• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) ABSTRAK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

Gracia Natalia Theresia

Mahasiswa Program Studi Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti [email protected]

Vience Ratna Multi Wijaya Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

[email protected]

ABSTRAK

Tingginya prevalensi kekerasan seksual pada anak dapat menyebabkan terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dikenal sebagai gangguan stress paska trauma. Berdasarkan yang disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 terdapat 2.737 kekerasan pada anak dan 52% merupakan kasus kekerasan seksual. Anak mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa, namun kejadian kekerasan seksuak pada anak terus meningkat setiap tahunnya dan meningkatkan kejadian PTSD sampai 39,9% dan 31,3% tersebut disebabkan oleh kekerasan seksual. Studi ini menggunakan studi literatur dengan mengumpulkan data melalui referensi jurnal, artikel, buku dan sebagainya. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian kekerasan seksual pada anak seperti kasus pedofilia, trauma masa kecil, sosial-ekonomi, kurangnya pengetahuan orang tua di era globalisasi, pendidikan orang tua yang rendah, dan sebagainya. Gangguan stres pasca trauma adalah sindrom kecemasan, tanggung jawab otonom, ketidaknyamanan emosional dan kilas balik dari pengalaman yang sangat menyakitkan. Anak korban kekerasan seksual yang mengalami PTSD sebagian besar menjadi pelaku berikutnya, merasa dikhianati oleh lawan jenis dan memilih menjadi LGBT, ditolak bersosialisasi, merasa kotor dan membenci diri sendiri serta dapat menimbulkan ide bunuh diri. Pelaku pencabulan anak dapat dipidana dengan sanksi pidana berdasarkan UU No. 35 tahun 2014 dan UU no. 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 1 dan 2, pasal 82 ayat 1, pasal 83.

Kata kunci: Kekerasan Seksual, Anak

(2)

A. Latar Belakang

Manusia lahir di dunia sebagai makhluk sosial yang menurut kodratnya saling membutuhkan satu dengan yang lain untuk berinteraksi atau memenuhi kebutuhan hidup.

Dimulai sejak embrio hingga dilahirkan sampai menjadi dewasa, manusia sudah mempunyai kebutuhan untuk melangsungkan hidupnya.(1) Proses alami semua manusia untuk menjadi dewasa pasti akan melewati berbagai fase pertumbuhan dimulai dari masa bayi, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga lansia. Anak-anak menurut Undang- Undang nomor 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 adalah usia 18 tahun kebawah sampai masih di dalam kandungan.(2) Masa kanak-kanak disebut juga The Golden Age Moment, karena direntang usia 0-8 tahun adalah usia dimana anak mempunyai ingatan yang sangat kuat, rentan usia anak-anak yang dapat menyerap informasi dengan baik pada umumnya usia 4-6 tahun.(3)

Anak merupakan investasi dan harapan keluarga dan bangsa dimasa depan dan penerus generasi dimasa yang akan datang. Anak-anak adalah fase dimana ia mengalami masa tumbuh kembang yang akan membentuk dia menjadi sesuatu dimasa depannya.(4) Sebagai investasi keluarga dan bangsa dimasa depan, anak-anak selayaknya diperlakukan seperti manusia dan tidak dibedakan menurut ras, golongan, agama, dan lainnya. Anak-anak juga memiliki hak yang harus diperhatikan dengan baik oleh para orang tua dan lingkungan sekitar, anak adalah kaum lemah dan haknya harus dijunjung tinggi dan harus mendapatkan perlindungan.(4,5)Akhir-akhir ini publik sering sekali dikejutkan dengan berita mengenai kekerasan seksual terhadap anak, baik yang dilakukan oleh keluarganya sendiri, atau orang disekitar anak itu dan sampai detik ini kasus kekerasan seksual anak masih terus bertambah.(6)

Menurut UNICEF Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang dilakukan oleh anak yang belum mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara dengan orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua yang diatas 18 tahun.(3,7) Kekerasan seksual pada anak marak sekali terjadi dan bias terjadi kapan saja, dimana saja, dan dalam berbagai bentuk.(8) Kejadian-kejadian negatif seperti kekerasan seksual pada anak akan membekas didalam pikiran anak itu sendiri dan akan menimbulkan trauma dan berujung Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dapat berakibat lebih

(3)

panjang kedepannya, ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari PTSD dari derajat teringan hingga terberat(7)

Post Traumatic Stress Disorder adalah sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa(9) Kekerasan seksual pada anak di Indonesia meningkat setiap tahunnya dan di tahun 2006 tercatat 861 kasus kekerasan terhadap anak dan 60% diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual anak.(4) Menurut Komisi Perlindungan Anak di tahun 2011 telah tercatat 2.275 kasus kekerasan pada anak dan 887 diantaranya adalah kekerasan seksual, di tahun 2013 tercatat 2.637 kasus kekerasan pada anak dan 1.266 diantaranya kekerasan seksual pada anak.(6)

Kasus kekerasan seksual pada anak dilaporkan oleh ketua KPAI Arist Merdeka Sirait bahwa di 2017 dari 2.737 kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan, didapatkan 2.848 korban yang 52% di antaranya merupakan kekerasan seksual. Kasus sodomi menjadi yang terbanyak yaitu 771 kasus (54%), pencabulan sebanyak 511 kasus (36%), perkosaan sebanyak 122 kasus (9%), dan ‘incest’ sebanyak 20 kasus (1%). Lebih mirisnya lagi menurut Arist, dari 2.848 korban kekerasan anak, sebagian besar merupakan anak laki-laki yaitu 1.698 korban (59%), perempuan sebanyak 1.131 anak (40%), dan tidak diketahui yakni masih berupa janin sebanyak 19 anak (1%).(10) Kekerasan seksual pada anak dapat terjadi karena berbagai macam faktor seperti kelainan menyukai anak kecil atau yang biasa disebut pedofilia, kelalaian orang tua dalam mendidik dan mendampingi anak, dan teknologi yang semakin canggih.(6,11)

Khusus masalah kekerasan seksual pada anak telah diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 pada pasal 81 dan 82 dimana pelaku dapat dikenakan pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, tetapi kekerasan seksual anak yang semakin marak membuat Indonesia terlihat seperti negara yang kurang memperhatikan hak anak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas saya sebagai penulis tertarik untuk meneliti tentang:

1. Apakah kekerasan seksual pada anak berdampak post-traumatic stress disorder (PTSD)?

(4)

2. Apakah pelaku kekerasan seksual pada anak dapat dikenakan sanksi pidana?

C. Metode Penelitian

Dalam karya tulis ilmiah ini, dikarenakan keterbatasan waktu, metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan literature dengan menggunakan referensi ilmiah, jurnal, buku, dan artikel.Pembahasan

D. Tinjauan Pustaka

1. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua baik itu keluarganya sendiri ataupun orang lain guna untuk memuaskan hasrat seksual pelaku.(6) Adapun kekerasan seksual tidak terbatas hanya kontak fisik semata, tetapi perilaku-perilaku seperti pencabulan, pemaksaan untuk menonton/melihat konten pornografi juga merupakan kekerasan seksual.(6,12)

Kasus kekerasan seksual pada anak dilaporkan oleh ketua KPAI yaitu Arist Sirait bahwa di 2017 dari 2.737 kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan, didapatkan 2.848 korban yang 52% di antaranya merupakan kekerasan seksual. Kasus sodomi menjadi yang terbanyak yaitu 771 kasus (54%), pencabulan sebanyak 511 kasus (36%), perkosaan sebanyak 122 kasus (9%), dan ‘incest’ sebanyak 20 kasus (1%).(12) Kekerasan seksual pada anak tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Afrika (34,4%), America (15,8%), Eropa (9,2%).(13) Kekerasan seksual tidak melihat ras, agama, dan golongan dan dari data yang dikemukakan oleh Ira Paramastri, et al kekerasan seksual yang terjadi biasanya keluarga yang dipercaya anak (50%), orang yang lebih tua atau lebih besar dari anak (40%), dan orang yang tidak dikenal anak (10%).(14)

Hal-hal yang termasuk dalam kekerasan seksual dibagi dalam tiga kategori, dengan UU yang mengaturnya adalah:

1. Familial Abuse/ Incest

Familial Abuse atau yang biasa disebut Incest merupakan hubungan seksual

(5)

yang dilakukan oleh keluarga dekat dan cenderung masih ada ikatan darah, dimana diantara pelaku dan korban tidak boleh ada pernikahan. Contoh kasus Incest ini adalah hubungan antara kakak-adik, ayah-anak, paman-keponakan.(12) Diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 3 dan pasal 82 ayat 2 dengan pemberian sanksi pidana diperberat. Diatur pula dalam UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) No. 23 tahun 2004 pada pasal 46.

2. Extrafamilial Abuse

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain yang bukan keluarga dan tidak ada hubungan darah dengan korban, yang pada umumnya adalah orang dewasa yang sudah dikenal oleh anak tersebut contohnya sopir, pengasuh, tukang kebun, guru. Orang-orang yang melakukan kekerasan seksual extrafamilial ini cenderung memiliki penyakit pedofilia, yang dimana cenderung lebih menyukai anak-anak.(5,6) Diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 1, ayat 2, dan pasal 82 ayat 1.

3. Bisnis Seks Komersial Pornografi

Anak-anak yang menjadi korban akan difoto atau direkam lalu dikemas sedemikian rupa lalu foto dan rekaman tersebut akan diperdagangkan. Anak-anak akan dipaksa untuk melakukan adegan-adegan sensual yang akan direkam dan diperjual-belikan dan tentunya hal ini justru akan meningkatkan kepuasan orang- orang pedofilia.(6) Diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002 pasal 83, dan dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang perdagangan orang.

Kekerasan seksual dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Pedofilia

Pedofilia adalah manusia dewasa yang mempunyai ketertarikan lebih kepada anak-anak atau secara harafiah disebut pencinta anak-anak. Seiring berkembangnya zaman, pedofilia justru semakin menyimpang, yakni kaum pedofilia cenderung melakukan kekerasan seksual pada anak untuk memuaskan nafsu birahinya.(5) Guna mencegah terjadinya pedofilia dalam kalangan anak dibawah umur maak pemerintah mengatur larangan melakukan pedofilia diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002 pada Pasal 8 1 jo Pasal 76

(6)

D dan Pasal 81UU No. 17 tahun 2016. Selain itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronil, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekekrasan Seksual Terhadap Anak.

2. Trauma Masa Kecil menjadi dendam

Trauma masa kecil ini akan menimbulkan trauma psikis dan fisik, trauma psikis cenderung susah untuk hilang dan bisa menjadi disorientasi moral menimbulkan dendam dan dikemudian hari memiliki keinginan untuk melakukan hal yang sama ke anak yang lain.(5,15) Trauma masa kecil ini sangatlah mempengaruhi perilaku anak. Sebab anak yang pernah mengalami kekerasan seksual saat kecil sangan berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual pula.

Bahkan tidak jarang anak tsb memiliki rasa takut untuk mengenal lawan jenis dan menjadi anak yang tertuup dari pergaulan

3. Ekonomi

Keadaan seseorang yang mempunyai kesulitan ekonomi dapat mendorong dirinya untuk melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang untuk kelangsungan hidupnya, hal ini dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak dimana seseorang memperjual-belikan foto atau video anak yang dipaksa untuk melakukan perilaku sensual, dan menjual anak sebagai alat pemuas seks orang dewasa.(15,12)

4. Kelalaian orang tua terhadap era globalisasi

Di era globalisasi pengaksesan ke dunia maya sangat mudah dan cepat jadi, tanpa pengawasan dan didikan dari orang tua maka anak-anak dapat membuka konten pornografi dengan mudah sehingga membuat timbul rasa ingin tahu yang berlebih.(11)

5. Rendahnya pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan membuat seseorang mempunyai wawasan lebih luas dan lebih memahami perkembangan zaman. Jika wawasan orang tua dikatakan kurang, maka rasa waspada terhadap kekerasan seksual pun sangat kecil sehingga mendorong terjadinya kekerasan seksual pada anak.(18). Oleh sebab itu masalah pendidik atau latar belakang Pendidikan orang sangat berpengaruh dalam

(7)

memahami kekerasan seksual sehingga dapat memberikan kepada anak pengetahuan akan cara-cara menghindari kekerasan seksual.

Kekerasan seksual tidak semata-mata perlakuan kasar terhadap anak, namun ada beberapa jenis tindakan yang dimasukkan ke dalam kategori kekerasan seksual yaitu:

1. Penganiayaan / Sexual Molestation

Pelaku memaksa korban menonton konten pornografi, disrobing, genital exposure, observation of the child, voyeurism, mencium anak dalam keadaan hanya memakai pakaian dalam, fondling.(6)

2. Pemerkosaan / Sexual Assault

Masturbasi, Fellatio, Cunnilingus, Forcible rape.(6) 2. Post Traumatic Stress Disorder

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah sindrom kecemasan, labialitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.

Menurut National Institute of Mental Health, PTSD merupakan gangguan kecemasan setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam jiwa dan kehidupannya.(7) Untuk mengetahui seseorang mengalami PTSD, maka ada beberapa kriteria diagnostik yang dikemukakan oleh Grinage di tahun 2003 yang tertulis dalam penelitian oleh Anwar Fuadi di tahun 2011 yaitu:

1. Kenangan yang mengganggu/ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang berulang-ulang.

2. Perilaku menghindar

3. Muncul gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian traumatik

4. Tetap adanya gejala tersebut minimal 1 bulan.(11)

Sama hal-nya seperti kekerasan seksual, kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat terjadi dikarenakan berbagai macam faktor:(17)

1. Selama hidup pernah mengalami peristiwa berbahaya yang membuat trauma.

2. Memiliki sejarah penyakit mental

(8)

3. Melihat/menyaksikan orang terluka atau terbunuh 4. Mengalami kejadian menyedihkan.

Untuk mengetahui seseorang mengalami PTSD maka perlu diketahui gejala Post Traumatic Stress Disorder:

1. Flashback

Mengingat kembali kejadian yang pernah dialami biasanya saat di depan matanya ada kejadian yang mirip, bisa juga datang lewat mimpi buruk, tidak bisa tidur / insomnia karena terus terbayang kejadian yang menimpanya, muncul reaksi-reaksi emosional karena mengingat kejadian yang menimpanya.(7)

2. Menghindar dari lingkungan

Menghindar dari lingkungan sekitar dan tidak mau berinteraksi karena langsung merasa dikucilkan, akan menghindar dari tempat-tempat yang mengingatkan dirinya akan kejadian yang pernah menimpanya, kehilangan minat akan semua hal.(6)

3. Meningkatnya sensitifitas / emosi diri

Susah tidur, mudah marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.(7)

Kejadian PTSD dapat menyebabkan dampak kepada sesorang terutama anak baik secara psikis, fisik, dan sosial, diantaranya:

1. Psikis: Depresi, berniat untuk melakukan percobaan bunuh diri (suicidal ideation), merasa dikhianati (betrayal).(18)

2. Fisik : Robek selaput dara, memar pada alat kelamin/mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin, sakit kerongkongan, berat badan menurun, bulimia nervosa, HIV, kehamilan yang tidak diinginkan.(4,15,19)

3. Sosial : Pancik attack, menghindar / menarik diri dari lingkungan, merasa disisihkan, merasa semua orang membicarakan dirinya.(7)

3. Hubungan Kekerasan Seksual Pada Anak dengan Post Traumatic Stress Disorder

Kekerasan seksual ini merupakan kenangan yang tidak baik dan akan disimpan di hipocampus dan amigdala sebagai yang berperan sebagai pusat emosi.(8) Ketika ada hal yang mengingatkan dengan kejadian tersebut maka noradrenergik reseptor akan

(9)

aktif dan mengirimkan sinyal ke korteks prefrontal dan sistem limbik, lalu amigdala dan hipocampus akan aktif dan memunculkan kembali ingatan akan kejadian kekerasan seksual tersebut sehingga respon yang ditimbulkan merupakan stres, ketakutan, kecemasan, dan lainnya yang merupakan gejala-gejala dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).(20)

Ada beberapa fase Post Traumatic Stress Disorder yang dialami oleh korban kekerasan seksual, yaitu:(21)

1. Tahap Akut

Gelisah, cemas, sulit untuk konsentrasi, gangguan pola tidur, merasa jijik dengan tubuhnya sendiri, emotional numbness, tidak nafsu makan, self mutation.

2. Tahap Reorganisasi

Kondisi korban belum seutuhnya sembuh, terkadang masih mencari pelarian dengan mengonsumsi obat-obat terlarang dan alkohol untuk melupakan kekerasan seksual yang pernah dialami.

3. Tahap Renormalisasi

Tahapan ini sangat membutuhkan peran lingkungan, orang tua untuk mengembalikan korban untuk kembali menjalani kehidupan normal tanpa dibebani kejadian masa lalu.

Dikemukakan dalam penelitian Eko pertiwi, dkk yang melakukan penelitian terhadap anak pra-sekolah dan diusia ini anak sudah mengalami perkembangan psikoseksualnya oleh karena itu sangat dibutuhkan kematangan intelektual orang tua agar anak terhindar dari kekerasan seksual yang dapat merugikan fisik, psikis, dan finansial. Anak dapat menjadi korban dengan cara memberi iming-iming, agar anak tidak menceritakan ke orang lain bahwa anak tersebut dijadikan pelampiasan seksual.

Bila hal ini terjadi maka anak akan mengalami gangguan secara psikologi yang berat seperti perasaan malu, rendah diri, dan benci dengan lawan jenis.(16) Hasil penelitian oleh Ivo Noviana dengan melihat hubungan orang tua dan anak sehingga anak tidak melapor bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual dan kurang peka terhadap tanda- tanda atau perubahan tingkah laku anak yang mengalami kekerasan seksual. Jika hal ini terjadi, trauma psikis akan berlangsung panjang dan akan mengganggu kejiwaan

(10)

anak tersebut.(6) Syarifah Fauzi’ah mengambil dasar penelitiannya yaitu adanya perbedaan jenis kelamin diantara manusia dan perbedaan ini harus dipahami sejak dini.

Apabila hal ini tidak dipahami sejak dini maka anak akan menjadi korban kekerasan seksual dan hal ini dapat berdampak psikis yang berat yang akan berujung disorientasi moral.(12)

E. Analisis

1. Kekerasan Seksual Pada Anak berdampak Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Berdasarkan uraian diatas, dan tanggapan tentang peneliti-peneliti bahwa kekerasan seksual anak akan menimbulkan trauma fisik dan trauma psikis, dimana trauma psikis akan lebih berat dibandingkan trauma fisiknya karena akan mempengaruhi kehidupan sosialnya, membuat anak mengalami disorientasi moral, dan mengganggu kejiwaan anak yang menjadi korban.(6,12) Orang-orang korban kekerasan seksual akan merasa tertekan, dirinya tidak berguna, timbul rasa dikhianati oleh lawan jenis, ketakutan, dan merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.(6)

Hal-hal tersebut mendorong korban kekerasan seksual mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yang akan berujung menjadi beberapa kelainan yang lebih parah lagi seperti:

1. Insomnia

Mimpi buruk terus mendatangi korban sehingga membuat dirinya terus terjada sepanjang malam, bisa juga dikarenakan korban diserang saat tidur sehingga akan terus terjaga karena punya perasaan waspada yang sangat tinggi.(21)

2. Stigmazation

Korban merasa malu, merasa tidak berguna, dan memilih segala cara untuk melupakan peristiwa yang dialami, dan cenderung menjadi kecanduan alkohol dan obat-obat terlarang.(6)

3. Traumatic Sexualization

Korban cenderung membenci dan akan menghindari hubungan seksual, juga timbul rasa benci dengan lawan jenisnya sehingga lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan sesama jenis (LGBT).(22,23)

4. Menjadi Pelaku

(11)

Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan berpikir bahwa kekerasan adalah sesuatu yang wajar, sehingga dikemudian hari berpotensi menjadi pelaku kekerasan selanjutnya.(24) Selain itu adanya dendam yang ditanamkan anak dalam dirinya sehingga dikemudian hari akan melakukan kekerasan seksual kepada anak yang lain sebagai pelampiasan dendamnya.(4)

5. Self Mutilation

Aksi kemarahan terhadap dirinya sendiri dan cenderung melukai dirinya sebagai hukuman atas dirinya sendiri, dan dapat berujung bunuh diri.(21)

Menurut penulis, kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi sejak anak masih atau pra-sekolah oleh karena itu sejak dini harus diberi pemahaman terhadap anak bahwa ada perbedaan jenis kelamin dan itu harus dijelaskan mulai dari keluarga/ orang tua. Selain itu harus ada hubungan yang dekat antara orang tua dan anak agar orang tua dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan seksual. Jika cara ini diterapkan sedini mungkin maka, dapat dicegah dampak trauma psikis yang berat yang dapat mengganggu kejiwaan anak yang akan berujung disorientasi moral anak tersebut.

2. Pelaku kekerasan seksual pada anak dapat dikenakan sanksi pidana

Kekerasan seksual ataupun kejahatan perkosaan menurut R. Soesilo dalam pasal 285 KUHP ialah barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.(25) Sedangkan menurut Wirjono perkosaan sebagai terjemahan dari bahasa Belanda Ver Krach Ting artinya perkosaan untuk tubuh, menurut beliau rumusan perkosaan terdiri dari unsur a) perbuatannya memaksa b) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan c) objeknya seorang perempuan bukan istrinya bersetubuh dengan dia. Jadi, Wirjono menyatakan bahwa beliau setuju dengan pendapat R.

Soesilo bahwa perkosaan sesuai pasal 285.(26) Sedangkan R. Soesilo mengartikan kekerasan dalam perkosaan mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah.(25)

Pada prinsipnya tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana aduan karena untuk dapat ditindak oleh hukum maka korban/ orang tua/ walinya mengadukan peristiwa tersebut kepada penyidik dalam hal ini polisi untuk dapat dituntut. Menurut O.S. Hiariej yang dimaksud delik aduan adalah tindak pidana yang untuk dilakukan penuntutan pidana

(12)

disyaratkan terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan yaitu korban/ wakilnya/ keluarga/ orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh yang berhak.(27)

Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan, ada 15 bentuk kekerasan namun hanya 8 yang bisa ditindak secara hukum pidana seperti, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, sterilisasi paksa, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, dan pelacuran paksa.(28) Sedangkan korban dari kekerasan seksual dialami oleh anak, hal ini dikarenakan anak-anak masih pihak yang lemah baik dari sisi fisik, mental, sosial, tidak berani melawan sehingga mereka dengan mudah menjadi pelampiasan pelaku dalam menyalurkan hasrat seksualnya seperti kasus yang ramai di media masa yaitu kekerasan seksual di Jakarta Internasional School (JIS) dimana korban bernama AK melapor kepada orang tuanya atas dugaan tindakan sodomi yang kemudian diikuti oleh laporan orang tua lainnya, setelah di-test ternyata AK disodomi oleh petugas kebersihan sampai terkena penyakit herpes.(12) Ada juga kasus lain di Sukabumi, terdapat 110 anak melapor dan 60 diantaranya dilakukan tidak pantas, Emon melakukan ini dengan alasan untuk menyalurkan hasrat seksualnya.(15)

Berdasarkan contoh kasus tadi, kekerasan seksual terhadap anak memberi dampak buruk pada anak, Oleh karenanya dalam UU No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 dan UU No. 16 tahun 2017 pada pasal 81 sampai dengan 82. Adapun bunyi ketentuan yangmengatur masalah pedofilia:

Pasal 81 UU No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 dan UU No. 16 tahun 2017 mengatur

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam PAsal 76 D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000

(2) Ketentuan pada ayat (1) berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dnegannya atau dengan orang lain

(3) Aketentuan pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua, wali, ornag-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang

(13)

menangani perlindungan anak atau dlakukan oleh lebi dari satu orang secara bersama- sama pidanaya ditambah 1/3 )sepertiga) dari ancmana bidana sebagaimana ayat (1) (4) Selain pada pelaku sebagaiman ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) ancaman pidana

dikenakan pada pelaku yang pernah dipiadan karena melakukan Pasal 76 D

(5) Jikamenimbulkan korban lebih ari 1 orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia , pelaku dipidana mati, seumur hidup atau pidanan penjara paling singkat 0 tahun dan paling lama 20 tahun

(6) Pelaku juga mendapat pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku

(7) Terhadap pelaku pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenakan Tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik

(8) Tindakan sebagaimana ayat (7)diputuskan bersama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan

(9) Pidana tambahan dan Tindakan dikecualikan bagi pelaku anak

Pasal 76 D UU no. 35 tahun 2014, mengatur “ Setiap orang dilarang elakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan peretubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 81 A ayat (3) UU No. 17 tahun 20016 menyatakan Pelaksanaan Kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi”.

Pasal 82 UU No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 dan UU No. 16 tahun 2017 mengatur”

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000

(2) Ketentuan pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua, wali, ornag-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak atau dlakukan oleh lebi dari satu orang secara bersama- sama pidanaya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman bidana sebagaimana ayat (1) (3) Selain pada pelaku sebagaiman ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) ancaman pidana

dikenakan pada pelaku yang pernah dipiadan karena melakukan Pasal 76 E

(14)

(4) Dalam hal tindak pidana Pasal 76 E menimbulkan korban lebih dari 1 orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau 1/3 (sepertiga)dari ancama pidana sebagaimana ayat (1)

(5) Selain dimaksud ayat (1) sampai ayat (4), pelaku juga mendapat pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku

(6) Terhadap pelaku pada ayat (2) dan ayat (4) dapat dikenakan tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik

(7) Tindakan sebagaimana ayat (6 )diputuskan bersama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan

(8) Pidana tambahan dan Tindakan dikecualikan bagi pelaku anak

Pasal 76 E UU No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 dan UU No. 16 tahun 2017 yang berbunyi ”Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman kekerasan , memaksa, melakukan tipu muslihat, melakuakn serangaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakuakn perbuatan cabul”.

Menguatkan pelaksaaan dari ketentuan ini maka Pemerintah mengundangkan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronil, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Adapun pemebrian atau tata cara pemberian kebiki kimia atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan Pelaksanaan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa. Selain itu Tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dengan dilakukan melalaui tahapan penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan.

Pada kenyataannya, perlindungan terhadap anak sesuai UU No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang no 23 tahun 2002 dan UU No. 16 tahun 2017, hal ini tidak mengurangi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak . Dasar itulah maka perlu adanya UU khusus yang mencegah terjadinya kekerasan seksual baik terhadap perempuan dan anak, juga terhadap laki-laki yang menjadi payung dalam hal penanganan kekerasan seksual. Maka diharapkan dengan adanya Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Kekerasan Seksual segera dapat dikurangi. Diharapkan RUU Kekersan Seksual mengatur penanganan kekerasan seksual secara terpadu dan dalam setiap prosesnya harus berkontribusi dalam pemulihan korban seperti pemenuhan hak korban atas kebenaran,

(15)

keadilan, pemberian resititusi, pencegahan kekerasan seksual, dan jaminan bahwa kekerasan seksual tidak akan terulang kembali sehingga perlindungan anak terhadap kekerasan seksual lebih spesifik.

Penjatuhan sanksi pidana yang berat sangat dibutuhkan terhadap pelaku kejahatan dengan menjatuhkan atau memberikan pidana seumur hidup atau pidana mati pada pelaku kekerasan seksusla agar tujuan mengurangi kekerasan seksual dapat tercapai. Selain itu diperlukan peran serta semua pihak (pemerintah, pemda, keluarga, masyarakat, orang tua) untuk bersama-sama memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, antara lain hak untuk tidak mengalami kekerasan seksual, dengan cara memberikan penyuluhan- penyuluhan pentingnya perlindungan anak sebagai generasi penerus dan menciptakan kota layak anak

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Berdasarkan uraian telaah pustaka yang ada maka dapat disimpulkan:

1. Ada hubungan antara kekerasan seksual pada anak dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang memberi dampak pada psikis, sosial, dan fisik anak tersebut 2. Pelaku kekerasan seksual dapat dijatuhkan hukuman pidana berdasarkan UU No. 35

tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002. Dan UU No. 17 tahun 2016

- Pasal 81 ayat 1 sampai dengan ayat (8) : pasal yang mengatur tentang kekerasan seksual berupa persetubuhan dan jika yang terjadi di dalam keluarga dengan pidana diperberat

- Pasal 82 ayat 1 sanaoau ayat (8) : pasal yang mengatur tentang kekerasan seksual berupa percabulan, jika dilakuakn keluarga dengan pidana diperberat

- Pasal 83 UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002. : pasal yang mengatur tentang eksploitasi/perdagangan orang untuk tujuan komersil/tujuan seksual.

Saran

1. Perlu peningkatan kepedulian masyarakat dan sosialisasi tentang kejadian kekerasan seksual pada anak dan dampak buruknya sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka kejadian kekerasan seksual pada anak.

(16)

2. Mensosialisasikan hukum perlindungan anak UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002.

3. Diharapkan kerjasama yang lebih antara pemerintah, pemda, keluarga, peran masyarakat dan semua pihak yang terkait (dokter, psikolog, dan lembaga-lembaga perlindungan anak) dalam hal mewujudkan hak-hak anak di Indonesia.

4. Mempercepat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

5. Meningkatkan kedekatan hubungan antara orang tua dan anak sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA

Sakalasastra PP, Herdiana I. Dampak psikososial pada anak jalanan korban pelecehan seksual yang tinggal di liponsos anak Surabaya. JJPKS. 2012;1(2):66-73

Republik Indonesia. Undang-undang No. 35 tahun 2014 jo Undang-Undang No. 23 tahun 2002.

Cited on: March 4th, 2018. Available from: http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang- republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-tentang-perubahan-atas-undang-undang-

nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/

Justicia R. Program underwear rules untuk mencegah kekerasan seksual pada anak usia dini (Internet). JPUD. 2016;9(2):212-32.

Sari R, Nulhaqim SA, Irfan M. Pelecehan seksual terhadap anak. Prosiding KS. 2010;2(1):14- Probosiwi R, Bahransyaf D. Pedofilia dan kekerasan seksual: masalah dan perlindungan 8.

terhadap anak. Sosio Informa. 2015;1(1):29-40.

Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronil, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Noviana I. Kekerasan seksual terhadap anak: Dampak dan penanganannya. Sosio Informa.

2015;1(1):13-28.

Wardhani YF, Lestari W. Gangguan stres pasca trauma pada korban pelecehan seksual dan perkosaan. J Unair. 2007;20(4):293-302.

Ulibarri MD, Ulloa EC, Salazar M. Prevention and outcomes for victims of childhood sexual abuse: Associations between mental health, substance use, and sexual abuse experiences among latinas. J Child Sex Abus. 2015;24(1): 35-54.

Hardjo S, Novita E. Hubungan dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban sexual abuse. Analitika. 2015;7(1):12-9.

Bomatama R. Kekerasan seksual dominasi kekerasan terhadap anak di tahun 2017. Cited on:

March 1st, 2018. Available from: www.tribunnews.com/nasional/2017/12/27/kekerasan- seksual-dominasi-kekerasan-terhadap-anak-di-tahun-2017?page=all

Fuadi MA. Dinamika psikologis kekerasan seksual: Sebuah studi fenomenologi.

Psisikoislamika. 2011;8(2):191-208.

Fauzi’ah S. Faktor penyebab pelecehan seksual terhadap anak. An-Nisa’. 2016;9(2):81-101.

Ajduković M, Sušac N, Rajter M. Gender and age differences in prevalence and incidence of child sexual abuse in Croatia. Croat Med J. 2013;54:469-79.

(17)

Paramastri I, Prawitasari JE, Prabandari YS, Ekowarni E. Buklet sebagai media pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak-anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.

2011;6(2):77-84

Hidayati N. Perlindungan anak terhadap kejahatan kekerasan seksual (pedofilia). Jurnal Pengembangan Humaniora. 2014;14(1):68-73.

Pertiwi E, Yudiernawati A, Maemunah N. Hubungan pengetahuan ibu terhadap sikap pencegahan seksual abuse pada anak 3-6 tahun di Desa Banjararum Mondoroko Utara Singosari Malang. Nursing News. 2017;2(1):22-36.

Wahyuni H. Faktor resiko gangguan stress pasca trauma pada anak korban pelecehan seksual.

Jurnal Ilmiah Kependidikan. 2016;10(1):1-13.

Alix S, Cossette L, Hébert M, Cyr M, Frappier J. Post traumatic stress disorder and suicidal ideation among sexually abused adolescent girls: The mediating rolde of shame. J Child Abus. 2017;26(2):158-74.

Hertinjung WS. Penguasaan diri sebagai karakter unggul melalui koping aktif (studi kasus pada anak korban kekerasan seksual). Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2011:258-75.

Bailey CR, Cordell E, Sobin SM, Neumeister A. Recent Progress in Understanding the Pathophysiology of Post-Traumatic Stress Disorder: Implications for Targeted Pharmacological Treatment. CNS Drugs. 2013;27(3):221-32.

Patton CL, McNally MR, Fremouw WJ. Rape traumatic syndrome (RTS). West Virginia:

Willey Encyclopedia of Forensic Science; 2015.

Sisca H, Moningka C. Resiliensi perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak. Jurnal Psikologi. 2008;2(1):61-9.

Musti’ah, Lesbian gay bisexual and transgender (LGBT): Pandangan Islam, faktor penyebab, dan solusinya. Jurnal Pendidikan Nasional. 2016;3(2):258-73.

Margaretha, Nuringtyas R, Rachim R. Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Makara Seri Sosial Humaniora. 2013;17(1):33-42.

Soesilo R. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Politeia: Bogor;1981.

Jordan R. Komnas perempuan: Ada 8 bentuk tindak kekerasan seksual yang bisa dipidanakan.

2016. (Cited on: March 3rd, 2018. Available from: https://m.detik.com/news/berita/d- 3228136/komnas-perempuan-ada-8-bentuk-tindak-kekerasan-seksual-yang-bisa-

dipidanakan

Hiariej EOS. Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka;2014.

Prodjodikoro W. Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama; 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Persalinan normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada kehamilan cukup bulan (aterm, 37-42 minggu), pada janin letak memanjang, presentasi belakang kepala yang disusul

Hasil: Substitusi tepung garut, kedelai, dan ubi jalar kuning meningkatkan kadar protein, lemak, β -karoten, zink, daya serap air, dan tingkat kekerasan pada biskuit, sedangkan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di Desa Sabangmawang, Kabupaten Natuna terdapat potensi energi listrik dari arus laut dengan estimasi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis mutu minyak kelapa murni buatan industri rumah tangga secara menyeluruh bahwa ketiga sampel tersebut

Iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (Wajib Pajak) berdasarkan' undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali se~

Dengan adanya dukungan dan peran suami seperti adat dan budaya yang ada di Indonesia bahwa keputusan sebagian besar ada pada suami maka akan berpengaruh terhadap

Ferry Baso Rahim 1097 Indira Aisyah W 1098 Agustinus Tangyong 1099 Yosep Pantas..