• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTEK FAIR TRADE DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS PADA APIKRI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PRAKTEK FAIR TRADE DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS PADA APIKRI)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTEK FAIR TRADE DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS PADA APIKRI)

Oleh:

YUNI WIDHIASTUTI 212013122

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS PROGRAM STUDI : MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

2017

(2)

i

PRAKTEK FAIR TRADE DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS PADA APIKRI)

Oleh:

YUNI WIDHIASTUTI 212013122

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS PROGRAM STUDI : MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

2017

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

(4)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

(6)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

(7)

vi MOTTO

“Hidup itu seperti survival show, ada kalanya kita bahagia, jatuh lalu tersingkir. Namun yang terpenting kita harus kembali bangkit, menang dan menjadi yang pertama”

“Apa yang seharusnya kita takutkan bukanlah kegagalan, tetapi saat hati kita tidak berani lagi untuk mengambil resiko dan menghadapi tantangan”

(Kwon Ji Yong)

“Ketika aku berhenti di sebuah tanda perhentian, aku tidak berpikir seberapa jauh jarak yang sudah kutempuh. Aku hanya berharap aku tak akan pernah berhenti”

(Tablo)

(8)

vii ABSTRACT

Fair trade is a trade system to protect small producers in poor and develop country. Fair trade helps producers with promote their product in a good price. The purpose of this research is to understand the implementation of 10 fair trade principle, benefits, problems, and eforts to solve the problems. This research is a qualitative that use interview method and Miles &

Huberman model to analyze it. The interview done with the Apikri (Yogyakarta) representative and 3 type of UKM (artisans). The result of this research shows that from 10 fair trade principle, there are some principle that have not been done well. The problems come from internal and external of organization and there are some problem that still hard for Apikri and artisans to overcome it. This research has benefit for the others fair trade organization who needs an information about the implementation of fair trade in Yogyakarta and can be a reference if they are having same problem.

Keywords: Fair Trade, Implementation, Benefit, Problem, Effort

(9)

viii SARIPATI

Fair trade adalah sistem perdagangan yang bertujuan untuk melindungi produsen kecil yang berada di negara miskin atau berkembang. Fair trade membantu produsen dengan cara membantu memasarkan produk mereka dengan harga yang baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan 10 prinsip fair trade, manfaat, kendala dan upaya mengatasi kendala dari suatu organisasi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode wawancara dan model Miles & Huberman untuk menganalisisnya.

Wawancara dilakukan dengan perwakilan Apikri (Yogyakarta) dan 3 jenis UKM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 10 prinsip fair trade, masih ada beberapa prinsip yang belum terlaksana dengan baik. Kendala yang ada berasal dari internal dan eksternal organisasi dan masih ada beberapa kendala yang belum dapat diatasi oleh pengrajin dan Apikri. Penelitian ini memiliki manfaat bagi organisasi fair trade lainnya yang membutuhkan informasi tentang bagaimana pelaksanaan fair trade di Yogyakarta serta dapat dijadikan acuan apabila sedang mengalami permasalahan yang sama.

Kata Kunci: Fair Trade, Pelaksanaan, Manfaat, Kendala, Upaya

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Fair trade adalah sebuah sistem didalam dunia perdagangan yang bertujuan untuk membantu pihak yang tidak dapat berpartisipasi dalam perdagangan konvensional (free trade). Fair trade secara khusus ditujukan untuk produsen yang berasal dari negara miskin dan negara berkembang. Fair trade ini diawasi oleh WFTO (World Fair Trade Organization) dan organisasi lain yang berada di bawah WFTO. Di Indonesia sendiri, jumlah organisasi yang menerapkan fair trade sudah cukup banyak. Jenisnya sendiri pun juga bermacam- macam, ada yang mengurus produk-produk pertanian, tekstil dan kerajinan tangan.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang fair trade di Indonesia, peneliti tertarik untuk mencari tahu tentang fakta yang terjadi di lapangan terkait dengan prakteknya serta masalah- masalah yang ada didalamnya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, bahan acuan, masukan dan pertimbangan bagi organisasi, karyawan dan pembaca maupun semua pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa dalam tugas akhir ini masih terdapat kekurangan sehingga nantinya membutuhkan kritik dan saran. Semoga kertas kerja ini dapat menjadi wacana dan tambahan informasi.

Salatiga, 28 Juli 2017

(11)

x

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji Syukur kepada Tuhan atas berkat dan anugerahNya, sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik guna menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Berbagai pihak telah mendukung dan membantu dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:

1. Ayah, Ibu, Om, Tante dan seluruh keluarga, terimakasih atas nasehat, doa serta motivasi yang diberikan sehingga membantu penulis dalam menjalani masa perkuliahan maupun penyelesaian tugas akhir ini.

2. Roos Kities Andadari, SE, MBA, Ph.D, selaku pembimbing yang selama ini telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, bantuan, ilmu, nasehat, dan dukungan selama proses penyelesaian tugas akhir ini. Sehingga nantinya apa yang telah penulis terima menjadi sarana penulis untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara bijak di kemudian hari.

3. Johnson Dongoran, SE., MBA., selaku wali studi yang sudah mendukung serta membantu, menasehati dan mengarahkan dalam menjalani masa perkuliahan.

4. Prof. Christantius Dwiatmadja, SE. ME. Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah memberikan kemudahan dalam menjalani proses masa studi.

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis dan staf tata usaha yang memberikan bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW.

6. Seluruh Karyawan APIKRI, yang telah berkenan memberikan bantuan dan waktunya kepada penulis selama melakukan penelitian.

7. Semua pihak-pihak UKM, yang telah memberikan bantuan dan waktunya kepada penulis selama melakukan penelitian.

8. Semua sahabat Maria, Maybe, Yani, April, Lydia, Nadia, Lely, Fifi dan semua teman- teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang sudah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

Terimakasih atas perhatian, semangat, doa dan dukungan selama masa studi yang memberikan pengalaman yang berarti bagi penulis.

9. Semua teman-teman angkatan 2013 di Fakultas Ekonomika dan Bisnis dan juga semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulis menyelesaikan tugas akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Semua teman, sahabat dan saudara di Gereja Mawar Sharon Salatiga, yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis selama masa perkuliahan.

11. Bigbang, YG Family, Produce 101 trainees dan Wanna One yang telah memberikan semangat kepada penulis lewat karya dan musik yang mereka ciptakan.

Semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Salatiga, 28 Juli 2017 Penulis

(12)

xi DAFTAR ISI

Halaman judul ... i

Lembar Pernyataan Keaslian Tugas Akhir ... ii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iii

Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ... iv

Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ... v

Motto ... vi

Abstract ... vii

Saripati ... viii

Kata Pengantar ... ix

Ucapan Terimakasih ... x

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Lampiran ... xv

Pendahuluan ... 1

Kajian Teori ... 3

Fair Trade ... 3

Penerapan prinsip-prinsip Fair Trade ... 3

Manfaat yang diterima organisasi ... 4

Kendala Fair Trade ... 5

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala ... 8

Metode Penelitian ... 10

Jenis Penelitian ... 10

Teknik Pengumpulan Data ... 10

Situasi Sosial ... 11

Teknik Analisis Data ... 11

Pembahasan Penelitian ... 11

Profil Apikri ... 11

(13)

xii

Profil UKM ... 12

Penerapan Fair Trade di Apikri ... 14

Manfaat yang diterima Apikri ... 20

Kendala-kendala, faktor penyebab dan upaya mengatasi ... 21

Masa depan Apikri dan UKM ... 26

Penutup ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

Keterbatasan ... 28

Daftar Pustaka ... 28

Lampiran ... 30

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 10 Prinsip Fair Trade dan Definisinya ... ….. 3

Tabel 2. Penerapan 10 Prinsip Fair Trade di Apikri ... ….. 14

Tabel 3. Analisis kendala internal (pendapat Apikri) ... ….. 21

Tabel 4. Analisis kendala internal (pendapat UKM) ... ….. 22

Tabel 5. Analisis kendala eksternal (pendapat Apikri) ... ….. 22

Tabel 6. Analisis kendala eksternal (pendapat UKM) ... ….. 23

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jenis kendala dan faktor penyebabnya dalam fair trade ... ….. 8 Gambar 2. Tahapan bisnis di Apikri ... ….. 18 Gambar 3. Mekanisme Hubungan antara UKM, Apikri dan Buyer ... ….. 19

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Profil Organisasi (APIKRI) ... ….. 30

Lampiran 2. Grafik Total Penjualan (Sales) Apikri Tahun 2014-2016 ... ….. 31

Lampiran 3. Wawancara dengan Apikri ... ….. 31

Lampiran 4. Wawancara dengan Pengrajin (UKM) ... ….. 34

(17)

1 PENDAHULUAN

Melihat makin ketatnya persaingan bisnis di era modern seperti sekarang mengharuskan para pelaku bisnis pintar-pintar dalam menerapkan strategi. Para pelaku bisnis yang dimaksud tak hanya pebisnis besar saja, namun pebisnis kecil juga demikian. Salah satu contoh dari pebisnis kecil adalah UKM. Di Indonesia sendiri, jumlah UKM sangat banyak dan beragam jenisnya. Melihat banyaknya jumlah UKM yang ada, bukan berarti UKM tidak mempunyai masalah atau kendala. Salah satu kendala yang masih dialami oleh UKM Indonesia adalah hambatan ekspor. Menurut Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK (2006) peran ekspor UKM masih relatif kecil dikarenakan hambatan dalam kegiatan ekspor itu sendiri.

Jika dibandingkan dengan eksportir besar, tentunya performa dari UKM akan sangat berbeda jauh. Perbedaan inilah yang memunculkan ketimpangan. Ditengah maraknya persaingan dan ketimpangan tersebut, ada beberapa pelaku bisnis yang melakukan suatu hal, dimana hal tersebut dianggap kurang beretika. Kurang beretika disini yang peneliti maksud adalah banyaknya pihak yang terlalu berfokus pada keuntungan atau profit semata. Sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi pihak tertentu. Ditengah persaingan yang tidak sehat tersebut, muncullah sistem fair trade.

Fair trade menurut FLO (Fair Trade International) dalam delCarmen (2013), adalah pendekatan alternatif dalam perdagangan konvensional dan didasarkan kemitraan antara produsen dan konsumen. Fair trade menawarkan kesepakatan yang lebih baik bagi produsen dan peningkatan persyaratan perdagangan, dimana hal tersebut memperbolehkan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup dan perencanaan produsen di masa yang akan datang.

Tujuan dari fair trade lainnya adalah membantu produsen lokal dari negara-negara berkembang agar tidak kalah bersaing dengan produsen besar dari negara maju. Jadi tujuan akhir dari fair trade adalah membantu setiap produsen lokal agar mereka mendapatkan upah yang layak untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Upah ini didapatkan dengan cara mempromosikan produk mereka ke pasar domestik maupun pasar internasional. Promosi ini secara khusus ditangani oleh organisasi tertentu yang memayungi fair trade. Secara global organisasi yang menangani adalah WFTO (World Fair Trade Organization). WFTO kemudian mempunyai organisasi lain di beberapa negara yang secara khusus bertugas untuk memantau seperti apa pelaksanaan dari prinsip-prinsip fair trade di negaranya.

Dalam prakteknya, produk-produk yang dijual lewat fair trade cukup beragam, pada umumnya adalah makanan (bahan pangan), kerajinan tangan, dan tekstil. Menurut delCarmen (2013), sampai pada tahun 1990, produk kerajinan tangan dan tekstil sangat merajai penjualan fair trade. delCarmen juga menyebutkan bahwa pada tahun 1991 penjualan fair trade secara global mencapai 4,96 juta euro, meningkat sebanyak 12% dari tahun sebelumnya meskipun sempat mengalami krisis global.

Dengan berjalannya sistem fair trade ini, telah banyak membantu berbagai produsen yang terdaftar didalamnya serta juga membantu organisasi yang menanganinya. Penelitian dari Jaffee (2007) dalam Robbins (2013), menyebutkan bahwa dengan adanya fair trade pada komunitas di Meksiko dapat meningkatkan pendapatan petani kopi disana jika dibandingkan dengan menjualnya di pasar konvensional, mengurangi hutang rumah tangga, meningkatkan perekonomian individu dan daerah serta memberikan kehidupan dan pendidikan yang layak

(18)

2

bagi anak mereka. Tetapi walaupun sudah memberikan kemudahan dan keuntungan dari biasanya, namun tidak cukup untuk mengatasi kemiskinan secara keseluruhan. Manfaat dari fair trade ini tak hanya diterima oleh produsen saja, tetapi organisasi juga menerimanya.

Organisasi mendapatkan profit dari hasil penjualan, dana dan bantuan yang dapat digunakan untuk menjalankan organisasi dan membantu produsen yang terdaftar.

Di Indonesia terdapat beberapa organisasi fair trade yaitu Pekerti (Jakarta), Apikri (Yogyakarta), Mitra Bali Fair Trade (Bali), CD Craft (Yogyakarta), Lombok Pottery (Nusa Tenggara Barat), Arum Dalu (Bali), JKPP Buton (Sulawesi Tenggara), Sahani Organic (Yogyakarta), Java Ixora (Yogyakarta), dan XS Project (Jakarta). Peneliti disini ingin melihat praktek organisasi fair trade di kota Yogyakarta yaitu Apikri. Apikri adalah organisasi fair trade yang secara khusus menangani produk kerajinan tangan. Selain itu, kota Yogyakarta juga kerap dikenal sebagai kota budaya yang menghasilkan produk-produk kesenian. Hal inilah merupakan salah satu alasan peneliti memilih Apikri sebagai objek penelitian.

Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari sumber di Apikri, ada banyak manfaat yang diterima oleh Apikri serta UKM yang ada didalamnya. Namun juga masih ditemukan beberapa kendala yang muncul. Kebanyakan kendala tersebut berasal dari pihak UKM yang terdaftar. Salah satu masalah yang kerap muncul adalah minimnya order dari buyer yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya kreativitas dari UKM tertentu serta trend pasar yang selalu berubah dan UKM tidak bisa mengikutinya. Dengan minimnya order tersebut mengakibatkan beberapa UKM tidak mendapatkan penghasilan yang stabil.

Berdasarkan kondisi dan informasi diatas, peneliti tertarik untuk mendalami tentang pelaksanaan fair trade pada UKM di Apikri serta kendala-kendalanya. Selain itu, melihat jumlah penelitian di Indonesia mengenai fair trade pada UKM yang masih sedikit juga mendorong peneliti untuk meneliti hal diatas.

Berdasarkan latar belakang diatas, persoalan penelitian pada penelitian ini adalah: 1) Bagaimana penerapan prinsip-prinsip fair trade di Apikri?, 2) Apa saja manfaat yang diterima oleh Apikri sebagai organisasi fair trade?, 3) Apa saja kendala-kendala yang muncul di Apikri dan pengrajinnya?, 4) Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Apikri untuk mengatasi kendala tersebut?. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seperti apa penerapan dari prinsip-prinsip fair trade di Apikri, untuk mengetahui apa saja manfaat yang diterima oleh Apikri, untuk mengetahui apa saja kendala yang muncul di Apikri dan pengrajinnya dan untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan Apikri untuk mengatasi kendala tersebut.

Manfaat penelitian ini untuk organisasi adalah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau bahan pendukung keputusan untuk masalah yang kemungkinan sedang dihadapi serta manfaatnya untuk peneliti adalah dapat memperdalam pengetahuan dan wawasan peneliti tentang praktek fair trade di Indonesia khususnya di Apikri (Yogyakarta).

(19)

3 KAJIAN TEORI

Fair Trade

Menurut piagam prinsip-prinsip fair trade dalam delCarmen (2013), fair trade pada dasarnya adalah tanggapan terhadap kegagalan dalam perdagangan konvensional, yang bertujuan untuk memberikan mata pencaharian berkelanjutan dan memberikan peluang bagi orang-orang yang berada di negara berkembang dan negara miskin. Definisi yang umum tentang fair trade juga dikembangkan oleh FINE (2001) dalam delCarmen (2013) yaitu fair trade adalah kemitraan perdagangan, berdasarkan pada dialog, transparansi dan saling hormat yang melihat ekuitas yang lebih besar pada perdagangan internasional. Hal tersebut berkontribusi untuk pembangunan berkelanjutan dengan menawarkan kondisi yang lebih baik untuk perdagangan dan mengamankan hak-hak produsen yang terpinggirkan. Organisasi fair trade (didukung oleh konsumen) untuk secara aktif terlibat dalam kesadaran meningkatkan dan mendukung kampanye untuk perubahan dalam aturan dan praktek perdagangan konvensional. Definisi tersebut dikembangkan oleh FINE. FINE sendiri adalah akronim yang sering digunakan dalam asosiasi informal pada FLO (Fair Trade International Organization) dan WFTO (World Fair Trade Organization).

Jika melihat dari definisi diatas dapat dilihat bahwa fair trade ini adalah cara yang dikembangkan guna mengatasi ketidakadilan dalam perdagangan konvensional. Perdagangan ini pada umumnya dikuasai oleh negara-negara maju, sehingga produsen-produsen yang berada di negara berkembang dan negara miskin susah terlibat dalam persaingan. Dengan adanya sistem fair trade ini dapat membantu produsen-produsen di negara miskin dan berkembang agar produk mereka lebih dikenal oleh masyarakat global dan tentunya membantu meningkatkan perekonomian mereka agar lebih baik. Fair trade tak hanya melibatkan produsen-produsen dan organisasi tertentu saja, tetapi fair trade juga melibatkan konsumen. Yang mana konsumen nantilah yang pada akhirnya menjadi end usernya.

Sehingga untuk mengenalkan produk mereka ke konsumen peran organisasi yang ada sangat diperlukan.

Penerapan prinsip-prinsip Fair Trade

Tabel 1

10 Prinsip Fair Trade dan Definisinya Opportunities for

Disadvantaged Producers

Organisasi mendukung produsen kecil yang terpinggirkan, baik bisnis keluarga independen, atau dikelompokkan dalam asosiasi atau koperasi.

Transparency and Accountability

Organisasi harus transparan dan mempunyai komunikasi yang baik antar anggota.

Fair Trade Practices Organisasi bertanggung jawab secara profesional dalam memenuhi komitmen dan tanggung jawabnya.

Fair Payment Organisasi harus menyediakan upah yang adil bagi produsen dan sesuai dengan kesepakatan yang ada.

No Child Labour, No Forced Labour

Organisasi perlu memastikan bahwa tidak ada tenaga kerja paksa dan tenaga kerja anak.

(20)

4 No Discrimination, Gender

Equity, Freedom of Association

Organisasi tidak boleh melakukan diskriminasi dalam perekrutan, remunerasi, akses ke pelatihan, promosi, penghentian atau pensiun berdasarkan ras, kasta, agama, kecacatan, jenis kelamin, orientasi seksual, keanggotaan serikat, afiliasi politik, status HIV/AIDS atau usia.

Good Working Conditions Organisasi perlu menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi karyawan dan anggota.

Respect for the Environment Organisasi harus meminimalisir dampak negatif bagi lingkungan (bagi produsen yang menggunakan bahan baku dari alam).

Sumber : WFTO (terjemahan), 2017

Kesepuluh prinsip ini perlu diperhatikan dan dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh organisasi pelaksana fair trade. Prinsip ini bertujuan untuk dijadikan pedoman dan penilaian apakah organisasi tersebut sudah berhasil menerapkan fair trade atau belum.

Manfaat yang diterima organisasi

Berdasarkan penelitian delCarmen (2013) yang meneliti tentang pelaksanaan fair trade di Peru menjelaskan bahwa organisasi banyak menerima keuntungan dan bantuan pada saat menjalankan sistem fair trade. Pada saat mewawancarai CIAP, dijelaskan bahwa organisasi pada saat awal berdiri, mereka masih kebingungan dengan konsep fair trade yang sebenarnya. Berkat bantuan komunitas gereja dan organisasi non-pemerintah, mereka menjadi lebih paham tentang konsep fair trade. Selain itu, pada penelitiannya tentang organisasi lain di Peru yaitu MINKA, menjelaskan bahwa pihak MINKA banyak melakukan aktivitas komersial seperti membentuk partnership yang kuat dengan beberapa klien seperti People Tree dari U.K dan Trade Aid dari New Zealand. Profit yang mereka dapatkan dari aktivitas diatas digunakan MINKA untuk mendanai kegiatan-kegiatan komunitas pengrajin MINKA. Selain itu, MINKA juga kerap mendapatkan donasi dari komunitas lain berupa peralatan-peralatan seperti komputer. Adanya donasi ini membantu para pengrajin disana untuk mengakses internet dan informasi tertentu. Adanya kemudahan ini tak hanya membantu pengrajin disana saja tetapi juga memudahkan organisasi untuk memberikan informasi tertentu kepada pengrajin yang ada. Karena sebelumnya, mereka mengalami kesulitan untuk menyebarkan informasi, dikarenakan kemiskinan parah pengrajin disana.

Untuk dapat melaksanakan fair trade dengan baik, organisasi yang ada tidak berjalan sendiri.

Ada beberapa pihak yang ikut membantu jalannya fair trade tersebut. Menurut Commons (2008) dalam delCarmen (2013), secara umum organisasi berada di bawah pengawasan dari WFTO (World Fair Trade Organization) dan FLO (Fair Trade International Organization).

FLO adalah organisasi yang khusus untuk memberikan sertifikasi pada produk-produk tertentu agar dapat dikelompokkan menjadi produk fair trade. Sedangkan WFTO adalah organisasi yang bertugas untuk memonitoring organisasi yang tergabung dalam fair trade.

Menurut Nicholls dan Opal (2005) dalam delCarmen (2013), produk kerajinan tangan dan tekstil tidak mendapatkan sertifikasi fair trade dikarenakan jenis dan teknik produksinya yang sangat kompleks sehingga sangat susah untuk memberikan sertifikasi ke setiap produk.

Oleh karena itu, produk kerajinan tangan dan tekstil hanya diawasi oleh WFTO dan organisasi-organisasi daerah yang tergabung di dalamnya. Di Indonesia sendiri, pelaksanaan fair trade diawasi oleh FFTI (Forum Fair Trade Indonesia).

(21)

5

FFTI adalah perwakilan dari regional Asia, atau juga bisa disebut sebagai Country Network dari World Fair Trade Organization (WFTO) Asia.

Tak hanya oleh organisasi saja, pihak lain juga mempunyai peran yang cukup besar di dalamnya. Buyer atau pembeli disini juga sangat membantu proses pelaksanaan dari fair trade. Menurut delCarmen (2013), buyer cukup berperan dalam quality control, dimana disini buyer banyak memberikan masukan kepada organisasi terhadap produk yang dibelinya dari produsen. Tak haya itu, menurut Stratton dan Werner (2013) dan Becchetti et. al (2007) buyer juga berperan dalam menerapkan pembelian yang bersifat sosial atau bisa disebut socially responsible. Socially responsible disini bertujuan untuk meningkatkan value dalam proses penjualannya kepada konsumen dan memberikan rasa puas dan bangga kepada konsumen, yaitu dengan ikut membeli produk fair trade. Menurut penelitian Cabrera (2001) dalam Linton, dkk (2004), Starbucks ikut membeli kopi fair trade guna menarik pembeli agar membeli kopi fair trade dan menjadi bagian dari “Starbucks experience”. Selain itu, Doane (2010) dalam Robbins (2013) menjelaskan bahwa pengusaha kecil dan coffee roasters kerap membantu para petani kopi pada saat harga kopi turun. Bantuan yang ada berupa mengembangkan tempat wisata dengan memberikan value dan pengalaman tentang budaya, lingkungan, petualangan dan tentunya kopi. Pengembangan tur wisata ini juga dilakukan pada pengrajin di Ten Thousand Village, Kanada yang ditujukan untuk para wisatawan lokal yang tertarik dengan kerajinan tangan (Randall, 2005).

Kendala Fair Trade

Berdasarkan Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK (2006), Usaha Kecil (UK) yang berpotensi mempunyai peranan besar dalam ekspor adalah UK yang mengandalkan keahlian tangan (handmade), seperti kerajinan perhiasan dan ukiran kayu.

Karakteristik tersebut merupakan keunggulan dari UK yang mana bersifat padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini berbeda dengan UB (Usaha Besar) yang bersifat padat modal. Akan tetapi, walaupun dianggap dapat berperan besar, pada kenyataannya UKM yang ada masih kerap mengalami hambatan-hambatan. Salah satu hambatan yaitu hambatan ekspor (Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK, 2006)

Dengan adanya sistem fair trade, maka pengrajin kecil atau UKM akan lebih banyak terbantu. Organisasi fair trade sendiri memang memfokuskan diri pada pengrajin atau produsen yang susah berkembang. Menurut WFTO ada 10 prinsip yang mengatur tentang jalannya fair trade di seluruh dunia. Kesepuluh prinsip tersebut harus dijalankan oleh organisasi fair trade dengan sebaik-baiknya. Prinsip ini berkaitan dengan organisasi pemangku di daerah serta anggota yang terlibat didalamnya. Seringkali dalam proses pelaksanaan fair trade masih ada prinsip-prinsip yang belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Hal ini menunjukkan masalah atau kendala tidak sepenuhnya berhenti begitu saja jika pengrajin atau UKM memasuki fair trade.

Jenis kendala dibagi menjadi 2 yaitu, kendala internal dan eksternal. Internal dalam penelitian ini adalah kendala yang muncul dari pihak produsen atau organisasi sedangkan eksternal adalah kendala yang muncul dari luar.

(22)

6 a. Kendala Internal

Menurut Bezençon (2011), masalah yang sering dikeluhkan produsen adalah minimnya order yang diterima dari TerrEspoir Foundation. Dalam penelitiannya Bezençon mengkombinasikan hasil penelitian dari Diaz Pedregal (2006), Murray et al. (2003), dan Ronchi (2002). TerrEspoir adalah partnership antara koperasi yang memproduksi buah-buahan di Cameroon dan fondation lain yang mengimpor dan mendistribusikan buah tersebut di Switzerland. TerrEspoir mempunyai anggota sebanyak 147 orang dan masing-masing dari mereka hanya dapat menjual 10-20%

dari hasil produksi. Minimnya penjualan ini disebabkan oleh kebijakan yang diterapkan oleh fondation. Kebijakan yang mereka terapkan adalah terus memperbanyak jumlah produsen yang terdaftar bukan dengan membatasi mereka tetapi meningkatkan kuota produksi mereka. Hal inilah yang menyebabkan total produksi masing-masing produsen tidak seperti yang mereka harapkan dan keluhan dari produsen.

Penelitian Joordan dan Barry (2009) menjelaskan bahwa terjadi penurunan jumlah pengrajin yang mempunyai skill di Afrika Selatan. Hal ini diakibatkan oleh minimnya kemauan si pengrajin untuk mengembangkan skill nya serta organisasi setempat yang mengurangi biaya pelatihan bagi pengrajin. Disini pengrajin cenderung lebih suka mengembangkan skill nya sendiri. Pelatihan yang seharusnya diberikan pun, juga tidak dilaksanakan dengan benar. Pelatihan ini mencakup memberikan skill tambahan bagi pengrajin disana. Akibat mengurangi biaya tersebut, maka skill mereka tidak berkembang. Selain itu, kondisi lain yang makin memperburuk keadaan adalah rendahnya permintaan. Akibat rendahnya permintaan maka para pengrajin disana

“menganggur” sehingga upah atau pendapatan yang mereka terima tidak mengalami kenaikan padahal biaya hidup terus meningkat. Hal tersebut terjadi terus menerus sehingga akhirnya jumlah pengrajin disana berkurang dan berpindah ke profesi lain.

Menurut penelitian delCarmen (2013), komunitas Unocolla di Peru hanya memasukkan produk mereka ke pasar fair trade sekitar 20-30%. Yang berarti mereka hanya bekerja 3 sampai 4 bulan setiap tahunnya untuk memproduksi permintaan dari pasar fair trade. Berdasarkan direktur MINKA (organisasi fair trade di Peru) alasan utama dari masalah tersebut adalah kurangnya permintaan. Akan tetapi masalah tersebut tidak terlalu banyak memberikan pengaruh negatif. Bahkan sebaliknya, hanya dengan memproduksi 20% tersebut, pengrajin disana sudah mendapatkan pendapatan yang sama banyaknya dari pasar konvensional selama setahun. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya. Rendahnya permintaan ini justru tidak berakibat buruk bagi produsen. Walaupun dengan permintaan yang sedikit mereka masih mampu bertahan bahkan mereka dapat perlahan-lahan meningkatkan kualitas hidup mereka. Tetapi yang menjadi masalah ekonomi di komunitas Unocolla bukan hal tersebut, melainkan masalah upah yang diterima oleh para pekerja atau staff. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa upah yang diterima tidak sesuai dengan hasil yang sudah disepakati bersama.

Walaupun upah mereka sudah sesuai dengan upah minimum Peru, tetapi kenyataannya mereka hanya menerima sekitar 20% dari kesepakatan.

(23)

7

Penelitian yang sama menambahkan bahwa di Peru, khususnya MINKA sempat mengalami masalah tentang ketidakmampuan pengrajin dalam menyelesaikan produknya. Hal ini disebabkan oleh kondisi keuangan mereka yang tidak memungkinkan untuk menunggu sampai pembayaran diterima. Adanya masalah seperti diatas juga menimbulkan masalah bagi buyer. Karena produk yang mereka pesan tidak selesai dengan tepat waktu. Dan apabila jika berlangsung terus menerus, maka jumlah permintaan kemungkinan akan mengalami penurunan.

b. Kendala Eksternal

Rendahnya permintaan juga dialami oleh petani kopi di Costa Rica, tetapi hal ini disebabkan oleh keadaan dari luar. Penelitian Sick (2008), menjelaskan bahwa produksi kopi di Costa Rica terbilang sangat rendah jika dibandingkan dengan negara penghasil kopi lainnya seperti Peru, Mexico dan Nicaragua. Produksi kopi yang dijual dalam pasar fair trade hanya sekitar 1% dari total produksinya. The Consorcio de Cooperativas Cafetalera de Guanacaste y Montes de Oro atau yang lebih sering disebut Coocafé yaitu sebuah konsorsium tertua disana hanya membeli sekitar 30.000 kuintal setiap tahunnya dari petani yang sebanyak 3.500 orang. Belum diketahui secara pasti hal apa yang menyebabkan rendahnya permintaan tersebut. Sick memperkirakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh minimnya cakupan pasar dari kopi fair trade Costa Rica.

Minimnya permintaan juga terjadi pada pengrajin kain di India. Penelitian Wood (2011) menyebutkan bahwa kain di India kalah bersaing dengan kain produksi China. China kerap kali dikenal sebagai negara yang pintar dalam membuat barang imitasi dengan harga yang lebih murah dari harga aslinya. Perbedaan harga tersebut yang menyebabkan permintaan akan kain dari India berkurang cukup banyak. Kain dari India ini jelas memiliki harga yang lebih tinggi karena proses pembuatannya yang masih manual dan mempunyai nilai seni yang lebih tinggi dari kain produksi China.

Persaingan yang tidak seimbang inilah yang pada akhirnya akan membuat para pengrajin di India susah untuk bertahan kedepannya.

Tak hanya pada pengrajin saja, ketidakstabilan pendapatan ini juga dialami oleh petani kopi asal Peru dan Mexico. Berdasarkan penelitian dari Raynolds (2009) dalam Dragusanu et. al (2013) belum ditemukan bukti yang akurat apakah organisasi kopi fair trade di Peru dan Mexico dapat memberikan stabilitas kepada petani kopi atau tidak. Raynolds menjelaskan bahwa hal tersebut salah satunya disebabkan oleh susahnya menemukan partnership dengan pembeli kopi yang biasanya disebut

“market drive”. Market drive ini adalah pihak yang akan membeli kopi (biasanya dalam jumlah besar) seperti Starbucks, Nestle, dll. Apabila hal tersebut susah dilakukan, maka organisasi juga akan kesulitan menjual kopi milik petani dan pada akhirnya menyebabkan pendapatan petani kopi yang tidak stabil. Stabilitas merupakan salah satu praktek yang baik di dalam organisasi fair trade tetapi juga sulit untuk dijalankan. Terkadang ketidakstabilan ini diakibatkan oleh kondisi perekonomian suatu negara yang sedang memburuk atau bisa juga kondisi pasar domestik dan luar negeri yang berubah.

(24)

8 Gambar 1

Jenis kendala dan faktor penyebabnya dalam fair trade Sumber : berbagai hasil penelitian terdahulu

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala

Dalam mengatasi kendala yang ada pada pelaksanaan fair trade, perlu adanya keterlibatan antara berbagai pihak, yaitu dari produsen, organisasi dan pemerintah setempat.

Namun apabila para produsen tidak dapat mengatasinya, maka peran organisasi sangat diperlukan. Pada sub bab sebelumnya sudah dijelaskan jenis kendala yang kerap dialami serta faktor penyebabnya. Maka dari itu, pada sub bab ini, peneliti akan menjelaskan cara apa yang sudah atau sebaiknya dilakukan untuk mengatasinya, baik upaya organisasi dan produsen.

Pada penelitian Bezençon (2011) menjelaskan bahwa terdapat keluhan pada petani buah-buahan akibat rendahnya permintaan dari TerrEspoir Foundation. Kendala tersebut muncul akibat aturan yang dilaksanaan pada TerrEspoir. TerrEspoir memberlakukan aturan bahwa mereka memperbolehkan masuknya petani sebanyak-banyaknya pada foundation.

Karena fair trade yang sifatnya “fair” dan memberikan produsen perlakuan yang sama satu dengan yang lainnya. Untuk menghadapi keluhan tersebut, TerrEspoir tetap memberlakukan aturan tersebut tetapi dengan memberikan benefit yang banyak kepada masing-masing produsen yang terdaftar. Benefit yang mereka terima dalam aspek ekonomi adalah, pertama dengan memberikan harga yang lebih tinggi dari pasar konvensional serta jaminan mendapatkan harga yang stabil dan tidak berfluktuatif seperti harga dari pasar konvensional.

Kedua, para produsen juga menerima pelatihan dalam bisnis dan manajemen yang baik, dan yang terakhir adalah kesempatan untuk membangun kapasitas produsen.

Joordan dan Barry (2009) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa organisasi tidak serius dalam menjaga dan menjamin kehidupan pengrajin didalamnya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan adanya penurunan jumlah pengrajin di Afrika Selatan. Dalam kesimpulannya, hal-hal yang perlu diupayakan oleh organisasi lebih dalam lagi adalah dengan meningkatkan upaya untuk melatih pengrajin, karena masih ditemukan data bahwa ada pihak-pihak yang tidak serius dalam melakukannya. Secara keseluruhan kebutuhan individual (hierarki

(25)

9

Maslow) perlu lebih ditingkatkan lagi agar tak hanya mendapatkan upah yang layak saja, tetapi mereka juga merasakan kenyamanan dan dihargai oleh organisasi. Joordan dan Barry juga menjelaskan bahwa hasil penelitian tidak sepenuhnya akurat, karena dari 73 organisasi hanya 1 organisasi saja yang bersedia untuk di tes pendapatnya.

Penelitian delCarmen (2013) menjelaskan bahwa adanya keluhan dari para pekerja di komunitas Unocolla, Peru bahwa upah yang mereka tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Belum ditemukan hasil apakah organisasi setempat sudah mengatasi kendala tersebut atau belum. Tetapi perlu dicatat bahwa organisasi perlu menepati perjanjian dengan benar. Apalagi masalah upah adalah hal yang negatif. Jika tidak segera diatasi, maka kredibilitas organisasi akan turun dan akan dianggap tidak menerapkan fair trade dengan benar sesuai dengan prinsip yang ada.

Selain itu untuk mengatasi masalah pada pengrajin di MINKA, Peru organisasi memberlakukan sistem pre-payment. Yang mana mengharuskan buyer untuk memberikan payment pertama sejumlah 50%, dan sisanya dibayarkan pada saat produk sudah mereka terima. Hal ini ditujukan agar pengrajin di MINKA dapat memproduksi barang tanpa ada kendala keuangan. Selain itu, upaya tersebut dilakukan guna mencegah para pengrajin untuk menjual produk mereka ke pasar konvensional terlalu sering. Yang mana jika mereka menjual di pasar konvensional, pembayaran yang mereka terima langsung diterima pada saat itu juga.

Penelitian Sick (2008) tentang petani kopi di Costa Rica menyebutkan bahwa organisasi-organisasi fair trade disana sudah melakukan banyak hal untuk meningkatkan permintaan kopi dan mempertahankan harga jualnya. Beberapa hal yang sudah dilakukan adalah bekerjasama dengan Las Nubes Biological Corridor dan Coocafé, serta membuat perjanjian partnership dengan organisasi besar lainnya. Walaupun sudah melakukan hal-hal diatas, produksi dan permintaan kopi Costa Rica masih terbilang kecil bahkan tidak berkembang. Oleh karena itu, banyak petani kopi disana yang tidak menanam kopi lagi.

Tetapi mengganti dengan tanaman tropis lainnya yang lebih menjanjikan, yaitu nanas. Aksi ini dilakukan murni keputusan pribadi dari petani disana, sehingga mengakibatkan jumlah petani kopi fair trade di Costa Rica yang aktif semakin berkurang. Melihat hasil penelitian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa upaya yang dilakukan oleh organisasi setempat telah gagal.

Di India, belum banyak organisasi yang menangani fair trade secara keseluruhan.

Menurut penelitian Wood (2011), terdapat organisasi yang membantu pengrajin di India untuk memperdalam teknik mereka dalam membuat kain. Organisasi tersebut adalah AVANI.

AVANI disini lebih banyak mengajarkan pengrajin di India dalam menerapkan cinta lingkungan dalam setiap proses produksi yang mereka kerjakan agar tidak membahayakan lingkungan. Selain itu, ada organisasi lain yang khusus memasarkan produk mereka ke pasar Internasional yaitu AIACA (All Indian Artisan’s and Craft Workers’s Welfare Association‘s). Organisasi ini mengembangkan platform untuk memasarkan produk pengrajin India. Tak hanya memasarkan saja, tetapi mereka juga mengembangkan sektor pasar agar lebih luas serta meningkatkan awareness konsumen disana untuk menggunakan produk milik pengrajin lokal India. Walaupun sudah melakukan banyak hal untuk memasarkan produk pengrajin lokal, tetapi masalah seperti persaingan dengan produk dari China masih merupakan masalah yang belum teratasi dengan baik. Dalam kesimpulan penelitiannya,

(26)

10

Wood menjelaskan bahwa bahwa organisasi setempat masih belum memberikan upaya maksimal untuk mengatasinya.

Untuk mengatasi ketidakstabilan pendapatan yang dirasakan oleh petani kopi di Peru dan Mexico, hal yang dilakukan organisasi adalah dengan mengupayakan untuk mencari partnership yang bersedia membeli kopi fair trade. Belum ditemukan bukti yang akurat apakah hal tersebut berhasil atau tidak. Tetapi berdasarkan penelitian Raynolds (2009) dalam Dragusanu et. al (2013), organisasi sedikit merasakan kesusahan untuk menjalankan kontrak yang sifatnya jangka panjang. Kebanyakan perusahaan hanya bersedia untuk menandatangani kontrak yang berjangka pendek saja dikarenakan berbagai kesulitan selama pelaksanaannya (Fisher, 2013).

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis hasil penelitian.

Menurut Moleong (2010), metode kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian dan dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah.

Teknik Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk mengumpulkan data.

Wawancara dilakukan dengan perwakilan dari Apikri dan UKM. Untuk perwakilan Apikri, peneliti mengambil 1 orang narasumber, sedangkan perwakilan UKM peneliti mengambil 3 orang narasumber. Wawancara ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian lewat cara yang lebih komunikatif dan juga untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam.

Wawancara menurut Moleong (2010) adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dan terwawancara (interviewee). Selama melakukan wawancara dengan UKM, secara tidak langsung peneliti melakukan pengamatan sederhana tentang kondisi mereka. Selain itu, apabila ada permasalahan atau kasus yang menarik untuk diperdalam, peneliti akan mengembangkan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan yang sifatnya spontan ini akan digunakan untuk memperdalam masalah yang ditemukan di lapangan.

a. Satuan Analisis

Penelitian ini menjadikan Apikri sebagai objek yang akan dianalisis. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk melihat praktek fair trade yang diterapkan oleh Apikri sebagai organisasi pelaksana fair trade di kota Yogyakarta.

b. Satuan Pengamatan

Penelitian ini menjadikan 3 UKM sebagai objek yang akan diamati. Pengamatan dilakukan secara sederhana dan sifatnya secara tidak langsung selama melakukan wawancara dengan UKM.

(27)

11 Situasi Sosial

Menurut Spadley (1980) dalam Sugiyono (2006), dalam penelitian kualitatif menggunakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Place nya yaitu di Apikri dan lokasi UKM dan actors nya yaitu perwakilan dari Apikri yang dapat dimintai keterangan lebih lanjut serta beberapa UKM yang memenuhi kriteria. Dan aktivitas yang dilakukan adalah dengan tanya jawab mengenai masalah fair trade.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat praktek fair trade yang terjadi di Apikri, namun pada pelaksanaannya data yang didapatkan dari Apikri masih belum relevan. Oleh karena itu, penelitian ini menambahkan pendapat dari beberapa UKM Apikri. Untuk memilih jenis UKM yang akan diwawancarai, peneliti menghubungi Apikri dan meminta informasi dari Apikri terkait kriteria UKM disana. UKM yang ada dapat dibagi menjadi 3 kriteria yaitu kecil, mapan dan menengah. Dengan menentukan kriteria seperti diatas, maka dapat memberikan tambahan informasi terkait praktek dan kendala dari fair trade yang terjadi. Setelah mendapatkan beberapa informasi tentang pemilik dan alamat UKM, selanjutnya peneliti memilih dari masing-masing kriteria 1 jenis UKM. Pemilihan ini didasarkan pada jenis kerajinan tangan yang diproduksi guna memberikan variasi jawaban yang berbeda.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik model Miles dan Huberman. Menurut Sugiyono (2006), analisis data ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel.

PEMBAHASAN PENELITIAN

Profil Apikri

Apikri merupakan salah satu organisasi di Indonesia yang menerapkan dan mengembangkan gerakan fair trade. Apikri bertujuan untuk membantu para pengrajin kecil yang ada di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Selain di Yogyakarta, Apikri juga menangani fair trade untuk pengrajin di kota lainnya seperti Klaten, Wonogiri, Solo, Secang, Pekalongan dan Jawa Timur (Pacitan, Gresik, Situbondo). Apikri didirikan pada tahun 1987 oleh 25 orang pengrajin kecil dan para aktivis NGO sebagai pendampingnya. Awalnya Apikri merupakan singkatan dari Asosiasi Pemasaran Industri Kerajinan Rakyat Indonesia. Tahun 1989, nama Apikri berubah menjadi Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia. Perubahan nama ini disebabkan karena problem usaha kecil mikro tidak hanya pemasaran, tetapi juga problem lain seperti produk dan keproduksian, mental kewirausahaan, permodalan, dan lain-lain. Tahun 1990, Apikri berubah lagi menjadi Yayasan Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan “Yayasan Apikri”.

Apikri merupakan organisasi kedua setelah Pekerti (Jakarta) yang terdaftar sebagai anggota FFTI (Forum Fair Trade Indonesia). Apikri juga merupakan anggota dari AFTF (Asia Fair Trade Forum) dan IFAT (International Federation Alternative Trade). Tujuan

(28)

12

utama Apikri sebagai organisasi fair trade adalah untuk meningkatkan kemampuan bisnis bagi para pengrajin mikro kecil, memfasilitasi akses pemasaran bagi para pengrajin mikro kecil, memperkuat bagi para pengrajin mikro kecil sebagai pelaku usaha dalam dinamika ekonomi nasional serta mendorong terwujudnya perdagangan yang adil sebagai instrumen untuk mencapai demokrasi dalam kehidupan ekonomi.

Apikri secara khusus membantu para pengrajin kecil di Yogyakarta dengan memfasilitasi akses ke pasar internasional (ekspor). Ekspor disini merupakan langkah terakhir yang dilakukan Apikri apabila para pengrajin kesulitan mendapatkan pasarnya sendiri atau pasar lain yang potensial. Apikri tidak terlibat dalam pasar domestik yang dilakukan oleh para pengrajin. Apikri berharap bahwa para pengrajin dapat lebih mandiri dalam mencari pasar domestiknya sendiri. Apikri dan pengrajin membangun hubungan yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Jadi Apikri dan pengrajin bekerja sama demi mencapai keuntungan yang diinginkan masing-masing.

Karena fokusnya pada pasar internasional, Apikri bekerja sama dengan beberapa trading partner di luar negeri. Sampai dengan akhir tahun 2006, Apikri telah bekerja sama dengan 17 trading partner dari negara Eropa, Amerika Utara, Asia dan Australia. Tetapi mulai tahun 2014 dan 2015, jumlah trading partner Apikri berkurang menjadi 13 bahkan sempat menjadi 12. Dan pada akhir tahun 2016 bertambah satu lagi menjadi 13. Sebagian besar trading partner Apikri adalah chain stores, bukan broker, agen atau distributor.

Trading ini diperlukan untuk membantu menambah pendapatan pengrajin di Apikri yang berjumlah sekitar 461 orang. Namun dari 461 orang tersebut hanya 130 orang yang masih aktif dalam kegiatan Apikri. Untuk perkembangan jumlah pengrajin di Apikri pada awal berdirinya bisa dibilang cukup cepat. Pada awal Apikri berdiri hanya terdiri dari 25 orang pengrajin kecil. Pada akhir tahun 1990an, jumlahnya mencapai dua kali lipat dari sebelumnya. Untuk tahun 2000 dan seterusnya jumlah pengrajin di Apikri terus bertambah dengan jumlah yang stabil, yaitu sekitar 10-20 orang setiap tahunnya. Jenis-jenis UKM (pengrajin) yang terdaftar di Apikri cukup beragam, yaitu kulit, logam mulia (perak, kuningan tembaga, alpaka, nugold), tekstil (batik dan serat alam), kayu, bambu, rotan, keramik, dan hewani (tanduk dan kerang). UKM yang ada pada umumnya tidak hanya berfokus pada satu bahan saja, tetapi pada produk akhirnya mereka menggunakan berbagai jenis bahan baku yang digabungkan menjadi sebuah kerajinan tangan yang mempunyai nilai seni. Sebagian besar UKM yang terdaftar di Apikri adalah pengrajin perhiasan dan yang menggunakan bahan baku alam seperti kayu, bambu, dan lain-lain.

Profil UKM

Wawancara dilakukan dengan memilih 3 orang narasumber yang berasal dari UKM yang berbeda (kecil, menengah dan mapan). Untuk kategori UKM kecil yaitu UKM bapak DA (±50 tahun). Produk-produk yang dihasilkan cenderung lebih banyak ke alat musik dan pajangan dinding yang berbahan baku kayu. Bapak DA bergabung di Apikri sejak tahun 1994 dan masih aktif sampai sekarang. Untuk kategori UKM menengah yaitu UKM bapak LU (±60 tahun). Produk-produk yang dihasilkan cenderung lebih ke perhiasan serta plakat yang berbahan baku perak dan kuningan. Bapak LU bergabung di Apikri sejak awal tahun 1990an dan masih aktif sampai sekarang. Sampai tahun 2016 kemarin, bapak LU masih aktif

(29)

13

berperan sebagai salah satu perwakilan pengrajin Apikri. Bapak LU banyak menyuarakan aspirasi pengrajin serta memberikan kritik dan saran bagi kemajuan Apikri.

Untuk kategori UKM mapan yaitu UKM bapak SR (±50 tahun). Produk-produk yang dihasilkan adalah topeng dan pajangan meja yang berbahan baku kayu. Bapak SR mengelola UKM bagi pengrajin topeng di desanya. Pada awal mula Apikri berdiri, orang tua dari bapak SR adalah salah satu pendirinya. UKM yang ada sekarang ini sudah mulai dijalankan oleh anak dari bapak SR. Bisa dibilang produksi topeng ini sudah masuk ke generasi ketiga.

Penerapan Fair Trade di Apikri

Berdasarkan prinsip-prinsip fair trade yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada 10 prinsip yang harus diusahakan oleh organisasi yang menjalankan fair trade. Begitupun dengan Apikri, mereka berusaha untuk menerapkan kesepuluh prinsip fair trade yang ada.

(30)

14 Tabel 2

Penerapan 10 Prinsip Fair Trade di Apikri

Prinsip Definisi/ Tuntutan Organisasi

Pelaksanaan Kesulitan Usaha yang dilakukan

Opportunities for Disadvantaged Producers

Organisasi mendukung produsen kecil yang terpinggirkan, baik bisnis independen, asosiasi dan koperasi untuk terlibat dalam fair trade.

Apikri mempromosikan hasil karya pengrajin (UKM) lewat fair trade kepada masyarakat LN, sehingga terjadi peningkatan kuantitas pesanan dan

pendapatan yang diterima oleh UKM.

Keterbatasan SDM yang dimiliki untuk terus menerus

mempromosikan produk UKM ke calon buyer di luar negeri.

Apikri, bekerjasama dengan FFTI dan buyer untuk membantu mempromosikan produk UKM.

Transparency and Accountability

Organisasi dituntut untuk selalu transparan akan pekerjaannya dan

berkomunikasi dengan baik kepada anggotanya.

Apikri menginformasikan proses bisnis yang harus dijalani, sistem fair trade, modal awal, bantuan dan ide design kepada UKM

Apikri masih kesulitan untuk menterjemahkan kehendak dari para buyer secara sederhana agar dapat dipahami oleh UKM.

Apikri bekerjaama dengan perwakilan dari FFTI dan buyer untuk membantu menjelaskan tuntutan mereka kepada UKM dengan cara datang ke lapangan secara rutin.

Fair Trade Practices

Organisasi dituntut untuk selalu memegang komitmen dan tanggung jawab sebagai organisasi pelaksana fair trade

Apikri mampu menjaga dan memastikan semua produk yang dikirim serta setiap proses bisnis yang dilakukan sesuai dengan tuntutan fair trade secara keseluruhan.

Apikri sering kesulitan mengontrol para UKM agar memenuhi syarat yang dituntut oleh fair trade.

Apikri melibatkan FFTI dan buyer untuk ikut memantau proses produksi yang

dilakukan oleh UKM apakah memenuhi prinsip fair trade.

Fair Payment Organisasi dituntut untuk memastikan anggotanya selalu membayar upah yang layak dan sesuai kepada pekerjanya

Apikri melakukan pengecekan secara rutin sejauh mana UKM telah memberikan upah yang layak kepada para pekerjanya.

Ada beberapa UKM pada kriteria tertentu yang belum mampu menerapkan upah sesuai UMR dikarenakan minimnya pendapatan UKM

Apikri dan perwakilan FFTI melakukan survey ke UKM secara rutin dan memberikan arahan kepada UKM

(31)

15 No Child Labour;

No Forced Labour

Organisasi memastikan anggota tidak

mempekerjakan tenaga kerja paksa dan tenaga kerja anak

Apikri secara rutin melakukan peninjauan lapangan untuk memastikan bahwa UKM tidak mempekerjakan tenaga kerja paksa dan tenaga kerja anak.

- -

No

Discrimination;

Gender Equity;

Freedom of Association

Organisasi tidak boleh melakukan diskriminasi dalam perekrutan, pelatihan, dll berdasarkan ras, agama kasta, dll

Apikri secara rutin melakukan peninjauan lapangan ke UKM untuk memastikan mereka tidak melanggar prinsip ini.

- -

Good Working Conditions

Organisasi dituntut menyediakan dan memastikan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi karyawan atau anggota

Apikri memastikan UKM mempunyai tempat kerja serta gudang penyimpanan yang layak, sehat, aman, dan nyaman bagi pekerjanya.

Masih ada beberapa UKM pada kriteria tertentu yang belum mempunyai tempat kerja layak dikarenakan minimnya pendapatan UKM.

Apikri, FFTI, dan buyer bekerja sama agar mereka dapat memberikan bantuan kepada UKM yang belum mempunyai tempat kerja layak.

Capacity Building Organisasi membantu anggota atau produsen kecil untuk meningkatkan dampak perkembangan positif melalui fair trade

Apikri memberikan pelatihan (manajemen, keuangan, pemasaran, dll) kepada UKM agar mereka ke depannya dapat bergerak secara mandiri.

Apikri masih belum mampu memberikan pelatihan secara rutin serta masih ada UKM yang malas- malasan untuk mengikuti program Apikri.

Apikri bekerja sama dengan buyer, FFTI, dan dinas setempat untuk membantu memberikan bantuan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan UKM

Promote Fair Trade

Organisasi dituntut untuk mengembangkan pemasaran yang baik kepada anggota dan buyer

Apikri mempromosikan produk UKM mereka ke masyarakat LN serta ikut serta dalam beberapa event promosi di daerah.

Keterbatasan SDM untuk mencari pasar yang baru serta keengganan Apikri untuk terlibat dalam pemasaran lokal.

Apikri dan buyer bekerjasama untuk memasarkan dan menyebarluaskan produk fair trade

(32)

16

Sumber : terjemahan WFTO (2017) dan hasil analisis peneliti dari data primer (2017) Respect for the

Enviroment

Organisasi dituntut untuk selalu melestarikan keseimbangan lingkungan dalam setiap proses bisnis yang dilakukan oleh anggotanya.

Apikri selalu memantau UKM nya untuk memastikan bahwa mereka selalu menjaga keseimbangan lingkungan dengan cara menanam pohon kembali apabila menebang.

Apikri juga melakukan pengecekan terhadap surat identitas bahan baku yang digunakan oleh UKM sehingga tidak menganggu keseimbangan lingkungan. Apikri juga

membatasi penggunaan bahan baku yang langka.

- -

(33)

17

Prinsip Opportunities for Disadvantaged Producers secara umum sudah berjalan dengan cukup baik. Namun, kesulitan yang masih dihadapi oleh Apikri adalah keterbatasan SDM di Apikri untuk terus mempromosikan fair trade secara rutin. Jika prinsip ini sudah teratasi dengan baik, maka UKM yang ada akan mendapat jaminan bahwa mereka dapat meningkatkan kualitas hidup mereka di masa mendatang. Transparency and Accountability secara umum juga sudah berjalan dengan cukup baik. Tetapi dikarenakan kehendak buyer yang cukup rumit dan bermacam-macam, Apikri masih kesulitan menjelaskan ke UKM tentang apa yang diinginkan oleh buyer. Dalam penerapan prinsip Fair Trade Practices, Apikri masih kesulitan untuk selalu memastikan produk yang dikirim sudah sesuai dengan fair trade (baik kualitas dan standarnya). Untuk memperbaiki 3 prinsip diatas, Apikri melakukan kerjasama dengan FFTI dan buyer dengan cara memantau pelaksanaannya serta memberikan bantuan dan sosialisasi kepada UKM yang terkait.

Untuk prinsip Fair Payment bisa dibilang belum terlaksana dengan baik. Jika melihat dari kriteria UKM (kecil, menengah dan mapan) tidak semua UKM yang ada dapat memberikan upah yang fair kepada pekerjanya. Untuk UKM mapan dan menengah, mereka sudah mampu untuk memberikan upah yang sesuai dengan UMR daerahnya masing-masing.

Sedangkan untuk UKM kecil, mereka masih kesusahan untuk membayarkan upah sesuai UMR. Apikri sadar akan perbedaan yang ada pada UKM nya. Oleh karena itu, perwakilan Apikri menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memaksa UKM yang tidak mampu tersebut.

Peran Apikri disini adalah memastikan bahwa pekerja yang terdaftar masih mendapatkan upah yang layak serta mendorong UKM tersebut agar memberikan bantuan-bantuan lain yang bersifat sosial sebagai pengganti upah yang belum sesuai.

Prinsip fair trade selanjutnya yaitu No Child Labour; No Forced Labour dan No Discrimination; Gender Equity; Freedom of Association sudah terlaksana dengan baik.

Praktek yang ada sudah tidak ditemukan adanya pekerja anak dan pekerja paksa, juga tidak ada diskriminasi antar gender dan ras. Dengan begitu, maka peran Apikri dalam prinsip ini sudah berjalan dengan baik.

Untuk prinsip Good Working Conditions sudah berjalan dengan baik pada UKM mapan dan menengah. Berdasarkan pengamatan, rumah yang berfungsi sebagai tempat bekerja sudah layak dan juga terpisah dari rumah utama, sehingga tidak ada kasus barang yang tercampur aduk dengan barang pribadi. Ruang tempat penyimpanan bahan baku dan barang jadi juga layak dan mempunyai ventilasi yang baik. Sedangkan pada UKM kecil, rumah dan tempat bekerja berada pada satu ruangan, ventilasi yang ada juga kurang baik sehingga semua barang bercampur aduk menjadi satu sehingga udara dalam ruangan tersebut tidak sehat. Apikri, FFTI, dan buyer setiap secara rutin mengunjungi beberapa UKM untuk melihat seperti apa kondisi mereka secara real. Peran Apikri disini kedepannya tak hanya mengontrol saja, tetapi juga mencari cara untuk mengatasi kondisi diatas. Kondisi ini berkaitan langsung dengan pesanan dan permintaan yang masuk. Semakin banyak permintaan yang masuk ke UKM kecil ini, maka kemampuan mereka untuk dapat mengembangkan kondisi ruang bekerja mereka juga akan semakin besar dan otomatis prinsip ini akan berjalan dengan baik.

Prinsip Capacity Building adalah prinsip yang bertujuan untuk menguatkan kemampuan pengrajin serta memperlihatkan perkembangan mereka. Penerapan prinsip ini belum berjalan dengan baik, dikarenakan Apikri masih kesulitan untuk memberikan pelatihan

(34)

18

secara rutin kepada UKM. Padahal pelatihan-pelatihan ini sangat diperlukan agar mereka dapat berkembang. Untuk mengatasinya, Apikri banyak bekerjasama dengan pihak lain seperti FFTI, buyer, dan dinas setempat agar UKM dapat menerima pelatihan lain diluar Apikri.

Sebagai organisasi yang menjalankan fair trade, Apikri perlu menerapkan berbagai strategi agar UKM yang terdaftar didalamnya terjamin pekerjaan dan kehidupannya. Oleh karena itu, prinsip Promote Fair Trade ini perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Yang mana peran Apikri disini adalah melakukan promosi serta mencari target pasar yang ideal.

Selama melakukan penelitian, UKM mapan dan menengah menjelaskan “Order dari Apikri cukup lancar setiap tahunnya”. Namun mereka menambahkan bahwa Apikri perlu memulai terobosan baru dalam kegiatan pemasarannya agar kedepannya UKM yang ada tidak merasa khawatir di tengah persaingan yang semakin ketat.

Prinsip terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah Respect for the Enviroment.

Prinsip ini adalah prinsip yang fokus pada pelestarian lingkungan. Sebagian besar UKM yang terdaftar di Apikri menggunakan kayu sebagai bahan baku maupun pelengkap. Perwakilan Apikri menjelaskan “konsepnya yaitu begitu tebang langsung ditanam”. Peran Apikri disini juga memastikan bahwa kayu yang ditebang tersebut tidak berlebihan, sehingga tidak mengganggu keseimbangan alam. Selain itu, untuk UKM yang membeli kayu di toko juga berada dalam pantauan Apikri. UKM tersebut perlu menyerahkan surat identitas kayu dari toko agar Apikri dapat mengetahui dan mengontrol jumlah pemakaian agar tidak berlebih.

Selain itu, agar prinsip ini terlaksana lebih baik, UKM mapan menambahkan “kami menggunakan kayu jenis tertentu saja, seperti sengon dan ulin (bukan kayu jati)”. Alasannya karena kayu jati sangat lama pertumbuhannya dan harganya juga sangat mahal. Dengan penggunaan kayu jenis lain (sengon dan ulin) akan memudahkan mereka karena kayu jenis tersebut cepat tumbuh dan harganya yang tidak terlalu mahal. Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa secara umum Apikri sudah dapat melaksanakan prinsip fair trade dengan cukup baik. Walaupun ditemukan bahwa prinsip yang ada belum berjalan dengan baik.

a. Business Process

Setiap tahap bisnis yang ada, mulai dari awal pesanan masuk hingga diterima oleh buyer ditangani dan dipantau oleh Apikri. Apikri disini selalu berkoordinasi dengan buyer serta UKM mereka sehingga proses bisnis ini dapat berjalan lancar dan dapat bertahan sampai sekarang. Berikut penjelasannya:

Gambar 2

Tahapan bisnis di Apikri

(Sumber : hasil analisis peneliti dari data primer, 2017)

(35)

19

Pada saat ada pesanan masuk, Apikri akan mencatatnya. Catatan ini berisi jenis produk, jumlah yang diinginkan, dan design tambahan. Setelah itu, Apikri akan berkoordinasi terlebih dahulu kepada pengrajin (UKM tertentu), untuk memastikan apakah mereka sanggup menyelesaikan pesanan yang diinginkan. Setelah mendapatkan konfirmasi yang jelas dari UKM, maka Apikri akan langsung menghubungi buyer bahwa pesanan resmi masuk ke Apikri. Selanjutnya buyer akan mengirim sejumlah uang ke Apikri sebagai pembayaran awal kepada UKM. Setelah pembayaran mereka terima, maka UKM akan dapat langsung memulai proses produksi. Penerimaan pembayaran awal ini diikuti dengan pemberian surat pesanan kepada UKM. Surat ini berisi jenis produk, jumlah, design tambahan dan batas waktu penyelesaian produk (deadline).

Lamanya proses produksi bermacam-macam, tergantung dari jenis produk dan jumlah yang dipesan. Biasanya proses ini akan memakan waktu antara 1 hingga 2 bulan. Setelah produk selesai diproduksi, UKM akan mengirim produk tersebut ke gudang Apikri. Apikri selanjutnya akan menyeleksi produk yang masuk untuk melihat apakah produk telah benar-benar sesuai dengan keinginan buyer. Apabila ada beberapa produk yang cacat atau belum sesuai dengan pesanan, maka Apikri akan mengembalikan ke UKM guna memperbaiki atau memproses ulang produk. Jika dalam proses ini memakan waktu lebih lama dari deadline, maka Apikri akan menghubungi buyer guna meminta perpanjangan waktu. Apabila tidak ada masalah dengan seleksi akhir maka tugas UKM berhenti dan Apikri dapat memulai proses packaging. Pengiriman (ekspor) dilakukan oleh Apikri sendiri. Setelah produk diterima buyer, maka buyer berkewajiban untuk melakukan pembayaran akhir kepada UKM Apikri. Proses ini berjalan dengan cara yang sama setiap ada pesanan yang masuk ke Apikri

b. Mekanisme hubungan

Dalam hubungan bisnis yang berbasis fair trade ini, ada 3 pihak yang paling sering terlibat, yaitu produsen (UKM), organisasi, dan buyer. Ketiga pihak ini saling berhubungan satu dengan yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berikut penjelasannya dalam lingkup Apikri:

Gambar 3

Mekanisme Hubungan antara UKM, Apikri dan Buyer (Sumber : hasil analisis peneliti dari data primer, 2017)

(36)

20

Gambar diatas menunjukkan bahwa Apikri berfungsi sebagai jembatan antara UKM dan buyer. Walaupun UKM dan buyer tidak kontak secara langsung, tetapi mereka mempunyai hubungan dan saling memberikan keuntungan yang diinginkan masing-masing. Ketiga bagian disini telah menunjukkan perannya sebagai anggota dari sistem fair trade.

c. Pemanfaatan media pemasaran lokal

Apikri mempunyai sebuah showroom yang letaknya berdekatan dengan kantor Apikri. Showroom ini berfungsi untuk menunjukkan karya-karya dari pengrajin (UKM) di Apikri. Showroom tidak dibuka secara resmi untuk umum, tetapi akan dibuka apabila ada buyer yang tertarik dengan produk Apikri dan fair trade. Alasan Apikri tidak membukanya secara umum adalah kekhawatiran akan peniruan produk.

Karena Apikri fokus pada pasar internasional serta permintaan buyer luar yang cukup eksklusif, Apikri tidak ingin ide UKM mereka ditiru secara luas. Apikri mewajibkan untuk setiap UKM yang terdaftar untuk menaruh hasil karya mereka di showroom tersebut. Sistem dari penitipan produk mereka adalah konsinyasi, sehingga uang akan mereka terima apabila ada transaksi.

Perwakilan Apikri menjelaskan bahwa Apikri cukup sering terlibat dalam pameran lokal baik di sekitar Yogyakarta maupun di tempat lain. Akan tetapi tidak semua produk UKM mereka dipamerkan. Alasannya adalah beberapa UKM sudah ada yang terlibat pameran secara mandiri dan rutin. Apikri tidak ingin ada pemaksaan dalam keterlibatannya dan juga Apikri berharap agar UKM tersebut dapat berjalan sendiri di pasar lokal tanpa bantuan dari Apikri. Dalam pameran lokal, Apikri juga memilih produk mana yang tepat untuk dipamerkan. Produk-produk yang merupakan ide atau permintaan buyer luar tidak diikutkan dalam pameran guna menjaga agar produk tersebut tidak ditiru umum.

Manfaat yang diterima Apikri

Berdasarkan keterangan dari Apikri, ada banyak manfaat yang diterima oleh Apikri.

Manfaat ini sifatnya bermacam-macam. Pada saat awal Apikri berdiri, mereka menerima bantuan dana dari Oxfam dan US ID yang digunakan untuk kebutuhan sewa tempat dan pembangunan kantor dan showroom. Selain itu, mereka juga mendapatkan manfaat lain dari instansi-instansi pemerintah, universitas, dan lembaga lain diluar fair trade seperti bantuan pelatihan, buku-buku maupun bantuan keuangan. Manfaat ini merupakan bentuk kerjasama antara kedua belah pihak yang Apikri jalin dari awal berdiri sampai sekarang. Apikri juga menambahkan “kedua pihak saling welcome terhadap kritik dan saran mengenai perdagangan yang humanis”. Sebagai organisasi pelaksana fair trade, Apikri tetap mengambil profit dari setiap pesanan yang masuk, tetapi tidak mengambil fee. Apikri menambahkan”profit digunakan untuk operasional kegiatan Apikri, feedback yang diberikan kepada pengrajin adalah berupa pendampingan, pendidikan dan pelatihan”.

Buyer Apikri juga ada yang memberikan bantuan. Sampai saat ini, buyer akan datang ke Apikri setiap tahunnya untuk memberikan kertas kerja yang berisi contoh design yang akan menjadi trend tahun depan. Sistem produksi di Apikri sendiri adalah tak hanya memproduksi sesuai pesanan saja tetapi juga membuat produk-produk yang diramalkan akan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Salah satu metode analisis termal adalah analisis differensial termal ( Differential Thermal Analysis/ DTA) yang didasari pada perubahan kandungan panas akibat

Pada DM Tipe II, diperkirakan bahwa penurunan jumlah reseptor insulin berhubungan dengan hasil penyerapan glukosa yang tidak diabsorbsi oleh sel tubuh sehingga

Waktu pengerjaan setiap operasi dari job-job tertentu dipengaruhi oleh jenis mesin yang akan digunakan, jenis mesin yang telah digunakan dalam pengerjaan operasi

Kepercayaan pemakai terhadap teknologi sistem baru yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi dari pemakai dapat digunakan untuk intervensi personal yang nyata dari pemakai

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan penerimaan retribusi parkir di Kabupaten Seruyan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, untuk mengetahui

aplikasi SPSE, w aktu download dokumen sesuai dengan jadw al yang

Soekar '%sen