• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR

DAUN Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN

KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DI LABORATORIUM

S K R I P S I

OLEH

ELIANA PERANGIN-ANGIN

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR

DAUN Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN

KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DI LABORATORIUM

S K R I P S I

OLEH :

ELIANA PERANGIN-ANGIN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Menempuh Ujian Sarjana

di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Skripsi : UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP

PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum

gloeoesporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN KARET

(Hevea brasiliensis Muell Arg.) Di LABORATORIUM.

Nama : Eliana Perangin-angin

NIM

: 030302035

Departemen : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disetujui oleh:

Komisi Pembimbing:

(Ir.Lahmuddin Lubis, MP)

Ketua

(Ir.Kasmal Aripin, MSi) (Dra.Sekar Woelan, MP)

Anggota Pembimbing Lapangan

Mengetahui:

(Ir. Marheni, MP)

Ketua Departemen

(4)

ABSTRACT

Eliana Perangin-Angin " Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap

Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada

Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium ". With the

conselling Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as leader, Mr. Ir. Kasmal Aripin, MSi as

couthor and Mrs. Dra. Sekar Woelan, MP as counselling field.

The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungei Putih

Rubber Research Center since August 2007 to October 2007.

The aims of the research was to know level of resitance of rubber IRR

400 clones to fall of leaf C. gloeoesporioides disease.

The research used the desigen Complete Random Device (CRD) non

factorial with 29 treatmens (25 clones treatment of IRR 400 series and 4 control

clone) and 3 mutliplication. The rubber IRR 400 series were used is IRR 400,

IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR

409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR

417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424 and BPM

1, BPM 24, RRIC 100, and PB260 is control clones.

The result of research Mean showed that the IRR 400 series and 4 control

clones were resistence which do not varieted to C. gloeoesporioides. Klon BPM 1

was rather resistence. IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405,

IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR

414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR

422, IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100 and PB 260 was moderate

The result of research mean showed that growth fast pock-market

(mm/day) highest found is clone IRR 420 and growth fast pock-market (mm/day)

lower found is IRR 423.

(5)

ABSTRAK

Eliana Perangin-angin ” Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap

Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada

Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium”. Dengan

komisi pembimbing Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku ketua,

Bapak Ir. Kasmal Aripin, MSi selaku anggota dan Ibu Dra. Sekar woelan, MP

selaku pembimbing lapangan.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai

Penelitian Sungei Putih dari bulan Agustus sampai Oktober 2007.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resitensi klon karet

IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun C. gloeoesporioides.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial

dengan 29 perlakuan (25 perlakuan klon IRR seri 400 dan 4 klon pembanding)

dan 3 ulangan. Klon IRR seri 400 yang digunakan dalam penelitian adalah IRR

400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR

408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR

416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424

dan klon pembanding yang digunakan adalah BPM 1, BPM 24, RRIC 100 dan

PB260.

Hasil rata-rata penelitian menunjukkan bahwa klon IRR seri 400 dan 4

klon pemanding yang di uji menunjukkan tingkat resistensi yang tidak bervariasi

terhadap C. gloeoesporioides. Klon BPM 1 adalah klon yang tergolong agak

tahan. Klon IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406,

IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414,

IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422,

IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100 dan PB 260 adalah klon yag tergolong

moderat

Hasil rata-rata penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan bercak

(mm/hari) tertinggi pada perlakuan IRR 420 dan laju pertumbuhan bercak

(mm/hari) terendah terdapat pada perlakuan IRR 423.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan

rahmad-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Adapun judul Skipsi ini adalah Uji Resistensi Klon IRR Seri 400

Terhadap Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc

pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium yang

merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di

Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera utara, Medan.

Penulis

mengucapakan

terima

kasih

kepada

Bapak

Ir.

Lahmuddin

Lubis,

MP.

selaku

ketua

komisi

pembimbing,

Bapak Ir. Kasmal Aripin Msi. selaku anggota, dan Ibu Dra. Sekar Woelan, MP.

selaku pembimbing lapangan, serta kepada seluruh staf pengajar Departemen

Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Penulis juga mengucapkan termakasih kepada semua pihak yang

membantu sampai selesainya Skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran

yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan Skripsi ini dan semoga

bermamfaat bagi pembaca.

Medan,

Maret

2008

(7)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT ………....………...

i

ABSTRAK ………. ………

ii

KATA PENGANTAR……… ………... iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR ……… vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii

PENDAHULUAN

Latar

Belakang………..

1

Tujuan

Penelitian………..

4

Hipotesa

Penelitian………...

5

Kegunaan

Penelitian……….

5

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi

Penyakit………...

6

Gejala

Serangan………

8

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit………...

10

Daur Hidup Penyakit………

12

Pengendalian

Penyakit……….

12

Karateristik

Klon

……….

13

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian……….

15

Bahan dan Alat………...

15

Metode Penelitian ………..

16

Pelaksanaan

Penelitian………....

17

Persiapan Bahan Inokulasi... 17

Inokulasi pada Cakram Daun (Leaf disc)... 20

Parameter

Pengamatan………....

20

Pengamatan warna koloni dan morfologi... 21

Intensitas serangan pada cakram daun... 21

Laju Pertumbuhan Bercak... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ...

24

Morfologi dan Warna Koloni Jamur ...

24

Intensitas Serangan (%) ...

24

Laju Pertumbuhan Bercak (%)...

25

Pembahasan...

29

Morfologi dan Warna Koloni Jamur ...

29

Intensitas Serangan (%) ...

29

(8)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ...

38

Saran...

38

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

No.

Judul

Hlm

1. Klasifikasi Penilaian Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides …… 21

2. Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides untuk

Setiap Waktu Pengamatan (hsi) ……….………. 34

3. Uji Beda Rataan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

(10)

DAFTAR GAMBAR

No.

Judul

Hlm

1. Gejala Serangan C. gloeosporioides ... 10

2. Heamacytometer ... 18

3. Biakan Murni Jamur C. Gloeosporioides... 23

4. Spora C. gloeosporioides ... 24

5. Histogram Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides ……….…… 35

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Judul

Hlm

1. Bagan Penelitian………….………41

2. Nilai SkalaBercak……… ……….42

3. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 2 hsi...43

4. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 2 hsi Setelah Di Transformasi

Arc . Sin√x...44

5. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 3 hsi...45

6. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 3 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin√x...46

7. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 4 hsi...47

8. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 4 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin√x...48

9. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 5 hsi...49

10. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 5 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin√x...50

11. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 6 hsi...51

12. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 6 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin√x...52

13. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 7 hsi...53

14. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 7 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin√x...54

15. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 8 hsi...55

16. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada

Pengamatan 8 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin√x...56

17. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

C. Gloeosporioides Pada Pengamatan 2 hsi...57

18. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

C. Gloeosporioides pada Pengamatan 2 hsi Setelah

Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

……...58

19. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak

(mm/hari)

C. Gloeosporioides pada Pengamatan 3 hsi...59

20. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

pada Pengamatan 3 hsi Setelah Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

…………60

21. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

C. Gloeosporioides pada Pengamatan 4 hsi...61

(12)

C. Gloeosporioides

Pada Pengamatan 4 hsi Setelah Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

………...62

23. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

Pada Pengamatan 5 hsi...63

24. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

C. Gloeosporioides

pada Pengamatan 5 hsi Setelah Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

………...64

25. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

C. Gloeosporioides

pada Pengamatan 6 hsi...65

26. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

pada Pengamatan 6 hsi Setelah Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

………...…66

27. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

pada Pengamatan 7 hsi...67

28. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

pada Pengamatan 7 hsi Setelah Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

…………..68

29. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides

pada Pengamatan 8 hsi...69

30. Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

C. Gloeosporioides

pada Pengamatan 8 hsi Setelah Di Transformasi

(

x

+

0

.

5

)

…………...70

31. Foto daun klon IRR seri 400 dan klon pembanding...71

32. Cakram daun……….……….72

33. Lokasi pengambilan sampel daun klon IRR seri 400 di lahan

Sungei Putih...73

(13)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Usaha perkebunan karet dimulai di daerah-daerah jajahan negara Eropa

terutama oleh Inggris dan Belanda. Pada tahun 1876 Henry Wickhnam

memasukkan biji karet yang berasal dari Amerika Selatan ke kebun Raya Bogor,

kemudian terbukti bahwa pertumbuhan karet di Bogor sangat memuaskan, oleh

karena itu kemudian disusul pemasukan bibit-bibit karet berikutnya yaitu pada

tahun 1890 dari Kew Garden ke Bogor (Setyamidjaja, 1995).

Karet merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai peranan

penting bagi Indonesia maupun negara-negara produsen karet lainnya. Di

Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian yang banyak menunjang

perekonomian rakyat maupun negara. Hasil devisa yang diperoleh dari karet

cukup besar, bahkan Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia

(Anonim

b

, 2007).

Mobilitas manusia dan barang memerlukan komponen yang terbuat dari

karet, misalnya ban mobil, converyor belt, komponen otomotif, sepatu, sandal,

dan lain-lain. Itu pula yang mendorong naiknya permintaan akan karet alam

maupun karet sintetis, naiknya permintaan membuat ekspor karet alam dan barang

karet Indonesia pada Januari-Agustus 2006 mencatat rekor fantasis 3.75 miliar

dolar. Pada priode yang sama tahun 2005 nilai ekspor karet masih 2.173 miliar

dolar. Pada priode yang sama tahun 2006 ekspor karet alam Indonesia mencapai 4

miliar dollar. Ini artinya kinerja ekspor karet mulai mengejar crude palm oil

(14)

Produksi karet nasional meningkat seiring dengan membaiknya harga pada

tahun 2004. Pada tahun 2003 produksi karet 1.79 ton, pada tahun 2004 Produksi

karet 2.06 ton, pada tahun 2005 produksi karet 2.13 juta ton (Anonim

c

, 2007),

Menurut Ariyani (2006) produksi karet pada tahun 2007 diperkirakan mencapai

2.4 juta ton.

Dalam usaha meningkatkan pendapatan petani/perkebunan karet dan

meningkatkan ekspor non migas, pemerintah telah mengembangkan penanaman

karet dengan perluasan areal, peremajaan, rehabilitasi. Namun demikian

pengunaan klon sebagai bahan tanaman merupakan salah satu faktor yang sangat

penting bagi budidaya karet, terutama klon yang mempunyai ketahanan terhadap

penyakit (Azwar dkk., 1998).

Klon dalam budidaya karet merupakan bahan tanaman yang

dikembangkan dan dianjurkan antara lain untuk memperoleh hasil dan mutu yang

tinggi dan seragam. Di alam produktivitas karet sangat dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu genetik, lingkungan dan manajemen. Salah satu respon faktor genetik

terhadap lingkungan adalah sifat ketahanannya terhadap penyakit. Penyakit

tanaman karet merupakan kendala dominan di bandingkan dengan gangguan

lainnya. Di samping dapat menurunkan produksi karet, sering juga penyakit dapat

mengakibatkan gagalnya suatu program pengembangan tanaman karet.

Dalam tiga dasawarsa terakhir, pada semua negara penghasil karet, penyakit

gugur daun C. gloeosporioides dan C. cassiicola dikenal sebagai faktor

yang dapat menimbulkan kerugian yang besar dan bahkan berkelanjutan

(Pawirosoemardjo dkk., 1998).

(15)

Klon memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman yang

dikembangkan melalui biji. Keungulan yang dimiliki oleh klon antara lain

tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur produksinya lebih cepat dan produksi

lateks yang dihasilkan juga lebih banyak. Adapun klon juga memiliki kekurangan

seperti daya tahan masing-masing klon terhadap hama penyakit tidak sama

sehingga klon unggul yang diinginkan harus mempunyai sifat yang ideal yaitu

produksi lateks yang tinggi, resisten terhadap pengaruh hama, penyakit dan

pengaruh angin dan batang yang tumbuh lurus (Anonim

a

, 1996).

Klon IRR Seri 400 merupakan klon unggul harapan turunan dari hasil

persilangan 1992, sebanyak 25 klon yang diseleksi untuk masuk ke pengujian plot

promosi. Untuk dapat di rekomendasikan sebagai klon unggul baru, diperlukan

suatu data informasi mengenai ketahanan penyakit, khususnya penyakit daun.

Karena itu diperlukan suatu pengujian ketahanan terhadap penyakit daun

(Woelan, 2006).

Penyakit gugur daun Colletotrichum atau gugur daun skunder menjadi

salah satu kendala utama bagi perkebunan karet seperti di propinsi Kalimantan

Barat dan dibeberapa daerah di Indonesia yang mempunyai iklim basah dengan

curah hujan tinggi dan merata sepanjang tahun. Penyakit tersebut disebabkan oleh

cendawan Glomerella cingulata atau sering dinamakan dengan nama fase

telemorf C. gloeosporioides. Penyakit tersebut merupakan penyakit penting pada

tanaman karet dan menjadi ancaman bagi kelangsungan budidaya karet di

Indonesia. Penurunan produksi yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut

berbeda-beda menurut lokasinya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di

(16)

beberapa perkebunan di Jawa Barat, penurunan akibat penyakit tersebut

bervariasi antara 7 – 40 % (Suwarto dkk., 1995).

Penyakit C. gloeosporioides merupakan penyakit yang relatif baru pada

karet di Indonesia dan baru mendapat perhatian pada tahun 1970. Pada tahun

1989-1992 timbul epidemi penyakit gugur daun C. gloeosporioides di Kalimantan

terutama di Kalimantan Barat. Akibat serangan penyakit tersebut adalah tanaman

meranggas, banyak ranting dan dahannya yang mati. Terjadinya epidemi ini di

duga disebabkan karena penanaman klon unggul sebagai contoh GT 1 yang hasil

seleksi dari Jawa pada suatu wilayah sangat luas (Semangun, 2000).

Di Malaysia dan Sri Langka penyakit ini belum lama dikenal, di Jawa

Barat penyakit ini dapat menyebabkan kerugian 7 – 40% (Soepadmo, 1975).

Sedang di Sri Langka kerugian rata-rata hampir mendekati 12%. Penyakit daun

Colletotrichum merupakan penyakit karet yang paling luas penyebarannya,

terdapat disemua negara penghasil karet alam. Penyakit ini dapat timbul pada

semua umur, dari mulai di pembibitan sampai ditanaman tua (Semangun, 2000).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tingkat resistensi klon karet IRR seri 400 terhadap

penyakit gugur daun Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. di

Laboratorium.

(17)

Hipotesa Penelitian

Diantara klon karet IRR seri 400 terdapat tingkat resistensi yang

berbeda-beda terhadap penyakit Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. di

laboratorium.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai bahan kelengkapan informasi bagi perkebunan karet untuk

mengetahui tingkat resistensi klon karet IRR seri 400 terhadap penyakit

gugur daun Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.

- Sebagai bahan penulisan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam

menempuh ujian sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara, Medan.

(18)

TINJAUAN LITERATUR

Biologi penyakit

Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut

Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut:

Divisio

: Mycota

Sub divisi

: Eumycotyna

Kelas

: Deuteromyces

Ordo

:

Melanconiales

Family

: Melanconiaceae

Genus

: Colletotrichum

Species :

Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.

C. gloeosporioides umumnya mempunyai konidium hialin berbentuk

silinder dengan ujung-ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong

dengan ujung agak membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung, tidak

bersekat, berinti satu, panjang 9 – 24 x 3 - 6 μm, terbentuk pada konidiofor seperti

fialid berbentuk silinder, hialin berwarna agak kecoklatan (Semangun, 2000).

Ordo dari kelas Deutromyces ini mempunyai konidiofor yang pendek dan

beregresi (berkumpul) pada permukaan yang tipis dari perenkhimoid dan stroma

(satu aservulus). Konidia dibentuk dalam aservulus (Djas, 1980).

Konidia terbentuk tunggal pada ujung-ujung konidiofor, konidiofor

pendek, tidak berwarna, tidak bercabang, tidak bersekat. Sering diemukan pada

aservuli dari jamur Colletotrichum, tetapi tidak tetap tergantung kondisi tempat

tumbuhnya (Allexopolus and Mims, 1979).

(19)

Aservuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah

apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih,

kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia.

Diantara Ordo Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah

Gloeosporium dan Colletotrichum, keduanya mempunyai konidia yang

memanjang dengan penyempitan di bagian tengah (Dwidjoseputro, 1978).

C. gloeoeosporioides termasuk parasit fakultatif, termasuk ke dalam ordo

Melanconiales, jamur ini memproduksi hialin, konidia bersel satu, berbentuk oval

memanjang, bergaris ramping, panjang 10-15 μm dan lebar 5-7 μm. Massa spora

berwarna merah jambu atau warna salmon. Aservuli dapat menyerang kulit dan

jaringan tanaman, konidiofornya tegak, pendek dan tidak bersekat

(Anonim

d

, 2007).

Koloni jamur pada medium Agar Dexstroe kentang berwarna kelabu

sampai merah jingga. Miselium bersekat dan konidia berbentuk lonjong, bening

dan terdiri dari satu atau dua sel (Pawirosoemardjo dkk.., 1998).

Terdapat keragaman (variabilitas) genetik dalam satu species patogen

yaitu terdapat perbedaan ras-ras patogen, yang serangannya terbatas pada varietas

tertentu dari satu species inang. Dalam satu species patogen, terdapat ras-ras

fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat dibedakan, tetapi berbeda

kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas inang yang

berbeda, hal ini membantu menjelaskan mengapa varietas yang tahan pada suatu

daerah geografis tertentu menjadi rentan pada daerah geografis lain, mengapa

ketahanan berubah dari tahun ketahun dan mengapa varietas tahan dengan

(20)

tiba-tiba menjadi rentan, hal ini berhubungan dengan ras fisiologis yang berbeda-beda

(Agrios, 1996).

Patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan

inang dengan cara menyerap makanan secara terus menerus dari sel inang untuk

kebutuhannya, menghentikan atau mengganggu metabolisme sel inang dengan

toxin, enzim atau zat pengatur tumbuh yang disekresikannya, menghambat

transportasi makanan, hara mineral, dan air melalui jaringan pengangkut dan

mengkonsumsi kandungan sel inang setelah terjadi kontak (Agrios,1996).

Dalam kombinasi inang patogen, patogen (biasanya jamur) dapat

memproduksi toksin spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggungjawab

terjadinya gejala, dan diduga bereaksi terhadap reseptor spesifik atau sisi sensitif

dalam sel inang. Hanya tanaman yang mempunyai reseptor sensitif atau sisi

sensitif semacam ini yang akan menjadi sakit. Spesies atau verietas tanaman yang

tidak mempunyai reseptor ini atau tidak mempunyai sisi sensitif semacam ini akan

tetap tahan terhadap toksin dan tidak akan terjadi gejala (Abadi, 2003).

Gejala Serangan Colletotrichum gloeosporioides.

Penyakit gugur daun Colletotrichum khususnya menyerang daun karet

muda yang baru terbentuk. Daun karet berumur kurang dari 20 hari merupakan

kondisi daun yang sangat peka terhadap C. gloeosporioides, karena itu

pembentukan daun baru setelah tanam mengugurkan daunnya secara alamiah yang

diikuti dengan musim penghujan berkepanjangan dapat menyebabkan daun muda

yang terbentuk menjadi gugur kembali, sehingga tanaman meranggas. Serangan

(21)

terhambat, masa matang sadap menjadi terhambat. Pada tanaman menghasilkan

(TM) serangan yang berat mengakibatkan penurunan produksi hingga mencapai

7– 40 % (Pawirosoemardjo dkk., 1998).

Daun-daun muda rentan selama lebih kurang 5 hari pada waktu kuncup

membuka (bud break) dan daun selama 10 hari, daun berkembang sampai

membuka penuh, warnanya berubah dari warna perunggu menjadi hijau pucat.

Pada waktu ini kutikula sudah terbentuk dan daun menjadi cukup tahan. Pada

daun yang lebih dewasa serangan Colletotrichum dapat menyebabkan tepi dan

ujung daun berkeriput, dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat

berwarna coklat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1 – 2 mm. Bila stadia umur

daun bertambah, bercak akan berlubang ditengahnya dan bercak tampak

menonjol dari permukan daun. Hal ini dapat digunakan sebagai salah satu

penanda yang penting adanya serangan penyakit Colletotrichum

(Semangun, 2000).

Daun yang masih berwarna merah kecoklatan sangat rentan bila diserang

penyakit C. gloeosporioides. Serangan di tandai dengan bintik-bintik hitam,

bentuknya bergelombang atau tidak rata. Pada stadia daun yang lebih tua muncul

bercak coklat dengan warna coklat dan warna kuning disekelilingnya. Bercak

dapat berlubang dan permukaan tidak rata atau bercak bergabung yang

mengakibatkan cacat daun. Apabila serangan terjadi cukup berat, daun dapat

mengalami gugur atau ranting menjadi mati pucuk. Hal inilah yang dapat

mengakibatkan produkvitas mengalami penurunan (Soekirman dan Budi, 2005).

(22)

Bercak daun

C. gloeosporioides

Gambar.1. Gejala Serangan C. gloeosporioides

Sumber: Balai Penelitian Sungei Putih.

Klasifikasi

penilaian serangan penyakit C. gloeosporioides yaitu kategori

resisten 0-20 %, agak resisten 21-40%, moderat 41-60 %, agak rentan 61-80 %,

dan rentan 81-100 % (Pawirosoemardjo, 1999).

Faktor Mempengaruhi Penyakit

Dalam cuaca yang lembab massa spora menjadi lunak dan mudah tersebar

dengan perantara angin hingga ke jarak yang sangat jauh. Pada perkebunan karet

yang terletak di dataran tinggi atau yang mempunyai curah hujan tinggi akan

menderita serangan penyakit daun C. gloeosporioides yang lebih berat, hal ini

juga terlihat pada kebun-kebun yang mempunyai kelembaban tinggi yang di

sebabkan jarak tanam yang terlalu rapat, terletak di lembah, di rawa-rawa atau

daerah yang gulmanya tidak dikendalikan (Basuki, 1990).

Colletotrichum adalah jamur yang bersifat kosmopolitan, sehingga dapat

menyebabkan timbulnya penyakit pada berbagai jenis tanaman termasuk tanaman

karet. Colletotrichum bersporulasi pada media PDA pada suhu 10 – 40˚C. Sinar

(23)

ultra violet dapat mengaktifkan spora-spora Colletotrichum. Perkecambahan spora

juga dapat terjadi pada kelembaban relatif 90% dengan suhu 15 – 35˚C,

walaupun kelembaban relatif optimum untuk perkecambahan spora jamur ini

90 %. Spora Colletotrichum juga dapat bertahan pada suhu di atas 35 ˚C, kondisi

ini yang mendukung perkembangan penyakit pada pertanaman karet di Sri

Langka, di luar musim hujan (Fernando et all., 1999).

Pada

umumnya

C. gloeosporioides umum terdapat di berbagai macam

tanaman sehingga diduga bahwa sumber infeksi selalu ada, jamur di sebarkan

dengan spora (konidium). Dalam cuaca yang lembab massa spora yang berwarna

merah jambu menjadi lunak dan mudah tersebar oleh percikan air hujan dan oleh

aliran udara yang lembab dan juga dapat disebarkan oleh hewan

(Semangun, 2000).

Kondisi tanaman yang kekurangan unsur hara, kurang pemeliharaan,

suhu udara 29 - 30

0

C dan kelembaban udara yang tinggi lebih dari 95 %, serta

adanya air pada permukaan daun dan ranting, sangat memudahkan jamur ini untuk

dapat berkembang dengan cepat dan menginfeksi tumbuhan sehingga

menimbulkan penyakit yang kronis (Soekirman dan Budi, 2005).

Sumber infeksi jamur C. gloeosporioides tersebar merata dan

penyebarannya dalam bentuk spora (konidia). Pada kondisi lembab spora menjadi

lunak dan mudah penyebarannya oleh adanya tetesan air hujan dan aliran udara.

Penyebaran juga dapat di lakukan oleh hewan (Semangun, 2000).

Daur Penyakit

Konidium membentuk buluh kecambah yang membentuk apresorium pada

ujungnya. Penetrasi terjadi langsung dengan menembus kutikula, merusak dinding

(24)

sel dan benang-benang jamur berkembang di dalam dan di antara sel-sel.

Mula-mula kloroplas rusak dan diikuti dengan rusaknya mitokondria, selama proses

infeksi patogen melepaskan enzim poligalakturonase, selulase, dan toksin

(Semangun, 2000).

Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban

nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban

udara kurang dari 96%, spora tumbuh paling baik pada suhu 25˚- 28˚C

(Semangun, 2000).

Pengendalian Penyakit

Pengendalian penyakit Colletotrichum dapat dilakukan dengan cara:

- Memperbaiki saluran pembuangan air dan memberantas gulma secara intensif,

yang mempunyai tujuan untuk mengurangi kelembaban dalam rangka

menghambat perkembangan penyakit.

- Memberikan pupuk yang berimbang dan ekstra sesuai dengan anjuran, yang

mempunyai tujuan adalah menyehatkan tanaman sehingga tidak mudah

menderita ganguan jamur Colletotrichum.

- Menyemprot atau mengasapi tunas-tunas muda dengan fungisida sebanyak tiga

kali dengan interval tujuh hari dalam periode pembentukan tunas, yang

mempunyai tujuannya untuk menekan laju perkembangan serangan penyakit

Colletotrichum.

- Menanam klon yang resisten di daerah rawan penyakit gugur daun

Colletotrichum, yang mempunyai tujuan untuk memangkas siklus penyakit .

(25)

Pada pembibitan tanaman karet diusahakan agar kelemaban nisbinya tidak

mencapai 95 %, di pembibitan tanaman okulasi dalam kantong plastik jangan

disusun terlalu rapat. Menanam klon karet yang tahan, menurut anjuran klon karet

yang tahan terhadap Collotrichum yaitu klon RRIC 100, BPM1. Klon yang rentan

terhadap penyakit ini diberi pupuk yang berimbang untuk mengurangi

pengguguran daun (Semangun, 2000).

Karakteristik Klon

Beberapa klon yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit daun antara

lain : BPM 1, RRIC 100, BPM 24 dan PB 260. karakteristik dari masing-masing

klon akan di terangkan sebagai berikut:

Klon BPM 1 mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap penyakit

Corynespora dan Colletotrichum sedangkan terhadap Oidium moderat. Potensi

produksi awal dapat mencapai rata-rata produksi aktual 1685 kg/ha/th selama 8

tahun penyadapan. Daerah pengembangan yang sesuai untuk klon PBM 1 yaitu

pada daerah beriklim sedang sampai dengan kering (Woelan dkk, 1999).

Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap beberapa penyakit daun

(Colletotrichum, Corynespora dan Oidium) cukup baik. Potensi produksi awal

rendah dengan rata-rata produksi aktual 1567 kg/ha/th selama 8 tahun

penyadapan, lateks berwarna putih. Pengembangannya dapat dilakukan pada

daerah beriklim sedang sampai basah (Woelan dkk, 1999).

Klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x

klon AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik,

(26)

pengembangannya dapat di lakukan di daerah beriklim sedang. Lateks berwarna

putih kekuningan, dan dapat diolah menjadi SIR 3L (Woelan dkk, 1999).

Klon PB 260 tergolong tahan terhadap terhadap penyakit daun utama

(Corynespora, Colletotrichum dan Oidium), tetapi kurang tahan terhadap angin.

Potensi produksi awal cukup tinggi dengan rata-rata produksi aktual 2107 kg/ha/th

selama 9 tahun penyadapan, warna lateksnya putih kekuningan.

Pengembangannya dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang sampai dengan

basah (Woelan dkk, 1999).

Klon IRR seri 400 merupakan hasil persilangan tahun 1992, dan dari hasil

seleksi yang terbaik sebanyak 10 % masuk ke dalam Pengujian pendahuluan dan

1% masuk ke dalam pengujian plot promosi. Dari hasil pengamatan pertumbuhan

di pengujian plot promosi, beberapa klon IRR seri 400 menunjukkan pertumbuhan

lebih baik dibandingkan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, PB 217 dan

PB 260, kecuali IRR 416 (Woelan, 2007).

(27)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai

Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, kecamatan Galang, pada

ketinggian tempat ± 54 m di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan pada

bulan September 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : isolat

Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc, Klon Karet IRR seri 400 yang

terdiri dari : IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406,

IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR

415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR

423, IRR 424, dan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, BPM I, PB 260,

akuades steril, alkohol 96 %, klorox 0,1 %, kapas, kertas saring, kain muslin,

kertas label, PDA (Potato Dextrose Agar).

Alat yang digunakan adalah petridish, erlenmeyer, tabung reaksi, beker

glass, gelas ukur, autoclave, mikroskop, mikropipet, haemacytomer, kotak

inokulasi, cover glass, lampu bunsen, pinset, hot plate, jarum inokulasi, preparat,

centrifuge, pelubang gabus, waterbath dan alat-alat yang mendukung

terlaksananya penelitian.

(28)

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan mengunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) non faktorial yang terdiri dari 29 perlakuan dengan 3 ulangan. sehingga di

dapat perlakuan 29 x 3 = 87 perlakuan (Lampiran 1).

Klon IRR seri 400 yang digunakan terdiri dari 29 perlakuan yaitu 25

perlakuan dan 4 faktor pembanding. Adapun klon IRR seri 400 yang digunakan

dalam penelitian yaitu:

K

1

= IRR 400

K

11

= IRR 411

K

21

= IRR 421

K

2

= IRR 401 `

K

12

= IRR 412

K

22

= IRR 422

K

3

= IRR 402

K

13

= IRR 413

K

23

= IRR 423

K

4

= IRR 404

K

14

= IRR 414

K

24

= IRR 424

K

5

= IRR 405

K

15

= IRR 415

K

25

= BPM 24 *

K

6

= IRR 406

K

16

= IRR 416

K

26

= RRIC 100 *

K

7

= IRR 407

K

17

= IRR 417

K

27

= IRR 403

K

8

= IRR 408

K

18

= IRR 418

K

28

= PB 260 *

K

9

= IRR 409

K

19

= IRR 419

K

29

= BPM I *

K

10

= IRR 410

K

20

= IRR 420

Keterangan : * Klon Pembanding

Jumlah perlakuan (t) : 29

Jumlah ulangan (r) : 3

(t-1) (r-1) ≥ 15

(29-1) (r-1) ≥ 15

28r ≥ 43

r = 43/28 r = 1,5

(29)

Metode linier yang digunakan adalah :

Yij = µ + σi + εij

Dimana :

Yij

= Respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke i ulangan ke j

µ

= Nilai tengah umum.

σi

= Pengaruh perlakuan ke i.

Εij

= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke i ulangan ke j.

Jika efek perlakun nyata atau sangat nyata, maka di lanjutkan dengan uji

Beda Nyata Terkecil (BNT) (Bangun, 1990).

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan bahan inokulasi

Daun yang yang sakit diambil dari lapangan, dibiakkan dalam media PDA

sampai di peroleh biakan yang murni. Isolat C. gloeoesporioides (penz). Sacc

dimurnikan pada media PDA. Dari biakan murni, jamur kembali dibiakkan dalam

media PDA, lalu diinkubasikan dalam inkubator selama 3 x 24 jam pada suhu 28

ºC dan RH 89 %. Konidia yang terbentuk dirontokkan dengan cara : biakan murni

C. gloeosporioides ditetesi dengan akuades steril secukupnya, kemudian dikikis

dengan mengunakan jarum ose, sehingga seluruh konidia yang terdapat pada

ujung konidiofor terlepas dan masuk ke dalam larutan. Campuran larutan ini

disaring dengan mengunakan kain muslin, sehingga potongan-potongan misellium

atau bagian-bagian yang kasar dari media akan tertinggal pada kain muslin,

sedangkan yang dapat lolos hanya filtrat selanjutnya disentrifuge untuk

mendapatkan suspensi konidia. Kemudian suspensi ini diencerkan dengan akuades

(30)

steril sehingga mencapai kerapatan konidia sebanyak 7.10

4

konidia/ml.

Konsentrasi ini dapat dihitung dengan mengunakan haemacytometer

Jumlah konidia C. gloeosporioides dihitung dengan menggunakan alat

hitung Haemacytometer

Gambar 2. Haemacytometer

Kotak a,b, c, d dan e adalah kotak yang dihitung jumlah konidianya. Adapun

cara kerjanya sebagai berikut:

1. Bersihkan permukaan kamar hitung dengan air mengalir dan kemudian

keringkan dengan tissue atau kain yang lembut.

2. Tempatkan gelas penutup di atas slide, kemudian dijepit dengan penjepit

yang yang ada disebelah kanan-kiri.

3. Siapkan suspensi sel yang dihitung, usahakan sel yang tersuspensi dalam

cairan menyebar merata.

4. Ambil sedikit suspensi sel dengan dropping pipet dan teteskan sebanyak 2

tetes di tepi gelas penutup. Suspensi akan masuk ke kamar hitung dan

(31)

mengisi seluruh ruangan yang ada pada bilik tersebut. Suspensi yang

berlebih akan terbuang ke dalam parit pembuangan.

5. Biarkan selama 1 – 2 menit, agar sel yang ada di dalam bilik stabil.

6. Tempatkan heamacytometer pada meja mikroskop dan hitung jumlah sel

yang ada dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah sel/ml = ∑ (a + b + c + d + e) X 50000

Hasil perhitungan konidia Jamur C. gloeosporioides .

• Isolat C. gloeosporioides

a : 18 Konidia

b : 22 konidia

c : 24 Konidia

d : 17 Konidia

e : 21 Konidia

+

102 konidia

Jumlah Konidia = ∑( a + b + c + d + e ) x 50000

= ( 18 + 22 + 24 + 17 + 21 ) x 50000

= 102 x 50000

= 5100000

= 5,1 . 10

6

Maka untuk membuat kerapatan 7 . 10

4

konidia ml/ air digunakan rumus

pengenceran sebagai berikut:

V

1

N

1

= V

2

N

2

(32)

V

2

= 0.728. 10

4

ml = 7280ml

Maka penembahan akuadest sebagai pengenceran untuk menghasilkan kerapatan

konidia 7.10

4

ml/air adalah : 7280 – 100 = 7180 ml.

Inokulasi pada Cakram daun (leaf disc)

Daun yang akan di gunakan dalam pengujian diambil dari areal pengujian

plot promosi (lampiran 33). Daun yang diambil dari payung ke-3, umur ±10 hari

setelah muncul dan membuka sempurna. Setiap daun dari klon IRR seri 400 yang

diuji dilubangi dengan alat pelubang gabus (cork borer) sehingga terbentuk

cakram daun dengan diameter 1,2 cm. kemudian cakram daun direndam dengan

suspensi C. goeosporioides dengan kerapatan 7.10

4

konidia/ ml selama 1-2 menit.

Selanjutnya cakram daun tersebut diletakkan ke dalam cawan petri yang

dilapaisai dengan kertas saring yang lembab. Pada setiap cawan petri diletakkan

10 cakram daun yang tersusun secara acak (lampiran 32).

Parameter Pengamatan

Pengamatan warna koloni dan morfologi jamur C. gloeosporioides

Biakan murni sebelum di Inokulasikan diamati warna koloni secara

visual dan morfologinya secara mikroskopis.

Intensitas serangan pada cakram daun (leaf disc).

Potongan cakram daun yang telah diinoukulasi dengan suspensi

C. gloeosporioides diamati pada hari ke 1 - 9. pengamatan dilakukan dengan

membandingkan luas bercak yang timbul dengan luas cakram daun secara visual.

Nilai skala bercak daun ditetapkan 0-4 (Lampiran 2.)

(33)

Skala 1 = terdapat bercak < 1/4 bagian

Skala 2 = terdapat bercak < 1/2 bagian

Skala 3 = terdapat bercak > 1/2-3/4 bagian

Skala 4 = terdapat bercak > 3/4 bagian

(Pawirosoemardjo,1999)

Nilai Intensitas Serangan dinyatakan dengan rumus:

%

100

)

(

x

ZxN

nxv

IS

=

Keterangan:

I = Intensitas serangan

n = Jumlah daun tiap kategori serangan

v = Nilai skala dari siap kategori serangan

Z = Nilai skala dari kategori tertinggi

N = Jumlah daun yang diamati

Klasifikasi

penilaian

intensitas serangan penyakit C. gloeosporioides di

sajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Penilaian Serangan Penyakit C. gloeosporioides:

Klasifikasi Nilai

Resisten

Agak resisten

Moderat

Agak rentan

Rentan

0 - 20 %

21 - 40 %

41 - 60 %

61 - 80 %

81 - 100 %

(Pawirosoemardjo, 1999).

(34)

Laju pertumbuhan bercak (mm/hari)

Menghitung laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada tiap pengamatan

dengan membandingkan laju pertumbuhan bercak pada waktu pengamatan dengan

laju pertumbuhan bercak sebelumnya.

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Morfologi dan Warna Koloni Jamur C. gloeosporioides.

Warna koloni yang di peroleh sebelum di inokulasikan pada cakram daun

berwarna putih. Massa spora berwarna merah jambu atau berwarna salmon. Pada

media yang telah tua di tumbuhi miselium berwarna putih cerah, seperti yang

telah tersaji pada gambar 3a, 3b, 3c dan 3d.

Gambar 3a. Biakan jamur 2 hsi Gambar 3b. Biakan Jamur 9 hsi

Gambar 3c. Biakan jamur 16 hsi Gambar 3d. Biakan jamur 22 hsi

Sumber : Foto langsung

Hasil pengamatan morfologi jamur yang di amati secara mikroskopik,

konidium berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul sampai meruncing,

kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak membulat dengan

pangkal yang agak sempit terpancung. Tidak bersekat, berinti satu, berbentuk

oval memanjang bergaris ramping. Panjang 10-15 μm dan lebar 5-7 μm.

(36)

Konidia tidak berwarna dan transparan, seperti yang telah tersaji pada gambar

4.

Gambar 4. Spora C. gloeosporioides

Sumber : Foto langsung

Intensitas Serangan (%).

Data hasil pengamatan intensitas serangan pada 2-8 hari setelah inokulasi

(hsi), daftar analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 3-8. Dari daftar

sidik ragam tersebut dapat dilihat bahwa intensitas serangan berpengaruh sangat

nyata pada pengamatan 2-7 hsi tetapi tidak nyata pada pengamatan 8 hsi, hal ini

dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada pengamatan I (2 hsi) perlakuan IRR 406 berbeda sangat nyata

dengan perlakuan lain, IRR 409 dan IRR 410 berbeda sangat nyata dengan IRR

406 juga sangat berbeda nyata dengan perlakuan lain.

Pada pengamatan II (3 hsi) dapat dilihat bahwa perlakuan IRR 406 tidak

berbeda nyata dengan perlakuan IRR 423, IRR 409, tetapi berbeda nyata dengan

perlakuan IRR 407, IRR 412, IRR 404, IRR 410, IRR 420, IRR 415, IRR 417,

IRR 405, IRR 401, IRR 414, IRR 422, IRR 404, IRR 411, IRR 413, IRR 416,

IRR 400, IRR 403, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421, IRR 424, RRIC 100,

PB 260, BPM 24 dan BPM 1. Perlakuan IRR 405, IRR 401, IRR 414, IRR 422,

(37)

IRR 404, IRR 411, IRR 413, IRR 416, IRR 400, IRR 408, IRR 418, IRR 419,

IRR 421, IRR 424, IRR 403, RRIC 100, BPM 24, PB 260 dan BPM 1.

Pada pengamatan III (4 his), perlakuan IRR 423 tidak berbeda nyata

dengan perlakun IRR 404, IRR 413, RRIC 100, IRR 400, IRR 406, IRR 412 dan

IRR 417, tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan BPM 1

tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 418, PB 260, tetapi berbeda nyata

dengan semua perlakuan.

Pada pengamatan ke IV (5 hsi) dapat dilihat bahwa perlakuan BPM 1

berbeda nyata dengan perlakuan lain. Perlakuan IRR 400 tidak berbeda nyata

dengan perlakuan IRR 404, IRR 413, IRR 417, IRR 419, IRR 423, IRR 408, IRR

409, IRR 422, IRR 405, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406, IRR

407, IRR 412, IRR 403, IRR 410, IRR 420, IRR 411, IRR 402, IRR 416, IRR

415, IRR 421, IRR 424, IRR 401, IRR 414, RRIC 100, PB 260, BPM 24 dan

BPM 1. Perlakuan IRR 418 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 405, IRR

406, IRR 407, IRR 412, IRR 403, IRR 410, IRR 420, IRR 411, IRR 402, IRR

416, IRR 415, IRR 421, IRR 424, IRR 401, IRR 414, RRIC 100, PB 260.

Pada pengamatan ke V (6 hsi ). Perlakuan IRR 413 tidak berbeda nyata

dengan perlakuan IRR 400, IRR 417, IRR 419, IRR 404, IRR 408, IRR 405, IRR

403, IRR 412, IRR 422, IRR 423, PB 260, IRR 411, BPM 24, IRR 407, RRIC

100, IRR 409, dan IRR 410, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 410, IRR

420, IRR 401, IRR 402, IRR 406, IRR 421, IRR 418, IRR 424, IRR 414, 416,

IRR 415 dan BPM 1. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan

420, IRR 401, IRR 402, IRR 406, IRR 421, IRR 418, IRR 424, IRR 414, 416, dan

BPM 1, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 413, IRR 400, IRR 417, IRR

(38)

419, IRR 404, IRR 408, IRR 405, IRR 403, IRR 412, IRR 422, IRR 423, PB 260,

IRR 411, BPM 24, IRR 407, RRIC 100, IRR 409 dan IRR 410.

Pada pengamatan VI ( 7 hsi ), perlakuan IRR 415 berbeda sangat nyata

dengan perlakuan lainnya.

Intensitas serangan (%) C. gloeosporioides selama pengamatan 2-8

hsi dalam bentuk histogram untuk setiap klon dapat dilihat pada gambar 4. Pada

gambar histogram dapat dilihat bahwa rata-rata intensitas serangan tertinggi

terdapat pada 8 hsi dan terrendah pada 2 hsi.

Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

Data hasil pengamatan pertumbuhan bercak pada 2-8 hsi, daftar analisis

sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 9-15. Dari daftar sidik tersebut dapat

dilihat bahwa kecepatan tumbuh bercak berpengaruh sangat nyata pada

pengamatan 2-7 hsi, tetapi tidak nyata pada pengamatan 8 hsi. Hal ini dapat dilihat

pada tabel 3.

Pada pengamatan I (2 hsi ) perlakuan IRR 406 berbeda sangat nyata

dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 409 berberda sangat nyata dengan

perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 400 berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406

dan IRR 409, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Pada pengamatan II (3 hsi) perlakuan IRR 406 sangat berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan

perlakuan IRR 423, IRR 409, IRR 402, IRR 407, IRR 405, IRR 412, IRR 422,

IRR 410, IRR 417, BPM 24 dan RRIC 100, tetapi tidak berbeda sangata nyata

dengan perlakuan IRR404, IRR 416, IRR 420, IRR 419, IRR 400, IRR 401, IRR

408, IRR 411, IRR 413, IRR414, IRR 418, IRR 418, IRR 421, IRR 424, IRR 403,

(39)

PB 260 dan BPM I. Perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 408, IRR 411, IRR 413,

IRR 414, IRR 418, IRR 421, IRR 424, IRR 403, BPM I tidak berbeda nyata

dengan perlakuan IRR 402, IRR 407, IRR 405, IRR 412, IRR 422, IRR 410, IRR

417, BPM 24 dan RRIC 100, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR

406, IRR 415, IRR 423, IRR 409.

Pada pengamatan III (4 hsi ), perlakuan IRR 400 berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 423 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR

404, IRR 412, IRR 413, IRR 407 dan IRR 417, tetapi berbeda nyata dengan

perlakuan IRR 417, BPM 24, RRIC 100, IRR 405, IRR 419, IRR 424, IRR 416,

IRR 422, IRR 421, IRR 409, IRR 415, IRR 406, IRR 414, IRR 402, IRR 401,

IRR 420, IRR 410, IRR 411, IRR 408, PB 260, IRR 403, IRR 418 dan BPM 1.

Perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 409, IRR 415, IRR

406, IRR 414, IRR 402, IRR 401, IRR 420, IRR 410, IRR 411, IRR 408, PB 260,

IRR 403, dan IRR 418, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 400, IRR 423

IRR 404, IRR 412, IRR 413, IRR 407 dan IRR 417, IRR 417, BPM 24, RRIC

100, IRR 405, IRR 419, IRR 424, IRR 416, IRR 422, IRR 421.

Pada pengamatan IV (5 hsi) perlakuan IRR 400, IRR 413 tidak berbeda

nyata dengan perlakuan IRR 417, IRR 419, IRR 403, IRR 408, IRR 410, IRR

411, IRR 424 dan PB 260, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 422, IRR

423, IRR 420, IRR 407, IRR 405, IRR 404, IRR 414, IRR 409, IRR 416, IRR

418, IRR 402, IRR 412, IRR 421, IRR 415, IRR 401, IRR 406, BPM 24, RRIC

100 dan BPM I. Perlakuan BPM I tidak berbeda nyata dengan perlakauan IRR

410, IRR 411, IRR 424, IRR 423, IRR 422, IRR 420, IRR 407, IRR 405, IRR

404, IRR 414, IRR 409, IRR 418, IRR 402, IRR 421, IRR 415, IRR 401, IRR

(40)

406, BPM 24 dan RRIC 100. tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR

400, IRR 413, IRR 417, IRR 419, IRR 403, IRR 408 dan PB 260.

Pada pengamatan V ( 6 hsi ), perlakuan IRR 404 tidak berbeda nyata

dengan perlakuan IRR 412, IRR 405, IRR 409, IRR 408, IRR 411, IRR 422, IRR

400, IRR 403, IRR 413, IRR 423, RRIC 100, IRR 417, BPM 24, IRR 419, IRR

410, PB 260, IRR 407, dan IRR 420, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR

421, IRR 418, IRR 406, IRR 401, IRR 424, IRR 402, IRR 416, IRR 414, BPM 1

dan irr 415. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 420,

IRR 421, IRR 418, IRR 406, IRR 401, IRR 424, IRR 402, IRR 416, IRR 414, dan

BPM 1, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 404 IRR 412, IRR 405, IRR

409, IRR 408, IRR 411, IRR 422, IRR 400, IRR 403, IRR 413, IRR 423, RRIC

100, IRR 417, BPM 24, IRR 419, IRR 410, PB 260, dan IRR 407.

Pada pengamatan VI ( 7 hsi ), perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata

dengan perlakuan IRR 414, IRR 416, dan IRR 402, tetapi berbeda nyata dengan

perlakuan IRR 406, IRR 401, IRR 421, IRR 418, IRR 415, IRR 420, IRR 424,

IRR 407, RRIC 100, IRR 422, BPM 24, PB 260, IRR 419, IRR 403, IRR 412,

IRR 409, IRR 410, IRR 405, IRR 411, IRR 408, IRR 423, IRR 417, IRR 413,

IRR 404, dan IRR 400. Perlakuan IRR 400 tidak berbeda nyata dengan perlakuan

IRR 424, IRR 407, RRIC 100, IRR 422, BPM 24, PB 260, IRR 419, IRR 403,

IRR 412, IRR 409, IRR 410, IRR 405, IRR 411, IRR 408, IRR 423, IRR 417,

IRR 413 dan IRR 404, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BPM 1, IRR 414,

IRR 416, dan IRR 402, IRR 406, IRR 401, IRR 421, IRR 418, IRR 415, IRR 420.

Laju Pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides selama

pengamatan 2-8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap klon dapat dilihat pada

(41)

gambar 3. dari gambar dapat dilihat rata-rata laju pertumbuhan bercak tercepat

pada perlakuan 6 hsi dan yang terlambat pada 2 hsi.

Pembahasan

Warna Koloni dan Morfologi Jamur C. gloeosporioides

Dari hasil dapat di lihat bahwa warna pada media yang telah tua di

tumbuhi miselium yang berwarna putih, warna koloni jamur ini cerah, hal ini

sesuai dengan literatur Dwidjoseputro (1978) yang menyatakan bahwa diantara

ordo melanconiales yang konidianya cerah adalah Gloeosporium dan

Colletotrichum, dapat dilihat pada gambar 2a, 2b, 2c dan 2d.

Massa spora berwarna merah jambu atau warna salmon, hal ini sesuai

dengan literature Anonim (2007) yang menyatakan masa spora yang dihasilkan

jamur C. gloeosporioides berwarna merah jambu atau berwarna salmon.

Hasil pengamatan morfologi jamur secara mikroskipik, spora jamur C.

gloeosporioides berukuran sangat kecil dan banyak, sehingga pada waktu

pengamatan di bawah mikroskop bertumpuk-tumpuk dan di lapangan mudah

terbawa angin, hal ini sesuai dengan literatur Basuki (1990) yang menyatakan

dalam cuaca lembab massa spora menjadi lunak dan mudah tersebar dengan

perantaraan angin hingga kejarak yang sangat jauh.

Intensitas Serangan (%).

Pada pengamatan I (2 hsi) intensitas serangan tertinggi terdapat pada

perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 15.00 %. Intensitas serangan tertinggi terdapat

pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 15.00 %, sedangkan intensitas serangan

terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 404, IRR 407,

(42)

IRR 408, IRR 411 , IRR 412, IRR 413 , IRR 414, IRR 416, IRR 417, IRR 418,

IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, RRIC 100, IRR 403,

PB 260 dan BPM I yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 406 pada pengamatan I (2 hsi)

masih tergolong dalam kategori resisten Hal ini sesuai dengan hasil

Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 0-20% tergolong dalam kategori

resisten.

Pada pengamatan II (3 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan

tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 23,33 % dan yang

terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421,

IRR 424, IRR 403, PB 260 dan BPM 1 yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 406 pada

pengamatan II (3 hsi) masih tergolong dalam kategori agak resisten. Hal ini sesuai

dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 21-40 % tergolong dalam

kategori agak resisten.

Pada pengamatan III (4 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan

tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 423 yaitu sebesar 44,17 % dan yang

terendah terdapat pada perlakuan BPM 1 yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 423 pada

pengamatan III (4 hsi) masih tergolong dalam kategori moderat. Hal ini sesuai

dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 41-60 % tergolong dalam

kategori moderat.

Pada pengamatan ke IV (5 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan

tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 400 yaitu sebesar 73,33 % dan Intensitas

serangan terendah terdapat pada perlakuan BPM 1, yaitu sebesar 0 %. Klon IRR

400 pada pengamatan IV (5 hsi) masih tergolong dalam kategori agak rentan.

(43)

Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 61-80 %

tergolong dalam kategori agak rentan.

Pada pengamatan ke V (6 hsi), dapat dilihat bahwa intensitas serangan

tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 413 yaitu sebesar 96,67 % dan yang

terendah pada perlakuan BPM I yaitu sebesar 54.17 %. Klon IRR 413 pada

pengamatan V (6 hsi) tergolong dalam kategori rentan dan klon BPM 1 tergolong

moderat. Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala

41-60 % tergolong dalam kategori moderat dan skala 81-100 % dikelompokkan

dalam kategori rentan.

Pada pengamatan VI (7 hsi), dapat dilihat bahwa intensitas serangan

tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 404, IRR 419, IRR 422 dan IRR

403 yaitu sebesar 100 %, dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan

IRR 415 yaitu sebesar 75.00 %. Klon IRR 400, IRR 404, IRR 419, IRR 422 dan

IRR 403 pada pengamatan VI (7 hsi) tergolong dalam kategori rentan dan klon

IRR 415 (K

15

) tergolong agak rentan. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 61-80 % tergolong dalam kategori agak

rentan dan skala 81-100 % tergolong kategori rentan.

Data rata-rata pengamatan intensitas serangan 2-8 his. Perlakuan PBM 1

berbeda kategorinya dengan perlakuan lainnya, Intensitas serangan rata-rata

terendah terdapat pada perlakuan BPM 1 yaitu sebesar 34.88 % dan intensitas

serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 413 yaitu sebesar 57.74 %. Klon

BPM 1 tergolong agak tahan dan klon lainnya tergolong moderat

(44)

Dari hasil pengamatan rata-rata dapat dilihat klon pembanding BPM 24,

PB 260, RRIC 100 tergolong dalam kategori moderat. Klon pembanding PB 260

dan RRIC 100 tergolong tahan dan klon BPM 24 moderat, terhadap jamur

C. gloeosporioides. Perubahan ketahanan ini disebabkan adanya keragaman

(variabilitas) genetik dalam satu species patogen, hal ini sesuai dengan literatur

Agrios (1996) yang menyatakan bahwa dalam satu species patogen, terdapat

ras-ras fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat di bedakan, tetapi

berbeda kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas inang

yang berbeda. Hal ini membantu menjelaskan mengapa varietas yang tahan pada

suatu waktu menjadi rentan pada waktu yang lain.

Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

Pada pengamatan hari I (2 hsi) pertumbuhan bercak tertinggi terdapat

pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 0.3 mm sedangkan pertumbuhan bercak

terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404,

IRR 407, IRR 408, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR

416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR

424, BPM 24, RRIC 100, PB 260 dan BPM 1 yaitu sebesar 0 mm.

Klon IRR 406, IRR 405, dan BPM 24, pada 2 hsi telah menunjukkan

adanya gejala serangan atau tumbuhnya bercak pada daun, hal ini menunjukkan

bahwa daun dari IRR 406, IRR 405 dan BPM 24 sangat peka terhadap jamur C.

gloeosporioides, hal ini sesuai dengan literatur Abadi (2003) yang menyatakan

dalam kombinasi inang-patogen, patogen biasanya dapat memproduksi toksin

spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya gejala dan di

duga bereaksi terhadap reseptor spesifik atau sisi-sisi sensitif dalam sel inang.

(45)

Hanya tanaman yang memeiliki reseptor sisi sensitif semacam ini yang akan

menjadi sakit.

Laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada pengamatan 3 hsi – 7 hsi

mengalami kenaikan yang cukup cepat, daun-daun yang di inokulasikan

bercaknya cepat menyebar bila telah terinfeksi, jamur mengambil makanan untuk

hidupnya dari daun hal ini sesuai dengan literatur Agrios (1996) yang menyatakan

patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan inang

dengan cara menyerap makanan secara terus-menerus dari sel-sel inang untuk

kebutuhan hidupnya.

Dari hasil rata-ratan dapat dilihat bahwa pertumbuhan bercak

tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 420 yaitu sebesar 3.82 mm dan yang

terendah terdapat pada IRR 423 yaitu sebesar 2.84 mm. Hal ini menunjukkan

bahwa jamur C. gloeosporioides sangat cepat menginfeksi daun muda. Hal ini

sesuai dengan hasil pernyataan Pawirosoemardjo dkk (1998), yang menyatakan

bahwa daun karet yang berumur kurang dari 20 hari merupakan kondisi yang peka

terhadap serangan C. gloeosporioides.

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Warna koloni awalnya berwarna putih kemerah jambuan, semakin tua

warnanya menjadi putih.

2. Konidium berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul sampai

meruncing, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak

membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung. Tidak bersekat,

berinti satu, berbentuk oval.

3. Laju pertumbuhan bercak tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 420 yaitu

sebesar 3.82 mm/hari dan yang terendah terdapat pada IRR 423 yaitu

sebesar 2.84 mm/hari.

4. Klon pembanding BPM 1 tergolong dalam kategori agak tahan dan

keseluruhan klon IRR seri 400 dan pembanding lainnya tergolong dalam

kategori moderat. Metode cakram dapat digunakan sebagai informasi awal

untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman karet klon IRR seri 400.

Saran

Disarankan

penelitian

lanjutan mengenai uji resistensi Klon IRR seri 400

pada tanaman karet (Havea brasiliensis Muell Arg) terhadap penyakit gugur daun

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A.L, 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan I, Bayu Media. Malang. Hal 40.

Agrios, G.N, 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, di terjemahkan oleh Busnia M,

UGM Press, Yogyakarta. Hal 8,18.

Alexopoulus, C.J. and C.W. Mims., 1979. Introductory mycology. Jhon weley and

Sons, New York, P 569.

Anonim

a

, 1996. Karet “Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan

Pengolahan “, Penebar Swadaya. Jakarta.

_______

b

, 2007. Produksi Karet Nasional 2007 di Perkirakan 2,4 juta ton, Diakses

dari

http://www.Kapanlagi.com

. Tgl 24-03-2007.

_______

c

, 2007. Karet “Bisnisnya Masih Empuk”. Diakses dari

http://www.wartawkonomi.com

. Tgl 24-03-2007.

_______

d

, 2007. Colletotrichum, Diakses dari

http://www.uark.com

. Tgl

19-05-2007.

Ariyani, R.R., 2006. Harga Karet Bakal Terus Naik, Diakses dari

http://www.Temporeaktif.com

. Tgl 23-03-2007.

Azwar. R., Suhendry. I, Daslin,A., dan Lasminingsih, M., 1998. Lokakarya

Nasional Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet

Alam Abad 21, Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan

Indonesia, hal 225.

Bangun. M.K,. 1990. Rancangan Percobaan, Fakultas Pertanian. Universitas

Sumatera Utara, hal 24-28.

Basuki,. 1990. Penyakit Gugur Daun Colletotrichun pada Tanaman Karet, Pusat

Penelitian Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM), hal 2-7.

Djas. F,. 1980. Classification of Fungi and Specifik Characteristic of Each Class,

Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan hal 29.

Dwidjoseputro. Prof.D.S,. 1978. Pengantar Mikologi,Alumni. Bandung, hal 79.

Fernando.T,H,P,S,. Jaya Singhe, C.K, and Wijesunera R.L.C,. 1999. Affecting

Spore Production, Germination and Viability of Colletotrichum Isolates

from Hevea brasiliensis. Diakses dari

http://wwwjournals.com

Gambar

Gambar 2. Haemacytometer
Tabel 1. Klasifikasi Penilaian Serangan Penyakit C. gloeosporioides:
Gambar 4. Spora C. gloeosporioides  Sumber : Foto langsung
Gambar 5. Nilai skala bercak daun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Työkuormituksen määrää tutkittiin Siegristin kehittämällä ponnistelu–palkitsevuus -mallin (engl. Effort–Reward Imbalance) avulla, jossa työkuormitus muodostuu työn

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa 1) Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya memiliki impulsive buying

Perancangan Video Animasi Sebagai Media Pembelajaran Kisah Orang Samaria Yang Baik Hati Untuk Anak-Anak Usia 10-13

Karakter dalam penciptaan karya video animasi ‘Langen Katresnan’ ini mengadopsi dari wayang kulit dan wayang orang. Dari desain karakter wayang yang sudah ada

Jadi, besarnya pengaruh secara simultan sebesar 68,6%, yang menunjukkan bahwa variabel motivasi yang terdiri dari indikator kebutuhan akan afiliasi, kebutuhan akan

Pembangunan nasional merupakan perwujudan nyata dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia sesuai dengan nilai-nilai dasar yang diyakini kebenarannya, dalam

Melalui uraian tersebut dapat dikemukakan bawa pertanyaan dengan menggunakan kata tanya siapa dimaksudkan untuk menanyakan siswa yang berkaitan dengan kehadiran atau kesanggupan

Latar ombo sebagai bagenen dalam skala desa, 4) Lapangan sebagai ruang multifungsi.. dalam skala antar desa, 5) Bagenen yang terhubung botolan , 6) Latar ombo