• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelestarian Hutan: Tinjauan Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kelestarian Hutan: Tinjauan Ekonomi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kelestarian Hutan: Tinjauan Ekonomi

Sudarsono Soedomo

Departemen Manajemen Hutan IPB University - Bogor Indonesia

November, 2022

(2)

1 Pengantar

Luas hutan produksi alam dan jumlah pemegang IUPHHK Huan Alam semakin menyusut dari waktu ke waktu. Sebagian sangat kecil pemegang IUPHHK Hutan Alam menunjukkan kinerja yang baik, sebagian besar sisanya berkinerja sedang dan buruk. Apakah kecenderungan ini menunjukkan bahwa secara agregat ekonomi industri kehutanan dalam situasi tidak lestari? Atau, apakah kecen- derungan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ekonomi industri kehutanan sedang dalam proses menuju keseimbangan yang lestari? Pertanyaan lain adalah apakah sistem konsesi yang selama ini diterapkan telah gagal mempertahankan hutan?

Berbagai argumen dan berbagai sebab telah disampaikan untuk menjelaskan fenomena deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia yang dianggap tercepat di dunia. Sangat kecil kemungkinannya bahwa penyebabnya adalah tunggal. Isu seputar property rights menempati urutan pertama (Deacon, 1994; Mendelsohn, 1994; Nelson et al., 2001; Barbier and Burgess, 2001; Ferreira, 2004). Syarat-syarat property rights yang ekslusif, enforceable, dan transferable tidak terpenuhi dalam IUPHHK Hutan Alam. Namun, apakah property rights yang terdefinisi dengan baik cukup ketika penentuan berbagai tarif yang dikenakan tidak tepat? Ini merupakan isu kebijakan fiskal (Boscolo and Vincent, 1998;

Amsberg, 1998; Gray, 2002). Ketidakpastian yang berkenaan dengan sumberdaya hutan itu sendiri juga berperan penting dalam menentukan keputusan pemegang ijin (Amacher et al., 2006). Tekanan pembangunan sektor lain, baik karena kebutuhan maupun insentif ekonomi, juga memegang peran penting (Casse et al., 2004). Akhirnya, masalah korupsi juga ikut berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan (Søreide, 2007).

Dalam situasi yang serba kacau balau tersebut muncul gagasan tentang sistem silvikultur intensif dalam bentuk Tebang Pilih Tanam Jalur dan pemberian hak kelola atau hak pemanfaatan kepa- da masyarakat lokal. Dapatkah dua gagasan ini mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan?

Silvikultur intensif memerlukan investasi tinggi yang akan mengikat pelakunya untuk menjaga inves- tasinya. Sementara itu, saat ini terdapat sekitar 11 juta hektar kawasan hutan yang tidak memiliki pengelola efektif di lapangan, sehingga pemberian hak kelola atau hak pemanfaatan atas kawasan ter- sebut kepada masyarakat lokal akan mengurangi tindakan illegal yang destruktif terhadap kawasan tersebut.

Untuk menjawab apakah kedua gagasan yang dimaksud efektif mengurangi deforestasi dan de- gradasi hutan, paper ini diorganisasi sebagai berikut. Setelah pengantar ini, seksi 2 menayangkan pelajaran pengelolaan hutan dari berbagai negara. Seksi 3 akan mendiskusikan prospek dari silvikul- tur intensif dan pemberian hak kelola kepada masyarakat lokal dari berbagai teori. Tiga teori yang akan digunakan adalah property rights, choice under uncertainty, dan principal-agent problem. Seksi 4 membahas beberapa langkah ke depan. Akhirnya, seksi 5 menyampaikan beberapa isu yang perlu dijawab. Untuk selanjutnya, saya akan memfokuskan diri hanya pada pemanfaatan hasil hutan kayu.

2 Pelajaran Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan

Konsesi hutan merupakan bentuk penguasaan hutan yang paling umum dipraktekkan di dunia, terutama di negara berkembang. Praktek konsesi hutan terjadi di Afrika Barat dan Tengah, Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Kanada di Amerika Utara baik dengan berbasis luasan maupun volume.

Suatu konsesi hutan adalah suatu kontrak - antara pemilik hutan dan pihak lain - yang memberikan ijin pemanenan (kontrak pemanfaatan hutan) dan atau mengelolaan (kontrak jasa pengelolaan hutan) atas sumberdaya tertentu dari kawasan hutan tertentu. Dokumentasi yang sangat baik dan lengkap tentang pengalaman konsesi hutan dari berbagai negara adalah laporan yang ditulis oleh Gray (2002).

Secara umum, di seluruh dunia belum ada pengalaman pengelolaan hutan alam yang berhasil mempertahankan kelestarian hutan. Termasuk di antara yang gagal tersebut adalah sistem konsesi yang sangat beragam. Pelanggaran terhadap persyaratan kontrak, misalnya dengan menebang yang

(3)

melebihi jatah yang diberikan, sangat umum terjadi (Søreide, 2007). Sementara itu, privatisasi tegakan di Selandia Baru akhirnya dihentikan karena dianggap kurang berhasil (Gray, 2002). Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, konsesi hutan resminya bercorak pemanfaatan hutan, baik kayu, kawasan, maupun nonkayu. Tetapi dalam kasus IUPHHK, pemegang konsesi ternyata juga dibebani beberapa kewajiban yang sebenarnya merupakan unsur pengelolaan. Dalam skala yang lebih kecil dan waktu yang lebih pendek, konsesi hutan juga diberikan dalam bentuk ijin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK).

IUPHHK diberikan oleh Menteri, sedangkan IPHHK dapat diberikan oleh Bupati. Perbedaan hirarki pemberi ijin ini berkaitan dengan luasan konsesi. Tanpa koordinasi yang jelas, satu tempat mungkin saja dibebani dua ijin pemungutan kayu. Hal ini akan menimbulkan kekacauan di lapangan.1 Hasil dari konsesi hutan di Indonesia adalah kerusakan hutan yang sangat parah, laju deforestasi yang tinggi, dan degradasi hutan yang meluas.

Dari berbagai kegagalan sistem konsesi, haruskah kita berkesimpulan bahwa sistem konsesi telah gagal melestarikan hutan dan oleh karena itu harus ditinggalkan? Kita harus bersabar dan berhati- hati menjawab pertanyaan ini.

Ragam konsesi umumnya ditentukan oleh luas, jangka waktu, cara pemberian, dan kewajiban yang ditanggung pemegang konsesi. Luas konsesi berkisar mulai dari beberapa hektar hingga ratusan ribu hektar. Jangka waktu yang diberikan berkisar dari satu tahun hingga puluhan tahun. Keragaman cara pemberian konsesi berkisar dari penunjukkan langsung yang sangat tidak transparan di satu ujung hingga leleng kompetitif terbuka di ujung yang lain. Kewajiban pemegang konsesi berkisar dari tanpa kewajiban yang berarti hingga kewajiban pengelolaan hutan yang sangat komprehensif.

Berbagai ragam konsesi yang telah gagal hanya sebagian dari seluruh kombinasi ragam konsesi yang mungkin. Dengan menggunakan analogi gembok dengan kombinasi tiga digit angka, berbagai ragam konsesi yang telah gagal tersebut mungkin baru mewakili puluhan kombinasi saja. Untuk dapat membuka gembok, satu kombinasi tiga digit angka harus ditemukan di antara 1000 kombinasi yang mungkin. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk menemukan kombinasi tiga digit angka yang tepat tersebut. Moral story dari analogi tersebut adalah bahwa keberhasilan model konsesi memerlukan rancangan yang sangat tepat. Contoh rancangan konsesi optimal, baik dengan dan tanpa korupsi, dapat dilihat di Amacher et al. (2009).

Berbagai kegagalan konsesi hutan yang telah terjadi dapat diatasi melalui berbagai modifikasi unsur-unsur dalam konsesi dengan memasukkan dan memperkuat insentif ekonomi dan prosedur, seperti (1) perubahan syarat dan kewajiban, (2) perubahan cara pemberian konsesi - lelang kompetitif perlu diperkenalkan, (3) perubahan persyaratan pengelolaan hutan, (4) penggunaan insentif kinerja, (5) pemantauan dan penegakan syarat kinerja yang lebih baik, dan (6) penentuan berbagai pungutan secara tepat.

3 Silvikultur Intensif dan Pemberian Hak

Apakah sistem silvikultur intensif akan memperbaiki pengelolaan hutan? Pertanyaan ini didasari oleh pemikiran bahwa sistem silvikultur intensif memerlukan investasi - untuk memulihkan potensi tegakan - yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem TPTI. Investasi yang lebih tinggi ini akan mendorong pemegang ijin untuk bertindak lebih bertanggung jawab. Mengingat tegakan hutan dalam daur kedua dan seterusnya merupakan hasil investasinya sendiri, pemegang ijin tidak akan melakukan pencurian terhadap tegakan miliknya sendiri. Sedangkan dalam sistem TPTI, tegakan yang ada di daur kedua dan seterusnya dianggap bukan milik pemegang ijin sehingga ada kemungkinan pemegang

1Meskipun hirarki Bupati lebih rendah, tetapi secara teoritis Bupati dapat menghambat terbitnya IUPHHK dengan menghambat pemberian pertimbangan atau memberi pertimbangan yang kurang menguntungkan kepada Gubernur sebagai landasan pemberian rekomendasi kepada Menteri (Pasal 62 ayat (1) PP 6/2007). Sebaliknya, Bupati dapat langsung menerbitkan IPHHK dan menginformasikannya kepada Gubernur dan Menteri (Pasal 64 huruf a PP 6/2007).

(4)

ijin mencuri tegakan dalam wilayah kerjanya. Singkatnya, sistem silvikultur intensif akan memperbaiki pengelolaan hutan sehingga kelestarian lebih mungkin terjadi. Benarkah?

Demikian pula halnya dengan pemberian hak atas hutan kepada masyarakat lokal. Dapatkah tin- dakan ini memperbaiki pengelolaan hutan? Dewasa ini terdapat sekitar 11 juta hektar kawasan hutan tanpa pengelola efektif di lapangan. Suatu sumberdaya yang terbuka bagi siapa saja untuk melakukan tindakan illegal. Menempatkan masyarakat lokal sebagai pemegang hak atas kawasan tersebut diha- rapkan dapat memperbaiki pengelolaan hutan, atau paling tidak dapat menghambat proses kerusakan hutan. Pemerintah lebih mudah mencari pihak yang bertanggung jawab atau setengah bertanggung jawab atas sumberdaya hutan yang bersangkutan.

Kita dapat menganalisis problem sistem silvikultur intensif dan pemberian hak atas hutan kepada masyarakat lokal dengan berbagai sudut pandang atau teori. Tiga teori yang saya pandang paling potensial dalam menjelaskan berbagai fenomena kehutanan di Indonesia adalah sebagai berikut: teori property rights, teori principal-agent problem, dan teori choice uncertainty. Kita mulai dengan teori yang pertama, property rights.

3.1 Teori Property Rights

Regim property rights telah lama disadari mempengaruhi perilaku dan kesempatan pihak yang memilikinya (Grafton et al., 2000). Namun, peran property rights atas sumberdaya alam belum diteliti sampai tuntas (Irimie and Essmann, 2009). Selanjutnya dinyatakan bahwa property rights dapat mengurangi laju pemburuan rente dan memaksa pengusaha untuk berkonsentrasi pada stok, mengatur eksternalitas antar aktor melalui penetapan hak dan tanggung jawab, menetapkan pola penggunaan dan pengelolaan, merepresentasikan prasyarat bagi peningkatan penggunaan sumberdaya.

Secara umum dipercaya bahwa property rights yang lebih baik - eksklusif, enforceable, transfe- rable - akan mendorong investasi (Besley, 1995; Deininger and Jin, 2006) dan peningkatan efisiensi produksi (Pejovich, 1990). Namun, penelitian empirik oleh Besley (1995) menunjukkan hasil campur- an; ada yang berkorelasi positif dengan investasi, tetapi ada pula yang tidak berkaitan secara nyata.

Di Kamboja, property rights memberi efek positif pada produktivitas pertanian dan nilai tanah (Mar- kussen, 2008). Namun, bagi rumah tangga di perdesaan, sumberdaya common property merupakan andalan bagi penghidupan, sehingga introduksi hak milik pribadi ditakutkan mengurangi ketersediaan sumberdaya gantungan kehidupannya tersebut.

Pengamatan efek dari property rights memerlukan kehati-hatian sebelum mengambil suatu ke- simpulan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grafton et al. (2000) bahwa (1) perbaikan efisiensi jangka pendek membutuhkan beberapa tahun untuk menjadi kenyataan dan proses ini dapat terhambat oleh masalah transferability, jangka waktu, dan divisibility dari property rights, (2) perbaikan efisiensi jangka panjang yang substansial dapat dirusak oleh regulasi sebelumnya dan pengaitan property ri- ghts dengan stok kapital, dan (3) keuntungan privatisasi bukan hnya dalam bentuk efisiensi biaya tetapi juga mencakup penerimaan dan bentuk produk.

Akankah property rights menghentikan deforestasi, menjamin kelestarian, mengamankan kekaya- an, dan mengendalikan eksternalitas? Pendapat Mendelsohn (1994) layak untuk disimak. Menurut- nya, deforestasi akan berhenti bila hutan yang tersisa adalah lebih bernilai dibandingkan penggunaan alternatif dan pemilik tanah akan melakukan pengelolaan lestari hanya jika dan ketika hal tersebut menguntungkan. Peringatan ini seharusnya cukup menyadarkan pihak berwenang yang seringkali membuat kebijakan yang sangat membebani bisnis kehutanan. Tanda dibebani dengan berbagai ijin yang memakan biaya tinggi dan pungutan resmi lainnya, bisnis kehutanan sudah cukup sulit bersa- ing dengan bisnis kelapa sawit misalnya. Perijinan yang rumit akan menjadi disinsentif bagi bisnis kehutanan.

Property rights itu sendiri dapat juga endogenous, suatu tindakan investasi pada lahan dilakukan untuk memperkuat klaim atas lahan tersebut (Besley, 1995; Deininger and Jin, 2006). Di Indonesia, hal seperti ini juga terjadi di banyak tempat. Di Krui - Lampung, masyarakat menanam damar mata

(5)

kucing (Shorea javanica) karena tanaman tersebut berumur panjang dan dapat menghasilkan getah yang bernilai ekonomi tinggi sehingga sesuai untuk menunjukkan penguasaan dari penanamnya.2 Apakah hal seperti ini yang memotivasi pemegang ijin IUPHHK Hutan Alam untuk melaksanakan silvikultur intensif masih perlu dibuktikan lebih jauh. Pengalaman Kopermas di Papua dan ijin skala 100 hektaran di tempat lain perlu menjadi pelajaran sebelum memberikan hak atas hutan kepada masyarakat lokal. Bukan sekedar perijinan yang diperlukan, melainkan rancangan yang tepat atas hak yang hendak diberikan tersebut.3

Perkembangan hutan rakyat di Pulau Jawa dipercaya sebagai hasil dari kejelasan property rights dan harga kayu di pasar lokal yang menarik. Replikasi dari sukses ini ke luar Jawa masih terkendala oleh masalah kejelasan property rights dan harga kayu yang terlalu rendah akibat struktur industri yang tidak kompetitif. Dalam kaitan dengan pembentukan pasar yang lebih kompetitif, larangan ekspor kayu log dari hutan tanaman seharusnya ditiadakan.

Mengingat efek yang dapat ditimbulkan, property rights berpotensi untuk digunakan sebagai alat kebijakan (Wiebe and Meinzen-Dick, 1998; Irimie and Essmann, 2009). Namun, sebelum semua perubahan itu dilakukan ada baiknya kita menyimak peringatan Ferreira (2004) bahwa reformasi kelembagaan berbasis luas yang menghapus distorsi kelembagaan, khususnya perbaikan kualitas biro- krasi, merupakan keharusan bila eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya alam akibat buruknya property rights hendak dihindari.

3.2 Teori Choice Under Uncertainty

Berbagai ketidakpastian yang terjadi pada berbagai faktor ekonomi di masa depan dapat meng- ubah keputusan pemanenen intertemporal. Berikut adalah ringkasan analisis yang disampaikan oleh Amacher et al. (2009):

1. Dengan risk aversion, ketidakpastian harga kayu di masa depan mendorong peningkatan pene- bangan kayu saat ini dan akibatnya meningkatkan suplai kayu jangka pendek.

2. Ketidakpastian tingkat bunga riil menurunkan penebangan saat ini bagi pemegang ijin yang risk-neutral dan risk-averse relatif terhadap kasus tanpa ketidakpastian.

3. Laju pertumbuhan tegakan yang stokastik multiplikatif meningkatkan pemanenan saat ini dan suplai kayu jangka pendek, tetapi laju pertumbuhan stokastik aditif tidak berpengaruh pada pemanenan saat ini.4

4. Ketidakpastian stok tegakan awal baik karena resiko multiplikatif maupun aditif menurunkan pemanenen saat ini dan akibatnya mengurangi suplai kayu jangka pendek.

Ketidakpastian 4 masih di bawah kendali pemegang ijin konsesi dan relatif mudah diatasi me- lalui survai yang memadai di awal masa konsesi. Oleh karena itu, ketidakpastian ini relatif dapat dikurangi secara substansial. Selanjutnya, ketidakpastian 2 berkaitan dengan kebijakan makroeko- nomi pemberintah dan bank sentral yang sangat berkaitan dengan stabilitas ekonomi secara umum.

Tidak mengherankan bila ketidakpastian tingkat bunga riil ini dijaga sangat ketat sehingga tingkat fluktuasinya tidak terlalu lebar. Diduga, dua ketidakpastian yang tersisa merupakan ketidakpastian

2Sayangnya sistem negara modern tidak bersedia mengenali dan mengakui keberadaan property rights lokal ini.

Dengan dalih legalitas negara, pranata sosial lokal ini dihancurkan dengan sistem perijinan resmi. Bahkan masyarakat lokal ini dianggap sebagai musuh hutan hingga hari ini dengan kemasan istilah “clear and clean” - suatu istilah yang sangat antisosial.

3Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan contoh yang sangat buruk tentang pemberian hak atas kawasan hutan kepada masyarakat lokal. Disamping pengurusan ijinnya sangat rumit dan mahal, hak yang diperoleh masyarakat tidak dapat dialihkan atau diwariskan. Pengaturan seperti ini sudah pasti merupakan disinsentif bagi investasi.

4Sebagai contoh, stok tegakan Q dan variabel acak ε. Resiko multiplikatif mengambil bentuk εQ dan ε ∼ N(1, σε2), sedangkan resiko aditif berbentuk Q + ε dan ε ∼ N(0, σ2ε).

(6)

yang paling menjadi perhatian pemegang ijin konsesi. Jika dugaan ini benar, maka metoda silvikul- tur intensif sebenarnya tidak lebih dari upaya untuk meningkatkan panen periode sekarang untuk mengantisipasi ketidakpastian di masa yang akan datang.

Disamping ketidakpastian di atas, masih banyak ketidakpatian lain yang sangat berpengaruh pada tingkat pemanenan kayu dari hutan dan kesempatan yang tersedia. Resiko atas keamanan proper- ty rights akan mendorong pemanenen lebih cepat (Nelson et al., 2001; Ferreira, 2004). Keamanan property rights akan menurunkan tingkat diskonto sehingga akan mendorong investasi jangka pan- jang, termasuk hutan. Property rights yang tidak aman menghambat pemiliknya mengakses kredit untuk investasi (Feder and Onchan, 1987). Di Cina, resiko pengambilalihan tanah oleh pemerintah telah mengurangi minat masyarakat untuk menambahkan pupuk organik (Jacoby et al., 2002). Pro- perty rights yang tidak aman berpotensi menimbulkan konflik tanah (De Oliveira, 2008) sehingga mengurangi insentif untuk investasi.

3.3 Teori Principal-Agent Problem

Hubungan antara pemerintah dan pemegang ijin merupakan hubungan antara principal (pemerin- tah) dan agent (pemegang ijin) dengan tindakan tersembunyi atau moral hazard, yakni pemegang ijin mempunyai informasi privat yang tidak diketahui oleh pemerintah. Ada information asymmetry disini.

Persoalan yang hendak diangkat adalah bagaimana pemerintah merancang suatu sistem kompensa- si (dalam kontrak) untuk memotivasi pemegang ijin agar bertindak demi kepentingan pemerintah.

Problem principal-agent muncul karena kepentingan principal dan kepentingan agent berbeda, serta informasi tentang agent yang diketahui oleh principal tidak sempurna (Laffont and Martimort, 2009).

Insentif ekonomi penting dalam mendorong kinerja agent dan harmoninasi kepentingan agent dan principal. Teori kontrak membahas rancangan kontrak dan syarat serta kewajiban kontrak yang memberikan insentif bagi tindakan agent yang mencapai tujuan principal dan mengharmoniskan ke- pentingan keduanya. Dengan demikian, hubungan principal-agent berada di jantung kebijakan konsesi hutan dan dalam rancangan persyaratan konsesi atau kontrak pemungutan jangka pendek. Tuntutan terhadap pemerintah meliputi informasi yang lebih lengkap dan kemampuan untuk merancang kon- trak yang fair. Hubungan principal-agent juga termasuk dalam hal pendelegasian supervisi konsesi, pemantauan kinerja, atau audit operasi.

Selama ini, dibandingkan dengan pemerintah sebagai principal, pemegang ijin memiliki informasi tentang sumberdaya hutan yang jauh lebih lengkap. Bahkan dalam kasus tertentu pemerintah mem- peroleh informasi tentang sumberdaya hutan dari pemegang ijin. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin pemerintah dapat melakukan pengawasan dengan benar dan berikutnya tidak mampu men- capai kepentingannya. Kepentingan pemerintah adalah satu atau kombinasi dari menangkap rente sumberdaya alam semaksimal mungkin, menjamin kelestarian sumberdaya alam, atau memperluas lapangan kerja. Asumsi di balik tujuan ini adalah bahwa pemerintah bekerja untuk rakyat. Sua- tu asumsi yang dipertanyakan oleh Bromley et al. (1990) untuk kasus negara berkembang seperti Indonesia. Sementara itu, tujuan dari agent adalah mencari laba semaksimal mungkin.

4 Langkah Selanjutnya

Peran pemerintah dalam menegakan property rights, mengurangi ketidak pastian, serta sebagai principal yang mewakili kepentingan publik sangat sentral. Peran ini tidak berjalan dengan baik kare- na kurangnya kompetensi, kapasitas, informasi, dan mungkin juga kemauan karena tarikan berbagai kepentingan. Harus tegas dinyatakan bahwa problem kehutanan di Indonesia di awali oleh birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, solusi terhadap problem kehutanan di Indonesia harus dimulai dari pembenahan birokrasi pemerintah tersebut.

Tidak adil rasanya bila saya tidak menagih peran perguruan tinggi yang menghasilkan banyak

(7)

pengambil keputusan dalam jajaran birokrasi kehutanan. Problem kehutanan bukan semata masalah tanah, air, udara, flora dan fauna belaka, tetapi yang paling rumit adalah masalah manusia. Batu di taman yang tertata indah dapat melayang mengenai kepala ketika hubungan antar manusia memasuki kondisi tertentu. Hal seperti inilah sebenarnya yang terjadi dengan kehutanan. Dalam pengamatan saya, kurikulum di fakultas kehutanan masih belum banyak mengkaji secara lebih mendalam faktor manusianya.

Sistem silvikultur intensif dapat saja terus dilanjutkan tetapi pemerintah perlu memastikan bah- wa sistem ini bukan kamuflase dari penambangan kayu dan tindakan silvikultur intensif benar-benar dilaksanakan. Berdasarkan teori property rights dan choice under uncertainty, maka tidak ada alasan yang dapat diterima bahwa pemegang ijin dengan sukarela melaksanakan investasi yang sangat besar tanpa kejelasan property rights dan kepastian usaha. Teori principal-agent memperkuat bahwa da- lam kasus sistem silvikultur intensif terjadi aksi tersembunyi yang dilakukan oleh agent tetapi tidak diketahui oleh principal (pemerintah). Penentuan royalti yang tepat sangat penting dalam menguji apakah sistem silvikultur intensif tersebut sekedar kamuflase atau bukan. Sekali lagi, hal ini menuntut kompetensi pemerintah dalam menghitung tarif yang tepat.

Pemberian hak atas hutan kepada masyarakat lokal seharusnya dilaksanakan tetapi perlu didahu- lui dengan persiapan yang matang, baik persiapan yang menyangkut masyarakatnya maupun aturan main yang mengikatnya. Hutan kemasyarakatan dengan aturan main yang lebih sederhana teta- pi efektif dapat menjadi pilihan yang menarik. Membiarkan kawasan hutan dalam keadaan tanpa pengelola sama sekali jelas bukan tindakan yang bijaksana karena hutan dapat rusak total tanpa memberikan penerimaan bagi negara. Memberikan akses masyarakat terhadap kawasan tersebut me- mudahkan pemerintah untuk menemukan pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi dan pemerintah masih mungkin memperoleh penerimaan.

5 Penutup

Sehubungan dengan pendapat Mendelsohn (1994), perkenankan saya untuk membuat analogi se- kali lagi. Mungkin saja, bangsa Indonesia dengan sumberdaya alamnya, khususnya hutan, sangat identik dengan dosen fakultas kehutanan dengan Jaguar sebagai mobil dinasnya. Dengan gaji yang diterimanya saat ini, tidak mungkin tidak penyusutan terhadap mobil Jaguar tersebut akan jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan dosen fakultas kehutanan yang bersangkutan untuk mengimbanginya melalui investasi baru. Pak dosen sedang mengalami kelebihan kapital. Proses penyusutan kapital tersebut akan terus berlanjut hingga mencapai steady-state, yakni Xenia!

Pustaka

Amacher, G. S. et al. 2006. Corruption: A challenge for economists interested in forest policy design.

Journal of Forest Economics, 12(2):85–89.

Amacher, G. S., Merry, F. D., and Bowman, M. S. 2009. Smallholder timber sale decisions on the amazon frontier. Ecological Economics, 68(6):1787–1796.

Amsberg, J. V. 1998. Economic parameters of deforestation. The World Bank Economic Review, 12(1):133–153.

Barbier, E. B. and Burgess, J. C. 2001. Tropical deforestation, tenure insecurity, and unsustainability.

Forest Science, 47(4):497–509.

Besley, T. 1995. Property rights and investment incentives: Theory and evidence from ghana. Journal of political Economy, 103(5):903–937.

Boscolo, M. and Vincent, J. R. 1998. Promoting better logging practices in tropical forests. Available at SSRN 604987.

(8)

Bromley, D. W. et al. 1990. Arresting renewable resource degradation in the third world: Discussion.

American journal of agricultural economics, 72(5):1274–1275.

Casse, T., Milhøj, A., Ranaivoson, S., and Randriamanarivo, J. R. 2004. Causes of deforestation in southwestern madagascar: what do we know? Forest Policy and Economics, 6(1):33–48.

De Oliveira, J. A. P. 2008. Property rights, land conflicts and deforestation in the eastern amazon.

Forest Policy and Economics, 10(5):303–315.

Deacon, R. T. 1994. Deforestation and the rule of law in a cross-section of countries. Land economics, pages 414–430.

Deininger, K. and Jin, S. 2006. Tenure security and land-related investment: Evidence from ethiopia.

European Economic Review, 50(5):1245–1277.

Feder, G. and Onchan, T. 1987. Land ownership security and farm investment in thailand. American Journal of Agricultural Economics, 69(2):311–320.

Ferreira, S. 2004. Deforestation, property rights, and international trade. Land Economics, 80(2):174–

193.

Grafton, R. Q., Squires, D., and Fox, K. J. 2000. Private property and economic efficiency: a study of a common-pool resource. The Journal of Law and Economics, 43(2):679–714.

Gray, J. A. 2002. Forest concession policies and revenue systems: country experience and policy changes for sustainable tropical forestry, volume 522. World Bank Publications.

Irimie, D. L. and Essmann, H. F. 2009. Forest property rights in the frame of public policies and societal change. Forest Policy and Economics, 11(2):95–101.

Jacoby, H. G., Li, G., and Rozelle, S. 2002. Hazards of expropriation: tenure insecurity and investment in rural china. American Economic Review, 92(5):1420–1447.

Laffont, J.-J. and Martimort, D. 2009. The Theory of Incentives: The Principal-Agent Model. Prin- ceton University Press.

Markussen, T. 2008. Property rights, productivity, and common property resources: insights from rural cambodia. World Development, 36(11):2277–2296.

Mendelsohn, R. 1994. Property rights and tropical deforestation. Oxford economic papers, pages 750–756.

Nelson, G. C., Harris, V., Stone, S. W., Barbier, E. B., and Burgess, J. C. 2001. Deforestation, land use, and property rights: empirical evidence from darien, panama. Land Economics, 77(2):187–205.

Pejovich, S. 1990. The economics of property rights: Towards a theory of comparative systems, volu- me 22. Springer Science & Business Media.

Søreide, T. 2007. Forest concessions and corruption. U4 Issue.

Wiebe, K. D. and Meinzen-Dick, R. 1998. Property rights as policy tools for sustainable development.

Land use policy, 15(3):203–215.

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Keputusan Mata Acara Ketujuh Belas: MENYETUJUI untuk tidak akan mengalihkan saham-saham yang dimiliki masing-masing pemegang saham dalam Perseroan kepada

Pertama, optimalisasi pengembangan diri untuk mendongkrak prestasi (vokasional) sekolah dapat dilakukan dengan memosisikan kegiatan ekstrakurikuler setara

Pengaruh Subtitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Bulu Ayam Dalam Pakan Buatan Terhadap Laju Sintasan Dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila GIFT..

Dengan menghubungkan kaleng ini dengan sebuah komponen yang disebut peltier, kaleng bekas tersebut dapat dijadikan sebuah kotak pendingin minuman yang

Pindad (Persero) dalam menyelesaikan permasalahan keseimbangan lintasan pada perakitan towing winch, perlu adanya penyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada

Di dalam Sidang Pleno terdapat tiga acara utama, yaitu pertama, berhubungan dengan hal-hal yang bersifat informatif yang terdiri dari : Pidato Ketua Umum Pimpinan

mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sedangkan pada grafik hubungan antara pH dengan volume titan dan grafik ΔE/ΔV dengan volum titran yang didapatkan dari pengolahan

sarung tangan spesifik untuk aplikasi khas dan tempoh penggunaan di tempat kerja perlu mengambil kira semua faktor relevan tempat kerja seperti, tetapi tidak terhad kepada: