SKRIPSI
PENGARUH BRAND IMAGE DAN CUSTOMER SATISFACTION TERHADAP SWITCHING BARRIER PADA
PT BANK MUTIARA (Tbk) CABANG MEDAN PUTRI HIJAU
OLEH
CHATERINA ANGELIA SILAEN 120521108
PROGRAM STUDI STRATA-1 MANAJEMEN EKSTENSI DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015
ABSTRAK
PENGARUH BRAND IMAGE DAN CUSTOMER SATISFACTION TERHADAP SWITCHING BARRIER PADA
PT BANK MUTIARA (Tbk) CABANG MEDAN PUTRI HIJAU
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Brand Image dan Customer Satisfaction Terhadap Swiching Barrier Pada PT Bank Mutiara (Tbk). Penelitian ini dilakukan pada nasabah Bank Mutiara Cabang Medan Putri Hijau dan jumlah sampel yang ditetapkan sebanyak 90 responden dengan menggunakan metode asosiatif kausal. Pengujian hipotesis dengan menggunakan metode analisis deskriptif, metode analisis statistic yang terdiri dari analisis regresi berganda, pengujian signifikan parsial (uji-t), pengujian signifikan simultan (uji-f) dan pengujian koefisien determinasi. Hasil penelitian secara simultan menunjukkan bahwa variabel brand image dan customer satisfaction secara serempak mempengaruhi variabel switching barrier. Hasil penelitian secara parsial menunjukkan bahwa brand image berpengaruh secara positif tetapi tidak signifikan terhadap switching barrier. Sedangkan customer satisfaction berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap switching barrier. Nilai Adjusted R Square = 0,258 berarti 25,8% faktor-faktor switching barrier dapat dijelaskan oleh variabel independen (brand image dan customer satisfaction) pada nasabah Bank Mutiara. Angka R Square sebesar 0,275 menunjukkan bahwa 27,5% switching barrier dapat dijelaskan oleh brand image dan customer satisfaction. Sedangkan sisanya yakni 72,5% dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
Kata Kunci: Brand Image, Customer Satisfaction dan Switching Barrier
ABSTRACT
EFFECT OF BRAND IMAGE AND CUSTOMER SATISFACTION TO SWITCHING BARRIER ON PT MUTIARA BANK (Tbk)
BRANCH MEDAN PUTRI HIJAU
This study aims to identify and analyze the influence of Brand Image and Customer Satisfaction Against Swiching Barrier At PT Bank Mutiara (PT).
Research was conducted on customers of Bank Mutiara Putri Hijau Medan branch and the number of samples set as many as 90 respondents using causal associative method. Testing the hypothesis by using descriptive analysis, statistical analysis method that consists of multiple regression analysis, significant testing partial (t- test), simultaneous significant testing (test-f) and the coefficient of determination test. Simultaneous research results showed that the variables of brand image and customer satisfaction simultaneously affect the variable switching barrier. Partial results of the study showed that the brand image influence positive but not significant barrier to switching. While customer satisfaction and significant positive effect on the switching barrier. The value of Adjusted R Square = 0.258 25.8% mean switching barrier factors can be explained by the independent variable (brand image and customer satisfaction) in the bank's customers. Figures R Square of 0.275 indicates that 27.5% switching barrier can be explained by the brand image and customer satisfaction. While the remaining 72.5% is explained by other variables outside of the variables used in this study.
Keywords: Brand Image, Customer Satisfaction and Switching Barrier
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Brand Image dan Customer Satisfaction Terhadap Switching Barrier Pada PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau.”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini telah banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Ayahanda (Tonny Silaen), Ibunda (Ester Pakpahan), dan Kakak dan Abang (Renta, Ontang dan Pahala) yang tidak pernah berhenti untuk selalu memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan, untuk terus maju dan tidak mudah menyerah. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec. Ac, Ak, CA., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Isfenti Sadalia, S.E., M.E., dan Ibu Marhayanie, S.E., M.Si., selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Endang Sulistya Rini, S.E., M.Si., dan Ibu Dra. Friska Sipayung, M.Si., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Marhayanie, S.E., M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan berupa
saran, kritik, dan evaluasi yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Syafrizal Helmi Situmorang, S.E., M.Si., selaku dosen pembanding 1 yang telah memberikan masukan berupa saran dan perbaikan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dr. Endang Sulistya Rini, S.E., M.Si., selaku dosen pembanding yang telah memberikan masukan berupa saran dan perbaikan dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh staff pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dengan ilmu pengetahuan.
8. Sahabat-sahabat Manajemen Ekstensi 2012, terkhusus Febriani Sitorus, Melva Banjarnahor, Thomy Albert dan Lora Hutagalung
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis sebagai manusia, sehingga penulis menerima masukan dan saran yang bermanfaat dari semua pihak untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2015
Penulis, Chaterina A. Silaen
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Pengertian Pemasaran ... 10
2.2 Pengertian Jasa ... 10
2.3 Kepercayaan ... 11
2.4 Switching Barrier ... 12
2.4.1 Pengertian Switching Barrier ... 12
2.4.2 Bentuk-bentuk Switching Barrier Switching Barrier .. 14
2.4.2.1 Biaya Perpindahan (Switching Cost) ... 14
2.4.2.2 Daya Tarik Alternatif (Attractiveness of Alternative) ... 18
2.4.2.3 Hubungan Interpersonal (Interpersonal Relationship) ... 20
2.5 Ekuitas Merek ... 21
2.6 Brand Association ... 23
2.7 Brand Image ... 25
2.8 Customer Satisfaction ... 26
2.9 Penelitian Terdahulu ... 27
2.10 Kerangka Konseptual ... 28
2.11 Hipotesis ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
3.1 Jenis Penelitian ... 30
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30
3.3 Batasan Operasional ... 30
3.4 Operasionalisasi Variabel... 31
3.5 Skala Pengukuran ... 33
3.6 Populasi dan Sampel ... 33
3.6.1 Populasi ... 33
3.6.2 Sampel ... 34
3.7 Jenis dan Sumber Data ... 35
3.8 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.9 Uji Validitas dan Reabilitas ... 36
3.9.1 Uji Validitas ... 36
3.9.2 Uji Reliabilitas ... 37
3.10 Teknik Analisis Data ... 37
3.10.1 Analisis Deskriptif ... 37
3.10.2 Analisis Regresi Berganda ... 37
3.10.3 Uji Asumsi Klasik ... 38
3.10.4 Uji Hipotesis ... 39
3.10.5 Koefisien Determinan(R2) ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
KUESIONER PENELITIAN ... 44
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
Tabel 1.1 Dana Pihak Ketiga... 6 Tabel 3.1 Operasional Penelitian ... 32 Tabel 3.2 Instrumen Skala Likert ... 33
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
Gambar 2.1 Elemen Brand Equity ... 23 Gambar 2.2 Nilai Asosiasi Merek ... 25 Gambar 2.3 Kerangka Konseptual ... 29
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 80
2 Output Uji Validitas dan Reliabilitas ... 82
3 Daftar Distribusi Jawaban Responden... 83
4 Output Analisis Linier Berganda ... 95
5 Output Uji Asumsi Klasik ... 98
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin ketatnya persaingan antar bank di Indonesia secara otomatis akan menyebabkan kompetisi semakin meningkat. Munculnya bank-bank mikro dan lembaga-lembaga keuangan yang semakin banyak, menjadi fenomena yang menyebabkan perbankan harus mempersiapkan diri agar tetap bisa bertahan.
Untuk mendorong kompetensi yang dihadapi dunia perbankan, maka regulasi atupun ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) untuk aset bank dan lain- lain juga semakin diperketat.
Berbagai usaha dilakukan oleh masing-masing bank untuk dapat eksis dan unggul dalam persaingan. Usaha ini antara lain meliputi peningkatan teknologi, kemudahan dalam bertransaksi, menciptakan produk-produk dengan kemasan yang menarik sehingga dirasa nasabah sangat menguntungkan, dan lain-lain.
Namun, persaingan yang benar-benar nyata ditunjukkan bank dengan pemberian layanan (service) kepada nasabah. Service merupakan hal yang dapat membedakan bank yang satu dengan kompetitor lainnya.
Keunggulan produk bukan merupakan satu-satunya hal yang harus menjadi pusat perhatian oleh lembaga perbankan. Akan tetapi, pelayanan yang berkualitas sudah merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada nasabah.
Bahkan saat ini pelayanan sudah dianggap sebagai hak nasabah. Berbeda dengan perusahaan manufaktur, bank merupakan perusahaan jasa yang menjual pelayanan, bukan hanya produk.
Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung perekonomian suatu bangsa. Hal ini dikarenakan bank adalah penghubung antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana, sehingga tercipta alokasi dana efisien.
Oleh karena bank berfungsi sebagai perantara keuangan, maka kepercayaan dari masyarakat menjadi faktor utama yang harus dijaga dalam bisnis perbankan. Masyarakat yang memiliki dana, membeli produk bank dengan membuka tabungan/deposito/giro dan kemudian digantikan dengan surat berharga dari lembaga bank yang bersangkutan. Manajemen bank dihadapkan pada berbagai upaya untuk menjaga kepercayaan tersebut, sehingga dapat memperoleh simpati dari para calon nasabah dan menjaga nasabah yang ada untuk tetap loyal.
Salah satu faktor yang mempengaruhi loyalitas pelanggan adalah Switching Barrier (hambatan berpindah). Menurut Jones et.al (dalam Claes, 2003:4) “Switching barrier is any factor which makes it difficult or costly cunsumers to change providers”, atau dengan kata lain hambatan berpindah adalah segala faktor yang mempersulit atau memberikan biaya kepada pelanggan apabila beralih penyedia produk/jasa.
Walaupun bank di Indonesia mempunyai tingkat kepuasan nasabah yang tinggi, akan tetapi ada jutaan nasabah yang setiap waktu berpikir untuk berpindah dari bank utamanya. Apa yang menyebabkan mereka meninggalkan bank utamanya adalah karena pelayanan yang buruk (poor service). Jutaan nasabah yang kurang puas ini terus menerus berputar mencari layanan yang lebih baik menurut persepsi mereka.
Perusahaan yang bertahan hidup (survive) harus dapat memberikan layanan prima yang berkualitas. Dapat dipastikan bahwa pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang puas akan nilai-nilai yang ditawarkan. Akan tetapi, banyaknya pilihan penawaran bisa menyebabkan perubahan perilaku keputusan pembelian yang akan mempermudah pelanggan untuk berpindah. Sementara itu, dari sisi perusahaan, biaya untuk menarik pelanggan baru diperkirakan lima kali lebih besar daripada biaya memuaskan pelanggan yang ada.
Banyaknya industri perbankan di Indonesia menyiratkan bahwa pasar perbankan masih terbuka untuk diperebutkan lewat akuisisi pengguna (customer aquitition) dan perpindahan merek (brand switching). Sehingga, untuk dapat membedakan diri dengan penyedia jasa lain, suatu bank harus mampu secara konsisten memberikan pelayanan dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaing.
Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepuasan nasabah, sehingga mengurangi alasan beralih.
Kepuasan dan ketidakpuasan nasabah terhadap layanan dan produk yang ditawarkan perusahaan perlu dipahami karena akan mempengaruhi perilaku selanjutnya. Kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dapat dipertahankan dengan mengembangkan hubungan dan kesetiaan yang lebih kuat. Selain itu, kepuasan pelanggan juga menjadi salah satu faktor yang akan menentukan banyak sedikitnya laba yang akan diperoleh perusahaan dalam jangka panjang.
Fornell dalam Lupiyoadi (2013:228) menyatakan bahwa banyak manfaat bagi perusahaan dengan terciptanya tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi, di mana akan meningkatkan loyalitas pelanggan dan mencegah perputaran.
Perusahaan jasa mengurangi sensitivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasi yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatnya efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis.
PT Bank Mutiara (Tbk) merupakan salah satu bank swasta di Indonesia.
Bank Mutiara adalah transformasi dari Bank Century yang diambilalih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2008. Nama Bank Mutiara resmi digunakan pasca rebranding pada tanggal 3 Oktober 2009 yang ditetapkan oleh SK Gubernur BI.
Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal, dan penanganannya dilakukan oleh LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui penyertaan modal sementara oleh LPS yang merupakan bagian dari keuangan negara. Permasalah- permasalahan yang timbul adalah permasalahan surat-surat berharga dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang mengakibatkan kerugian Bank Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga melanggar pasal 8 ayat 1, pasal 49 ayat 1 dan pasal 50 serta pasal 50 a UU No 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan telah merugikan Bank Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup dengan dana PMS dari LPS (VIVAnews, 04/01/2010).
Mengingat sejarah Bank Mutiara merupakan rebranding dari Bank Century, secara otomatis menciptakan image yang negatif pada mindset masyarakat sehingga menyulitkan Bank Mutiara dalam usaha memasuki pasar
sasaran. Perbaikan citra perusahaan perlu dilakukan sebagai langkah awal karena Bank Mutiara tidak bisa dilepaskan begitu saja dari baying-bayang nama Bank Century.
Rencana bisnis Bank Mutiara difokuskan pada tiga tahap yaitu penyelamatan perusahaan, membangun pondasi perusahaan, dan fokus pada bisnis. Tiga hal mendasar tersebut dijabarkan dalam lima langkah perusahaan yang dimulai dengan memperbaiki citra perusahaan (brand image).
Dalam berbisnis, perusahaan harus konsisten membangun image bisnis di mata konsumen sebagai perusahaan yang peduli terhadap mereka dan lingkungannya. Sekali saja perusahaan cacat di mata konsumen akan sangat sulit membangun kembali citra positif perusahaan (Situmorang, 2012:85).
Membangun brand image yang kuat tentu tidak mudah. Dibutuhkan strategi pemasaran yang tepat, memakan waktu yang sangat lama, dan juga membutuhkan dukungan biaya yang tidak murah. Oleh karena itu, maka wajar apabila banyak pelaku usaha yang gagal dalam bisnisnya karena tidak berhasil menciptakan brand image yang cukup kuat, sehingga produk yang dihasilkan tidak bisa bertahan lama di tengah kompetisi yang semakin besar.
Ketertarikan Penulis memilih Bank Mutiara sebagai tempat penelitian adalah karena bank ini tetap bisa bertahan di bawah terpaan isu politik dan ekonomi yang terus menyerang. Selain itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tetap mempertahankan berdirinya Bank Mutiara hingga saat ini.
Meskipun dibayang-bayangi oleh image negatif Century, akan tetapi pada tahun pertama beralihnya Bank Century menjadi Bank Mutiara hingga saat ini
tidak menyebabkan nasabah berpindah secara signifikan dari bank ini. Hal ini dapat dibuktikan dari dana pihak ketiga yang terus mengalami peningkatan seperti yang dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1
Komposisi Dana Pihak Ketiga
Ket 31 Des
2008
31 Des 2009
31 Des 3010
31 Des 2011
31 Des 2012
31 Des 2013
31 Des 2014
Gr Rph 3,586 2,248 2,859 16,077 3,445 6,811 6,229
Gr Vls 9,027 3,889 8,639 1,447 2,576 3,962 2,681
Tab 6,980 8,183 9,114 8,303 8,856 9,154 16,045
Dep Rph 22,269 44,306 95,995 109,991 126,923 136,135 157,384
Dep Vls 21,580 8,479 15,669 14,966 15,205 21,041 17,904
Sub Total 63,442 67,105 132,276 150,784 157,005 177,103 200,243
Corp./Gorv. Gr 0 0 961 1,644 186 0 -
Corp./Gorv Dep 0 0 0 0 0 0 -
Sub Total 0 0 961 1,644 186 0 -
TOTAL 63,442 67,105 133,237 152,428 157,191 177,103 200,243
(dalam jutaan rupiah)
Sumber: PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau
Tabel tersebut menunjukkan peningkatan jumlah dana pihak ketiga pada saat transisi dari Bank Century menjadi Bank Mutiara (tahun 2008-2009). Pada tahun 2008, total dana pihak ketiga adalah sebesar 63.442 juta rupiah. Meningkat sebesar 3.663 juta rupiah di tahun berikutnya, menjadi 67.105 juta rupiah. Di tahun 2010, mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni sebesar 66.132 juta rupiah dengan total dana 133.237 juta rupiah. Begitu juga yang terjadi pada tahun 2011, adanya peningkatan pada produk giro rupiah, dari 2.859 juta rupiah menjadi 16.077 juta rupiah. Di akhir tahun 2014, Bank Mutiara berhasil memperoleh dana pihak ketiga dengan total 200.243 juta rupiah, yang mana mengalami peningkatan sebesar 23.140 juta rupiah dari tahun sebelumnya.
Dana pihak ketiga yang terus meningkat merupakan bukti nyata dari Bank Mutiara dalam usahanya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap image perusahaan. Dana nasabah seperti yang tercantum pada tabel di atas, bersumber dari nasabah baru (fresh fund) ataupun nasabah existing yang tidak beralih sejak pasca rebranding.
Persepsi adalah kebenaran. Untuk memperbaiki persepsi dan kemudian mencari solusi, yang paling penting adalah mengerti masalahnya terlebih dahulu.
Rest room yang bersih, tempat parkir yang luas, satuan pengamanan (satpam) yang tanggap merupakan hal penting, tetapi bukan sebagai penyebab nasabah tetap mempertahankan hubungannya dengan sebuah bank tertentu.
Menyadari sejarahnya sebagai ex-Century yang berimbas pada citra perusahaan yang kurang baik di benak konsumen, maka Bank Mutiara secara konsisten berusaha mengembalikan kepercayaan nasabah dan memperbaiki brand image-nya. Bahkan Bank Mutiara juga menawarkan layanan dengan keunggulan yang setara dengan asisten pribadi dalam melayani nasabah secara khusus.
Sehingga hal ini dapat memberikan kepuasan layanan bagi nasabah dan menjaga nasabah untuk tidak beralih.
Uraian di atas menjadi latar belakang dan alasan Penulis untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Brand Image dan Customes Satisfaction Terhadap Switching Barrier Pada PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah Brand Image dan Customes Satisfaction berpengaruh terhadap Switching Barrier pada PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengatahui pengaruh brand image dan customer satisfaction terhadap switching barrier pada PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang Penulis lakukan adalah sebagai berikut:
a. Bagi Penulis
Penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh selama proses perkuliahan serta memperluas wawasan penulis.
b. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan perusahaan sebagai bahan informasi dan menjadi masukan bagi perusahaan untuk dapat terus membangun image yang positif dan memberikan pelayanan yang berkualitas agar kepuasan nasabah dapat tercapai sehingga menciptakan switching barrier yang tinggi.
c. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian terhadap objek atau masalah yang sama di masa yang akan datang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pemasaran
Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pengusaha dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang, dan mendapatkan laba (Swastha dan Irawan, 1990:5).
Sedangkan Kotler (2009:32) mendefenisikan dari sudut pandang manajerial, pemasaran adalah fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan menghantarkan nilai kepada pelanggan dan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pemegang kepentingannya.
Dari defenisi diatas, dapat dilihat bahwa pemasaran merupakan usaha terpadu untuk menggabungkan rencana-rencana strategis yang diarahkan kepada pemuas kebutuhan dan keinginan konsumen untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan melalui proses pertukaran atau transaksi. Segala aktivitas perusahaan seharusnya diarahkan untuk dapat memuaskan konsumen yang pada akhirnya berdampak baik terhadap perolehan laba perusahaan.
2.2 Pengertian Jasa
Jasa meliputi berbagai macam aktivitas yang berbeda dan kompleks, sehingga sulit didefenisikan. Dua hal yang paling membedakan jasa dan barang adalah sifatnya yang tak berwujud dan tidak tahan lama. Para konsumen membeli jasa karena mereka mengharapkan suatu hasil tertentu. Bahkan banyak perusahaan
yang memasarkan dan menawarkan layanan mereka sebagai suatu “solusi” untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya.
Menurut Lovelock, dkk (2010:16) Jasa adalah suatu aktivitas ekonomi yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain. Seringkali kegiatan dilakukan dalam jangka waktu tertentu (time-based), dalam bentuk suatu kegiatan yang akan membawa hasil yang diinginkan kepada penerima, obyek maupun aset- aset lainnya yang menjadi tanggung jawab dari pembeli.
Sedangkan menurut Kotler & Keller (2008:36) Jasa/layanan (service) adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain yang pada intinya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun.
Sebagai pertukaran dari uang, waktu dan upaya, pelanggan jasa berharap akan mendapatkan nilai (value) dari suatu akses ke barang-barang, tenaga kerja, tenaga ahli, fasilitas, jejaring dan sistem tertentu; tetapi para pelanggan biasanya tidak akan mendapat hak milik dari unsur-unsur fisik yang terlibat dalam penyediaan jasa tersebut.
2.3 Kepercayaan
Kepercayaan adalah keyakinan bahwa seseorang akan menemukan apa yang diinginkan pada mitra pertukaran. Kepercayaan melibatkan kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu karena keyakinan bahwa mitranya akan memberikan apa yang ia harapkan dan suatu harapan yang umumnya dimiliki seseorang bahwa kata, janji atau pernyataan orang lain dapat dipercaya (Barnes, 2003:148).
Perbedaan organisasi jasa dan manufaktur terletak pada peran manusia atau karyawannya. Sifat jasa yang inseparability dimana produksi dan konsumsi dilakukan secara bersamaan membuat interaksi yang terjadi antara karyawan dan konsumen selama proses transfer jasa menjadi sangat berpengaruh terhadap persepsi konsumen pada kualitas jasa sehingga membuat karyawan berperan penting dalam proses jasa bahkan karyawan sering dipersepsikan dengan jasa itu sendiri. Beberapa atribut yang merupakan objek evaluasi konsumen ketika mengkonsumsi produk jasa, yaitu: bukti fisik, orang dan proses. Sifat jasa yang inseparability ini seringkali menimbulkan ketidakseragaman hasil produksi sehingga perilaku karyawan dapat mempengaruhi evaluasi konsumen terhadap produk dan kesetiaan konsumen di masa depan.
2.4 Switching Barrier
2.4.1 Pengertian Switching Barrier
Hambatan berpindah (switching barrier) adalah upaya perusahaan membentuk rintangan pengalihan sehingga pelanggan merasa enggan, rugi, atau perlu mengeluarkan biaya besar untuk mengganti pemasok (penjual, toko dan lain-lain) (Tjiptono, 1997:39). Rintangan pengalihan ini dapat berupa biaya pencarian, biaya transaksi, biaya belajar/pemahaman, potongan harga khusus bagi pelanggan yang loyal, kebiasaan pelanggan, biaya emosional, dan usaha-usaha kognitif serta risiko finansial, sosial, dan psikologis.
Ada banyak faktor yang menjadikan konsumen untuk tetap loyal kepada merek tertentu selain kepuasan yang hingga kini diyakini mampu untuk memelihara hubungan antara perusahaan dengan pelanggan dan berjalan seiring
bersama-sama menciptakan loyalitas. Lebih lanjut, faktor ini dikatakan mampu untuk menjadikan pelanggan tetap mengkonsumsi produk pada merek yang biasa mereka konsumsi disebut sebagai hasil switching barriers (perpindahan yang terhalangi).
Begitu juga seperti yang telah diungkapkan oleh Fornell (dalam Lupiyoadi, 2013:237) Hambatan pindah (switching barrier) mengacu pada tingkat kesulitan untuk pindah/beralih ke penyedia barang atau jasa lain yang dihadapi pelanggan yang tidak puas dengan jasa yang diterima atau mengacu pada kendala finansial, sosial dan psikologi yang dirasakan seorang pelanggan ketika pindah/beralih ke penyedia jasa baru.
Switching barrier ini mampu menjadikan nasabah merasa enggan berpindah ke bank lain karena beberapa kelebihannya. Hal ini justru dapat menjadi aset bagi perusahaan untuk menjadikan switching barrier ini sebagai kekuatan bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Lebih lanjut Jones, et al (2003: 702) mengatakan bahwa switching barrier adalah semua faktor yang membuat konsumen sulit untuk berpindah merek.
Switching barrier ini dapat menjadi penghalang bagi konsumen untuk berpindah dari satu merek ke merek lain. Switching barrier digambarkan sebagai penghalang investasi yang hubungannya dapat diukur oleh materi, seperti halnya berusaha untuk mendorong dan mendukung konsumen agar merasa memiliki keinginan melanjut hubungan itu, dan bagaimana konsumen merasa memiliki hambatan untuk beralih.
Fokus utama dari switching barrier adalah persepsi-persepsi konsumen, waktu, uang dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan supplier (Balabanis, dkk , 2006:11). Agar lebih efektif switching barrier perlu mengunci konsumen sehingga biaya akuisisi dibayar kembali melalui pengulangan pembelian. Sebagai contoh, produsen mengadakan launching produk, penanganan keluhan secara langsung sekaligus memberi layanan konsultasi secara gratis bagi konsumen yang diadakan di pusat-pusat perbelanjaan atau pada saat event sebagai bentuk layanan kepedulian terhadap konsumen sekaligus menjalin hubungan yang lebih romantis dengan konsumen.
Lupiyoadi (2013:237) menyebutkan bahwa hambatan pindah terbentuk karena adanya biaya pindah (switching cost), daya tarik alternatif-alternatif yang ada (attractiveness alternatives), dan hubungan interpersonal (interpersonal relationship).
2.4.2 Bentuk-bentuk Switching Barrier 2.4.2.1 Biaya Perpindahan (Switching Cost)
Biaya pindah merupakan biaya yang terjadi ketika pindah ke penyedia jasa lain, termasuk waktu, uang dan biaya psikologis. Biaya pindah juga didefenisikan sebagai risiko yang diterima (perceived risk), yaitu risiko atau kerugian potensial yang diterima oleh pelanggan ketika beralih ke kompetitor, seperti kerugian finansial, sosial, psikologis, dan keamanan.
Morgan dan Hunt (1994) mendefinisikan biaya perpindahan sebagai biaya pemutusan hubungan (relantionship termination cost) dalam sudut pandang ekspektasi terhadap semua kerugian (losses) akibat menghentikan hubungan atau
berpindah ke alternatif lain. Biaya perpindahan meliputi perjuangan untuk berubah, waktu dan usaha yang diperlukan untuk memperoleh merek suatu produk tertentu.
Biaya perpindahan (switching cost) merupakan salah satu faktor yang mendorong apakah konsumen tetap termotivasi untuk mempertahankan suatu pilihan atau berpindah ke alternatif lain. Ketika pembeli mempertimbangkan alternatif lain dari penggunaan selama ini, maka salah satu yang dipertimbangkan adalah implikasi biaya atau disebut sebagai resiko.
Adapun beberapa faktor yang memperngaruhi resiko menurut Mowen dan Minor (2002:229) diantaranya:
a. Kepribadian
Karakteristik pribadi diasosiasikan dengan kesediaan yang lebih besar untuk menerima resiko, rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi, kegelisahan dan keakraban yang rendah dengan masalah atau keputusan.
b. Faktor situasional
Dimana salah satu variabelnya adalah sifat alami dari pekerjaan, misalnya resiko yang secara sukarela dilakukan lebih dapat diterima bagi orang- orang daripada resiko tanpa disengaja.
c. Karakteristik produk dan jasa
Secara umum produk dan jasa yang digunakan mungkin memberikan hasil yang sangat negatif yang kelihatannya lebih beresiko.
Secara umum switching cost didefinisikan sebagai biaya yang menghalangi konsumen untuk berpindah dari suatu produk atau jasa perusahaan
saat ini kepada produk atau jasa kompetitor. Yaitu, ketika sebuah hubungan ditetapkan, satu pihak akan menjadi lebih bergantung kepada pihak lainnya. Hal ini diartikan biaya untuk berpindah menjadi tinggi. Dapat juga dikatakan bahwa konsumen terkadang menjadi terikat (locked into) dengan penyedia layanannya sekarang dikarenakan tingginya switching cost.
Burnham dkk, (2003: 111) menyimpulkan bahwa dalam switching cost terdapat tiga variabel yang potensial di dalamnya, yaitu:
a. Procedural switching cost, yang terkait dengan waktu.
Aspek-aspek dari procedural switching cost:
a) Economic risk cost, yang mengarah pada biaya atas resiko ketidakpastian dari efek negatif yang dimungkinkan timbul ketika menerima layanan service provider yang baru dimana konsumen hanya memiliki informasi yang terbatas.
b) Evaluation cost, yang mengarah pada biaya atas usaha dan waktu untuk mencari informasi serta proses analisis ketika menentukan keputusan untuk switching.
c) Learning cost, yang mengarah kepada biaya atas usaha dan waktu untuk mempelajari skill dan knowledge baru yang diperlukan, agar dapat menggunakan produk dan jasa yang baru tersebut secara efektif.
d) Set-up cost, yang mengarah pada biaya atas usaha dan waktu yang dibutuhkan dalam mengawali hubungan dengan service provider atau produk yang baru.
b. Financial switching cost, yang terkait dengan keuntungan moneter.
Aspek-aspek financial switching cost:
a) Benefit loss cost, mengarah kepada biaya yang berkenaan dengan ikatan kontraktual yang menciptakan nilai yang lebih untuk tetap bertahan dengan service provider.
b) Monetary loss cost, mengarah kepada biaya yang keluar sekaligus yang muncul dalam proses ketika konsumen beralih ke provider yang baru, dibandingkan dengan mereka yang melakukan pembelian yang baru.
c. Relational switching cost, yang terkait dengan faktor emosional.
Aspek-aspek relational switching cost:
a) Personal relational loss cost, mengarah kepada emotional loss yang diterima oleh konsumen ketika harus memutuskan hubungan dengan orang yang biasanya berinteraksi dengan konsumen
b) Brand relationship loss cost, mengarah kepada emotional loss yang diterima oleh konsumen ketika mereka melakukan hubungan atas identifikasi yang selama ini telah terbentuk dengan merek atau perusahaan dimana pelanggan bergabung.
Berdasarkan uraian diatas indikator dari variabel switching cost sebagai berikut:
a. Kualitas produk yang tidak sesuai harapan jika beralih ke produk lain b. Biaya atas waktu dan usaha untuk mengevaluasi produk lain
c. Biaya atas waktu dan usaha membiasakan diri dengan fitur baru jika berlalih ke produk lain
d. Biaya untuk mengawali hubungan dengan produk baru jika beralih e. Benefit yang hilang jika beralih ke produk lain
f. Biaya yang dikeluarkan dalam proses berpindah ke produk lain jika beralih g. Kenyamanan dalam berhubungan dengan personel (karyawan)
h. Senang dengan image yang dimiliki produk sekarang.
2.4.2.2 Daya Tarik Alternatif (Attractiveness of Alternative)
Bendapudi & Berry (dalam Lupiyoadi, 2013:237) menyebutkan bahwa daya tarik alternatif mengacu pada reputasi, citra/kesan, dan kualitas jasa yang diharapkan superior (unggul), atau lebih cocok dibandingkan dengan penyedia yang ada. Daya tarik alternatif sangat berhubungan dengan diferensiasi jasa- organisasi industri. Jika perusahaan menawarkan jasa yang unik, usaha tersebut menyulitkan kompetitor untuk meniru/menyamai. Atau, apabila terdapat sedikit alternatif kompetitor yang ada di pasar, pelanggan cenderung bertahan pada perusahaan yang ada.
Daya tarik alternatif meliputi seberapa banyak sesuatu yang lebih buruk atau lebih baik dalam berbagai dimensi suatu alternatif konsumen akan produk (Julander, dkk, 2003: 20). Daya tarik alternatif mengacu pada reputasi, gambaran alternatif akan kualitas dari persaingan yang ada di pasar. Daya tarik alternatif dapat meningkatkan layanan yang tidak mudah ditiru oleh pesaing. Begitu juga sebaliknya, ketika ada sedikit alternatif atau merasa kinerja atau manfaat dari atribut produk rendah, tingkat kemungkinan untuk tetap mengkonsumsi juga
rendah. Hal ini dilakukan karena konsumen cenderung untuk mengurangi resiko yang mereka perkirakan terlalu besar.
Konsumen membandingkan persepsi jumlah resiko yang muncul dalam keputusan pembelian dengan kriteria kepribadian mereka tentang seberapa besar resiko itu dapat diterima. Jika resiko yang dirasakan lebih besar dari resiko yang dapat diterima, maka konsumen termotivasi untuk mengurangi resiko dengan beberapa cara atau tidak jadi melakukan pembelian. Oleh karena itu, konsumen cenderung memperkecil tingkat resiko untuk mencari alternatif merek produk yang terbaik dari beberapa merek yang tersedia dipasar.
Beberapa peneliti sudah menyoroti bahwa daya tarik alternatif produk merupakan satu faktor penting ketika pelanggan mempertimbangkan perpindahan supplier yang heterogen. Oleh karena itu merek perlu meningkatkan persepsi tentang manfaat perpindahan dalam kaitan dengan temuan suatu alternatif sehingga pelanggan merasa tidak ada manfaat yang dirasakan dari perpidahan merek ketika alternatif yang disediakan oleh pesaing adalah sama.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka variabel Attractiveness of alternatif adalah sebagai berikut:
a. Reputasi yang dimiliki produk dibanding produk pesaing
b. Produk adalah merek yang terkenal dibandingkan produk lainnya c. Kelengkapan layanan produk dibanding produk lainnya
d. Kualitas layanan SMS (short message service quality) produk dibanding produk lainnya
e. Kualitas suara saat percakapan (call equality) produk dibanding produk lainnya
f. Kualitas jangkauan (coverage quality) produk dibanding produk lainnya g. Kualitas layanan internet produk lebih baik dari pesaing.
2.4.2.3 Hubungan Interpersonal (Interpersonal Relationship)
Hubungan interpersonal berarti hubungan psikologis dan sosial yang merupakan manivestasi diri sebagai perusahaan yang peduli, dapat dipercaya, akrab, dan komunikatif. Hubungan interpersonal dibangun melalui interaksi antara pemberi jasa dan pelanggan sehingga dapat memperkuat ikatan di antara mereka yang pada akhirnya mendorong hubungan jangka panjang. Perusahaan tidaklah sendirian dalam membangun hubungan yang langgeng. Banyak pelanggan juga menginginkan, membangun dan meneruskan hubungan interpersonal yang memberikan nilai dan kenyamanan. Dengan demikian, investasi hubungan khusus membantu meningkatkan ketergantungan pelanggan dan meningkatkan hambatan pindah (Lupiyoadi, 2013:237).
Hubungan interpersonal mengacu pada hubungan yang dijalin antara pelanggan dan karyawan maupun hubungan antara sesama pelanggan (Parasuraman dan Wilson dalam Jones, dkk, 2000:3). Hubungan interpersonal mengacu pada kekuatan (ikatan) pribadi dikembangkan antara pelangggan dan karyawan mereka.
Hubungan interpersonal memberikan status yang tinggi dari interaksi yang dibangun. Individu lebih mungkin untuk berhubungan dengan kelompok yang
mempunyai hubungan kuat antara pelanggan, karyawan atau supplier maupun hubungannya dengan sesama pelanggannya.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas maka variabel interpersonal relantionship dalam penelititan ini dibentuk oleh indikator berikut:
a. Komunikasi karyawan dengan pelanggannya b. Karyawan selalu menyapa pelanggannya
c. Kesempatan konsultasi tentang produk dengan karyawan
d. Perasaan pelanggan ketika konsultasi dengan karyawan (customer service) e. Hubungan dengan sesama pelanggan
f. Interaksi dengan sesama pelanggan
g. Kesempatan bertukar pikiran dengan sesama pelanggan.
2.5 Ekuitas Merek
Menurut Aaker (1997:22) Ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan.
Salah satu aset tak berwujud adalah ekuitas yang diwakili oleh merek.
Bagi banyak perusahaan, merek dan segala yang diwakilinya merupakan aset yang paling penting karena dasar keuntungan kompetitif dan sumber penghasilan masa depan.
Kotler & Keller (2009:263) mendefenisikan ekuitas merek (brand equity) adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Ekuitas merek dapat tercermin dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak dalam
hubungannya dengan merek, dan juga harga, pangsa pasar dan profitabilitas yang diberikan merek bagi perusahaan.
Sedangkan menurut Ferrinadewi (2008:169) brand equity adalah ketika konsumen menyadari keberadaan merek dan memiliki asosiasi merek yang unik, kuat dan cenderung positif. Nilai sebuah merek bagi perusahaan diciptakan melalui konsumen. Aktivitas konsumen dalam pembelajaran dan proses keputusan pembeliannya dapat membentuk dan mendorong terbentuknya brand equity.
Aaker dalam Tjiptono (2005:40) memformulasikan brand equity dari sudut pandang manajerial dan strategi korporat, meskipun landasan utamanya adalah perilaku konsumen. Aaker menjabarkan aset merek yang berkontribusi pada penciptaan brand equity ke dalam empat dimensi, yakni:
a. Brand Awareness, yaitu kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat bahwa suatu merek merupakan anggota dari kategori produk tertentu.
b. Perceived quality merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, perceived quality didasarkan pada evaluasi subyektif konsumen (bukan manajer atau pakar) terhadap kualitas produk.
c. Brand associations, yakni segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap sebuah merek. Brand association berkaitan erat dengan brand image, yang didefenisikan sebagai serangkaian asosiasi merek dengan makna tertentu. Asosiasi merek memiliki tingkat kekuatan tertentu dan
akan semakin kuat seiring dengan bertambahnya pengalaman konsumsi atau eksposur dengan merek spesifik.
d. Brand loyalty, yaitu “the attachment that a customer has to a brand”
Gambar 2.1 Elemen Brand Equity Sumber: Tjiptono (2005:41)
Ekuitas merek hanya bermain pada tataran pikiran dan emosi konsumen.
Sebab, seperti konsep Aaker, ekuitas merek terdapat pada pengenalan merek, persepsi kualitas, asosiasi merek dan loyalitas merek. Semuanya ini memerlukan pengalaman konsumen terhadap produk (Simamora, 2003:27).
2.6 Brand Association
Dalam segmented marketing, perusahaan perlu menancapkan imej yang baik tentang mereknya. Oleh karena itu, merek diperlukan sebagai jangkar asosiasi (brand association). Tanpa merek tidak mungkin membentuk asosiasi (Simamora, 2003:4).
Menurut Aaker (1997:160) Suatu asosiasi merek adalah segala hal yang
“berkaitan” dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi itu tidak hanya eksis namun juga mempunyai suatu tingkat kekuatan. Kaitan pada merek akan
Brand Equity
Brand Awareness
Brand Associations
Perceived Equity
Brand Loyalty
lebih kuat jika dilandaskan pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. Juga akan lebih kuat apabila kaitan itu didukung dengan suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain.
Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terbingkai dalam berbagai bentuk yang bermakna. Asosiasi dan pencitraan keduanya mewakili berbagai persepsi yang mungkin mencerminkan (atau mungkin tidak mencerminkan) realitas objektif.
Suatu merek yang telah mapan akan mempunyai posisi yang menonjol dalam suatu kompetisi karena didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Merek ini akan bernilai tinggi untuk atribut-atribut yang dikehendaki seperti layanan yang bersahabat, atau menduduki suatu posisi yang berbeda dari posisi para kompetitor.
Nilai yang mendasari sebuah merek seringkali merupakan sekumpulan asosiasinya – dengan kata lain, merupakan makna merek tersebut bagi khalayak.
Asosiasi-asosiasi menjadi pijakan dalam keputusan-keputusan pembelian dan loyalitas merek. Ada banyak sekali kemungkinan asosiasi, dan suatu variasi dari asosiasi-asosiasi bisa memberikan nilai.
Macam-macam asosiasi yang memberikan nilai bagi perusahaan dan pelanggannya dapat kita lihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.2 Nilai Asosiasi Merek Sumber: Aaker (1997:162)
2.7 Brand Image
Interpretasi merek sebagai citra merupakan serangkaian asosiasi yang dipersepsikan oleh individu sepanjang waktu, sebagai hasil pengalaman langsung maupun tidak langsung atas sebuah merek.
Menurut Rangkuti (2009:90) Citra merek (brand image) adalah persepsi merek yang dihubungkan dengan asosiasi merek yang melekat dalam ingatan konsumen.
Asosiasi merek merupakan informasi terhadap merek yang diberikan oleh konsumen serta ada dalam ingatan konsumen dan mengandung arti merek.
Konsumen selalu mengidentifikasikan bahwa citra yang mereka miliki cocok dengan citra yang mereka inginkan.
Asosiasi Merek
Membantu proses/penyusunan informasi
Menciptakan sikap/perasaan positif Basis perluasan
Alasan untuk membeli Diferensiasi/posisi
Sedangkan Aaker (1997:161) berpendapat bahwa asosiasi dan pencitraan keduanya mewakili berbagai persepsi yang mungkin mencerminkan (atau mungkin tidak mencerminkan) realitas objektif.
Menurut Simamora (2003:21) dalam membentuk imej merek, kita memasuki dunia persepsi. Imej adalah persepsi yang relatif konsisten dalam jangka panjang (enduring perception). Tidak mudah membentuk imej, tetapi sekali terbentuk tidak mudah pula mengubahnya.
2.8 Customer Satisfaction
Secara umum, kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka (Kotler, 2009:139).
Oliver dalam Umar (2003:14) mendefenisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau melebihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap kinerja tidak dapat memenuhi harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan.
Sedangkan menurut Buttle (2007:29) kepuasan pelanggan adalah respons berupa perasaan puas yang timbul karena pengalaman mengonsumsi suatu produk atau layanan, atau sebagian kecil dari pengalaman itu.
Faktor utama penentu kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Meningkatnya kepuasan pelanggan diharapkan dapat meningkatkan upaya mempertahankan pelanggan yang pada akhirnya akan menghasilkan profit yang lebih tinggi pula.
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dalam penelitian ini terdapat pada table berikut:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1 Hartatik & Lie
Othman (2010)
Analisis Hambatan Berpindah (Switching Barrier)
Kartu Prabayar Simpati Telkomsel
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Fisip Universitas Riau)
Faktor-faktor yang menyulitkan pelanggan untuk beralih
produk/jasa yang dipilihnya (switching barrier) tidak hanya didasarkan pada pertimbangan nilai ekonomis, akan tetapi berkaitan dengan faktor
psikologis, sosial, fungsional dan ritual
2 Kumalasari, dkk (2012)
Pengaruh Customer Satisfaction Terhadap Switching
Barrier dan Customer Retention
(Survei pada Mahasiswa Fakultas
Ilmu Administrasi Bisnis Angkatan
2012-2013 Universitas Brawijaya yang pernah melakukan
pembelian di Mcdonal’s Malang)
Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel customer satisfaction terhadap variabel switching barrier demikian juga halnya dengan variabel customer satisfaction terhadap variabel customer retention
3 Melka Neira S (2012)
Pengaruh Citra Merek Terhadap Loyalitas Konsumen
Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia)
Terdapat hubungan yang kuat dan positif antara variabel citra merek terhadap loyalitas pelanggan Garuda Indonesia.
Selain itu, citra merek juga memiliki pengaruh terhadap pembentukan loyalitas pelanggan Garuda Indonesia.
2.10 Kerangka Konseptual
Switching barrier mengacu pada kesulitan beralih ke perusahaan lain yang dihadapi oleh seorang pelanggan yang tidak puas dengan layanan yang ada, atau beban keuangan, sosial dan psikologis yang dirasakan oleh pelanggan ketika beralih ke perusahaan lain. Perusahaan perlu mengambil suatu cara untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada dengan memunculkan hambatan (switching barrier) supaya pelanggan yang sudah ada tidak mudah beralih ke produk lain yang sejenis.
Menurut Lupiyoadi (2013:237) hambatan pindah terbentuk karena adanya biaya pindah (switching cost), daya tarik alternatif-alternatif yang ada (attractiveness alternativeness) dan hubungan interpersonal (interpersonal relationship). Biaya pindah merupakan biaya yang terjadi ketika pindah ke penyedia jasa lain. Daya tarik alternatif mengacu pada reputasi, citra/kesan, dan kualitas jasa yang diharapkan superior (unggul) atau lebih cocok dibandingkan dengan penyedia yang ada. Sedangkan hubungan interpersonal berarti hubungan psikologis dan sosial yang merupakan manivestasi diri sebagai perusahaan yang peduli, dapat dipercaya, akrab dan komunikatif.
Selain itu, sebagai produsen yang berorientasi kepada konsumen, tujuan utamanya bukanlah penjualan, tetapi tercapainya kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen dapat membentuk citra merek (brand image). Penjualan dengan sendirinya diperoleh melalui kepuasan konsumen, sebab konsumen yang puas selain akan membeli lagi, juga akan mengajak calon pembeli lainnya (Simamora, 2003:116).
Lupiyoadi (2013:232) menyatakan bahwa pelanggan yang mengalami kepuasan yang tinggi akan cenderung bertahan pada penyedia jasa saat ini.
Hambatan pindah memainkan peran sebagai variabel penyesuai pada hubungan antara kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Dengan kata lain, ketika tingkat kepuasan pelanggan diketahui, tingkat loyalitas pelanggan akan bervariasi bergantung pada kuatnya hambatan pindah tersebut.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat dibuat secara skematis kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Sumber: Lupiyoadi (2013) 2.11 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun oleh peneliti yang masih perlu diuji kebenarannya. Hipotesis penelitian menunjukan secara jelas arah pengujiannya, dengan kata lain hipotesis membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian di lapangan baik sebagai objek penelitian maupun dalam pengumpulan data. Berdasarkan penelitian terdahulu dan kerangka konseptual yang telah dikemukakan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah brand image (citra merek) dan customer satisfaction (kepuasan pelanggan) berpengaruh positif terhadap Switching Barrier (hambatan beralih) pada PT Bank Mutiata (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau.
Brand Image (X1)
Switching Barrier Customer Satisfaction
(X2)
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian asosiatif kausal. Menurut Umar (2003:40) penelitian asosiatif kausal adalah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara satu variabel dengan variabel lainya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lain. Dengan kata lain desain kausal berguna untuk mengukur hubungan-hubungan antar variabel riset atau berguna untuk menganalisis bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lain.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau yang berlokasi di Jl. Putri Hijau No. 4BC, Medan. Penelitian ini berlangsung selama satu bulan dimulai sejak Februari 2015 dan direncanakan berakhir pada Maret 2015.
3.3 Batasan Operasional
Batasan Operasional dilakukan untuk menghindari kesimpangsiuran dalam membahas dan menganalisis permasalahan dalam penelitian yang dilakukan.
Penelitian dilakukan dengan batasan masalah sebagai berikut:
1. Variabel Independen (X)
Yaitu variabel yang nilainya tidak tergantung pada variabel lain.
X1 dalam penelitian ini adalah Brand Image
X2 dalam penelitian ini adalah Customer Satisfaction
2. Variable Dependen (Y)
Yaitu variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel lain.
Y dalam penelitian ini adalah Switching Barrier 3.4 Operasionalisasi Variabel
Nurimawati (2007:61) menyatakan bahwa operasionalisasi variabel adalah proses penguraian variabel-variabel penelitian ke dalam sub variabel, dimensi, indikator dan pengukuran. Adapun syarat penguraian operasionalisasi dilakukan bila dasar konsep dan indikator masing-masing variabel sudah jelas, apabila belum jelas secara konseptual maka perlu dilakukan analisis faktor.
a. Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Brand Image (X1) yaitu persepsi tentang merek yang merupakan refleksi memori konsumen akan asosiasinya terhadap merek tersebut dan Customer Satisfaction (X2) yaitu tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk jasa yang diterima dengan yang diharapkan.
b. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Switching Barrier yang merupakan segala faktor yang mempersulit atau memberikan biaya kepada pelanggan jika beralih penyedia jasa (Jones, dkk, 2003).
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel
VARIABEL DEFENISI INDIKATOR PENGUKURAN
Brand Image (X1)
Persepsi merek yang dihubungkan dengan asosiasi merek yang melekat dalam ingatan konsumen
1. Reputasi positif 2.Dapat dipercaya 3.Citra layanan 4.Persepsi
masyarakat
Likert
Customer Satisfaction
(X2)
Evaluasi
purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau melebihi harapan sebelum pembelian
1. Pemberian pelayanan yang memuaskan 2. Kesesuaian
harapan 3. Perbandingan
dengan bank lain
4. Minat
pembelian ulang
Likert
Switching Barrier
(Y)
Upaya perusahaan membentuk rintangan pengalihan sehingga
pelanggan merasa enggan, rugi, atau perlu
mengeluarkan biaya besar untuk beralih penyedia jasa.
1. Switching Cost.
2.Kekebalan nasabah terhadap tarikan dari pesaing.
3.Nasabah merasa rugi jika beralih.
4.Kesulitan jika berpindah ke bank lain.
Likert
3.5 Skala Pengukuran Variabel
Pengukuran masing-masing variabel dalam penelitian menggunakan skala Likert, dimana digunakan untuk mengukur pendapat, sikap dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2005:89).
Dengan menggunakan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijadikan
sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Setiap jawaban yang diberikan pada penelitian ini akan diberi skor, yaitu:
Tabel 3.2
Instrumen Skala Likert
No Pernyataan Skor
1 Sangat Setuju (SS) 5
2 Setuju (S) 4
3 Kurang Setuju (KS) 3
4 Tidak Setuju (TS) 2
5 Sangat Tidak Setuju (STS) 1
Sumber: Sugiyono (2005:103)
3.6 Populasi dan Sampel 3.6.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2005:72) populasi adalah generalisasi yang terdiri atas objek dan subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Populasi dalam penelitian ini adalah nasabah Bank Mutiara Cabang Medan Putri Hijau yaitu sebanyak 950 orang.
3.6.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan
dana, waktu, tenaga, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut (Sugiyono, 2007:16).
Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin, yaitu teknik pengambilan sampel dimana peneliti menentukan sampel dari populasi, dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
n = jumlah sampel N = ukuran populasi
e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir.
Dengan menggunakan rumus di atas dihasilkan sejumlah sampel berikut :
950 n =
1 + 95 (0,1)2 n = 90,47 (90)
Total sampel digenapkan menjadi 90 orang.
3.7 Jenis dan Sumber Data a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden pada lokasi penelitian. Data primer dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan (questionnaire) yang diberikan kepada nasabah PT Bank Mutiara (Tbk) Cabang Medan Putri Hijau.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumen dari buku, jurnal, majalah, situs internet dan berbagai informasi yang dimiliki oleh PT Bank Mutiara (Tbk) yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.8 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daftar Kuesioner, yaitu pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan melalui daftar pertanyaan pada responden yang terpilih dengan harapan akan memberi respon atas daftar pertanyaan tersebut. Jenis kuesioner pada penelitian ini adalah kuesioner tertutup.
Kuesioner ditentukan berdasarkan teori-teori tentang masing-masing variabel yang telah dikumpulkan. Teori-teori tersebut akan dirangkum menjadi indikator-indikator dan dari indikator-indikator tersebut ditentukan pertanyaan- pertanyaan dalam kuesioner.
Kuesioner tertutup adalah kuesioner yang telah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih jawaban pada kolom yang sudah disediakan dengan memberi tanda checklist. Jawaban tersebut selanjutnya diberi skor dengan skala Likert.
3.9 Uji Validitas dan Reliabilitas 3.9.1 Uji Validitas
Uji Validitas digunakan untuk melihat sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu dimensi atau indikator dikatakan valid apabila skala tersebut digunakan untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2007:109). Oleh karena itu sering sekali sebelum penelitian dilakukan alat-alat yang digunakan diterapkan terlebih dahulu.
Uji validitas ini dilakukan kepada 30 responden di luar sampel, yaitu pada nasabah Bank Mutiara Cabang Medan Putri Hijau.
Uji validitas digunakan oleh peneliti untuk mengukur data yang telah di dapat setelah penelitian, yang merupakan data yang telah valid dengan alat ukur yang digunakan yaitu: kuesioner. Suatu kuisioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner tersebut. Pengujian pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00 for Windows. Dengan kriteria dalam pengukuran kuisioner, sebagai berikut:
Jika rhitung > rtabel maka pertanyaan tersebut valid Jika rhitung < rtabel maka pertanyaan tersebut tidak valid
Pada Tabel 3.3 berikut ini dapat kita lihat hasil dari pengolahan data terhadap uji validitas yang telah dilakukan pada 30 responden diluar sampel penelitian:
Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas
Item-Total Statistics Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Pertanyaan_1 47.17 70.833 .533 .892
Pertanyaan_2 47.40 71.283 .468 .895
Pertanyaan_3 47.23 67.357 .811 .881
Pertanyaan_4 47.60 67.007 .759 .882
Pertanyaan_5 47.53 71.361 .549 .891
Pertanyaan_6 47.47 67.568 .625 .888
Pertanyaan_7 47.40 73.076 .491 .894
Pertanyaan_8 47.47 71.499 .418 .898
Pertanyaan_9 47.10 70.300 .563 .891
Pertanyaan_10 47.07 70.754 .570 .891
Pertanyaan_11 47.53 68.533 .608 .889
Pertanyaan_12 47.40 73.076 .491 .894
Pertanyaan_13 47.57 69.909 .621 .889
Pertanyaan_14 47.50 67.086 .723 .884
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah)
Pada tabel 3.3 dapat dilihat bahwa seluruh pernyataan dalam kuesioner dinyatakan valid. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan setelah semua pernyataan dinyatakan valid adalah melakukan uji reliabilitas data.
3.9.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk (Ghozali, 2013:47). Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Uji ini dilakukan setelah uji validitas dan yang diuji merupakan pertanyaan yang sudah valid.
Adapun kriteria dalam pengujian reliabilitas yang dilakukan adalah:
Jika ralfa positif atau > rtabel maka pertanyaan reliable Jika ralfa negative atau < rtabel maka kuesioner tidak reliable
Tabel 3.4 Hasil Uji Reliabilitas
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.897 14
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah)
Pada tabel 3.4 dapat dilihat bahwa koefisien alpha (Cronbach’s Alpha) sebesar r = 0,897. Suatu instrument dapat dikatakan reliabel jika koefisien Cronbach’s Alpha diatas 0,6. Sehingga bisa dikatakan kuesioner dapat disebarkan kepada responden penelitian.
4.10 Teknik Analisis Data
5. Metode analisis data memuat prosedur yang sangat dibutuhkan dalam upaya memperoleh informasi serta mengolahnya untuk memecahkan masalah. Teknik analisis data meliputi: mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, serta melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis (Sugiyono 2005:142). Teknik analisis dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut:
3.10.1 Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.
3.10.2 Uji Asumsi Klasik
Menurut Situmorang (2014:114) uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi berganda agar diperoleh nilai estimasi yang bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimator). Sebelum melakukan analisis regresi, maka dilakukan pengujian asumsi klasik yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Uji Normalitas
Tujuan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal, yakni distribusi data dengan bentuk lonceng. Data yang baik adalah data yang mempunyai pola seperti distribusi normal, yakni distribusi data tersebut tidak menceng ke kanan ataupun ke kiri. Dengan adanya tes normalitas, maka penelitian kita bisa digeneralisasikan pada populasi. Dalam pandangan statistik itu sifat dan karakteristik populasi adalah terdistribusi secara normal. (Situmorang, 2014:114)
2. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas pada prinsipnya ingin menguji apakah sebuah grup mempunyai varians yang sama diantara anggota group tersebut. Jika varians sama, dan ini yang seharusnya terjadi maka dikatakan ada homoskedastisitas.
Sedangkan jika varians tidak sama, dikatakan terjadi heteroskedastisitas. Alat untuk menguji heteroskedastisitas bisa dibagi dua, yakni dengan alat analisis grafik atau dengan analisis residual yang berupa statistik.
3. Uji Multikolinieritas
Istilah kolinearitas (colinearity) berarti hubungan linear tunggal (single linear relationship), sedangkan kolinearitas ganda (multicolinearity) menunjukkan adanya lebih dari satu hubungan linear yang sempurna.
Interpensi dari persamaan regresi ganda secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Koefisien-koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel bebas lainnya dianggap tetap. Namun interpretasi ini menjadi tidak benar apabila terdapat hubungan linear antara variabel bebas.
3.10.3 Analisis Regresi Berganda
Analsis regresi berganda digunakan untuk mengetahui besarnya hubungan dan pengaruh variabel bebas (X1,X2) terhadap variabel terikat (Y). Untuk memperoleh hasil yang lebih terarah, maka peneliti menggunakan bantuan perangkat lunak software SPSS (Statistical Package fi the Social Sciens) dengan rumus:
Keterangan:
Y : Switching Barrier a : Konstanta
b : Koefisien Regresi Berganda X1 : Brand Image
X2 : Customer Satisfaction e : Standar error
Y = a + b1X1 + b2X2 + e