• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PELAKSANAAN BANGUN GUNA SERAH DI KOTA MAKASSAR OLEH IRWANA JUFRI B121 14 019 PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVESITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PELAKSANAAN BANGUN GUNA SERAH DI KOTA MAKASSAR OLEH IRWANA JUFRI B121 14 019 PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVESITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PELAKSANAAN BANGUN GUNA SERAH DI KOTA

MAKASSAR

OLEH IRWANA JUFRI

B121 14 019

PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM

UNIVESITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

ii HALAMAN JUDUL

ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PELAKSANAAN BANGUN GUNA SERAH DI KOTA MAKASSAR

OLEH IRWANA JUFRI

B121 14 019

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Program Studi Hukum Administrasi Negara

PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

(6)

vi

(7)

vii ABSTRAK

Irwana Jufri (B12114019), dengan judul “Aspek Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar Makassar”. Di bawah bimbingan Djafar Saidi selaku Pembimbing I dan Zulkifli Aspan selaku pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaa Bangun Guna Serah antara pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan Permai Lestari atas Perjanjian Pengelolaan Lapangan Karebosi dan untuk mengetahui bagaimana kontribusi pelaksaan Bangun Guna Serah terhadap pendapatan Kota Makassar.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris, yang menggunakan adalah data primer dan data sekunder dalam penelitian ini data primer yaitu merupakan data hasil wawancara yang terkait dengan penulisan ini dan data sekunder yang merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung yang berasal dari perundang-undangan, literatur, laporan-laporan, buku dan tulisan ilmiah yang terkait dengan pembahasan penulis.

Dari penelitian yang dilakukan, Penulis mendapatkan hasil penelitian sebagai berikut; (1) Pelaksanaan Bangun Guna Serah pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan Permai Lestari dalam rangka pengelolaan Lapangan Karebosi sebagai barang milik daerah belum sesuai dengan aturan hukum yang ada dimana tidak terlaksananya Pasal 41 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah yang mengharuskan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat tender. (2) Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar benar-benar memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, Adapun jumlah yang disetor PT. Tosan Permai Lestari selaku pengelola Bangun Guna Serah ke pemerintah Kota Makassar kurang lebih sekitar Rp. 1.400.000.000,00 setiap tahunnya.

(8)

viii KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,

Assalamu’Alaikum wr.wb. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji dan syukur Penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya karena berkat izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Aspek Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Bangun Guna Serah Di Kota Makassar”. Skripsi merupakan tugas akhir dan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang selalu ingin Penulis banggakan dan bahagiakan yaitu, Ayahanda H. Muh. Jufri Jalil dan Ibunda Hj. Nadira karena telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mencintai serta senantiasa mendoakan untuk keberhasilan Penulis sebagai anak mereka. Dan tak lupa pula kepada saudara yang Penulis sayangi dan banggakan Irwan Efendi Jufri dan Muh. Irsan Ramadani Jufri, yang telah banyak memberi bantuan moriil dan materil, dorongan, doa dan semangat kepada Penulis selama ini.

(9)

ix Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, kendala dan hambatan. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya;

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya;

3. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H.,M.H selaku Ketua Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

4. Bapak Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H.,M.H selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, bantuan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;

5. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, Bapak Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H dan Ibu Eka Merdekawati Djafar, S.H., M.H, selaku tim penguji yang memberikan kritik dan saran untuk menjadikan skripsi penulis ini lebih baik;

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dengan ikhlas membagikan ilmunya kepada Penulis selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

(10)

x 7. Seluruh staf pegawai akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu melayani urusan administrasi dan bantuan lainnya selama kuliah hingga penyelesaian skripsi ini;

8. Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, DIPLOMASI 2014, Keluarga Besar FORMAHAN, dan Keluarga Besar ALSA;

9. Teman-teman HAN 2014 yang tidak sempat Penulis sebutkan namanya, terima kasih karena sudah merangkai berbagai macam kisah dan cerita selama berkuliah di FH-UH;

10. Kepada sahabat kecil Penulis yang tidak henti-hentinya saling mendoakan dan memberi dukungan moriil, Irmawati dan Tiyastuti Syamsuddin, serta sahabat-sahabat Penulis diluar sana yang tidak sempat Penulis sebutkan namanya satu persatu;

11. Kepada Sunarti Sudirman, Yusmaeni Yunus, Malahayati Muis, Riska Dachir, Nursuci Febriani, Ahmad Yani, sahabat seperjuangan Penulis, yang sejak semester awal hingga akhir selalu bersama-sama berbagi cerita, suka duka, serta saling membantu di bangku perkuliahan, yang sudah seperti saudara bagi Penulis dan membuat masa perkuliahan terasa sempurna;

12. Teman-teman KKN REGULER Gel. 96 Desa Uludaya, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, terima kasih telah menjadi teman hidup kurang lebih lebih 40 hari dan merangkai cerita baru;

(11)

xi 13. Teman-Teman magang Biro Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi

Selatan, Riska Dachir dan A.Muh. Irhas Reza. S;

14. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih pada Bagian Hukum dan HAM Pemerintah Kota Makassar dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Pemerintah Kota Makassar yang telah memberi informasi seputar penulisan skripsi ini.

15. Dan semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak sempat Penulis sebutkan satu persatu.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, April 2018

Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrak Publik ... 9

B. Bangun Guna Serah ... 14

C. Pengelolahan Barang Milik Daerah ... 20

D. Tinjauan Umum Pendapatan Daerah ... 26

1. Pengertian Pendapatan Daerah ... 26

2. Klasifikasi Pendapatan Daerah ... 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 43

B. Pendekatan Penelitian ... 45

C. Jenis dan Sumber Data ... 45

D. Teknik Pengumpulan Data... 47

E. Analisis Data ... 47

(13)

xiii BAB IV PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar ...49 B. Pengaruh Pelaksanaan Bangun Guna Serah pada Pendapatan Daerah Kota Makassar ...58 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

xiv DAFTAR TABEL

halaman Tabel 1.1 ... 63 Tabel 1.2 ... 64

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian disebut UUD NRI 1945, “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik” yang menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945.

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang- undang”.

Sebagai negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan pemerintahan itu terdiri atas urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat pemerintah daerah yang diberi otonomi yakni kebebasan dan

(16)

2 kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah1.

Salah satu kewenangan pemerintah daerah khususnya dalam bidang keuangan daerah meliputi: pemungutan sumber-sumber daerah, penyelenggaraan pengurusan, pertanggung jawaban serta pengawasan keuangan daerah, mengadakan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta perhitungannya. Adanya otonomi daerah ini kemudian pemerintah daerah diberi pula kewenangan sendiri untuk mengurus dan mengelola aset-aset yang dimilikinya demi terwujudnya fungsi otonomi daerah. Dalam Pasal 91 ayat (1) sampai ayat (4) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa2: (1) Semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi menjadi barang milik negara;. (2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihibahkan kepada daerah; (3) Barang milik negara yang dihibahkan kepada daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh daerah; (4) Barang milik negara yang tidak dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh

1 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 17.

2 Lihat Pada Pasal 91 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.

(17)

3 kementrian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang.

Pasal 91 ayat (1) sampai ayat (4) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di atas memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurusi barang-barang yang menjadi kepemilikannya. Barang-barang tersebut dikelola dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat serta pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka pemerintah (daerah) sebagai perpanjangan tangan dari negara memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya, namun di sisi lain tidak semua urusan penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dapat dilaksanakan oleh pemerintah (daerah), dan terkadang membutuhkan pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 363 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah3, diantaranya:

(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efesiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan; (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat

3 Lihat pada Pasal 363 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(18)

4 (1) dapat dilakukan oleh Daerah dengan: a. Daerah lain; b. pihak ketiga; dan/atau c. lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Salah satu kerja sama yang dimaksud dalam ayat (2) adalah kerja sama pihak ketiga.

Oleh karena itu dalam konteks ini guna mewujudkan fungsi otonomi daerah khusunya pengelolaan aset-aset milik daerah dan keuangan daerah, pemerintah dapat mewujudkan kerja sama pihak ketiga dengan cara melibatkan pihak swasta dalam percepatan menuju kesejahteraan rakyat. Tindakan pemerintah dalam melaksanakan kerja sama dengan pihak swasta merupakan tindakan hukum bersegi dua, perjanjian kerja sama antara pemerintah dengan pihak swasta atau yang lebih sering disebut dengan kontrak publik. Kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian karena merupakan perjanjian tertulis4.

Menurut Ansori Ilyas5, kontrak publik memiliki ciri sebagai berikut: (1) Pemerintah sebagai salah satu pihak, (2) Pelaksanaan fungsi jabatan (3) Pengelolaan barang milik Negara atau daerah dan (4) Mewujudkan fungsi dan tujuan Negara. Salah satu jenis kontrak

4 Ahmadi Miru, 2014, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, , hlm. 1.

5 Ansori Ilyas, 2017, Materi Kuliah Pada Mata Kuliah Kontrak Publik, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

(19)

5 publik yang mulai marak saat ini yaitu Bangun Guna Serah atau Build, operate and transfer (BOT).

Dalam ketentuan hukum yang berlaku saat ini yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, menentukan bahwa Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu6.

Sistem kontrak publik dengan bentuk Bangun Guna Serah juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007, yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, dimana pada Pasal 219 ayat (1) menjelaslkan bahwa7: Bangun Guna Serah /Bangun Serah Guna barang milik daerah dilaksanakan dengan pertimbangan: a) Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam

6Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

7 Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

(20)

6 rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan b) tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut.

Salah satu contoh kontrak publik yang telah diterapkan di Kota Makassar yaitu kerja sama pemerintah Kota Makassar dengan PT.

Tosan Permai Lestari menggunakan sistem Bangun Guna Serah, kerja sama ini dilakukan dalam rangka pengelolaan lapangan karebosi di Kota Makassar. Kerja sama yang sudah berjalan kurang lebih sepuluh tahun ini memang masih menarik perhatian sebagian pihak, terkait dengan kontrak antara pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan Permai Lestari itu sendiri serta bagaimana kontribusi dari pemanfaat barang milik daerah yang dilakukan dengan bentuk Bangun Guna Serah.

Terkait dengan hal itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai kontrak publik yang dilakukan dengan sistem Bangun Guna Serah, dalam hal ini apakah kontrak publik yang dilakukan dengan sistem Bangun Guna Serah sudah sesuai dengan aturan hukum yang ada atau tidak serta apakah kerja sama dengan bentuk Bangun Guna Serah memberi pengaruh terhadap penambahan pendapatan daerah secara maksimal atau tidak.

Kontrak publik pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan Permai Lestari dalam rangka pengelolaan Lapangan Karebosi

(21)

7 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah serta Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, walaupun telah ada aturan yang terbaru hal ini dikarenakan hukum tidak berlaku surut.

Berdasarkan uraian dan ilustrasi di atas, maka Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, yang penulis tuangkan dalam bentuk penelitian dengan judul: Aspek Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Bangun Guna Serah Di Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar?

2. Bagaimana pengaruh pelaksanaan Bangun Guna Serah pada pendapatan daerah Kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian secara umum bertujuan untuk mengkaji secara mendalam mengenai penerapan Bangun Guna Serah di Kota Makassar

(22)

8 Selain tujuan umum tersebut, tujuan penelitian ini dikhususkan untuk :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar.

2. Untuk mengetahui pengaruh Pelaksanaan Bangun Guna Serah Pada pendapatan daerah Kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan keilmuan mengenai hukum. Serta memperkaya pengetahuan penulis dan pembaca di bidang hukum khususnya di bidang hukum administrasi negara. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, pemerintah, serta masyarakat umum untuk dapat mengetahui pelaksanaan dari peraturan yang ada khusunya yang berkaitan dengan Bangun Guna Serah, serta bagaimana pengaruhnya terhadap pendapatan daerah Kota Makassar.

(23)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kontrak Publik

Hukum pada hakikatnya sesuatu yang abstark, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret, karena sifatnya yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam mendefinisikan hukum ialah karena cakupan yang diatur oleh hukum luas sekali. Secara normatif dan dogmatik dapat dikatakan bahwa hukum mengatur hampir seluruh segi kehidupan manusia, mulai dari sebelum manusia dilahirkan sampai sesudah manusia meninggal, namun di dalam kenyataannya tidak semua segi kehidupan diatur dan harus diselesaikan oleh hukum. Menurut Achmad Ali, hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga dalam kehidupan bermasyarakat.

Hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan juga mengatur mengenai perjanjian atau kontrak, pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak, perumusan hubungan kontrak tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses tawar-menawar di antara para

(24)

10 pihak. Melalui tawar-menawar para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan). Keberadaan kontrak saat ini memang merupakan bagian yang sangat penting dalam aktivitas bisnis, dimana perkembangannya yang cukup pesat melahirkan beragam jenis-jenis kontrak. Sehubungan dengan kontrak, juga dikenal istilah hukum kontrak, hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.8

Ketentuan lain juga menjelaskan bahwa perjanjian atau yang disebut persetujuan dalam KUHPerdata adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih menginkatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.9 Pada dasarnya ada 4 (empat) kelemahan dari definisi Pasal 1313 tersebut yaitu:10

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak.

8 Ahmadi Miru, Op.cit., hlm 1-2

9 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313.

10 Muh. Ilham Arisaputra, 2017, Materi Kuliah Pada Mata Kuliah Kontrak Publik, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

(25)

11 2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk pengurusan kepentingan orang lain tanpa perintah dan perbuatan melawan hukum.

3. Pengertian luas termasuk perjanjia kawin.

4. Tanpa meyebut tujuan.

Dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling

“berlawanan” misalnya dalam perjanjian jula beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang kerena tidak mungkin terjadi jual beli jika kedua belah pihak menginginkan hal yang sama. Walaupun dikatakan pada umumnya perjanjian merupakan janji-janji para pihak yang saling “berlawanan”

dalam perjanjian-perjanian tertentu para pihak melakukan janji-janji yang tidak saling berlawanan, misalnya dalam perjanjian pendirian Perseroan Terbatas (PT) dimana para pihak mempunyai kehendak yang sama, yaitu penyetoran uang sebagai modal (saham) perseroan, dan masing-masing pihak mengharapkan keuntungan dari PT tersebut.

Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis.11 Hukum kontrak merupakan salah satu bidang kajian hukum yang selalu berkembang, seirama dengan perkembangan masyarakat.

11 Ibid., hlm 2-3

(26)

12 Faktor penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum kontrak dikarenakan pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam masyarakat modern dan pesatnya transaksi yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak lain. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai badan hukum publik, tidak hanya dapat melakukan perbuatan hukum yang bersifat publik namun dapat juga melakukan suatu perbuatan hukum di bidang keperdataan.12

Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan kontrak.13 Seiring dengan menigkatnya kebutuhan akan hal berkontrak maka saat ini pemerintah juga dapat melakukan kontrak dengan pihak swasta atau lebih dikenal dengan istilah kontrak publik. Hal ini juga disebabkan karena adanya asas kebebasan berkontrak, Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW, kemudian dikembangkan dalam Pasal 1338 BW, dikenal dengan sebutan freedom of making contract. Azas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) tersebut menyimpulkan pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang

12 Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.

13 Ibid., hlm 7

(27)

13 ada di depan kata “perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang- undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan ketertiban dan kesusilaan umum.14

Menurut Ansori Ilyas15, kontrak publik memiliki ciri sebagai berikut: (1) Pemerintah sebagai salah satu pihak, (2) Pelaksanaan fungsi jabatan (3) Pengelolaan barang milik Negara atau daerah dan (4) Mewujudkan fungsi dan tujuan Negara. Pemerintah dalam pelaksanan fungsi jabatannya diperbolehkan melakukan suatu kontrak. Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta (kontrak publik) dapat terjadi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efesiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Kontrak kerjasama (kontrak publik) antara pemerintah dengan pihak swasta merupakan sebuah hubungan hukum yang terjadi antara dua pihak, hal yang diperjanjikan dalam kontrak bersifat privat mengikat keduanya secara khusus sesuai hal yang diperjanjikan.

14 Akh Munif, “Kontrak Standard Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah dan Akibat Hukumnya”, Yustitia, Vol. 8 Nomor 1 November, 2008, hlm. 5

15 Ansori Ilyas, Op.cit.

(28)

14 Sepanjang kontrak tersebut tidak bertentangan dengan syarat sahnya perjanjain maka kontrak itu sah menurut hukum, dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) disebutkan bahwa “suatu perjanjian dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Ketentuan ini menggaris bawahi bahwa perjanjain antara dua pihak bersifat privat, untuk itu jika pemerintah melakukan hubungan kontrak didalamnya selalu membawa nuansa hukum privat dan hukum publik, namun perjanjian yang dibuat termasuk dalam ranah privat.16

B. Bangun Guna Serah

Konsep Bangun Guna Serah atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan istilah Build, Operate and Transfer (BOT) mulai dikenal luas sekitar tahun 1985 di Turki, sebagai konsep swastanisasi Perdana Menteri Turgut Ozal. Konsep ini dikenal pula dengan “Turgut’s Formula”, pada tanggal 11 Mei 1987 ditandatangani kerja sama Kumagai Kigumidari Jepang dengan Yuksel Insaat dari Turki untuk pembangunan dan pengelolaan bendungan sungai Syehan. Proyek ini senilai 231,5 juta dollar AS, jangka waktu pengelolaan 26 tahun untuk kemudian diserahkan

16 Lalu Hadi Adha, “Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan Pemerintah Dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 Nomor 3 September, 2011, hlm. 549

(29)

15 pada pemerintahan Turki (Turkish Electronical Authority). Perjanjian kerja sama ini merupakan awal mula konsep Bangun Guna Serah dalam proyek infrastruktur di Turki yang kemudian banyak ditiru oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia.17

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.18 Sesungguhnya konsep Bangun Guna Serah ini merupakan pola kerja sama pemilik tanah atau lahan dalam hal ini pemerintah, dengan mitra kerja sama selaku investor yang akan mendirikan sebuah bangunan atau bentuk lainnya sesuai yang diperjanjikan diatas tanah atau lahan tersebut. Terlihat bahwa kegiatan yang dilakukan oleh investor dimulai dari membangun fasilitas sebagaimana dikehendaki oleh pemilik tanah, inilah yang diartikan dengan B (build). Setelah pembangunan fasilitas selesai

17 Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model BOT (Build operate and, transfer), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.

18 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Op.cit.,Pasal 1

(30)

16 investor diberi hak untuk mengelola dan memungut hasil dari fasilitas tersebut selama kurun waktu tertentu, inilah yang diartikan dengan O (operate). Setelah masa pengoprasian atau konsensi selesai, fasilitas tersebut dikembalikan kepada pengguna jasa kontruksi atau pemilik tanah, inilah yang diartikan dengan T (transfer), sehingga disebut kontrak Build, Operate and Transfer.19

Paling tidak terdapat 3 (tiga) ciri proyek Bangun Guna Serah yaitu:20

1. Pembangunan (Build)

Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasa pada pemegang hak (kontaktor) untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama/ patticipating interesf). Desain dan spesifikasi bangunan umumnya merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapatkan persetujuan dari pemilik proyek.

2. Pengoprasian (Operate)

Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek pada pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek

19 Nazarkhan Yasin, 2006, Mengenai Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 76.

20 Budi Santoso, Op.cit., hlm 16

(31)

17 tersebut untuk diambil manfaat ekonominya, bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadapa proyek tersebut. Pada masa ini pemilik proyek juga dapat menikmati sebagai hasil sesuai dengan perjanjian jika ada.

3. Penyerahan kembali (Transfer)

Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek pada pemilik proyek setelah masa konsensi selesai tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menanggungnya.

Bangun Guna Serah adalah sistem pembiayaan (biasanya diterapkan proyek pemerintah) berskala besar yang dalam studi kelayakan pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan atau pendapatan yang timbul darinya diserahkan kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu diberi hak untuk mengoperasikan, memeliharanya serta untuk mengambil manfaat ekonominya guna menutup sebagai ganti biaya pembangunan proyek yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan.21

21 Ima Oktorina, Kajian Tentang Kerjasama Pembiayaan dengan Sistem BOT dalam Revitalisasi Pasar Tradisional, Tesis, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 60- 61

(32)

18 Perjanjian Bangun Guna Serah melalui beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelumnya, antara lain22;

1. Kontrak Konsesi sebagai dasar;

2. Kontrak Kontraktor;

3. Share Holder Agreement ; 4. Supply agreement ;

5. Operational agreement ;

6. Offtake Agreement yaitu kontrak antara user dan promotor.

Kerja sama Bangun Guna Serah merupakan kerja sama yang dilakukan dengan menuangkannya ke dalam perjanjian sehingga secara otomatis asas yang dianut mengacu pada asas-asas hukum perjanjian, perjanjian sebagaimana dimaksud ditunagkan dalam bentuk Akta Notaris. Namun di dalam sebuah Naskah Akademis dinyatakan bahwa asas terpenting dalam kerja sama ini adalah “asas kerja sama saling menguntungkan”, dijelaskan bahwa semula pemilik lahan hanya memiliki lahan saja, setelah kerja sama dengan perjanjian Bangun Guna Serah pada suatu saat dia juga bisa memilki bangunan.

Begitu juga bagi investor yang tidak memiliki lahan, dia bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaannya.23 Di samping itu

22 Vita Justisia, “Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer) Antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Dengan Pihak Swasta”, Nurani, Vol. 15 Nomor 1 Juni, 2015, hlm. 77

23 Ima Oktorina, Op.cit., hlm. 64-64.

(33)

19 kerja sama ini menganut asas kepastian hukum, hal ini dapat dilihat pada saat berakhirnya perjanjian dan pihak swasta (investor) berkewajiban untuk mengembalikan lahan kepada pemilik semula beserta fasilitas yang telah diperjanjikan dengan kepastian. Kerja sama ini juga menganut “asas musyawarah” dalam menyelesaikan permasalahan antara para pihak yang melakukan perjanjian.24

Ketentuan lain menyebutkan, Bangun Guna Serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang- kurangnya memuat.25

1. Dasar perjanjian;

2. Identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;

3. Objek BGS/BSG;

4. Hasil BGS/BSG;

5. Peruntukan BGS/BSG;

6. Jangka waktu BGS/BSG;

7. Besaran kontribusi tahunan serta mekanisme pembayarannya;

8. Besaran hasil BGS/BSG yang digunakan langsung untuk tugas dan fungsi Pengelola Barang/Pengguna Barang;

9. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;

24 Ibid., hlm. 65.

25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, Op.cit., Pasal 230 ayat (3)

(34)

20 10. Ketentuan mengenai berakhirnya BGS/BSG;

11. Sanksi;

12. Penyelesaian perselisihan; dan 13. Persyaratan lain yang dianggap perlu.

Bagi pemerintah daerah, kerja sama Bangun Guna Serah memberikan keuntangan, karena dapat membangun infrasturktur dengan biaya perolehan (dana dari pihak kedua atau investor). Bagi pihak kedua (investor), dengan pola kerja sama Bangun Guna Serah merupakan pola yang menarik, karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Namun dengan kerja sama ini dapat menguntungkan para pihak yang berjanji.

C. Pengelolaan Barang Milik Daerah

Barang milik negara merupakan juga bagian yang tak terpisahkan dengan keuangan negara sehingga memerlukan pengelolaan agar dapat digunakan maksimal untuk kepentingan negara dalam menjapai tujuan.26 Begitu pula halnya dengan barang milik daerah yang memerlukan pengelolaan, adanya otonomi daerah memberi ruang pemerintah untuk mengurus dan mengelola aset- aset daerahnya sendiri. Pengelolaan barang milik daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang kemudian

26 Muhammad Djafar Saidi, 2014, Hukum Keuangan Negara, Rajawali, Jakarta, hlm.40

(35)

21 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.27

Dalam ketentuan lain juga menjelaskan pengelolaan barang milik daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.28 Pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah ditentukan bahwa barang milik negara/daerah meliputi: barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah; dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Bentuk-bentuk pemanfaatan dari pengelolaan barang milik daerah antara lain29:

1. Sewa

2. Pinjam pakai

27 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Op.cit., Pasal 1 ayat (2)

28 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, Op.cit., Pasal 1 ayat (28)

29 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

(36)

22 3. Kerja sama pemanfaatan

4. Bangun guna serah 5. Bangun serah guna.

Bangun Guna Serah sebagai salah satu bentuk pemanfaatan barang milik daerah juga merupakan sumber dari pendapatan daerah, dimana dalam aturan yang berlaku dijelaskan bahwa mitra dari bangun guna serah wajib membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/daerah30. Pembangunan infrastruktur pemanfaatan barang milik daerah dengan pola Bangun Guna Serah antara pemerintah sebagai pemilik tanah/lahan dengan pihak swasta sebagai mitra kerjasama tentunya memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dalam pelasanaannya.

1. Kelebihan dan kekurangan bagi pihak pemerintah31 Kelebihan bagi pemerintah:

a. Pemerintah dapat mengurangi penggunaan dana APBN/APBD;

b. Pemerintah tetap dapat melaksanakan pembangunan tanpa menimbulkan utang bagi pemerintah;

c. Pemerintah dapat merealisasikan pengadaan infrastruktur yang bermanfaat bagi pelayanan kepada masyarakat;

30Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Op.cit., Pasal 36 ayat (2) huruf a

31Budi Santosi, Op.cit., hlm. 17-20

(37)

23 d. Secara finansial juga secara administratif pemerintah tidak

harus mengadakan studi kelayakan;

e. Dari segi harta kekayaan setelah berakhir masa konsensinya, maka barang milik negara/daerah bertambah;

f. Peningkatan penerimaan keuangan dari royalti sebagaimana telah diperjanjikan dalam kontrak Bangun Guna Serah, dan juga dari sektor pajak/retribusi;

g. Infrastruktur yang dibangun, dan pada saat pengoperasian membutuhkan tenaga kerja, maka secara tidak langsung pemerintah telah menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, dan mengurangi angka pengangguran.

Kekurangan bagi pemerintah adalah:

a. Dengan adanya proyek Bangun Guna Serah, maka hal ini berarti pemerintah melepaskan hak ekslusif di bidang tertentu dan menyerahkan kepada swasta;

b. Melepaskan salah satu sumber pendapatan potensial yang mendatangkan keuntungan;

c. Melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya kepada swasta untuk jangka waktu tertentu;

(38)

24 d. Dalam beberapa hal pemeritah diminta untuk menyelesaikan masalah yang rumit dan rawan, misalnya masalah terkait pembebasan tanah atau lahan.

2. Kelebihan dan kekurangan bagi pihak mitra kerjasama penyedia infrastruktur dalam pelaksanaan perjanjian dengan bentuk Bangun Guna Serah32

Kelebihan bagi pihak swasta

a. Dengan adanya proyek Bangun Guna Serah umunya investor mendapat kesempatan untuk mengambil bagian dalam penanganan dan pengoperasian proyek yang potensial mendatangkan keuntungan yang biasanya selama ini dimonopoli oleh pemerintah sendiri;

b. Mitra kerjasama dapat memperluas usaha dibidang lain yang mempunyai prospek bagus dan menguntungkan;

c. Menciptakan bidang dan iklim usaha baru;

d. Itra dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki pemerintah.

Kekurangan bagi mitra kerjasama:

32 Budi Santoso. Ibid., hlm. 20

(39)

25 a. Proyek ini banyak mengandung resiko, baik resiko politik, resiko hukum, maupun resiko ekomini termasuk resiko pasar, dan resiko keadaan memaksa (overmacht);

b. Diperlukan perhitungan dan pertimbangan dan persiapa khusus untuk menerapkan pembiayaan;

c. Kemungkinan akan mengahadapi kendala yang secara konvensional (jaminan berupa tanah) yang diisyaratkan oleh perbankan sehingga dana yang akan diberikan oleh bank tidak akan diberikan jika tanpa jaminan yang cukup memadai;

d. Sebagai akibat lebih lanjut mitra akan mengahadapi kesulitan dalam mendapatkan jaminan perbankan karena menurut penilaian perbankan proyek tersebut kurang “bankabel” untuk dibiayai;

e. Kemungkinan pemerintah juga tidak maun menanggung resiko selama pelaksanaan proyek dan selama masa konsensi.

D. Tinjauan Umum Pendapatan Daerah 1. Pengertian Pendapatan Daerah

(40)

26 Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daearah maka pemerintah dearah mempunyai kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah, salah satunya menganai keuangan daerah, yang mempunyai peran penting dalam pembiayaan penyelenggaraan fungsi otonomi daerah.

Dalm ketentuan lain juga dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagai akibat dari penyerahan urusan pemerintahan.33

Menurut Yani keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.34 Adapun keuangan daerah menurut Mamesah, semua hak dan kewajibanyang dapat dinilai dengan uang demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dimiliki/kuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan atau peraturan.35

33 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014, op. cit., Pasal 283

34 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2009) hlm. 347

35 www.definisi-pengertian.com/2015/07/pengertian-keuangan-daerah.html?m=1 (Diakses 18 November 2017, 11:57 wita)

(41)

27 Drs. Tjahja Supriatna berpendapat bahwa keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah untuk mengawasi daerah untuk mengelola mulai dari merencanakan, melaaksanakan, mengawasi mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai sumber keuangan sesuai dengan kewenanganya dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantu di daerah yang diwujudkan dalam bentuk anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).36 Disebutkan juga bahwa keuangan daerah mempunyai dua sumber utama, yaitu pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah pusat atau pemerintah daerah yag lebih atas tingkatannya.37 Ruang lingkup dari keuangan daerah itu sendiri diantaranya:38

1. Hak daerah unutk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;

2. Kewajiban daerah dalam menyelenggarakan urusan penyelenggaraan daerah dan untuk membayar tagihan pajak pihak ketiga;

3. Penerimaan daerah;

4. Pengeluaran daerah;

36 https://Pengertianmenurutahli.blogspot.co.id/2013/03/definisi-keuangan-daerah.html?m=1#

(Diakses 18 November 2017, 12:01 wita)

37 Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ( Yogyajarta : Gadja Mada University Press, 2005) hlm. 117

38 Lihat Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah.

(42)

28 5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uan, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;

6. Kekayaan pihak lain yang dikuasi oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.

Pengelolan keuangan daerah merupakan bagian integral dari manajemen anggaran publik yang mencerminkan rangkaian perhitungan anggaran dan pendapatan (belanja) pemerintahan negara yang meliputi proses: penyusunan, pengesahan, pelaksanaan, dan pengawasan (evaluasi) pendayagunaan keuangan.39 Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah terlihat bahwa pengelolaan keuangan pada dasarnya merupakan subsistem dari pemerintahan itu sendiri, sebagaimana diamatkan dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.40 Berbicara mengenai keuangan daerah maka tidak terlepas dari penerimaan serta pengeluaran daerah, dimana penerimaan daerah sangat berperan dalam meningkatkan

39 Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005) hlm. 111

40 Ibid., hlm. 113

(43)

29 keuangan suatu daerah. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan Rekening Kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.41 Pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.42

Kompenen penerimaan pendapatan daerah merupakan penerimaan yang menjadi hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih. Pendapatan asli daerah (PAD) sendiri merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang mendukung kemampuan keuangan daerah.

2. Klasifikasi Pendapatan Daerah

Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah, disebutkan bahwa sumber- sumber pendapatan daerah terdiri atas: Pendapatan asli daerah (PAD); Dana perimbangan; Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pendapatan aslli daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 21, terdiri atas: pajak daerah; retribusi daerah;

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.

41 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, op.cit.,Pasal 20 ayat (2)

42 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 1

(44)

30 a. Pendapatan Asli Daerah

Menurut Nurcholis, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah dan lain-lain yang sah.

Sejalan dengan pemikiran Nurcholis, Mardiasmo juga berpendapat bahwa pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) yang sah.43

Bedasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.44 Selain itu dijelaskan juga bahwa pengertian pendapatan daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

43 Abid Muhtarom, Analisis PAD (Pendapatan Asli Daerah) Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Lamongan Periode Tahun 2010-2015, Jurnal Ekbis, Volume. XII Nomor 1 Maret, 2015, hlm. 660

44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, op.cit., Pasal 3 ayat (1)

(45)

31 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.45

Penerimaan pendapatan asli daerah merupakan akumulasi dari pos penerimaan pajak yang berisi pajak daerah dan pos retribusi daerah, pos penerimaan non pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, pos penerimaan investasi serta pengelolaan sumber daya alam.46 Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai pewujudan asas desentralisasi, peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola pendapatan asli daerah (PAD).47 Menurut Mahmudi, semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD), maka semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan pendapatan asli daerah (PAD) tersebut

45 Lihat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

46 Nur Indah Rahmawati, Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Alokasi Belanja Daerah (Studi Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah), Skripsi, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010.

47 K. Debby Debora, Analisis Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Memenuhi APBD Pada Pemerintahan Kota Medan, Skripsi, Medan, Universitas HKPB Nommensen, 2014, hlm. 8

(46)

32 sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah”.48 Sebagai mana jeleskan diatas bahwa sumber dari pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

(1) Pajak Daerah

Berkaitan dengan definisi pajak Feldmann mengatakan bahwa belasting zijn aan de overhaed, vorgen algemene door haar vasgestelde normen, verschuldigde afdwingbare praestaties waar geen tegen-prestatie tegenstaat, en ultsluitend dienende totdekking van publieke ultgaven (Pajak adalah prestasi yang terutang pada penguasa dan dipaksakan secara sepihak menurut norma-norma yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri, tanpa ada jasa balik dan semata-mata guna menutup pengeluaran-pengeluaran umum).

Kemudian menurut Adriani belassting, de beffing, wear door de overheld zich door middle van juridische dwangmiddelen verchaft, om de publieke butgaven to bestriden, zulke zonde enige prastatie daartegenover te stellen (pajak ialah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis, untuk mendapatkan alat-alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum (belanja negara) tanpa adanya

48 Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah: Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik, (Jakarta: Erlangga, 2010) hlm. 18

(47)

33 jasa timbal khusus terhadapnya). Anderson juga mengemukakan bahwa Tax is a compulsory contribution, levied by the state (in the broad sense) upon persons property income and privileges for purposes of defraying the expences of goverment (pajak adalah pembayaran yang bersifat memaksa kepada negara yang dibebankan kepada kekayaan seseorang yang diutamakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.49

Sementara Soeparman Soemahamidjaja mengemukankan bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi biaya umum. Demikian pula oleh Soemitro yang menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai penggunaan umum.50 Menurut Muhammad Djafar Saidi pajak adalah pelunasan perikatan dari wajib pajak tanpa tegen prestasi secara langsung dan bersifat memaksa sahingga penagihannya dapat dipaksakan oleh pejabat pajak.51 Pajak dibedakan atas pajak pusat dan pajak daerah.

49 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, (Jakarta : Rajawali, 2014) hlm.21-22

50 Ibid., hlm. 22

51 Ibid., hlm. 23

(48)

34 Pajak daerah adalah pajak yang diadakan oleh pemerintah daerah serta penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajak-pajak daerah.52 Sedangkan menurut Marihot, Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.53

Sementara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (10), bahwa Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang besifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.54 Objek pajak daerah terbatas jumlahnya karena objek yang telah menjadi objek pajak pusat tidak dapat digunakan daerahh, lapangan pajak daerah lapangan pajak yang belum digunakan oleh pemerintah pusat agar tidak terjadi pajak ganda nasional yang dapat

52 Ibid., hlm. 25-26

53 Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, (Jakarta : Rajagrafindo Pers, 2008) hlm.10

54 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, op. Cit., Pasal 1 ayat (10)

(49)

35 memberatkan wajib pajak. Dengan demikian, penentuan objek pajak daerah harus diperhatikan terebih dahulu objek pajak pusat sehingga dapat berjalan seiringan dengan pajak pusat. Sementara itu, pajak daerah tidak hanya inisiatif daerah untuk diadakannya, bahkan pajak pusat diserahkan kepada daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan otonomi. Pajak pusat yang diserahkan kepada daerah adalah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea pengelolahan hak atas tanah dan bangunan.

Penyerahan kedua jenis pajak tersebut didasarkan pada Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.55

Selanjutnya pajak daerah terbagi atas pajak daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota. Pajak daerah provinsi sebagai kewenangan provinsi untuk ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah adalah sebagai berikut: pajak kendaraan bermotor; bea balik nama kendaraan bermotor; pajak bahan bakar kendaraan bermotor;

pajak air permukaan; dan pajak rokok. Kemudian pajak daerah kabupaten/kota sebagai kewenangan kabupaten/kota untuk ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah adalah sebagai berikut:

pajak hotel; pajak restoran; pajak hiburan; pajak reklaame; pajak penerangan jalan; pajak mineral bukan logam dan batuan; pajak

55Muhammad Djafar Saidi, op.cit., hlm. 26

(50)

36 parkir; pajak air tanah; pajak sarang burung walet; pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan; dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Pengelolaan pajak daerah telah bersifat final, Undang- Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut prinsip tertutup karena daerah dilarag memungut pajak selain jenis pajak daerah tersebut diatas. Dalam arti daerah tidak boleh mengadakan pajak daerah yang tidak sesuai dengan jenis-jenis pajak tersebut.

Ketika daerah mengupayakan pajak daerah yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam bentuk peraturan daerah, berarti suatu perbuatan hukum yang tidak sah. Konsukuensi hukum yang timbul adalah peraturan daerah tentang pajak daerah itu batal demi hukum, berarti dari semula tidak pernah ada.56

Pemerintah daerah diberdayakan untuk kreatif mengembangkan pajak-pajak daerah, dengan kriteria-kriteria perpajakan yang baik (good tax). Kriteria-kriteria ini antara lain:

Objek pajak harus berada di daerah dan kemungkinan kecil bergerak diluar daerah; Pajak tidak kontradiktif dengan kepentingan umum;

Pajak tidak melanggar undang-undang perpajakan nasional maupun provinsi; Pajak harus sesuai dengan potensi pendapatan;

56 Ibid., hlm. 26-27

(51)

37 Penerapan pajak tidak memberi dampak negatif bagi ekonomi lokal;

Pajak dilakukan secara adil kepada penduduk daerah; dan Pajak melindungi pelestarian lingkungan. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur tarif pajak daerah untuk memaksimumkan pendapatan, atau menciptakan daerah yang kompetitif bagi investor potensial.57

(2) Retribusi Daerah

Menurut Rohmat Sumitro dalam Andrian Sutedi, retribusi daerah adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada mereka yang menggunakan jasa-jasa negara, artinya retribusi daerah sebagai pembayaran atas jasa atau karena mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan, atau jasa yang diberikan oleh daerah bagi secara langsung maupun tidak langsung.58 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (64), Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khususnya disediakan dan/ atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Selanjutnya pada

57 K. Debby Debora, op. cit., hlm.10-11

58 Ibid., hlm. 11

(52)

38 Pasal 108 ayat (1) dijelaskan bahwa objek retribusi antara lain: Jasa umum; Jasa usaha; Perizinan tertentu.

Objek Retribusi Jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis retribusi jasa umum pada Pasal 109 antara laian; retribusi pelayanan kesehatan; retribusi pelayanan persampahan/kebersihan; retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil; retribusi pelayanan pemakaman dan penguburan mayat; retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum; retribusi pelayanan pasar; retribusi pengujian kendaraan bermotor; retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran; retribusi penggantian biaya cetak peta; retribusi penyediaan dan/ atau penyedotan kakus; retribusi pengolahan limbah cair; retribusi pelayanan Tera/Tera Ulang; retribusi pelayanan pendidikan; dan retribusi pengendalian menara telekomunikasi.

Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: Pelayanan dengan menggunakan / memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/ atau Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang

(53)

39 belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.59 Yang termasuk jenis- jenis jasa usaha adalah sebagai berikut: retribusi pemakaian kekayaan daerah; retribusi pasar grosir dan/ atau pertokoan; retribusi tempat pelelangan; retribusi terminal; retribusi tempat khusus parkir; retribusi tempat penginapan/ pesanggrahan/

villa; retribusi rumah potong hewan; retribusi pelayanan kepelabuhan; retribusi tempat rekreasi dan olahraga; retribusi penyeberangan di air; dan retribusi penjualan produksi usaha daerah.60

Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada oran pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemenfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas guna meindungi kepentinga umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Adapun jenis-jenis Retribusi Perizinan tertentu adalah: retribusi izin mendirikan bangunan; retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol;

retribusi izin gangguan; retribusi izin trayek; dan retribusi izin usaha perikanan.

59 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 op. cit., Pasal 126

60 Ibid., Pasal 127

(54)

40 (3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan

Menurut Abdul Halim, “Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.61 Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:

Bagian laba atas penyeretan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; Bagian laba atas penyeretan modal pada perusahaan milik Negara/BUMN; Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

(4) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintahan daerah. Menurut Abdul Halim, jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut62: Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan; Jasa giro; Pendapatan bunga;

Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akaibat dari penjualan, pengadaan barang, dan jasa oleh daerah; Penerimaan keuagan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;

Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;

61 Abdul Halim, Akuntansi Keuagan Daerah, (Jakarta : Salemba Empat, 2008) hlm. 98

62 Ibid., 98

(55)

41 Pendapatan denda pajak; Pandapatan denda retribusi; Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; Pendapatan dari pengembalian;

Fasilitas sosial dan umum; Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

b. Dana Perimbangan

Dana perimbangan yaitu dana yang diperoleh melalui bagian pendapatan daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan dari pedesaan, perkotaan, pertambangan sumber daya alam, dan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.63 Menurut Nurlan Darise, Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah.64 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Perimbangan yang terdiri atas 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan pendanaan pelaksanaan Desentralisasi yang

63 Abid Muhtarom, op. Cit., hlm. 662-663

64 K. Debby Debora, op.cit., hlm. 23

(56)

42 alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena masing-masing jenis Dana Perimbangan tersebut saling mengisi dan melengkapi. Selanjutnya disebutkan bahwa dana perimbangan meliputi:65 Dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.

c. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah, pendapatan daerah dari sumber lain misalnya sumbangan pihak ketiga kepada daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.66Lain-lain pendapatan yang sah meliputi67:

1. Hibah/ Bantuan dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat;

2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/ kerusakan akibat bencana alam dan krisis solvalibilitas;

3. Dana bagi hasil pajak dan provinsi kepada kabupaten/ kota;

4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan;

65 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, op. cit., Pasal 23

66 Abid Muhtarom, op. Cit., hlm. 663

67 K. Debby Debora, op.cit., hlm. 24

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas otonomi daerah dalam memaksimalkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menguji bagaimana pengaruh pendapatan asli daerah dan dana bagi

Laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada pengamatan 3 hsi – 7 hsi mengalami kenaikan yang cukup cepat, daun-daun yang di inokulasikan bercaknya cepat menyebar bila telah

c) Bola didorong kembali ketika pantul setelah menganai lantai. Dorongan boleh dilakukan dengan bergantian tangan. Kesalahan terjadi jika mendorong dengan menggunakan kedua

runtuhnya bangunan gedung. 3) Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit. 4) Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai

79 Berdasarkan interpretasi picking horison yang terdiri dari lima horison, serta berdasarkan analisis stratigrafi maupun struktur pada data seismik (Gambar 6.10), dapat

Hasil isolasi bakteri dari 7 sampel ikan asin Talang-Talang berasal dari pedagang di Desa Puloet Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar, menunjukkan bahwa tidak

Lamp  :  3 (tiga) Berkas  Hal  :  Panggilan mengikuti PLPG Gelombang 2     Kepada Yth.