• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Isu Strategis Sawit Vol. I, No. 13/2015 PROGNOSA DAMPAK PUNGUTAN EKSPOR MINYAK SAWIT TERHADAP INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Isu Strategis Sawit Vol. I, No. 13/2015 PROGNOSA DAMPAK PUNGUTAN EKSPOR MINYAK SAWIT TERHADAP INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Prognosa kebijakan pungutan ekspor secara tidak langsung (specific levy) dapat menaikkan harga CPO dunia, namun menurunkan harga CPO/TBS domestik sehingga terjadi disparitas harga CPO dunia dengan harga CPO domestik. Kebijakan yang demikian merugikan produsen CPO/TBS domestik termasuk petani sawit pada 190 kabupaten di Indonesia. Jika pungutan ekspor dilakukan secara langsung (lump-sum levy) dan dana hasil pungutan digunakan untuk subsidi kredit untuk produsen CPO/TBS termasuk petani dan produsen hilir, menguntungkan semua pelaku.

Keyword : lump-sum levy, specific levy, pelaku hulu, pelaku hilir

PROGNOSA DAMPAK PUNGUTAN EKSPOR MINYAK SAWIT TERHADAP INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA

Oleh Tim Riset PASPI

m nitor

Analisis Isu Strategis Sawit Vol. I, No. 13/2015

PASPI

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute

www.paspi.web.id

“Dapat dikutip untuk pemberitaan”

(2)

PENDAHULUAN

Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan pungutan ekspor minyak sawit yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 114/PMK.05/2015 tanggal 15 Juni 2015. Menurut rencana pu- ngutan ekspor tersebut tadinya mulai diber- lakukan mulai tanggal 1 Juli 2015, namun karena persiapan administrasi memerlukan waktu, pemungutan rencananya baru dimulai tanggal 16 Juli 2015.

Semula sebelum PMK 114 tersebut dike- luarkan (sebagaimana dimuat dalam Monitor PASPI Volume 1/4/2015). Logika ekonomi mengharapkan bahwa pungutan ekspor mi- nyak sawit yang akan dikeluarkan peme- rintah adalah pungutan secara langsung (direct levy) atau lump-sum levy yakni pungu- tan sejumlah nilai moneter tertentu pada perusahaan eksportir minyak sawit. Pilihan pungutan lump-sum levy tersebut dinilai lebih tepat karena tidak akan mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO dan TBS didalam negeri, sehingga tidak akan meru- gikan produsen CPO/TBS termasuk petani sawit. Selain itu, metode lump-sum levy ter- sebut secara ekonomi juga diharapkan akan mampu mendongkrak harga CPO dunia dan juga harga CPO/TBS domestik sebagai akibat peningkatan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel (B-15) didalam negeri.

Namun pemerintah memiliki pertim- bangan sendiri, sehingga akhirnya mene- tapkan pungutan ekspor secara tak langsung (indirect-levy) yaitu specific-levy yang mem- bebankan pungutan ekspor untuk setiap volume ekspor minyak sawit dan turunannya.

Besar pungutan ekspor berdasarkan PMK 114/2015 tersebut yakni pungutan ekspor TBS dibebaskan, produk sampingan (by product) TBS/CPO (USD 10-20 per ton), minyak sawit mentah USD 50 per ton, produk turunan USD 20-40 per ton dan produk jadi/kemasan USD 20 per ton. Jika dihitung persentasi pajak ekspor pada kisaran harga CPO dunia USD 400-700 per ton, pungutan ekspor USD 50 per ton CPO sama dengan sekitar 9 persen. Bahkan mencapai 12.5 per- sen jika harga CPO dunia USD 400 per ton.

Dengan kata lain, pungutan ekspor tersebut lebih tinggi dari Bea Keluar pada harga USD 750 per ton.

Dengan metode pungutan specific-levy yang demikian maka dapat dipastikan akan

berdampak pada penurunan harga CPO dida- lam negeri dan penurunan harga CPO ditrans- misikan pada penurunan harga TBS ditingkat kebun.

Kajian ini mendiskusikan bagaimana dampak specific-levy tersebut pada pelaku hulu dan hilir Industri minyak sawit nasional.

Kemudian dilanjutkan dengan prognosa dam- pak B-15 dengan specific-levy tersebut terha- dap harga CPO dunia maupun terhadap pela- ku hulu dan hilir minyak sawit. Pada bagian akhir didiskusikan alternatif kebijakan yang dinilai lebih tepat daripada PMK 114/2015 tersebut. Untuk memudahkan analisis, dalam kajian ini menggunakan volume ekspor mi- nyak sawit setara CPO.

LUMP-SUM VS SPECIFIC-LEVY Secara umum metode penetapan pungu- tan ekspor dapat dilakukan dengan dua meto- de. Pertama, pungutan secara secara lang- sung (direct levy) seperti lump-sum levy yakni memungut sejumlah nilai moneter secara langsung pada perusahaan yang mengekspor (Rp/eksportir). Cara langsung ini tidak me- nimbulkan disparitas harga dunia dengan harga domestik. Jika harga CPO dunia secara langsung dan sempurna ditransmisikan pada harga CPO didalam negeri dan melalui faktor konversi menjadi harga TBS ditingkat kebun (on farm gate price). Cara tersebut hanya mempengaruhi biaya atau keuntungan eks- portir, dan PP No 24/2015 pasal 5 memberi kesempatan kepada perusahaan untuk mem- biayakan pungutan tersebut dalam perhi- tungan penghasilan kena pajak sesuai keten- tuan berlaku.

Kedua, pungutan secara tidak langsung (indirect levy) yakni memungut sejumlah nilai moneter berdasarkan volume barang yang diekspor baik dengan metode specific-levy (Rp/Ton CPO ekspor) sebagaimana PMK 114/2015, atau metode ad-valorem levy (per- sentase dari nilai ekspor) seperti Bea Keluar (PMK 128/2011). Pungutan secara tak lang- sung ini menciptakan disparitas harga antara harga CPO dunia dengan harga CPO domestik yakni sebesar pungutan yang dilakukan. Har- ga CPO domestik adalah harga CPO dunia di- kurangi pungutan, sehingga harga CPO do- mestik dipastikan lebih rendah dari harga CPO dunia kecuali terjadi penyelundupan (smuggling) yang signifikan. Jika terjadi

(3)

kenaikan harga CPO dunia tidak otomatis (seperti pungutan langsung) menaikkan har- ga CPO dometik sebesar kenaikan harga CPO dunia. Adanya pungutan ekspor specific levy menjadi hambatan transmisi harga (pass through problems) sehingga tidak terjadi pe- nyamaan harga domestik dan dengan harga dunia.

Dalam sejarah kebijakan pungutan eks- por minyak sawit di Indonesia (PASPI, 2015) pungutan ekspor dengan metode tak lang- sung tersebut selalu ditempuh pemerintah.

Padahal banyak studi yang membuktikan (Tomic dan Mawardi, 1995; Larson, 1996;

Susila, 2004; Joni, 2012) bahwa kebijakan yang demikian merugikan petani sawit dan Indonesia secara keseluruhan.

DAMPAK KE PELAKU HULU Pungutan ekspor minyak sawit yang diimplementasikan pemerintah (PMK 114/

2015) adalah metode tak langsung. Sehingga ketika mulai diimplementasikan melalui me- kanisme pasar akan terjadi disparitas harga CPO antara harga CPO dunia dengan harga CPO domestik. Dengan asumsi tidak terjadi penyelundupan signifikan CPO, maka harga CPO domestik akan lebih rendah dari harga CPO domestik sebelum pungutan dilakukan sementara harga CPO dunia akan mengalami kenaikan dari harga sebelumnya. Harga CPO domestik akan selalu lebih rendah diban- dingkan harga CPO dunia.

Sebagai perbandingan pada tahun 2013, akibat BK harga CPO domestik konsisten dibawah harga CPO dunia, dengan disparitas berkisar antara Rp 300-1500/kg CPO atau rata-rata Rp 766/kg CPO. Sedangkan pada tahun 2014 ketika harga CPO dunia masih diatas USD 750 per ton disparitas harga CPO berkisar antara Rp 750-1300/kg CPO atau rata-rata Rp 980/kg CPO.

Penurunan harga CPO domestik akibat pungutan, selanjutnya akan ditransmisikan ke tingkat kebun dalam bentuk penurunan harga TBS yang lebih rendah dari sebe- lumnya. Akibatnya, semua produsen CPO/

TBS termasuk petani sawit dan BUMN sawit akan menurun pendapatanya. Dengan kata lain akibat pungutan ekspor tersebut akan membuat produsen CPO/TBS menurun kese- jahteraanya (worse-off).

Kenaikan harga CPO dunia (sebaliknya penurunan harga CPO domestik) akibat pu- ngutan ekspor secara perlahan akan mende- kati atau bahkan melewati USD 750 (batas harga threshold BK), sehingga tarif BK ber- laku lagi. Berlakunya tarif BK juga akan menambah tekanan harga CPO/TBS didalam negeri sedemikian rupa, sehingga makin memperbesar disparitas harga CPO dunia dengan domestik. Dengan kata lain, kombi- nasi pungutan ekspor dan BK akan membuat harga CPO/TBS domestik mengalami pukulan ganda.

Kebijakan seperti ini yang berdampak pada penurunan produksi dan pendapatan industri hulu yakni pekebunan kelapa sawit pada 190 kabupaten di Indonesia, seharusnya dihindari karena akan berdampak lebih luas pada perekonomian. Sebagaimana berbagai studi membuktikan (Amzul, 2011; PASPI, 2014) bahwa perkebunan kelapa sawit tekait dengan 10 sektor utama perekonomian khu- susnya di sentra sawit, maka penurunan pen- dapatan produsen CPO/TBS akibat pungutan ekspor akan berdampak lanjut pada penu- runan pendapatan 10 sektor ekonomi. Dan mengingat perkebunan kelapa sawit meru- pakan bagian penting dari pengurangan kemiskinan pedesaan (Susila, 2004; World Growth, 2011; PASPI, 2014) maka pungutan ekspor tersebut juga kontra produktif bagi upaya pengurangan kemiskinan.

DAMPAK PADA PELAKU HILIR Bagaimana dengan pelaku hilir? Pelaku hilir jelas diuntungkan. Industri oleokimia, industri oleofood, akan menikmati harga bahan baku (CPO) yang lebih murah. Bahkan industri biodiesel domestik akan menikmati manfaat ganda yakni menikmati harga bahan baku CPO yang lebih murah dan memperoleh subsidi dari alokasi pungutan ekspor. Adanya tambahan manfaat tersebut diperkirakan akan mendorong peningkatan produksi hilir (hilirisasi).

Namun peningkatan produksi hilir (pe- manfaatan kapasitas yang ada) diperkirakan akan dilakukan pelaku hilir dengan hati-hati khususnya dalam satu tahun kedepan. Daya serap produk hilir domestik yang masih terbatas, adanya pungutan ekspor produk hilir, masih lesunya perekonomian dunia ter- masuk ekonomi domestik, serta kemung-

(4)

kinan ancaman peningkatan tarif impor anti dumping dari negara importir akan membuat pelaku hilir ini hati-hati ekspansi.

Apakah ekspansi hilir domestik tahun 2015 tidak bisa menggerek harga CPO dunia dan harga CPO domestik naik? Sebagaimana dikemukakan di atas, harga CPO dunia akan naik, namun harga CPO domestik akan terte- kan akibat pungutan ekspor. Dan akan makin tertekan jika harga CPO dunia melewati USD 750 dimana tarif BK mulai berlaku. Tekanan terhadap harga CPO/TBS domestik yang demikian tampaknya sulit diimbangi oleh peningkatan penyerapan CPO didalam negeri karena tambahan penyerapan CPO didalam negeri tidak terlalu besar dibandingkan dengan produksi CPO dalam negeri. Apalagi dengan diberlakukan pungutan ekspor pada produk hilir akan menghambat industri hilir ekspansi maksimal.

Secara netto, industri hilir telebih industri biodiesel masih tetap menikmati tambahan manfaat (better-off) dari sebelum- nya. Sementara produsen CPO/TBS harus menderita (worse-off) akibat kebijakan itu.

Mengacu pada pengalaman Indonesia tahun- tahun sebelumnya, nilai penurunan manfaat yang diderita produsen CPO/TBS lebih besar dari tambahan manfaat yang dinikmati industri hilir dan konsumen, sehingga secara keseluruhan Indonesia dirugikan (worse-off).

Pihak yang menikmati kebijakan pungu- tan ekspor minyak sawit Indonesia adalah negara eksportir minyak sawit selain Indone- sia seperti Malaysia, Thailand, negara-negara Afrika termasuk perusahaan Indonesia (jika ada) yang berada di luar Indonesia. Kenaikan harga CPO dunia akibat pungutan ekspor Indonesia akan membuat negara-negara tersebut menikmati harga CPO dunia yang lebih tinggi.

KEBIJAKAN TERBAIK

Kebijakan hilirisasi CPO domestik jelas merupakan kebijakan yang sangat baik dan strategis bagi Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia. Semakin ber- kembang hilirisasi di Indonesia, semakin tidak tergantung Indonesia kepasar CPO dunia. Selain itu, makin berhasil Indonesia mensubsitusi sebagian BBM fosil impor, semakin sehat ekonomi Indonesia.

Kebijakan ekspor yang terbaik adalah tidak melakukan pungutan maupun ham- batan ekspor minyak sawit. Namun demikian jika pungutan harus dilakukan hendaknya memilih cara pungutan ekspor yang tidak merubah keseimbangan produsen hulu yakni penurunan harga CPO/TBS. Dan penggunaan hasil pungutan ekspor juga direinvestasikan ke industri minyak sawit. Sebagaimana dike- mukakan di atas, bahwa jika pungutan ekspor dilakukan secara langsung (lump-sum levy) tidak akan berdampak pada penurunan harga CPO/TBS domestik.

Untuk mendorong hilirisasi sehingga dapat mendongkrak harga CPO dunia, dana hasil pungutan tersebut digunakan sebagian untuk subsidi biodiesel (sementara waktu) dan sebagian besar digunakan untuk subsidi bunga kredit bagi seluruh pelaku industri minyak sawit dari hulu (khusunya petani) sampai kehilir. Dampak subsidi bunga kredit ini akan membuat better-off semua pelaku termasuk pemerintah (Susila, 2004; Joni, 2012; Purba, 2011; PASPI, 2015). Dengan subsidi bunga kredit (investasi dan modal kerja) akan mendorong hilirisasi domestik.

Dengan makin berkembangnya hilirisasi domestik maka penyerapan CPO domestik akan meningkat dan pasokan CPO Indonesia pasar dunia akan berkurang sehingga akan mendongkrak harga CPO dunia. Kenaikan harga CPO dunia ini akan ditransmisikan kepada kenaikan harga CPO/TBS didalam negeri. Tersedianya subsidi kredit, kenaikan harga CPO/TBS domestik ini akan mendorong peningkatan produktivitas minyak per hektar sehingga akan meningkatkan produksi CPO didalam negeri. Demikian seterusnya.

Dengan perkataan lain, pungutan ekspor minyak sawit secara langsung dan hasil pungutan digunakan sebagian besar untuk subsidi bunga kredit, akan menciptakan kon- disi yang better-off bagi semua. Peningkatan produktivitas dan replanting berjalan, hiliri- sasi makin bergairah, penerimaan peme- rintah dari pajak meningkat, mandatori B-15 berjalan. Dampak lanjutannya melalui direct effect dan consumption induced akan menarik perkembangan setidaknya 10 sektor ekonomi nasional diluar industri minyak sawit.

(5)

KESIMPULAN

Kebijakan pungutan ekspor yang dilaku- kan secara tak langsung (specific-levy) diprog- nosa akan menaikkan harga CPO dunia namun menurunkan harga CPO/TBS domes- tik, sehingga menciptakan disparitas harga CPO dunia dengan harga CPO domestik.

Kebijakan yang demikian akan merugi- kan produsen CPO/TBS domestik termasuk petani sawit yang ada pada 190 kabupaten di Indonesia. Industri biodisel domestik diperki- rakan menikmati manfaat ganda yakni makin murahnya harga bahan baku (CPO) dan subsidi dari pungutan ekspor. Namun secara keseluruhan Indonesia dirugikan.

Negara eksportir minyak sawit dunia (selain Indonesia) akan menikmati manfaat termasuk perusahaan Indonesia yang berge- rak pada industri minyak sawit di negara lain.

Kebijakan pungutan ekspor yang dilaku- kan dengan cara langsung (lump-sum levy) dan penggunaan dana pungutan untuk sub- sidi bunga kredit industri minyak sawit, merupakan kebijakan yang terbaik dan menguntungkan semua pelaku industri mi- nyak sawit termasuk pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Amzul, R. 2011: The Role Palm Oil Industry In Indonesia Economy and Its Export Competitiveness. PhD Dissertation.

University Of Tokyo.

Joni, R. 2012. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.

Disertasi. IPB. Bogor.

Larson, D. F. 1996: Indonesia’s Palm Oil Sector.

Policy Research Workers Paper. World Bank

PASPI, 2014: Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan. Peranan Industri Minyak Kelapa Sawit Dalam Pertumbuhan Ekonomi, Pembangunan Pedesaan,

Pengurangan Kemiskinan dan Pelestarian Lingkungan. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, PASPI. Bogor.

Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana

Perkebunan

PMK No. 114/PMK. 05/2015 Tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada

Kementerian Keuangan

PMK No. 128 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010 Tentang Penetepan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar

Purba, JHV. 2011. Dampak Pajak Ekspor terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia. Disertasi Doktor. SPS-IPB.

Bogor.

Susila. W.R, 2004. Impacts of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry: Oil Palm Industry Economic Journal: volume 4 : (2) MPOB.

Tim Riset PASPI. 2015. Kerugian Produsen Sawit Akibat Bea Keluarpungutan Ekspor Dapat Dikompensasi Subsidi Bunga Kredit. Volume 1 (11): p 77-84. PASPI Bogor.

Tim Riset PASPI. 2015. Mampukah B-15 dan CPO Supporting Fund Mendongkrak Harga CPO Dunia: Jurnal Monitor PASPI.

Volume 1 (4): p 25-30. PASPI Bogor.

Tim Riset PASPI. 2015. Pungutan Ekspor Minyak Sawit Sebagai Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDPKS. Volume 1 (12): p 85-90. PASPI Bogor.

Tomich, T.P and Mawardi, M. S. 1995:

Evolution of Palm Oil Trade Policy in Indonesia 1978-1991. Elaeis Volume 7 (1): P 87-102.

World Growth, 2011: The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. World Growth.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Second there is the book, that describes the phenotype of the discipline, which represents the current expression of this early work as seen through the eyes of Dr David Fogel.. This

Sedangkan Amplitude Shift Keying (ASK) merupakan teknik modulasi dimana informasi digital yang akan dikirimkan ditumpangkan pada sinyal pembawa dengan mengubah – ubah amplituda

Dengan metode deskriptif analitis ini akan dikaji mengenai konsistensi Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Penerapan

Preferensi bila dilihat dari Axis saja, prioritas yang perlu ditekankan untuk ke depannya yaitu tarif sms yang selama ini bisa dikatakan masih belum murah, kualitas sinyal,

Walaupun hasil analisis kriteria kelayakan investasi usaha peternakan ayam buras pedaging layak untuk dijalankan berdasarkan aspek finansial tetapi laba bersih yang diterima

Perubahan sistem politik Indonesia pasca reformasi dilakukan oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 masa kepemimpinannya, meskipun masa kepemimpinan itu, tidak

uji hipotesis menggunakan Independent samples t-test pada kelompok perlakuan p = 0,029 (p < 0,05), hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penambahan intervensi

Berdasarkan hasil dan analisis data studi kasus tentang kebiasaan belajar siswa SMP Negeri 1 Rantau Pandan Kabupaten Bungo Propinsi Jambi sesuai dengan analisis