• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

i DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ….. ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN…… iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI………. v

HALAMAN KATA PENGANTAR... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... vii

HALAMAN DAFTAR ISI... viii

ASBSTRAK... ix

ABSTRACT……… x

BAB I PENDAHULUAN……… ….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ………. … 9

1.4 Orisinalitas Penelitian ……… 10

1.5 Tujuan Penelitian ……….. 12

1.5.1 Tujuan Umum ………. 12

1.5.2 Tujuan Khusus ……… 12

1.6 Manfaat Penelitian………. 12

1.6.1 Manfaat Teoritis ………... 13

1.6.2 Manfaat Praktis ………. 13

1.7 Landasan Teoritis ………. 14

(2)

ii

1.8 Metode Penelitian ……….. 24

1.8.1 Jenis Penelitian ……….. …. 24

1.8.2 Jenis Pendekatan ……… …. 25

1.8.3 Sumber Data ………….………. …. 26

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ………. 28

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .…..………….. 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERATURAN DAERAH PEMERINTAHAN DESA DAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA……… 30

2.1 Pengertian Peraturan Daerah dan Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Perundang-Undangan………. ….. 30

2.2 Pemerintahan Desa……….……… 36

2.3 Keputusan Tata Usaha Negara………... 44

BAB III PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN JEMBRANA ……… 51

3.1 Pengaturan Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa di Kabupaten Jembrana sebelum dan setelah ditetapkannya Perda Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa……… 51

(3)

iii

3.2 Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa… 75

BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA... 90

4.1 Permohonan Revisi Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa……….. 90

4.2 Tindak Lanjut Pemerintah Kabupaten Jembrana Terhadap Permohonan Revisi Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat

Desa……… 107

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan……… 123

5.2 Saran……… 124

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

RINGKASAN SKRIPSI

(4)

iv ABSTRAK

Pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa di Kabupaten Jembrana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 tahun 2016. Dalam pengaturan ini diatur ketentuan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat menjadi perangkat desa, mekanisme dan juga pemberhentiannya. Sebelum peraturan daerah ini ditetapkan di Kabupaten Jembrana telah memiliki pengaturan yang mengatur mengenai perangkat desa yakni Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 25 tahun 2006 tentang Susunan Organisasi Perangkat Desa, namun peraturan daerah ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016 ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut adapun masalah yang diteliti yaitu bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa dan apa saja hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta.

Data-data dikumpulkan menggunakan teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Seluruh data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukan dalam pelaksanaannya saat ini di di Kabupaten Jembrana terdapat perbedaan dasar hukum pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa. Hambatan dalam pelaksanaan peraturan daerah ini adalah adanya permohonan revisi peraturan daerah yang diajukan oleh forum kelian dinas yang kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah bersama DPRD Kabupaten Jembrana dengan menetapkan peraturan daerah tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 tahun 2016 dan saat ini peraturan daerah tersebut sedang dalam tahap klarifikasi oleh Gubernur Bali.

Kata kunci : pelaksanaan peraturan daerah, pengangkatan dan pemberhentian, perangkat desa

(5)

v

ABSTRACT

Powers of appointment and dismissal village officials in jembrana districts governend by the jembrana districts regulation No.3 of 2016. In arrangement is regulated provisions regarding the requirements that must be fulfilled to be appointed as the village official , the mechanisms and also that his dismissal. Before this regional regulation set in jembrana districts has been having a regulate village officials namely jembrana districts regulation No.25 of 2006 about structure of organization village officials, but this regional regulation had been declared not valid any longer since legislation No. 3 of 2016 set. Based on it the problems that researched which are how the implementation of jembrana districts regulation No.3 of 2016 about powers of appointment and dismissal village officials and what are the obstacles in the implementation of jembrana districts regulation No.3 of 2016 about powers of appointment and dismissal village officials .

The kind of research used by writers on this study is classified as empirical research using statue approach and facts approach. The information collected used by study documents technique and interview technique and then processed and analyzed qualitatively.

The result of this research showed in its implementation current in jembrana districts there is a different legal basis powers of appointment and dismissal village officials .The obstacles in the implementation of this regional regulation is the entreaty the revision of the submitted by forum kelian dinas which then acted upon by local government with the regional house of representative jembrana districts by setting regional regulation on the amendment regulation the jembrana districts No.3 of 2016 and current regional regulation is being in the stage clarification by the governor bali .

Keywords : implementation of the regional regulation , powers of appointment and dismissal, village officials

(6)

6 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota yang mana daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan / atau desa sebagai bagian dari otonomi daerah.

Sehingga desa merupakan pemerintahan terkecil yang paling dekat dengan masyarakat, dimana dalam menjalankan pemerintahannya desa secara langsung dapat memperbaiki kehidupan masyarakatnya.

Pengaturan mengenai otonomi daerah dijumpai pada pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945). Desa merupakan bagian dari Otonomi Daerah, yang mana pengertian dari Otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan sendiri pemerintahan atas dasar “ prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat didaerahnya”.1 Hal ini menunjukan adanya pemberian kekuasaan seluas-luasnya pada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan kepentingan masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 55877 (selanjutnya ditulis UU Nomor 23 Tahun 2014) pasal 1 angka 8 yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sistem pemerintahan

1 Syaiful Rahman, 2004, Pembangunan dan Otonomi Daerah, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, h. 103

(7)

7

desentralisasi ini merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang dititik beratkan kepada daerah kabupaten/kota sehingga kabupaten/kota memiliki keleluasaan untuk mengelola rumah tangga daerahnya dengan prinsip otonomi daerah.2

Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintaha Daerah pada pasal 371 ayat(1) disebutkan bahwa dalam daerah kabupaten/kota dapat dibentuk desa. Hal ini berarti suatu kabupaten memiliki kewenangan untuk membentuk desa di wilayah kabupatennya. Selain itu desa juga memiliki kewenangan , dimana dalam pasal 371 ayat (2) disebutkan bahwa desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai desa.

Desa juga memiliki otonomi sama seperti yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang disebut otonomi desa. Dalam menjalankan otonominya, desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala desa di Bali disebut dengan istilah perbekel. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat.3 Untuk menjalankan pemerintahan di desa dan memberikan pelayanan kepada masyarakat serta dalam melaksanakan kewajiban, tugas, dan fungsinya kepala desa dibantu oleh perangkat desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499 (selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) pasal 26 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa kepala desa berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa. Pada pasal 48 menyatakan bahwa perangkat desa terdiri atas sekretaris desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis. Perangkat desa dipilih oleh kepala desa dan bertugas untuk membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas

2 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung, h. 58

3 I Gde Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas Di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h. 50

(8)

8

dan kewenangannya sebagaimana yang disebutkan di Pasal 49 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Untuk menjadi perangkat desa diwajibkan untuk memenuhi persyaratan yang tertera pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa calon perangkat desa berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum/Sederajat serta pada saat pengangkatan minimal berusia 20 (dua puluh) dan maksimal 42 (empat puluh dua) tahun dan persyaratan lainnya yang ditentukan dengan peraturan daerah berdasarkan peraturan pemerintah.

Mengenai pemberhentian perangkat desa dijelaskan dalam Pasal 53 yang menyatakan bahwa perangkat desa diberhentikan apabila telah genap berusia 60 (enam puluh) tahun. Pada bagian ketentuan penutup Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan undang-undang ini.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539 (selanjutnya di tulis PP Nomor 43 Tahun 2014) menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perangkat desa yakni pada Pasal 65 yang menyatakan bahwa pendidikan minimal untuk calon perangkat desa adalah Sekolah Menengah Umum/Sederajat dan pada saat pengangkatan minimal berusia 20 (dua puluh tahun) dan maksimal 42 (empat puluh dua) tahun. Untuk pemberhentian perangkat desa diatur dalam Pasal 68 yang menyatakan bahwa perangkat desa di berhentikan apabila telah genap berumur 60 (enam puluh) tahun.

(9)

9

Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5717 (selanjutnya ditulis PP Nomor 47 tahun 2015) pada pasal 70 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kepala desa dan perangkat desa diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5 (selanjutnya ditulis Permendagri Nomor 83 tahun 2015) sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 43 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 47 tahun 2015 mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh perangkat desa pada Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan minimal calon perangkat desa adalah Sekolah Menengah Umum/Sederajat serta pada saat pengangkatan minimal berusia 20 (dua puluh tahun) dan maksimal berusia 42 (empat puluh dua) tahun. Untuk pemberhentian perangkat desa diatur dalam pasal 5 yang menyatakan bahwa perangkat desa diberhentikan apabila telah genap berusia 60 (enam puluh) tahun. Hal ini sesuai dengan aturan yang tertera pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan PP Nomor 43 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 47 tahun 2015. Pasal 12 Permendagri Nomor 83 tahun 2015 menyatakan bahwa perangkat desa yang diangkat sebelum ditetapkan permendagri ini tetap melaksanakan tugas sampai habis masa tugas berdasarkan surat keputusan pengangkatannya.

Menindaklanjuti amanat undang-undang untuk membuat pengaturan tentang perangkat desa, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten

(10)

10

Jembrana Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 47 (selanjutnya ditulis Perda Nomor 3 Tahun 2016) dan Peraturan Bupati Jembrana Nomor 15 tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa, Berita Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2016 Nomor 15 (selanjutnya ditulis Perbup Nomor 15 tahun 2016) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP Nomor 43 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 47 tahun 2015, dan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015.

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi perangkat desa ditentukan dalam Perda Nomor 3 tahun 2016 pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa pendidikan paling rendah untuk calon perangkat desa adalah Sekolah Menengah Umum/Sederajat dan umur pada saat pengangkatan minimal 20 (dua puluh) tahun dan maksimal 42 (empat puluh dua) tahun.

Berdasarkan Pasal 5 perangkat desa di berhentikan apabila telah genap berusia 60 (enam puluh) tahun.

Perangkat desa yang melaksanakan tugas sebagai pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu perbekel sebagai satuan tugas kewilayahan. Tugas kewilayahan meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Pasal 4 ayat (4) Perbup Nomor 16 tahun 2016 menyatakan bahwa pelaksana kewilayahan dilaksanakan oleh kepala dusun yang selanjutnya disebut kelian dinas dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Kabupaten Jembrana sendiri saat ini memiliki 253 Kelian Dinas dari 41 desa yang ada.

(11)

11

Sebelum Perda Nomor 3 tahun 2016 ditetapkan, sebelumnya sudah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 25 tahun 2006 tentang Organisasi Pemerintahan Desa Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 25 (selanjutnya disebut Perda Nomor 25 tahun 2006) yang mengatur mengenai perangkat desa. Dalam peraturan ini, pada Pasal 18 disebutkan bahwa pendidikan minimal untuk calon kelian dinas adalah Sekolah Menengah Pertama/Sederajat dan usia minimal pada saat pengangkatan adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan maksimal 50 (lima puluh) tahun. Kelian dinas berdasarkan peraturan ini dipilih langsung oleh masyarakat banjar yang bersangkutan. Mengenai pemberhentian perangkat desa diatur dalam Pasal 23 yang menyatakan bahwa kelian dinas di berhentikan apabila telah habis masajabatannya yakni 6 (enam) tahun dan apabila telah mencapai batas masa bakti yakni 56 (lima puluh enam) tahun.

Sejak mulai berlakunya Perda Nomor 3 tahun 2016, Perda Nomor 25 tahun 2006 dinyatakan dicabut dan sudah tidak berlaku lagi. Terdapat beberapa perbedaan mengenai kelian dinas diantara kedua pengaturan ini. Perda Kabupaten Jembrana Nomor 25 tahun 2006 menyatakan bahwa kelihan dinas berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Pertama/Sederat, dipilih langsung oleh masyarakat, memiliki masa jabatan 6 (enam) tahun, dan atau sampai berusia 56 (lima puluh enam) tahun, sedangkan pada Perda Nomor 3 tahun 2016 menyatakan bahwa kelihan dinas berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum/Sederajat, diangkat oleh perbekel atas rekomendasi camat, tidak memiliki masa jabatan dan dapat diberhentikan apabila telah berusia 60 (enam puluh) tahun.

Dalam penerapannya, perubahan pengaturan ini menimbulkan keresahan para kelian dinas lama (yang diangkat berdasarkan Perda Nomor 25 tahun 2006) terutama yang akan habis masa jabatannya atau telah mendekati umur 56 (lima puluh enam) tahun. Mereka menginginkan

(12)

12

agar kelian dinas lama tetap melaksanakan tugasnya sebagai kelian dinas sampai berumur 60 (enam puluh) tahun sesuai dengan pengaturan yang baru mengingat dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa perangkat desa sudah tidak memiliki masajabatan lagi melainkan hanya di batasi melalui umur sehingga peraturan di bawahnya haruslah menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Padahal telah secara tegas di jelaskan pada pasal 14 Perda Nomor 3 tahun 2016 yang menyatakan bahwa perangkat desa yang diangkat sebelum ditetapkan peraturan daerah ini tetap melaksanakan tugas sampai habis masa tugas berdasarkan surat keputusan (selanjutnya ditulis SK) pengangkatannya.

Kelian dinas lama sebenarnya dapat diangkat kembali oleh kepala desa sepanjang beliau menunjukkan kinerja yang bagus serta memenuhi syarat yang tertera pada Perda Nomor 3 tahun 2016. Namun, yang menjadi masalah adalah kelian dinas lama yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat kembali menjadi kelian dinas berdasarkan peraturan yang baru (Perda Nomor 3 tahun 2016) juga menginginkan agar tetap melaksanakan tugas sebagai kelian dinas sampai dengan umur 60 (enam puluh) tahun tanpa melalui mekanisme pengangkatan perangkat desa berdasarkan Perda Nomor 3 tahun 2016. Forum Kelian Dinas Kabupaten Jembrana akhirnya mengajukan surat permohonan revisi Perda Nomor 3 tahun 2016 kepada Bupati Jembrana.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai pelaksanaan Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa. Oleh karena itu penulis memilih judul “ Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa”

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang akan di bahas yaitu :

(13)

13

1. Bagaimanakah pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa?

2. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Maksud dari ruang lingkup masalah dalam penulisan ini merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi area penelitian dan umumnya digunakan untuk mempersempit pembahasan, yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah ditetapkan.4

Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini pada hakekatnya berkaitan dengan :

1. Terhadap permasalahan pertama ruang lingkupnya meliputi pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

2. Terhadap permasalahan kedua ruang lingkupnya meliputi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

1.4 Orisinalitas Penelitian

4 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 114

(14)

14

Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk menunjukann orisinalitas dari skripsi ini, berikut penulis bandingkan dengan penelitian terdahulu yang sejenis, yaitu ;

1. Skripsi milik I Nyoman Ary Sutrisnoputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana pada tahun 2016 dengan judul Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Peguyangan Kaja, Denpasar Utara. Adapaun rumusan masalah yang terdapat pada skripsi ini adalah : 1) Bagaimana Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa di Desa Peguyangan Kaja? 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan Peraturan Desa? Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa di Desa Peguyangan Kaja tidak berjalan harmonis yang mengakibatkan hubungan antara dua lembaga desa tersebut tidak berjalan dengan semestinya dalam hal pembahasan, usulan perancangan peraturan karena masukan dari masing-masing lembaga sama pentingnya untuk membangun kemajuan desa. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Pembentukan Peraturan Desa yaitu factor kehadiran anggota rapat yang tidak sesuai dengan ketetapan pelaksanaan rapat,menyebabkan suatu rapat musyawarah desa tidak dapat berjalan dengan lancer dikarenakan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa tidak pernah mengkonsultasikan rancangan peraturan desa kepada masyarakat desa.

2. Skripsi milik Muhamad Iqbal Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2016 dengan judul Tinjauan Hukum Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Desa Citta Kecamatan Citta Kabupaten Soppeng). Adapun rumusan masalah yang terddapat pada skripsi ini adalah 1) Bagaimanakah pelaksanaan tugas Kepala Desa Citta Kecamatan Citta Kabupaten Soppeng di era otonomi daerah? 2) Apakah faktor-faktor yang menghambat

(15)

15

pelaksanaan tugas Kepala desa Citta Kecamatan Citta Kabupaten Soppeng di era otonomi daerah

? Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pelaksanaan tugas Kepala Desa Citta sudah sesuai dengan pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Faktor-faktor yang menghambat tugas Kepala Desa Citta yakni rendahnya partisipasi masyarakat desa, rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam hal aparatur desa dan terbatasnya sarana dan prasaran Desa Citta.

1.5 Tujuan Penelitian

Setiap penulisan karya ilmiah akan mempunyai suatu tujuan yang akan memberikan arah yang jelas bagi kegiatan penelitian bersangkutan. Adapun tujuan dari penulisan ini dibedakan atas tujuan umum dan khusus sebagai berikut:

1.5.1. Tujuan umum

Secara umum dapat diketahui bahwa tujuan penelitian dalam skripsi ini pada hakekatnya bertujuan untuk mendalami ilmu hukum dan memperluas wawasan pengehtahuan sehingga dapat memahami khususnya Hukum Pemerintahan Desa dan Hukum Pemerintahan Daerah.

1.5.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan pada permasalahan hukum yang di bahas, adapun tujuan khusus dari penelitian skripsi ini adalah :

a. Untuk mengehtahui bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

(16)

16

b. Untuk mengehtahui apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

1.6 Manfaat Penelitian

Mengenai manfaat yang diharapkan dapat dibedakan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu pengehtahuan hukum khususnya Hukum Pemerintahan Daerah dan Hukum Pemerintahan Desa terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa sesuai dengan Perda Kabupaten Jembrana Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan mengenai pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa di Kabupaten Jembrana.

2. Bagi perangkat desa hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi terkait dengan pengangkatan dan pemberhentiannya sesuai dengan Perda Kabupaten Jembrana Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

3. Bagi penulis sendiri disamping untuk memenuhi prasyarat agar dapat meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana hasil penelitian ini

(17)

17

diharapkan juga dapat menambah wawasan penulis terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa di Kabupaten Jembrana.

1.7 Landasan Teoritis

Dalam setiap penelitian diperlukan landasan teoritis yang berfungsi mendukung argumentasi hukum untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang ada, dan digunakan sebagai penuntun arah dalam pengumpulan bahan-bahan hukum yang diperlukan. Landasan teori merupakan teori-teori dan konsep-konsep yang mendukung atau relevan dengan penelitian yang dibuat. Beberapa teori dan konsep yang digunakan untuk mengkaji permasalah ini antara lain :

1.7.1. Teori Negara Hukum

Jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun kedaulatan rakyat istilah Rechstaat (Negara Hukum) merupakan istilah yang baru. Para ahli telah memberikan pengertian tentang negara hukum. R.Soepomo memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat kelengkapan negara. Negara hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.5 Hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan negara. Akan tetapi dalam keanggotaannya negara sendiri tunduk kepada hukum yang dibuatnya, hal ini dinyatakann oleh Leon Duguit.6

5 A.Mukhti Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayu Media dan In-TRANS, Malang, h. 7

6 H.Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h. 72

(18)

18

Philipus M. Hadjon merumuskan elemen atau unsur-unsur Negara hukum Pancasila yang bertitik tolak dari falsafah Pancasila sebagai berikut7 :

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;

b. Hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan Negara;

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang absolutisme yang telah melahirkaan negara kekuasaan.8 Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya, tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan undang- undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan Negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa.9

UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia menganut konsep negara hukum. Konsep Negara hukum ini secara tegas dirumuskan dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan bernegara adalah hukum.10

Menurut Aristoteles konsep negara hukum (Rule of Law) merupakan pemikiran yang dihadapkan dengan konsep Rule of Man dalam modern constitusional state, salah satu ciri negara hukum ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara.11

7 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Terhadap Rakyat, Bina Ilmu, Surabaya, h. 98

8 A.Mukhti Fadjar, op.cit, h. 9

9 Ibid, h.10

10 Ibid

11 Saldi Isra, 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 73

(19)

19

Pembatasan kekuasaan ini muncul dari penumpukan semua cabang kekuasaan pada tangan satu orang yang melahirkan kekuasaan yang absolut.

Di Inggris, ide Negara hukum terlihat dalam pemikiran John Locke, yang membagi kekuasaan dalam Negara ke dalam tiga kekuasaan, yakni dibedakan antara penguasa pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang, dan berkaitan erat dengan konsep rule of law yang berkembang di Inggris pada waktu itu.12 Di Inggris dikaitkan dengan tugas-tugas hakim dalam rangka menegakkan rule of law.

Negara-negara Anglo Saxon menekankan prinsip persamaan dihadapan hukum lebih ditonjolkan, sehingga dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat administrasi Negara, harus juga tercermin dalam lapangan peradilan.13 Pejabat administrasi atau pemerintah atau rakyat harus sama sama tunduk kepada hukum dan bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.

Berbeda dengan Eropa Kontinental yang memasukkan unsur peradilan administrasi sebagai salah satu unsur Rechstaat. Dimasukannya unsur peradilan administrasi ke dalam unsur Rechstaat, maksudnya untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap tindakan pemerintah yang melanggar hak asasi dalam lapangan administrasi negara.

Kecuali itu kehadiran peradilan administrasi akan memberikan perlindungan hukum yang sama kepada administrasi negara yang bertindak benar sesuai dengan hukum. Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi Negara.

Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang.

12 Abu Daud Busroh, op.cit, h.75

13 Ibid

(20)

20

Tanpa dasar undang-undang badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.

Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.

Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan lebih banyak memperhatikan kepentingan rakyat.

Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam undang-undang.14

Dalam paham negara hukum yang demikian, harus dibuat jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat.15 Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang diberlakukan menurut undang-undang dasar yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat.16

Relevansi teori negara hukum terhadap permasalahan yang diangkat adalah dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus berdasarkan atas hukum yang berlaku, hal ini

14 Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 68

15 Ibid

16 Jimly Assiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 56

(21)

21

juga berlaku dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa yang tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku di Negara Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara hukum.

1.7.2. Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun, ada perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal atau yang diberikan oleh undang-undang, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuattu tindakan hukum publik.17 Menurut S.F.Marbun wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. 18

Dalam hukum publik konsep wewenang berkaitan erat dengan kekuasaan, namun menurut Bagir Manan wewenang tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya mengggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.19

Teori kewenangan menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt meliputi atribusi, delegasi dan mandat yang didefinisikan sebagai berikut20:

17 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, h. 271

18 Sadjino, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, h.

50

19 Ibid

20 Ridwan HR, 2011 , Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 103

(22)

22

a. Atribute: toekeniing van een bestuursbevoegheid door een wetgevern aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang- undang kepada organ pemerintahan).

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een under, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya)

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijnbevoegheid namcns hem uitoefenen door een ander, ( mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Prinsip utama yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara, khususnya dalam negara hukum adalah asas legalitas. Dalam hukum administrasi negara asas legalitas mengandung makna bahwa pemerintah serta ketentuan yang mengikat warga negara tunduk dan harus berdasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu asas legalitas dijadikan sebagai landasan kewenangan pemerintah.

Relevansi teori kewenangan dengan permasalahan yakni berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahannya.

1.7.3. Konsep Pemerintahan Daerah

Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemerintahan itu sendiri diartikan oleh Montesque yaitu pemerintahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti luas meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, sedangkan pemerintahan dalam arti sempit menunjuk pada aparatur atau

(23)

23

alat perlengkapan negara yang melaksanakan tugas dan kewenangan pemerintahan dalam arti syang diartikan sebagai tugas dan kewenangan negara di bidang eksekutif saja.21

Dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat asas penyelenggara pemerintahan daerah (dekonsentrasi, desentralisasi, tugas pembantuan) digunakan karena urusan-urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintahan desa merupakan pelimpahan dari pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga dari prinsip-prinsip pemerintahan ini diketahui bagaimana pendistribusian wewenang dari pemerintahan yang lebih tinggi ke pemerintahan yang lebih rendah. Berdasarkan asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang, dekonsentrasi pelimpahan wewenang dan tugas pembantuan terjadi penugasan yaitu dari pemerintah yang lebih tinggi ke pemerintah yang lebih rendah tingkatannya.

Menurut Benyamin Hoessein, desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Sementara pengertian desentralisasi ini juga didefinisikan oleh B.C Smith yaitu desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat dipersyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah daerah sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi.22

Dalam konsep otonomi daerah terdapat kepala daerah yang menjadi penggerak dijalankannya otonomi daerah tersebut. Otonomi daerah harus diterjemahkan oleh Kepala Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada

21 Sudono Syueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama, Surabaya, h. 21

22 Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13-14

(24)

24

tuntutan kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan.23 Hal ini harus digunakan secara arif oleh Kepala Daerah tanpa harus menimbulkan konflik antar pusat dan daerah.

Relevansi konsep pemerintahan daerah terhadap permasalahan yang diangkat adalah dalam menjalankan pemerintahan harus berpedoman dengan pemerintahan diatasnya, jadi penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan pelimpahan dari kewenangan pemerintah daerah, sehingga pemerintahan desa tidak boleh bertentangan dengan pemerintah daerah.

1.7.4. Konsep Otonomi Desa

Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relative mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa makin merupakan wujud bangsa yang paling konkret.

Otonomi daerah memiliki perbedaan dengan otonomi desa. Otonomi daerah merupakan implikasi dari kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan melalui penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Implikasi dari adanya hubungan kewenangan adalah lahirnya hubungan keuangan serta hubungan pembinaan dan pengawasan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Sebagai wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa,

23 J. Kaloh, 2009, Kepemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15

(25)

25

anggaran pendapatan dan belanja desa serta keputusan kepala desa. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Pengertian otonomi menurut hukum tata negara asing, desa di Indonesia sebagai daerah hukum yang paling tua menjalankan otonomi yang sangat luas, lebih luas dari otonomi daerah.

Selanjutnya oleh daerah kemudian otonomi desa mendapat pembatasan-pembatasan tertentu.

Meskipun demikian, desa di Indonesia masih berwenang menetapkan wilayah dengan batas- batasnya sendiri dan berwenang menetapkan tata pemerintahannya sendiri.24

Desa pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang membunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat istiadat untuk mengelola dirinya sendiri, yang kemudian inilah yang disebut self governing community.25 Sebutan desa sebagai suatu masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.26 Dalam konteks ini

24 Ni’matul Huda, 2015, Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang, h. 49

25 Ibid

26 Nomense Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT Bumi Jntitama Sejahtera, Jakarta, h. 59

(26)

26

sesuatu yang telah di tetapkan sebagai hukum tidak serta merta dapat di pahami dan diterima oleh masyarakat maupun stakeholder yang terkait.

Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat di bedakan menjadi :

a. Penelitian yang bersifat Eksploratif

b. Penelitian yang bersifat Deskriptif

c. Penelitian yang bersifat Eksplanatoris

Dalam hal ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.27

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penelitian hukum umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni :28

1. Pendekatan kasus ( The Cases Approach)

2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum ( Analitical& Conseptual Approach) 5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

6. Pendekatan Sejarah ( Historical Approach)

7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

27 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke III, Universitas Indonesia, Jakarta, h.

51

28 Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, h. 80

(27)

27

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang- undangan ( Statue Approach) dan pendekatan fakta (the fact approach).

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sedangkan pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat langsung keadaan dilapangan berdasarkan fakta yang ada setelah di tetapkannnya Perda Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

1.8.3 Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan. Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan. Untuk memperolah data dalam penelitian ini, penulis mandapatkan data yang bersumber dari data berikut :

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Jembrana sebagai sumber utama.

b. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah. Untuk sumber data sekunder yang

(28)

28

dipergunakan dalam penulisan skripsi ini berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1) Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat (perundang-undangan).

Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 - Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah - Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa

- Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Peraangkat Desa.

- Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 25 tahun 2006 tentang Organisasi Pemerintahan Desa.

- Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

- Peraturan Bupati Jembrana Nomor 15 tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa

2) Bahan Hukum Sekunder

(29)

29

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari bahan kepustakaan seperti di bidang hukum administrasi negara, hukum pemerintahan daerah, dan hukum pemerintahan desa.

3) Bahan Hukum Tersier

Sumber bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus hukum, ensiklopedia.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitin ini, penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni:

a. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun penelitian hukum empiris. Studi dokumen dilakukan dengan cara membaca, mengklasifikasi, mengutip, dan menganalisis aturan-aturan yang terkait dengan perangkat desa serta surat-surat yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Teknik wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik yang paling sering digunakan dalam penelitian hukum empiris. Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik untuk memperoleh

(30)

30

informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung antara pewawancara dengan responden.29

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif. Adapun yang dimaksud analisa kualitatif adalah analisa yang tidak digambarkan dengan angka-angka tetapi berbentuk penjelasan dan pendeskripsian30. Data data yang telah diperoleh akan diolah dan di analisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dan dihubungkan antara satu data dengan data lainnya dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis.

29 M.Mochtar, 1998, Pengantar Metodologi Penelitian, Sinar Karya Darma, Jakarta, h. 78

30 Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 167

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi adsorben zeolit alam perlakuan aktivasi kimia dan fisik mempunyai daya serap gas karbonmonoksida yang lebih rendah daripada adsorben zeolit alam tanpa aktivasi.. Hal

Lembar kerja hasil penyelesaian perhitungan tegangan normal dan tegangan geser Ketepatan hasil penyelesain masalah / tugas 15 1,2,3,4,5 9-11 Menerapkan perangkat lunak

Berdasarkan kandungan fosil Foraminifera planktonik yakni dengan hadirnya Globorotalia acostaensis untuk pertama kalinya pada sampel PS2, di bagian atas Formasi Ledok,

koperasi tersebut di atas di Persidangan Negeri Perak 2021 yang akan diadakan pada 17 Mac 2021 (Rabu). Bersama-sama ini disertakan pengesahan saya sebagai wakil

Dari hasil analisis data dari pengujian hipotesis yang dilakukan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara

Kebijakan Penilaian Kinerja Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung pada Dinas Penataan Ruang Kota Bandung Tahun 2017”..

Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah , menguraikan penjelasannya mengenai upah yakni “suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha

Salah satu koperasi yang cukup berkembang di Indonesia adalah Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang modalnya berdasarkan hasil dari