• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Fosfor Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Fosfor Tanah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Fosfor Tanah

Fosfor (P) dalam tanah dapat dibagi menjadi P organik dan P anorganik (Tisdale, et al., 1985; Lindsay, et al., 1989; Brady, 1990; Ahn, 1993). Bentuk-bentuk P tersebut terdiri atas bentuk yang tersedia bagi tumbuhan yaitu yang larut dan yang berada dalam larutan tanah dan P tidak tersedia yaitu dalam bentuk yang tidak larut atau mendekati tidak larut. Bentuk tidak tersedia ini meliputi bentuk organik maupun inorganik (Ahn, 1993).

Bentuk P organik dalam tanah adalah senyawa-senyawa: fosfat inositol, fosfolipida, asam nukleat, nukleotida dan gula fosfat. Tiga senyawa pertama penting karena dua hal yaitu penting dalam proses pembentukan humus dari bahan organik dan penting dalam meningkatkan ketersediaan P bagi tumbuhan (Russel, 1973;

Tisdale et al., 1985; Brady, 1990). Fosfor organik menjadi tersedia setelah termineralisasi (Russel, 1973; Ahn, 1993).

Bentuk-bentuk P inorganik terdiri dari P terikat Ca, Fe dan Al yang terbagi menjadi fraksi aktif dan fraksi inaktif yaitu bentuk occluded dan reductant soluble (Ahn, 1993). Fosfor tersedia dalam tanah adalah P yang dilepaskan dari pelapukan mineral-mineral, residu tumbuhan dan pupuk P yang ditambahkan (Lindsay et al., 1989).

Secara ringkas P dalam tanah berada dalam tiga kondisi yaitu P dalam larutan tanah, P labil dan P non labil. Fosfor labil merupakan bagian P yang cepat tersedia yang mempunyai laju desosiasi tinggi dan dengan cepat mengisi P dalam larutan tanah. Penurunan bentuk P labil umumnya menyebabkan bentuk P non labil berubah menjadi labil dengan laju yang sangat lambat (Tisdale et al., 1985).

Dinamika Fosfor Dalam Tanah

Erapan anion dalam tanah terdiri atas erapan spesifik dan non spesifik.

Erapan non spesifik terjadi apabila anion dierap di permukaan komplek pertukaran, antara lain anion NO3- dan Cl-. Sedangkan erapan spesifik terjadi apabila anion masuk dalam koordinasi dengan komplek pertukaran melalui penggantian ligan, antara lain anion PO4-3, SiO4-4, AsO4-4, MoO4-3, BO3-3, F- (Mekaru dan Uehara, 1972;

Parfitt, 1978).

(2)

Hington et al., (1967) Kussow, (1971) menunjukkan bahwa anion PO4-3 secara spesifik dierap oleh hidrous-oksida Al atau Fe. Permukaan oksida tersebut berisi molekul air (OH2) dan ion hidroksil (OH-) yang berikatan dengan Al atau Fe.

Pada pinggiran kristal beberapa molekul OH2 dan OH- terikat hanya dengan satu atom Al atau Fe dan pada titik isoelektrik permukaan akan tampak sebagai beikut :

OH

Al

(1)

Peningkatan pH meningkatkan desosiasi H+ dari molekul air membentuk group hidroksil lebih banyak dan muatan permukaan menjadi lebih negatif Penurunan pH menyebabkan proporsi molekul air meningkat dan permukaan menjadi lebih positif, seperti digambatkan oleh Rajan et al. (1974)

OH

2

1+ OH

2

0 OH 1- -H

+

-H

+

Al Al Al (2) +H

+

+H

+

OH

2

OH OH l

OH2

Permasalahan P ada tiga hal yaitu: (1) P total yang rendah; (2) P tidak tersedia bagi tumbuhan (berada dalam bentuk tidak larut) dan (3) fiksasi P (Brady, 1990). Fiksasi P dapat diartikan sebagai transformasi bentuk P larut menjadi bentuk yang kurang larut setelah bereaksi dengan tanah (Sanchez dan Uehara, 1980). Fiksasi P tersebut terjadi melalui mekanisme jerapan dan presipitasi dengan senyawa Fe dan Al kristalin atau amorf dengan berbagai perbandingan silikat-seskuioksida.

Hington et al., (1967) menegaskan bahwa P mampu bertukar dengan OH2 dan OH- menjadi terkoordinasi dan teradsorpsi secara spesifik. Apabila anion teradsorpsi secara spesifik maka akan terjadi pengambilan proton (H+) dari bagian lain permukaan pada pH titik isoelektrik dan dari desosiasi tersebut muatan oksida menjadi negatif. Selanjutnya muatan permukaan menjadi negatif dan pH lingkungan meningkat.

Rajan et al., (1974) menggambarkan seperti reaksi berikut :

(3)

Al- OH

2

]

+

+ H

2

PO

4-

Al-H

2

PO

4

]

o

+ H

2

O

(3)

Al-OH]

o

+ H

2

PO

4-

Al-H

2

PO

4

]

o

+ OH

- (4) Hasil penelitian Rajan et al., (1974) menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah, P terutama menggantikan group OH2, dengan meningkatnya konsentrasi dan adsorpsi P, group OH terlibat. Pada adsorpsi maksimum, P terutama menukar group hidroksil. Setelah adsorpsi maksimum, P tetap diadsorpsi dan diduga mengakibatkan pemutusan OH yang terikat oleh dua atom Al.

H

2

PO

4-

Al Al-H

2

PO

4

]

1/2-

OH]

o

Al + H

+

Al-OH]

1/2-

Al- H

2

O

+1/2

(5) -H+

Al-H

2

O

½+

+ H

2

PO

41-

Al-H

2

PO

41/2-

+ H

2

O (6)

Berdasarkan reaksi di atas satu ion H+ bereaksi setiap dua fosfat yang diadsorbsi.

Silikat dalam Tanah

Silikon (Si) merupakan unsur kedua terbanyak di kerak bumi (Tisdale, et al., 1985; Drees, et al., 1989; Sommer, et al., 2006). Silikon terdapat pada lebih dari 370 mineral pembentuk batuan. Silikon menjadi penyusun hampir semua bahan induk dan merupakan satu komponen dasar pada kebanyakan tanah (Sommer et al., 2006).

Silikon mempunyai peranan sentral pada pelapukan batuan dan perkembangan tanah. Silikon merupakan komponen utama yang keluar dari sistem tanah selama pelapukan dan perubahan Si menjadi mineral sekunder (Tisdale, et al., 1985). Sumber-sumber Si dalam tanah dapat digambarkan seperti Gambar 2.

(4)

debu serapan

aliran (masuk ) serasah tumbuhan aliran(keluar)

SISTEM TANAH

Aliran Aliran (masuk) (keluar)

Silisifikasi Desilisifikasi Sumber mineral Sumber biogenik

Silikat primer pitogenik (termasuk pitolit, mikrobial protozoik

Pelapukan, pembentukan mineral Pelapukan residu biogenik

Translokasi internal

Turbulensi, podsolisasi, duripan, fragipan sekurder

Aliran (masuk) Silisifikasi Desilisifikasi aliran (keluar) (vertikal) (vertikal)

Transformasi

Gambar 2. Sumber, Transformasi dan Aliran Si dalam Tanah (Sommer et al., 2006)

Hasil pelapukan batuan secara kimia meliputi: (1) pelarutan bahan yang terdiri dari ion-ion organik atau inorganik; (2) residu padatan organik; (3) bentukan senyawa baru silikat, oksida, hidroksida, karbonat, sulfida, dan padatan lainnya (Greenland dan Hayes, 1978). Menurut Bohn et al., (1979) proses pelapukan bersamaan dengan proses perkembangan tanah secara kimia.

Greenland dan Hayes (1978) mengemukakan bahwa dalam proses pelapukan/pelarutan mineral dihasilkan asam silikat (H4SiO4). Semakin intensif pelapukan maka jumlah H4SiO4 yang dihasilkan makin besar. Keberadaan H4SiO4 dalam tanah tergantung keberadaan air dalam tanah tersebut. Apabila air berlebihan dan drainase baik, H4SiO4 dalam larutan tanah akan tercuci keluar dari tanah.

Proses ini dikenal sebagai desilifikasi (Tan, 1982). Dengan demikian kekurangan Si ditemukan pada tanah-tanah yang terlapuk lanjut pada daerah bercurah hujan tinggi dan tanah organik seperti di Hawai dan Florida Selatan (Tisdale et al., 1985).

Sumber Si adalah mineral dalam tanah yang terdiri dari: (1) mineral primer dalam bahan induk (2) mineral sekunder kristalin yang terbetuk pada pembentukan

(5)

tanah; (3) mikrokristal sekunder (kuarsa, opal, kalsedon) dan fase non kristalin (opal, imogolit, alofan) sebagai hasil pembentukan tanah (Russel, 1973; Drees, et al., 1989, Sommer et al., 2006). Konsentrasi Si dalam larutan tanah berkisar dari 0.4 sampai 2000 µmol/l, umumnya bernilai 100–500 µmol/l, sedikit lebih besar dibandingkan air tanah atau air permukaan (150-180 µmol/l) dan air laut (70 µmol/l).

Faktor penentu konsentrasi Si dalam larutan tanah adalah bahan induk (kandungan mineral mudah lapuk), tingkat perkembangan tanah, suhu, lama keberadaan air dalam pori (Sommer et al., 2006).

Kuarsa berkristal baik sangat tahan pelapukan terutama bila berukuran kasar dan mudah melapuk bila berukuran liat (Russel, 1973). Kelarutan mineral silikat menurun dengan meningkatnya kepadatan strukturnya. Bentuk amorf lebih larut dibandingkan bentuk kristalin. Kelarutan silikat amorf dalam tanah pada temperatur biasa dan pH netral sekitar 50–60 mg Si/l. Kelarutan mineral-mineral silikat tersebut dipengaruhi oleh temperatur, pH, ukuran partikel, komposisi kimia dan adanya permukaan liat yang patah (Drees, et al., 1989).

Silikat mungkin ditemukan pada berbagai bentuk transisi gradual antara monomer H4SiO4 dan fase padatan mineral. Bentuk transisi tersebut termasuk H4SiO4 yang larut, koloid terdispersi homogen (hidrosol), gel yang tidak kaku (hidrogel) dan gel kaku (serogel). Dalam model disederhanakan dapat digambarkan sebagai :

Asam silikat hidrosol hidrogel serogel

Batas dari bentuk-bentuk tersebut tidaklah tajam dan jumlah masing-masing bentuk tidak pasti. Kondensasi dan polimerisasi gel ditentukan oleh pH dan garam dalam larutan (Drees, et al., 1989).

Reaksi Silikat Dalam Tanah

Pada kisaran pH tanah (3 - 10), silikon dalam tanah dalam bentuk H4SiO4. (Russel, 1973; Tisdale et al., 1985: Sommer et al., 2006). Kelarutan Si dalam air tidak dipengaruhi pH pada kisaran 2 – 9 (Tisdale et al., 1985; Drees, et al., 1989) tetapi meningkat secara cepat di atas pH 9 dan mendekati beberapa ribu miligram per liter pada pH 11. Peningkatan kelarutan setelah pH 9 tersebut akibat ionisasi H4SiO4 yang dapat digambarkan sebagai berikut (Drees, et al., 1989):

(6)

Si(OH)

4

+ OH

-

Si(OH)

3

O

-

+ H

2

O (7)

Namun demikian kondisi tersebut tidak berlaku di dalam sistem tanah. McKeague and Cline, (1963) dan Tisdale et al., 1985) melaporkan bahwa konsentrasi Si menurun dari 33 menjadi 11 mg/l karena peningkatan pH dari 5.4 sampai 7.2.

Silikon secara kimia diadsorpsi pada permukaan mineral karbonat, Al- hidroksida dan Fe-oksida. Al-hidroksida memainkan peranan kunci pada interaksi fase padat dan fase cair dalam tanah. (Beckwith dan Reeve, 1963). Proses oksidasi reduksi berperan penting pada dinamika Si apabila terdapat Fe-oksida. Fenomena ini dijelaskan dengan hasil H+ pada proses oksidasi dari senyawa Fe2+ ke Fe3+ dan selanjutnya asam tersebut melarutkan mineral liat dan disebut Ferolisis (Sommer et al., 2006).

Selanjutnya dikemukakan bahwa erapan Si dalam tanah tergantung pH.

Kemasaman tinggi (pH rendah) erapan rendah dan erapan lebih besar terjadi pada pH tinggi. Banyak peneliti yang percaya bahwa seskuioksida khususnya Al-oksida sangat menentukan kapasitas tanah untuk mengerap Si dengan kapasitas maksimum antara pH 8 – 10. McKeague and Cline (1963), McPhail, et al., (1972) dan Orlov (1992) mengemukakan bahwa oksida besi dan khususnya oksida aluminium sangat efektif dalam mengerap H4SiO4. Oleh karena itu kelarutan Si pada tanah-tanah dengan pH yang sama dipengaruhi oleh keberadaan seskuioksida.

Adsorbsi Si(OH)4 yang tergantung pH dapat digambarkan dalam reaksi berikut (Savant et al., 1999):

Si(OH)4 ---> SiO(OH)3 + H+ (8) [SiO(OH3)]- + Fe (OH)3 ---> Fe(OH)2OSi(OH)3 + OH- (9)

Penambahan Si ke dalam tanah mempengaruhi tumbuhan lewat dua cara yaitu: (1) pengaruh tidak langsung pada kesuburan tanah dan; (2) pengaruh langsung terhadap tumbuhan. Kebanyakan penelitian pengaruh H4SiO4 pada sifat tanah berpusat pada interaksinya dengan fosfat dalam tanah. Pengaruh pupuk Si di dalam tanah diawali terjadinya dua proses yaitu: (1) peningkatan konsentrasi H4SiO4, diikuti dengan transformasi senyawa fosfat kurang larut kebentuk fosfat tersedia, dengan reaksi sebagai berikut:

2Al(H2PO4)3 + 2Si(OH)4 + 5 H+ ---> Al2Si2O5 + 5H3PO4 + 5H2O (10)

(7)

2FePO4 + Si(OH)4 + 2H+ ---> Fe2SiO4 + 2H3PO4 (11) CaHPO4 + Si(OH)4---> CaSiO4 + H2O + H3PO4+ (12)

(2) senyawa Si menjerap P dalam bentuk tersedia bagi tumbuhan (Savant et al., 1999; Matichenkov dan Calvert, 2002).

Pupuk-pupuk Si umumnya bereaksi netral atau sedikit basa. Silikon larut menurunkan keracunan Al karena H4SiO4 bereaksi dengan Al yang mobil membentuk alumino-silikat yang kurang larut (Matichenkov dan Calvert, 2002).

Savant et al., (2002) mengemukakan bahwa pengaruh Si bukan menurunkan pembentukan senyawa Ca-P yang agak larut tetapi pada menurunkan jerapan P oleh hidroksida Fe dan Al.

Pada tanah yang didominasi mineral dengan muatan variabel, maka muatan koloid tanah merupakan fungsi pH dan konsentrasi elektrolit. Titik muatan nol (Point Zero of Charge, PZC) merupakan parameter terpenting dalam sistem muatan variabel. Besarnya muatan permukaan ditentukan oleh hubungan pH dan PZC.

Akibatnya praktik pengapuran untuk meningkatkan kation-kation tanah, KTK dan pH

> 6 tidak ekonomis akibat besarnya kapasitas sangga tanah. Pada kondisi tersebut, penurunan PZC berpengaruh pada kapasitas muatan permukaan, tanpa harus meningkatkan pH sampai tingkat yang tidak ekonomis (Uehara dan Gillman, 1981).

Bahan organik dan silikat bersifat mempunyai PZC rendah, dengan demikian dapat berpengaruh meningkatkan KTK pada tipe tanah ini. Penambahan silikat ke dalam tanah mempengaruhi sifat tanah seperti agregasi, kapasitas menahan air, pertukaran kation dan kapasitas buffer tanah (Berthelsen, et al., 2003).

Aplikasi Ca-silikat sedikit meningkatkan P terekstrak. Hal ini terjadi karena penggantian P dari komplek pertukaran, meningkatkan kelarutan P akibat peningkatan pH dan P dari bahan Ca-P yang ditambahkan. (Berthelsen, et al., 2003.)

Perbedaan antara Si larut dan Si terekstrak menunjukkan perbedaan tipe padatan tanah. Padatan tanah berfungsi sebagai sumber atau akumulator yang menggantikan Si dalam larutan diserap tumbuhan atau tercuci. Konsentrasi Si dalam tanah dikontrol reaksi pertukaran dan pelarutan, dan tidak berhubungan dengan total Si. Keseimbangan cepat antara fase padat dan fase larutan dalam tanah, lebih mudah dicapai dengan reaksi adsorpsi dan desorpsi oleh seskuioksida

(8)

dan liat dibandingkan reaksi pelarutan dan presipitasi (Jones and Handreck, 1963;

McKeague and Cline, 1963; Beckwith and Reeve, 1964; Berthelsen, et al., 2003).

Perlakuan Ca-silikat meningkatkan pH tanah (pH air maupun pH CaCl2), dan KTK tanah yang bertahan hingga selama satu tahun. Peningkatan Δ pH (pH H2O – pH CaCl2) akibat pembentukan aluminosilikat amorf di permukaan sebagai hasil perlakuan. Peningkatan dosis Ca-silikat menggeser secara vertikal kurva KTK pada seluruh kisaran pH, yang menunjukkan peningkatan muatan tidak hanya akibat peningkatan pH (Berthelsen, et al., 2003).

Peningkatan KTK akibat perlakuan Ca-silikat terjadi karena kombinasi beberapa faktor yaitu: (1) penambahan anion Si memberikan muatan lebih negatif ke dalam permukaan koloid sehingga menurunkan PZC; (2) paningkatan pH tanah, meningkatkan muatan permukaan (ditunjukkan oleh nilai pH–PZC); (3) bentuk Ca silikat yang lambat larut secara langsung memberikan muatan (Berthelsen, et al., 2003).

Pembentukan muatan berkaitan dengan kapasitas mengikat hara. Meskipun respon hasil akibat ameliorasi silikat terutama berkaitan dengan peningkatan Si tersedia. peningkatan KTK secara positif akan berpengaruh pada respon tersebut (Berthelsen, et al., 2003).

Silikat dalam Tumbuhan

Atas dasar keperluan Si tumbuhan dikelompokkan menjadi dua yaitu akumulator dan non akumulator. Tumbuhan akumulator adalah tumbuhan yang kandungan Si-nya melebihi besar Si yang diserap, keadaan sebaliknya untuk tumbuhan non akumulator (Ma dan Takahashi, 2002). Tanaman akumulator menyerap Si secara aktif.

Model serapan Si adalah aktif, pasif dan penolakan serapan (Ma, et al., 2001). Silikon diserap tumbuhan dalam bentuk H4SiO4 yang proporsional dengan konsentrasi Si dalam larutan tanah (Ma, et al., 2001; Mitani dan Ma, 2005; de Camargo, et al., 2007). Tanaman padi adalah tanaman tipikal yang menyerap Si secara aktif (Ma, et al,. 2001; Ma, et al., 2004; Mitani dan Ma, 2005). Menurut Sumida (2002) jumlah Si yang diserap padi tergantung pasokan Si dari tanah dan perkembangan tanaman. Penghambat respirasi menurunkan serapan Si (Mitani dan Ma, 2005). Laju translokasi Si pada padi > timun > tomat (Mitani dan Ma, 2005).

(9)

Pada padi akar lateral berkontribusi pada serapan Si, sementara rambut akar tidak (Ma, et al., 2001).

Silikon bukan hara esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, tetapi serapan unsur ini menguntungkan bagi tumbuhan khususnya padi.

Tanaman padi yang cukup Si akan mempunyai batang dan daun yang tegak (Ma dan Takahashi, 2002; Mauad, et al., 2003). Lebih dari 99 % Si yang diserap padi didistribusikan ke dalam batang. Silikon pada padi akan berpengaruh pada:

1. Meningkatnya tinggi tanaman, jumlah anakan dan bobot batang (Ma dan Takahashi 2002);

2. Meningkatkan ketahanan terhadap cekaman lingkungan: panas, dingin dan kekeringan (Chen, et al., 2000; Mitani dan Ma, 2005). Si meningkatkan kekuatan jaringan pada batang, daun dan akar. Padi kekurangan Si mempunyai batang dan daun lemah merunduk. Si meningkatkan kekuatan mekanik dinding sel (Chen, et al., 2000; Dobermann dan Fairhurst, 2000; Ma dan Takahashi 2002;

Mitani dan Ma. 2005);

3. Memperbaiki ketidak-seimbangan hara dan keracunan logam pada tumbuhan. Si dapat menyeimbangkan hara di dalam jaringan tumbuhan; menekan serapan Al, Mn dan Na dan mediator serapan unsur hara lain seperti P, Mg, K, Fe, Cu dan Zn (Chen, et al., 2000; Ma dan Takahashi 2002). Kadar N, P, Ca dan Mn bagian atas tanaman padi menurun dengan penambahan Si. Hasil fraksionasi Ca pada daun bendera menunjukkan bahwa pada padi yang kekurangan Si, Ca menggantian sebagian peran Si pada tanaman tersebut (Ma dan Takahashi, 2002);

4. Meningkatkan kadar klorofil dan metabolisme tumbuhan (Chen, et al., 2000). Si menstimulasi fotosintesis pada padi menurunkan transpirasi tanaman padi (Dobermann dan Fairhurst, 2000; Ma dan Takahashi, 2002).

5. Mempercepat waktu pembungaan (Ma dan Takahashi, 2002).

6. Meningkatkan hasil gabah. Kekurangan Si pada padi meningkatkan jumlah gabah hampa; menurunkan panjang malai; menurunkan jumlah malai, menurunkan jumlah gabah per malai (Dobermann dan Fairhurst 2000; Ma dan Takahashi 2002; Mauad, et al., 2003).

7. Meningkatkan ketahanan terhadap penyakit blast (Pyricularia oryzae) atau bercak coklat (Helmintosporium oryzae); meningkatkan pembentukan lapisan

(10)

epidermis silika (Dobermann dan Fairhurst, 2000) sehingga meningkatkan kekuatan mekanik dinding sel (Chen, et al., 2000).

Pemberian Si pada fase reproduktif padi lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil gabah dibandingkan fase generatif. Semua fungsi Si mempuyai andil dalam meningkatkan bobot batang dan ketahanan terhadap cekaman fisik, kimia maupun biologi (Ma dan Takahashi, 2002).

Silikon diendapkan pada daun bendera padi dan menyebabkan daun bendera tetap tegak, dan menstimulasi fotosintesis bagian atas padi melalui perbaikan penangkapan cahaya matahari. Hasil penelitian Takahashi (1966 dalam Ma dan Takahashi 2002) menunjukkan bahwa jumlah CO2 yang diasimilasikan oleh padi ber-Si tinggi lebih tinggi dibandingkan yang ber-Si rendah. Hasil pengukuran laju asimilasi CO2 daun bendera antara padi berkadar Si rendah dan tinggi pada pertumbuhan optimum tidak berbeda, yang menunjukkan bahwa pada kondisi pertumbuhan optimum pegaruh Si terhadap laju fotosintesis rendah. Pada kondisi kekeringan padi yang dipupuk Si mempunyai laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan yang tidak dipupuk, akibat penurunan laju transpirasi. Padi yang berkadar Si > 10% SiO2 transpirasinya menurun 20 sampai 30%. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa 5.3 dan 29.2% berbanding 4.7 dan 24.6% asimilat tanaman padi sebelum dan sesudah keluarnya malai ditranslokasikan ke malai antara tanaman dipupuk dan tidak dipupuk Si. Padi yang cukup Si, lebih tahan radiasi dibandingkan yang kekurangan.

Mikoriza

Mikoriza adalah asosiasi atau simbiosis antara tumbuhan dan fungi yang mengkoloni jaringan korteks akar selama periode pertumbuhannya. Asosiasi ini dicirikan terjadinya aliran karbon dari tumbuhan ke fungi dan penyediaan hara oleh fungi untuk tumbuhan (Marschner, 1986; Paul dan Clark, 1989; Imas, et al., 1989;

Reid, 1990; Killham, 1994; Smith dan Read, 1997 dan Sylvia, 1998). Asosiasi antara fungi dan akar, sebenarnya merupakan bentuk parasit, dimana fungi menyerang akar, tetapi bukan parasit berbahaya (Imas, et al., 1989).

Nama mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang berarti akar fungi. Ilustrasi pertama tentang mikoriza dipublikasikan pada tahun 1840 oleh Robert Hartig yang menggambarkan mikoriza pada Pinus. Istilah mikoriza pertama kali digunakan pada

(11)

tahun 1885 oleh A. B. Frank ke organ-organ komposit dari Cupuliferae (Richard, 1974; Paul and Clark, 1985; Reid, 1990; Smith dan Read, 1997).

Fungi mikoriza berasosiasi dengan hampir semua tumbuhan (Paul dan Clark, 1985; Kucey, et al., 1990) yang menurut dugaan Sylvia (1998) mencapai 95

%. Famili tumbuhan yang umumnya tidak ditemukan fungi mikoriza adalah:

Cyperaceae, Junceaceae, Urticaceae, Chenopodiaceae, Caryophyllaceae dan Brasicaceae (Paul dan Clark, 1985).

Mikoriza yang terpenting dalam bidang pertanian Vasikular-Arbuskular mikoriza (VAM) (Sieverding, 1991). Menurut Mosse (1981) VAM termasuk famili Endogenaceae, Ordo Morales dan Kelas Phycomycetes. Fungi tersebut hanya menginfeksi sel korteks primer dan korteks sekunder, sedangkan daging akar tumbuhan tahunan tidak terinfeksi. Lima genus terbesar dalam famili Endogenaceae adalah: Glomus, Gigaspora, Acaulospora, Sclerocystis dan Scutellospora (Paul dan Clark, 1989).

Fungsi dan Fisiologi Mikoriza

Terdapat berbagai fungsi yang dilakukan mikoriza dalam hubungan tanah dan tumbuhan. Fungsi-fungsi tersebut antara lain meningkatkan serapan dan translokasi hara, meningkatkan kemampuan menghadapi kondisi tanah yang buruk, memperbaiki agregasi tanah, bersimbiosis dengan organisme lain, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, dan serangan patogen akar (Paul dan Clark, 1985, Imas, et al., 1989; Reid, 1990; Sieverding, 1991; Buecking, 2005,) dan dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh (Imas, et al., 1989; Killham, 1994)

Dalam asosiasi tumbuhan dan fungi mikoriza, tumbuhan memberikan karbon untuk fungi, dan tumbuhan mendapatkan hara. Proses parasitisme terjadi bila fungi tidak dapat menyerap hara dari tanah, sehingga tidak ada keuntungan bagi tumbuhan sementara karbon diberikan pada fungi (Paul dan Clark, 1985; Killham, 1994; Smith dan Read, 1997). Ketidak-mampuan mengakumulasikan hara dari tanah ke dalam hifa adalah salah satu faktor kegagalan fungi mikoriza arbuskular (FMA) untuk tumbuh ekstensif tanpa kehadiran inang. Tumbuhan dengan pertumbuhan cepat mungkin kurang menyediakan karbon dibandingkan dengan yang tumbuh lambat. Tumbuhan dengan pertumbuhan lambat menguntungkan simbion fungi, menghasilkan respon positif untuk kolonisasi mikoriza pada kisaran P tanah yang luas (Smith dan Read, 1997).

(12)

Pasokan Hara Untuk Inang

Miselium eksternal semua tipe mikoriza memainkan peranan kunci pada serapan hara oleh tumbuhan, mengembangkan bagian media tumbuh yang dapat dijangkau akar dan kemampuan berkompetisi dengan mikroorganisme tanah lainnya. (Marschner, 1986; Linderman, 1992; Smith dan Read, 1997, Dalpé and Monreal, 2004) Serapan melalui mikoriza tidak berbeda dari serapan oleh sistem absorbsi lainnya yaitu serapan aktif, tergantung pada energi metabolik dan terhambat oleh inhibitor. (Smith dan Read, 1997)

Akar terkolonisasi mikoriza menyerap hara lebih efisien. Mikoriza mempunyai pengaruh terbesar pada hara P (Marschner, 1986; Smith dan Read, 1997). Hara-hara yang serapannya terpengaruh oleh adanya mikoriza adalah N, P, Zn, Cu dan S. (Paul dan Clark, 1985; Marschner, 1986; Kucey et al., 1990; Dalpé and Monreal, 2004; Buecking, 2005,). Hara dengan konsentrasi dan mobilitas sangat rendah seperti Zn dan Cu cepat diserap seperti fosfat. (Marschner, 1986;

Smith dan Read, 1997; Dalpé and Monreal, 2004). Mekanisme peningkatan serapan hara tersebut antara lain: meningkatkan volume tanah yang ditempati akar, menyerap dari larutan berkonsentrasi rendah, mengeluarkan enzim fosfatase;

meningkatkan dekomposisi fosfat organik; dan mengadsorpsi dari bahan yang kurang tersedia bagi tumbuhan (Paul dan Clark, 1985; Marschner, 1986; Kucey et al., 1990). Dalam studi dengan menggunakan isotop P32 pada tanaman bawang, Gray dan Gerdeman (1969) telah membuktikan bahwa bawang bermikoriza mengakumulasikan P nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman tak bermikoriza.

Fungi mikoriza menyerap P dalam bentuk H2PO4-1 seperti pada kebanyakan sel lainnya. Setelah menyerap P fungi mikoriza mensintesis polifosfat dan disimpan di dalam vakuola fungi (Reid, 1990; Smith dan Read, 1997; Buecking, 2005,).

Selanjutnya polifosfat diakumulasikan dalam bentuk arginin, yaitu polifosfat berbentuk granul yang distabilkan dengan Ca+2. Akumulasi polifosfat bervariasi dengan perbedaan pertumbuhan, rendah pada pertumbuhan cepat dan miselium muda, linier pada awal atau akhir tahap pertumbuhan dan mendatar apabila medium lebih kaya P dibandingkan N (Smith dan Read, 1997).

Secara umum peningkatan pertumbuhan akibat infeksi mikoriza ditemukan di tanah dengan konsentrasi P rendah (Schwab, et al., 1983; Paul dan Clark, 1985 Marschner, 1986). Peningkatan kadar P tanah menurunkan kolonisasi akar oleh

(13)

FMA. Kolonisasi akar lebih ditentukan oleh kadar hara yang terdapat di dalam akar dibandingkan dengan eksudat yang dikeluarkan akar (Schwab, et al., 1983;

Marschner, 1986). Konsentrasi fosfor larutan terendah yang mana tanaman diuntungkan dengan infeksi mikoriza berkisar dari 0.1 μg/ml untuk kedelai sampai 1.6 μg/ml untuk singkong dan Stylosantes. Tumbuhan berakar kasar menunjukkan respon tinggi pada infeksi fungi mikoriza. Mikoriza mampu menyerap fosfor organik yang baru dimineralisasi (Paul dan Clark, 1985).

Pengaruh mikoriza pada nitrogen jarang dicatat dan tidak sejelas seperti P.

Mikoriza umumnya menyerap NH4+ lebih cepat daripada NO3-. Serapan NH4+ mungkin pasif atau aktif melalui co transport proton, dan cepat diasimilasikan membentuk asam amino dan amida. Asimilasi berperanan penting dalam mempertahankan perbedaan potensial elektrokimia untuk absorbsi berkelanjutan.

Mekanisme serapan asam amino dan amida oleh ericoid atau fungi ektomikoriza mengikuti hidrolisis protein atau melaui co-transport proton dengan energi berasal dari H+-ATP-ase seperti untuk PO4-3. Hanya beberapa fungi mikoriza (yaitu Basidiomicetes) yang mempunyai nitrat reduktase, untuk mengasimilasikan nitrat (Smith dan Read, 1997).

Peningkatan efisiensi serapan hara tergantung pada tiga proses yaitu:

serapan hara dari dalam tanah oleh fungi; translokasi hara dalam hifa ke struktur fungi dalam akar (hifa dan arbuskul) dan transfer ke dalam sel tanaman melewati apoplas antar simbion (Smith dan Read, 1997).

Mekanisme translokasi P dalam mikoriza terjadi melalui aliran sitoplasma.

Polifosfat berfungsi sebagai cadangan P dan komponen menyusun miselium yang siknifikan. Ketidak-larutan polifosfat mempertahankan konsentrasi rendah P, diikuti dengan serapan P secara kontinu dari larutan tanah. Translokasi P terjadi melalui pemecahan polifosfat, melalui dua reaksi yaitu hidrolisis dengan mediator polifosfatase atau proses sebaliknya dengan mediator polifosfat kinase pembentukan ATP dari ADP (Nye dan Thinker, 1977; Reid, 1990; Smith dan Read, 1997).

Transfer hara dari fungi mikoriza ke tumbuhan pada apoplas simbiosis ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses sekresi dari hifa. Laju pergerakan P memotong apoplas simbiosis pada FMA, jauh lebih cepat dibandingkan proses normal. Laju sekresi P dari miselium 8–11% dari laju serapan

(14)

hara. Kehadiran 10 mM KCl dalam media meningkatkan sekresi. NaCl menyebabkan hal yang sama tetapi lebih kecil (Smith dan Read, 1997).

Glutamat, amida, dan glutamine adalah senyawa penting dalam translokasi N. Ketiga senyawa tersebut adalah hasil asimilasi N inorganik dalam miselium eksternal dan masuk ke dalam akar (Smith dan Read, 1997).

Ukuran laju translokasi hara dalam hifa adalah masa transfer spesifik dengan satuan mol m-2 s-1 atau m/jam. Satuan m/jam berguna apabila aliran masa merupakan mekanisme yang terjadi, tetapi hanya memberikan informasi mengenai efisiensi translokasi relatif apabila konsentrasi larutan diketahui (Smith dan Read, 1997). Laju translokasi hara dalam hifa Glomus mosae ke Trifolium respens untuk P adalah antara 2–20 x 10-6 mol/m2/dt. Penurunan laju transpirasi tumbuhan menurunkan laju translokasi.

Transfer hara ke dalam tumbuhan melalui arbuskul pada mikoriza arbuskular, melalui hifa koil pada orchid dan erikoid dan melalui hartignet pada ektomikoriza (Paul dan Clark, 1985; Smith dan Read, 1997). Sisi transfer hara dibentuk dari asosiasi erat struktur halus fungi dengan sel tumbuhan khususnya pembentukan plasmalemma. Hartignet bertahan antara 9 sampai 14 bulan, arbuskul dari mikoriza arbuskular dan hifa koil erikoid terus dibentuk dan dihancurkan dengan waktu ulang 4 sampai 15 hari (Smith dan Read, 1997).

Miselium mempunyai kemampuan untuk translokasi dua arah, dari bagian yang muda ke bagian yang tua dan sebaliknya. Hifa yang panjang dan besar adalah jalur utama translokasi di eksternal miselium, sedangkan cabang-cabang kecil berperanan dalam absorpsi hara. Sekat dan pori-pori sekat pada hifa penting bagi kontinuitas sitoplasma dan potensi translokasi melalui sitoplasma jarak jauh (Smith dan Read, 1997).

Interfase antar simbion pada sel mempunyai struktur dasar yang sama.

Fungi sebenarnya mengkolonisasi apoplas akar dan tetap diluar protoplas tumbuhan. Fungi hidup pada ruang antar sel epidermis dan kortek akar, mungkin menembus kedalam sel dan membentuk wadah apoplastik sel fungi diantara dinding dan membran plasma tumbuhan. Dalam kondisi berkembang, kedua sel simbion hidup, dan interfasenya dibatasi oleh dua membran plasma yang berasal dari tumbuhan dan fungi, dipisahkan oleh apoplas. (Smith dan Read, 1997). Zona interfase termasuk dinding hifa fungi mungkin mengalami modifikasi struktural atau reduksi dan diasumsikan permeabel untuk cairan.

(15)

Interfase pada mantel fungi ektomkoriza adalah impermeabel dan penghambat pergerakan hara antara tanah dan akar sehingga semua cairan mencapai sel akar melalui simplasme hifa mantel. Mula-mula translokasi di dalam miselium dan selanjutnya dikeluarkan ke dalam apoplas di wilayah hartignet.

Lapisan impermeabel memungkinkan untuk mengontrol konsentrasi cairan pada apoplas korteks dan daerah hartignet, tempat tranfer antar simbion (Smith dan Read, 1997).

Transfer melalui interfase simbiotik diawali dengan sekresi dari donor ke dalam ruangan apoplas. Tranfer terjadi kemungkinan seperti mekanisme dalam pengosongan phloem ke dalam jaringan tumbuhan (Smith dan Read, 1997).

Sekresi diikuti oleh serapan dari apoplas oleh organisme penerima.

Membran-membran yang terlibat pada serapan oleh proton co tranport diberi energi oleh H+-ATP-ase. Hasil penelitian menunjukkan ATP-ase aktif dijumpai pada interfase arbuskul, baik dalam membran tumbuhan atau fungi. Beberapa enzim yang dijumpai telah diidentifikasi sebagai ATP-ase, tetapi beberapa lainnya adalah fosfatase tidak spesifik. Membran sel tumbuhan dan membran plasma fungi pada apoplas secara konsisten mempertahankan aktivitas ATP-ase tetap tinggi, apabila fosfatase non spesifik dihambat oleh Mn2+ (Smith dan Read, 1997).

Asimilasi N oleh fungi pada ektomikoriza diikuti dengan transfer N organik ke tumbuhan. Lintasan enzimatik menunjukkan pasangan glutamin-glutamat, dan α ketoglutarat kemudian ditransfer ke dalam tumbuhan dan membentuk glutamat.

Prosesnya kurang jelas namun keseluruhan enzim yang mengkonversi N organik terdapat di dalam fungi, dan sumber karbon berasal dari glukosa yang diberikan tumbuhan (Smith dan Read, 1997).

Dalam situasi simbion tumbuhan atau bagiannya mati, simbion fungi mungkin mendapatkan bahan dari sel yang mati tersebut. Sebaliknya hara mungkin ditransfer dari fungi ke sel akar melalui hifa atau arbuskul yang hancur dalam mikoriza orchid, ericoid atau FMA (Smith dan Read, 1997).

Aliran Karbon dari Tumbuhan ke Fungi

Dalam mikoriza karbon organik bergerak dari simbion autotrop (tumbuhan) ke heterotrop (fungi), sementara hara yang berasal dari tanah bergerak dengan arah sebaliknya. Umumnya diasumsikan bahwa transfer terjadi pada waktu yang sama melalui interfase yang sama (Smith dan Read, 1997; Bago, et al., 2000). Gambar 3

(16)

menunjukkan kemungkinan interaksi antara aliran karbohidrat dan fosfat memotong interfase mikoriza. (Buecking, 2005,)

Karbon yang difiksasi tumbuhan selama pertumbuhannya dialokasikan sebagian di atas tanah dan sebagian di bawah tanah sebagai akar dan mikoriza.

Karbon yang digunakan oleh fungi adalah biaya yang dikeluarkan tumbuhan dan disebut biaya simbiosis. Keuntungan kotor adalah tambahan karbon yang difiksasi sebagai hasil kolonisasi mikoriza dan keuntungan bersih adalah keuntungan kotor dikurangi biaya. Efisiensi dari simbiosis adalah keuntungan bersih dibagi dengan keuntungan kotor ( Whipps, 1990; Smith dan Read, 1997).

Apabila fotosintesis dan petumbuhan dibatasi oleh ketersediaan hara, biaya karbon untuk simbiosis mungkin nyata. Biaya tersebut kira-kira dua kali lebih rendah dibandingkan keperluan karbon untuk mengembangkan akar untuk kemampuan serapan yang sama (Smith dan Read, 1997).

Karbon organik keluar dari tumbuhan ke apoplas sebagai sukrose. Sukrose selanjunya dihidrolisis oleh enzim invertase asam menjadi heksose yang selanjutnya diabsorpsi secara aktif oleh fungi. Di dalam interfase arbuskul tumbuhan terdapat H+-ATPase aktif. Ketidak-hadiran ATP-ase pada satu membran pada

Tanah Cendawan Apoplas Tumbuhan

Pi H+

Pi Pi Pi Sink

Karbohidrat Cendawan

H+ H+ H+

Poli fosfat

Heksose-P

Heksose

ATP

ADP

H+

ADP

Pertumbuhan

Foto sintesis Sukrosa

Sukrose H+

Heksose Invertase

asam H+

ATP H+ ADP

H+ H+

H+

Gambar 3 . Interaksi Aliran Karbon dan Fosfat Memotong Interfase Mikoriza (Buecking, 2005)

(17)

masing-masing interfase, menyebabkan mekanisme reabsorpsi cairan oleh sel donor berkurang, dan berpengaruh pada transfer melalui interfase secara keseluruhan. Penelitian dengan NMR menunjukkan glukose C13 yang diberikan pada akar FMA dapat masuk ke fungi (Smith dan Read, 1997; Buecking, 2005,).

Transfer hara antar simbion sangat kompleks. Masing masing molekul atau ion ditransfer melalui membran protein terpisah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa P, kation Ca dan senyawa N dari amonium atau glutamat ditransfer dari media tumbuh ke inang melalui fungi dan fotosintat dilepaskan oleh inang ke dalam fungi (Smith dan Read, 1997)

Mekanisme sekresi dan hidrolisis sukrose kemungkinan terjadi karena tumbuhan mempunyai informasi genetik yang menghasilkan spesialisasi sekresi sukrose dari sel ke ruang apoplastik. Pada ektomikoriza reaksi yang melibatkan enzim invertase mempertahankan perbedaan konsentrasi yang sesuai untuk sekresi selanjutnya. Serapan heksose oleh sibion fungi secara aktif melibatkan proton co- tranport (Smith dan Read, 1997).

Cara lain transfer gula terjadi melalui operasi katup biokimia. Langkah pertama adalah hidrolisis sukrose oleh enzim invertase tumbuhan pada apoplas untuk mempertahankan sekresi sukrose. Selanjutnya diikuti oleh absorbsi heksose oleh fungi dan diubah menjadi manitol dan glikogen yang tidak tersedia bagi tumbuhan. Dengan demikian menahan penyerapan kembali oleh tumbuhan (Smith dan Read, 1997).

Bukti ketergantungan fungi pada karbon inang secara langsung maupun tidak langsung berasal dari tumbuhan. Bukti langsung adalah peningkatan pertumbuhan miselium dan produksi spora yang besar bila satu koloni terbentuk.

Bukti langsung adalah transfer karbohidrat yang diperoleh pada penelitian menggunakan C14, namun kuantifikasi jumlah tranfer sulit didapatkan. Berdasarkan perhitungan akar bermikoriza dari semak dan tumbuhan berkayu menerima sekitar 4 – 20 % dari total fotosintat. Spesies fungi berbeda nampak penerimaan proporsi fotosintat yang berbeda (Smith dan Read, 1997; Bago, et al., 2000).

Daftar Pustaka

Ahn, P. M. 1993. Tropical Soils and Fertiliser Use. Longman Scientific and Technical. England.

Bago, B., Pfeffer, P. E. and Hill, Y. S. 2000. Carbon Metabolism and Transport in Arbuscular Mycorrhizas. Plant Physiol. 124 :949-957

(18)

Beckwith, R. S. and Reeve, R. 1963. Studies on soluble silica in soils : I. The sorption of silicic acid by soils and minerals. Aust. J. Soil Res. 1 : 157-168 Berthelsen. S., et al., 2003. Improving Yield and CCS in Sugarcane Through the

Application of Silicon Based Amendments. Sugar Research and Development Corporation

Bohn, H. L. , McNeal, B. L. dan O’Connor, G. A. 1979. Soil Chemistry. John Wiley and Sons. New York.

Brady, N. C. 1990. The Nature and Properties of Soils. 10th Ed. Macmillan Publishing Company. New York.

Buecking, H. 2005. Rutgers. The State University of New Jersey.

http://crab.rutgers.edu/-bucking/jobs.htm

Chen, J., Caldwell, R.D., Robinson, C.A., and Stainkamp. R., 2000. Silicon : The estranged medium element. Bulletin 341: 1-5

Dalpe, Y. dan Monreal, M. 2004. Arbuscular Mycorrhiza Inoculum to Support Sustainable Cropping Systems. Plant Management Network.

de Camargo, M. S., et al., 2007. Soil Reaction And Absorption Of Silicon By Rice.

Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.), 64(2): 176-180

Dobermann A, and Fairhurst T. 2000. Rice. Nutrient disorders & nutrient management. Handbook series. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash

& Phosphate Institute of Canada (PPIC) and International Rice Research Institute. 191 p.

Drees, L. R., Wilding, L. P., Smeck N. E., and Senkayi. A. L. 1989. Silica in soil : Quartz and disorder silica polymorphs. In. J. B. Dixon and S. B. Weed. (Eds).

Minerals in Soil Environments. Soil. Sci. Soc Amer. Madison.

Greenland, D. J. dan Hayes., M. H. B. 1978. Soil and soil chemistry. In. D. J.

Greenland and M. H. B. Hayes (Eds) The Chemistry of Soil Constituents.

John Wiley and Sons. London. p 1-27

Gray, L.E. dan Gerdeman, J.W. 1969. Uptake of phosphorus-32 by vesicular- arbuscular-mycorrhizae. Plant. Soil XXX(3) : 415-422

Hingston, F. J. and Raupach., M. 1967. The reaction between monosilicic acid and aluminium hydroxide : I. Kinetics of adsorption of silicic acid by aluminium hydroxide. Aust. J. Soil Res. 5 : 295 –309

Imas, T., Hadioetomo, R. S., Gunawan, A. W. dan Setiadi, Y. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Direktirat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(19)

Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Cambridge

Kucey, R. M. N., Janzen, H. H. and Leggett, M. E. 1990. Microbially mediated increases in plant-available phosphorus. Adv. Agron. 42 : 199 – 228

Kussow, W. R. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Linderman, R.G. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrhizae and soil microbial interaction. In. Mycorrhizae in Sustainable Agriculture. ASA Special Publication 54 : 45-70

Lindsay , W.L., Vlek, P. L. G. and Chien, S. H. 1989. Phosphate minerals In. J.B.

Dixon and S. B. Weed (Eds) Minerals In Soil Environment. Soil Science Society of America. Madison, Wisconsin.

Ma J. F., Goto, S., Tamai, K., and Ichii, M. 2001. Role of root hairs and lateral roots in silicon uptake by rice. Plant Physiol. 127 : 1773-1780

Ma, J. F. and Takahashi, E. 2002. Soil, Fertilizer and Plant Silicon Research in Japan. Elsevier Science B. V. Amsterdam.

Ma J.F., Mitami, N., Nagao, S., Konishi, S., Tamai, K., Iwashita, T., and Yano, M.

2004. Characterization of the silicon uptake system and molecular mapping of silicon transporter gene in rice. Plant Physiol. 136 : 3284-3289

Marschner, H. 1986. Mineral Nutrition in Higher Plants. Acad. Press Inc. London.

Matichenkov, M. M. and Calvert, D.V. 2002. Silicon as a beneficial element for sugarcane. J. Amer. Soc. Sugar. Tech. 22 : 21-30

Mauad, M., Crusciol, C. A. C., Filho, H.G,.and Corrêa, J. C. 2003. Nitrogen And Silicon Fertilization Of Upland Rice. Sci. Agric. 60(4): 761-765

McKeague, J. A. and Cline, M. G. 1963. Silica in soil solution I. Form and concentration of dissolved silica in aqueous extracts of soil. Can. J. Soil Sci.

43 : 70-82

McPhail, M., Page, A. L. and Bingham, F. T. 1972. Adsorption interactions of monosilisik and boris acid on hydrous oxide of iron and aluminium. Soil Sci.

Soc. Am. J. 36 : 510 – 514

Mekaru, T., and Uehara, G. 1972. Anion adsorption in ferruginous tropical soils. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 36 : 296 - 300

Mitami, N., and Ma, J. F. 2005. Uptake system of silicon in defferent plant species.

J. Experimen. Bot. 56(414): 1255-1261

Mosse, B. 1981. Vesicular-arbuscular mycorrhiza research for tropical agriculture.

Research Bulletin 174. Hawaii Institute of Tropical Agriculture and Human Resources, University of Hawaii.

(20)

Nye, P.H., and Tinker, P. B. 1977. Solute Movement in The Soil-root System.

Blackwell Scientific Publications. Osney Mead, Oxford.

Orlov, D. S. 1992. Soil Chemistry. A. A. Balkena. Roterdam.

Paul, E. A. and Clark, F. E. 1989. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. San Diego, California.

Parfitt, R. L. 1978. Anion adsorption by soils and soil materials. Adv. Agron. 30 : 1 – 50.

Rajan S.S.S., Perrott, K.W., and Saunders, W.M.H. 1974. Identification of phosphate-reactive side of hydrous alumina from proton consumption during phosphate adsorption at constant pH values. Soil Sci. J. 25(4) : 430-447 Reid, C.P.P. 1990. Mycorrhizas. In. Lynch, J.M. (Ed). The Rhizosphere. John Wiley

and Sons. Chichester.

Richard, B. 1974. Introduction to The Soil Ecosystem. Longman Inc. New York.

Russell, E. W. 1973. Soil Conditions and Palnt Growth. 10th ed. Longman Ltd.

London.

Sanchez, P. A. and Uehara. G. 1980. Management considerations for acid soils with phosphorus fixation capacity. In. The Role of Phosphorus in Agriculture.

ASA-CSSA-SSSA. Madison.

Savant, N. K., Korndorfer, G. H., Datnoff L. E. and Snyder G. H. 1999. Silicon nutrition and sugarcane production : a review. J. Plant Nutr. 22 (12) : 1853- 1903.

Schwab, S. M., Menge, J. A. and Leonard, R. T. 1983. Quantitative and qualitative efects of phosphorus on extracts and exudates of sudangrass roots in relation to Vesicular Arbuscular Mycorrhiza formation. Plant Physiol. 73 : 761-765

Sieverding, E. 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza management in Tropical Agrosystems. Deuthche Gesellschaft fur Technische Zusammernarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn.

Smith, S. E dan Read, D. J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. 2nd Ed. Academic Press, Harcourt Brace dan Company, Publ. San Diego.

Sommer, M., Kaczorec, D., Kuzyakov, Y., and Breuer, J. 2006. Silicon pools and fluxes in soils and landscapes—a review J. Plant Nutr. Soil Sci. 169:310–329 Sumida, H. 2002. Plant available silicon in paddy soils. In. Second Silicon

Agriculture Conference. August 22 – 26, 2002. Tsuruoka, Yamagata.

(21)

Sylvia, D. M. 1998. Mycorrhizal symbioses. In. Sylvia, D. M., Fuhrmann, J. J., Hartel, P. G. and Zuberer, D. A. (Eds.) Principles and Applications of Soil Microbiology. Prentice Hall. New Jersey.

Tan K. H. 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker. Inc. New York.

Tisdale, S. L., Nelson, W. L. and Beaton, J. D.1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4th Ed. Macmillan Publishing, Co. Inc. New York.

Uehara, G. and Gillman, G.P. 1981. The Mineralogy, Chemistry and Physics of Tropical Soils with Variable Charge. Westview Press, Co.

Whipps, J.M. 1990. Carbon economy. In. J.M. Lynch. (Ed). The Rhizosphere. John Wiley and Sons. Chichester.

Referensi

Dokumen terkait

Skema 15 : Hubungan Ruang Mikro Unit Aktivitas Sumber : Analisis Pribadi. Pola

Suatu sistem penilaian kinerja menggunakan konsep balanced scorecard semakin penting dalam menghadapi persaingan antar lembaga keuangan yang semakin kompetitif mengingat konsep

Penetapan kadar asetosal dengan spektrofotometri UV memberikan kemungkinan hasil pengukuran yang kurang tepat karena asetosal mudah terurai menjadi asam salisilat dan asam

Menurut hukum tentang jual beli, maka di antara kewajiban dari pihak penjual adalah menanggung bahwa barang obyek jual beli tersebut bebas dari cacat

%ada perdarahan ringan dan kehamilan J*0 minggu4 dapat dilakukan  pengeluaran hasil konsepsi yang ter&epit pada seriks dengan &ari atau ;or3eps 3in3in Bila

Jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan nukleus pulposus (gel) akan keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang berada

Secara umum manajemen kurikulum yang dikembangkan di Madrasah Diniyah Nurul Ummah (MDNU) adalah cukup baik, karena telah direncanakan terlebih dahulu untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Solidaritas Sosial Dari Tradisi Pesta Panen di Dusun Air Pasir Desa Lampur Kecamatan Sungaiselan Kabupaten Bangka