• Tidak ada hasil yang ditemukan

Page 3 of 66 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Tafsir Era Modern Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 66 hlm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Page 3 of 66 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Tafsir Era Modern Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 66 hlm"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Tafsir Era Modern

Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 66 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku Tafsir Era Modern Penulis Ahmad Sarwat, Lc. MA

Editor Fatih Setting & Lay out Fayyad & Fawwaz Desain Cover Faqih Penerbit Rumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan

Setiabudi Jakarta Selatan 12940

(4)

Daftar Isi

Daftar Isi ... 4

Muqaddimah : Tafsir Modern ... 7

A. Tafsir Ibnu Asyur... 10

1. Tentang Penulis ... 10

2. Profil Tafsir ... 11

3. Metode Penafsiran ... 13

4. Langkah Teknis ... 14

5. Contoh Penafsiran Ibnu ‘Asyur ... 15

6. Kelebihan dan KekuranganTafsir Karya Ibnu ‘Asyur ... 21

7. Kontribusi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam Pengembangan Tafsir ... 22

8. Kesimpulan ... 22

B. Tafsir Al-Maraghi ... 24

1. Tentang Penulis ... 24

2. Profil Tafsir ... 25

3. Latar Belakang Penulisan Tafsir ... 26

4. Metode Penafsiran ... 28

a. Segi Sumber Tafsirnya ... 28

b. Segi Cara Penjelasannya ... 30

c. Segi Keluasannya Penjelasannya ... 30

d. Segi Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan30 e. Corak Penafsiran ... 31

f. Sistematika Penafsiran ... 31

(5)

C. Tafsir Al-Munir Wahbah Az-Zuhailli ... 32

1. Tentang Penulis ... 32

2. Profil Tafsir ... 33

2. Metode (Manhaj) ... 35

3. Corak Penafsiran ... 37

4. Karakterestik Tafsir al-Munir ... 37

5. Keistimewaan Tafsir al-Munir... 38

6. Sumber-sumber Penulisan Tafsir al-Munir ... 39

D. Tafsir Rawaiul Bayan ... 41

1. Tentang Penulis ... 41

2. Tentang Kitab Tafsirnya ... 42

E. Shafwatut Tafasir ... 47

1. Sumber Penafsiran ... 48

2. Kaya Sambutan ... 48

3. Metode Penyajian ... 48

F. Tafsir Asy-Sya'rawi ... 50

1. Tentang Penulis ... 50

2. Profil Tafsir ... 51

a. Sumber Tafsir Sya’rawi ... 52

b. Metode Tafsir ... 52

c. Dari Segi Keluasan Penjelasan Tafsir ... 53

3. Kelebihan dan Kekurngan ... 53

a. Keistimewaan tafsir al-Sya’rāwi... 53

b. Kekurangan tafsir al-Sya’rāwi ... 54

G. Tafsir Muhammad Abu Zahrah ... 56

1. Tentang Penulis ... 56

2. Profil Tafsir ... 57

3. Kelebihan dan kekurangannya ... 62

(6)

H. Asy-Syinqithi : Adhwaul Bayan ... 64 1. Tentang Penulis ... 64 2. Profil Tafsir ... 64

(7)

Muqaddimah : Tafsir Modern

Istilah tafsir modern sekedar penyebutan yang mudah dan sederhana, untuk membedakannya dengan kitab-kitab tafsir klasik yang ditulis para ulama di masa lalu.

Keberadaan tafsir modern ini ini sebenarnya tidak terlalu ketat dalam pembagian waktunya. Bisa saja tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha bisa dimasukkan ke dalam jajaran tafsir modern, meski pun penulis cenderung tidak memasukkannya dengan beberapa pertimbangan, yaitu biar tidak tercampur dengan tulisan sebelumnya terkait dengan genre tafsir adabi ijtima’i.

Setidaknya yang juga jadi pertimbangan penulis bahwa tafsir Al-Manar sudah pernah membahas kitab tersebut sebelumnya. Sehingga tidak perlu lagi rasanya untuk diulang lagi di tulisan ini.

Sedangkan tafsir Ibnu Asyur justru dimasukkan dalam tulisan ini, selain karena belum pernah dibahas sebelumnya, juga masa hidup Ibnu Asyur yang lebih mendekat ke zaman kita. Ibnu Asyur memang dilahirkan pada tahun 1879 (1296 H), namun usia beliau cukup panjang. Dalam catatan sejarah beliau wafat pada di tahun 1973 (1393 H).

Salah satu ciri yang utama dari tafsir modern adalah sistematikanya yang umumnya sudah jauh

(8)

lebih lengkap. Umumnya untuk setiap unsur penafsiran, juga disematkan sub judul tersendiri, sehingga memudahkan para pembaca untuk menelaahnya.

Selain itu di dalam tafsir modern juga bisa disebutkan banyak sekali rujukan kepada kitab-kitab tafsir klasik yang pernah ditulis sebelumnya. Ini adalah keuntungan kita membaca tafsir modern, yaitu kita juga bisa sekaigus berkenalan dengan kitab-kitab tafsir klasik.

Keuntungan yang lain dalam membaca tafsir modern adalah bahasa yang cenderung lebih akrab di telinga kita yang menguasai bahasa Arab modern.

Bahkan juga apabila penyusun tafsirnya memberi contoh, maka contoh itu akan sangat dekat dengan kehidupan kita. Sebab para penyusunnya banyak yang masih hidup bersama kita beberap tahun yang lalu.

Tentu saja yang tidak akan pernah kita temukan di kitab-kitab tafsir klasik adalah foto wajah para penulisnya. Kitab tafsir modern tentu saja bisa mencantumkan foto penyusunnya. Meski pun tidak terlalu penting, namun biar bagaimana pun foto diri bisa membantu membangun hubungan lebih erat antara penulis dan pembacanya.

Dalam tulisan ini, Penulis sengaja membatasi hanya pada 8 kitab tafsir modern saja, di luar yang berbahasa Indonesia, karena untuk tafsir modern berbahasa Indonesia ada tulisan tersendiri.

Ketujuh kitab tafsir modern itu adalah : 1. Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir : Ibnu Asyur

(9)

2. Tafsir Al-Maraghi : Ahmad Mustafa Al- Maraghi

3. Tafsir Tafsir Al-Munir : Wahbah Az-Zuhaili 4. Tafsir Rawai’ul Bayan : Muhammad Ali Ash-

Shabuni

5. Shafwatu At-Tafasir : Muhammad Ali Ash- Shabuni

6. Tafsir Asy-Sya’rawi : Syeikh Mutawalli Asy- Sya’rawi

7. Zahratu At-Tafasir : Syeikh Abu Zahrah 8. Adhwaul Bayan : Syeikh Amin Asy-Syinqithi

(10)

A. Tafsir Ibnu Asyur

1. Tentang Penulis

Nama lengkap beliau adalah Muḥammad al- Thahir ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Thahir ibn Asyur al-Tanisiy. Beliau lahir pada tahun 1879 masehi bertepatan dengan 1296 hijriyah, dan wafat pada tanggal 13 Rajab tahun 1973 masehi bertepatan dengan tahun 1393 hijriyah di Tunisia.

Ibnu ‘Asyur termasuk ulama yang sangat produktif. Terbukti dengan karya-karya yang beliau

(11)

tulis dari berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, maqasid al-Syarī’ah, fiqh, ushul fiqh, dan lain sebagainya.

Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muḥammad al-Khadr Ḥusain al-Tunisiy yang menempati kedudukan Masyayikhat al-Azhar (Imam Besar al-Azhar). Pada akhirnya Muḥammad al-Khadr ditakdirkan oleh Allah menjadi mufti Mesir, sedangkan Ibnu ‘Asyur sendiri menjadi Syeikh Besar Islam di Tunisia. Sebelum menjadi Syekh Besar, beliau pernah mendapat kepercayaan menjadi Qadhiy (hakim) di Tunisia yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan (mufti) di negara tersebut.1

2. Profil Tafsir

Kitab tafsir milik Ibn ‘Asyur bernama al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (Taḥrīr al-Ma’na al-Syadīd wa Tanwīr al-

‘Aql al-Jadīd fi Tafsīr al-Qur’an al-Majīd).

Secara tegas, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa

1 Munī’ ibn ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmud, Manāhij al-Mufassirīn, (Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 2000), hal. 333-334.

(12)

penulisan karyanya itu merupakan puncak keinginannya untuk menulis sebuah karya tafsir yang mengandung kemaslahatan dalam hal duniawi maupun agama, serta mengandung sisi kebenaran yang kuat, yang mencakup ilmu-ilmu secara komperehensif, serta mengungkap sisi kebalaghahan al-Qur’an untuk menjelaskan percikan ilmu dan istinbat hukum darinya. Dan juga menjelaskan akhlak-akhlak yang mulia darinya.

Ibnu ‘Asyur dalam menulis karyanya banyak merujuk kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, al-Muḥarrar al-Wajīz karya Ibnu ‘Atiyyah, Mafatiḥ al-Ghaib karya Fakhruddin al- Razi, Tafsīr al-Baidhawi, Tafsīr al-Alusiy, serta komentar at-Thībiy’, al-Qazwiniy, al-Qutbh, dan at- Taftazaniy terhadap al-Kasysyaf beserta kitab-kitab tafsir lainnya.

Namun yang paling banyak ia kutip adalah kitab al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat dengan apa yang dikemukakan Zamakhsyari dalam kitabnya. Oleh karena itu, dalam kitab tafsir ini banyak dijumpai penjelasan-penjelasan tafsir dari sisi linguistiknya yang merujuk Tafsīr al-Kasysyaf.

Dalam pengantarnya, Ibnu ‘Asyur menyatakan,

“Dalam tafsir yang saya tulis ini, saya fokuskan pada penjelasan tentang berbagai macam kemukjizatan al-Qur’an serta mengungkap kelembutan sisi balagahah bahasa Arab dan uslub-uslub penggunaaannya. Dan juga saya menjelaskan hubungan ketersambungan antara satu ayat dengan yang lain.”

(13)

Selanjutnya, Ibnu ‘Asyur membagi muqaddimahnya hingga panjang lebar ke dalam sepuluh bagian. Secara keseluruhan pengantarnya berisi tentang landasan pemikiran Ibnu ‘Asyur tentang ilmu al-Qur’an. Kesepuluh muqaddimah tersebut antara lain,

1. Muqaddimah pertama membahas Tafsīr dan Ta’wīl,

2. muqaddimah kedua pembahasan tentang ilmu bantu tafsir,

3. muqaddimah ketiga mengenai keabsahan tafsir selain bi al-ma’tsur, sekaligus makna tafsīr bi al-ra’yi,

4. muqaddimah keempat mengenai tujuan tafsir,

5. muqaddimah kelima tentang asbab al-nuzul, 6. muqaddimah keenam tentang qira’at,

7. muqaddimah ketujuh mengenai kisah-kisah dalam al-Qur’an,

8. muqaddimah kedelapan tentang sesuatu yang berhubungan dengan nama-nama al-Qur’an beserta ayat-ayat dan surat-suratnya serta tartib surat,

9. muqaddimah kesembilan tentang makna global al-Qur’an,

10. muqaddimah kesepuluh tentang i’jaz al- Qur’an.

3. Metode Penafsiran

Tafsir Ibnu ‘Asyur ini, menggunakan metode

(14)

taḥliliy dengan kecenderungan tafsir bi al-ra’yi.

Dikatakan menggunakan metode taḥliliy karena Ibnu

‘Asyur dalam menulis tafsirnya menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertera dalam mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata dengan sangat detail mengenai makna kata, kedudukan, uslub bahasa Arabnya serta aspek-aspek lainnya yang sangat luas, misalnya ketika menjelaskan lafaz (لله دمحلا) dalam surat al-Fatihah, ia menghabiskan empat belas halaman dengan penjelasannya yang sangat rinci dan meluas.

Selanjutnya, dikatakan memiliki kecenderungan tafsir bi al-ra’yi, karena Ibnu ‘Asyur dalam menjelaskan uraian tafsirnya banyak menggunakan logika, yakni logika kebahasaan. Selain itu, secara eksplisit, ia mengatakan bahwa dalam menulis tafsirnya, Ibnu ‘Asyur ingin mengungkap sisi kebalagahan al- Qur’an. Sedangkan corak penafsiran tafsir ini merupakan tafsir Adab al-Ijtima’i, yakni karya tafsir yang mengungkap ketinggian bahasa al- Qur’an serta mendialogkannya dengan realitas sosial kemasyarakatan.

4. Langkah Teknis

Adapun metode teknis atau langkah-langkah penulisan tafsir yang ditempuh oleh Ibnu ‘Asyur ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Menjelaskan nama, jumlah, serta spesifikasi makkiy-madaniy sebuah surat. Dalam menjelaskan nama surat, Ibnu ‘Asyur biasanya merujuk pada sebuah hadis, perkataan sahabat, tabiin, atau beberapa mufassir klasik seperti al-Qurtubi, al-

(15)

Suyuthi, dan lain sebagainya. Misalnya ketika menjelaskan surat nama surat al-Zumar, Ibnu

‘Asyur,mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dari ‘Aisyah.

ِّمُ س

ِِّّْدَقَ فِّ،َمَّلَسَوِّمهْيَلَعِّ اللهِّىَّلَصِّمء مبَِّنلاِّمدْهَعِّْنممِّمرَمُّزلاَِّةَرو سِّْتَي

ِِّّمهْيَلَعِّ اللهِّىَّلَصِّ مبَِّنلاَِّناَكِّ:ْتَلاَقَِّةَشمئاَعِّْنَعُِّّيمذممْمُتّلاِّىَوَر

َِّليمئاَرْسمإِّ منَِبَوَِّرَمُّزلاَِّأَرْقَ يِّ َّتََّحِّ ماَنَ يِّ َلََِّمَّلَسَو

.

2. Menguraikan tujuan-tujuan al-Qur’an yang terdapat dalam sebuah surat. Ibnu ‘Asyur, di setiap awal penjelasan surat dalam tafsirnya menguraikan tujuan-tujuan yang terkandung dalam sebuah surat tersebut.

3. Mengemukakan asbab al-nuzul ayat. Setelah menjelasakan nama surat dan hal-hal yang berkaitan dengannya, Ibnu ‘Asyur, mengungkap asbab al-nuzul untuk ayat-ayat yang memang memiliki asbab al- nuzul. Dalam menjelaskan asbab al-nuzul ini, Ibnu

‘Asyur, adakalanya mengutip sebuah hadis dari Nabi atau kisah yang disampaikan oleh para sahabat.

4. Menganalisis makna serta kedudukan kata dalam bahasa Arab. Analisis kata per kata dan menjelaskan ketinggian nilai bahasa al-Qur’an adalah metode yang paling sering digunakan oleh Ibnu

‘Asyur, dalam tafsirnya. Bahkan di setiap menjelaskan suatu ayat, Ibnu ‘Asyur, tidak lepas dari analisis kata yang merupakan ciri khas dari tafsirnya.

5. Contoh Penafsiran Ibnu ‘Asyur

(16)

ِّْرمذْنَأَفِّْم قِّ، رمُثَّد مْلاِّاَهُّ يَأَِّيَ

.

ِّْصَومبَِّمَّلَسَوِّمهْيَلَعِّ اللهِّىَّلَصِّ ء مبَِّنلاَِّيمدو ن

ٍِِّّةَّصاَخٍِّةَلاَحِّ مفِِّمهمف

َِِّّْينَبَِّكَلَمْلاِّىَأَرِّاَّمَلِّ هَّنَأَِّيمهَوِّ.مةَروُّسلاِّملو ز نَِّينمحِّاَمبَِِّسَّبَلَ ت

ِّ: َلاَقَ فَِّةَيجمدَخِّ َلَمإَِّعَجَرَ فِّمهمتَيْؤ رِّْنممَِّقمرَفِّمضْرَْلْاَوِّمءاَمَّسلا

َِّزِّ:َلاَقِّْوَأِّ، منِو لمُمَزِّ:َلاَقِّْوَأِّ، منِو رمُثَدِّ منِو رمُثَد

ِِّّ، منِو رمُثَدَفِّ منِو لمُم

ِّ: ْتَلَزَ نَ فِّ هْتَرَّ ثَدَفِّرمهاَظِّاَهَ نْ يَ بِّ عْمَْلْاَوِّ،متَيَاَومُرلاِّ مف َلَمتْخاِّىَلَع

ِِّّ لمُمَّز مْلاِّاَهُّ يَأَِّيَِّ: َلَاَعَ تِّمهملْوَ قَِّدْنمعِّىَضَمِّْدَقَو. رمُثَّد مْلاِّاَهُّ يَأَِّيَ

ِّ: لمُمَّز مْلا[

۱ اَِّنممِّمءاَدمُنلاِّاَذَهِّ مفِِّاَم ِّ]

ِّمفُّطَلَّتلاَوِّمةَممرْكَّتل

.

ِّ ه لْصَأَف ِّ،َرَثَمُدلا َِّسمبَلِّاَذمإِّ،َرَّ ثَدَتِّْنممٍِّلمعاَفِّ مْساِّ: رمُثَّد مْلاو

َِِّّعَقَوِّاَمَكِّمقْطُّنلاِّ مفِِّاَمممبِ راَقَ تملِّ ملاَّدلاِّ مفِِّ ءاَّتلاِّ متَممغْد أِّ رمُثَدَت مْلا ىَعَّداِّملْعمفِّ مفِ

. [13]

Penafsiran Ibnu ‘Asyur tentang surat al- Muddatstsir ayat 1-2, Penafsiran beliau yaitu “Allah memanggil Nabi Muḥammad dengan suatu sifat yang khusus baginya yang berada di langit dan bumi, kemudian malaikat merukyah Nabi, dan kemudian Nabi pulang menemui Khajidah dengan gemetar dan Nabi berkata: datsiruni-datsiruni, atau zammiluni.

Ada yang mengatakan zammiluni fadatstsiruni, pada perbedaan riwayat yaitu panggilan yang mulia untuk Nabi Muhammad SAW.

Al-mudatsir menjadi isim fa’il dari kata

(17)

tadatstsara yang berarti apabila memakai selimut.

Asal kata al-mudatsir adalah al-mutadatstsiru dengan mengidzghamkan atau menghilangkan huruf ta’, yang menunujukkan kedekatak antara huruf ta’ dan huruf dzal, serta mempermudah dalam pengucapan lafal.

Dalam penafsiran beliau pada surat Al- Muddatstsir 1-2 yaitu beliau menyebutkan asbabun nuzulnya sebelu menafsirkan ayat, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kata perkata yaitu lafal ayat-ayat dalam surat tersebut secara panjang lebar. Di dalam panafsirannya tersebut juga terdapat munasabah surat, yakni surat al-Muddatstsir dengan surat al-Muzzammil dimana awal kedua surat tersebut terdapat nida’ yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw.

َِّينمقَّت مْلملًِّىد هِّمهيمفَِّبْيَرِّ َلَِّ باتمكْلاَِّكملذ

.

َِّعَوِّ.اًَبََخِّ)باتكْلا(ِّوِّأدَتْ ب مِّةَراَشمْلْاِّ مْساَو

ِِّّ نو كَتِّمرَهْظَْلْاِّىَل

ِِّّأدَتْ ب مِّةَراَشمْلْاِّ مْساَوٍِّذمئَمْوَ يِّْممهْيَدَلِّ مفو رْعَمْلاِّمنآْر قْلاِّ َلَمإِّ ةَراَشمْلْا

ِِّّ) مباَتمكْلا(ِّ َلَمإِّ ةَراَشمْلْاَفِّ، هَدْعَ بِّاَمِّ ه َبََخَوِّلَدَبِّ)باتكْلا(ِّو

َِّلَعِّ ةَممُدَقَ ت مْلاِّ رَوُّسلاَِّيمهَوِّملْعمفْلمبِِّملمزاَّنلا

َِِّّّل كَِّّنَملِّْمةَرَقَ بْلاِّمةَرو سِّى

ِِّّاَمِّمهْيَلمإُِّّمَضْنَ يَوِّ نآْر قْلاِّ هَّنَمبِِّ هْنَعِّ َّبََع مْلاَِّو هَ فِّمنآْر قْلاَِّنممِّْلَزَ نِّاَم

ًِّةَقيمقَحَِّقملْط أِّمهْجَوْلاِّاَذَهِّىَلَعِّ) باَتمكْلا(ِّ نو كَيَ فِّ،مهمبِّ قَحْلَ ي

َِّ قِّ نو كَيَوِّ،ملْعمفْلمبَِِّبمت كِّاَمِّىَلَع

ِِّّمهْجَوْلاِّاَذَهِّىَلَعِّ)مباَتمكْلا(ِّ ه لْو

(18)

ِِّّمعيمَجَِّ َلَمإِّ ةَراَشمْلْاَِّنو كَتِّْنَأِّ زو َيجَوِّ،مةَراَشمْلْاِّممْساِّمنَعِّاًَبََخ

ِّرمضاَحَِّو هَ فِّبَّقََتّ مِّ هَلو ز نَِّّنَملِّْ لمزْنَ يَسِّاَمَوِّ هْنممَِّلَزَ نِّاَمِّمنآْر قْلا

ِّمفِِّمرمضاَْلْمبَِِّهَّبَشَفِّمناَهْذَْلْاِّ مفِ

ِِّّمدْهَعْلملِّمهيمفِّ فيمرْعَّ تلاَفِّ،َناَيمعْلاِّ

ِِّّ ه لْوَ ق ِّ نو كَيَ ف ِّمُيمريمدْقَّ تلا ِّمرو ض حْلمل ِّمهْيَلمإ ِّ ةَراَشمْلْاَو ِّمُيمريمدْقَّ تلا

َِِّّبْيَرِّ َلََِّو هِّ َبََْلْاَوَِّكملذِّْنممًِّنًاَيَ بِّْوَأِّ ًلََدَبٍِّذمئَنيمحِّ)َباَتمكْلا(

ِّمهيمف

.

Penafsiran Ibnu ‘Asyur dalam awal surat al- Baqarah dijelaskan secara panjang lebar tentang lafal al-kitab. Pada penafsiran tersebut dijelaskan isim isyarah ( كِلذ) menjadi mubtada’ sedangkan khabarnya adalah lafal al-kitab dan setrusnya lafal al-kitab dijelaskan secara panjang lebar baik dari segi bahasa maupun sastra yang menjadi ciri khas tafsirnya.

ِِّّمَّللَّاِّمْيَْغملِّمهمبَِّّلمه أِّاَمَوِّمريمزْنمْلْاَِّمَْلَْوَِّمَّدلاَوَِّةَتْ يَمْلاِّ م كْيَلَعَِّمَّرَحِّاََّنَّمإ

ِّ فَغََِّّللَّاَِّّنمإِّمهْيَلَعَِّْثْمإِّ َلََفٍِّداَعِّ َلََوٍِّغَبَِِّْيَْغَِّّر طْضاِّمنَمَف ميمحَرِّرو

.

ِّمرْعَّشلاِّمهْبمشَكِّمهمرمهاَظٍِّةَه مجِّْنممِّهْبمشِّ هَلَ فِّمةَتْ يَمْلاِّ دْلمجِّاَّمَأَو

ِِّّمنْيَذَهِّمض راَعَ تملَوِّ،ممْحَّللاِّمهْبمشَكِّمهمنمطَبِِّمةَه مجِّْنممَوِّ، مفوُّصلاَو (ِّمةَتْ يَمْلاِّمدْلممبِِّمعاَفمتْن ملَاِّ مفِِّ ءاَهَق فْلاَِّفَلَ تْخاِّمْينَهْ بمُشلا ۱

ِِّّ)

ِِّّاَذ ِّمإ

ِِّّ،مغْبَّدلمبِِّمةَتْ يَمْلاِّ دْلمجِّ ر هْطَيِّ َلَِّ:ٍلَبْ نَحِّنْباِّ دَْحَْأَِّلاَقَ فَِّغمب د

ِّمريمزْنمْلْاَِّدْل مجِّاَدَعِّاَمِّمغْبَّدلمبِِّ ر هْطَيِّ:ُّيمعمفاَّشلاَوَِّةَفيمنَحِّو بَأَِّلاَقَو

َِّقَْلَْأَوِّ،مُيمرْهُّزلاِّ َلَمإِّاَذَهَِّبمس نَوِّ،مْينَعْلاِّ مَّرَ مُِّ هَّنَملْ

ُِّّيمعمفاَّشلا ِِّّ

(19)

ِِّّمدْلمْلْاِّ رمهاَظِّ ر هْطَيِّكملاَمَِّلاَقَوِّ،مريمزْنمْلْاِّمدْلممبِِّ مبْلَكْلاَِّدْلمج

ِِّّ َلََفِّ ه نمطَبِِّاَّمَأَوِّ، ه رمواَ يجِّاَمِّ ه لمخاَد يِّ َلَِّاًبْل صِّ يْمصَيِّ هَّنَملِّْمغْبَّدلمبِ

ِّْلمجِّ لاَمْعمتْساِّ زو َيجِّ:َلاَقَِّكملَذملَوِّمغْبَّدلمبِِّ ر هْطَي

ِِّّمغو بْدَمْلاِّمةَتْ يَمْلاِّمد

ِِّّ لْوَ قَوِّ،مهْيَلَعِّْوَأِّمهمبِّىَّلَص يِّْنَأَِّعَنَمَوِّ،مهيمفِّمءاَمْلاِّمعْضَوِّمْيَْغِّ مفِ

ِِّّمهْيَلَعِّ اللهِّىَّلَصَِّء مبَِّنلاَِّّنَأِّمحيمحَّصلاِّ مثيمدَحْلملِّ حَجْرَأَِّةَفيمنَحِّ مبَِأ

ِّ أَِّةَنو مْيَمملِّْتَناَكًِّةَتْ يَمًِّةاَشِّىَأَرَِّمَّلَسَو

ِِّّ َّلََه«َِّلاَقَ فَِّينمنممْؤ مْلاِّمُم

ِّمهمبِّْم تْعَفَ تْ ناَفِّ هو م تْغَ بَدَفِّاََبِاَهمإِّْ تُْذَخَأ

»

Ibnu ‘Asyur dinilai sebagai ulama yang objektif.

Meskipun ia menganut mazhab Maliki, ia tetap menekankan budaya objektivitas dalam karyanya.

Sebagaimana diungkap di awal bahwa salah satu ciri penafsiran kontemporer adalah penafsiran non- sektarian atau dengan kata lain seorang penafsir tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau kelompok tertentu. Ibnu ‘Asyur meskipun bermazhab Maliki, ia tetap berusaha objektif dalam karya tafsirnya.

Barangkali inilah salah satu kontribusi Ibnu ‘Asyur dalam pengembangan tafsir, bahwa seseorang penafsir sah-sah saja menganut suatu mazhab asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau suatu pandangan dari mazhab yang dianutnya serta selalu melakukan penelitian ulang dan memilih pendapat yang paling benar berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Salah satu sikap objektif yang ditunjukkan oleh

(20)

Ibnu ‘Asyur dalam karya tafsirnya adalah ketika beliau mentarjiḥ (mengunggulkan) mazhab yang berseberangann dengan mazhabnya sendiri.

Contohnya adalah ketika beliau menjelaskan kata ( ة تْي مْلا) dalam surat al-Baqarah ayat 173 di atas, setelah menjelaskan keharaman memakai bangkai binatang, Ibnu ‘Asyur masuk kepada penjelasan penggunaan kulit binatang. Ibnu ‘Asyur menguraikan pendapat keempat Imam mazhab yakni Hanbali, Syafi’iy, Hanafi dan Maliki.

Imam Aḥmad ibn Hanbal mengatakan bahwa kulit bangkai binatang tidak bisa suci meskipun disamak (dibersihkan dengan bahan pekat seperti daun pohon ara).

Imam Syafi’iy mengatakan bahwa kulit binatang bisa suci apabila dibersihkan (disamak) kecuali kulit babi dan anjing. Sedangkan Imam Abu Hanīfah mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal dibersihkan (disamak) kecuali daging babi. Pendapat Imam Abu Ḥanīfah ini disandarkan kepada sebuah hadis dari al-Zuhriy sedangkan yang lain tidak ada sandaran hadisnya.

Di akhir penjelasannya, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa pendapat yang paling kuat dari keempat mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abu Ḥanīfah karena disandarkan kepada sebuah riwayat hadis. Sedangkan pendapat yang lain tidak ada dalil hadisnya, termasuk Imam Maliki yang notabene dianut oleh Ibnu ‘Asyur.

Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu

‘Asyur dengan karya tafsirnya memberikan andil

(21)

yang cukup signifikan dalam hal objektifitas menafsirkan al-Qur’an. Jadi untuk bersikap objektif, seorang mufassir tidak perlu meninggalkan mazhab yang dianutnya akan tetapi sikap objektif itu bisa dicapai dengan ilmu yang memadai serta tekad yang kuat untuk mengungkap kebenaran al-Qur’an sebagaimana tercermin dari sikap Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya.

6. Kelebihan dan KekuranganTafsir Karya Ibnu

‘Asyur

Di antara kelebihan Kitab Tafsīr al-Taḥrīr wa al- Tanwīr adalah bahasan dari kata-kata al-Qur’an yang sangat luas dan terperinci. Pembahasan di dalamnya disesuaikan dengan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an. Apabila ayat tersebut berhubungan dengan ilmu fiqih, maka Ibnu ‘Asyur menjelaskan permasalahan fiqih beserta perbincangan ulama mengenainya.

Ibnu ‘Asyur dalam membahas masalah fiqih biasanya menguraikan semua pendapat ulama’ dan kemudian memilih yang paling kuat berdasarkan dalil yang ia ajukan. Selain itu, tafsir ini memiliki kelebihan dalam hal pembahasan tentang keindahan susunan bahasa al-Qur’an.

Ibnu ‘Asyur juga seringkali mengaitkan bahasannya dengan masalah akhlak. Hal ini menjadikan tafsir ini sebagai pedoman bagi manusia dalam berakhlak baik dengan Tuhan, manusia, serta makhluk hidup di sekitar kita.

Sedangkan kekurangan dari karya tafsir ini sama dengan karya tafsir dengan metode taḥliliy lainnya,

(22)

yakni terkesan bertele-tele. Penjelasannya terlalu melebar sehingga poin yang ingin disampaikan kadang sulit ditangkap.

Kitab ini sangat cocok untuk kalangan yang sudah memiliki ilmu pengetahuan yang cukup memadai untuk keperluan akademis. Untuk masyarakat awam, kitab ini akan terasa sulit dipahami dan tidak praktis karena penjelasannya terlalu luas.

Kekurangan lain dari tafsir karya Ibnu ‘Asyur adalah banyak kutipan-kutipan hadis yang tidak disertai dengan penyebutan kualitas hadis sehingga hadis-hadis yang dijadikan rujukan masih perlu dilihat kembali apakah hadis tersebut berkedudukan shaḥīḥ atau dla’īf dan lain sebagainya.

7. Kontribusi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam Pengembangan Tafsir

Jika ditilik dari perkembangan tafsir di era kontemporer, karya tafsir Ibnu ‘Asyur ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan gayanya yang khas, tafsir ini telah menyumbangkan beberapa pemikiran yang cukup inovatif.

Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam karyanya Epistemologi Tafsir Kontemporer, bahwa paradigma tafsir kontemporer meniscayakan kritisisme, objektivitas, dan keterbukaan bahwa produk penafsiran itu tidaklah kebal dari kritik.

8. Kesimpulan

Kitab tafsir Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr merupakan tafsir kontemporer yang dikarang oleh Muḥammad al-Thahir ibn Muḥammad ibn

(23)

Muḥammad al-Thahir ibn ‘Asyur al-Tunisiy. Beliau merupakan seorang ulama di Tunisia.

Metode penafsiran yang digunakan Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsir Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr adalah metode taḥliliy karena ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan ayat al-Qur’an secara terperinci dimulai dari ayat pertama (al-Fatiḥah) sampai akhir sesuai urutan musḥafi.

Corak penafsiran dalam kitab tafsir ini adalah dengan tafsir bi al-ra’yi yaitu dengan menggunakan aspek kebahasaan. Walaupun demikian beliau juga, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan Hadits, perkataan sahabat pandangan ulama, dan ke semua itu adalah untuk menjadi pendukung pendapat mufassir.

Sedangkan pendekatan yang beliau gunakan adalah adabi atau sastra, karena beliau lebih banyak menjelaskan kajian kebahasaan yaitu gramatikal dan sastra, beliau juga lebih menjelaskan kata perkata dalam lafazh Al-Qur’an dan mengungkapkan makna- makna suatu mufradat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

(24)

B. Tafsir Al-Maraghi

1. Tentang Penulis

Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Mustafā bin Mustafā bin Muḥammad bin ‘Abd al-Mun’im al- Maraghi. 1 Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Aḥmad Mustafā al-Maraghi Beik. Al-Maraghi lahir di kota Marāghah, propinsi Suhaj – sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 KM di sebelah selatan kota Kairo— pada tahun 1300 H/1883 M.

Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nama belakang (nisbah) bagi dirinya, ini berarti nama al-Maraghi bukan monopoli bagi dirinya dan keluarganya saja.

(25)

Ahmad Mustafā al-Maraghi merupakan murid dari dua Ulama besar yang terkenal dengan pandangan pembaharuan yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Riḍa.

Pada tahun 1897 M, al-Maraghi menempuh kuliah di dua Universitas sekaligus, Universitas al- Azhar dan Universitas Darul Ulum, keduanya terletak di Kairo. Berkat kecerdasan yang luar biasa itulah ia mampu menyelesaikan pendidikan di dua universitas itu pada tahun yang sama, yaitu 1909 M.

Dari dua universitas itu Al-Maraghi menyerap ilmu dari beberapa ulama kenamaan seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muţi’i, Ahmad Rifa’I al-Fayumi dan Husain al-Adawi.Mereka memiliki andil besar dalam membentuk bangunan intelektualitas al-Maraghi lulus dari dua Universitas itu, al-Maraghi mengabdikan diri sebagai guru di beberapa Madrasah.

Tak lama setelah itu, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Muallimin di Fayum. Kemudian pada tahun 1916-1920 M, ia didaulat menjadi dosen tamu di Fakultas Filial Universitas al- Azhar, di Khartoum, Sudan. Al-Maraghi menetap di Hilwan, sebuah kota satelit yang terletak sekitar 25 km sebelah selatan kota Kairo, hingga meninggal dunia pada usia 69 tahun (1371H - 1952 M). Atas jasa-jasanya, namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota tersebut.

2. Profil Tafsir

Tafsir al-Maraghi adalah salah satu dari karya- karya al-Maraghi yang fenomenal. Karyanya itu

(26)

menjadi salah satu kitab tafsir modern yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.

Sebuah penafsiran yang menitik-beratkan penjelasan al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayatnya untuk memberikan kepada suatu petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.

Banyak ahli tafsir yang melihat percikan-percikan Tafsir al-Manar yang disusun oleh dua ulama besar awal abad dua puluh tersebut dalam Tafsir al- Maraghi, terutama dari sisi modernitas pemikirannya, yakni yang menghubungkan ajaran- ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.

3. Latar Belakang Penulisan Tafsir

Tafsir al-Maraghi merupakan karya besar dari hasil jerih payah dan keuletan sang penulis dalam

(27)

menyusunnya selama kurang lebih 10 tahun, yakni dari tahun 1940-1950 M. Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo, Mesir.

Latar belakang penulisan Tafsiral-Maraghi adalah karena terdapat beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada al-Maraghi mengenai kitab tafsir apa yang mudah dipahami, bermanfaat bagi pembaca dan dapat dipelajari dalam waktu singkat.

Hal tersebut disebabkan masyarakat masih sulit dalam mempelajari al-Qur’an, sementara kitab-kitab tafsir yang sudah ada masih sulit dipahami oleh masyarakat umum. Selain itu, kitab-kitab tafsir juga dibumbuhi dengan cerita-cerita yang bertentangan dengan fakta dan kebenaran.

Namun al- Maraghi menjelaskan bahwa ada juga kitab tafsir yang dilengkapi dengan analisa ilmiah, selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Berdasarkan persoalan tersebut al-Maraghi merasa terpanggil untuk menulis sebuah kitab tafsir yang sistematis, mudah dipahami dan menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif.

Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, dia hanya beristirahat selama empat jam sehari. Dalam 20 jam yang tersisa, dia menggunakannya untuk mengajar dan menulis.

Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira pukul 03.00, al-Maraghi memulai aktivitasnya dengan shalat tahajud dan hajat.Dia memanjatkan do’a untuk memohon petunjuk Allah.

Setelah menjalankan Qiyam al-Lail, dia kemudian menulis tafsir, ayat demi ayat.Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja.

(28)

Pulang kerja, dia tidak langsung melepas lelah sebagaimana orang lain. aktivitas tulis-menulisnya yang terhenti, dilanjutkan. Kadang-kadang sampai jauh malam.

4. Metode Penafsiran a. Segi Sumber Tafsirnya

Dari segi sumber penafasirannya, metode yang digunakan oleh al- Maraghi untuk menafsirkan ayat- ayat al-Qur’an dalam tafsirnya ialah dengan menggabungkan antara metodebil Ma’thur dan metodebi Ra’yi atau disebut juga dengan metode bil Iqtirani.

Menurut al-Maraghi di zaman yang maju seperti sekarang ini sudah tidak mungkin lagi menafsirkan al- Qur’an dengan menggunakan bil Ma’thur saja.

Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata. Selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif seiring berkembangnya ilmu pengetahuan modern yang cukup cepat.

Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan- penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Karena al-Qur’an tidak dapat dipahami dengan akal semata, tentu harus ada sunnah dan riwayat shahih yang dapat menjembatani dan mengarahkannya.

Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Maraghi tidak

(29)

menjelaskan secara jelas mengenai sumber penafsiran yang dijadikan rujukannya. Namun Muhammad Husain al-Dhahabi menyatakan dalam kitabnya, al-Tafsir wa al-Mufassirun, bahwa al- Maraghi menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan ayat al-Qur’an yang memiliki tema yang sama, bersandar pada hadis Rasulullah Saw., pemikiran Salaf al-Salih dari para sahabat dan tabi’in kemudian berdasarkan para mufassir pendahulunya. Ia juga menggunakan akal dan meletakkan semua di atas dengan pertimbangan akal pemikirannya.

Sebagaimana contoh dalam QS. al-Hujurat: 9.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”.

Al-Maraghi menjelaskan keadilan dari ayat di atas dengan memperkuatnya dengan hadis di bawah ini:

Dari Muhammad bin ‘Abd al-Raḥīm dari Sa’īd bin Sulaiman dari Husyaim, mengabarkan Ubaidillah bin Abi Bakr dari Anas ra berkata. Rasulullah Saw.

bersabda: “tolonglah saudaramu ketika berbuat aniaya dan dianiaya.” Seseorang berkata “Ya Rasulullah, orang ini saya tolong ketika teraniaya.Maka bagaimanakah aku harus menolong dia ketika berbuat aniaya.” Rasulullah bersabda:

(30)

“kamu mencegah dia berbuat aniaya, maka itulah caramu menolong dia”.

b. Segi Cara Penjelasannya

Dari segi cara penjelasannya metode yang digunakan oleh al-Maraghi dalam tafsirnya adalah Muqarin. Dalam menafsirkan ayat beliau seringkali mengemukakan penafsiran yang dikemukakan oleh ulama mengenai lafadz atau ayat, yang terkadang menguatkan salah satu dari pendapat tersebut.

Adapun tafsir-tafsir yang dijadikan sumber rujukan penafsiran Tafsir al-Maraghi, sebagaimana telah disebutkan sendiri oleh beliau di dalam muqaddimah-nya, di antaranya ialah; Tafsir al- Tabari, Tafsir al-Kashaf al- Zamakhshari, Anwar al- Tanzil wa Asrar al-Ta’wil al-Baidowi, Mafatih al- Ghaib al-Razi, a-Bahr al-Muhit, Tafsir Abi Muslim al- Asfahani, Tafsir al- Manar, Tafsir al-Jawahir, dan lain- lain.

c. Segi Keluasannya Penjelasannya

Dari segi keluasan penjelasannya Al-Maraghi menggunakan metode Itnabi Tafsili. Yakni, dengan caramenafsirkan ayat al-Qur’an secara mendetail rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang

d. Segi Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan Sedangkan dari segi sasaran dan tertib ayatnya, al-Maraghi menggunakan metodebi al-Tahlili. Yakni dengan mendeskripsikan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengikuti tata tertib dan urutan ayat- ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat

(31)

al-Fatihah hingga akhir surat an-Nass.

e. Corak Penafsiran

Dari aspek kecenderungan atau corak yang paling dominan al- Maraghi memeberikan warna tafsirnya dengan al-Adabi al-Ijtima’i. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Maraghi dalam penafsiran al- Qur’an mengikuti corak yang digagas oleh Muhammad Abduh yaitu al-Adabī alIjtimā’ī.

f. Sistematika Penafsiran

Berbeda dengan tafsir salaf yang sistematika penulisannya relatif sederhana, meski pembahasannya sangat mendalam, al-Maraghi menyusun tafsirnya dengan sistematika yang lebih bercorak.

Sistematika dan langkah-langkah penulisan yang digunakan di dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan beliau sendiri dalam muqaddimah tafsirnya. Di antaranya ialah sebagai berikut ini:

▪ Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. - Penjelasan kosa kata yang sulit (Sharh al-Mufradat).

▪ Penjelasan ayat sacara umum (Ma’na al- Ijmali).

▪ Penjabaran ayat secara rinci (Tafsili)

(32)

C. Tafsir Al-Munir Wahbah Az-Zuhailli

1. Tentang Penulis

Wahbah al-Zuhaili dilahirkan pada tahun 1932 M, bertempat di Dair ‘Atiyah kecamatan Faiha, propinsi Damaskus Suriah.

Wahbah Zuhaili adalah seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain terkenal di bidang tafsir beliau juga seorang ahli fiqih dan juga ilmu ushul fiqih sekaligus. Hampir dari seluruh waktunya semata- mata hanya difokuskan untuk mengembangkan bidang keilmuan.

Beliau adalah ulama yang hidup di abad ke -20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainya, seperti Thahir Ibnu Asyur, Muhammad Abu Zahrah, Saiful

(33)

Amin Ghofur, Mahmud Syaltut, dan lainnya.

Menyelesaikan studi doktornya di Universitas al- Azhar Kairo hingga tahun 1963 beliau menjadi doktor dengan disertasinya yang berjudul Atsar al-Harb fī al- Fiqh al-Islāmi. (يملاسلإا هقفلا يف برحلا راثآ)

2. Profil Tafsir

Kitab ini merupakan karya terbesar dari Wahbah al-Zuhaili dalam bidang ilmu tafsir. Sebagaimana kita ketahui, bahwa selain dari kitab Tafsir al-Munir karya beliau yang lain adalah Tafsir al-Wajiz dan Tafsir al- Wasit. 2

Tafsīr al-Munīr ditulis setelah pengarangnya menyelesaikan penulisan dua kitab fiqh, yaitu Ushūl Fiqh al-Islāmi (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (8 Jilid), dengan rentang waktu selama 16 tahun. Setelah menyelesaikan kedua judul itu, barulah kemudian beliau menulis kitab Tafsīr al- Munīr. Pertama kali diterbitkan oleh Dār al-Fikri Beirut Libanon dan Dār al-Fikr Damaskus Syiria dengan berjumlah 16 jilid bertepatan pada tahun

2 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Wasīṯ; Muqaddimah Tafsīr al- Wasīṯ (Damsik: Dār al-Fikr, 2006),hlm. 67 Ibid, hlm. 6-7

(34)

1991 M/1411 H.

Karya ini sedemikian populernya sehingga diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Turki, Malaysia dan Indonesia. Yang di negeri kita diterbitkan oleh Gema Insani Jakarta 2013 yang terdiri dari 15 jilid.

Dibandingkan dengan kedua Tafsīr al-Wajīz dan Tafsir al –Wasīṯ, maka Tafsīr al-Munīr ini lebih lengkap pembahasannya, yakni mengkaji ayat- ayatnya secara komprehensif, lengkap dan mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat atau pembaca.

Karena, dalam pembahasannya Beliau mencantumkan banyak unsur dalam penafsiran, seperti asbāb al-Nuzūl, Balāghah, I’rāb serta fiqhul hayah dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Dan dalam penggunaan riwayatnya beliau mengelompokkan antara yang tafsir bil-ma’tsur dengan tafsir bir-ra’yi. Sehingga penjelasan mengenai ayat-ayatnya selaras dan sesuai dengan penjelasan riwayat-riwayat yang sahih, serta tidak mengabaikan penguasaan ilmu-ilmu keislaaman seperti pengungkapan kemukjizatan ilmiah dan gaya bahasa.

Di samping terdapat perbedaan mengenai ketiga tafsir di atas, maka terdapat persamaannya, di antaranya adalah sama-sama bermaksud menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara komperensif dengan menggunakan uslub yang sederhana dan penyampaian yang berdasarkan pokok-pokok tema

(35)

bahasan.

2. Metode (Manhaj)

Dalam muqaddimahnya, Wahbah al-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan beberapa pengetahuan penting yang sangat dibutuhkandalam penafsiran al- Qur’an, seperti:

1. Definisi al-Qur’an, cara turunnya, dan pengumpulannya.

2. Cara penulisan al-Qur’an dan Rasm Usmanī.

3. Menyebutkan dan menjelaskan Ahruf Sab’ah dan Qirā’ah Sab’ah.

4. Penegasan terhadap al-Qur’an yang murni sebagai kalam Allah dan disertai dengan dalil- dalil yang membuktikan kemukjizatannya.

5. Keontetikan al-Qur’an dalam menggunakan bahasa Arab dan penjelasan mengenai menggunakan penerjemahan ke bahasa lain.

6. Menyebutkan dan menjelaskan tentang huruf-huruf yang terdapat diawal surah (hurūf Muqaṯṯa’ah)3

7. Menjelaskan kebalāghahan al-Qur’an seperti tasybīh, isti’ārah, majāz, dan kināyah dalam al- Qur’an.4

Adapun tentang metodologi penulisan Tafsir al-

3 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘ Aqidah wa al- Syari’ah wa al- Manhaj,Kata Pengantar terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), I, xiii-xiv

4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘ Aqidah wa al- Syari’ah wa al- Manhaj (Damsyik:Suriah, 2007), I-II7.

(36)

Munir ini, secara umum adalah mengopromikan sumber-sumber atau riwayat bil-ma’tsur dengan bil- ra’yi. Lebih detailnya mengenai metode yang digunakan maka dapat dilihat sebagaimana berikut ini:

1. Menjelaskan kandungan surah secara global, menyebutkan sebab-sebab penamaan surah dan menjelaskan keutamaan-keutamaannya.

2. Menyajikan makna secara jelas dan lugas dengan disesuaikan pada pokok bahasan.

3. Menyajikan penjelasaan dari sisi qirā’ātnya, i’rāb, balāghah, kosakata, dan hubungan antar ayat maupun surah, serta sebab-sebab turunnya ayat maupun surah.

4. Menafsirkan dan memberikan penjelasan secara detail.

5. Memberikan keterangan tambahan berupa riwayat-riwayat yang dapat dipertanggung jawabkan dan menyajikan qisah-qisah maupun peristiwa-peristiwa besar.

6. Menggali hukum-hukum yang terkandung pada setiap pokok bahasan.

7. Memperhatikan pendapat-pendapat atau hasil ijtihad baik itu ijtihaddari para ahli tafsir amupun ahli hadits serta ijtihad dari ulamalainnya yang ketsiqahannya tidak diragukan lagi.

8. Mengiringi penafsirannya dengan corak penafsiran maudhu’i.

9. Bersumber dan berpedoman pada kitab-kitab

(37)

atau pendapat sesuai dengan tuntunan syari’ah.

3. Corak Penafsiran

Dengan melihat pada corak-corak penafsiran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. al-Hayy al-Farmawi dalam kitabnya muqaddimah al-Tafsir al- Maudhu’i, bahwa terdapat tujuh corak dalam penafsiran.

Di antaranya adalah Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Tafsīr bi al-Ra’yi,Tafsīr al-Shufi, Tafsīr al-Fiqh, Tafsīr al-Falsafi, Tafsīr al-‘Ilm, dan Tafsir adab a-Ijtimā’ī. Demikian halnya dengan Tafsir al-Munir yang juga memiliki corak penafsiran tersendiri.

Dengan melihat dari manhajdan metode yang digunakan serta analisa dari penilaian penulis lainnyabahwa corak penafsiran Tafsir al-Munir ini adalah bercorak kesastraan (‘adabi) dan sosial kemasyarakatan (ijtimā’i) serta adanya nuansakefiqhian (fiqh) yakni karena adanya penjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Bahkan sebagaimana telah disinggung sebelumnya meskipun juga bercorak fiqh dalam pembahasannya akan tetapi penjelasannya menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan yang terjadi pada masyarakat. Sehingga, bisa dikatakan corakpenafsiran Tafsir al-Munir sebagai corak yang ideal karena selaras antara

‘adabī, ijtima’ī, dan fiqhinya.

4. Karakterestik Tafsir al-Munir

(38)

Ciri khas dari Tafsir al-Munir jika dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir lainnya adalah dalam penyampaian dan kajiannya yang menggunakan langsung pokok tema bahasan. Misalnya tentang orang-orang munafik dan sifatnya, maka tema tersebut dapat ditemukan di beberapa ayat disurah al-Baqarah.

Selain itu, yang menciri khaskan dari Tafsir al- Munir ini adalahditulis secara sistematis mulai dari qirā’ātnya kemudian i’rāb, balāghah, mufradāt lughawiyyahnya, yang selanjutnya adalah asbāb al- Nuzūl dan Munāsabah ayat, kemudian mengenai tafsir danpenjelasannya dan yang terakhir adalah mengenai fiqh kehidupan atau hukum-hukum yang terkandung pada tiap –tiap tema pembahasan.

Serta memberikan jalan tengah terhadap perdebatan antar ulama madzhab yang berkaitan dengan ayat-ayat ahkam, dan mencantumkan footnote ketika pengambilan sumber dan kutipan.

5. Keistimewaan Tafsir al-Munir

Setiap kitab tafsir sudah pasti memiliki ciri dan keistimewaantersendiri yang membedakan dengan kitab-kitab tafsir lainnya.Demikian halnya dengan Tafsir al-Munir yang juga memiliki ciri khasdan beberapa keistimewaan. Seperti:a. bidang penafsiran atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al- Qur’anseperti, Ilmu Nuzūl al-Qur’ān, ilmu Munāsabah al-Qur’ān, ilmuBalāghah, Nahwu, I’rāb, Qirā’āt, dan Qisah dalam al-Qur’an sertapenjelasan hukum-hukum fiqh yang terkandung di dalamnya.

Yangsemuanya tercakup dan terhimpun dalam satu

(39)

kitab tafsir yaknidalam Tafsir al-Munir. Hal ini tentunya berbeda dengan penafsirankitab-kitab tafsir yang lain yang hanya mengkaji dan menonjolkandisatu ilmu saja atau di bidang tertertu tanpa menyertakan ilmu-ilmulainnya. Seperti Tafsīr al-Kasysyāf oleh al-Zamakhsari, tafsir yangspesifik pada ilmu kebahasaan yakni ilmu Balāgahah.

Demikianhalnya pada Tafsīr Aẖkām al-Qur’ān oleh al- Jassās, penafsiran yangkajiannya menonjolkan pada ilmu fiqh atau hukum.b. Termasuk dalam kategori karya ilmiah yang memiliki ratusanreferensi yang sudah masyhur dan merujuk pada sumber- sumberyang asli. Selain itu juga, dalam pejelasannya dengan bahasa yangsederhana namun diuraikan secara ilmiyah yakni megompromikandengan pengetahuan ketika menjawab terhadap problematikakekinian. Sehingga keberadaan al- Qur’an benar-benar dirasakankemukjizatannya dengan tidak terkalahkan pada dunia modren danteknologi saint.

6. Sumber-sumber Penulisan Tafsir al-Munir

Sebagaimana kita ketahui Tafsir al-Munir adalah bagian darikarya Wahbah al-Zuhaili yang terbesar.

Meskipun demikian layaknyasebuah karya di abad kekinin maka dalam penulisannya sudah tentubanyak kitab-kitab yang menjadi sumber- sumber atau referensinya.Pengambilan sumber- sumber terhadap suatu penulisan sangatmenentukan nilai dari sebuah karya. Semakin banyak sumber yangdiambil akan menjadikan semakin menambah bobot penulisan suatukarya, tentunya bersumber pada kitab-kitab yang sudah

(40)

tidak diragukanlagi kredibel karya dan pengarangnya. Hal ini ditemukan dalam kitabTafsir al-Munir, mulai dari bidang Tafsir, Ulum al-Qur’an, Hadits, UsulFiqh, Fiqh, Teologi, Tarikh, Lughah, dan beberapa bidang umum lainnya.

(41)

D. Tafsir Rawaiul Bayan

1. Tentang Penulis

Penyusunnya adalah Syeikh Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni, guru besar pada Fakultas Syariah dan Dirasat Islamiyah Universitas Ummul Qura di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil Ash-Shabuni. Beliau lahir di kota Aleppo, Suriah, pada tahun 1930 M. Namun beberapa sumber menyebutkan Ash-Shabuni dilahirkan tahun 1928.

Ash-Shabuni menamatkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, hingga mendapat gelar Lc dari fakultas Syari’ah pada tahun 1952, Pasca sarjana tahun 1954 dengan mendapat gelar Megister pada konsentrasi peradilan Syariah (Qudha As- Sar’iyyah).

(42)

Saat menjadi dosen di Ummul Qura, Ash-Shabuni pernah menyandang jabatan Ketua Fakultas Syari’ah.

Ia pun dipercaya mengetuai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam (Turats). Bahkan juga tercatat sebagai Guru Besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.

Selain mengajar di kedua universitas itu, Ash- Shabuni juga memberikan kuliah umum bagi masyarakat di Masjidil Haram dan juga di salah satu masjid di kota Jeddah.

Di sela kesibukannya mengajar, Ash-Shabuni pun menyempatkan diri untuk aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Di lembaga ini ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai A-Quran dan Sunah.

Di tahun 2007, panitia penyelengggara Dubai International Qur’an Award menetapkan Ash- Shabuni sebagai Personaliti of The Muslim World.

Pilihan tersebut jatuh padanya seteah beberapara orang kandidit diseleksi oleh Pangeran Muhammad ibn Rashid Al-Maktum, Wakil Kepala Pemerintahan Dubai.

2. Tentang Kitab Tafsirnya

Rawāi’ul Bayān fi tafsiri ayati’l Ahkam mina’l Quran atau terjemahan harfiahnya adalah

‘Keterangan yang indah dalam tafsir ayat-ayat hukum dari Al-Quran’ adalah nama salah satu tafsir karya Ali Shabuni yang sangat menarik.

(43)

Kitab ini merupaakn tafsir Ahkam, yang hanya mengkhususkan pembahasan pada ayat-ayat yang sekiranya kental kandungan hukumnya. Oleh karena jumlah ayat ahkam memang terbatas, maka wujud fisik kitabnya hanya terdiri dari dua jilid besar yang disusun berdasarkan tema-tema hukum di setiap pertemuan (muhadharah).

Dituliskan pertemuan di sini tampaknya memang kitab itu dipersiapkan untuk materi-materi

(44)

perkuliahan di fakultas Syariah dan Dirasat Islamiyah di Mekah.

Beliau sebutkan bahwa dalam penulisan tafsir ini menguraikan dalam 10 wajah atau unsur, yaitu :

1. At-Tahlil Al-Lafzhi (يظفللا ليلحتلا) atau uraian secara tekstual dengan merujuk kepada pendapat para mufassirin dan juga ahli bahasa.

2. Al-Ma’na Al-Ijmali (يلامجلإا ىنعملا) atau uraian secara global.

3. Sababu Nuzul (لوزنلا ببس) atau sebab latar belakang turunnya ayat tersebut apabila memang terdapat.

4. Wajhu Al-Irtibat (ةقحلالاو ةقباسلا تايلآا نيب طابترلاا هجو) atau keterkaitan suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya.

5. Wujuh Al-Qiraat Al-Mutawatirah ( تاءارقلا هوجو ةرتاوتملا) atau menunjukkan perbedaan qiraat yang masih mutawatir.

6. Wujuh al-I’rab (بارعلإا هوجو) atau menampilkan berbagai kemungkinan i’rab atau penjelasan struktur kata dan kalimat secara ringkas.

7. Lathaif At-Tafsir (ريسفتلا فئاطل) atau mengungkapkan kekuatan sisi sastra balaghah serta ketelitian ilmiyah.

8. Al-Ahkam Asy-Syari’iyah (ةيعرشلا ناكحلأا) atau hukum-hukum syariah yang dilengkapi dengan dalil dari para pakar fiqih dengan menyertakan pentarjihannya.

(45)

9. Nasehat (هيلإ دشرت ام) yang terkandung dalam ayat tersebut, meskipun hanya secara ringkas 10. Hikmah pensyariatan (ةيعيرشت ةمكح) yang

terkandung di dalamnya.

Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fatihah hingga pertemuan (halaqah) ke-40 tentang pendekatan diri kepada Allah dengan berkurban.

Sedangkan jilid ke dua terdiri dari 30 pertemuan (halaqah). Diawali dengan Surat An Nur dan diakhiri dengan pembahasan mengenai pembacaan Al- Quran, yakni tafsir Q.S. Al-Muzammil.

Salah satu yang patut dicermati dalam tafsir ini adalah amanah ilmiyah dari penyusun yang amat dijaga, khususnya ketika menampilkan perbedaan pendapat fiqih di kalangan para ulama.

Setiap pendapat yang berbeda ditampilkan dengan menyebutkan siapa atau mazhab manakah yang berpendapat demikian, lalu disebutkan juga dalil-dalil yang melandasinya.

Sehingga para pembaca tafsir ini diajak untuk lebiih dewasa dan punya perspektif keilmuan yang lebih luas, ketimbang yang hanya sedekar mengedepankan fanatisme mazhabnya sendiri.

Namun lepas dari amanah ilmiyah yang dijaga, nampaknya Ali Ash-Shabuni juga tergoda untuk ikut memberikan opini pribadinya dalam pilihan-pilihan pendapat yang sudah dijabarkan sebelumnya.

Tentunya para ulama ahli fiqih sudah selesai membahas masalah fiqih dan disepakati adanya perbedaan pandangan di tiap mazhab fiqih.

(46)

Bahwa perbedaan fiqih di dalam tiap mazhab itu sudah baku, sebagaimana juga perbedaan qiraat dalam bacaan Al-Quran. Tiap mazhab sudah mentarjih apa yang menurut mereka lebih mendekati kebenaran.

Oleh karena itulah sepatutnya kajian fiqih perbandingan mazhab sudah tidak lagi bicara tentang tarjih lagi, apalagi dikaitkan dengan dirinya sendiri.

Namun begitulah yang sering terjadi, banyak tokoh yang tergoda untuk melakukan tarjih sesuai dengan selera masing-masing, sehingga bukannya menjaga amanah ilmiyah sebagaimana warisan yang bersifat genuine, tapi justru direcoki dengan pentarjihan secara subjektif oleh pemyusun.

Tidak terkecuali tafsir Ali Ash-Shobuni sendiri, penyusunnya tergoda untuk mengeluarkan pendapat pribadinya dan tidak menyerahkan tarjih kepada masing-masing mazhab.

Maka yang terkesan dari sosoknya tidak lain menjadi tokoh yang mencampur-adukkan mazhab fiqih para ulama. Sebagai contoh, pembahasan wajib tidaknya qadha puasa sunah yang rusak, ia lebih memilih pendapat Hanafiyah ketimbang Syafi’iyah.

Sementara mengenai kesucian debu ia menguatkan pendapat Syafi’iyah ketimbang Hanafiyah.5

5 Ali Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jilid 1 hal. 214

(47)

E. Shafwatut Tafasir

Selain Rawa’iul Bayan, Syeikh Dr. Muhammad Ali Ash-Shabui juga menyusun kitab tafsir lainnya yang berjudul Shafwatut Tafasir. Beliau menyusunnya selama kurang lebih lima tahun memberikan kesan bagi para sebagian kalangan ulama dan para pemerhati tafsir.

(48)

1. Sumber Penafsiran

Yang menarik dari kitab tafsir yang satu ini sebagaimana tertulis di halaman depan, disebutkan bahwa sumber penulisannya didasarkan pada beberapa kitab tafsir yang muktamad, yaitu

1. Ath-Thabari karya Ibnu Jarir Ath-Thabari 2. Al-Kassyaf karya Az-Zamakhsyari

3. Al-Jami’ li Ahkamil Quran :Al-Qurthubi 4. Ruhul Ma’ani : Al-Alusi

5. Tafisr Al-Quran Al-Azhim : Ibnu Katsir 6. Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan Al-Andalusi Dan kitab tafsir lainnya dengan uslub yang mudah dan penyusunan hadits-hadits serta dilengkapi dengan penjelasan secara bahasa.

2. Kaya Sambutan

Salah satu yang unik dari kitab tafsir ini diberi sambutan oleh banyak tokoh, diantaranya

▪ Syaikhul Azhar di masanya, yaitu Syeikh Abudl Halim Mahmud.

▪ Abul Hasan Ali An-Nadawi dari India.

▪ Dr. Abdullah Umar Nashif, Rektor Universitas Malik Abdul Aziz.

▪ Dr. Abdullah Al-Khayyath, khatib Masjid Al- Haram.

▪ Dr. Muhammad Al-Ghazali, ketua qisim dakwah dan ushuluddin di Mekkah.

3. Metode Penyajian

(49)

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, Al Shabuni tidak lepas dari metode-metode yang digunakan sebagai kerangka berpikir dan landasan dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Termasuk saat menafsirkan ayat Al-Qur‟an melalui kitab Tafsir Shafwatut Tafasir, Ali Ash-Shabuni juga memiliki metode, yaitu:

1. Baina Yadai Surah ( ةروسلا يدي نيب) yaitu semacam muqaddimah atau gambaran umum tentang profil tiap surat di dalam Al-Quran, sembari menyebutkan maqashidnya yang utama.

2. Al-Munasabah (ةقحلالاو ةقباسلا تايلآا نيب ةبسانملا), yaitu membahas munasabah antara ayat satu dengan ayat yang lain sebelum dan sesudahnya.

3. Al-Lughah (ةغللا) yaitu menjelaskan aspek kebahasaan secara etimologi serta menjelaskan perbandingan aspek kebahasaan dengan pendapat ahli bahasa Arab.

4. Sababu Nuzulil Ayah (ةيلآا لوزن ببس) sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an yang dikenal dengan Asbabun Nuzul.

5. Tafsir (ريسفتلا)

6. Al-Balaghah (ةغلابلا) yaitu menguraikan keindahan ayat-ayat Al-Quran dari segi gaya bahasa Al-Quran.

7. Al-Fawaid wa Al-Lathaif ( فئاطللاو دئاوفلا) yaitu menjelaskan manfaat, faedah, pesan serta hikmah-hikmah dalam surat dan ayat Al- Quran dan memberikan istinbath hukum.

(50)

F. Tafsir Asy-Sya'rawi

1. Tentang Penulis

Nama lengkap dari al-Sya’rāwi adalah Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwi al-Husaini, Beliau adalah seorang Syeikh Imam ad-Dā’iyat al-Islām (penyeru agama Islam). Al-Sya’rāwi dilahirkan pada saat kondisi Mesir dalam kekuasaan Inggris, pada 15 April 1911 M bertepatan dengan 17 Rabi’ul ats-Tsāni 1329 H. Beliau wafat pada hari rabu tanggal 22 safar 1419 H/17 Juni 1998 dalam usia 87 tahun.

Al-Sya’rāwi juga masih keturunan dari ahlul bait Nabi Saw., lewat jalur Hasan bin Ali.

Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di Ma’had al-Azhar Thanta, ma’had Alexandria, ma’had Zaqaziq, dan ia meneruskan kegiatan-kegiatan

(51)

ceramahnya ke masjid-masjid di samping kegiatannya menjadi guru. Beliau menjadi ketua misi alAzhar di al-Jazair pada tahun 1966, dan beliau juga menjadi dosen jurusan tafsir hadis di fakultas Syari’ah Universitas Malik Abdul Aziz di Makkah pada tahun 1950, ia mengajar selama sembilan tahun.

Ia juga diangkat menjadi wakil kepala sekolah di al-Azhar, pernah memangku jabatan sebagai direktur dalam pengembangan dakwah Islam pada departemen wakaf tahun 1961 M. beliau mulai terkenal ketika menjadi seorang da’i pada tahun 1973.

Sya’rawi ditawari mengisi acara Nûr ‘ala Nûr di Stasiun televisi Mesir, mulailah namanya mencuat dan terkenal sebagai da’i yang kondang.

2. Profil Tafsir

Tafsir ini dinamakan tafsir al-Sya’rāwi, diambil dari nama pemilik ide yaitu Muhammad Mutawali al- Sya’rāwi. Tafsir ini disebut juga tafsir Khawātir Haula al-Qur’ān al-Karīm karena dalam mukadimmah

(52)

tafsinya beliau menyatakan bahwa:

Hasil renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur’an, melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur’an.

Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkan hanya Rasulullah saw, karena kepada beliaulah alQur’an diturunkan.

Beliau menjelaskan kepada manusia ajaran alQur’an dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al- Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosiointelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimannya.

Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang dapat merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah swt.

a. Sumber Tafsir Sya’rawi

Metode tafsir Khawātir Haula al-Qur’ān al-Karīm bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya mengunakan metode bī al-Iqtirān, yaitu perpaduan antara bil-ma’tsur dan bir-ra’yi.

Rasyid Ridla menamakan metode ini dalam tafsir al-Manar dengan sebutan ‘Shahīhu al-Manqūl wā Sharīhu al-Ma’qūl’. Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, menamakannya dengan “Bil Izdiwāji”.

b. Metode Tafsir

(53)

Sedangkan metodenya menggunakan metode Bayāni, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an hanya dengan memberikan keterangan secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat atau pendapat dan tanpa menilai (tarjīh).

c. Dari Segi Keluasan Penjelasan Tafsir

Metode tafsir bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirannya, menggunakan metode Tafsir Ithnābi, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara mendetail dan rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.

3. Kelebihan dan Kekurngan a. Keistimewaan tafsir al-Sya’rāwi

Sebatas uraian penulis di atas, bisa disimpulkan beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir ini antara lain adalah :

1. Penggunaan bahasa yang sederhana sehingga sangat mudah difahami, perumpamaan- perumpamaan yang dipakaipun sangat sederhana dan selalu berhubungan dengan realita kehidupan di masyarakat.

2. Pendalaman terhadap satu tema pembahasan dengan mengunakan analisa bahasa yang begitu detail dan mendalam.

3. Selalu dapat menyelesaikan masalah rumit dengan cara sederhana hingga menghasilkan kesimpulan yang memuaskan dan selalu didasari argumentasi yang kuat dan logis.

(54)

4. Tafsir dengan tipe sosial kemasyarakatan yang sangat kental. Dan selalu membawa perubahan dan pembaharuan.

5. Selalu menitik beratkan pada sisi keimanan dan hati manusia.

b. Kekurangan tafsir al-Sya’rāwi

Sedangkan beberapa kelemahan dalam tafsir ini antara lain :

1. Tidak mengunakan metode penafsiran yang benar dan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh jumhūr ulama.

2. Penafsiran beliau atas beberapa perkara, dianggap oleh sebagian ulama menyimpang dan bertentangan dengan mufassir pada umumnya, seperti penafsiran beliau tentang masa’ ‘iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Sebagaimana disepakati oleh jumhūr ulama apabila wanita tersebut hamil, maka masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan.

Namun persoalan apabila pada saat suaminya meninggal ia sedang hami sembilan bulan, bahkan mungkin melahirkan sebelum pemakaman, maka apakah masa ‘iddahnya telah habis? Beliau menjawab tidak. Dalam keadaan ini masa iddahnya menunggu selama empat bulan sepuluh hari. Karena pada hakikatnya hikmah ditetapkannya ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah selain untuk tabāyun akan kandungannya, juga sebagai penghormatan bagi kehidupan

(55)

rumah tangga mereka berdua dan pemenuhan hak suami.

3. Terkadang menjelaskan suatu ayat dengan pembahasan yang terlalu luas dan sering terjadi pengulangan.

4. Masih banyaknya penggunakan hadis-hadis dā’if atau setidaknya tidak menyebutkan sanad hadis secara lengkap.

(56)

G. Tafsir Muhammad Abu Zahrah

1. Tentang Penulis

Imam Muhammad Abu Zahrah, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Mustafa bin Ahmad Abu Zahrah, dan kemudian lebih dikenal dengan Imam Abu Zahrah, adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh pada zamannya.

Dilahirkan di desa al Mahallah al Kubra di Mesir bagian barat pada tanggal 6 Dzulqa’dah 1315 yang bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1898.

Abu Zahrah menempuh pendidikan awalnya di Sekolah Kehakimah Shari’ah (Madrasatu al Qadha al Shar’iy) than 1925 dan juga program Diploma Bahasa Arab di Universitas Darul Ulum 1927.

Setelah itu beliau berkecimpung di lingkungan

(57)

perguruan tinggi, tepatnya menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar mulai tahun 1933.

Disinilah Abu Zahrah engembangkan potensi keilmuan dan intelektualitasnya yang ditandai denganterbitnya beberapa karyanya, seperti Al Khitabah, Tarikhu al Jadal, Muhadharat fi al Nasraniyah dan Tarikhu al Diyanat al Qadimah .

Pada tahun 1958 Abu Zahrah mencapai usia pensiun, namun diatetap mengajar sampai tahun 1964. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1962 dia terpilih menjadi anggota di Lembaga Penelitian Islam (Majma’ul Buhuth al Islamiyah) di Al Azhar. Abu Zahrah meninggal pada tahun 1974.

Abu Bakar Abdul Razzaq, dalam bukunya Abu Zahrah Imamu Asrihi : Hayatuhu wa Atharuhu al-Ilmy menyebutkan lebih dari 80 buah karya ilmiah telah beliau tuliskan. Buku-buku tersebut dapat dikelompokkan, setidaknya mencakup beberapa bidang, yaitu :

a. Bidang Fiqih dan Usul Fiqh : 21 judul b. Bidang Ulumul Qur’an dan Tafsir : 2 judul c. Bidang Aqidah dan Pemikiran Islam : 4 judul d. Bidang Studi Agama-agama : 2 judul

e. Bidang Ilmu Dakwah : 3 judul

f. Bidang Ekonomi dan Sosial : 8 judul g. Bidang Sirah Nabawiyah : 1 judul 2. Profil Tafsir

(58)

Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Imam Abu Zahrah memiliki karya besar dalam studi Al Qur’an, disamping “al-Mu’jizat al Kubra; Al Qur’an al Karim”, yaitu sebuah kitab Tafsir Al-Qur’an yang bernama Zahratu al Tafasir.

Hal itu disebabkan oleh karena, pertama kitab tersebut adalah hasil kumpulan artikel berkala Imam Abu Zahrah dalam rubrik Tafsir majalah Liwa’u al Islam. Kedua, karena kitab tersebut belum sempurna. Ketiga karena dampak dari kezaliman penguasa Mesir yang melakukan pembunuhan karakter atas diri Abu Zahrah pada saat itu.

Dalam menafsirkan AlQur’an adalah penggabungan antara dua metode besar, yaitu Naqli dan Aqli. Tidak bertumpu kepada Naqli saja atau kepada Aqli saja.

Perbedaan lain Tafsir Abu Zahrah (Zahratu al Tafasir) dari kitab-kitab Tafsir yang sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Harahap (2006:297), rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan

Penginderaan jauh untuk mengekstrak data kualitas permukiman dengan hasil akurasi yang akurat, dibuktikan dengan nilai akurasi variabel kepadatan permukiman sebesar

kondisi Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk menemukan dan menentukan muatan Kebijakan, Rencana, dan/ataub. Program yang harus

[r]

Dengan adanya program BOS bagi SMP Terbuka mulai bulan Juli 2007, maka dana bantuan “block grant” untuk tambahan biaya operasional SMP Terbuka yang selama ini diterima oleh

Jika fungsi distribusi itu adalah diskrit maka prosedur yang diperlukan untuk membangkitkan random variate dari f(x) sbb:.. Tempatkan RN yang diperoleh pada f(x) axis

Peserta didik didorong untuk mengumpulkan berbagai sumber informasi yang kemudian dari berbagai informasi yang diperolehnya tersebut peserta didik dapat menentukan