kekuatan mineral tulang tanpa disadari berkurang yang menyebabkan lubang besar di dalam struktur trabekular pada tulang saat terjadi osteoporosis, sehingga tulang menjadi rapuh, mudah patah apabila terkena benturan. Oleh sebab itu, osteoporosis dikenal juga sebagai silent epidemic.

Osteoporosis menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Data statistik pada tahun 2009 menyebutkan bahwa terdapat 200 juta penderita osteoporosis di seluruh dunia.

Tahun 2050, diperkirakan 6,3 juta manusia akan mengalami patah tulang setiap

(5)

tahun di seluruh dunia yang lebih dari setengahnya terdapat di Asia (Nations, 2015;

Ortman et al., 2014).

Pada tahun 2015, di dunia terdapat sekitar 901 juta orang lebih dengan usia diatas 60 tahun. Angka ini diprediksi meningkat menjadi 1,4 milyar pada tahun 2030, dan pada target SDGs pada tahun 2050 mencapai 2,1 milyar. Di Amerika tahun 2012, populasi dengan usia diatasd 65 tahun sekitar 43,1 juta, dan diprediksi menjadi dua kali lipat pada 2050 menjadi 83.7 juta. Generasi baby boomers berperan besar atas meningkatnya angka ini, yang pada tahun 2011 sebagian besar akan masuk pada usia lanjut. Di Indonesia, populasi usia diatas 60 tahun pada tahun 2015 sekitar 2,1 juta orang atau sekitar 8.2%, dan diprediksi meningkat pada tahun 2030 sekitar 3.957 juta atau sekitar 13.2% dari seluruh populasi di Indonesia (Nations, 2015; Ortman et al., 2014).

Insidensi fraktur geriatri di Amerika menurut lokasi fraktur antara lain:

vertebral (27%), wrist (19%), hip (14%), pelvic (7%), dan lain-lain (33%).

Sedangkan urutan total biaya menurut fracture type antara lain: vertebral (6%), hip (72%), wrist (3%), pelvic (5%), dan lain-lain (14%). Pada tahun 2025, kejadian fraktur dan biaya yang diperlukan diperkirakan meningkat hampir 50%.

Peningkatan paling tajam diperkirakan pada pasien pada rentang usia 65–74 tahun, dengan peningkatan >87%. Dan peningkatan lebih 175% diprediksi pada Hispanic dan subpopulations lainnya. Data lain, masih di US menunjukkan lokasi fraktur yang paling sering terjadi pada geriatri adalah Lower trunk (pelvis, hip and lower spine) sebanyak 34% sampai dengan tahun 2014. Disusul dengan upper trunk (upper spine, clavicula dan costae) fractures sebanyak 13% sampai dengan tahun

(6)

2014. Bagian tubuh lain yang sering mengalami fraktur adalah lengan atas dan wrist rata-rata sebanyak 7% (Baidwan and Naranje, 2016; Burge et al., 2007).

Osteoporosis merupakan kelainan tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang disertai dengan perubahan arsitektural secara mikro dari jaringan tulang yang menjadi faktor risiko meningkatya risiko fraktur.

Berdasarkan World Health Organization (WHO), pasien dianggap osteoporosis bila pada pemeriksaan BMD menunjukan standar deviasi kurang dari 2.5. WHO mengelompokkan kesehatan tulang pada usia dewasa lebih dari 50 tahun menggunakan BMD tulang belakang dan panggul yang dibandingkan dengan standar pada wanita muda kulit putih. Osteoporois didefinisikan bila T-score ≤ - 2.5, osteopenia diartikan dengan T-score antara -1.0 dan -2.4, dan tulang normal memiliki densitas denga T-score > -1.0. Sedangkan osteoporosis berat didefinisikan dengan T-score kurang dari -2.5 SD dengan disertai satu atau lebih fraktur fragilitas.

Kriteria WHO berdasarkan bukti penelitian yang menunjukkan risiko fraktur fragilitas meningkat secara progresif dengan penuruan BMD (St. Jeor et al., 2020;

Tomé-Bermejo et al., 2017).(Nuti et al., 2009)

Di Indonesia pernah dilakukan sebuah penelitian cross-sectional pada 741 pasien dengan geriatric fractures dari tahun 2012 hingga 2017 di RS Surabaya Ortopedi dan Traumatologi. Ditemukan bahwa jumlah pasien perempuan 3 kali lipat pasien laki-laki. Prevalensi vertebral dan hip fraktur signifikan lebih tinggi.

Kecelakaan Domestic menjadi mechanism of injury (MOI) 82.2%, dilanjutkan 14.2% disebabkan oleh Kecelakaan lalu lintas, dan 3.6% dikarenakan kecelakaan kerja. Hanya 32% pasien yang tidak ditemukan adanya confounding disease seperti

(7)

diabetes mellitus ditemukan pada 25% pasien, dan hypertension pada 42% pasien geriatric fractures. Meskipun pasien dengan diabetes mellitus, hypertension, moderate to severe anemia, dan hyponatremia cukup banyak tetapi tidak signifikan menjadi faktor resiko untuk salah satu jenis fraktur. Trauma seperti Jatuh dengan low-energy didapatkan menjadi penyebab paling sering pada geriatri. Angka mortalitas lebih tinggi pada kasus-kasus pedestrian injuries (Adam et al., 2008;

Irianto et al., 2019).

Sebuah penelitian menggunakan Markov decision model digunakan untuk memperkirakan total insidensi fraktur dan biaya yang dihabiskan menurut usia jenis kelamin, ras/etnis, dan lokasi fraktur pada populasi > 50 tahun di Amerika Serikat.

dari tahun 2005–2025. Lebih dari 2 juta insiden fraktur dengan total biaya sekitar 17 juta dollar diperkirakan pada tahun 2005. Total penegluaran termasuk prevalent fractures lebih dari $19 juta. 29% kasus terjadi pada laki-laki dari semua fraktur dan 25% dari total costs. Untuk insidensi fraktur geriatri di Amerika menurut lokasi fraktur antara lain: vertebral (27%), wrist (19%), hip (14%), pelvic (7%), dan lain- lain (33%). Sedangkan urutan total biaya menurut fracture type antara lain:

vertebral (6%), hip (72%), wrist (3%), pelvic (5%), dan lain-lain (14%). Pada tahun 2025, kejadian fraktur dan costs yang diperlukan diperkirakan meningkat hampir 50%. Peningkatan paling tajam diperkirakan pada pasien para rentang usia 65–74 tahun, dengan peningkatan >87%. Dan peningkatan lebih 175% diprediksi pada Hispanic dan subpopulations lainnya (Burge et al., 2007). Data lain, masih di US menunjukkan lokasi fraktur yang paling sering terjadi pada geriatri adalah Lower trunk (pelvis, hip and lower spine) sebanyak 34% sampai dengan tahun 2014.

(8)

Disusul dengan upper trunk (upper spine, clavicula dan costae) fractures sebanyak 13% sampai dengan tahun 2014. Bagian tubuh lain yang sering mengalami fraktur adalah lengan atas dan wrist rata-rata sebanyak 7% (Baidwan and Naranje, 2016)

Osteoporosis dianggap sebagai salah satu epidemic mayor pada abad ke-21, diperkirakan 200 juta orang diseluruh dunia menderita osteoporosis, dengan efek yang signifikan terhadap tingkat morbiditas dan mortalitas. Prevalensi tertinggi terjadi pada perempuan usia lanjut (Yu and Xia, 2019). Osteoporosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar dan ditandai dengan rendahnya massa tulang, rusaknya susunan tulang secara mikro, and meningkatnya risiko patah tulang karena rapuh (Chaysri et al., 2015)

Meskipun penilaian dengan Bone Mineral Density merupakan Gold Standar untuk diagnosis osteoporosis, namun masih memiliki beberpa keterbatasan. Yang pertama, adalah dia hanya menyediakan proyeksi dua dimensi dari struktur tiga dimensi dan tidak dapat menangkap gambaran geometri tiga dimensi tulang. Sehingga nilai densitas mineral tulang yang didapatkan tidak mewakili volumetric mineral tulang sebenarnya namun hanya pada bone mineral densiti pada area yang terproyeksi saja (Unnanuntana et al., 2010).

(9)

Gambar 2.1 Empat mekanisme dalam regulasi tulang

Deplesi tulang terjadi akibat dominan resorpsi tulang dan pengurangan pembetukan tulang atau kombinasi dari keduanya. Tedapat bukti adanya alasan utama dari hilangya kekuatan tulang adalah pengurangan dari masa tulang.

Meskipun demikian pada trabekula tulang yang ada kemungkinan terdapat

(10)

hilangnya struktur penghubung antar lempeng tulang. Akibatnya tulang – terutama di sekitar persimpangan diafisial-metafisial pada tubular tulang dan corpus cancellous vertebra – mencapai status dimana terdapat stess dan strain sehingga menyebabkan suatu fraktur. Untuk beberapa alasan yang belum dimengerti sepenuhnya, penduduk Afrika dianggap memiliki kecenderungan yang rendah untuk terjadinya fraktur osteoporotis (Warwick et al., 2010) .

Terdapat beberapa pendapat tentang klasifikasi osteoporosis. Secara garis besar osteoporosis dikategorikan dalam dua kelompok, yakni osteoporosis primer dan sekunder. Osteoporosis primer terbagi menjadi dua yaitu tipe 1 (postmenopausal) dan tipe 2 (senile). Terjadinya osteoporosis Tipe 1 erat kaitannya dengan hormon estrogen dan kejadian menopause pada wanita. Biasanya osteoporosis jenis ini terjadi 15–20 tahun setelah masa menopause. Tipe 2 biasanya terjadi diatas usia 70 tahun dan 2 kali lebih sering terjadi dibandingkan jenis tipe 1.

Osteoporosis tipe 2 ini terjadi karena kekurangan kalsium dan sel-sel perangsang pembentuk vitamin D (Limbong and Syahrul, 2015)

Osteoporosis pada post menopause merupakan suatu bentuk fisiologis penipisan tulang yang secara normal menyertai penuaan dan menurunnya aktivitas gonadal. Terdapat 2 fase yang saling tumpeng tindih yaitu sindrom post meopause dini yang ditandai oleh hilangnya tulang secara cepat akibat dominannya resorpsi osteoklas (osteoporosis high turnover) dan sindrom yang definisi dengan baik dimana pada pasien dnegan usia tua akibat penurunan aktivitas osteoblastik secara bertahap dan meningkatnya efek insufisiensi dietary, masalah kesehatan kronis (osteoporosis low-turnover) (Warwick et al., 2010).

(11)

Di sekitar menopause, dan untuk 10 tahun ke depan, percepatan hilangnya massa tulang secara normal adalah sekitar 3 persen per tahun. Hal ini akibat peningkatan aktivitas resorpsi tulang, kemunduran dari osterogen menghilangkan penahan aktivitas osteoklastik. Genetik memiliki peran penting pada penentuan kapan dan bagaimana proses ini menjadi berlebihan (Warwick et al., 2010).

Pada hiperkortisonisme, terjadi kelebihan glukokortikoid contohnya pada penyakit cushing dan Riwayat pengobatan kortikosteroid dalam jangka waktu lama.

Hal ini sering mengakibatkan osteoporosis berat, terutama jika kondisi dimana pengobatan tersebut untuk terapi yang berkaitan dengan adanya risiko hilangnya masa tulang, sebagai contoh adalah rheumatoid arthritis. Glukokortikoid memiliki aksi kompleks. Pada tulang, dia memiliki efek supresi fungsi osteoblast, selain itu juga menyebabkan pengurangan resorpsi kalsium, meningkatkan ekskresi kalsium dan stimulasi sekresi PTH. Bukti terbaru menunjukkan adanya depresi ekspresi OPG dan hal ini mengakibatkan pengaruh pada osteoklastogenesis dan resorpsi tulang.

Pada insufisiensi hormon gonadal, berkurangnya hormon estrogen pada wanita muda juga merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis dimana sering dijumpai pada kasus dengan riwayat oophorektomi, agenesis ovarium, dan amenorea (sindrom turner). Selanjutnya pada kasus hiperthyroidisme, osteoporosis terjadi akibat banyaknya thyroxine yang mempercepat laju turnover tulang. Pada kasus alkoholisme kronis dan imobilisasi kronis, osteoporosis akibat kombinasi berkurangnya absorpsi kalsium, kegagalan organ hati dan efek toksik pada fungsi osteoblast.

(12)

.

Gambar 2.2 Gambaran X-ray lateral tulang belakang dengan gambaran fraktur kompresi akibat osteoporosis

Fragilitas fraktur akibat osteoporosis merupakan salah satu tantangan besar untuk kesehatan masyarakat di seluruh dunia, usia tua mewakili salah satu kelompok dengan pertumbuhan tercepat, dan tahun demi tahun jumlah fraktur akibat fragilitas akan meningkat dengan bertambhanya populasi. Kira-kira 50%

dari wanita dan 20% dari laki-laki dengan usia lebih dari 50 tahun akan memiliki fraktur fragilitas di sisa usianya pada populasi Caucasia. Meskipun jumlah insisdensi faktur panggul dan tulang belakang cenderung stabil, estimasi jumlah tersebut di seluruh dunia akan meningkat dari 1,7 juta di 1990 mencapai 6,3 juta di tahun 2050. Sementara pasien dengan faktur tulang belakang memiliki komplikasi

(13)

yang cenderung lebih ringan, hal ini harus diperhatikan karena fraktur tulang belakang memiliki insidensi lebih sering namun hanya 30% dari pasien yang datang ke fasilitas kesehatan. Pasien-pasien tersebut yang datang ke fasilitas kesehatan setelah menyadari adanya deformitas kifosis dan disabilitas akibat nyeri (Link, 2012).

Massa tulang dari masing-masing individu di kehidupan merupakan hasil pengaruh dari puncak massa tulang selama kehidupan intrauterine, masa anak-anak, dan pubertas. Walaupun faktor genetik memiliki kontribusi besar dalam mempengaruhi puncak massa tulang, faktor lingkungan kehidupan intrauterine, masa anak-anak, dan dewasa membentuk pola pertumbuhan skeletal (Link, 2012).

2.2 Fraktur Vertebra

Diagnosis fraktur vertebra mungkin dapat dicurigai berdasarkan evaluasi klinis dan konfirmasi melalui radiografi. Meskipun demikian, tidak seperti fraktur lainnya, fraktur vertebra sering terlihat pada gambaran radiologi yang didapat justru bukan karena keluhan tersebut walaupun fraktur vertebra sering pada wanita postmenopause, namun hanya satu dari empat fraktur vertebra yang secra klinis terdeteksi. Karena Sebagian besar episode nyeri punggung tidak selalu berkaitan dengan fraktur vertebra, sehingga tidak sering dicurigai pada pasien dengan nyeri punggung belakang, kecuali nyeri tersebut akibat trauma. Kifosis pada pasien usia tua berkaitan dengan fraktur vertebra tetapi sulit untuk mengukurnya secara klinis tanpa bantuan radiografi. Untuk alasan tersebut, fraktur vertebra sulit ditentukan pada evaluasi klinis pasien (Lenchik et al., 2004).

(14)

Radiologis berperan cukup penting untuk mengevaluasi gambaran trauma pada pasien geriatri. Pasien geriatri memiliki gambaran cedera yang sedikit berbeda dibanding dewasa muda, geriatri dapat mengalami injury yang serius dari hanya trauma yang minor. Evaluasi klinis pada pasien geriatri cukup sulit karena adanya fragility, penyakit komorbid lain, dan mereka yang telah mengkonsumsi obat rutin sebelumnya. Hal spesifik yang perlu diperhatikan antara lain penggunaan antikoagulan, steroids, dan bisphosphonates (Sadro et al., 2015).

Secara umum penggunaan radiografi, computed tomography, dan magnetic resonance imaging bermanfaat dalam menilai densitas tulang. Radiologists seharusnya memakai age-appropriate algorithms untuk radiography, computed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging pada pasien geriatri dan sangat memperhatikan penggunaan kontras intravenous berkaitan impaired renal function.

Selain itu juga ada yang cukup fokus dalam hal faktor resiko terjadinya kanker dengan penggunaan radiasi pada usia ini, oleh karena itu CT scan menjadi pilihan utama pada setting trauma pada geriatri (Rajasekaran et al., 2017; Sadro et al., 2015).

Tidak selalu fraktur vertebra akibat osteoporosis disertai dengan nyeri tajam. Beberapa kasus dimulai dengan nyeri punggung kronis dan dorsal kifosis secara bertahap. Selain itu, pada beberapa kasus, deformiasi pada korpus vertebra tanpa nyeri punggung sama sekali pada studi di Amerika Serikat, dimana pemeriksaan x-ray pada tulang belakang yang dilakukan selama tiga tahun pada sekitar 7000 pasien dengan postmenopause, ditemukan peningkatan gambaran

(15)

fraktur pada 1.5% subyek. Diantara mereka, sepertiganya mengeluhkan nyeri punggung, dan sisanya tanpa nyeri sama sekali (Toshitaka NAKAMURA, 2003).

Meskipun kasus-kasus tanpa fraktur vertebra pada osteoporosis kadang mengeluh nyeri dan tidak nyaman pada punggung. Transmisi dari fiber C saraf sensorik disesuaikan secara inhibitor oleh fiber saraf descenden dari otak dalam medulla spinal. Transmmitter dari saraf ini adalah serotonin dan terminal-terminal dari fiber-C memiliki reseptor serotonin. Pada percobaan tikus, defisiensi esterogen yang disebabkan reseksi ovarium mengakibatkan penurunan reseptor serotonin dan peningkatan transmisi dari stimulus nyeri (Toshitaka NAKAMURA, 2003).

2.3 Osteoporotic Vertebral Compression Fracture (OVCF)

Fraktur vertebra merupakan jenis kompresi dan berkaitan dengan pengurangan tinggi korpus vertebra di anterior, tengah , atau posterior. Semua fraktur vertebra didiganosis dengan studi pencitraan, diagnosis fraktur vertebra bergantung sensitivitas pencitraan dalam mendeteksi perubahan-perubahan yang konsisten dengan adanya fraktur vertebra. Tekanan intrabaadominal mengurangi gaya kompresif sekitar 15% dan facet membawa beban antar 3% sampai 25% dari beban lumbal. Sehingga, bahkan jika beban maksimal (40%) dari tekanan intrabadominal, diperkirakan beban lumbal vertebra dari aktivitas sehari-hari sekitar 1100 N. Untuk mengangkat beban 50 kg dengan lutut ekstensi, diperkirakan beban 3200N. Berdasarkan data in vitro untuk tulang belakang pasien geriatri, beban yang meningkatkan risiko fraktur yaitu 20 kg dalam fleksi dengan tangan mengangkat beban seberat 50 kg dalam lutut ekstensi. Dengan laporan secara in

(16)

vitro, beban fraktur untuk vertebra lumbal 2000 N sampai 5000 N (Simon et al,.

1994) (Griffith, 2015).

Dari seluruh jenis fraktur osteoporosis, fraktur vertebra merupakan yang paling sering terjadi. Osteoporotic Vertebral Compression Fracture (OVCF) menjadi masalah besar kesehatan di dunia. Bertambahnya jumlah populasi usia tua, OVCF menjadi isu penting dalam masalah kesehatan. Dana yang dikeluarkan untuk OVCF sendiri diperkirakan sebesar 1.5 miliar Euro di Eropa pada tahun 2010 dan diperkirakan akan terus meningkat lebih dari 50% pada tahun 2025. Sedangkan berdasarkan National Osteoporosis Foundation, 30 juta wanita Amerika dan 14 juta pria amerika mengalami osteoporosis dan osteopenia. Semuanya memiliki risiko fraktur dan sebagian memang mangalami fraktur. Kemudian kira-kira 700 ribu kasus fraktur pada osteoporosis terjadi tiap tahun di Amerika Serikat dengan separuhnya adalah fraktur vertebra dan meiliki proporsi dua kali lipat dari kasus fraktur panggul (Lenchik et al., 2004; Oei et al., 2018).

Penggunaan AO/OTA Fracture and Dislocation Classification dapat diterapkan pada fraktur pada geriatri, akan tetapi terdapat beberapa pendekatan spesifik fraktur pada osteoporotic fracture.

(17)

Gambar 2.3 Klasifikasi fraktur osteoporosis vertebra torakolumbal: Rekomendasi dari German Society for Orthopaedics and Trauma

Keterangan:

OF 1: Tidak diapatkan deformitas vertebra. Ini merupakan tipe yang jarang.

OF 2: Deformitas tanpa atau dengan hanya sedikit keterlibatan dinding posterior. fraktur tipe ini hanya mengenai endplate dan merupakan tipe trauma stabil.

OF 3: Deformitas dengan keterlibatan dinding posterior yang nyata. Tipe fraktur ini mengenai endplate tetapi menunjukkan keterlibatan yang jelas antara dinding anterior dan posterior. Fraktur ini dapat menjadi tidak stabil di kemudian hari.

OF 4:Hilangnya integritas dari struktur vertebra, atau kolaps corpus vertebra. Sub tipe ini terdiri dari 3 jenis fraktur. Pada kasus hilangnya integritas struktur vertebra pada kedua endplate dan dinding posterior. OF 4 merupakan jenis tidak stabil dan sering terlihatnya gambaran vakum di intervertebral.

OF 5: Cedera dengan distraksi dan rotasi. Tipe ini jarang tetapi menunjukan substansi ketidakstabilan. Cedera termasuk kolum anterior dan posterior serta kompleks ligament. OF tipe 5 dapat diakibatkan trauma secara langsung atau perjalanan dari OF tipe 4 (Schnake et al., 2018)

2.4 Modalitas Pemeriksaan Fraktur Kompresi Thoracolumbal Lanjut Usia Pemeriksaan radiografi dapat dilaksanakan secra cepat, hampir selalu tersedia dan berbiaya rendah serta merupakan modalitas terbaik untuk mendiagnosis fraktur vertebra. Radiografi spinal lateral biasanya akan cukup. Pada corpus vertebra thoracal atas seringnya tidak terlihat jelas pada radiografi spinal

(18)

lateral padahal kebanyakan OVCF terjadi pada segmen midtorakal dan thorakolumbal (Griffith, 2015).

Gambaran baji sedang pada anterior dan posterior adalah normal secara fisiologis pada corpus vertebra thoracal dan lumbal sesuai kurvatur vertebra dari lordosis menjadi kifosis. Seluruh vertebra sedikit baji pada derajat yang kecil tetapi baji yang fisiologis terbesar pada mid thoracal – dimana regio lumbal atas, yaitu pada L1 dimana vertebra memiliki baji di anterior sementara pada vertebra lumbal bawah (L4 – L5) biasanya baji pada posterior (gambar 4 dan 5) (Griffith, 2015).

Gambar 2.4 Gambar yang membedakan antara baji fisiologis pada vertebra T12, L1, dan L2 (anak panah) dengan fraktur ringan sulit pada kasus ini. Ketinggian corpus vertebra anterior tidak mengalami pengurangan lebih dari 20%. Terdapat

ketinggian vertebra yang rendah pada corpus vertebra L4 (anak panah) dimana pada hal teresebut tidak dapat pengurangan lebih dari 20%

(19)

Gambar 2.5 Gambar vertebrae yang menunjukkan terdapat ketinggian vertebra yang berkurang pada semua vertebra lumbal terutama L4 dan L5 (anak panah).

Terdapat juga gambaran baji fisiologis pada L1 (anak panah)

Short Vertebral Height (SVH) merupakan suatu istilah yang sering terjadi dengan meningkatnya usia dengan meningkatnya perubahan degeneratif. Diantara usia 30 sampai 70 tahun, kombinasi ketinggian dari aspek anterior corpus vertebra T4-L5 menurun sekitar 1.5 mm per tahun sementara kombinasi pada ketinggian tengah dan posterior berkurang 1.2 mm per tahunnya. SVH berarti pada pengurangan ketinggian vertebra sampai sekitar 20%. Membedakan SVH dengan fraktur vertebra ringan sulit dalam penegakkan diagnosisnya. Bukti menyatakan adanya SVH tidak berkaitan dengan rendahnya BMD ataupun fraktur vertebra.

Pada penilaian DXA fraktur vertebra dimana perbandingan antara 250 wanita

(20)

premenopause dan 1350 wanita postmenopause, prevalensi dari SVH adalah sekitar 35%. Prevalensi yang sama pada wanita pre dan postmenopause tidak berkaitan dengan rendahnya BMD vertebra lumbal (Griffith, 2015).

Penyakit Scheuermen jarang terjadi pada kelainan thoracolumbal ditandai dengan indentasi endplate, berkurangnya ketinggian diskus, berkurangnya ketinggian vertebra, peningkatan diameter vertebra anteroposterior dan percepatan diskus degenerasi. Skoliosis degenerasi sering terjadi pada usia pertengahan dan geriatric serta mungkin mengakibatkan oblikuitas dari corpus vertebra sehingga terjadi perbedaan tinggi copus vertebra antar sisi. Pada proyeksi lateral, oblikuitas ini menghasilkan garis bikonkaf pada endplate vertebra yang mana bila tingkat yang berat dapat terjadi misinterpretasi dengan fraktur vertebra. Kemudian Node Schmorl’s merupakan defek indentasi pada endplate karena degenerative disc disease. Node shmorl’s sering dijumpai terutama pada lumbal degenerasi. Ukuran node schmorl’s yang sedang atau besar jarang terjadi dan bisa membuat misinterpretasi dengan fraktur endplate, node schmorl’s memiliki bentuk kontur bulat dengan batas sklerotik dan mereka tidak melibatkan seluruh endplate (Griffith, 2015).

Deformity cupid bow sering terjadi pada endplate inferior lumbal keempat dan lima dan jarang terjadi pada endplate superior. Deformitas cupid bow akibat defisiensi fokal dari komponen kartilago di regio parasagittal endplate. Pada proyeksi lateral x-ray didiapatkan indentasi pada 2/3 posterior endplate inferior (Griffith, 2015).

(21)

Beberapa cara dikembangkan untuk membantu standarisasi diagnosis dan tingkat fraktur vertebra terutama OVCF. Walaupun metode-metode ini dikembangkan dalam radiografi, mereka dapat diaplikasikan pada DXA, computed tomography (CT) dan MRI. Metode semi-quantitative (SQ) atau quantitative morphometric (QM) merupakan metode yang paling serting digunakan.

Gambar 2.6 Skema impresi pada endplate yang disebabkan oleh A) Penyakit Sheuerman B) Node schmorl’s C) Deformitas Cupid

Risiko tiap individu untuk mengalami fraktur tergantung pada profil risiko fraktur mereka. Beberapa algoritma telah dikembangakan untuk mengukur risiko fraktur, yang paling sering digunakan adalah algoritma FRAX yang mana dapat mengukur risiko fraktur selama 10 tahun kedepan. Pemeriksaan BMD dapat dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko tinggi fraktur saat dihitung menggunakan algoritma FRAX. Indikasi yang lain meliputi riwayat fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis, osteopenia secara radiologi, penggunaan glukokortikoid, penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis (thyrotoxicosis,

(22)

rheumatoid arthritis, menopause dini).Pasien dengan osteoporosis memiliki risiko yang besar untuk terjadinya fraktur patologis yang menyebabkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup yang buruk. Risiko terkena osteoporosis meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria, dimana 30% wanita dibandingkan 12% jumlah pria mengalami osteoporosis dalam hidupnya. Prevalensi osteoporosis di Eropa saat ini diperkirakan 22 juta wanita dan 5.5 juta pria diantara usia 50 dan 84 tahun, dengan 3.5 juta rapuh terhadap fraktur (Al Anouti et al., 2019).

Gambar 2.7 WHO FRAX assessment tools

World Health Organization Fracture Risk Assessment tool (FRAX) dikembangkan untuk mengidentifikasi resiko terjadinya fragility fracture (FF)(Roux et al., 2014). Penelitian terbaru menjelaskan bahwa computed

(23)

tomography (CT)-based structural rigidity analysis (CTRA) dan finite element (FE) analysis menawarkan keuntungan yang meningkatkan spesifitas (true negative rate), tetapi masih terbatas pada ketersediaan alat (Damron and Mann, 2020).

2.5 Penilaian Semi-Quantitative (SQ)

Metode SQ secara luas pertama kali digunakan oleh Genant dkk (Gambar 6). Pada metode ini, fraktur vertebra terdiri dari tingkat 1 (ringan) sampai 3 (berat).

Tingaka1 (ringan) fraktur vertebra yaitu adanya 20-25% reduksi pada anterior height (Ah), medial height (MH, dan atau posterior height (Ph) dibandingkan dengan ketinggian vertebra normal. Fraktur vertebra tingat 2 (sedang) yaitu adanya reduksi 24-40% ketinggian corpus vertebra sementara tingkat 3 (berat) adanya reduksi ketinggian vertebra lebh dari 40%. Perkiraan adanya reduksi dari ketinggian vertebra biasanya dilihat secara visual dan jarang sampai dilakukan pengukuran. Gambaran perubahan morfologi lain seperti tekukan endplate atau disrupsi dari tepi kortikal dapat difaktorkan ke dalam diagnosis fraktur vertebra.

Pengaplikasian tingkatan ini dalam studi penelitian memungkinkan spinal deformity index (SDI) untuk dilakukan pada masing-masing pasien dengan cara menyimpulkan nilai SQ pada vertebra.

(24)

Gambar 2.8 Gambar skematik diagram analisis semi-quantitative oleh Genant

2.6 Vertebral Quantitative Morphometric (QM)

Metode pendekatan QM menggarisbawahi batas pada masing-masing korpus vertebra pada torakal dan lumbal yang terdiri dari 6 penilaian untuk masing- masing sudut dan satu untuk titik tengah dari endplate superior dan inferior. Untuk vertebra dimana endplate-nya tidak terlihat, titik tengah dari bentuk membulat endplate superior dan inferior dapat dipilih. Bentuk vertebra ditentukan menggunakan rasio ketinggan vertebra. Sebagai contoh, Ah/Ph mewakili baji anterior, Mh/Ph merefleksikan konkavitas endplate, dan Ph/Ph’ dari normal vertebra diatasnya mewakili baji posterior. Fraktur vertebra didifinisikan sebagai

(25)

reduksi satu atau lebih dari tiga rasio ketinggian vertebra (Ah/Ph, Mh/Ph, atau Ph/Ph’) lebih dari 20% atau tiga standar deviasi (SD) dari rata-rata populasi.

Aplikasi dari QM dalam praktek cenderung subjektif dengan referensi penempatan titik bergantung pada pengalaman pemeriksa, terutama pada titik tengah vertebra. QM digunakan dalam peneilitian, terutama pada studi yang Panjang dan secara umum tidak digunakan dalam praktek klinis. Bagaimanapun konsistensi metode ini dalam mendeteksi fraktur vertebra ringan lemah sehingga akan menimbulkan diagnosis yang positif palsu. Oleh sebab itu fraktur vertebra yang didiagnosis dengan metode QM harus dikonfirmasi oleh pembaca yang ahli.

Gambar 2.9 Diagram skematik yang menunjukkan contoh penempatan titik untuk quantitive morphometry

2.7 Penggunaan CT Scan pada Osteoporosis

Ketika kemampuan CT scan sudah ditingkatkan, penggunaan Hounsfield units (HU) untuk menilai densitas tulang regional pada tulang belakang dapat

(26)

diterapkan seperti dijelasakan oleh Pickhardt dkk, ssat CT scan diguanakan untuk indikasi klinis, mereka mungkin juga digunakan untuk skrining osteoporosis.

Hounsfiled unit sendiri merupakan penilaian dari standarisasi linear koefisien dari jaringan yang berdasarkan skala dari 0 untuk air sampai 1000 untuk udara. Penilain HU dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit metabolik tulang (Schreiber et al., 2014) (Chen et al., 2018)

DEXA secara luas digunakan sebagai standar baku menilai BMD. Banyak penelitian yang melaporkan bahwa Computed Tomography dapat lebih sensitive dalam menilai osteoporosis daripada DEXA karena CT dapat secara langsung merefleksikan kualitas tulang trabekula secara langsung tanpa terhalang tulang kortikal dan jaringan lainnya. Nilai Hounsfield Unit pada tulang belakang dapat secara mudah diukur menggunakan Picture Archiving and Communication System (PACS)

Osteoporosis merupakan salah satu isu yang sering pada operasi tulang belakang, lebih dari separuhnya adalah wanita dan 1 dari 6 laki-laki yang menjalani operasi tulang belakang merupakan osteoporosis berdasaran pemeriksaan DEXA sesuai definisi WHO. Korelasi antara densitas tulang dan risiko fraktur dtelah ditentukan, dengan pemeriksaan yang menunjukkan korelasi kuat antara penilaian HU dan densitas tulang. Bukti bahwa nilai HU dapat digunakan untuk memperkirakan kekuatan regional tulang dan risiko fraktur pertama digunakan memakai polyurethane, dimana korelasi linear ditemukan antara nilai HU dan densitas kekuatan kompresi bersilangan dengan densitas tulang manusia. Estimasi risiko fraktur merupakan variable kunci dalam menentukan apakah pasien harus

(27)

diterapi untuk penyakit metabolik tulang. Kemampuan nilai HU untuk memperkirakan risiko fraktur telah diinvestigasi. Meredith dkk, menemulan hubungan antara penilain HU dan faktur pada segmen tulang di dekatnya setelah menjalani operasi fusi tulang belakang. Selanjutnya, pada penelitian prospektif 123 pasien yang dilakukan vertebroplasty untuk OVCF sesuai Liu dkk, menemukan bahwa penurunan nilai HU memiliki faktor rsisiko yang signifikan untuk terjadinya fraktur kompresi selanjutnya (p = 0.001) (Schreiber et al., 2014)

Terbatasnya jumlah penelitian yang menilai CT scan dalam memprediksi fraktur fragilitas dan sebagian besar dari semua pernyataan bahwa T-score tidak digunakan untuk menentukan osteoporosis. Saat ini Quantitattive CT-scan merupakan salah satu penilaian klinis rutin absolut dari BMD untuk menilai risiko fraktur telah digunakan (110-80 mg/cm3 = rsisiko fraktur rendah, 80-50 mg/cm3 = risiko fraktur sedang, 50 mg/cm3 = risiko fraktur tinggi). Berdasarakan The International Society For Clinical Densitometry pada tahun 2007, nilai BMD berdasar CT scan untuk menilai osteoporosis (BMD > 120 mg/cm3 : normal, BMD

= 80-120 mg/cm3 : osteopenia, dan BMD < 80 mg/cm3: osteoporosis) (Li et al., 2014).

(28)

Gambar 2.10 Pengukuran nilai Hounsfield unit pada tulang belakang dengan menentukan Region of Interest (ROI)

2.8 Visual Analogue Score (VAS)

Visual analogue score (VAS) merupakan instrument pengukur psikometri yang dibuat untuk mendokumentasikan karakterisktik derajat gejala yang berhubungan dengan suatu penyakit pada pasien. VAS juga dapat digunakan untuk menilai riwayat penyakit pasien yang rutin serta untuk memonitor penyakit kronik.

VAS pertama kali diperkenalkan pada 1921 (Klimek et al., 2017).

VAS pertama akali dipakai oleh Hayes dan Patterson. Skor berdasarkan ukuran sendiri dari gejala yang dirasakan oleh individu pasien. VAS terdiri dari

(29)

suatu garis lurus 10 cm dengan pembacaan 0-100 mm dengan makna 0-<10 mm tidak nyeri; 10-30 mm nyeri ringan; 30-70 mm nyeri sedang, 70-90 mm nyeri berat;

dan 90-100 mm nyeri sangat berat. Cara penilainnya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan setelah diberi penjelasan tentang makna dari setiap nilai skala tersebut (Haefeli and Elfering, 2006).

Gambar 2.11 Nilai interpretasi Visual Analogue Score (VAS) 2.9 Pain Disability Index

Pain Disablity Index merupakan skala peringkat yang dibuat untuk menilai derajat terhadap aspek kehidupan yang terganggu akibat nyeri kronik. Di sisi lain, kita sebaiknya mengetahui bagaimana nyeri mencegah kamu dari aktivitas normal.

Terdapat 7 kategori aktivitas kehidupan yang dinilai. Skor dari 0 yang artinya tidak ada disabilitas sama sekali, dan skor 10 yang artinya semua aktivitas normal terganggu akibat nyeri (CA et al., 2010)

Penilaian disabilitas yang berkaitan dengan nyeri:

1. Aktivitas rumah dan keluarga 2. Rekreasi: hobi olahraga

3. Aktivitas social: partisipasi dengan teman dan anggota keluarga

4. Pekerjaan: aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan termasuk pekerjaan rumah

5. Aktivitas seksual: frekuensi dan kualitas kehidupan seksual 6. Perawatan diri: membersihkan diri (mandi, bersolek, dll) 7. Aktivitas penunjang kehidupan: makan, tidur, bernafas

(30)

2.10 Kerangka Teori

Gambar 2.12 Kerangka teori

(31)

2.11 Kerangka Konsep

Gambar 2.13 Kerangka konsep

2.12 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara nilai densitas tulang belakang pada pemeriksaan CT scan dengan fraktur kompresi thorakolumbal akibat osteoporosis.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kompetisi Matematika yang terdiri dari 50 soal, peserta akan mendapat skor 4 untuk jawaban benar, skor -2 untuk jawaban salah, dan skor -1 untuk soal yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi dosen mempunyai pengaruh langsung terhadap keterampilan pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim sebesar 45.8%,

Hal ini bisa terjadi karena alat melalui formasi yang “unconsolidated” atau pasir lepas, rekahan-rekahan pada batuan, adanya gas dalam batuan, lumpur yang banyak

Dalam konteks ini, mauquf ‘alaih tidak terbatas pada sasaran yang langsung dimanfaatkan sebagaimana pada wakaf konsumtif, tetapi seiring dengan perkembangan aset wakaf yang

Kandungan amonia yang tinggi di perairan merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik di perairan, kadar amonia bebas melebihi 0,2 mg/L dapat menyebabkan kematian beberapa

Aksesori ialah sebarang alat yang digunakan dalam kerja-kerja pendawaian elektrik yang tidak menggunakan arus seperti ros siling, pemegang lampu, kotak sambungan, soket alur

Καί είς τάς τρεις ταύτας πε­ ρι yραφάς όφειλομένας είς τήν γραφίδα προσώπων, περί της ήθικης καl διανοητικης άρτιότη­ τος των

Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 85% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus II ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus I.