5 BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.1.1 Review Penelitian Terdahulu
Sari (2021) melakukan penelitian yang berjudul “Tradisi Tompangan Dalam Perspektif Akuntansi” menjelaskan bahwa Pada kegiatan tradisi tompangan di grup tunas muda didapatkan bahwa pihak yang sudah memberikan sumbangan tapi belum melaksanakan acara nikahan memaknainya sebagai piutang, hal tersebut karena nantinya pada saat mereka mengadakan acara nikahan akan nerima kembali sumbangan yang sudah diberikan sebelumnya. Karena dalam acara tradisi tompangan terdapat hubungan timbal balik yang mengakibatkan adanya hak untuk menerima lagi uang atau barang di masa yang akan datang, sekaligus pihak yang bersangkutan nantinya akan memperoleh lagi uang atau barang dengan jumlah yang lebih besar dari jumlah yang telah diberikan sebelumnya. Praktik piutang yang terjadi pada perayaan tradisi tompangan sama seperti prinsip piutang, dimana piutang adalah aset keuangan yang mencerminkan hak kontraktual untuk menerima sejumlah kas di masa yang akan datang atau hak tagih terhadap pihak lain atas kas, barang dan jasa.
Saputri & Ashari (2019) dengan penelitiannya yang berjudul “Tradisi Buwuh Dalam Perspektif Akuntansi Piutang dan Hibab di Kecamatan
Lowokwaru Kota Malang” menyimpulkan mengenai menyatakan bahwa praktik buwuh adalah piutang, sebab dalam praktiknya kebiasaan yang terjadi di masyarakat Kecamatan Lowokwaru terutama pada Kelurahan Lowokwaru, Kelurahan Tunggulwulung, Kelurahan Merjosari dan Kelurahan Ketawanggede memang ada transaksi adanya kewajiban agar dikembalikan dengan dilandasi rasa tidak enakan terhadap pihak yang sudah memberi bantuan dengan nilai yang banyak dan dalam bentuk yang tidak sedikit sehingga timbul rasa untuk membalas bantuan yang diberikan dan sistem piutang juga diterima oleh masyarakat Kecamatan Lowokwaru.
Rahman et al (2019) melakukan penelitian dengan judul “Konsep Akuntansi Syariah Pada Tradisi Mahar” disimpulkan bahwa Dijelaskan bahwa bahwa konsep akuntansi syariah dalam tradisi mahar yaitu sebagai aset (harta), kewajiban (utang), ekuitas (modal), pendapatan, dan beban.
Mahar sebutan bagi hsarta (aset) baik berwujud atau tidak berwujud yang diberikan laki-laki kepada wanita yang akan dinikahinya yang merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan (dibayar) dan tidak boleh digugurkan. Mahar juga sebagai modal (modal dalam rumah tangga) sedangkan mahar sebagai ekuitas mempunyai perbedaan dengan ekuitas secara konvensional.
Suriyani (2020) dengan judul “Sistem Utang Piutang Dalam Pernikahan Masyarakat Kanang Kabupaten Polewali Mandar (Analisis Hukum Ekonomi Islam)” menjelaskan bahwa Didapatkan bahwa
perjanjian masyarakat terhadap sistem utang piutang pernikahan dalam masyarakat Kanang Kabupatenn polewali Mandar. Dalam perjanjian utang piutang pernikahan masyarakat melakukan kesepatakan antara dua pihak si pejual dan si pengutang. Dimana kesepatakatannya itu pada saat acara pernikahan sudah selesai maka orang yang melaksanakan utang piutang akan bayar seluruh barang yang dipinjamnya tersebut, dan ketika masyarakat belum bisa melunasinya maka si penjual akan memberikan kesempatan jangka waktu minimal satu minggu untuk membayar seluruh barang yang dipinjam.
Baihaki & Malia (2018) dengan penelitian berjudul “Arisan Dalam
Perspektif Akuntansi” Menunjukkan bahwa banyak anggota yang bergabung arisan atas dasar keinginan untuk menabung dan uang yang bisa dikumpulkan lebih mendekati pengakuan piutang. Piutang disebut sebagai klaim terhadap sejumlah yang yang diharapkan akan diperoleh pada masa yang akan datang. Alasan ekonomi lain adalah kecenderungan Sebagian orang untuk menjadikan arisan sebagai alat untuk mengumpulkan dana investasi. Bahkan, ada anggota yang menjadikan arisan berupa acara atau pada pembuatan rumah untuk investasi dengan menyerahkan barang atau uang yang sebanding dengan barang untuk mencegah inflasi.
Pandung (2020) dengan penelitian yang berjudul “Menganalisis Arisan Dalam Perspektif Akuntansi Piutang” Menyatakan bahwa Arisan
dalam bentuk undian berupa uang dilakukan dengan cara mengundi untuk mengetahui siapa yang terlebih dulu Namanya keluar. Yang lebih awal keluar, secara tidak langsung ia menerima pinjaman atau disebut sebegai kreditur dari anggota arisan yang belum mendapat undian. Sehingga ia harus melakukan kewajibannya dengan membayar secara mengangsur pada arisan itu sampai masing-masing anggota mendapat undian arisannya.
Bagi pihak yang belum memenangkan arisan berarti ia telah memberikan pinjaman atau sebagai orang yang memberikan pinjaman (debitur) kepada anggota yang telah menang arisan tersebut. Pinjaman ini tidak bisa ditagih dan tidak bisa ditentukan kapan waktu untuk mendapatkan atau kapan dikembalikan. Sebab ini harus melalui proses pengundian lebih dahulu.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Piutang
Pengertian piutang menurut Iwan Setiawan (2010: 199): “Piutang adalah segala bentuk tagihan atau klaim perusahaan kepada pihak lain yang pelunasannya dapat dilakukan dalam bentuk uang, barang ataupun jasa”.
Menurut Munawir (2004: 15), “Piutang dagang adalah tagihan kepada pihak lain (kepada kreditur atau langganan) sebagai akibat adanya penjualan dagang secara kredit.“
Sedangkan menurut Prinsip Akuntansi Indonesia (Ikatan Akuntan Indonesia, 1999). Piutang dipakai dalam yang arti sempit, yaitu hanya menunjukkan tagihan yang akan dilunasi dengan uang.
Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa piutang dapat diartikan perusahaan memiliki hak penagihan terhadap pihak lain yang menjadi langganannya dan mengharapkan pembayaran dari mereka agar memenuhi kewajiban terhadap perusahaan.
2.2.2 Pengakuan dan Pencatatan Piutang
Dalam pengakuan piutang dengan metode accrual basis, pengakuannya diakui ketika adanya transaksi bukan ketika pembayaran uang diterima. Adanya transaksi antara penjual dan pembeli maka piutang dapat terjadi dengan pembayaran yang dilakukan sesuai dengan waktu yang sudah disepakati. Penggunaan accrual basis pada akuntansi menimbulkan adanya pengakuan pada penghasilan-penghasilan yang akan didapatkan. Penghasilan dihitung sebagai pendapatan dan piutang itu diperoleh pada masa yang lalu dan pada periode akhir. Menurut Kieso, et.
Al., (2007: 350), “penilaian dan pelaporan piutang jangka pendek yait pada nilai realisasi bersih jumlah yang dikirakan akan diterima pada wujud kas.”
2.2.3 Tradisi Tok-Otok
Keterkaitannya tradisi tok-otok dengan akuntansi adalah pada tradisi ini adanya pinjaman ke seseorang yang mengadakan acara tok-otok ini yang dimana dalam akuntansinya termasuk ke dalam akuntansi piutang. Di dalam tradisi ini piutangnya didapatkan dengan mengadakan acara perkumpulan sedangkan di dalam bisnis biasanya piutang diperoleh dari kegiatan jual beli.
Tok-otok adalah sebuah tradisi pelaksanaan kegiatan ini yang dilaksanakan disaat acara teretentu ataupun saat walimah bagi masyarakat Madura. Tradisi ini sudah mendarah daging, yang pelaksanaannya bertujuan untuk mengumpulkan uang dengan cara saling pinjam meminjam sesama anggotanya yang dimana di dalam akuntansi itu dikatakan mendapatkan sebuah utang piutang. Dan juga Sebagai keturunan Madura yang masih kental dengan tradisinya walaupun ada di luar Madura juga melaksanakan tradisi yang sama yaitu otok-otok. Manusia merupakan makluk sosial yang berinteraksi dengan makluk sesamanya. Dalam kehidupan bermasyarakat perlunya interaksi tersebut guna menjalin suatu hubungan yang harmonis dengan individu yang lainnya. Interaksi merupakan sutu hubungan timbal balik dan respons antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dan kelompok.
Tok-otok merupakan suatu kegiatan berkumpul yang terdiri dari kelompok orang yang mengumpulkanuang secara teratur pada tiap-tiap
periode tertentu. Tok-otok beroperasi di luar ekonomi formal sebagai sistem lain untuk menyimpan uang, namun kegiatan ini juga dimaksudkan kegiatan pertemuan yang memiliki unsur “paksa” karena anggota diharuskan membayar dan datang setiap kali undangan akan dilaksanakan
Dalam tradisi Madura, otok-otok merupakan kegiatan yang besar.
Maksud dari kata besar disini adalah otok-otok merupakn kegiatan yang serupa arisan dengan serangkaian acara yang didatangi atau yang dihadiri oleh seluruh etnis Madura yang tergabung dalam kegiatan tersebut.Acara tok-otok ini selalu diiringi dengan musik, baik berupa musik lokal maupun non lokal. Warga yang menghadiri acara tok-otok ini merupakn warga asli Madura baik yang tinggal dan menetap di Madura atau ditempat perantauan, seperti di Surabaya yang sudah lama.Baik yang tua maupun yang muda, yang laki-laki namun terkadana wanita juga terut andil dalam kegiatan ini.
2.2.4 Konsep Akuntansi Syariah
Sumber utama pengembangan teori akuntansi dalam akuntansi syariah yaitu Al-Quran dan Al-Hadist. Prinsip akuntansinya harus mengacu pada nilai-nilai yang terkandung pada kedua sumber hukum tersebut. Jika ada praktik akuntansi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung pada Al-Quran dan Al-Hadist maka harus dihilangkan atau diganti dengan yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadist. Sebagai contoh yaitu praktik
riba, yang mana islam melarang keras adanya praktik riba, sehingga dalam akuntansi syariah harus diganti yaitu dengan sistem bagi hasil (Indriasih, 2010).
Akuntansi syariah menurut Napier, (2006) adalah bidang akuntansi yang menekankan kepada dua hal, yakni akuntabilitas dan pelaporan.
Akuntabilitas tercermin dari tauhid, yaitu dengan menjalankan segala aktivitas ekonomi sesuai dengan ketentuan Allah. Sedang pelaporan adalah bentuk pertanggungjawaban kepada Allah dan manusia.
PSAK 101 mengatur tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
PSAK 101 adalah penyempurnaan dari PSAK 59 : Akuntansi Perbankan Syariah (2002) yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan laporan keuangan bank Syariah. PSAK 101 mengenai Penyajian Laporan Keuangan Syariah ini mempunyai motivasi untuk mengatur tujuan umum laporan keuangan untuk entitas Syariah.
Tujuan PSAK 101 ini untuk mengatur penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) untuk entitas syariah yang selanjutnya disebut “laporan keuangan”, agar bisa dibandingkan baik dengan laporan keuangan entitas syariah periode sebelumnya ataupun dengan laporan keuangan entitas syariah lain. PSAK 101 ini hanya ditujukan untuk entitas syariah yang menjalankan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Praktik akuntansi syariah secara konseptual hadir untuk memberikan solusi atas permasalahan transaksi konvensional yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islam. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Apriyanti, (2018) apabila aspek-aspek akuntansi konvensional tidak dapat digunakan oleh lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip islami, baik dari implikasi akuntansi ataupun karena ekonomi. Solusi dari masalah yang ada telah dimuat dalam Al-Quran yang digunakan sebagai pegangan hidup untuk ummat muslim. Hal tersebut tentu tidak sama dengan jawaban dari solusi akuntansi konvensioanal yang didapatkan dari cara yang cerdas atau nalar yang sehat.
Fajarwati & Sambodo (2010) menyatakan bahwa dalam pencatatatan aktivitas keuangan yang disamakan dengan semangat islam adalah pencatatan transaksi yang digunakan oleh petugas pencatat transaksi yang terlepas dari pengaruh negatif aktivitas keuangan. Melalui surat al-Baqarah ayat 282, Allah SWT memerintahkan secara jelas bahwa pentingnya pencatatan dan akuntansi (proses akuntansi) sebagai bukti transaksi (Rahman et al., 2019). Berdasarkan surat Al-Baqarah 282, akuntansi dalam islam memiliki konsep keadilan, kejujuran, dan pertanggungjawaban (Komala, 2017). Konsep keadilan pada hal akuntansi memiliki dua artian, yaitu yang berhubungan dengan praktek moral dan yang sifatnya fundamental yang berdasar pada nilai-nilai syariah.
Pada konsep arisan, hal ini juga sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), arisan adalah aktivitas pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh sekelompok orang selanjutnya dilakukan pengundian antar kelompok itu guna mengetahui siapa yang mendapatkannya, undian dilakukan pada sebuah pertemuan secara bertahap sampai seluruh pihak mendapatkannya. Arisan juga dapat disebut sebagai sebuah perkumpulan untuk tujuan sosial dan ekonomi, apabila dipandang dari sifat arisan yang merupakan wadah untuk mendapatkan dana dan kemudian dana yang dia dapatkan dikembalikan, pola tersebut hampir sama dengan siklus hutang-piutang. Sebab jika di awal ada anggota mendapatkan arisan itu artinya dia berhutang dan yang di akhir di akhir mendapatkan maka dia yang memberikan piutang.
Pada konsep fiqih muamalah, arisan disebut sebagai pinjam-meminjam (al-qardh). Dalam Islam umumnya ciri utama dari praktik pinjam meminjam didasari oleh konsep ta'awun (gotong royong), yaitu tolong- menolong untuk membantu orang yang membutuhkan (Zainol et al., 2016).
Dengan kata lain, fungsi pinjaman ini untuk memperkuat hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Zainol et al., (2016) menyatakan bahwa pada akad pinjam-meminjam atau qardh, orang yang meminjam mendapat hak mutlak atas barang-barang yang dipinjamkan dan terikat pada perikatan untuk mengembalikan barang-barang sejenis dalam jumlah yang sama.
Dalam akuntansi syariah pada utang piutang diwajibkan untuk menuliskan atau mencatat setiap transaksinya. Sebagaimana hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut :
اَهُّيَآٰ ي ََنْيِذَّلا ا ْٰٓوُنَم ا اَذِا َْمُتْنَياَدَت َ نْيَدِب ىٰٓ لِا َ لَجَا ىًّمَسُّم َ ُه ْوُبُتْكاَف َْبُتْكَيْل َو َْمُكَنْيَّب َ بِتاَك َ ِلْدَعْلاِب ََل َو ََبْأَي َ بِتاَك َْنَا
ََبُتْكَّي اَمَك َُهَمَّلَع َُٰاللّ َ ْبُتْكَيْلَف َِلِلْمُيْل َو َْيِذَّلا َِهْيَلَع َُّقَحْلا َِقَّتَيْل َو ََٰاللّ َ هَّب َر ََل َو َْسَخْبَي َُهْنِم َ اَ ـْيَش َْنِاَف ََناَك َْيِذَّلا
َِهْيَلَع َُّقَحْلا اًهْيِفَس َْوَا اًفْيِعَض َْوَا ََل َُعْيِطَتْسَي َْنَا ََّلِمُّي ََوُه َْلِلْمُيْلَف َ هُّيِل َو َ ِلْدَعْلاِب ا ْوُدِهْشَتْسا َو َِنْيَدْيِهَش َْنِم
َ ْمُكِلاَج ِِّر َْنِاَف َْمَّل اَن ْوُكَي َِنْيَلُج َر َ لُج َرَف َِن تَا َرْما َّو َْنَّمِم ََن ْوَض ْرَت ََنِم َِءاََۤدَهُّشلا َْنَا ََّل ِضَت اَمُهى دْحِا ََرِِّكَذُتَف اَمُهى دْحِا
َ ى رْخُ ْلا ََل َو ََبْأَي َُءاََۤدَهُّشلا اَذِا اَم ا ْوُعُد َ ۗ ََل َو ا ْٰٓوُمَٔـْسَت َْنَا َُه ْوُبُتْكَت ا ًرْيِغَص َْوَا ا ًرْيِبَك ىٰٓ لِا َ هِلَجَا َْمُكِل ذ َُطَسْقَا
ََدْنِع َِٰاللّ َُم َوْقَا َو َِةَداَهَّشلِل َٰٓى نْدَا َو ََّلَا ا ْٰٓوُباَت ْرَت ََّٰٓلِا َْنَا ََن ْوُكَت ًَة َراَجِت ًَة َر ِضاَح اَهَن ْوُرْيِدُت َْمُكَنْيَب ََسْيَلَف َْمُكْيَلَع َ حاَنُج
ََّلَا َ اَه ْوُبُتْكَت ا ْٰٓوُدِهْشَا َو اَذِا َْمُتْعَياَبَت َ ۗ ََل َو ََّرَۤاََضُي َ بِتاَك ََل َّو َ دْيِهَش ە َْنِا َو ا ْوُلَعْفَت َ هَّنِاَف َ ق ْوُسُف َْمُكِب َ ۗ اوُقَّتا َو ََٰاللّ
َ ۗ َُمُكُمِِّلَعُي َو َُٰاللّ َ ۗ َُٰاللّ َو َِِّلُكِب َ ءْيَش َ مْيِلَع Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.".
(Departemen Agama Republik Indonesia, 2010).
Surat Al-Baqarah ayat 282 diawali dengan seruan Allah SWT. Kepada mereka yang mengaku percaya beriman; Wahai orang-orang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Seruan ayat ini adalah untuk orang-orang yang beriman, tetapi kata mereka ini adalah orang-orang yang melakukan transaksi hutang piutang, lebih khusus lagi yaitu untuk mereka yang berhutang. Hal ini untuk membuat orang yang memberikan pinjaman merasa lebih tenang
dengan penulisan itu serta tidak mengandung adanya riba (Al-Sabuny, n.d.).
Sebab perintah menulis ini adalah sesuatu yang sangat dianjurkan meskipun kreditur tidak memintanya. Tulisan tersebut memiliki fungsi sangat penting dan berguna untuk melindungi hak-hak apabila terdapat saksi yang meninggal dunia. Karena hanya tulisan itulah yang dapat menjadi bukti ketika tidak ada lagi yang mendukung dan mengetahui permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, tulisan itu menjadi sumber rujukan dan pegangan yang berlaku.
Ayat ini menerangkan bahwa idealnya ketika transaksi dilakukan harus dicatat agar terdapat bukti yang otentik yang menjadi pegangan diantara pihak yang bertransaksi. Di zaman sekarang ini, banyak terjadi permasalahan karena tidak adanya bukti tertulis, yang dimungkinkan karena ada keuntungan di satu pihak dan kerugian di pihak lainnya.
2.2.5 Konsep Riba 1. Pengertian Riba
Riba secara etimologi berarti ziyadah (tambahan). Secara bahasa, riba berarti tumbuh dan besar (Antonio, 1999). Dari segi terminologi, ada beberapa pengertian tentang berbagai jenis menurut para ulama, antara lain:
a. Riba qiradh merupakan suatu manfaat atau kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap orang yang berhutang (kreditur).
b. Riba jahiliyah merupakan utang yang dibayar lebih dari modal awal sebab orang yang mempunyai utang memiliki ketidakmampuan membayar dalam waktu yang sudah ditetapkan.
c. Riba fadhl merupakan pertukaran barang sejenis dengan ukuran yang berbeda, tetapi barang yang dipertukarkan tergolong jenis ribawi.
d. Riba nasi’ah merupakan penundaan penyerahan barang ribawi. Hal tersebut terjadi sebab adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan pada saat jatuh tempo dengan yang diserahkan setelahnya (Siah Khosyi’ah, 2014)
Riba erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana pada perbankan konvensional banyak dijumpai transaksi dengan konsep bunga, lain halnya dengan perbankan berbasis syariah yang menggunakan prinsip bagi hasil (mudharabah) dengan diterbitkannya undang-undang perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1992 (Chair, 2014). Prinsip Mudharabah yaitu penyerahan modal uang kepada orang yang melakukan usaha untuk mendapatkan persentase keuntungan (Oktavia, 2014).
2. Dasar Hukum Riba
Riba adalah perjanjian sebagian, dan secara psikologis riba memaksa pihak tersebut untuk menerima suatu kesepakatan yang tidak berdasarkan kerelaan. Al-Qur’an menyebutkan riba dalam empat bidang. Setiap kelompok ayat dihubungkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudah,
sehingga konteks dan pesannya dapat dipahami sepenuhnya dan dapat ditumkan riba secara utuh dan sesuai dengan pesan Al-Qur’an terkait dengan praktik bunga pada industri perbankan. Riba sebagai suatu bentuk kegiatan ekonomi yang dilarang, Al-Qur’an menyebutkan sebanyak delapan kali diantaranya pada surat Ar-Rum, surat An-Nisa, surat Ali Imran, masing-masing satu kali dan lima kali pada surat Al-Baqarah, yaitu pada ayat 275, 276, dan 278. Salah satu dalil Al-Qur’an yang mengaharamkan riba yaitu Surah Al-Baqarah ayat 275 yang artinya :
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”